Anda di halaman 1dari 16

PEMBEDAHAN KRANIAL FOSA POSTERIOR

Tengkorak dibagi menjadi fosa kranii anterior, tengah dan posterior.


Bagian anterior dan tengah terdapat korteks serebri dan dipisahkan dengan bagian
posterior oleh tentorium.
Bagian fosa posterior terutama terdiri atas serebelum dan batang otak yang sangat
penting untuk kontrol respirasi, tekanan darah, denyut jantung; dan bagian ini dilindungi
oleh dinding tulang temporal di bagian anterior dan di posterior oleh tulang oksipital
meluas ke struktur otot servikalis. Proses patologi di supratentorial akan mengelilingi
korteks serebri dan sekitarnya, dimana proses patologi dari fosa posterior akan
melibatkan serebelum, batang otak dan nervus cranial dibawahnya serta bagianbagian yang disekitarnya.

Abnormalitas fosa posterior


Anomali kongenital
Biasanya terlihat saat lahir atau segera sesudahnya dan biasanya memberi efek
lambat yang mungkin saja memerlukan tindakan pembedahan.
Syringomyelia (syringobulbia) dan Arnold-Chiari malformation dapat terjadi dengan
gejala-gejala sakit kepala, vertigo, kelumpuhan saraf cranial, ataksia, dan hidrosefalus
pada remaja atau pasien yang lebih tua. Pembedahan untuk lesi ini terdiri dari operasi
daerah suboksipital , dan pada kasus Arnold-Chiari malformation lebih sering dilakukan
dekompresi tulang dengan laminektomi pada level vertebra I-II dan diseksi di sekitar
tonsil. Konstriksi dural dan jaringan ikat dapat menyebabkan terjadinya kerusakan.
Prosedur dilakukan dengan posisi telungkup dan Mikroskop bedah merupakan alat
bantu yang penting. Penyulit yang timbul post operatif adalah kegagalan respirasi
(apnea).
Tumor
Prosedur bedah saraf untuk tumor yang timbul di fosa posterior melibatkan tumor yang
intra-axial, yaitu bagian dari substansi otak itu sendiri, dan tumor ekstra-axial yang
muncul dari nervus cranial dan pembungkus otak tetapi merupakan bagian ekstrinsik
dari substansi otak.
Mayoritas tumor intra-axial, berasal dari kelainan primer saraf, terjadi pada anak-anak.
Pada orang dewasa, tumor dari tempat asal terpencar secara hematogen dan sering
menuju daerah serebelum. Tumor primer fosa posterior dapat dibedakan menjadi
tumor yang mengenai serebelum, tumor yang mengenai ventrikel IV, tumor yang
mengenai batang otak. Usia pasien dan lokasi tumor dapat dipakai untuk memprediksi
patologinya.
Pendekatan bedah untuk tumor hemisfer serebelar tergantung dari patologi. Serebelar
satrocytoma, hemangioblastoma dan serebelar sarcoma yang biasanya ditemukan
lebih dominan pada hemisfer serebelar, merupakan tumor yang metastase. Pasienpasien selalu mengalami kesulitan cara berjalan dan tanda-tanda peningkatan TIK
karena obstruksi aliran LCS, khususnya di ventrikel IV dan akuaduktus. Gejala yang
terjadi yaitu sakit kepala, mual, muntah dan letargi progresif.
Lebih sering pada anak-anak, peningkatan TIK menyebabkan papiledema dan
gangguanpenglihatan seperti pembesaran bintik buta tanpa perubahan ketajaman

penglihatan. Selanjutnya dapat terjadi kelumpuhan motorik ekstraokuler. Saraf ke VI


yang berjalan panjang melintasi intracranial, mudah mengalami tekanan traksi.
Pembedahan dapat dilakukan untuk menghilangkan tekanan ini. Pasien dengan
hidrosefalus berat, dapat dilakukan VP shunt sebagai tindakan definitive.
Persiapan preoperative termasuk pemberian steroid, dexametasone 4-6 mg 6x sehari.
Kadang-kadang, drainase ventricular eksternal (VED) dapat dilakukan dengan
memasukkan kateter ke ventrikel lateral, dan pipa kateter dimasukkan subkutaneus
dibawah kulit kepala dan leher untuk meminimalkan infeksi.
Pada sebagian besar kasus memilih posisi duduk yang dimodifikasi, sehingga
memberikan area operasi yang baik untuk bagian suboksipital, memungkinkan kepala
diangkat dan menurunkan tekana vena, dan dengan gravitasi akan memudahkan aliran
darah dan LCS. Pada neonatus, posisi duduk sulit dilakukan karena itu dapat di
posisikan supine dan diganjal dengan handuk gulung dibelakang leher sehingga bisa
fleksi. Untuk lesi daerah lateral serebelar dan sudut serebelopontin, dapat diposisikan
lateral dekubitus atau park bench. Posisi ini secara teori mengurangi risiko emboli
udara dan dapat dipakai pada geriatri.
Seringkali dilakukan insisi kecil di parasagital oksipital kanan dan burr hole dan
diperluas ke bawah sampai dura. Jika VP shunt tidak dapat dilakukan segera pada
hidrosefalus, maka dapat dikeluarkan LCS melalui ventrikel lateral kanan. Pendekatan
bedah melalui insisi midline diperluas ke cervical posterior. Otot suboksipital di insisi di
midline, memperlihatkan tulang oksipital, lamina tulang servikal vertebra 1 dan 2.
Selama pembedahan, derah operasi harus tetap basah agar dapat diawasi terjadinya
emboli udara yang sering terjadi jika sinus venosus dan kanal-nya terbuka.
Lamina vertebra servikal 1 diangkat jika terbukti ada herniasi tonsiler. Burr hole dapat
dilakukan di bagian suboksipital dan diperluas menjadi kraniektomi. Jika tulang diangkat
dan diperluas ke lateral sampai sinus mastoid maka paparan vena-vena di area mastoid
akan memungkinkan terjadi emboli udara. Karena itu area operasi harus tetap basah
dan digenangi cairan.
Setelah extirpasi tumor dan tercapai hemostasis yang adekuat dengan koagulan
bipolar, maka ventrikel IV akan kelihatan dan jalur LCS terbuka mengalir ke
akuaduktus dan fosa posterior. Ahli anestesi dapat meningkatkan tekanan vena dengan
menambah PEEP atau stimulasi maneuver Valsava untuk menguji hemostasis adekuat.
Tumor intraaxial mengenai ventrikel IV terdiri dari glioma, ependymoma,
medulloblastoma, dan sarcoma serebelar. Kadang-kadang kelainan congenital seperti
dermoid dapat juga terjadi. Tumor-tumor ini biasanya muncul saat kanak-kanak, jarang
karena metastase. Lesi di dalam dan sekeliling ventrikel IV memberikan tanda
peningkatan TIK seperti letargi, gangguan kesadaran, bradikardi, hipertensi.
Tumor batang otak biasanya astrositoma dengan beberapa derajat keganasan. Sering
pada anak-anak, tetapi dapat muncul pada berbagai usia. Gejalanya yaitu kombinasi
gangguan serebelar (ataxia), deficit nervus cranial (mengenai nervus cranial bawah)
dan kekakuan tungkai. Dapat terjadi hidrosefalus yang tiba-tiba hanya dalam beberapa
bulan. Diagnosis dilakukan foto radiologi CT scan atau MRI.
Tumor ekstraaxial yang mengenai fosa posterior, terutama jenis meningioma dan
neuroma saraf cranial. Tumor yang mengenai pineal juga ekstraaxial dan mengenai
fosa mediana maupun fosa posterior. Preoperatif pasien-pasien ini tidak menunjukka

gejala akut, hidrosefalus terjadi dalam berbagai derajat dan dapat diobati dahulu
dengan steroid dan obat diuretic osmotic.
Indikasi operasi untuk lesi ekstraaksial fosa posterior yaitu adanya abnornalitas
neurologi yang progresif, seperti deficit saraf VIII ( tuli dan tinnitus) dan saraf VII, deficit
serebelar yang berhubungan dengan nervus akustikus (kelumpuhan fasial ipsilateral).
Hidrosefalus obstruktif dapat terjadi dan gejala2 kompresi saraf lainnya.
Tumor nervus akustik terletak di sudut serebelopontin, bagian lateral serebelum.
Pendekatan operasi melalui posisi duduk atau lateral dekubitus. Pendekatan melalui
telunga tengah transmastoid dapat dilakukan pada tumor-tumor yang kecil.
Tujuan pembedahan adalah pengangkatan komplit dari tumor dengan tetap
mempertahankan saraf VII dan bagian koklear dari saraf VIII. Diseksi tumor di batang
otak dapat menyebabkan gangguan pola pernapasan jika pasien bernapas spontan
saat operasi. Ada beberapa argument tentang untung rugi nafas spontan atau kontrol,
tetapi dianjurkan nafas kontrol agar memberikan oksigenasi lebih baik, menurunkan TIK
dan mencegah refleks gasping pada emboli udara.
Kompresi Saraf
Dandy dan selanjutnya Jannetta, membuktikan bahwa kompresi vaskuler pada daerah
masuknya akar saraf dari beberapa saraf cranial dapat menyebabkan sindrom disfungsi
saraf cranial. Terkenal salah satunya yaitu Neuralgia Trigeminal. Spasme hemifasial
juga menunjukkan adanya kompresi saraf ke-VII pada daerah keluar akar saraf. Pada
kasus kompresi saraf ke-V, ini melibatkan pemotonganlengkung vaskuler, biasanya
lengkung arteri serebelar superior atau arteri serebelar anterior inferior, walaupun
cabang vena besar juga terlibat. Setelah arteri di potong dari saraf, sebagian otot atau
material lainnya ditempatkan diantara saraf dan arteri, untuk mencegah kompresi
selanjutnya. Indikasi operasi dilakukan apabila terdapat disfungsi saraf yang terkena.
Pada kasus kompresi saraf ke-V, dilakukan operasi jika neuralgia trigeminal tidak hilang
dengan pemberian tegretol, analgesic atau difenilhidantoin.
Neuralgia glosofaringeal dapat berakibat kompresi saraf ke-IX dan beberapa keadaan
hipertensi yang berhubungan dengankompresi pada saraf ke-X sebelah kiri. Prosedur
dekompresi saraf IX mirip dengan saraf V. Prosedur biasanya dilakukan pada posisi
duduk, dilakukan kraniektomi kecil dengan pemotongan secara makroskopik pada
saraf cranial yang masih berfungsi dan dipisahkan dari kompresi vaskuler di
sekelilingnya.
Lesi Vaskuler
Lesi vaskuler multipel dapat terjadi pada fosa posterior dan termasuk malformasi arteri
venous, aneurisma dan prosedur revaskularisasi yang melibatkan pembuluh darah
pada sirkulasi posterior. Pasien diposisikan setengah duduk untuk operasi ini, walaupun
untuk lesi tertentu diposisikan lateral dekubitus.
Malformasi vena Gallen jarang terjadi tetapi merupakan masalah yang sulit dan akan
dibahas pada bab.13. Perdarahan spontan serebelar sering ditemukan di struktur
nuclear dalam dari thalamus dan ganglia basalis. Jika terjadi pada nucleus dentatus
dan terjadi peningkatan TIK maka akan mengganggu kesadaran. CT scan dan MRI
merupakan alat diagnostic yang terbaik. Beberapa pasien yang tetap sadar dapat
mentoleransi perdarahan yang ada di serebelum dan dapat ditangani secara konservatif

dengan observasi yang ketat. Pasien dengan tanda obstruksi aliran ventrikuler dan
depresi berat pada tingkat kesadarannya, memerlukan evakuasi hematom segera.
Pasien pasien seperti ini dapat mengalami hipertensi dan gangguan berat pada
kemampuan respirasi. Intubasi harus segera dilakukan dan segera dibawa ke ruang
operasi. Jika kondisinya stabil, pasien dapat diposisikan setengah duduk setelah alatalat monitor yang diperlukan terpasang. Pada pasien dengan kondisi pre-operatif yang
jelek, operasi dapat dilakukan dengan posisi lateral dekubitus atau tengkurap/prone.
Seringkali daerah operasi yang diperlukan minimal, melibatkan insisi paramedian
suboksipital dan pendekatan unilateral terhadap hemisfer serebelar. Hematom dapat
dievakuasi melalui insisi kecil pada serebelum, sering tanpa reseksi jaringan serebelar.
Pasien-pasien ini biasanya memerlukan bantuan pernapasan untuk beberapa hari
sampai kesadarannya kembali dan fungsi pernapasan berjalan baik.
Lesi Infeksi
Kondisi pre-operatif pasien ditentukan oleh ada tidaknya infeksi ditempat lain dalam
tubuh. Kondisi ini dikendalikan oleh penggunaan antibiotic dan keadaan umum pasein.
Gejalanya dapat berupa peningkatan TIK dan hidrosefalus. Jika penyebabnya
diketahui, pasien seharusnya diobati dengan antibiotic sebelum pembedahan. Abses
fosa posterior dapat mengenai serebelum dan paling sering berasal dari perluasan
infeksi sinus mastoid. Penyebab infeksi lain yaitu tuberculosis dan infeksi parasit.

Pendekatan Operatif
Pendekatan terhadap struktur fosa posterior sangat unik, berbeda dengan teknik
operasi otak lainnya. Daerah operasi yang kecil dan pergerakan yang terbatas sehingga
posisi pasien dan teknik operasi mikroskopik sangat menentukan. Lesi intra-axial
melibatkan batang otak dan serebelum sebagai area kritis yang mengontrol fungsi
respirasi dan tekanan darah sehingga harus dimonitor ketat.
Suboksipital Posterior
Pendekatan yang paling sering terhadap operasi fosa posterior yaitu langsung melalui
tulang oksipital. Pendekatan ini dengan beberapa modifikasi, memungkinkan
pendekatan langsung secara posterior atau lateral pada satu atau beberapa sisi
serebelum. Pendekatan suboksipital posterior member akses langsung ke serebelum,
ventrikel IV, daerah batang otak dan ke arah lateral yaitu sudut serebelopontin dan saraf
cranial. Juga memungkinkan paparan ke arteri vertebral dan ke arteri basilar bagian
bawah. Kontroversi terjadi sehubungan dengan posisi yang optimal untuk pembedahan
fosa posterior-- suboksipital, dominan ke midline--. Dukungan terhadap posisilateral
dekubitus atau posisi prone penuh dikemukakan dengan harapan dapat mengurangi
komplikasi sehubungan dengan operasi posisi duduk. Komplikasi yang dapat terjadi
yaitu emboli udara vena (VAE), emboli udara arteri (AAE), quadriplegia dan instabilitas
kardiovaskuler.
Pada anak-anak, posisi duduk tidak dianjurkan. Oleh karena itu dipilih posisi prone
dengan kepala fleksi atau posisi lateral dekubitus. Pada kedua kasus, kepala harus
diangkat untuk meningkatkan aliran vena.

Transtentorial
Untuk pendekatan subtemporal transtentorial ke fosa posterior yaitu dengan
memposisikan pasien lateral dekubitus dengan kepala diangkat 15 o. Kulit kepala dan
tulang temporal diangkat untuk memperlihatkan lobus temporal otak, dimana lobus
temporal akan ditarik ke atas dan tentorium terlihat kemudian di insisi. Pendekatan ini
menguntungkan karena memberi akses mudah ke daerah lesi yang mungkin berada
diatas atau dibawah tentorium, seperti meningioma. Pendekatan ini juga member
kemudahan untuk eksplorasi batang otak anterior, termasuk arteri basiler, dan
digunakan untuk pendekatan tumor-tumor sudut serebelopontin, memberi visualisasi
yang baik untuk saraf kranial V, VII dan VIII.
Emboli
Pendapat untuk tetap memakai posisi duduk karena tidak ada bukti bahwa posisi
duduk menentukan outcome dari prosedur pembedahan. Pada lebih dari 400 kasus,
terpeliharanya saraf cranial, rendahnya insiden infark miokard dan penurunan
kehilangan darah lebih sering terjadi pada posisi duduk dibanding posisi horizontal.
Walaupun kejadian VAE lebih tinggi pada pasien dengan posisi duduk, tetapi tidak ada
morbiditas atau mortalitas yang terjadi pada pasien-pasien tersebut. VAE dapat muncul
pada posisi lateral, prone atau supine. Walaupun ahli bedah saraf dapat memilih posisi
operasi yang diinginkan, tetapi ahli anestesi bertanggungjawab mencegah AAE, yang
merupakan kejadian katastrofik. Secara medikolegal konsekuensinya aneatesiolog
berperan aktif dalam menentukan posisi yang sesuai.
Beberapa ulasan kasus AAE menunjukkan angka kematian >70%. Pada otopsi hanya 2
dari 5 pasien yang mati ditemukan memiliki foramen ovale yang utuh. Sedangkan yang
3 lainnya tidak memiliki defek septal jantung. Percobaan selanjutnya melaporkan aliran
udara transpulmoner menuju sirkulasi sistemik menunjukkan bahwa semua pasien
berisiko untuk terjadi emboli udara paradoksikal. Sekitar 30% populasi memiliki hasil
pemeriksaan foramen ovale utuh, dan gradient tekanan transatrial dapat berlawanan
pada posisi duduk atau dengan maneuver Valsava, risiko emboli udara paradoksikal
dapat meningkat.
Tabel 9.1 menunjukkan hubungan mortalitas karena VAE sangat rendah. Diagnosa dini
dan pengobatan terbukti menurunkan resiko VAE yang berat. Laporan VAE antara
tahun 1952-1976 memperkenalkan Doppler ultrasound dan memberi pengertian terbaru
bahwa VAE sebagai masalah klinis utama pada pasien dengan posisi duduk. Pada
studi terbaru, morbiditas dan mortalitas sehubungan dengan keduanya baik VAE
maupun MAE sangat rendah, tetapi kejadian ini dapat dipicu oleh maneuver Valsava
intra operatif. Deteksi VAE dan AAE dapat dilakukan juga dengan Ekhokardiografi 2
dimensi.
Quadriplegia
Penyebab quadriplegia midservikal dan sindrom central cord, yang mengikuti
pembedahan dengan posisi duduk mungkin bervariasi tiap pasien. Penyebab yang
mungkin, termasuk kanalis servikalis yang menyempit oleh karena osteoarthritis,
reduksi intraoperatif pada aliran medulla spinalis karena hipotensi, atau posisi leher
yang ekstrim dengan hipoperfusi relatif pada medulla spinalis. Studi membuktikan

bahwa spondilosis servikalis terdapat pada 50% pasien diatas usia 50 tahun dan 75%
pasien diatas usia 65 tahun.
Komplikasi dilaporkan sangat jarang, mungkin karena peningkatan evaluasi pre-operatif
terhadap tulang servikal atau modifikasi posisi ekstrim yang dipakai sebelumnya.
Perfusi medulla spinalis juga dipertahankan dengan baik karena pengawasan langsung
pada tekanan arteri di oksiput atau pengukuran tak langsung pada tekanan darah untuk
menggambarkan tekanan actual dari serabut servikalis.
Semua laporan tentang quadriplegia terjadi setelah pembedahan dengan posisi duduk.
Onset quadriplegia hampir tidak mungkin dikenali dan dicegah tanpa pemantauan
bangkitan potensial pada somatosensorik atau motorik.
Komplikasi kardiopulmoner
Risiko kardiorespiratori dan masalah sehubungan dengan hipotensi dapat dikurangi
dengan posisi lateral atau prone.

Tehnik
Beberapa tehnik dipakai sebagai pendekatan untuk lesi fosa posterior
Posisi duduk
Saat ini dihindari untuk operasi dengan posisi duduk, jika memang tindakan operasi
mengharuskan posisi ini maka dianjurkan harus dilakukan pemasangan kateterisasi
arteri pulmonal terlebih dahulu. Jika tekanan pada jantung kanan meningkat lebih
besar dari sebelah kiri, maka resiko terjadinya AAE semakin meningkat. Banyak ahli
anestesi dan ahli bedah saraf yang berpengalaman berpendapat bahwa monitor via
kateter arteri pulmonal tidak terlalu penting untuk keberhasilan outcome pada
prosedur dengan posisi head-up.
Saat induksi anestesi, kepala pasien diposisikan pada alat penahan kepala Mayfield.
Jika elevasi kepala diperlukan, kepala dan bahu akan dinaikkan perlahan-lahan ke
posisi duduk atau setengah duduk, dan kaki diangkat untuk meningkatkan aliran darah
balik vena. Posisi ini cenderung mengurangi perdarahan vena pada area operasi
karena gravitasi memindahkan darah dan cairan serebrospinal. Posisi setengah duduk
membantu ahli anestesi untuk mendiagnosa dan menangani berbagai ancaman bahaya
yang mungkin terjadi (tabel 9.3).
Transtentorial
Pendekatan ini melibatkan teknik yang sama dengan prosedur bedah saraf
supratentorial. Drainase spinal dan/atau obat-obat hiperosmoler seperti furosemid dan
manitol diperlukan untuk memastikan retraksi adekuat pada lobus temporal. Pada
keadaan neoplasma yang besar di fosa posterior, drainase spinal dikontraindikasikan
karena akan menyebabkan herniasi.
Walaupun paparan terhadap sisi anterosuperior fosa posterior sangat baik dengan
posisi ini, tetapi tidak memberikan akses ke daerah kaudal seperti ventrikel IV dan
bagian posterior serebelum. Posisi ini hanya memberikan akses fosa posterior
unilateral dan bisa terjadi reseksi struktur vena di lobus temporal, sehingga dapat terjadi
gangguan fungsi bicara. Saraf kranial IV juga dapat terganggu, begitu juga saraf III
walaupun mudah dikenal tetapi tetap memiliki resiko kerusakan.

Transmastoid
Pendekatan transmastoid melalui fosa mediana melibatkan insisi melalui antrum
mastoid. Digunakan terutama untuk drainase abses serebelum yang juga mengenai
mastoid atau untuk mengangkat tumor nervus akustikus yang meluas ke meatus
akustikus internus. Teknik ini tidak member akses ke fosa posterior tetapi digunakan
untuk melengkapi ekstirpasi lesi di di mastoid dan telinga tengah yang meluas ke fosa
posterior. Saraf ke VII dan VIII berisiko untuk mengalami kerusakan pada teknik ini,
tetapi tidak memberi risiko terhadap batang otak. Pasien biasanya dioperasi dengan
posisi lateral dekubitus.
Pendekatan Anterior (Transoral)
Pendekatan transoral atau transchival ke fosa posterior dipakai untuk operasi yang
melibatkan bagian anterior batang otak dan arteri basilaris atau kompresi ekstradural
lainnya yang terdapat pada level vertebra servikal I. hal ini mungkin memerlukan
penempatan trakeostomi atau jalan nafas lainnya. Pendekatan ini melalui orofaring.
Risiko infeksi post operatif sangat tinggi jika duramater sampai terganggu. Prosedur ini
memposisikan pasien secara supine.
Supraserebelar
Pendekatan supraserebelar pada tumor daerah pineal dan struktur pada sambungan
fosa mediana dan posterior, khususnya melalui kraniektomi suboksipital pada pasien
dengan posisi setengah duduk. Insisi dibuat pada garis tengah oksipital posterior dan
daerah suboksipital, dimana otot di insisi dan ditarik ke lateral, tulang suboksiptal
diangkat. Daerah operasi diperluas dengan menyingkirkan tulang suboksipital melewati
sinus transverses, dimana memungkinkan penarikan tentorium ke superior dan
serebelum ke inferior. Pendekatan ke daerah pineal melalui ruang antara serebelum
dan tentorium. Eksisi tulang yang dilakukan lebih luas dibanding pendekatan operasi
fosa posterior lainnya dan risiko terjadi emboli udara lebih tinggi. Vena-vena
penghubung antara serebelum dan tentorium harus dipotong.

Karakteristik klinis dari lesi fosa posterior


Massa di fosa posterior sering menyumbat aliran cairan serebrospinal dan pasien dapat
menunjukkan gejala mual, muntah, dehidrasi, hipertensi dan bradikardia. Pasien
dengan peningkatan TIK yang jelas (dengan hidrosefalus) sering berguna dilakukan
prosedur VP shunt untuk menurunkan TIK, menstabilkan tanda-tanda vital dan
memungkinkan penanganan intraoperatif dan postoperative yang lebih baik. Pasien
dengan perdarahan intraserebelar dan gangguan tingkat kesadaran memerlukan
modifikasi prosedur pembedahan maupun teknik anestesi. Sering pada pasien lebih tua
yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan posisi duduk. Pada ICH biasanya daerah
operasinya terbatas, dan posisi prone atau lateral dekubitus cukup untuk teknik operasi
tersebut.
Pasien dengan neuralgia trigeminal berat dapat menjadi hipovolemi sehubungan
dengan ketidakmampuan makan dan minum. Hidrasi yang adekuat diperlukan sebelum
anestesi dan tindakan pembedahan yang diperlukan.

Pertimbangan Anestesi
Pemantauan yang cermat terhadap kardiovaskuler, respirasi dan fungsi otak sangat
penting untuk prosedur operasi fosa posterior. Mulai dari kondisi preoperative,
pemilihan posisi duduk dan trauma pembedahan yang mungkin mengenai struktur
batang otak, karena operasi berada di daerah tsb. Setiap factor memberikan pengaruh
pada system kardiovaskuler dan dapat menyebabkan modifikasi fungsi yang
sehubungan dengan respon terhadap anestesi atau pembedahan. Ada standart
penilaian rutin terhadap fungsi fisiologi yang harus dipantau, khususnya pada operasi
fosa posterior harus dilakukan sesuai dengan posisi yang dipilih. Hal ini termasuk
penilaian untuk mengetahui ada tidaknya emboli udara.
Pemantauan secara umum
Penilaian rutin termasuk tekanan darah (dengan pengukuran intra arterial dan secara
kontinyu), EKG, pulseoksimetri, temperature, stetoskop esophageal dan penilaian
produksi urine, BGA dan tekanan end-tidal CO2.
Bangkitan Potensial
Banyak hal telah diberikan untuk memantau secara langsung jalur saraf yang
membantu ahli bedah dalam prosedur operasi di daerah batang otak dan sekitarnya.
Hal ini berhubungan dengan tumor dan massa yang terdapat pada batang otak atau lesi
seperti Neuroma Akustik, yang dapat mengenai batang otak dan memerlukan
pemotongan yang teliti. Prosedur yang melibatkan tumor pada dasar ventrikel IV
seperti ependimoma dan meduloblastoma dapat membuat ahli bedah melakukan
reseksi radikal yang berpotensi terjadi ekstirpasi struktur penting yang terdapat pada
dasar ventrikel IV. Bangkitan potensial batang otak dan somatosensor yang berperan
terhadap fungsi jalur saraf merupakan metode yang menjaga daerah ini terhadap
tindkan-tindakan yang berlebihan, dengan harapan perubahan awal yang reversible
dapat memperingatkan ahli bedah terhadap daerah-daerah kritis.
Teknik ini sangat bermanfaat, tetapi peringatan terjadi hanya setelah struktur tersebut
telah mengalami gangguan fungsional yang tidak dapat diperbaiki. Kesulitan lainnya,
metode ini dapat dipengaruhi oleh obat-obat anestesi dan temperatur. Selain itu
beberapa factor yang mengganggu respon terjadinya bangkitan gelombang potensial
termasuk anestesi inhalasi, narkotik, barbiturate, hipoksia, iskemia, hipotermia dan
hipovolemia. Kumpulan gas intracranial dapat menurunkan kemampuan untuk
merekam respon gelombang kortikal. Jumlah gas yang banyak dapat terkumpul selama
kraniektomi, saat posisi duduk, terutama pada pasien dengan VP shunt. Hilangnya
bangkitan potensial dapat memperingatkan tim operasi terhadap kemungkinan
terjadinya akumulasi gas.
Stimulasi Saraf
Pemantauan bangkitan potensial saraf fasial digunakan selama pembedahan tumor
akustikus untuk menolong menentukan dan menilai fungsi nervus VII.
Pemantauan TIK
Teknik pengukuran TIK menggunakan alat rekam seperti system Ladd, dengan
memasukkan monitor fiberoptik kecil yang bertekanan sensitive ke dalam ruang

epidural. Duramater dibiarkan utuh, menurunkan kemungkinan infeksi. Penilaian TIK


intraoperatif hanya terbatas pada aplikasi tertentu, seperti cairan serebrospinal dialirkan
selama prosedur fosa posterior, dan ini memberikan akibat tekanan negative. Pada
kebanyakan pasien dengan massa, saat TIK meningkat ada usaha untuk menurunkan
tekanan sebelum duramater dibuka. Pada situasi ini penilaian tekanan sangat berguna.
Pada dasarnya, TIK menurun dengan drainase ventrikel atau obat osmotic seperti
furosemid atau manitol dan hiperventilasi. Hal ini menghasilkan nilai nol atau negative
TIK saat duramater dibuka, dan selanjutnya pemantauan tekanan ini memberikan nilai
yang tidak terlalu berarti. Jarang sekali peningkatan TIK tak terduga menunjukkan tanda
adanya perdarahan subdural atau perdarahan intracranial, sebab tak terlihat secara
langsung pada daerah operasi. Hati-hati terjadi obstruksi jalan nafas, yang menaikkan
TIK melalui peningkatan aliran darah otak. Karena hampir semua prosedur ini dilakukan
dengan fiksasi tulang untuk mempertahankan kepala pada posisi kaku, maka harus di
ingat adanya kemungkinan fiksasi pin yang dapat menyebabkan perdarahan epidural.
Pemantauan Emboli Udara Vena
Posisi duduk meningkatkan gradient tekanan antara lapangan operasi dan atrium
kanan. Sejumlah efek terjadi antara pembukaan struktur vena dan jantung kanan, dan
udara dapat masuk ke system vena. Karena udara biasanya membentuk emboli saat
infuse lambat daripada bolus, deteksi awal sejumlah kecil udara dari system vaskuler
mengijinkan pemberian terapi dan pencegahan dekompensasi kardiovaskuler.
Metode pemantauan klasik seperti stetoskop esophageal atau prekordial, EKG, tekanan
darah arteri atau tekanan vena sentraltak mendeteksi udara pada system vaskuler
sebelum deteriorasi fisiologi ditemukan. Pemantauan prekordial dengan Ultrasound
Doppler dilaporkan merupakan metode yang paling sensitive untuk deteksi emboli
udara. Emboli udara vena terdeteksi dengan monitor prekordial ultrasound Doppler
pada kecepatan infuse paling lambat 0,015 ml/kg/min dan secara konsisten pada
kecepatan 0,021 ml/kg/min. Perubahan
fisiologi pertama yaitu gasping yang
menunjukkan respon inisial terhadap stimulasi alveolar, muncul pada 0,36 ml/kg/min.
End-tidal CO2 menurun dan tekanan vena sentral mulai meningkat pada 0,4 ml/kg/min.
Denyut jantung meningkat pada 0,42 ml/kg/min. EKG berubah (puncak gel.P) pada 0,6
ml/kg/min, tekanan darah menurun pada 0,69 ml/kg/min. Perubahan suara jantung
ditemukan pada stetoskop esophageal dan tak terdengar sampai kecepatan infuse
mencapai 1,7 ml/kg/min dan dekompensasi kardiovaskuler ditemukan. Ultrasound
Doppler 40x lebih sensitif dibanding kapnograf.
Survey terhadap perubahan fisiologi menunjukkan bahwa pada infuse kecepatan
lambat, tekanan darah turun sedang, dan denyut jantung meningkat. Tekanan vena
sentral meningkat progresif, sedangkan tekanan arteri pulmonal meningkat lebih cepat.
Peningkatan tekanan pulmonal ini sehubungan dengan konstriksi pembuluh darah
pulmonal karena adanya udara dalam jumlah kecil yang menyebabkan obstruksi
mekanik. Selanjutnya akan terjadi perubahan BGA. Penurunan resistensi perifer akan
dikompensasi oleh peningkatan aliran darah aorta untuk memprtahankan tekanan
darah. Pada akhirnya, infuse dengan kecepatan tinggi akan meningkatkan COP
mencapai maksimum, setelah terjadinya penurunan tekanan darah secara siknifikan.
Tiga fase perubahan fisiologi akibat emboli udara. Perubahan fase awal terjadi bila
kecepatan infuse antara 0,4-o,6 ml/kg/min. terjadi peningkatan COP sebagai

kompensasi penurunan resistensi perifer, tekanan darah menurun sedang. Fase kedua,
kecepatan infuse 1,2-1,8ml/kg/min kompensasi akan gagal dan tekanan darah
menurun. Respon lainnya yaitu perubahan ECG berupa ST depresi. Fase ketiga terjadi
dekompensasi pada kecepatan infuse >1,8ml/kg/min dimana tekanan darah menurun
drastis. Shock akan terjadi dalam 3 menit dan jarang yang bertahan hidup.
Pengamatan ini menunjukkan respon fisiologi terhadap masuknya udara dalam
pembuluh darah dengan kecepatan lambat memicu respon refleks di paru-paru. Efek
simpatolitik dengan deteriorasi resistensi perifer dan peningkatan resistensi vaskuler
intrapulmoner, sebagai kompensasi awal meningkatkan COP dan jika kompensasi
gagal maka terjadi shock.
Spectrometer berguna u ntuk deteksi awal emboli udara vena. Pemantauan
intraoperatif ETN2 mendeteksi emboli udara vena pada kecepatan 0,60,25 ml/kg.
Alat yang lebih baik yaitu elektrokardiografi transesofageal (TEE). Dapat mendeteksi
kecepatan udara dalam vena 0,02 ml/kg. Dengan kombinasi Echo dan Doppler dapat
mendeteksi pada kecepatan 0,05 ml/kg/min.
Untuk konfirmasi pasti emboli udara hanya dapat dilakukan melalui otopsi, bahwa
masuknya udara bolus akan terlihat pada jantung kanan sedangkan udara masuk
dengan kecepatan lambat akan terlihat pada paru-paru.
Pengelolaan Anestesi
Premedikasi harus minimal untuk menghindari depresi pusat respirasi dan
kemungkinan hipotensi postural jika pasien diposisikan duduk. Atropine sebagai pilihan
diberikan segera sebelum induksi, berguna mencegah bradikardia dan
mempertahankan COP adekuat.
Standart intubasi yaitu thiopental (2-3mg/kg), lidokain (1-1,5mg/kg) dan atracurium (0,30,5mg/kg) atau vecuronium (0,1-0,15mg/kg) dapat dipakai pada periode 5 menit
pertama. Dosis yang terlalu besar dan diberikan cepat akan menyebabkan hipotensi.
Anestesi dapat dipertahankan dengan isofluran 1-2% dengan kombinasi 50:50 O2 dan
udara. NO harus dihindari mengingat resiko emboli udara saat masuknya pin penahan
kepala. Pemberian narkotik IV akan kesulitan karena dosis yang berlebihan dan
memperlambat waktu pulih sadar. Teknik terbaik yaitu kombinasi isofluran 1% dan
pemberian fentanyl (50mg) setiap 30-60menit. Narkotik dapat dipertimbangkan dengan
infuse dosis rendah.
Jika pasien harus dioperasi pada posisi duduk, kanul arteri harus diatur sebelum
perubahan posisi untuk memungkinkan pemantauan tekanan darah yang akurat.
Setelah infuse cepat cairan 100ml untuk meningkatkan volume intravaskuler, posisi
diatur perlahan-lahan. Naikkan kepala dan punggung, naikkan kaki. Posisi yang tepat
tercapai dengan fleksi paha, naikkan lutut setinggi jantung.
Jika pasien akan diposisikan prone, anestesi harus dilakukan di tempat tidur, semua
monitor terpasang barulah pasien dibalikkan tengkurap. Harus diperhatikan agar
daerah-daerah yang potensial tertekan disanggah, mata ditutup untuk mencegah
tekanan dan resiko thrombosis retinal.
Setelah posisi tercapai, ventilasi harus diperiksa, tube ETT harus tetap di tengah karina.
Jangan sampai masuk bronkus kanan. Hati-hati ekstensi dan rotasi lateral leher
berpotensi ETT tercabut, terutama pada anak-anak yang trakea-nya pendek.

Tube anode yang berlapis dianjurkan untuk mencegah obstruksi jalan nafas. Tetapi
dengan banyak hal yag harus dipertimbangkan. Haruslah dipakai yang steril dan prinsip
sekali pakai/disposibel.
Kontroversi terjadi sehubungan dengan kontrol ventilasi pada posisi duduk. Jika
dibiarkan spontan maka perubahan pola nafas akan menunjukkan manipulasi
berlebihan dari otak, sedangkan pada kontrol ventilasi ahli anestesi dapat mengatur
monitor kecepatan aliran gas, TV dan tekanan inspirasi, ET CO2 dan PaCO2. Dengan
kontrol respirasi maka refleks gasping pada emboli udara tidak akan terjadi. Pada
akhirnya, yang terbaik adalah penggunaan ultrasound Doppler lebih sensitive sebagai
indicator emboli udara, dibandingkan dengan respirasi.
Pada akhir prosedur, pastikan pasien tidak melawan sementara penahan kepala masih
terpasang. Untuk mencegah gerakan yang tidak diinginkan, berikan lidokain 1mg/kg IV
saat kulit kepala ditutup

Komplikasi
Komplikasi intraoperatif pembedahan fosa posterior berhubungan utama dengan jalan
nafas dan pengelolaan anestesi dan kehilangan darah selama prosedur pembedahan.
Problem kardiovaskuler
Perubahan posisi dari supine ke posisi duduk dimana pasien sudah teranestesi
mengakibatkan redistribusi cairan yang cepat dan perubahan dalam tekanan pengisian
jantung dan tekanan perfusi serebral. Sementara hipotensi postural terjadi pada 30%
pasien, penurunan tekanan darah biasanya berlangsung singkat dan derajat ringan (2030mmHg). Untuk mempertahankan pasien pada level normotensi sebisa mungkin,
ekstremitas bawah harus dibungkus untuk mencegah pooling vena. Anestesi harus
dipertahankan pada plane ringan sebisa mungkin, dengan hiperventilasi minimal. Infuse
cairan segera sebelum perubahan posisi secara perlahan-lahan dapat mencegah
berbagai masalah. Pada 2% pasien, penggunaan vasopresor seperti efedrin sulfat
(12,5mg) atau fenilefrin diperlukan. Hipertensi transient tanpa terapi dilaporkan pada
10% pasien.
Aritmia jantung sering muncul selama manipulasi pembedahan sekeliling batang otak.
Abnormalitas yang paling sering adalah bradikardia dan depresi gelombang ST.
Bagaimanapun juga multifocal ventrikuler bigemini dapat berlanjut menjadi takikardia
ventrikuler dan dapat berkembang menjadi henti jantung (Cardiac arrest). Walaupun
banyak abnormalitas dapat ditangani dengan obat-obatan (atropine, propanolol) tetapi
keadaan itu tidak diharapkan. Saat terjadi henti jantung merupakan peringatan
berharga untuk segera menghentikan stimulasi pembedahan. Untuk mencegah bahaya
respirasi post operatif, jalan terbaik yaitu menghentikan pembedahan. Kadang-kadang
diseksi di sekitar area batang otak, contoh isolasi dan oklusi aneurisma arteri serebelar
posterior inferior, hipertensi menjadi masalah. Ahli bedah harus segera berhati-hati
terhadap perubahan ini. Natrium nitroprusid mungkin diperlukan untuk mengontrol
tekanan darah. Semua kehati-hatian untuk mencegah hipotensi harus dilakukan.
Monitor EKG berkelanjutan merupakan bagian penting dari perawatan post operatif.
Perkembangan bradikardia dan hipertensi selama di ruang pulih sadar dapat
menunjukkan onset kompresi batang otak sehubungan dengan pembentukan
hematoma. Konsultasi pembedahan segera dan CT scan di indikasikan. Hipertensi

sistemik merupakan respon yang sering terjadi saat TIK meningkat dan hilangnya
tekanan perfusi otak. Jika CT scan dan MRI post operasi tidak menunjukkan adanya
hematoma, bukan jaminan tidak terjadi edema serebral atau obstruksi ventrikuler
sebagai akibat peningkatan TIK dan kompensasi hipertensi arteri. Penurunan tekanan
arteri (setelah tindakan penjepitan aneurisma) dapat memicu malapetaka. Percobaan
pertama untuk menurunkan TIK dengan penggunaan furosemid, hiperventilasi dan
manitol dan atau barbiturate sebelum menurunkan tekanan arterial. Gas darah arteri,
distensi kandung kemih dan penyebab lainnya dari peningkatan tekanan darah harus
disingkirkan sebelum pemberian obat-obatan hipotensi.
Jika tidak ada massa, hipertensi ( peningkatan MAP >30% ) dan takikardia dapat diobati
dengan dosis kecil dari hidralazin (5-10mg) dan propranolol (1mg), diulangi setiap 15
menit jika perlu.
Hipertensi Intrakranial
Peningkatan TIK dapat terjadi selama prosedur operasi tetapi biasanya lebih sering
terjadi pada awal pembedahan sebagai akibat adanya penyakit dasar. Hal ini terlihat
sebelum pembukaan duramater dan pengeluaran lesi massa. Sering patologi fosa
posterior mengakibatkan peningkatan TIK denga cara obstruksi aliran cairan
serebrospinal dan menyebabkan
hidrosefalus. Hal ini dapat dicegah dengan
pemasangan VP shunt sebelum prosedur pembedahan definitive di fosa posterior.
Biasanya untuk mengurangi TIK, seharusnya sebelum pembukaan duramater lakukan
hiperventilasi untuk menurunkan PaCO2 dan menurunkan volume vaskuler intracranial
dan penggunaan cairan hipertonik seperti manitol. Diuretic seperti furosemid juga
berguna. Terapi farmakologi dapat dipakai sebagai tambahan manipulasi operasi
dengan tujuan untuk mengeluarkan cairan srebrospinal sehingga tidak berbahaya pada
korteks atau hemoragik, yang dapat terjadi saat kateter tidak dipasang. Drainase
kateter spinal subaraknoid merupakan kontraindikasi relative pada lesi fosa posterior
karena dapat menyebabkan herniasi tonsiler.
Penyebab kedua dari peningkatan TIK yaitu obstruksi jalan nafas atau perdarahan intra
cranial. Kesulitan pernapasan dapat terjadi selama mengatur posisi, jika kepala fleksi
menyebabkan ETT berpindah ke cabang utama bronkus kanan. Penyebab lain dari
obstruksi jalan nafas adalah jika dipakai ETT berlapis maka obstruksi terjadi karena
lipatan dinding dalam sekeliling konektor, lapis ganda dari balon mencegah deflasi,
atau infiltrasi NO pada dinding pipa selama operasi. Diagnosis ditegakkan dengan
perhatian cermat terhadap tekanan respirasi dan analisa gas darah yang sering
dilakukan. Perdarahan intracranial dapat terjadi khususnya pada posisi duduk, karena
perdarahan dari vena vena yang menghubungkan korteks serebral dan serebelum
menuju sinus venosus. Dengan dekompresi yang cepat untuk mengalirkan LCS dan
atau membuka jalur LCS yang terbendung maka otak akan tetap terjaga oleh struktur
vena yang meluas antara korteks otak dan sinus venosus. Vena-vena ini dapat
berdarah dan mengakibatkan perdarahan subdural. Hematoma subdural diluar korteks
biasanya tidak dapat dilihat selama prosedur operasi, tetapi dapat terdeteksi dengan CT
scan post operasi. Hematom ini dapat asimptomatik atau menjadi massa fokal yang
berada diatas korteks serebral atau serebelum.

Perdarahan dapat juga terjadi langsung dari tempat operasi sehubungan dengan arteri
atau vena yang terkena. Dapat terjadi malformasi arteriovenous atau aneurisma.
Penggantian darah yang hilang dan mempertahankan tekanan darah sangat penting.
Perdarahan epidural dapat terjadi saat memasukkan fiksasi skeletal pin penahan kepala
dan biasanya tak bergejala selama anestesi umum, tetapi akan terlihat saat post
operatif dimana pasien akan susah pulih sadar atau berkembang menjadi hemiparesis
atau pupil anisokor.
Emboli Udara Vena
Sudah lama diketahui bahwa komplikasi pembedahan dengan posisi duduk adalah
emboli udara vena. Tekanan subatmosfer berkembang pada system vena serebral
kanal-kanal (sinus dural atau vena diploik), saat terpotong akan terbuka oleh tulang
atau kontraksi otot, yang memungkinkan udara masuk ke system vaskuler, biasanya
sebagai infuse lambat dibanding infuse bolus yang cepat. Hanya butuh waktu beberapa
menit untuk menunjukkan hasil yang fatal. Semakin cepat emboli udara diketahui
(sebaiknya sebelum perubahan fisiologi terjadi), semakin besar kemungkinan
menghindari konsekuensi serius. Laporan tentang kejadian emboli udara vena
bervariasi sesuai metode yang dipakai untuk mendeteksi dan tipe dari pembedahan,
tetapi diperkirakan sekitar 25%. Insiden tertinggi (80-90%) terdeteksi jika pasien di
anestesi dengan gas N Emboli Udara Vena
Terapi emboli udara vena termasuk mencuci lapangan operasi dengan NaCl 0,9% atau
pemakaian lilin tulang untuk mencegah masuknya udara, pemberian tekanan pada
jugular bilateral dan aspirasi udara melalui kateter atrium kanan. Tujuannya untuk
menghentikan masuknya udara. Jarang pasien diposisikan kepala kebawah (headdown) karena berisiko berat terjadi kontaminasi luka. Memposisikan pasien miring kiri
tidak banyak membantu jika emboli udara yang signifikan telah terjadi dan terdistribusi
ke kedua paru. Pemakaian pakaian-G ( G-suit) tidak memberikan perlindungan adekuat
terhadap emboli udara. Jika tempat idara masuk tidak diketahui, pembedahan harus
dilakukan secepat mungkin dan pasien kembalu ke posisi supine. PEEP
direkomendasikan untuk meningkatkan tekanan vena sentral dan mencegah masuknya
udara lebih lanjut studi tentang hemodinamik mengindikasikan bahwa PEEP dapat
meningkatkan tekanan jantung kanan lebih besar daripada disebelah kiri sehingga
meningkatkan risiko terbukanya foramen ovale yang utuh dan mengijinkan udara
menyeberang masuk ke sirkulasi sistemik.
Kateterisasi atrium kanan dianjurkan utuk semua prosedur yang dilakukan dengan
posisi duduk. Penggunaan rutin kateter atrial, harusnya selama kraniektomi fosa
posterior dan dekompresi saraf masih dipertanyakan. Pada 220 pasien yang dioperasi
dengan posisi duduk, udara intrakardiak terdeteksi pada 22% walaupun tidak ada satu
kasus pun dapat diaspirasi udaranya melalui kateter vena sentral (CVC). Morbiditas
terkait pemakaian kateter termasuk 4 kasus pneumotoraks dan satu kasus
hematotoraks akibat insersi kateter melalui rute subklavia, jika melalui vena perifer tidak
dapat dilakukan. Disritmia transient dan rekuren terjadi pada 30% pasien saat kateter
ditempatkan, dan flebitis terjadi pada 10% kasus. Selanjutnya dilaporkan bahwa tidak
jarang pasien merasa takut dan nyeri karena pemasangan kateter. Komplikasi serius
dari CVC yaitu hidrotoraks, tamponade perikardial, obstruksi vena kava, kateter terikat

atau rusak dan henti jantung. Penulis menyimpulkan bahwa cvc atrium kanan tidak
memberi manfaat bahkan menempatkan pasien pada risiko yang tidak perlu.
Jika pembedahan mengenai malformasi arteriovenosus atau diseksi tumor dengan
sinus venosus yang besar dan sejumlah besar udara dapat masuk ke pembuluh darah,
maka sangat dianjurkan pemakaian kateter pada atrium kanan. Bunegan menunjukkan
bahwa penarikan udara yang optimal dapat dicapai dengan memposisikan kateter
multiorifisial nomor 0,5cm di atas nodus sinoatrial atriu kanan (atrium kanan) ketika
atrium cendrung turun padao. Sekitar 80% udara yang telah masuk ke vena kava
superior dapat diperbaiki.
Pneumosefalus
Hiperventilasi, drainase LCS dan penggunaan diuretik menurunkan ukuran otak, dan
pada posisi head-up udara terperangkap di area frontal karena hemisfer serebral
berada pada ruang tengkorak bawah. Difusi NO ke kantong udara di intrakranial akan
meningkatkan ukuran ruang udara karena kelarutannya yang tinggi jika dibanding
nitrogen. Selama duramater terbuka dan gas dapat keluar masuk dengan bebas, maka
komplikasi tidak akan muncul. Tetapi jika pemakaian NO tetap dilanjutkan setelah
penutupan meningen, maka kombinasi re-ekspansi otak sehubungan dengan
peningkatan PaCO2 dan rehidrasi selama periode post operasi, maka dapat
berkembang menjadi Pneumocephalus tension. Selanjutnya jika pasien hpotermi saat
masuk ke ruang pulih sadar, maka gas akan bertambah memuai ketika suhu tubuh
kembali normal. Sindrom ini sangat khas yaitu lambat menjadi sadar dan detereorasi
neurologis post operasi. Diagnosis ditegakkan dengan CT scan. Cara untuk membatu
menurunkan masalah gas itrakranial post operasi yaitu dengan membilas ruang
subdural dengan NaCl 0,9% untuk mengeluarkan gas sebanyak mungkin dan
memasukan drain ventriculostomi, yang harus dibiarkan terbuka saat penutupan
duramater. Drain untuk irigasi dapat ditempatkan pada bagian atas atau bawah dari
insisi dural sampai sambungan dural menyatu.
Walaupun level normal tekanan intrakranial akan kembali dalam 10 menit setelah NO
tidak dipakai, tetapi penulis tidak berpendapat bahwa pemakaian gas NO menentukan
dalam pembedahan dengan posisi duduk. NO telah digunakan, dan harus dihentikan
pemakaiannya 15 menit sebelum dura ditutup. Walaupun dianjurkan bahwa jika
anestesi dipertahankan dengan gas NO maka pneumocephalus intraoperatif akan lebih
cepat direabsorbsi. Jika mungkin, hiperventilasi harus dikurangi untuk membiarkan
terjadinya ekspansi otak saat dura ditutup; ventilasi harus dikontrol saat tulang dan otot
dimanipulasi untuk mencegah respon pernapasan gasping akibat emboli udara. Semua
cara (seperti menghangatkan cairan parenteral dan irigasi cairan, menghangatkan
permukaan tubuh) harus dilakukan untuk mempertahankan normotermia. Efek
peumocephalus tidak jelas pada pasien yang mengalami anestesi dalam waktu lama,
tetapi foto kepala atau CT scan dapat dilakukan setelah operasi. Karena udara sangat
lambat diserap dari kompartemen intrakranial maka NO harus dihindarkan jika
pembedahan ulang dilakukan dalam 1 atau 2 minggu kemudian. Dianjurkan untuk
menghindari pemakaian NO pada pasien yang dioperasi dengan posisi duduk. Disatu
pihak pemakaian gas NO akan mengurangi pemakaian anestesi inhalasi sehingga
tercapai anestesi seimbang, tetapi dipihak lain NO berpotensial menyebabkan
pneumocephalus dan menambah ukuran emboli udara yang sudah ada. Karena itu

jalan tengahnya, NO dapat diganti dengan pemberian udara dan pemberian narkotik
dosis rendah.
Komplikasi Respirasi
Perubahan pola nafas pada operasi posisi duduk termasuk menurunnya ventilasi dari
lobus atas dan peningkatan abnormalitas ventilasi. Perubahan ini biasanya sementara
dan akan kembali normal segera setelah posisi pasien supine lagi. Penyakit paru yang
sudah ada sebelumnya dapat memicu kondisi ini dan menyebabkan komplikasi
respirasi. Edema paru dan ARDS dilaporkan terjadi setelah emboli udara pada dewasa
muda yang sehat. Scan paru dengan technetium MAA dapat mendeteksi defek perfusi
yang kecil. Mekanisme edema paru yang di induksi oleh emboli udara, mungkin karena
hipertensi pulmonal akibat obstruksi mekanik dari prekapiler arteriol dan vasokonstriksi
pre dan postkapiler pembuluh daran memaksa cairan masuk ke alveoli. Selanjutnya,
jika terjadi hipotensi sistemik, baik karena posisi duduk atau emboli udara, CPP efektif
akan menurun < 50mmHg dan membangkitkan
refleks sentroneurogenik dan
vasokonstriksi postkapiler. Inhalasi oksigen 100% dalam waktu lama dapat
menyebabkan pembentukan edema neurogenik sentral maupun lokal. Karena itu
direkomendasikan agar oksigen inspirasi dikurangi dan udara (50%) ditambahkan.
Episode hipertensi pulmonal yang berulang akan menyebabkan emboli udara dan
merusak endotel vaskuler paru.
Defek perfusi dapat dibingungkan dengan tromboemboli pulmonal. Tromboemboli akan
hilang dengan pemberian heparin, sedangkan penggunaan heparin sangat berbahaya
bagi pasien operasi otak. Terapi kombinasi pengaturan ventilasi dengan suplemen
oksigen dan tekanan udara positif seperlunya, diuretik dan antibiotik digunakan jika
infiltrat penumonia memberat. Edema fasial dan glossal yang jelas terjadi setelah
prosedur operasi dengan posisi lateral dekubitus dalam waktu lama. Hal ini akibat
obstruksi aliran vena (terutama pada lidah). Dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas
dan jika berlangsung lama harus dilakukan trakeostomi.
Komplikasi neurologi
Midservikal quadriplegia setelah tindakan operasi. Etiologinya masih belum pasti.
Diduga fleksi akut tulang cervical pada pasien spondilosis menyebabkan kompresi pada
medulla spinal dan pembuluh darah. Pada angiografi dan otopsi menunjukkan adanya
kerusakan tunika intima arteri vertebralis akibat manipulasi leher. Terbentuk thrombus,
emboli dan akhirnya infark otak.
Levy, Dohm dan Hardy melaporkan 5 kasus sindrom sentral cord muncul beberapa hari
setelah dekompresi servikal laminektomi, pasien berkembang menjadi quadriplegia
midservikal setelah operasi dengan posisi duduk. Teorinya menduga bahwa episode
hipotensi akibat perubahan posisi memicu terjadinya fenomena ini.
Perhatian pada penempatan posisi preoperative untuk mencegah kerusakan nervus
perifer dan makroglosia dapat menyebabkan protrusi lidah keluar. Jika komplikasi ini
terjadi maka kontra indikasi untuk ekstubasi dini.
Disfungsi saraf cranial terjadi karena tumor yang mengenai saraf VII dan VIII. Harus
dilindungi kornea karena akan mengganggu kemampuan menutup mata. Disfungsi
saraf cranial yang lebih rendah menyebabkan paralisas pita suara, gangguan menelan,

obstruksi jalan nafas, sehingga terjadi stridor respirasi, sekresi tertahan dan resiko
aspirasi.
Pembedahan pada fosa posterior akan mengenai batang otak dan serebelum, sehingga
terjadi kombinasi gejala gangguan pada mata, deviasi, pandangan tak jelas, dan gejala
disfungsi motorik. Komplikasi neurologi yang lambat terjadi adalah Hidrosefalus yang
biasanya terjadi pada operasi fosa posterior bilateral , dengan gejala sakit kepala, mual,
muntah, letargi dan bradikinesia relative. Gejala dapat dikurangi dengan drainase
ventrikel atau dengan definitive VP shunt.
Infeksi
Pembedahan fosa posterior mempunyai resiko terjadinya sepsis. Infeksi terjadi akibat
terbukanya luka dan atau berhubungan dengan LCS yang keluar dan sulit dikontrol.
Keluarnya cairan LCS terus menerus menandakan peningkatan TIK yang berlanjut dan
terjadi hidrosefalus. Penanganannya yaitu drainase ventrikel seperti VP Shunt.

Anda mungkin juga menyukai