I. Pendahuluan.
Tidak ada negara bila tidak ada wilayah. Ini berarti eksistensi wilayah sangat penting bagi
suatu negara sebagaimana juga halnya dengan Negara Indonesia. Secara fisik wilayah suatu
negara dapat hanya berupa daratan saja atau berupa daratan dan lautan (perairan).
Sehingga dalam dalam perkembangannya kemudian dikenal negara-negara kepulauan dan
negara pantai.
Indonesia adalah negara kepulauan yang besar dan penting. Sebagai negara kepulauan,
maka jelas Negara Indonesia memiliki wilayah daratan dan lautan (perairan). Wilayah
perairan Indonesia berada diantara dan sekitar pulau-pulaunya, dengan luas kurang lebih
5.193.250 km2 terletak pada posisi silang antara dua benua, Asia dan Australia, dan antara
dua samudra Hindia dan Pasifik.
Sebelum tahun 1957 dalam menentukan luas perairan Indonesia berpatokan pada
Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie (Staatblad tahun 1939 No.442). Dalam
ketentuan Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939 itu
memuat 4 kelompok mengenai perairan Indonesia. Pertama, apa yang disebut dengan
de Nederlandsch Indische territoriale zee (Laut Teritorial Indonesia). Kedua,
apa yang disebut dengan Het Nederlandsch-indische Zeege bied, yaitu
Perairan Teritorial Hindia Belanda, termasuk bagian laut territorial yang terletak pada bagian
sisi darat laut pantai, daerah liar dari telu-teluk, ceruk-ceruk laut, muara-muara sungai dan
terusan. Ketiga, apa yang dinamakan de Nederlandsch-Indische Binnen Landsche
wateren yaitu semua perairan yang terletak pada sisi darat laut territorial Indonesia
termasuk sungai-sungai, terusan-terusan dan danau-danau, dan rawa-rawa Indoneasia.
Kempat, apa yang dinamakan dengan de Nederlandsch-Indische Wateren ,
yaitu laut territorial termasuk perairan pedalaman Indonesia (Pasal 1, Territoriale Zee en
Marietieme
Kringen
Ordonantie
(Staatblad
tahun
1939
No.442).
Pembagian wilayah perairan Indonesia yang didasarkan pada TZMKO itu berlansung sampai
tahun 1957 dan kemudian mengalami perubahan yang mendasar dengan adanya
Pengumaman Pemerintah tanggal 13 Desember 1957 yang popular dengan
Deklarasi Djuanda. Dengan Deklarasi Djuanda itu berintikan apa yang disebut
dengan Konsepsi Nusantara, dan kemudian melahirkan UU No.4 prp Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia. Sejak itu, maka pengaturan mengenai perairan Indonesia tidak lagi
berpedoman pada ketentuan hukum TZMKO yang merupakan produk hukum peninggalan
Belanda. Pengaturan perairan Indonesia setidaknya sudah dikembangkan dengan
berdasarkan pada konsepsi kepentingan nasional Indonesia. Terhadap hal ini, Frans E.Likadja
dan Daniel F Bessie (1985;23) mengemukakan, bahwa semua rumusan tersebut (rumusan
perairan dalam TZMKO-pen), terlebih bagian rumusan yang pertama (de Nederlandsch
Indische territoriale zee-pen) sama sekali tidak sesuai dengan hakikat perjuangan bangsa
dan cita-cita Proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari sejarah pengaturan hukum Perairan mengenai Indonesia itu menunjukkan bahwa
sistem wilayah perairan Indonesia telah mengalami perkembangan dan perubahan yang
sangat mendasar yang mempengaruhi perkembangan hukum laut internasional itu sendiri
yang pada gilirannya membawa perubahan terhadap system hukum laut internasional
diakhir abad 20 (Atje Misbach Muhjiddin; 1993:2).
Berkaitan dengan Konvensi Hukum laut 1982 itu Atje Misbach Muhjiddin (1993;6)
mengemukakan, bahwa lahirnya Konvensi Hukum Laut 1982 dimana Konsepsi Nusantara
yang berasal dari Pengemuman Pemerintah RI tanggal 13 Desember 1957 itu telah diakui
dan diterima sebagai bagian integral dari konvensi tersebut dan dimuat dalam Bab IV yang
berjudul Negara Kepulauan (Archipelagic States). Dan perairan yang terletak pada sisi dalam
dari garis pangkal kepulauan (Archipelagic baseline) disebut perairan kepulauan
(Archipelagic waters) yang di dalamnya masih dimungkinkan penarikan garis penutup
ditempat-tempat tertentu untuk menentukan perairan pedalaman.
Dengan demikian upaya untuk memahami apa yang maksud dengan wilayah perairan
Indonesia menjadi sangat penting bagi dunia perikanan Indonesia. Dikatakan demikian tentu
saja tidak terlepas dari beberapa pertimbangan yang mendorong pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah Perairan Indonesia;
1) Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia, sebagai suatu negara Kepulauan yang terdiri
dari beribu-ribu pulau, mempunyai sifat dan corak sendiri yang memerlukan pengaturan
tersendiri.
2) Bahwa bagi kesatuan wilayah (territorial) Negara Republik Indonesia semua kepulauan
serta laut yang terletak diantaranya harus dianggab sebagai suatu kesatuan yang bulat.
3) Bahwa penetapan batas-batas laut territorial yang diwarisi dari pemerintah kolonial,
sebagai termaktub dalam Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie 1939 Pasal 1
ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan, keselamatan, dam keamanan negara
Republik
Indonesia;
4) Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan
yang dipandang perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.
Dasar pentimbangan mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan terkaitannya dengan
masalah pengelolaan dan pemanfaatan potensi perairan atau sumber daya ikan Indonesia.
Tetapi dibalik pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah mengenai wilayah
perairan Indonesia itu, ia sekaligus menentukan bagi penetapan wilayah perikanan
Indonesia. Dalam hubungan ini perubahan lebar laut teriorial yang secara internasional
sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982, maka ada pegangan bagi negara berpantai
(termasuk Indonesia) untuk secara aman dapat memanfaatkan potensi perikanan atau
sumber daya ikan sesuai dengan kemampuan dan teknologi yang dimilikinya.
III. Wilayah Perikanan Indonesia dan Regulasi Bidang Perikanan.
Keperluan akan terciptanya pemahaman yang tepat terhadap perairan Indonesia itu pada
gilirannya sangat erat kaitannya dengan soal regulasi di bidang perikanan yang bukan
hanya menjadi kebutuhan pemerintah sebagai pengambil kebijakan, tetapi juga sangat
penting artinya bagi segenap pelaku dunia perikanan, termasuk bagi masyarakat diluar
masyarakat perikanan yang sesungguhnya juga berkepentingan.
Sebelumnya telah dikemukakan arti penting status dan kedudukan wilayah perairan
Indonesia bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, dan implikasinya terhadap pengelolaan
dan pemanfaatan potensi perikanan Indonesia. Persoalannya kemudian, apakah wilayah
perairan Indonesia itu sekaligus menjadi wilayah perikanan Indonesia ?
Dalam padangan hukum ternyata wilayah Perairan Indonesia tidaklah berarti sekaligus
diklaim sebagai Wilayah Perikanan Indonesia. Pasal 2 Undang-undang No. 9 Tahun 1996
Tentang Perikanan menyebutkan wilayah Perikanan Indonesia meliputi:
a. Perairan Indonesia;
b. Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya di dalam wilayah Republik
Indonesia;
c. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Sementara itu Pasal 3 UU No.6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia menyebutkan wilayah
Perairan Indonesia sebagai berikut;
a. Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, yaitu jalur laut selebar
12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
b. Perairan kepulauan yakni semua perairan yang ter-letak pada sisi dalam garis
pangkal lurus kepulauan tanpa mem-perhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai,
dan
c. perairan pedalaman, yaitu semua perairan yang ter-letak pada sisi darat dari garis
air rendah dari pantai-pantai Indo-nesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari
perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup
b.
Mempertemukan rumusan peraturan perundang-undangan terhadap Wilayah
Perairan Indonesia dan Wilayah Perikanan Indonesia dapat ditarik garis pembeda
yang jelas yaitu, bahwa wilayah perairan Indonesia hanyalah satu bagian dari
Wilayah Perikanan Indonesia. Wilayah perikanan Indonesia berdasarkan ketentuan
hukum, lebih luas dari pada wilayah Perairan Indonesia. Wilayah Perairan Indonesia
hanya 12 mil laut, sedangkan Wilayah perikanan Indonesia mencapai 200 mil laut
sejalan
dengan
ZEE
Indonesia).
Dengan masuknya ZEE Indonesia kedalam wilayah perikanan Indonesia, ia sekaligus
melahirkan adanya hak dan kewajiban Indonesia di dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan di ZEE dan di Perairan Indonesia. Seperti diketahui
keberadaan dan fungsi ZEEI dalam perspektif hukum laut pada hakikatnya tidak
sama, sekalipun ia sama-sama merupakan wilayah perikanan Indonesia.
a. Wilayah Perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eklusif Indonesia dalam Perspektif
Wilayah
Perikanan
Indonesia
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan ini merupakan landasan konstitusional
dan sekaligus arah bagi pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan sumber
daya
ikan.
[newpage]
Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan
Negara atas sumber daya ikan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat banyak dan oleh karenanya pemanfaatan sumber
daya ikan harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan, sekaligus
memperbaiki kehidupan nelayan dan petani ikan kecil serta memajukan desa-desa
pantai. Berpegang kepada pikiran dasar ini, maka perlu diambil langkah-langkah agar
para nelayan dan petani ikan yang sampai saat ini masih termasuk golongan yang
sangat rendah pendapatannya memperoleh kesempatan cukup untuk meningkatkan
kesejahteraannya
Negara Indonesia dan dengan kedaulatan penuh. Berlain dengan ZEEI yang secara
territorial tidak termasuk wilayah perairan Indonsia, dimana di ZEEI Negara Indonesia
hanya
mempunyai
dan
melaksanakan;
a. Hak Berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pengelolaan dan
konservasi sumber daya hayati (sumber daya perikanan) dan non hayati.
b. Yuridiksi yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau,
instalasi-instalasi, dan bangunan-bangunan lainnya; penelitian ilmiah mengenai
kelautan;
perlindungan
dan
pelestarian
lingkungan
laut.
c. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut
yang
berlaku.
Hak dan kewenangan Negara Indonesia di ZEEI tersebut dapat dikatakan terbatas
karena ZEEI pada prinsipnya merupakan jalur diluar dan berbatasan dengan laut
wilayah Indonesia yang sekarang sesuai dengan ketentuan UU No. 6 Tahun 1996
Tentang Perairan Indonesia. Dengan demikian yang terpokok dari ZEEI sebenarnya
berfungsi sebagai pendukung sumber daya perikanan di seluruh Perairan Indonesia
dan sekaligus merupakan potensi sumber daya perikanan yang harus dimamfaatkan
Indonesia dengan sebaik-baiknya. Dari segi kepentingan pembangunan nasional,
--khususnya di sector perikanan sumber daya alam hayati (sumber daya
perikanan)
di
ZEEI
memiliki
2
(dua)
fungsi
penting
yaitu;
a. Sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan secara lansung melalui kegiatan
penangkapan
ikan;
dan
b. Sebagai pendukung sumber daya alam hayati diperairan Indonesia.
Satu dan lain hal berupa adanya kondisi perairan di beberapa lokasi perairan
Indonesia yang memungkinkan untuk berupa dari/ke perairan yang berada dalam
hidupnya; dan adanya sifat dari beberapa jenis ikan yang sebagian atau seluruh
hidupnya memerlukan hidup berdampingan dengan beberapa jenis ikan lainnya yang
terdapat
diperairan
Indonesia.
Disisi lain diterimanya ketentuan tentang ZEE dalam konvensi PBB tentang Hukum
Laut berbasiskan pada tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara
pantai dan karenanya pemanfaatan sumber daya perikanan di ZEEI sudah
seharusnya diarahkan untuk mengembangkan usaha perikanan Indonesia.
Hukum telah memberikan kontribusi positif bagi perluasan wilayah perikanan
Indonesia melalui perjuangan panjang sampai puncaknya diakui masyarakat
internasional. Hasil perjuangan Indonesia pada saat ini secara juridis formal luas
wilayah
perikan
Indonesia
dari
sisi
fisik
terdiri
dari
;
a. Perairan Nasional seluas 3,1 juta km2 (Perairan Nusantara seluas 2.8 juta km2 dan
Laut
Teritorial
seluas
0,3
juta
km2)
b.
luas
ZEE(Exclusive
Economic
Zone)
sekitar
3,0
juta
km2.
Dari luas wilayah nasional 5,0 km2, lebih dari setengahnya merupakan perairan
dengan panjang garis pantai 81.000 km dan jumlah pulau sekitar 17.000 pulau.
Ditambah ZEEI, maka luas wilayah perikanan Indonesia mencapai 6,1 km2 yang
sesunguhnya merupakan suatu potensi yang tidak dimiliki banyak negara. Namun
demikian, atas potensi perikanan yang ada pada wilayah perikanan Indonesia
meningkat dari tahun ke tahun, maka hal yang harus dihindarkan kehancuran
sumber daya perikanan sebagaimana halnya yang terjadi dengan sumber daya
dataran yang dulunya juga dipacu dan dieksploitasi habis-habisan. Jadi yang perlu
dilakukan adalah bagaimana penyedian suatu perangkat hukum dan pemberdayaan
pengawasan dan penegakkan hukum dalam pemanfataan sumber daya perikanan
sehingga pencurian ikan, penyalahgunaan izin penagkapan, penggunaan alat
tangkap yang dilarang dapat diminimalisasi. Dan pencapaian produksi perikanan
Indonesia baru berarti apabila target produksi itu berjalan seiring dengan
minimalisasi pencurian ikan dan penyalahgunaan izin penagkapan. Pencapai target
produksi perikanan Indonesia hanya memperperat kehancuran sumber daya
perikanan, apabila pencurian ikan dan penyalagunaan izin penagkapan dan
penggunaan alat tangkap yang dilarang, serta izin operasional tetap lebih dominan
dipegang
kapal
asing.
Artinya penting pengaturan hukum dalam pemanfaatan potensi perikanan Indonesia
itu dapat dikemukan sebagai satu contoh, bahwa pemicu lebih banyaknya kapal
asing yang memegang izin operasional penangkapan ikan di Indonesia bermula dari
pengaturan hukum, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 15 Tahun 1984 tentang
pengelolaan sumberdaya hayati di ZEEI. Perturan Pemerintah tersebut memberikan
kesempatan kepada orang atau badan hukum asing untuk melakukan penangkapan
ikan di ZEEI (Pasal 2 dan 3 PP No.15 Tahun 1984). Dampak dari ketentuan yang
memberikan kesempatan kepada orang atau badan hukum asing untuk melakukan
penangkapan ikan di ZEEI. Bila sebelum diundangkannya dan atau setelah dua tahun
PP No.15 Tahun 1984 jumlah kapal nasional lebih banyak dibanding kapal perikanan
asing, namun setelah itu terjadi lonjakan yang luar biasa kapal asing yang beroperasi
di
wilayah
perikanan
Indonesia.
Empat tahun setelah PP No.15 tahun 1984 diundangkan, jumlah kapal asing yang
beroperasi di Wilayah Perikanan Indonesia jumlahnya mencapai 992 buah yang pada
tahun 1986 hanya berjumlah 323 buah. Fakta dari meningkatkan tajamnya jumlah
kapal asing tersebut sebagai dampak dari diundangkannya PP No.15 tahun 1984
hanyalah sekedar contoh soal, betapa pentingnya factor pembentukan hukum dalam
bidang perikanan. Arti penting pembentukan dan pengaturan hukum itu makin sukar
dipungkiri apabila diperhatikan beberapa factor secara umum yang mendorong
terjadinya pemanfaatan tidak sah atas sumber daya ikan di Wilayah ZEEI
sebagaimana
dikemukakan
Muhamad
Sabri
(2002
sebagai
berikut;
Pertama, adanya kekosongan armada penangkapan di beberapa kawasan Indonesia,
misalnya di Laut Arafura, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi dan Laut Pasifik.
Kedua,
law
enforcement
yang
tidak
berjalan
sebagaimana
mestinya.
Ketiga, tidak lancarnya investasi akibat krisis ekonomi dan politik yang
berkepanjangan sehingga menimbulkan iklim ketidak pastian dalam berusaha
akibatnya
hanya
sedikit
kapal-kapal
yang
beroperasi
di
ZEEI.
Keempat, kondisi geografi perairan Indonesia yang memungkinkan terjadinya
pencurian
ikan
tanpa
mudah
dideteksi
(hit
and
run).
IV.
Kesimpulan.
Beberapa faktor umum terjadinya pemanfaatan tidak sah atas sumber daya ikan di
wilayah tersebut, khususnya di ZEEI, maknanya adalah bahwa soal pengaturan
hukum sesungguhnya sangat menentukan bagi pencapai tujuan pengelolaan dan