Anda di halaman 1dari 45

REFERAT

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Dibuat oleh :
Riana Angelina
11-2013-276
Pembimbing :
dr. A. Azis, Sp.OG, M.kes

Kepaniteraan Kebidanan RS Rajawali


Fakultas Kedokteran UKRIDA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit dalam kehamilan dan merupakan
salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di Indonesia
mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup tinggi. Hal ini
disebabkan selain dari etiologi yang tidak jelas, juga oleh perawatan dalam persalinan masih
ditangani oleh petugas non medic dan system rujukan yang belum sempurna. Hipertens dalam
kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengolahan
hipertensi dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga medik baik di pusat
maupun di daerah.
Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade, hipertensi
yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi masalah yang belum
terpecahkan. Secara umum, preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan
proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20
usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida
biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur lebih
dari 35 tahun dan sebab lainnya.1
Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan berhubungan
secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi uteroplasental, juga
karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat. Kematian janin diakibatkan
hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio plasenta atau vasospasme dan diawali
dengan pertumbuhan janin terhambat (IUGR). Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas
perinatal diakibatkan kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan
adanya hipertensi berat, kejang grand mal, dan kerusakan end organ lainnya.1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Klasifikasi
Terdapat beberapa perbedaan ,emgenai klasifikasi hipertensi pada hipertensi secara
umum dengan hipertensi dalam kehamilan. NHBPEP (National High Blood Pressure Educaation
Working Group Report on High Blood Pressure in Pregnancy) memiliki klasifikasi tersendiri
karena pada kehamilan, terjadi beberapa perubahan hemodinamik yang mempengaruhi tekanan
darah.
Hipertensi Gestasional
Didapatkan tekanan darah 140/90 mmHg untuk pertama kalinya pada kehamilan, tidak
disertai dengan proteinuria dan tekanan darah kembali normal < 12 minggu pasca persalinan.
Hipertensi gestasional terjadi sekitar 6% dari total kehamilan dan separuhnya berkembang
menjadi preeklamisa dengan ditemukannya proteinuria. Jika tes labolatorium tetap normal dan
tekanan darah menurun pasca melahirkan, maka diagnosisnya adalah hipertensi gestasional
(sebelumnya transient hypertension). Wanita dengan hipertensi gestatonal harus dianggap
beresiko terjadinya preeklamsia, yang dapat berkembang setiap saat, termasuk minggu pertama
pasca melahirkan. Sekitar 15% hingga 45% perumpuan awalnya didiagnosis dengan hipertensi
gestational adakan berkembang menjadi preekalmisa, dan kemungkinan lebih besar pada pasien
yang memiliki riwayat preeklamsia sebelumnya, miscarriage, dan riawayat hipertensi kehamilan
sebelumnya.
Preeklamsia
Preeklamsia adalah sindrom yang memiliki manifestasi klinis seperti new-onset
hypertention pada saat kehamilan (setelah susia kehamilan 20 minggu, tetapi biasanya mendekati
hari perkiraan lahir), berhubungan dengan proteinuria : +1 dipstick atau 300 mg dalam 24 jam
urin tamping. Sindrom ini terjadi pada 5-8% dari seluruh kehamilan. Pengobatan antihipertesni
pada pasien ini bukan ditujukan untuk menyembuhkan atau memulihkan preeklamsia.
Preeklamsia dapat berkembang secara tiba-tiba pada wanita yang sebelumnya normotensi,
sehingga perlu pencegahan gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular sebagai konsekuensi
2

dari berat dan cepatnya peningkatan tekanan darah. Hal ini ada;ah tujuan utama manajemen
klinis yang membutuhkan kebijaksanaan penggunaan obat antihipertensi.
Eklamsia
Serangan konsvulsi pada

wanita dengan preekamsia yang tidak dapat dihubungkan

dengan sebab lainnya disebut eklamsia. Konvulsi terjadi secara general dan dapat terlihat
sebelum, selama atau setelah melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi,
terutama nullipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah perawatan
prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan
studi yang lebih baru dilaporkan bahwa seperempat serangan eklamsia terjadi di luar 48 jam
postpartum.
Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia
Timbulnya proteinuria > 300mg/ 24 jam pada wanita hamil yang sudah mengalami
hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu.
Hipertensi kronik
Ditemukannya tekanan darah 140.90 mmHg, sebelum kehamilan atau sebelum
kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan. Wanita usia
subur dengan hipertensi esensial stage I yang tidak memiliki kerusakan organ target dan dalam
kondisi kesehatan yang baik memiliki prognosis yang baik dalam kehamilan. Walaupun terdapat
peningkatan resiko terjadinya superimposed preeklamsia, akan tetapi secara fisiologis akan
terjadi penurunan tekanan darah selama kehamilan dan penurunan kebutuhan terhadap agen anti
hipertensi. Capaian tatalaksannya adalah mempertahankan tekanan darah level yang memiliki
resiko gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu yang minimal. Kadang-kadang,
wanita dengan hipertensi kehamilan akan tetap hipertensi setelah melahirkan. Pada pasien ini
kemungkinan besar memiliki hipertensi kronis yang sduah ada sebelumnya, yang tertutup/tak
tampak diawal kehamilan oleh karena respon fisiologis dari kehamilan yakni vasodilasi.
Kejadian hipertensi pada periode pasca melahirkan dan wakti maksimum untuk normalisasi
tekanan darah belum diketahui. Pada umumnya hipertensi > 240/90 mmHg menetap dari 3 bulan
pasca melahirkan didiagnosis sebagai hipertensi kronis.3
3

Epidemiologi
Wanita kulit hitam memiliki kecenderungan mengalami preeklamsi dibandingkan
kelompok rasial lainnya, hal ini dikarenakan wanita kulit hitam memiliki prevalensi yang lebih
besar terhadap hipertensi kronis. Diantara wanita yang berusia 30-39 tahun, hipertensi kronis
terdapat pada 22,3% wanita kulit hitam, 4,6% kulit putih, dan 6,2% pada wanita Amerika
Meksiko.4
Preeklamsi umumnya terjadi pada usia maternal ekstrim (< 18 tahun atau > 35 tahun).
Peningkatan prevalensi hipertensi kronis pada wanita > 35 tahun dapat menjelaskan mengapa
terjadi peningkatan frekuensi preeklamsi diantara gravida tua.4,5,7,10
Selain itu, meskipun merokok selama kehamilan dapat menyebabkan berbagai hal
merugikan, ironinya merokok telah dihubungkan secara konsisten dengan resiko hipertensi yang
menurun selama kehamilan. Plasenta previa juga telah dilaporkan dapat mengurangi risiko
gangguan-gangguan hipertensi pada kehamilan.1

Faktor Resiko
Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Faktor risiko maternal :

2.

Kehamilan pertama
Primipaternity
Usia < 18 tahun atau > 35 tahun
Riwayat preeklamsi
Riwayat preeklamsi dalam keluarga
Ras kulit hitam
Obesitas (BMI 30)
Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.4
Faktor risiko medikal maternal :

Hipertensi

kronis,

khusunya

sebab

sekunder

hipertensi

kronis

seperti

hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, faeokromositoma, dan stenosis arteri

renalis.
Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan komplikasi

mikrovaskular
Penyakit ginjal
4

Systemic Lupus Erythematosus


Obesitas
Trombofilia
Riwayat migraine
Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor > trimester I.4

3. Faktor risiko plasental atau fetal :

Kehamilan multipel
Hidrops fetalis
Penyakit trofoblastik gestasional
Triploidi.5

Etiologi
Setiap teori yang memuaskan tentang etiologi dan patofisiologi preeklamsi harus
menerangkan pengamatan bahwa hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan jauh lebih
memungkinkan terjadi pada wanita yang :
1. Terpapar vili korialis untuk pertama kalinya.
2. Terpapar vili korialis yang berlimpah, pada gemeli atau mola hidatidosa.
3. Memiliki penyakit vaskular yang telah ada sebelumnya.
4. Secara genetik memiliki predisposisi terhadap hipertensi yang berkembang selama
kehamilan.5
Tulisan-tulisan yang menjelaskan tentang eklamsia telah dibuat pada tahun 2200 Sebelum
Masehi (Lindheimer dan kawan-kawan, 1999). Dengan demikian tidaklah heran bahwa sejumlah
mekanisme telah dikemukakan untuk menerangkan penyebabnya. Menurut Sibai (2003), sebabsebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah sebagai berikut :
1. Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus.
2. Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin.
3. Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan
normal.
4. Faktor nutrisi.
5. Pengaruh genetik.1
Invasi Trofoblastik Abnormal
5

Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling yang luas ketika
diinvasi oleh trofoblas endovaskular (Gambar 2.1). Akan tetapi, pada preeklamsi terdapat invasi
trofoblastik yang tidak lengkap. Pada kasus ini, pembuluh darah decidua, tetapi bukan pembuluh
darah myometrial, menjadi sejajar dengan trofoblas endovaskular. Meekins dan kawan-kawan
(1994) menjelaskan jumlah arteri spiralis dengan trofoblas endovaskular pada plasenta wanita
normal dan wanita dengan preeklamsi. Madazli dan kawan-kawan (2000) membuktikan bahwa
besarnya defek invasi trofoblastik terhadap arteri spiralis berhubungan dengan beratnya
hipertensi.3

Gambar 2.1 Implantasi plasenta normal 5

Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf dan kawan-kawan (1980) meneliti


pembuluh darah yang diambil dari tempat implantasi plasenta pada uterus. Mereka
memperhatikan bahwa perubahan pada preeklampsia awal meliputi kerusakan endotelial,
perembesan isi plasma pada dinding arteri, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis tunika media.
Mereka menemukan bahwa lipid mengumpul pertama kali pada sel-sel myointimal dan
kemudian pada makrofag akan membentuk atherosis (Gambar 2.2). Obstruksi lumen arteriol
spiral oleh atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta. Perubahan-perubahan ini dianggap
menyebabkan perfusi plasenta menjadi berkurang secara patologis, yang pada akhirnya
menyebabkan sindrom preeklamsi.1

Gambar 2.2 Atherosis5

Faktor imunologis
Karena preeklamsi terjadi paling sering pada kehamilan pertama, terdapat spekulasi
bahwa terjadi reaksi imun terhadap antigen paternal sehingga menyebabkan kelainan ini.5
Hanya ada sedikit data yang mendukung keberadaan teori bahwa preeklamsi adalah
proses yang dimediasi sistem imun. Perubahan adaptasi pada sistem imun dalam patofisiologi
preeklamsia dimulai pada awal trimester kedua. Wanita yang cenderung mengalami preeklamsi
memiliki jumlah T helper cells (Th1) yang lebih sedikit.dibandingkan dengan wanita yang
normotensif. Ketidakseimbangan ini terjadi karena terdapat dominasi Th2 yang dimediasi oleh
adenosin. Limfosit T helper ini mengeluarkan sitokin spesifik yang memicu implantasi dan
kerusakan pada proses ini dapat menyebabkan preeklamsi.
Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi
Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon dari plasenta karena
terjadi iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses tertentu. Desidua juga memiliki sel-sel
yang bila diaktivasi maka akan mengeluarkan agen noxious. Agen ini dapat menjadi mediator
yang mengakibatkan kerusakan sel endotel. Sitokin tertentu seperti tumor necrosis factor-
(TNF-) dan interleukin memiliki kontribusi terhadap stres oksidatif yang berhubungan dengan
preeklamsi. Stres oksidatif ditandai dengan adanya oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan
menyebabkan pembentukan lipid peroksida. Hal ini akan menghasilkan toksin radikal yang
merusak sel-sel endotel, memodifikasi produksi Nitric Oxide, dan mengganggu keseimbangan
prostaglandin. Fenomena lain yang ditimbulkan oleh stres oksidatif meliputi pembentukan sel-sel

busa pada atherosis, aktivasi koagulasi intravaskular (trombositopeni), dan peningkatan


permeabilitas (edema dan proteinuria).4

Bagan 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan. 5

Faktor nutrisi
Tekanan darah pada individu-individu yang tidak hamil dipengaruhi oleh sejumlah
pengaruh makanan, termasuk mineral dan vitamin. Beberapa studi telah membuktikan hubungan
antara kekurangan makanan dan insidensi terjadinya preeklamsi. Hal ini telah didahului oleh
studi-studi tentang suplementasi dengan berbagai unsur seperti zinc, kalsium, dan magnesium
yang dapat mencegah preeklamsi. Studi lainnya, seperti studi oleh John dan kawan-kawan
(2002), membuktikan bahwa dalam populasi umum dengan diet tinggi buah dan sayuran yang
memiliki efek antioxidant berhubungan dengan tekanan darah yang menurun.
8

Faktor genetik
Predisposisi herediter terhadap hipertensi tidak diragukan lagi berhubungan dengan
preeklamsi dan tendensi untuk terjadinya preeklamsi juga diturunkan. Penelitian yang dilakukan
oleh

Kilpatrick

dan

kawan-kawan

menunjukkan

adanya

hubungan

antara

antigen

histokompatibilitas HLA-DR4 dengan hipertensi proteinuria. Menurut Hoff dan kawan-kawan,


respon imun humoral maternal yang melawan antibodi imunoglobulin fetal anti HLA-DR dapat
menimbulkan hipertensi gestasional.

Patofisiologi
Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti, preeklamsi merupakan
suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu vasospasme. Pada beberapa kasus, mikroskop cahaya
menunjukkan bukti insufisiensi plasenta akibat kelainan tersebut, seperti trombosis plasenta
difus, inflamasi vaskulopati desidua plasenta, dan invasi abnormal trofoblastik pada
endometrium. Hal-hal ini menjelaskan bahwa pertumbuhan plasenta yang abnormal atau
kerusakan plasenta akibat mikrotrombosis difus merupakan pusat perkembangan kelainan ini.
Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme, dengan konstriksi
arterial dan penurunan volume intravaskular relatif dibandingkan dengan kehamilan normal.
Sistem vaskular pada wanita hamil menunjukkan adanya penurunan respon terhadap peptida
vasoaktif seperti angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi menunjukkan
hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini dan hal ini merupakan gangguan yang dapat terlihat
bahkan sebelum hipertensi tampak jelas. Pemeliharaan tekanan darah pada level normal dalam
kehamilan tergantung pada interaksi antara curah jantung dan resistensi vaskular perifer, tetapi
masing-masing secara signifikan terganggu dalam kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50%
karena peningkatan nadi dan volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang
bersirkulasi meningkat pada trimester II, tekanan darah cenderung untuk menurun, menunjukkan
adanya reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi diakibatkan karena penurunan viskositas
darah dan sensivitas pembuluh darah terhadap angiotensin karena adanya prostaglandin
vasodilator.
Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal yang terganggu
terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi terhadap perkembangan preeklamsi.
9

Disfungsi endotel yang luas menimbulkan manifestasi klinis berupa disfungsi multi organ,
meliputi susunan saraf pusat, hepar, pulmonal, renal, dan sistem hematologi. Kerusakan endotel
menyebabkan kebocoran kapiler patologis yang dapat bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan
berat badan yang cepat, edema non dependen (muka atau tangan), edema pulmonal, dan
hemokonsentrasi. Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin dapat terkena dampaknya akibat
penurunan aliran darah utero-plasenta. Penurunan perfusi ini menimbulkan manifestasi klinis
seperti tes laju jantung janin yang non-reassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion,
dan pertumbuhan janin terhambat pada kasus-kasus yang berat.
Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah sedikit, sedangkan
tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada usia kehamilan muda (13-20 minggu) dan
naik kembali pada trimester ke III. Pembentukkan ruangan intervillair, yang menurunkan
resistensi vaskular, lebih lanjut akan menurunkan tekanan darah.1,2
Patogenesis pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek penelitian dan spekulasi.
Beberapa teori dan mekanisme etiologi telah dipercaya sebagai etiologi yang paling mungkin,
tetapi tidak ada satupun yang dengan jelas terbukti. Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya
sebagai patogenesis dari konvulsi eklamsi meliputi vasokonstriksi atau vasospame serebral,
hipertensi ensefalopati, infark atau edema serebral, perdarahan serebral, dan ensefalopati
metabolik. Akan tetapi, tidak ada kejelasan apakah penemuan ini merupakan sebab atau efek
akibat konvulsi.

Pemeriksaan Prediktif
Beberapa cara prediksi dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan baku pada perawatan antenatal
2. Pemeriksaan sistem vaskular
3. Pemeriksaan biokimia
4. Pemeriksaan hematologi
5. Ultrasonograf

Pemeriksaan Baku pada Perawatan Antenatal


Pemeriksaan baku pada perawatan antenatal ada 2 macam, yaitu pemeriksaan tekanan
darah dan kenaikan berat badan. Seringkali gejala pertama yang mencurigakan adanya hipertensi
10

dalam kehamilan ialah terjadi kenaikan berat badan yang melonjak tinggi dan dalam waktu
singkat. Kenaikan berat badan 0,5 kg setiap minggu dianggap masih dalam batas wajar, tetapi
bila kenaikan berat badan mencapai 1 kg perminggu atau 3 kg perbulan maka harus diwaspadai
kemungkinan timbulnya hipertensi.6
Ciri khas kenaikan berat badan penderita hipertensi dalam kehamilan ialah kenaikan yang
berlebihan dalam waktu singkat, bukan kenaikan berat badan yang merata sepanjang kehamilan,
karena berat badan yang berlebihan tersebut merupakan refleksi dari pada edema.
Pemeriksaan Sistim Vaskular
1. Tes Tidur Miring (TTM)
Tes ini dikenal dengar nama Roll-over test pertama kali diperkenalkan oleh Gant dan
dilakukan pada usia kehamilan 28-32 minggu. Pasien berbaring dalam sikap miring ke kiri,
kemudian tekanan darah diukur, dicatat dan diulangi sampai tekanan darah tidak berubah.
Kemudian penderita tidur terlentang, diukur dan dicatat kembali tekanan darahnya. Tes
dianggap positif bila selisih tekanan darah diastolik antara posisi baring ke kiri dan terlentang
menunjukkan 20 mmHg atau lebih. Tes ini mempunyai sensitivitas 88%, spesifitas 95%, nilai
prediksi positif 93% dan nilai prediksi negatif 91%.6
2. Infus Angiotensin II
Wanita hamil yang normotensi relatif refrakter terhadap infus Angiotensin. Tes ini dikerjakan
pada kehamilan 28-32 minggu, dengan memberikan Angiotensin II per infus >8
ng/kgbb/menit menghasilkan respons tekanan darah 20 mmHg, tetap normotensi selama
kehamilan, sedangkan yang mendapat < 8 ng/kgbb/menit dan terjadi kenaikan tekanan
diastolik 20 mmHg, 90% akan terjadi hipertensi dalam kehamilan. Namun tes ini mahal, rumit
dan memakan waktu sehingga tidak praktis dipakai sebagai tes penapisan.6
3. Tes Latihan Isometrik (Isometric exercise test)
Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifitas cukup tinggi. Degani dkk berpendapat bahwa
tekanan darah diastol yang berespons terhadap tes hand grip ini menggambarkan reaktifitas
vaskular pada wanita hamil, jadi dapat digunakan untuk deteksi hiperaktivitas vaskular dan
untuk prediksi preeklampsia.6
Tes dilakukan dengan cara penderita baring kesisi lateral kiri, ukur tekanan darah, kemudian
penderita memijit bola karet tensimeter yang dipasang pada lengan lain, sampai kontraksi
11

maksimal untuk 30 detik dalam waktu 3 menit. Tes dikatakan positif bila terdapat kenaikan
tekanan diastolik lebih dari 20 mmHg. 6
Pemeriksaan Biokimia
1. Kadar Asam Urat
Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi perubahan sistim hemodinamik seperti penurunan
volume darah, peningkatan hematokrit dan viskositas darah. Akibat dari perubahanperubahan tersebut akan terjadi perubahan fungsi ginjal, aliran darah ginjal menurun,
kecepatan filtrasi glomerulus menurun yang mengakibatkan menurunnya klirens asam urat
dan akhirnya terjadi peningkatan kadar asam urat serum. Rata-rata kadar asam urat mulai
meningkat 6 minggu sebelum preeklampsia menjadi berat.6
Konsentrasi asam urat > 350 umol/l merupakan pertanda suatu preeklampsia berat dan
berhubungan dengan angka kematian perinatal yang tinggi khususnya pada umur kehamilan
28-36 minggu. Pada penderita yang sudah terbukti preeklampsia maka kadar asam urat serum
menggambarkan beratnya proses penyakit.
2. Kadar Kalsium
Beberapa peneliti melaporkan adanya hipokalsiuria dan perubahan fungsi ginjal pada pasien
preeklampsia. Perubahan-perubahan tersebut terjadi beberapa waktu sebelum munculnya
tanda-tanda klinis. Hal ini terlihat dari perubahan hasil tes fungsi ginjal. Rondriquez
mendapatkan bahwa pada umur kehamilan 24-34 minggu bila didapatkan mikroalbuminuria
dan hipokalsiuria ini dideteksi dengan pemeriksaan tes radioimunologik.
3. Kadar - Human Chorionic Gonadotrophin (-hCG)
Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar hCG meningkat pada penderita preeklampsia.
Sorensen dkk melaporkan bahwa wanita hamil trimester II dengan kadar -hCG > 2 kali nilai
rata-rata mempunyai risiko relatif 1,7 kali lebih besar untuk mengalami preeklampsia
dibandingkan dengan wanita yang mempunyai kadar -hCG < 2 kali nilai rata-rata. Terakhir
Miller dkk melaporkan bahwa peningkatan kadar -hCG pada kehamilan 15-20 minggu
memprediksi timbulnya preeklampsia terutama preeklampsia berat. Namun hingga saat ini
pemeriksaan kadar preeklampsia masih terbatas. 6
Pemeriksaan Hematologi
12

1. Volume plasma
Pada keadaan hipertensi dalm kehamilan terjadinya penurunan volume plasma sesuai dengan
beratnya penyakit. Terjadinya

penurunan volume plasma sebesar 30%-40% dari nilai

normal, bahkan ada beberapa peneliti yang melaporkan terjadinya penurunan volume plasma
jauh sebelum munculnya manifestasi klinik hipertensi. Volume plasma diukur dengan cara :
penderita tidur posisi miring ke kiri selama 30 menit, diambil 10 cc darah kemudian
tambahkan dengan 3 ml Evans dye blue selanjutnya dicampur dengan 10 ml NaCL. Setiap 10
menit diambil darah untuk 3 sampel kemudian disentrifus untuk memisahkan serum. Sampel
darah kemudian dibandingkan dengan serum kontrol yang mempunyai ukuran 620 nm,
dengan mempergunakan spektofotometer Beckman Acta C III. Hasil yang didapat
dimasukkan ke dalam rumus:
Dye injected (ug)
Volume Plasma ( ml) = -------------------------------Konsentrasi dye ( ug/ml )
2. Kadar hemoglobin dan hematokrit
Pengurangan volume plasma pada preeklampsia tampak pada kenaikan kadar hemoglobin
dan hematokrit. Murphy dkk menunjukkan bahwa pada wanita hamil terdapat korelasi yang
tinggi antara terjadinya preeklampsia dan kadar Hb. Mereka mendapatkan pada primigravida
frekuensi terjadinya hipertensi dalam kehamilan 7% bila kadar Hb < 10.5 gr% sampai 42%
bila kadar Hb > 14.5% gr%. Gerstner menyatakan adanya hubungan langsung antara nilai Ht
dengan indeks gestosis. Indeks gestosis > 7 selalu disertai Ht > 37%, dan dikatakan ada
korelasi antara hematokrit dan progesivitas penyakit.6
3. Kadar trombosit dan fibronectin
Redman menyatakan bahwa hipertensi dalam kehamilan didahului oleh menurunnya
trombosit sebelum tekanan darah meningkat, dan trombositopeni merupakan tanda awal
hipertensi dalam kehamilan. Dikatakan trombositopenia bila kadar trombosit < 150.000/mm 3.
Bukti adanya kelainan proses koagulasi dan aktivasi platelet pertama kali didapatkan pada
tahun 1893 dengan ditemukannya deposit fibrin dan trombosit pada pembuluh darah berbagai
organ tubuh wanita yang meninggal karena eklampsia.

13

Kelainan hemostatik yang paling sering ditemukan pada penderita preeklampsia adalah
kenaikan kadar faktor VIII dan penurunan kadar anti trombin III. Pada penderita hipertensi
dalam kehamilan didapatkan peningkatan kadar fibronectin. Fibronectin merupakan
glikoprotein pada permukaan sel dengan berat molekul 450.000, disintesis oleh endotel dan
histiosit. Kadar normalnya dalam darah 250-420 ug/ml, biasanya berkonsentrasi pada
permukaan pembuluh darah. Fibronectin akan dilepaskan ke dalam sirkulasi bila terjadi
kerusakan endotel pembuluh darah. Keadaan ini memperkuat hipotesis bahwa kerusakan
pembuluh darah merupakan dasar patogenesis terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Bellenger melaporkan peningkatan kadar fibronectin sebagai tanda awal preeklampsia pada
31 dari 32 wanita dengan usia kehamilan antara 25-36 minggu. Kadar fibronectin meningkat
antara 3,6 1,9 minggu lebih awal dari kenaikan tekanan darah atau proteinuria.
Ultrasonografi
Dalam 2 dekade terakhir ultrasonografi semakin banyak dipakai alat penunjang
diagnostik dalam bidang obstetri. Bahkan dengan perkembangan teknik Doppler dapat dilakukan
pengukuran gelombang kecepatan aliran darah dan volume aliran darah pada pembuluh darah
besar seperti arteri uterina dan arteri umbilikalis. Pada wanita penderita hipertensi dalam
kehamilan sering ditemukan kelainan gelombang arteri umbilikalis, dimana dapat terlihat
gelombang diastolik yang rendah, hilang atau terbalik.
Ducey dkk dalam penelitian terhadap 136 wanita hamil mendapatkan 43% penderita
preeklampsia mempunyai gambaran SD ratio yang abnormal, dan mendapatkan adanya
penurunan aliran darah arteri uterina dan arteri umbilikalis pada mayoritas penderita
preeklampsia. Nilai prediktif positif pada

penelitian ini sekitar 75%. Pada penelitian lain,

Kofinas dkk memperlihatkan bahwa insidens preeklampsia pada plasenta letak unilateral 2,8 kali
lebih besar dari pada pasien dengan plasenta letak sentral.
Penentuan letak plasenta ini dilakukan dengan pemeriksaan USG real time. Dikatakan bahwa
bila plasenta terletak unilateral maka arteri uterina yang terdekat dengan plasenta mempunyai
tahanan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lainnya, sedang pada plasenta letak sentral
tahanan kedua arteri tersebut sama besarnya. Pada tahanan yang lebih besar tersebut dapat
menurunkan

aliran darah uteroplasenter yang merupakan salah satu kelainan dasar pada

14

preeklampsia. Terjadinya hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu mekanisme


kompensasi untuk meningkatkan aliran darah uterus yang disebabkan oleh iskemia.19
Ultrasonografi dapat digunakan sebagai alat untuk pemeriksaan wanita hamil dengan risiko
tinggi sebab cara ini aman, mudah dilakukan, tidak invasif dan dapat dilakukan pada kehamilan
muda. 6

Diagnosis dan Gejala Klinis


Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan laboratorium guna memantau
perubahan dalam hematologi, ginjal, dan hati yang dapat mempengaruhi prognosis pasien dan
janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk memantau pasien hipertensi dalam
kehamilan adalah hemoglobin dan hematokrit untuk memantau hemokonsentrasi yang
mendukung diagnosis hipertensi gestasional. Pemeriksaan enzim AST, ALT dan LDH untuk
mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui adanya proteinuria atau jumlah
ekskresi protein uri 24 jam. Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui fungsi ginjal, yang
umumnya pada kehamilan kreatinin serum menurun. Asam urat perlu diperiksa karena kenaikan
asam urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya preeklamsia. Pemeriksaan EKG diperlukan
pada hipertensi kronik. Seperti juga pada kehamilan tanpa hipertensi, perlu pula dilakukan
pemeriksaan gula darah dan kultur urin. Diagnosis hipertensi dalam kehamilan berarti adalah
ditemukannya peningkatan tekanan darah pada pemeriksaan vital sign.
Standar pengukuran tekanan darah adalah sebagai berikut. Tekanan darah sebaiknya
diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff setinggi jantung. Adanya penekanan vena kava
inferior oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat mengganggu pengukuran sehingga terjadi
pengukuran yang lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk
tenang 5-10 menit.2
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat 140/90 mmHg atau
lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan tekanan darah diastolik.. Pada
masa lalu, telah dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik
30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur di
bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti
menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek
samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya menurun pada
15

trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik pada primigravida dengan kehamilan normotensi
kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik
karena hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi. Oedem dianggap
patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai. Sebagai catatan, oedem tidak
selalu terdapat pada pasien preeklamsi maupun eklamsi.
Criteria diagnosis hipertensi dalam kehamilan rekomendasi dari The Assocety of
Obstetrician and Gynaecologist of Canada (JOGC Vol 30 number 3, March 2008) adalah:
1. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan di rumah sakit atau tenpat pelayanan
kesehatan primer.
2. Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan diastolic >90 mmHg,
didapatkan pada minimal 2 kali pemeriksaan pada lengan yang sama.
3. Wanita dengan sistolok >140 mHg harus dipantau untuk mengawasi adanya
perkembangan ke arah hipertensi diastolic.
4. Hipertensi berat, didefinisikan debagai tekanan darah sistolik 160 mmHg atau tekanan
darah diastolik 110 mmHg,
5. Untuk hipertensi tidak berat, pemeriksaan tekanan darah serial harus dicatat sebelum
menegakkan diagnosis hipertensi.
6. Pada hipertensi berat, konfirmasi pemeriksaan ulang dilakukan setelah 15 menit.
a. Hipertensi Gestasional
Kriteria diagnosis pada hipertensi gestasional, yaitu:
TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.
Tidak ada proteinuria.
TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri epigastrium atau
trombositopenia.
b. Pre Eklamsia dan Eklamsia
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :

TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.


Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

Kemungkinan terjadinya preeklamsi :

TD 160/110 mmHg.
Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
16

Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.
Trombosit <100.000/mm3.
Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
Peningkatan ALT atau AST.
Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
Nyeri epigastrium persisten.
c. Superimposed Preeklasmsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :

Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada sebelum

kehamilan 20 minggu.
Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit
<100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan 20

minggu.
d. Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
Hipertensi ( 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.
Hipertensi ( 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila ada penyakit
trofoblastik.
Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil tidak
mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis
didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan
darah yang meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal
terjadinya preeklamsi. Hipertensi esensial merupakan penyebab dari penyakit vaskular pada
> 90% wanita hamil. Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum lainnya. Pada
beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari penyakit parenkim ginjal
yang mendasari.

Obesitas
Hipertensi esensial
Kelainan arterial : hipertensi renovaskular, koartasi aorta
Gangguan-gangguan ensokrin : Diabetes Melitus, Sindroma Cushing, aldosteronism

primer, Pheochromocytoma, Thyrotoxicosis.


Glomerulonephritis (akut dan kronis)
Hipertensi renoprival : Glomerulonephritis kronis, Diabetic nephropathy.
17

Penyakit jaringan konektif : SLE, Systemic Sclerosis, Periarteritis nodosa


Penyakit ginjal polikistik
Gagal ginjal

Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah dapat meningkat sampai
tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai oleh proteinuria, maka
preeklamsi yang mendasarinya dapat didiagnosis. Preeklamsi yang mendasari hipertensi
kronis ini sering berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi murni, dan hal
ini cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan

hambatan dalam

pertumbuhan janin.

Penatalaksanaan
Laporan NHBPEP Working Group, menyediakan 3 panduan penatalaksanaan :
1.

Persalinan merupakan terapi yang paling tepat untuk ibu, tetapi tidak demikian
untuk janin. Dasar terapi di bidang obstetrik untuk preeklamsi berdasarkan apakah janin dapat
hidup tanpa komplikasi neonatal serius baik dalam uterus maupun dalam perawatan rumah
sakit.

2.

Perubahan patofisiologi pada preeklamsi berat menunjukkan bahwa perfusi yang


buruk merupakan sebab utama perubahan fisiologis maternal dan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas perinatal. Kesempatan untuk mengatasi preeklamsi dengan diuretik atau
dengan menurunkan tekanan darah dapat menimbulkan perubahan patofisiologis.

3.

Perubahan patogenik pada preeklamsi telah ada jauh sebelum diagnostik klinis
timbul. Penemuan ini menunjukkan bahwa perubahan ireversibel terhadap kesejahteraan janin
dapat terjadi sebelum diagnosis klinis. Jika ada pertimbangan konservatif daripada persalinan,
maka ditujukan untuk memperbaiki kondisi ibu agar janin dapat menjadi matur.7

Penanganan pra-kehamilan
Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan kondisi tekanan
darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab sekunder yang mungkin,
kerusakan target organ, dan rencana strategis penatalaksanaannya. Kebanyakan wanita penderita
hipertensi yang merencanakan kehamilan harus menjalani skrining adanya faeokromositoma
18

karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi apabila keadaan ini tidak terdiagnosa
pada ante partum.8
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir trimester untuk
menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah yang tinggi (140/90 mmHg)
akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk menentukan beratnya hipertensi. Wanita
hamil dengan hipertensi yang berat akan dievaluasi secara ketat bahkan dapat dilakukan
terminasi kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang ringan dapat menjalani rawat jalan.
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting diketahui
mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui aman digunakan selama
kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker. Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan
sebelum terjadinya konsepsi atau segera setelah kehamilan terjadi.8
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi berat, terutama
apabila terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat atau munculnya proteinuria.
Evaluasi secara sistematis meliputi :
1. Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti sakit
kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat badan secara
cepat.
2. Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari setelahnya.
3. Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.
4. Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat pertengahan
tengah malam dengan pagi hari.
5. Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati, frekuensi
pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.
6. Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan dengan
menggunakan ultrasonografi.9
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya yang berlebihan.
Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan pemberian sedatif. Diet harus
mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang cukup. Pembatasan garam tidak diperlukan
asal tidak berlebihan.
Penatalaksanaan hipertensi kronis selama kehamilan
19

Kebanyakan pasien dengan hipertensi kronis mempunyai hipertensi esensial. Peningkatan


morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien ini adalah secara primer berhubungan dengan
terjadinya preeklamsi superimposed dan solusio plasenta. Hipertensi akibat sekunder terhadap
penyakit ginjal, faeokromositoma, penyakit endokrin, dan koarktasio aorta tidak umum dalam
kehamilan. Faktor-faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadinya
preeklamsi superimposed adalah umur ibu lebih dari 40 tahun, hipertensi lebih dari 15 tahun,
tekanan darah > 160/110 mmHg pada awal kehamilan, diabetes klas B-F, kardiomiopati, dan
penyakit ginjal atau autoimun.9
Evaluasi yang tepat memerlukan pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk funduskopi.
Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan meliputi urinalisis dan kultur urin,
penampungan urin 24 jam untuk mengetahui total ekskresi protein dan klirens kreatinin, dan
pemeriksaan elektrolit. Beberapa pasien mungkin memerlukan pemeriksaan EKG, rontgen
thorax, tes antibodi antifosfolipid, antibodi antinuklear, dan katekolamin urine.
Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi
kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup karena tidak
ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis neonatal. Lebih lanjut lagi,
tekanan darah biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping itu hipertensi mudah di
kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan aerobik ringan harus dibatasi
berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran darah plasenta yang inadekuat dapat
meningkatkan risiko preeklampsia dan penurunan berat badan seharusnya tidak dicoba bahkan
pada wanita hamil yang obese. Walaupun data pada wanita hamil bervariasi, banyak ahli yang
merekomendasikan restriksi intake garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan rokok
harus dihentikan.9
Pasien dikontrol tiap 2 minggu sampai mencapai usia kehamilan 28 minggu dan
kemudian setiap minggu sampai persalinan. Dalam setiap kunjungan, tekanan darah sitolik dan
diastolik harus dicatat dan dilakukan tes urin untuk mengetahui adanya glukosa atau protein.
Evalusai tambahan dilakukan tergantung dari beratnya penyakit, seperti pengukuran hematokrit,
serum kreatinin, asam urat, klirens kreatinin, dan ekskresi protein 24 jam. Hospitalisasi
diindikasikan apabila hipertensi memburuk, terjadi proteinuria yang signifikan, dan peningkatan
asam urat. Peningkatan asam urat > 6 mg/dL seringkali merupakan tanda awal preeklamsi
superimposed.
20

Penggunaan obat anti hipertensi pada wanita hamil penderita hipertensi kronis bervariasi
pada beberapa pusat kesehatan. Beberapa klinisi lebih suka menghentikan medikasi anti
hipertensi ketika menjalankan observasi ketat, termasuk penggunaan monitor tekanan darah di
rumah. Pendekatan ini menggambarkan perhatian terhadap keamanan terapi obat anti hipertensi
dalam kehamilan. Sebuah meta-analisis terhadap 45 penelitian acak terkontrol tentang
penatalaksanaan beberapa kelas obat anti hipertensi pada hipertensi tingkat 1 dan 2 selama
kehamilan menunjukkan hubungan linier langsung antara penurunan tekanan darah rata-rata
karena terapi dengan proporsi bayi KMK (Kecil Untuk Masa Kehamilan). Hubungan ini tidak
tergantung pada tipe hipertensi, tipe obat anti hipertensi, dan lamanya terapi.
Bagaimanapun juga pada wanita hamil dengan kerusakan target organ atau yang lebih
dulu memerlukan bermacam obat anti hipertensi untuk mengontrol tekanan darahnya, medikasi
anti hipertensi harus dilanjutkan untuk mengontrol tekanan darahnya. Pada semua kasus, terapi
harus dijalankan ketika tekanan darah mencapai 150-160 mmHg sistolik atau 100-110 mmHg
diastolik untuk mencegah peningkatan tekanan darah pada tingkat yang sangat tinggi pada
kehamilan. Akan tetapi ada beberapa pendapat yang merekomendasikan pemberian obat anti
hipertensi saat tekanan darah mencapai 180/110 mmHg. Penatalaksanaan yang agresif pada
hipertensi kronis yang berat pada trimester pertama sangat penting, mengingat kematian janin
mencapai 50% dan angka kematian maternal yang signifikan telah banyak dilaporkan.
Kebanyakan prognosis paling buruk berhubungan dengan superimposed preeklamsi. Lebih jauh
lagi, wanita dengan hipertensi kronis mempunyai faktor risiko lebih tinggi dalam memperburuk
prognosis neonatal jika proteinuria didapatkan pada awal kehamilan.
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan sehingga
obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti dengan obat lain seperti
metildopa dan labetalol. Metil dopa merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan dan
tetap menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang baik. Banyak wanita
yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan
masih menjadi bahan perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif
garam atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus dihentikan apabila terjadi
preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti
hipertensi pada hipertensi kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit
kardiovaskular yang mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat lini pertama yang
21

biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra indikasi (menginduksi kerusakan
hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau labetalol dapat digunakan.9
Penatalaksanaan preeklamsi
Diagnosis dini, supervisi medikal yang ketat, waktu persalinan merupakan persyaratan
yang mutlak dalam penatalaksanaan preeklamsi. Persalinan merupakan pengobatan yang utama.
Setelah diagnosis ditegakkan, penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal
terhadap kesejahteraan ibu dan janin. Berdasarkan hal ini, keputusan dalam penatalaksanaan
dapat ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi, ekspektatif atau terminasi kehamilan serta harus
memperhitungkan beratnya penyakit, keadaan ibu dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama
pengambilan strategi penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin hidup yang
tidak memerlukan perawatan neonatal lebih lanjut dan lama.10
Penatalaksanaa pada preeklamsi dibagi berdasarkan beratnya preeklamsi, yaitu :

Preeklamsi ringan
Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk mengawasi perjalanan
penyakit karena penyakit ini dapat memburuk sewaktu-waktu. Adanya gejala seperti sakit
kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan dan proteinuri meningkatkan risiko
terjadinya eklamsi dan solusio plasenta. Pasien-pasien dengan gejala seperti ini
memerlukan observasi ketat yang dilakukan di rumah sakit. Pasien harus diobservasi
tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan klirens kreatinin dan protein total seminggu
2 kali, tes fungsi hati, asam urat, elektrolit, dan serum albumin setiap minggu. Pada
pasien preeklamsi berat, pemeriksaan fungsi pembekuan seperti protrombin time, partial
tromboplastin time, fibrinogen, dan hitung trombosit. Perkiraan berat badan janin
diperoleh melalui USG saat masuk rumah sakit dan setiap 2 minggu. Perawatan jalan
dipertimbangkan bila ketaatan pasien baik, hipertensi ringan, dan keadaan janin baik.
Penatalaksanaan terhadap ibu meliputi observasi ketat tekanan darah, berat badan,
ekskresi protein pada urin 24 jam, dan hitung trombosit begitu pula keadaan janin
(pemeriksaan denyut jantung janin 2x seminggu). Sebagai tambahan, ibu harus diberitahu
mengenai gejala pemburukan penyakit, seperti nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan
gangguan penglihatan. Bila ada tanda-tanda progresi penyakit, hospitalisasi diperlukan.
Pasien yang dirawat di rumah sakit dibuat senyaman mungkin. Ada persetujuan umum
22

tentang induksi persalinan pada preeklamsi ringan dan keadaan servik yang matang (skor
Bishop >6) untuk menghindari komplikasi maternal dan janin. Akan tetapi ada pula yang
tidak menganjurkan penatalaksanaan preeklamsi ringan pada kehamilan muda. Saat ini
tidak ada ketentuan mengenai tirah baring, hospitalisasi yang lama, penggunaan obat anti
hipertensi dan profilaksis anti konvulsan. Tirah baring umumnya direkomendasikan
terhadap preeklamsi ringan. Keuntungan dari tirah baring adalah mengurangi edema,
peningkatan pertumbuhan janin, pencegahan ke arah preeklamsi berat, dan meningkatkan
outcome janin. Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan kecuali tekanan darah melonjak
dan usia kehamilan 30 minggu atau kurang. Pemakaian sedatif dahulu digunakan, tatapi
sekarang tidak dipakai lagi karena mempengaruhi denyut jantung istirahat janin dan
karena salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor pembekuan yang tergantung
vitamin K dalam janin. Sebanyak 3 penelitian acak menunjukkan bahwa tidak ada
keuntungan tirah baring baik di rumah maupun di rumah sakit walaupun tirah baring di
rumah menurunkan lamanya waktu di rumah sakit. Sebuah penelitian menyatakan adanya
progresi penyakit ke arah eklamsi dan persalinan prematur pada pasien yang tirah baring
di rumah. Namun, tidak ada penelitian yang mengevaluasi eklamsi, solusio plasenta, dan
kematian janin. Pada 10 penelitian acak yang mengevaluasi pengobatan pada wanita
dengan preeklamsi ringan menunjukkan bahwa efek pengobatan terhadap lamanya
kehamilan, pertumbuhan janin, dan insidensi persalinan preterm bervariasi antar
penelitian. Oleh karena itu tidak terdapat keuntungan yang jelas terhadap pengobatan
preeklamsi ringan.10
Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali dengan NST dan USG
terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non reaktif memerlukan konfirmasi lebih
lanjut dengan profil biofisik dan oksitosin challenge test. Amniosentesis untuk
mengetahui rasio lesitin:sfingomielin (L:S ratio) tidak umum dilakukan karena persalinan
awal akibat indikasi ibu, tetapi dapat berguna untuk mengetahui tingkat kematangan
janin. Pemberian kortikosteroid dilakukan untuk mematangkan paru janin jika persalinan
diperkirakan berlangsung 2-7 hari lagi. Jika terdapat pemburukan penyakit preeklamsi,
maka monitor terhadap janin dilakukan secara berkelanjutan karena adanya bahaya
solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter.9

Preeklamsi berat
23

Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah konvulsi, mengontrol


tekanan darah maternal, dan menentukan persalinan. Persalinan merupakan terapi
definitif jika preeklamsi berat terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin
sudah matang atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia
kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk mendapatkan NICU yang
baik.9
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk dengan progresif sehingga
menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh karena itu persalinan segera
direkomendasikan tanpa memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera diindikasikan
bila terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau ketika
preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan muda, bagaimana
pun juga, penundaan terminasi kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan untuk
meningkatkan keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas neonatal jangka pendek
dan jangka panjang.9,10
Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara konservatif pada wanita
dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
neonatal. Namun, karena hanya 116 wanita yang menjalani terapi konservatif pada
penelitian ini dan karena terapi seperti itu mengundang risiko bagi ibu dan janin,
penatalaksanaan konservatif hanya dikerjakan pada pusat neonatal kelas 3 dan
melaksanakan observasi bagi ibu dan janin. Semua wanita dengan usia kehamilan 40
minggu yang menderita preeklamsi ringan harus memulai persalinan. Pada usia
kehamilan 38 minggu, wanita dengan preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai
harus diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi
berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi kortikosteroid. Pada
pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang menderita preeklamsi berat, persalinan
dapat ditunda dalam usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika
usia kehamilan < 23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi
kehamilan.
Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat adalah mencegah
terjadinya komplikasi serebral seperti ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus
diberikan magnesium sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah
24

dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru janin.
Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi.
Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg , sedangkan
yang lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg. Tujuan dari
terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah 126 mmHg (tetapi tidak lebih
rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik < 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah
dari 90 mmHg). Terapi inisial pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama
peripartum adalah hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi
bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak
menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu mengalami efek samping seperti
takikardi, sakit kepala, atau mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat
diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan hidralazin,
beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi preeklamsi
berat. Pada 9 penelitian acak yang membandingkan hidralazin dengan obat lain, hanya
satu penelitian yang menyebutkan efek samping dan kegagalan terapi lebih sering
didapatkan pada hidralazin.20
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi berat dan jika
hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada awal puerperium, maka regimen
obat lain dapat digunakan. Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka
pemberian hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post
partum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama masih diperlukan.10
Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml perjam kecuali
terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis, atau kehilangan darah selama
persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi
dikarenakan pembuluh darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga
pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional
karena pada wanita eklamsi telah ada cairan ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi
dengan benar antara cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan yang
banyak dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga meninggikan risiko
terjadinya edema pulmonal atau edema otak.10

25

Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal dihindarkan pada wanita dengan
preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan utama karena adanya hipotensi yang ditimbulkan
akibat blokade simpatis. Ada juga pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena
blokade simpatis dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi plasenta. Ketika
teknik analgesi telah mengalami kemajuan beberapa dekade ini, analgesi epidural
digunakan untuk memperbaiki vasospasme dan menurunkan tekanan darah pada wanita
penderita preeklamsi berat. Selain itu, klinisi yang lebih menyenangi anestesi epidural
menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat terjadi penigkatan tekanan darah tiba-tiba
akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat menyebabkan edema pulmonal, edema
serebral dan perdarahan intrakranial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wallace dan
kawan-kawan menunjukkan bahwa penggunaan anestesi baik metode anestesi umum
maupun regional dapat digunakan pada persalinan dengan cara seksio sesarea pada
wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan pertimbangan yang hatihati. Walaupun anestesi epidural dapat menurunkan tekanan darah, telah dibuktikan
bahwa tidak ada keuntungan signifikan dalam mencegah hipertensi setelah persalinan.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah anestesi epidural aman digunakan selama
persalinan pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan
terapi terhadap hipertensi.
Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Indikasi ibu
- Usia kehamilan 38 minggu
- Hitung trombosit < 100.000 sel/mm3
- Kerusakan progresif fungsi hepar
- Kerusakan progresif fungsi ginjal
- Suspek solusio plasenta
- Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
- Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah
b. Indikasi janin
- IUGR berat
- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring
- Oligohidramnion.9
26

Penatalaksanaan eklamsi
Penatalaksanaan pada eklamsi dibagi menjadi :
1. Penatalaksanaan prenatal (kontrol konvulsi dan hipertensi)
Kebanyakan rumah sakit merekomendasikan pemberian antikonvulsan kepada semua
pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa proteinuria/edema. Obat yang digunakan
tersebut harus aman bagi ibu dan janin. Pengalaman selama 50 tahun dengan
menggunakan magnesium sulfat membuktikan bahwa obat ini cukup aman. Obat ini
dipergunakan pada preeklamsi berat dan eklamsi. Penggunaan secara suntikan baik
intramuskular intermiten maupun intra vena. Penggunaan secara intravena merupakan
antikonvulsi tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik pada ibu maupun
pada janin. Obat ini dapat pula diberikan secra intravena dengan infus kontinu.
Mengingat persalinan merupakan waktu yang paling sering untuk terjadinya konvulsi,
maka wanita dengan preeklamsi-eklamsi biasanya diberikan magnesium sulfat selama
persalinan dan 24 jam post partum atau 24 jam setelah onset konvulsi. Perlu diingat
bahwa magnesium sulfat bukan merupakan agen untuk mengatasi hipertensi.9
Magnesium sulfat yang diberikan secara parentral hampir seluruhnya diekskresikan
lewat ginjal. Intoksikasi magnesium sulfat dapat dihindari dengan memastikan bahwa
keluaran urine adekuat, reflek patella positif, dan tidak adanya depresi pernafasan.
Konvulsi eklamsi dan kejadian ulangannya hampir selalu dapat dicegah dengan
mempertahankan kadar magnesium dalam plasma sebesar 4- 7mEq/L (4.8 8.4
mg/dL atau 2.0 3.5 mmol/L). Pemberian infus intravena awal sebesar 4-6 gram
dipakai untuk membuat pemeliharaan tingkat pengobatan yang tepat dan dilanjutkan
dengan injeksi intra muskular 10 gram, diikuti 5 gram setiap 4 jam atau infus kontinu
2-3 gram per jam. Jadwal dosis pemberian seperti ini diharapkan dapat
mempertahankan tingkat plasma efektif sebesar 4-7 mEq/L.9
Reflek patella akan menghilang bila kadar plasma magnesium mencapai 10 mEq/L
(sekitar 12 mg/L), hal ini dikarenakan adanya kerja kurariformis. Magnesium bebas
atau ionized magnesium merupakan bahan yang dapat menurunkan eksitabilitas
neuronal. Tanda ini merupakan peringatan akan adanya intoksikasi magnesium karena
bila pemberian terus dilakukan maka peningkatan kadar dalam plasma yang lebih
27

lanjut akan menyebabkan depresi pernafasan. Kadar plasma lebih besar dari 10 mEq/L
akan menyebabkan depresi pernafasan, bila kadar plasma mencapai 12 mEq/L atau
lebih, maka akan menyebabkan paralisis pernafasan dan henti nafas. Intoksikasi
magnesium dapat ditangani dengan pemberian kalsium glukonas sebanyak 1 gram
secara intravena. Namun keefektifan kerja kalsium glukonas sendiri pendek, maka
bila terdapat depresi pernafasan, pemasangan intubasi trakea dan bantuan ventilasi
mekanik merupakan tindakan penyelamatan hidup. Jika laju filtrasi glomerulus
menurun maka akan mengganggu ekskresi magnesium sulfat. Oleh karena itu perlu
dilakukan pemeriksaan kadar plasma magnesium secara periodik.
Setelah pemberian 4 gram magnesium secara intravena selama 15 menit, akan terjadi
penurunan sedikit pada MABP dan peningkatan cardiac index sebesar 13%. Dengan
demikian, magnesium menurunkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah
arteri rata-rata dan pada saat yang bersamaan meningkatkan cardiac output tanpa
depresi miokardium. Hal ini tampak pada pasien berupa mual sementara dan flushing,
efek kardiovaskular ini hanya menetap selama 15 menit.
Penelitian yang dilakukan oleh lipton dan Rosenberg menunjukkan bahwa efek
antikonvulsan adalah memblok influk neuronal kalsium melalui saluran glutamat.
Penelitian lain yang dilakukan oleh cotton dan kawan-kawan pada tikus menunjukkan
bahwa induksi konvulsi terjadi pada area hipokampus karena merupakan daerah
dengan ambang konvulsi yang rendah dengan densitas reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA) yang tinggi. Reseptor ini berkaitan dengan beragam bentuk epilepsi. Karena
konvulsi dari hipokampus dapat dihambat oleh magnesium, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa magnesium memiliki efek terhadap susunan saraf pusat dalam
memblok konvulsi.
Ion magnesium dalam konsentrasi yang tinggi dapat mendepresi kontraktibilitas
miometrium. Namun dengan menjalani regimen yang telah ditentukan, maka tidak ada
bukti penurunan kontraktibilitas miometrium. Beberapa penelitian juga menunjukkan
bahwa magnesium sulfat tidak mengganggu induksi oleh oksitosin. Mekanisme
magnesium dalam menginhibisi kontraktibilitas miometrium tidak jelas benar, tetapi
diasumsikan tergantung dari efek pada kalsium intraselular. Jalur reguler kontraksi
uterus adalah peningkatan kalsium bebas intraselular yang akan mengaktivasi rantai
28

ringan miosin kinase. Konsentrasi tinggi magnesium tidak hanya menginhibisi influk
kalsium ke sel-sel miometrium, tetapi juga menyebabkan kadar kalsium intraselular
yang tinggi. Mekanisme penghambatan kontrasi uterus tergantung dari dosis, yaitu
berkisar 8-10 mEq/L. Hal ini menjelaskan mangapa tidak pernah terjadi hambatan
kontrasi uterus ketika magnesium diberikan untuk terapi dan profilaksis eklamsi
dengan menggunakan regimen yang telah ditentukan.
Magnesium sulfat

tidak menyebabkan

depresi pada janin kecuali

terjadi

hipermagnesemia berat saat persalinan. Gangguan neonatus setelah terapi dengan


magnesium juga tidak pernah dilaporkan. Penelitian yang dilakukan oleh Nelson dan
Grether menunjukkan bahwa ada kemungkinan efek protektif dari magnesium
terhadap serebral palsi terhadap bayi dengan berat badan lahir yang sangat rendah.5
Menurut penelitian Lucas dan kawan-kawan, magnesium sulfat lebih superior
dibandingkan fenitoin dalam mencegah konvulsi eklamsi. Risiko solusio plasenta juga
lebih rendah pada terapi dengan menggunakan magnesium sulfat. Pada penelitian
Belfort dan kawan-kawan, magnesium juga lebih baik dibandingkan dengan
nimodipine dalam mencegah eklamsi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Livingstone
dan kawan-kawan menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak tampak menghalangi
progresi preeklamsi ringan menjadi preeklamsi berat. Oleh karena itu, magnesium
sulfat sudah tidak diberikan lagi pada preeklamsi ringan sejak tahun 1999.5
Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara infus intra vena kontinu untuk
preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1. Berikan 4-6 gram loading dose magnesium sulfat yang diencerkan dalam 100 mL
cairan infus sekitar 15-20 menit.
2. Mulai dengan dosis 2 gram/ hari dalam 100 ml cairan infus pemeliharaan.
3. Ukur serum magnesium setiap 4-6 jam dan sesuaikan infus untuk menjaga level
plasma 4-7 mEq/L.
4. Magnesium sulfat tidak dilanjutkan 24 jam setelah persalinan.
Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara injeksi intra muskular intermiten
untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1. Berikan 4 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan kecepatan tidak
lebih dari 1 gram/menit.
29

2. Dilanjutkan dengan 10 gram magnesium sulfat 50%, 5 gram diinjeksikan pada


masing-masing kuadran atas bokong kanan-kiri dengan menggunakan jarum 3
inchi (tambahkan 1 ml lidocain 2% untuk mengurangi nyeri). Jika konvulsi teteap
terjadi setelah 15 menit, berikan tambahan 2 gram magnesium sulfat 20% secara
intra vena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit.
3. Setiap 4 jam kemudian, beikan 5 gram magnesium sulfat 50% yang diinjeksikan
pada kuadran kanan atas bokong secara bergantian kanan dan kiri. Hal yang harus
diperhatikan : reflek patella, tidak ada depresi pernafasan, output urine dalam 4
jam lalu mencapai 100 mL.
4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah persalinan.5
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg. Tujuan utama
pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-100
mmHg.9
Penatalaksanaan Pasca salin
Beberapa bagian terapi tidak perlu dilanjutkan setelah persalinan. Karena 25% konvulsi
sering terjadi postpartum, pasien dengan preeklamsi tetap melanjutkan magnesium sulfat sampai
24 jam setelah persalinan. Fenobarbital 120 mg/hari kadang-kadang digunakan pada pasien
dengan hipertensi persisten dimana diuresis spontan postpartum tidak terjadi atau hiperreflek
menetap 24 jam pemberian magnesium sulfat. Bila tekanan diastol tetap konstan diatas 100
mmHg selama 24 jam postpartum, beberapa obat anti hipertensi harus diberikan seperti diuretik,
Ca channel blocker, ACE inhibitor, Central alpha agonist, atau beta bloker. Setelah follow-up 1
minggu, pemberian terapi anti hipertensi dapat dievaluasi kembali.1
Prioritas utama penatalaksanaan eklamsi adalah mencegah kerusakan maternal dan
menjaga fungsi respirasi dan kardiovaskular. Selama atau segera setalah episode konvulsi akut,
terapi suportif harus diberikan untuk mencegah kerusakan serius maternal dan aspirasi.
Penjagaan jalan nafas dilakukan dengan penyangga lidah yang dimasukkan diantara gigi dan
diberikan oksigenisasi maternal. Untuk meminimalisasikan risiko aspirasi, pasien harus
berbaring dengan posisi dekubitus lateral. Muntah dan sekresi oral harus dihisap bila diperlukan.
Selama terjadi konvulsi, hipoventilasi dan asidosis respiratoar sering terjadi. Walaupun konvulsi
pertama hanya berlangsung selama beberapa menit, penting untuk menjaga oksigenisasi dengan
pemberian oksigen lewat face mask dengan atau tanpa reservoir sebesar 8-10 L/menit. Setelah
30

konvulsi berhenti, pasien mulai bernafas kembali dan oksigenisasi menjadi masalah lagi.
Hipoksemia maternal dan asidosis dapat terjadi pada pasien yang mengalami konvulsi berulang,
pneumonia aspirasi, edema pulmonal, atau kombinasi faktor-faktor ini. Ada kebijakan untuk
menggunakan transcutaneus pulse oxymetri untuk monitor oksigenasi pada semua pasien
eklamsi. Bila hasil pulse oksimetri abnormal (saturasi oksigen < 92%), maka perlu dilakukan
analisis gas darah. Hal yang selanjutnya diperlukan untuk mencegah terjadinya konvulsi
berulang adalah pemberian magnesium sulfat sesuai regimen yang telah tersedia di masingmasing rumah sakit. Sekitar 10% wanita eklamsi akan mengalami konvulsi ke dua setelah
menerima magnesium sulfat. Langkah selanjutnya dalam penanganan eklamsi adalah
menurunkan tekanan darah dalam batas aman, tetapi pada saat yang sama menghindari terjadinya
hipotensi. Tujuan objektif dalam terapi hipertensi berat adalah menghindari kehilangan
autoregulasi serebral dan untuk mencegah gagal jantung kongestif tanpa mengganggu perfusi
serebral atau membahayakan aliran darah uteroplasenter yang sudah tereduksi pada wanita
dengan eklamsi. Ada kebijakan untuk menjaga tekanan sistolik sebesar 140-160 mmHg dan
tekanan diastolik sebesar 90-110 mmHg. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian hidralazin
atau labetalol (2040m g IV) setiap 15 menit. Bila diperlukan, nifedipin 10-20 mg oral setiap
30 menit sampai dosis maksimal 50 mg dalam satu jam. 1,2
Hipoksemia maternal dan hiperkarbia dapat menyebabkan perubahan denyut jantung
janin dan aktivitas rahim selama dan segara setelah konvulsi. Perubahan denyut jantung janin
meliputi bradikardi, deselerasi lambat transien, penurunan beat-to-beat variabilitas, dan takikardi
kompensasi. Perubahan aktivitas uterus meliputi peningkatan frekuensi dan tonus. Hal ini
biasanya membaik secara spontan dalam 3-10 menit setelah terminasi konvulsi dan koreksi
hipoksemia maternal. Bagaimanapun juga, penting untuk tidak melakukan persalinan pada
keadaan ibu yang tidak stabila, bahkan bila terjadi fetal distres. Setelah konvulsi dapat diatasi,
tekanan darah sudah dikoreksi, dan hipoksia sudah diatasi, persalinan dapat dimulai. Pasien ini
tidak perlu buru-buru dilakukan seksio, terutama bila kondisi maternal tidak stabil. Lebih baik
bagi janin untuk bertahan dalam uterus untuk perbaikan hipoksia dan hiperkarbia akibat konvulsi
maternal. Namun, bila bradikardi dan/atau deselerasi lambat berulang menetap lebih dari 10-15
menit setelah segala usaha resusitasi, diagnosis solusio plasenta harus ditegakkan. Adanya
eklamsi bukan indikasi untuk dilakukan seksio. Keputusan untuk mengadakan seksio harus
berdasarkan usia janin, kondisi janin, dan skor bishop. Direkomendasikan untuk mengadakan
31

seksio pada wanita yang mengalami eklamsi sebelum usia kehamilan 30 minggu yang tidak
dalam fase pembukaan dan skor bishop kurang dari 5. Pasien yang mengalami ruptur membran
atau pembukaan diperbolehkan untuk menjalani persalinan per vaginam bila tidak terdapat
komplikasi obstetrik. Anestesi rasa nyeri maternal selama pembukaan dan persalinan dapat
dilakukan dengan anestesi epidural yang direkomendasikan pada wanita dengan preeklamsi
berat. Untuk persalinan dengan seksio, regional anestesi seperti epidural, spinal, atau teknik
kombinasi dapat dipergunakan. Anestesi regional dikontraindikasikan bila terdapat koagulopati
atau trombositopeni berat (< 50.000 mm3). Pada wanita dengan eklamsi, anestesi umum
meningkatkan risiko aspirasi dan gagal intubasi karena edema jalan nafas dan peningkatan
tekanan darah sistemik (transient reflex hypertension) dan serebral selama intubasi.
Setelah persalinan, pasien eklamsi harus diobservasi ketat terhadap tanda vital, intakeotput cairan, dan gejala selama 48 jam. Wanita ini biasanya menerima cairan IV yang banyak
selama fase pembukaan, persalinan, dan post partum. Sebagai tambahan, selama post partum
terjadi pergeseran cairan ekstraselular sehingga terjadi peningkatan volume cairan intravaskular.
Hasilnya, wanita dengan eklamsi, terutama dengan gangguan fungsi ginjal, solusio plasenta,
hipertensi kronis, memiliki risiko terjadinya edema pulmonal. Magnesium perenteral harus
dilanjutkan selama 24 jam setelah persalinan dan/atau selama 24 jam setelah konvulsi terakhir.
Jika pasien mengalami oliguria (< 100 mL/4 jam), pemberian infus dan dosis magnesium sulfat
harus dikurangi. Setelah persalinan terjadi, agen anti hipertensi oral seperti labetalol atau
nifedipine dapat digunakan untuk menjaga tekanan sistolik di bawah 155 mmHg dan tekanan
diastolik di bawah 105 mmHg. Rekomendasi labetalol oral adalah 200 mg setiap 8 jam (dosis
max 2400 mg/hari) dan rekomendasi dosis nifedipine 10 mg oral setiap 6 jam (dosis max 120
mg/hari).
Penatalaksanaan cairan dilakukan karena salah satu sebab mortalitas maternal adalah
gangguan kardiorespiratori. Wanita eklamsi, walaupun mungkin hipovolemia, mengalami
overload cairan bila dihitung total cairan dalam tubuhnya. Hal ini terjadi karena edema yang
sering terjadi pada pasien ini. Untuk menghindari komplikasi iatrogenik pada pasien eklamsi,
seperti edema pulmonal, ARDS, dan gagal jantung kiri, keseimbangan input dan output harus
dijaga dengan ketat. Dalam usaha untuk meningkatkan tekanan osmotik plasma, cairan koloid
sering digunakan. Cairan IV diberikan dengan jumlah 80 ml/jam (1 ml/kgBB/jam) atau output
urine jam sebelumnya ditambah 30 ml. Output urin dimonitor dengan baik bila menggunakan
32

kateter. Untuk membantu monitor keseimbangan cairan, dapat digunakan Central Venous
Pressure (CVP) kateter, dan dijaga agar tekanan < 5 cmH2O.
Pilihan obat anti hipertensi
Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah menurunkan
risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin.
Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran
darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada
pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan.8
Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi kronis, dengan insidensi
sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed preeklamsi meliputi insufisiensi ginjal, riwayat
menderita hipertensi selama 4 tahun atau lebih, dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya.
Pencegahan pada preeklamsi meliputi identifikasi wanita risiko tinggi, deteksi dini secara klinis
dan laboratorium, pengamatan intensif atau terminasi kehamilan jika ada indikasi.
Penatalaksanaan preeklamsi meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah,
profilaksis konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya. Banyak wanita
dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi sebelumnya sehingga peningkatan tekanan
darah secara akut bahkan pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat menyebabkan
simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi. Penatalaksanaan tidak mengganggu
patofisiologi penyakit, tetapi dapat memperlambat progresi penyakit dan menyediakan waktu
bagi fetus untuk mencapai maturitas. Preeklamsi kadang-kadang dapat sembuh sendiri walau
jarang dan pada kebanyakkan kasus adalah memburuk sejalan dengan waktu.
Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi ibu, haruslah
memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32 minggu. Selain memperhatikan masa gestasi, bila
didapatkan tanda-tanda gawat janin intra uterin, atau IUGR atau gangguan maternal seperti
hipertensi berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung trombosit yang rendah, gangguan
fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan per vaginam lebih disukai daripada
seksio untuk menghindari penambahan stress akibat operasi.
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti
hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan terjadi
lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain
seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan. Jika
33

persalinan sudah akan terjadi, pemberian parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi
diberikan sebelum induksi persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih
dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg.
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan :
1.

Hidralazine
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat
menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon
simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac
output penting karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin
dimetabolisme oleh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110
mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis
hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang
memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak
terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan
lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina.
Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan
efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi.

2.

Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat 1-adrenergik
post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan non selektif , dan
digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah
penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine menunjukkan bahwa
labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi
hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian
adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka
diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg,
pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau
tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20
menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak
34

mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa


labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian
labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.
3.

Obat anti hipertensi lain


NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini menginhibisi
influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok
eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi
dan penurunan resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis
10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan vasodilator
arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin
secara sub lingual, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan,
menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga
dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada
pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin
tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk
digunakan dalam kehamilan.
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam
dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti
nimodipin dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat
menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini
dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan.
Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut
penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh
NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau
nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa
efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak kerja
terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif dalam
mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan
obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek
samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan
pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan
35

darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi umum. Efek samping
terhadap janin adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena
sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti
hipertensi potensi sedang.
4.

Metil dopa
Merupakan agonis -adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi
yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini
menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung
dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi
reseptor sentral -2 lewat -metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil
dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat -2 perifer lewat efek
neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi
cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya
dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis
awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3
jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam
setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering
dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan
obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini.

5.

Klonidin
Merupakan agonis -adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis 0.1
mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4
mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama
kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi
cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping
adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis
hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang
belum ada penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil dopa.

6.

Prazosin

36

Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor 1-adrenergik. Obat ini dapat


menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga
menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa
menurunkan laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi
glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90%
ekskresi obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi
menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian,
kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada wanita hamil. Prazosin dapat
menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini
dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan
tidak ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga
sering dikombinasikan dengan beta bloker.
7.

Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung dan
tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi
sodium interselular pada sel otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena
efek segera meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut
sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh
karena itu, diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena
dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek samping
terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus
khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene dihindari
karena merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek janin.

8. Penghambat ACE
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang mengkonversi
angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah
jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin
vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat
ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.13
OBAT

REKOMENDASI
37

Hydralazin

Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah


tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan
darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam).

Labetalol

Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM


Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal,
beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan
mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada

Nifedipine

wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif


Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu.
Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam

Sodium

terapi hipertensi
Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon

nitroprussid terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25
g/kg/menit sampai dosis maksimal 5g/kg/menit. Fetal sianida
terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam.
Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi
Efek Samping Obat
Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :
1. ACE inhibitor
Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan disfungsi ginjal pada fetus
yang mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan
dengan hipoplasia pulmoner, pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia
lain pada tulang tengkorak.
2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol
Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan pertumbuhan
janin terhambat pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol dan sebuah penelitian
kecil. Pada kebanyakan penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas
karena beberapa obat telah digunakan bersama-sama atau karena ketidakmampuan
untuk membedakan apakah ini adalah efek dari patofisiologi ibu atau efek dari obat.2
3. Diuretika

38

Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti
hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan penurunan
volume plasma sehingga dapat menganggu pertumbuhan janin. Efek terhadap janin
adalah gangguan elektrolit, trombositopeni, dan IUGR.
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
-

Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi ASI dan
digunakan untuk mensupresi laktasi.

Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat plasma yang
rendah ditemukan pada janin.

Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam susu ibu
daripada plasma ibu.

Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat pada ACE inhibitor.

Pencegahan
Pencegahan preeklamsi
1. Manupulasi diet
Salah satu cara yang paling awal dalam mencegah preeklamsia adalah pembatasan garam.
Setelah beberapa tahun diselidiki, pembatasan garam tidaklah penting. Pada penelitian yang
dilakukan Knuist dan kawan-kawan, pembatasan garam terbukti tidak efektif dalam mencegah
preeklamsia pada 361 wanita.3
Sekitar 14 penelitian secara acak dan sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa suplementasi
kalsium pada waktu antenatal menghasilkan penurunan yang signifikan dari tekanan darah
dan insidensi preeklamsia.3,4
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olsen dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
pemberian kapsul minyak ikan dalam rangka memperbaiki gangguan keseimbangan
prostaglandin pada patofisiologi eklamsia tidaklah efektif.
Herrera dan kawan-kawan melakukan sebuah penelitian dengan tujuan untuk menemukan
efek suplementasi kalsium plus asam linoleat (Calcium-CLA) dalam menurunkan insidensi
disfungsi endotel vaskular pada wanita hamil berisiko tinggi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian suplemen kalsium-CLA menurunkan kejadian hipertensi dalam kehamilan
dan meningkatkan fungsi endotel.
39

2. Aspirin dosis rendah


Dahulu pemberian aspirin 60 mg digunakan untuk menurunkan insidensi preeklamsi karena
bekerja dalam mensupresi tromboksan dengan hasil dominansi dari prostasiklin endotel.
Sekarang ini, pemberian aspirin terbukti tidak efektif dalam mencegah preeklamsi. Hal ini
terbukti pada penelitian yang dilakukan Caritis dan kawan-kawan terhadap wanita risiko
tinggi dan rendah. Hanya ada satu penelitian yang secara spesifik dilakukan untuk menguji
efek aspirin terhadap wanita hamil dengan hipertensi kronis. Penelitian double blind placebo
controlled trial dilakukan untuk melihat efek aspirin pada hipertensi kronis yang dilakukan
pada 774 wanita. Dosis rendah aspirin, 60 mg sehari, yang dimulai sejak masa kehamilan 26
minggu tidak menurunkan preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, perdarahan post
partum, dan perdarahan interventrikuler neonatal.5
3. Antioksidan
Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi lipid yang berperan dalam
kerusakan endotel. Penelitian yang dilakukan oleh Schiff dan kawan-kawan menunjukkan
bahwa konsumsi vitamin E tidak berhubungan dengan preeklamsi. Mereka menemukan
bahwa peninggian plasma vitamin E pada wanita dengan preeklamsi dan menyatakan bahwa
hal ini merupakan respon terhadap stres oksidatif. Namun hal ini masih menjadi kontroversi
karena ada penelitian lain yang menyatakan terapi dengan vitamin C / E dapat menurunkan
aktivasi endotel yang pada akhirnya akan menurunkan preeklamsi.6. Pada penelitian lain,
dengan pemberian vitamin C sebanyak 1000 mg/hari dan vitamin E 400 IU/ hari pada usia
kehamilan 16 22 minggu berhubungan dengan rendahnya insidensi preeklamsi. Karena itu
masih perlu dilakukan penelitian sebelum menyarankan penggunaan Vitamin C dan E untuk
penggunaan secara klinis.
4. Suplemen kalsium
Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan antara asupan diet rendah
kalsium dengan terjadinya preeklamsi. Dengan pemberian suplemen kalsium sebanyak 1,5 2
g/hari telah disarankan untuk upaya pencegahan preeklamsi. Dari hasil penelitian Cochrane,
diketahui bahwa pemberian suplementasi kalsium tidak dibutuhkan pada nulipara. Walaupun
demikian, mungkin pemberiannya bisa menguntungkan untuk mereka yang termasuk
kelompok dengan asupan kalsium yang memang kurang atau pada kelompok risiko tinggi,
seperti mereka dengan riwayat preeklamsi berat.
40

5. N-Acetylcystein
Diduga dapat mencegah preeklamsi karena sifatnya sebagai anti radikal bebas atau
antioksidan, sehingga pemberian obat ini diharapkan dapat mencegah terjadinya peningkatan
tekanan darah yang diakibatkan kerusakan sel endotel pembuluh darah. Namun pemberian
obat ini masih kontroversi. Meskipun demikian beberapa ahli sudah mencoba menggunakan
obat ini.
Pencegahan eklamsi
Karena patogenesis eklamsi tidak diketahui, strategi pencegahan eklamsi juga terbatas. Keadaan
ini membuat pencegahan eklamsi adalah dengan cara mencegah terjadinya preeklamsi atau
secara sekunder dengan penggunaan pendekatan farmakologis untuk mencegah konvulsi pada
wanita preeklamsi. Pencegahan dapat bersifat tersier dengan mencegah konvulsi berikutnya pada
wanita dengan eklamsi. Sampai sekarang belum ada terapi pencegahan untuk eklamsi. Selama
beberapa dekade belakangan ini, beberapa penelitian acak telah melaporkan hasil penelitiannya
tentang penggunaan restriksi protein atau garam, magnesium, suplementasi minyak ikan, aspirin
dosis rendah, kalsium, dan vitamin C & E pada wanita dengan variasi faktor risiko untuk
menurunkan angka kejadian atau beratnya preeklamsi. Secara umum, hasil-hasil dari penelitian
ini memiliki keuntungan minimal atau malah tidak ada terhadap penurunan preeklamsi. Bahkan
pada penelitian yang melaporkan penurunan angka kejadian preeklamsi, tidak memiliki
keuntungan dalam outcome perinatal.11
Penanganan yang sekarang dilakukan untuk mencegah eklamsi adalah deteksi dini serta terapi
preventif hipertensi gestasional atau preeklamsi. Beberapa rekomendasi terapi pencegahan
meliputi observasi ketat, penggunaan obat anti hipertensi untuk menjaga tekanan darah maternal
melebihi nilai normal, waktu persalinan, dan profilaksis magnesium sulfat selama persalinan dan
segera postpartum pada pasien yang dicurigai mengalami preeklamsi.11
Semua wanita dengan hipertensi gestasional ringan dapat ditangani secara aman dengan rawat
jalan. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa tidak direkomendasikan penggunaan anti
hipertensi pada wanita dengan hipertensi gestasional ringan atau preeklamsi. Profilaksis
magnesium sulfat hanya direkomendasikan pada wanita yang dirawat dengan diagnosis
preeklamsi. Magnesium sulfat diberikan selama persalinan dan 12-24 jam postpartum. Namun
tidak ada data yang mendukung pemberian profilaksis magnesium sulfat pada wanita dengan
hipertensi ringan.
41

42

BAB III
KESIMPULAN
Preeklamsia merupakan suatu penyebab yang bermakna dari penyebab kematian
marternal dan perinatal serta komplikasinya. Sekali diagnosis dari preeklamsia dibuat, pilihan
dari terapi adalah terbatas. Karena itu, perhatian lebih difokuskan pada pencegahan terjadinya
preeklamsia. Walaupun penelitian secara ekstensif telah dilakukan, tidak ada strategi tunggal
yang telah menunjukkan kelebihan dalam mencegah perkembangan preeklamsia baik pada
populasi dengan risiko tinggi maupun rendah. Preeklamsia merupakan suatu kelainan implantasi
plasenta dan hal ini tidak sepenuhnya dapat diterima. Kelahiran dari janin dan plasenta menjadi
satu-satunya terapi kuratif. Suatu kondisi dimana kesehatan yang dipertahankan, ditambah
dengan agresifitas dan intervensi dini dari komplikasi preeklamsia, mungkin dapat mengurangi
kerugian yang terdapat pada janin dan ibu yang mengalami preeklamsi berat.

43

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Brooks M, Pregnancy&Preeclampsia, 5 Januari 2005, diakses tanggal 24 April 2015, dari
http : //www.emedicine.com.
2. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, Hypertensive
Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New York: McGraw-Hill,
2005 : 761-808.
3. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman Diagnosis dan
terapi Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian pertama, edisi ke-2, Bandung :
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS dr.Hasan
Sadikin, 2005 : 60-70
4. Gibson P, Carson M, Hypertension and Pregnancy, 30 Juli 2009, diakses tanggal 24 April
2015, dari http : //emedicine.medscape.com/article/261435
5. Eger R, Hypertensive Disorders during Pregnancy, dalam Obstetrics&Gynecology Principles
for Practice, Ling F, Duff P, penyunting, New York : McGraw-Hill, 2001 : 224-252
6. Sibai B, Diagnosis, Prevention, and Management of Eclampsia, 18 November 2004, diakses
tanggal 24 April 2015, dari http : //www.greenjournal.org
7. Kaplan N, Lieberman E, Hypertension with Pregnancy and the Pill, dalam Kaplans Clinical
hypertension, edisi ke-8, Neal W, penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins,
2002: 404-433
8. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-3,
Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2005: 281-301
9. Reynolds C, Mabie W, Sibai B, Hypertensive States of Pregnancy, dalam Current Obstetrics
and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9, New York : McGraw-Hill, 2003: 338353
10. Sibai B, Treatment of Hypertension in Pregnant Women, 25 Juli 1996, diakses tanggal 24
April 2015, dari http : //www.NEJM.org/cgi/content/full
11. Seely E, Maxwell C, Chronic Hypertension in Pregnancy. 2007, diakses tanggal tanggal 24
April 2015, dari http : //circ.ahajournals.org/cgi/content/full/115

44

Anda mungkin juga menyukai