Anda di halaman 1dari 11

Kontribusi Hukum Bagi Wilayah Perikanan Indonesia dan Pemanfatannya

Oleh: Boy Yendra Tamin,SH.MH


(Dosen fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang)

I. Pendahuluan.

Tidak ada negara bila tidak ada wilayah. Ini berarti eksistensi wilayah sangat penting bagi
suatu negara sebagaimana juga halnya dengan Negara Indonesia. Secara fisik wilayah suatu
negara dapat hanya berupa daratan saja atau berupa daratan dan lautan (perairan).
Sehingga dalam dalam perkembangannya kemudian dikenal negara-negara kepulauan dan
negara pantai.
Indonesia adalah negara kepulauan yang besar dan penting. Sebagai negara kepulauan,
maka jelas Negara Indonesia memiliki wilayah daratan dan lautan (perairan). Wilayah
perairan Indonesia berada diantara dan sekitar pulau-pulaunya, dengan luas kurang lebih
5.193.250 km2 terletak pada posisi silang antara dua benua, Asia dan Australia, dan antara
dua samudra Hindia dan Pasifik.

Sebelum tahun 1957 dalam menentukan luas perairan Indonesia berpatokan pada
Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie (Staatblad tahun 1939 No.442). Dalam
ketentuan Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939 itu
memuat 4 kelompok mengenai perairan Indonesia. Pertama, apa yang disebut dengan
de Nederlandsch Indische territoriale zee (Laut Teritorial Indonesia). Kedua,
apa yang disebut dengan Het Nederlandsch-indische Zeege bied, yaitu
Perairan Teritorial Hindia Belanda, termasuk bagian laut territorial yang terletak pada bagian
sisi darat laut pantai, daerah liar dari telu-teluk, ceruk-ceruk laut, muara-muara sungai dan
terusan. Ketiga, apa yang dinamakan de Nederlandsch-Indische Binnen Landsche
wateren yaitu semua perairan yang terletak pada sisi darat laut territorial Indonesia
termasuk sungai-sungai, terusan-terusan dan danau-danau, dan rawa-rawa Indoneasia.
Kempat, apa yang dinamakan dengan de Nederlandsch-Indische Wateren ,
yaitu laut territorial termasuk perairan pedalaman Indonesia (Pasal 1, Territoriale Zee en
Marietieme
Kringen
Ordonantie
(Staatblad
tahun
1939
No.442).

II. Pembagian Wilayah Perairan Indonesia dan Perkembangannya.

Pembagian wilayah perairan Indonesia yang didasarkan pada TZMKO itu berlansung sampai
tahun 1957 dan kemudian mengalami perubahan yang mendasar dengan adanya
Pengumaman Pemerintah tanggal 13 Desember 1957 yang popular dengan
Deklarasi Djuanda. Dengan Deklarasi Djuanda itu berintikan apa yang disebut
dengan Konsepsi Nusantara, dan kemudian melahirkan UU No.4 prp Tahun 1960 tentang

Perairan Indonesia. Sejak itu, maka pengaturan mengenai perairan Indonesia tidak lagi
berpedoman pada ketentuan hukum TZMKO yang merupakan produk hukum peninggalan
Belanda. Pengaturan perairan Indonesia setidaknya sudah dikembangkan dengan
berdasarkan pada konsepsi kepentingan nasional Indonesia. Terhadap hal ini, Frans E.Likadja
dan Daniel F Bessie (1985;23) mengemukakan, bahwa semua rumusan tersebut (rumusan
perairan dalam TZMKO-pen), terlebih bagian rumusan yang pertama (de Nederlandsch
Indische territoriale zee-pen) sama sekali tidak sesuai dengan hakikat perjuangan bangsa
dan cita-cita Proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari sejarah pengaturan hukum Perairan mengenai Indonesia itu menunjukkan bahwa
sistem wilayah perairan Indonesia telah mengalami perkembangan dan perubahan yang
sangat mendasar yang mempengaruhi perkembangan hukum laut internasional itu sendiri
yang pada gilirannya membawa perubahan terhadap system hukum laut internasional
diakhir abad 20 (Atje Misbach Muhjiddin; 1993:2).

Perubahan yang dimaksud adalah berkaitan dengan dikeluarkannya Pengumuman


Pemerintah pada tanggal 13 Desember 1957 mengenai Konsepsi Nusantara, dan lebih
dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, yang kemudian dituangkan ke dalam
Undang-Undang No.4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (Atje Misbach Muhjiddin;
1993:2). Sejak saat itu, maka; a) lebar lebar laut territorial Indonesia berubah menjadi 12 mil
laut yang sebelumnya 3 mil laut; b) penetapan lebar laut territorial diukur dari garis pangkal
lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari ujung-ujung pulau Indonesia terluar, dan
sebelumnya diukur dari garis pangkal yang menggunakan garis air rendah (pasang surut)
yang mengikuti liku-liku pantai masing-masing pulau Indonesia; c) Semua perairan yang
terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari yang tadinya
berupa laut territorial atau laut lepas menjadi perairan pedalaman, dimana kedaulatan
negara atas perairan tersebut praktis sama dengan kedaultan negara atas daratannya.
Sementara sebelum Dekrarasi Djuanda perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis
pangkal
disebut
perairan
pendalaman.
Konsepsi Nusantara yang dituangkan dalam UU No.4 Prp Tahun 1960, tentu saja tidak
diterima negara-negara lain, namun Pemerintah Indonesia berupaya mensosialisasikan
Konsepsi Nusantara guna mendapatkan pengakuan internasional. Puncak dari upaya
pemerintah itu atas Konsepsi Nusantara itu adalah dalam Konprensi PBB III tentang Hukun
Laut yang berakhir tahun 1982. Dimana dalam koperensi PBB III tersebut melahirkan
konvensi Hukum Laut Baru yang diberi nama United Nations Convention on Law of The Sea
atau yang disebut pula dengan nama lain Konvensi Hukum Laut 1982.

Berkaitan dengan Konvensi Hukum laut 1982 itu Atje Misbach Muhjiddin (1993;6)
mengemukakan, bahwa lahirnya Konvensi Hukum Laut 1982 dimana Konsepsi Nusantara
yang berasal dari Pengemuman Pemerintah RI tanggal 13 Desember 1957 itu telah diakui
dan diterima sebagai bagian integral dari konvensi tersebut dan dimuat dalam Bab IV yang
berjudul Negara Kepulauan (Archipelagic States). Dan perairan yang terletak pada sisi dalam
dari garis pangkal kepulauan (Archipelagic baseline) disebut perairan kepulauan
(Archipelagic waters) yang di dalamnya masih dimungkinkan penarikan garis penutup
ditempat-tempat tertentu untuk menentukan perairan pedalaman.

Perubahan mendasar terhadap perairan Indonesia yang diawali dengan pengumanan


Pemerintah mengenai Konsepsi Nusantara dan kemudian diterima sebagai bahagian integral
dari Konvensi Hukum Laut 1982, maka dengan sendirinya berdampak pula bagi pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia.

Dengan demikian upaya untuk memahami apa yang maksud dengan wilayah perairan
Indonesia menjadi sangat penting bagi dunia perikanan Indonesia. Dikatakan demikian tentu
saja tidak terlepas dari beberapa pertimbangan yang mendorong pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah Perairan Indonesia;

1) Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia, sebagai suatu negara Kepulauan yang terdiri
dari beribu-ribu pulau, mempunyai sifat dan corak sendiri yang memerlukan pengaturan
tersendiri.
2) Bahwa bagi kesatuan wilayah (territorial) Negara Republik Indonesia semua kepulauan
serta laut yang terletak diantaranya harus dianggab sebagai suatu kesatuan yang bulat.
3) Bahwa penetapan batas-batas laut territorial yang diwarisi dari pemerintah kolonial,
sebagai termaktub dalam Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie 1939 Pasal 1
ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan, keselamatan, dam keamanan negara
Republik
Indonesia;
4) Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan
yang dipandang perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.
Dasar pentimbangan mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan terkaitannya dengan
masalah pengelolaan dan pemanfaatan potensi perairan atau sumber daya ikan Indonesia.
Tetapi dibalik pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah mengenai wilayah
perairan Indonesia itu, ia sekaligus menentukan bagi penetapan wilayah perikanan
Indonesia. Dalam hubungan ini perubahan lebar laut teriorial yang secara internasional
sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982, maka ada pegangan bagi negara berpantai
(termasuk Indonesia) untuk secara aman dapat memanfaatkan potensi perikanan atau
sumber daya ikan sesuai dengan kemampuan dan teknologi yang dimilikinya.
III. Wilayah Perikanan Indonesia dan Regulasi Bidang Perikanan.
Keperluan akan terciptanya pemahaman yang tepat terhadap perairan Indonesia itu pada
gilirannya sangat erat kaitannya dengan soal regulasi di bidang perikanan yang bukan
hanya menjadi kebutuhan pemerintah sebagai pengambil kebijakan, tetapi juga sangat
penting artinya bagi segenap pelaku dunia perikanan, termasuk bagi masyarakat diluar
masyarakat perikanan yang sesungguhnya juga berkepentingan.

Sebelumnya telah dikemukakan arti penting status dan kedudukan wilayah perairan
Indonesia bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, dan implikasinya terhadap pengelolaan
dan pemanfaatan potensi perikanan Indonesia. Persoalannya kemudian, apakah wilayah
perairan Indonesia itu sekaligus menjadi wilayah perikanan Indonesia ?

Dalam padangan hukum ternyata wilayah Perairan Indonesia tidaklah berarti sekaligus
diklaim sebagai Wilayah Perikanan Indonesia. Pasal 2 Undang-undang No. 9 Tahun 1996
Tentang Perikanan menyebutkan wilayah Perikanan Indonesia meliputi:

a. Perairan Indonesia;
b. Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya di dalam wilayah Republik
Indonesia;
c. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Sementara itu Pasal 3 UU No.6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia menyebutkan wilayah
Perairan Indonesia sebagai berikut;
a. Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, yaitu jalur laut selebar
12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
b. Perairan kepulauan yakni semua perairan yang ter-letak pada sisi dalam garis
pangkal lurus kepulauan tanpa mem-perhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai,
dan
c. perairan pedalaman, yaitu semua perairan yang ter-letak pada sisi darat dari garis
air rendah dari pantai-pantai Indo-nesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari
perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup
b.
Mempertemukan rumusan peraturan perundang-undangan terhadap Wilayah
Perairan Indonesia dan Wilayah Perikanan Indonesia dapat ditarik garis pembeda
yang jelas yaitu, bahwa wilayah perairan Indonesia hanyalah satu bagian dari
Wilayah Perikanan Indonesia. Wilayah perikanan Indonesia berdasarkan ketentuan
hukum, lebih luas dari pada wilayah Perairan Indonesia. Wilayah Perairan Indonesia
hanya 12 mil laut, sedangkan Wilayah perikanan Indonesia mencapai 200 mil laut
sejalan
dengan
ZEE
Indonesia).
Dengan masuknya ZEE Indonesia kedalam wilayah perikanan Indonesia, ia sekaligus
melahirkan adanya hak dan kewajiban Indonesia di dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan di ZEE dan di Perairan Indonesia. Seperti diketahui
keberadaan dan fungsi ZEEI dalam perspektif hukum laut pada hakikatnya tidak
sama, sekalipun ia sama-sama merupakan wilayah perikanan Indonesia.
a. Wilayah Perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eklusif Indonesia dalam Perspektif
Wilayah
Perikanan
Indonesia
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan ini merupakan landasan konstitusional
dan sekaligus arah bagi pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan sumber
daya
ikan.
[newpage]
Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan
Negara atas sumber daya ikan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat banyak dan oleh karenanya pemanfaatan sumber
daya ikan harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan, sekaligus
memperbaiki kehidupan nelayan dan petani ikan kecil serta memajukan desa-desa
pantai. Berpegang kepada pikiran dasar ini, maka perlu diambil langkah-langkah agar
para nelayan dan petani ikan yang sampai saat ini masih termasuk golongan yang
sangat rendah pendapatannya memperoleh kesempatan cukup untuk meningkatkan
kesejahteraannya

Amanat bahwa kekayaan alam Indonesia harus dipergunakn untuk sebesar-besar


kemakmuran rakyat dalam Pasal 33 tersebut mengandung pula arti, bahwa
pemanfaatan sumber daya ikan tidak sekedar ditujukan untuk kepentingan kelompok
masyarakat yang secara langsung melakukan kegiatan di bidang perikanan, tetapi
juga harus memberi manfaat sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia secara
keseluruhan. Dengan bertolak dari pemikiran dasar tentang masalah keadilan dan
pemerataan tadi, dirasakan perlunya usaha-usaha untuk mewujudkan penyediaan
ikan dalam jumlah yang memadai sebagai upaya mencukupi gizi masyarakat dengan
harga
yang
layak.
Pasal 33 juga mengandung cita-cita bangsa, bahwa pemanfaatan sumber daya ikan
harus dapat dilakukan secara terus menerus bagi kemakmuran rakyat. Sejalan
dengan itu, sudah semestinya bila pengelolaan dan pemanfaatannya diatur secara
mantap, sehingga mampu menjamin arah dan kelangsungan serta kelestarian
pemanfaatannya dapat berlangsung seiring dengan tujuan pembangunan nasional.
Sumber daya ikan memang memiliki daya pulih kembali (\"renewable\"), walaupun
hal itu tidak pula berarti tak terbatas. Oleh karena itu apabila pemanfaatannya
dilakukan secara bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumber daya ikan,
misalnya sampai melebihi potensi yang tersedia, atau dengan menggunakan alat
yang dapat merusak sumber daya ikan dan/atau lingkungan, tentu akan berakibat
terjadinya kepunahan. Terancamnya kelestarian sumber daya ikan dapat pula
disebabkan oleh kegiatan-kegiatan lain, misalnya pelayaran, pertambangan,
penempatan kabel laut, pembuangan sampah industri, penebangan hutan bakau
bahkan juga peristiwa alam, kesemuanya ini secara potensial dapat menimbulkan
pencemaran atau kerusakan lingkungan. Sehubungan dengan itu, pembinaan
kelestarian sumber daya ikan merupakan masalah yang sangat penting dan harus
dilaksanakan segara terpadu dan terarah. Dalam hubungan inilah maka perlu diambil
langkah-langkah untuk mengatur segi-segi kelestarian serta pengawasannya
Hal yang sangat penting dan erat sekali kaitannya dengan masalah perikanan ini,
adalah wilayah perikanan itu sendiri. Oleh karenanya, keterkaitan Undang-undang ini
terutama dengan Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, serta pelaksanaan konsep negara kepulauan (\"archipelagic state
concept\") sebagaimana diakui dalam hukum laut intemasional yang baru bersifat
mutlak. Sebab di dalam wilayah perairan itulah jangkauan pengaturan Undangundang ini berlangsung dan diberlakukan (Penjelasan UU No.9 Tahun 1985).
Dengan telah disahkannya rejim hukum Zona Ekonomi Eksklusif dalam lingkup
hukum laut internasional yang baru, maka sumber daya ikan milik bangsa Indonesia
menjadi bertambah besar jumlahnya dan sangat potensial untuk menunjang upaya
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat, namun persoalannya
adalah sejauh mana kewenangan Indonesia dan kemungkinan pihak asing dalam
pemanfaatan sumber daya perikanan di ZEEI tampaknya akan menjadi problematik
dimasa
datang.
Mengapa
?
[newpage]
Secara hukum pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya perikanan di
Wilayah Perairan Indonesia, ia sepenuhnya tergantung kepada sejauh mana upaya
dan kebijakan pemerintah Indonesia karena wilayah ini merupakan wilayah territorial

Negara Indonesia dan dengan kedaulatan penuh. Berlain dengan ZEEI yang secara
territorial tidak termasuk wilayah perairan Indonsia, dimana di ZEEI Negara Indonesia
hanya
mempunyai
dan
melaksanakan;
a. Hak Berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pengelolaan dan
konservasi sumber daya hayati (sumber daya perikanan) dan non hayati.
b. Yuridiksi yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau,
instalasi-instalasi, dan bangunan-bangunan lainnya; penelitian ilmiah mengenai
kelautan;
perlindungan
dan
pelestarian
lingkungan
laut.
c. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut
yang
berlaku.
Hak dan kewenangan Negara Indonesia di ZEEI tersebut dapat dikatakan terbatas
karena ZEEI pada prinsipnya merupakan jalur diluar dan berbatasan dengan laut
wilayah Indonesia yang sekarang sesuai dengan ketentuan UU No. 6 Tahun 1996
Tentang Perairan Indonesia. Dengan demikian yang terpokok dari ZEEI sebenarnya
berfungsi sebagai pendukung sumber daya perikanan di seluruh Perairan Indonesia
dan sekaligus merupakan potensi sumber daya perikanan yang harus dimamfaatkan
Indonesia dengan sebaik-baiknya. Dari segi kepentingan pembangunan nasional,
--khususnya di sector perikanan sumber daya alam hayati (sumber daya
perikanan)
di
ZEEI
memiliki
2
(dua)
fungsi
penting
yaitu;
a. Sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan secara lansung melalui kegiatan
penangkapan
ikan;
dan
b. Sebagai pendukung sumber daya alam hayati diperairan Indonesia.
Satu dan lain hal berupa adanya kondisi perairan di beberapa lokasi perairan
Indonesia yang memungkinkan untuk berupa dari/ke perairan yang berada dalam
hidupnya; dan adanya sifat dari beberapa jenis ikan yang sebagian atau seluruh
hidupnya memerlukan hidup berdampingan dengan beberapa jenis ikan lainnya yang
terdapat
diperairan
Indonesia.
Disisi lain diterimanya ketentuan tentang ZEE dalam konvensi PBB tentang Hukum
Laut berbasiskan pada tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara
pantai dan karenanya pemanfaatan sumber daya perikanan di ZEEI sudah
seharusnya diarahkan untuk mengembangkan usaha perikanan Indonesia.
Hukum telah memberikan kontribusi positif bagi perluasan wilayah perikanan
Indonesia melalui perjuangan panjang sampai puncaknya diakui masyarakat
internasional. Hasil perjuangan Indonesia pada saat ini secara juridis formal luas
wilayah
perikan
Indonesia
dari
sisi
fisik
terdiri
dari
;
a. Perairan Nasional seluas 3,1 juta km2 (Perairan Nusantara seluas 2.8 juta km2 dan
Laut
Teritorial
seluas
0,3
juta
km2)
b.
luas
ZEE(Exclusive
Economic
Zone)
sekitar
3,0
juta
km2.
Dari luas wilayah nasional 5,0 km2, lebih dari setengahnya merupakan perairan
dengan panjang garis pantai 81.000 km dan jumlah pulau sekitar 17.000 pulau.
Ditambah ZEEI, maka luas wilayah perikanan Indonesia mencapai 6,1 km2 yang
sesunguhnya merupakan suatu potensi yang tidak dimiliki banyak negara. Namun
demikian, atas potensi perikanan yang ada pada wilayah perikanan Indonesia

tersebut ternyata belum dimanfaatkan Indonesia secara optimal dan sebaliknya


Indonesia tengah dihadapkan pada sejumlah persoalan, termasuk masalah hukum
dan regulasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi perikanan Indonesia.
b. Pengaturan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Wilayah Perairan dan Zona
Ekonomi
Eklusif
Indonesia
Dan
Masalahnya.
Konsumsi ikan perorang pada tahun 1999 mencapai 16, Kg dan pada tahun 2003 ini
diperkiran mencapai 22,5 Kg persorang. Untuk waktu-waktu mendatang konsumsi
ikan perorang diperkiran akan terus meningkat. Dengan asumsi kebutuhan konsumsi
ikan perorang yang indikasinya terus meningkat, maka suatu yang sukar dihindarkan
adalah adanya kecenderungan negara-negara kepulauan atau negara pantai akan
melakukan eksploitasi sumber daya ikan secara besar-besaran. Dilain pihak soal
pencurian ikan diwilayah perairan dan pada ZEE suatu negara topik hangat diantara
negara-negara
kepulauan
pada
waktu
mendatang.
[newpage]
Menurut FAO sebagaimana kebutuhan ikan untuk pangan dunia tahun 2010 berkisar
antara 105-110 juta ton berat basah. Dalam hal ini Bambang Sulistiyarto (December
2002) mengemukakan, Peningkatan kebutuhan ikan terus meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk seperti yang dideskripsikan dalam table berikut:
Produksi
dan
Pemanfaatan
Perikanan
Dunia
PRODUKSI
1994
1995
1996
1997
1998
1999
(juta
ton)
Total
Perikanan
Dunia
112.3
116.1
120.3
122.4
117.2
125.2
Penggunaan
Konsumsi
manusia
79.8
86.5
90.7
93.9
93.3
92.6
Tepung
ikan
dan
minyak
32.5
29.6
29.6
28.5
23.9
30.4
Populasi
(miliar)
5.6
5.7
5.7
5.8
5.9
6.0
Konsumsi
ikan
Per
kapita
(kg)
14.3
15.3
15.8
16.1
15.8
15.4
Sumber
FAO
(2000)
Atas prediksi atas kebuhan ikan pangan tersebut, sinyalamen yang dikemukakan
Bambang Sulistiyarto, bahwa pengelolaan perikanan lestari akan menghadapi
tekanan yang kuat dari permintaan akan ikan untuk memenuhi kebutuhan pangan
manusia. Meskipun sumber daya perikanan merupakan sumber daya yang dapat
diperbaharui, apabila dieksploitasi secara berlebihan akan mengalami kehancuran.
Namun diluar menyoal akan terjadi eksploitasi sumber daya perikanan yang
berlebihan itu yang tidak kalah subtantifnya adalah berkenaan dengan pembentukan
dan penegakkan hukum dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
perikanan menjadi salah satu factor kuci dari kekhawatiran terjadinya kehancuran
sumber
daya
perikanan.
Dalam ruang lingkup pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan di
wilayah perairan Indonesia saat ini belum tersedia perangkat hukum yang memadai
dan tumpang tindih. Belum lagi bagaimana mengubah paradigma peraturan
perundang-undangan yang berjiwa sentralistik sehubungan dengan dengan otonomi
daerah dibawah UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Tidak disangkal
untuk persoalan adanya pemberian kewenangan kepada daerah dalam batas-batas
tertentu untuk mengelola potensi kelautan telah melahirkan konflik dan perdebatan
yang
panjang
yang
tidak
terlepas
dari
pro-kontra,
negatif-positif.
Dalam pandangan Son Diamar (2001) meskipun Pemerintah Pusat berniat baik dalam

memberikan wilayah laut kepada daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 UU


No. 22/1999, tampaknya hal tersebut dapat membahayakan persatuan dan kesatuan
negara
RI.
Masalahnya,
antara
lain:
(1). Tidak sesuai dengan filosofis laut sebagai perekat dan pemersatu sehingga tidak
seharusnya
boleh
dibagi-bagi;
(2). Secara teknis akan sulit, karena titik-titik koordinat dan garis-garis batas
memang dapat digambarkan pada peta, tetapi pada pelaksanaannya (di laut) tidak
mungkin jelas, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berakhir dengan
konflik;
(3). Pengertian yang benar mengenai batas dan berbagai implikasinya tidak mudah
dipahami,
baik
oleh
masyarakat
umum
maupun
oleh
pejabat.
Son Diamar (2001) selanjutnya mengemukakan, bahwa untuk mengantisipasi
pelaksanaan pasal 3 tersebut, yang dapat menyebabkan timbulnya konflik antar
daerah satu dengan lainnya, maka Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
mencoba menyiapkan pedoman penetapan batas-batas wilayah laut daerah. DKP
bekerjasama dengan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal), Dinas Hidro Oceanografi dan Survei (Dishidros) TNI-AL, dan
berkonsultasi kepada semua pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota yang
berbatasan dengan laut. Keperluan pedoman penetapan batas-batas wilayah laut
daerah itu tentu saja tidak terlepas dari adanya terjadinya spaning antara
pemerintah pusat dan pemerintah Daerah berkaitan dengan penyerahan urusan
pengelolaan laut kepada Propinsi, kota dan kabupaten yang secara sosiologis
berimbas pada kecenderungan masyarakat perikanan. Proses desentralisasi kelautan
masih terganjal karena adanya penafsiran yang berbeda antara pemerintah daerah
dan pemerintah pusat berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 dan pasal 10 ayat (2) dan
(3) UU No.22 tahun 1999. Dalam konteks ini, maka sudah selayaknya pemerintah
mengeluarkan peraturan perundangundangan setingkat Peraturan Pemerintah guna
memperjelas dan memberikan acuan bagi kewenangan Daerah di Wilayah Laut
dalam rangka pemberdayaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan
sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No.22 tahun 1999 kepada Daerah.
Terkait dengan persoalan desentralisasi kelautan itu, Son Diamar mengemukakan,
bahwa untuk memenuhi amanat pasal 10 UU No. 22 tahun 1999, DKP bekerja sama
dengan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dan anggota-anggota
Dewan Maritim Indonesia menyiapkan RPP tentang Kewenangan Daerah di Wilayah
Laut. Karena UU No. 22 tahun 1999 akan ditinjau kembali, antara lain mengenai pasal
3 dan pasal 10, RPP dimaksudkan untuk memberikan kewenangan daerah di wilayah
laut secara terbatas, yaitu hal-hal yang bersifat lintas dan berpengaruh terhadap
ekologi daerah besar, tidak akan ditangani oleh Pemerintah Daerah. Selebihnya,
pelaksanaan Otonomi Daerah di bidang kelautan dan perikanan adalah sebagaimana
yang telah ditetapkan dalam PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Propinsi dan pada masa yang akan datang akan mengalami beberapa
perubahan dengan diundangkannya UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
sebagai
pengganti
UU
No.22
Tahun
1999.
[newpage]
Persoalan desentralisasi kelautan tersebut, hanyalah satu contoh soal dari
permasalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dewasa
ini. Dalam lingkup yang lebih luas, persoalan pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya perikanan terkait dengan revisi peraturan perundang-undangan yang bersifat
sentralistik yang diperkirakan akan berbenturan dengan Otonomi Daerah, dan revisi
peraturan perundang-undangan yang sudah ada yang secara substansial
menempatkan wilayah perairan Indonesia sebatas jalur transportasi dan pertahanan

keamanan negara. Eksistensi peraturan perundang-undang dibidang perikanan yang


demikian tentu tidak sepenuhnya cocok dengan kebutuhan mendatang, disamping
pembetukkan peraturan perundang-undangan yang baru juga sesuatu yang
mendesak. Ini tentu saja apabila kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah dalam
bidang
kelautan
dan
perikanan
dapat
diwujudkan.
Pengaturan mengenai perikanan di Indonesia menjadi suatu hal merlukan skala
prioritas
berdasarkan
pada
;
Pertama, bila memang pemerintah Indonesia serius dan konsiten menempatkan
potensi perikanan dan kelautan sebagai harapan masa depan Indonesia.
Kedua, pengeloaan dan pemanfaatan potensi perikanan tidak hanya dapat dibentuk
dengan hanya mempertimbangkan kepentingan nasional, tetapi terdapat
kepentingan
internasional
baik
lansung
maupun
tidak
lansung.
Ketiga, globalisasi dan teknologi perikanan negara-negara maju dengan
memanfaatkan kovensi Hukum laut, potensi perikanan Indonesia akan mendatangkan
manfaatkan bagi negara lain ketimbang negera Indonesia, terutama di ZEEI.
Kebijakan pemerintah Indonesia dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi
perikanan diwilayah perikanan Indonesia, harus tumbuh secara simultan yang
setidak-tidaknya antara penyedian perangkat hukum berjalan seiring dengan
mengejar produksi perikanan. Mencermati keadaan sekarang ( sampai tahun 2003),
apabila kebijakan pemerintah dalam bidang perikanan tergoda untuk
melakukan eksploitasi dengan membiarkan pembangunan bidang hukum berjalan
dibelakang, maka kecenderungan yang demikian untuk jangka panjang merugikan
bagi negara kita. Apalagi bila keinginan untuk melakukan eksploitasi sumber daya
perikanan
itu
terdorong
oleh
karena:
a. Terjadinya pemanfaatan potensi perikanan di wilayah perikanan Indonesia,
terutama di ZEEI dimanfaatkan pihak asing melalui pencurian ikan (illegal fishing)
dan
penyalahgunaan
izin
penangkapan
(abuse
licensing).
b. Dari sekitar 7 ribuan izin operasi penangkapan ikan dan 70 % merupakan kapal
asing. Sebagai akibat dari operasi kapal asing , diperkirakan kerugian negara sudah
mencapai US $ 1,36 Milyar yang berupa kerugian akibat hilangnya fee, hilangnya
iuran ketrampilan tenaga kerja dan lost akibat subsidi BBM secara tidak lansung
(Media
Indonesia,
24
Juni
2001).
Makna yang tersirat dari terjadi illegal fishing dan abuse licensing, serta kerugian
akibat izin operasi penangkapan ikan yang sebagian besar kapal asing itu adalah,
bahwa betapa lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum dalam pengelolaan
dan pemanfaatan potensi Perikanan Indonesia. Disisi lain tidak tersedianya
pengaturan hukum yang responsive bagi pendayaan gunaan modal dalam negeri,
sehingga izin operasi pengkapan ikan tidak dimiliki kapal asing. Karena itu, jika
pemerintah menempatkan pencapai produksi perikanan sebesar 6.13 juta ton pada
tahun 2003 untuk mencapai devisa dari eksport hasil perikanan sebesar $ 3,2 milyar,
serta penyerapan tenaga kerja perikanan sebanyak 548 ribu orang, ia tentulah
sebatas pencapai target pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara. Upaya
ekspolitasi sumberdaya perikanan yang apabila diamati kecenderungan akan

meningkat dari tahun ke tahun, maka hal yang harus dihindarkan kehancuran
sumber daya perikanan sebagaimana halnya yang terjadi dengan sumber daya
dataran yang dulunya juga dipacu dan dieksploitasi habis-habisan. Jadi yang perlu
dilakukan adalah bagaimana penyedian suatu perangkat hukum dan pemberdayaan
pengawasan dan penegakkan hukum dalam pemanfataan sumber daya perikanan
sehingga pencurian ikan, penyalahgunaan izin penagkapan, penggunaan alat
tangkap yang dilarang dapat diminimalisasi. Dan pencapaian produksi perikanan
Indonesia baru berarti apabila target produksi itu berjalan seiring dengan
minimalisasi pencurian ikan dan penyalahgunaan izin penagkapan. Pencapai target
produksi perikanan Indonesia hanya memperperat kehancuran sumber daya
perikanan, apabila pencurian ikan dan penyalagunaan izin penagkapan dan
penggunaan alat tangkap yang dilarang, serta izin operasional tetap lebih dominan
dipegang
kapal
asing.
Artinya penting pengaturan hukum dalam pemanfaatan potensi perikanan Indonesia
itu dapat dikemukan sebagai satu contoh, bahwa pemicu lebih banyaknya kapal
asing yang memegang izin operasional penangkapan ikan di Indonesia bermula dari
pengaturan hukum, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 15 Tahun 1984 tentang
pengelolaan sumberdaya hayati di ZEEI. Perturan Pemerintah tersebut memberikan
kesempatan kepada orang atau badan hukum asing untuk melakukan penangkapan
ikan di ZEEI (Pasal 2 dan 3 PP No.15 Tahun 1984). Dampak dari ketentuan yang
memberikan kesempatan kepada orang atau badan hukum asing untuk melakukan
penangkapan ikan di ZEEI. Bila sebelum diundangkannya dan atau setelah dua tahun
PP No.15 Tahun 1984 jumlah kapal nasional lebih banyak dibanding kapal perikanan
asing, namun setelah itu terjadi lonjakan yang luar biasa kapal asing yang beroperasi
di
wilayah
perikanan
Indonesia.
Empat tahun setelah PP No.15 tahun 1984 diundangkan, jumlah kapal asing yang
beroperasi di Wilayah Perikanan Indonesia jumlahnya mencapai 992 buah yang pada
tahun 1986 hanya berjumlah 323 buah. Fakta dari meningkatkan tajamnya jumlah
kapal asing tersebut sebagai dampak dari diundangkannya PP No.15 tahun 1984
hanyalah sekedar contoh soal, betapa pentingnya factor pembentukan hukum dalam
bidang perikanan. Arti penting pembentukan dan pengaturan hukum itu makin sukar
dipungkiri apabila diperhatikan beberapa factor secara umum yang mendorong
terjadinya pemanfaatan tidak sah atas sumber daya ikan di Wilayah ZEEI
sebagaimana
dikemukakan
Muhamad
Sabri
(2002
sebagai
berikut;
Pertama, adanya kekosongan armada penangkapan di beberapa kawasan Indonesia,
misalnya di Laut Arafura, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi dan Laut Pasifik.
Kedua,
law
enforcement
yang
tidak
berjalan
sebagaimana
mestinya.
Ketiga, tidak lancarnya investasi akibat krisis ekonomi dan politik yang
berkepanjangan sehingga menimbulkan iklim ketidak pastian dalam berusaha
akibatnya
hanya
sedikit
kapal-kapal
yang
beroperasi
di
ZEEI.
Keempat, kondisi geografi perairan Indonesia yang memungkinkan terjadinya
pencurian
ikan
tanpa
mudah
dideteksi
(hit
and
run).
IV.

Kesimpulan.

Beberapa faktor umum terjadinya pemanfaatan tidak sah atas sumber daya ikan di
wilayah tersebut, khususnya di ZEEI, maknanya adalah bahwa soal pengaturan
hukum sesungguhnya sangat menentukan bagi pencapai tujuan pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya perikanan secara lestari dan berkesinambungan di


wilayah perikanan Indonesia. Dan dilain pihak pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya perikanan Indonesia hanya akan mendatang kehancuran dan pemasalahan
yang bedampak jangka panjang bila tidak tersedia perangkat hukum yang responsive
dan hanya sekedar mengejar target produksi nasional demi mengejar devisa***.

Anda mungkin juga menyukai