NIM:115020207111018
Demokrasi Indonesia
Mungkin kata Demokrasi Indonesia yang sudah kebablasan sudah sering
kita dengar dan tidak asing di telinga kita, Tetapi apa benar kalau demokrasi di
negeri kita tercinta ini seperti itu ?.
Menurut saya pendapat yang menyatakan demokrasi di Indonesia ini sudah
kebablasan ada benarnya juga. Dibuktikan dengan seringnya penyelenggaraan
pemilu di berbagai daerah yang ada di Indonesia ini, baik itu untuk memilih
Gubernur, Bupati atau kepala desa. Dalam satu minggu saja sudah bisa dihitung
jumlah pelaksanaan pemilu yang ada di negeri ini, sehingga tak heran jika ada
sebutan yang menyatakan Indonesia adalah negara yang paling demokratis di dunia
diukur dari seringnya penyelenggaraan pemilu yang ada di Indonesia. Padahal
dalam satu kali penyelenggaraan pemilu sendiri membutuhkan biaya yang cukup
besar, sehingga bisa dikatakan negara kita terlalu berani karena dalam setiap
pengisian kekuasaan pemerintahan dilakukan melalui pemilihan umum.
Ya, memang sih perlu diakui kalau demokrasi di negeri kita ini berkembang
sangat pesat dengan adanya pemilu-pemilu. Tetapi pemilu yang dilaksanakan tidak
mampu menghasilkan pemimpin atau pejabat atau aktor-aktor politik yang baik yang
diharapkan masyarakat. Terbukti dengan banyaknya aktor-aktor politik yang terbukti
melakukan tindakan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Di sisi lain, demokrasi kita ini
juga memiliki kelemahan karena pemilu itu sendiri, yaitu dari sisi pemilihnya karena
sebagian besar penduduknya hidup dalam kemiskinan, pendidikan dan ekonominya
yang sangat rendah sehingga tak heran jika suaranya bisa di beli dengan uang.
Jual beli suara dalam pemilu sudah menjadi hal yang wajar dan biasa dalam
demokrasi di Indonesia, saya sendiri sudah sering mendengar dari masyarakat
bahwa untuk menduduki suatu jabatan kekuasaan, seseorang akan dipilih jika dia
mampu membeli suara dari masyarakat dan inilah yang sangat memprihatinkan dan
meresahkan dari sistem demokrasi di negara kita ini.
Padahal inti yang terpenting dalam demokrasi itu bukan terletak pada sistem
pemilunya tetapi terletak pada bagaimana rakyat melakukan kontrol terhadap
keputusan politik atau kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah itu berpihak
kepada nasib rakyat atau tidak. Pelaksanaan pemilu sendiri juga lebih banyak
merugikan rakyat karena biaya yang harusnya bisa digunakan untuk
mensejahterakan rakyat malah terbuang sia-sia.
Wajah lain demokrasi kita selain dari pemilu yaitu tentang masalah
demonstrasi atau unjuk rasa yang hampir setiap hari terjadi di berbagai daerah. Bagi
saya demonstrasi sih boleh-boleh saja tetapi jangan sampai bertindak anarkis
sampai merusak fasilitas umum segala dan yang terpenting demonstrasi isinya tidak
hanya menuntut-nuntut saja tetapi juga harus memberi solusi. Mungkin baru itu yang
bisa saya sebutkan mengenai wajah-wajah demokrasi di negara kita tercinta ini dan
pastinya masih banyak wajah-wajah lain dari demokrasi di negara kita. Banyak hal
yang harus diperbaiki dari sistem demokrasi di negara ini yang perlu mendapat
perhatian khusus dari kita semua.
Demokrasi di Indonesia
kamar (unicameral) dirubah menjadi system dua kamar (bekameral). System yang
sentralistik diganti menjadi desentralistik seiring dikuatkannya otonomi daerah.
Namun langkah di atas belum sepenuhnya menjadi pijakan bersama dalam
membangun kehidupan berwarganegara yang civilized. Fenomena politik yang
menyeruak sekarang ini belakangan mengarah pada arus balik yang cenderung
mempertanyakan
kembali demokrasi dibanding dengan otoriter untuk
mensejahterakan rakyat. Demokrasi sekarang ini dianggap oleh sebagian
menjengkelkan. Cara yang ditempuh memusingkan, hasil yang diraih jarang
memuaskan.
Penerapan Demokrasi dinilai sebagian kalangan tidak memberikan kesejahteraan
tetapi justru melahirkan pertikaian dan pemiskinan. Rakyat yang seharusnya
diposisikan sebagai penguasa tertinggi, ironisnya selalu dipinggirkan. Keadaan itulah
yang menjadikan demokrasi gampang mendatangkan banyak kekecewaan. Kondisi
buruk diperparah elite politik dan aparat penegak hukum yang menunjukkan aksiaksi blunder. Banyak perilaku wakil rakyat yang tidak mencerminkan aspirasi
pemilihnya, bahkan opini publik sengaja disingkirkan guna mencapai aneka
kepentingan sesaat. Banyak kasus-kasus yang amat mencederai perasaan rakyat
sehingga mudah ditampilkan dan mengundang kegeraman.
Kondisi itu dikuatkan dengan pernyataan mantan Wapres Jusuf Kalla yang
mengatakan bahwa demokrasi cuma cara, alat atau proses, dan bukan tujuan.
Demokrasi boleh di nomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan
pencapaian kesejahteraan rakyat. Apakah ini kejenuhan dan kemuakan terhadap
demokrasi? Jika elit Politik diselimuti gejala ketidakpercayaan terhadap demokrasi
bagaimana dengan rakyat yang terlanjur percaya pada janji-janji mereka?
Di tengah eforia kebebasan, kepentingan sempit sangat mungkin menjadi
penumpang gelap. Atas nama kebebasan setiap kepentingan mendapat tempat
aktualisasi tanpa peduli hak asasi orang lain. Aturan main diabaikan untuk mencapai
puncak kekuasaan yang mereka pahami sebagai realitas yang inheren dalam politik.