Anda di halaman 1dari 6

1.

Pendahuluan
Penelitian ini berusaha untuk mengupas secara mendalam nilai-nilai budaya
masyarakat Madura yang merupakan aspek penting dalam kelangsungan usahanya di
berbagai belahan bumi nusantara, Indonesia. Metode penelitian etnografi dikombinasikan
dengan grounded theory data analysis akan menjelaskan bagaimana suatu budaya, etnik,
sejarah, dan politik dapat memberikan dampak yang sangat kuat terhadap perkembangan
perekonomian masyarakat Madura. Jauh sebelum masyarakat Madura, etnis China telah
memulai penjajahannya dalam lingkup perekonomian di Indonesia, yang hingga saat ini
lebih dekenal dengan cina keturunan. Terlepas dari lamanya waktu memulai usaha, saat ini
baik suku Madura maupun etnis China keturunan menjalankan usaha di situasi dan kondisi
yang sama, tapi faktanya etnis China keturunan bisa dibilang lebih sukses daripada suku
Madura. Haruskah ada perlakuan atau aturan khusus untuk menjadikan pengusaha Madura
menjadi sesukses etnis China keturunan, ataukah memang terdapat unsur budaya etnis
China keturunan yang berlandaskan ilmu akuntasi yang menjadi factor penentu kesuksesan
etnis China keturunan, dan tidak dimiliki oleh masyarakat madura. Terdapat beberapa
penelitian terdahulu baik secara langsung maupun tidak langsung yang membahas tema ini,
diantaranya Efferin & Hopper (2007), Devanty (2012), Ramadhan (2012).
2. Etnis dan Budaya Masyarakat Madura
Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur Pulau
Madura besarnya kurang lebih 5.250 krn^ (lebih kecil daripada pulau Bali), dengan
penduduk sekitar 4 juta jiwa. Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di
Indonesia jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulaupulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi : Raas. dan Kangean. Selain itu: orang Madura
banyak tinggal di bagian timur Jawa Timur biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari
Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo dan
Bondowoso. serta timur Probolinggo. Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang
bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara, serta sebagian Malang.
Disamping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi
ke wilayah lain terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, serta ke
Jakarta.Tanggerang.Depok.Bogor.Bekasi,dan sekitarnya. juga Negara Timur Tengah
khususnya Saudi Arabia. Beberapa kota di Kalimantan seperti Sampit dan Sambas, pemah
terjadi kerusuhan etnis yang melibatkan orang Madura. Orang Madura pada dasarnya
adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk

bertani. Orang Madura senang berdagang, terutama besi tua dan barang-barang bekas
lainnya. Selain itu banyak yang bekerja menjadi nelayan dan bumh.serta beberapa ada
yang berhasil menjadi.Tekonokrat.Biokrat.Mentri atau Pangkat tinggi di dunia militer.
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang
temperamental dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan
rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit
penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai
tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse
(sama dengan larung sesaji). Harga din juga paling penting dalam kehidupan orang
Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa angok pote tollang, atembang pote mata.
Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti ini
melahirkan tradisi carok pada masyarakat Madura.
3. Spesialisasi Antropologi Ekonomi Pada Masyarakat Madura
Sejarah nasional Indonesia menunjukkan bahwa dari semula perkembangan
kebudayaan dan peradaban orang Madura menapaki lintasan yang sama seperti
kebanyakan suku-suku bangsa Indonesia yang lain. Laju kemajuannyapun beranjak dengan
kecepatan yang selaras dengan suku-suku bangsa disekitarnya, hanya saja faktor
lingkungan yang kurang mendukung telah menyebabkan terjadinya perbedaan hasil yang
dicapai. Masyarakat Madura sedang berjuang keras mencoba bertahan ditengah derasnya
gejolak arus modernisasi oleh gencarnya invasi budaya dan peradaban barat, serta
menggebunya upaya menyatukan pasar dunia melalui gerakan globalisasi.
Terkait dengan antropologi ekomnomi masyarakat Madura bergantung pada
bidang pertanian sebagai mata pencaharian yang dikerjakan bersama-sama oleh kaum pria
dan wanita Madura seperti suku-suku bangsa Indonesia lainnya. Mereka bertanam padi di
sawah tadah hujan atau sawah beririgasi yang umumnya diselingi dengan palawija dan
jagung. Waktu terluang ketika proses bertani, mereka membuat barang-barang kerajinan
seperti menganyam tikar, memintal tali, membuat gula siwalan atau menyabit rumput
untuk ternak. Di musim kemarau, beberapa daerah tertentu menanam tembakau secara
besar-besaran (sehingga lahannya mencapai 20% luas areal pertanaman tembakau seluruh
Indonesia) untuk keperluan industri rokok kretek. Para petani yang sangat mengandalkan
hujan, memaksa mereka untuk mencari mata pencaharian lain ketika musim kemarau
seperti berternak sapi, menangkap ikan, dan pembuat garam, berdagang dan menjadi guru
dipesantren.

Sapi di Madura dimanfaatkan untuk membajak dan menarik pedati,


diperjualbelikan sebagai sapi potong, dijadikan tabungan dan sarana rekreasi (karapan)
serta status simbol (Smith 1989, Sudagung 1984/2001: 55). Akibat isolasi alam dan
pengaruh lingkungan, sapi Madura (mamiliki darah banteng atau sapi Bali, sapi zebu, dan
sapi Brahman serta sapi Jawa, dianggap sebagai trah atau ras asli Indonesia. Oleh karena
itu sejak dulu, kemurnian trah itu dijaga dengan jalan melarang sapi lain masuk Madura. Di
Pulau Sepudi, pengusaha sapi sangat umum terutama untuk menghasilkan anak sapi yang
dipasarkan ke Sumenep. Orang Madura merupakan peternak yang fanatik sehingga sering
dikatakan lebih sayang sapi dari pada anak istri. Kesungguhan memelihara ternak sapi
diperlihatkan pula oleh contoh kasus kesedian mereka untuk bersusah payah setiap hari
naik feri menyebrang dari Kamal ke Surabaya hanya untuk menyabit rumput dimusim
kemarau (Bakir dan Badil 2001). Selain sapi, peternak Madura mengusahakan kambing,
domba berekor gemuk dan unggas.
Menjadi nelayan merupakan mata pencaharian hidup terpenting orang
Madura yang hidup di daerah pesisir. Kegiatan menagkap ikan di laut merupakan
pekerjaan yang hanya dilakukan oleh kaum pria, yang menyerahkan hasil tangkapannya
pada kaum wanita di pantai untuk ditangani dan diproses selanjutnya (Koesnoe 1976: 48,
Jordaan 1985: 21). Hasil tangkapan nelayan Madura antara lain : ikan layang, kakap
merah, teri, kembung, cakalang dan tengiri yang semua dijual segar, dipindang atau
dikeringkan, dengan hasil samping berupa terasi dan petis. Industri perikanan merupakan
kegiatan yang sangat padat karya sehingga tidak hanya melibatkan keluarga nelayan yang
melaut. Hampir 25%, volume komoditas ikan yang diperjualbelikan dipusat pasar ikan
kering nasional di Bogor konon dipasok oleh nelayan Madura.
Angin pasat yang bertiup di pantai selatan Madura dari dulu menggalakkan
pembuatan garam yang dikerjakan penduduk di musim kemarau. Keterkenalan Madura
sebagai penghasil garam semakin dimapankan karena dulu diseluruh wilayah Hindia
Belanda produksi di monopoli oleh pemerintah kolonial dan hanya boleh dibuat di Madura.
Setelah monopoli pemerintah itu dicabut dijaman kemerdekaan bayak orang Madura yang
menggantungkan hidupnya dari bertani garam.
Berdagang bagi orang Madura adalah penting, dikerjakan oleh pria dan wanita baik
di Madura maupun dirantau. Mereka menjual hasil produksinya ke daerah lain dan
mendatangkan komoditas yang tidak tersedia di Madura. Sebagai pedagang mereka
terkenal ulet yang mau memperdagangkan apa saja seperti : sate Madura, soto Madura,
bubur kacang hijau dan ketan hitam Madura yang tersebar luas di kota-kota Indonesia.

Dalam dasawarsa terakhir, keuntungan yang diperoleh pedagang Madura dirantau dipakai
untuk membuat rumah yang bagus dan mendirikan masjid yang indah.
Menjadi guru, terutama guru agama yang memiliki pesantren, merupakan pekerjaan
yang sangat terpuji di mata orang Madura. Kedudukan seorang kyai haji sebagai guru
agama jaun lebih terhormat dibandingkan dengan pejabat yang menguasai daerah serta
pamong yang mengayomi rakyat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika banyak juga
kaum cerdik cendekiawan Madura yang merasa terpanggil untuk menjadi guru sekolah
ataupun dosen di perguruan tinggi. Tidak sedikit dari mereka yang berhasil diangkat
sebagai guru besar perguruan tinggi nasional bahkan dipercayai menjadi rektornya
sekaligus.
Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, pemerintah Indonesia merupakan
pemberi kerja terbesar sehingga banyak juga orang Madura yang memilih menjadi pegawai
negeri, tentara ataupun polisi. Yang terbaik di antara mereka ada juga yang berhasil
mencapai kedudukan, pangkat dan jabatan tertinggi yang dimungkinkan. Selain itu dalam
beberapa dasawarsa terakhir banyak juga tenaga kerja Madura yang menjadi pekerja
bangunan, industri rumah tangga dan di pabrik-pabrik dari yang paling sederhana sampai
ke industri berbasis teknologi nuklir baik di dalam maupun di luar negeri.
4. Etos Kerja dan Hakekat Karya Masyarakat Madura
Etos kerja orang Madura terhitung tinggi karena secara naluriah bagi mereka
merupakan bagian daripada ibadahnya sesuai dengan ajaran islam yang dianut. Oleh orang
Madura tidak ada pekerjaan yang bakal dianggapnya berat, kurang menguntungkan atau
hina selama kegiatannya bukan tergolong maksiat. Kesempatan bisa bekerja bisa
dianggapnya sebagai rahmat Tuhan sehingga pekerjaan merupakan panggilan hidup yang
akan ditekuni sepenuh hati. Sebagai akibatnya orng Madura tidak takut kehilangan tanah
atau hartanya akan tetapi mereka takut kehilangan pekerjaannya (Kuntowijoyo. 1980/2002:
592). Salah satu ciri orang Madura yang sangat mengesankan orang luar memang
menyangkut kerajinan, kesungguhan serta kemauannya bekerja keras membanting tulang
dalam mencari rezeki.
5. Sistem Kekerabatan
Dalam masyarakat Madura, ikatan kekerabatan terbentuk melalui garis keturunan,
baik dari keluarga berdasarkan garis ayah maupun garis ibu (paternal and maternal
relatives). Pada umumnya, ikatan kekerabatan antarsesama anggota keluarga lebih erat dari
garis keturunan ayah sehingga cenderung "mendominasi". Ikatan kekerabatan orang

Madura mencakup sampai empat generasi ke atas (ascending generations) dan ke bawah
(descending generations) dari ego.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga
atau kerabat (kinsmen), yaitu:
1.

Taretan Dalem (kerabat inti atau core kin),

2.

Taretan Semma' (kerabat dekat atau close kin), dan

3.

Taretan Jau (kerabat jauh atau peripheral kin).


Di luar ketiga kategori ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau "bukan
saudara". Dalam kenyataannya, meskipun seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar
tetapi bisa jadi hubungan persaudaraannya lebih akrab daripada kerabat inti, misalnva
karena adanya ikatan perkawinan atau kin group endogamy.
Hubungan sosial yang sangat akrab da pat pula dibangun oleh orang Madura
dengan orang-orang di luarlingkungan kerabat tanpa memperhatikan asal-usul kelompok
etnik. Biasanya hubungan sosial itu selain didasarkan pada adanya kesamaan dalam
dimensi primordial, tidak jarang teqadi juga karena faktor kesamaan kepentingan di bidang
ekonomi dan politik. Bila kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan yang sangat
akrab, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat (taretan).
Sebaliknya, ada kalanya anggota keluarga (taretan termasuk taretan ereng) justru dianggap
dan diperlakukan sebagai oreng (bukan keluarga atau kerabat) jika kualitas hubungan
kekerabatannya sangat rendah, misalnva karena adanya perselisihan tentang harta warisan.
Dalam ungkapan Madura, hal yang demikian disebut oreng daddi taretan. taretan daddi
oreng. Artinya. orang lain yang bukan keluarga da pat dianggap sebagai saudara,
sebaliknya saudara sendiri da pat dianggap sebagai bukan keluarga. Dalam konteks ini,
unsur kekerabatan orang Madura mengandung makna inklusivitas sehingga memberi ruang
bagi terwujudnya integrasi sosial dengan kelompok etnik lain.
6. Metode Penelitian

Daftar Rujukan
Efferin, S. Hopper, T. 2007. Management control, culture and thnicity in a Chinese
Indonesian company. Accounting, Organizations and Society 32 (2007) 223262
Devanti, A. Pudhi. 2012. UKM Indonesia vs Pedagang Tionghoa di Indonesia. Jurusan
Akuntansi Universitas Negeri Surabaya, Surabaya

Paryanto. Metode Penelitian Kualitatis: Graunded Treory Approach. WordPress.com.


diakses tanggal 7 Mei 2015.
Ramadhan, A. Wahyu. 2012. Pengaruh Dimensi Nilai Budaya Terhadap Dimensi Nilai
Akuntansi. Skripsi. Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Universitas Diponegoro
Semarang
http://arifsae.blogspot.com/2013/01/perubahan-sosial-suku-madura.html
https://sangkalafatamorgana.wordpress.com/2013/07/01/antropologi-ekonomi-masyarakatmadura/
http://memoforus.blogspot.com/2010/01/sistem-kekerabatan.html

Anda mungkin juga menyukai