Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia hubungan antara pusat dan daerah yang lebih demokratis melalui
desentralisasi

politik

telah

menemukan

momentumnya

pada

saat

UU.

No.22/1999,

diimplementasikan, yakni pada awal tahun 2001. Sebelum implementasi UU 22 tersebut,


desentralisasi hanyalah menjadi jargon semata tanpa implementasi yang nyata. Aturan main
tentang desentralisasi memang sudah ada, tapi para penyelenggara pemerintahan belum
menunjukan political good will untuk mengimplementasikannya. Konstruksi otonomi daerah,
terlebih yang mencita-citakan terciptanya sebuah pemerintahan daerah yang demokratis akan
mengeluarkan perubahan paradigma yang dipakai dalam menyelenggaraan pemerintahan.
Perubahan paradigma yang dimaksud juga dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakannya,
terutama yang terkait langsung dengan penyusunan perencanaan pembangunan daerah. Secara
kongkrit itu berati pula bahwa dalam sebuah konteks sosial politik yang mungkin demokratis,
pembagunan daerah dan hasil-hasilnya harus bisa bersifat inklusif dalam artian mampu
menjadikan dirinya sebagai milik semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Agar bisa memenuhi tuntutan seperti itu, setiap pelaku kebijakan dituntut untuk bersifat
terbuka, yaitu dengan kesediaan untuk mengakomodasi partisipasi pihak lain diluar
pemerintahan dalam proses pembuatan kebijakan, baik menyangkut kebijakan perencanaan,
pembangunan maupun dalam penyusunan kerangka paradimatiknya. Keterbukaan ini memang
sangat sulit dilakukan mengingat political interest selalu menjadi agenda tersembunyi disetiap
formulasi kebijakan tertentu, bahkan didalam kebijakan desentralisasi itu sendiri. Namun hal ini
tentunya tidak lantas menyurutkan langka aktivis pro demokrasi untuk selalu menyuarakan
gagasan kritis mereka, tentang perubahan yang lebih baik.
Kendatipun demikian pentingnya isu desentralisasi ini baik dalam tataran praktis maupun
teoritis, tidak semua hal yang tidak bisa dicapai dengan cara yang mudah. Desentralisasi
merupakan

pilihan

yang

baik

dalam

menyelenggarakan

pemerintahan,

walaupun

implementasinya dibeberapa Negara, terutama Negara berkembang masih mendapat hambatan-

hambatan strukturan, sehingga penyelenggaraan desentralisai politik masih setengah hati


(abdulwahab, 1999).
1.2 Rumusan Masalah:
a. Bagaimana keadaan birokrasi di Indonesia?
b. Bagaimana keadaan birokrasi pada masa Orba (1966-1998)?
c. Apa pendapat para ahli tentang birokrasi?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Mengetahui birokrasi di Indonesia mulai dari masa awal kemerdekaan.
b. Mencari solusi tentang carut marutnya birokrasi di Indonesia.
c. Mengetahui birokrasi melalui pendekatan teori.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dinamika Birokrasi di Indonesia
Dengan adanya desentralisasi maka masalah kebijakan tidak lagi semata-mata
dimonopoli oleh pusat, tetapi sebagian telah diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah
tangganya sendiri. Namun meski ada hirarki dalam struktur birokrasi, harus ada pembagian
wewenang dalam tugas yang luwes dan pengambilan keputusan. Apabila saja aparatur
ditingkatkan atas menetapkan kebijakan yang bersifat umum, maka aparatur ditingkatkan bahwa
juga harus diberikan kesempatan menjabarkannya kedalam kebijakan lokal dan program
operasional sesuai masalah pembangunan yang dihadapi dengan berbagai sumber yang tersedia.
Dalam pembuatan kebijakan, disyaratkan keterlibatan masyarakat setempat sehingga manfaatnya
akan dapat dirasakan secara langsung. Kondisi ini telah mendorong berbagai persiapan
perubahan, baik disisi pemerintahan yang sebelumnya tersentralisasi menjadi pemerintahan yang
desentralisasi.
Secara struktural organisasi, tanggung jawabnya untuk melaksanakan desentralisasi
politik serta sekaligus mengupayakan kemasalahatan kolektif didaerah terletak ditangan birokrasi
daerah. Birokrasi merupakan wadah implementasi kekuasaan negara untuk malayani rakyat.
Artinya posisi birokrasi disini merupakan kekuatan pembangunan kepentingan rakyat dalam
struktur Negara/ kata lain bahwa birokrasi adalah titipan rakyat untuk melaksanakan fungsi
taktis pembangunan kesejatreraan rakyat. Maka, ketika ada model birokrasi ala maxian yang
menepatkan pemerintahan Negara sebagai sebuah entitas pemegang klik kebijakan yang secara
total mengakumulasi hak rakyat untuk membangun dirinya, jelas terdapat eliminansi kepentingan
publik. Didalam tubuh birokrasi itu sendiri. Jadi seharusnya birokrasi tidak boleh berfungsi
sebagai penyangga kekuasaan otoriter. Sebagaimana perspektif Hegelian tentang birokrasi, sudah
semestinya birokrasi hanyalah menjadi alat untuk mendesertalisasikan kekuasaan tunggal untuk
dikembalikan kepada pemilik kekuasaan yang sesunggunya, yakni rakyat. Tentunya dengan
prosedur konstitusional yang telah disepakati bersama.
Kebijakan desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah dinegara-negara yang bersifat
demokratis sedikitnya memiliki dua pokok manfaat.
3

1) manfaat politik yang ditujukan untuk menyalurkan partisipasi politik masyarakat didaerah
sekaligus dalam rangka memperkuat stabilitas politik secara nasional.
2) manfaat administrasi dan ekonomis yaitu untuk mayakinkan bahwa pembangunan telah
dilaksanakan secara efektif dan efisien didaerah-daerah untuk meningkatkan kebijakan
masyarakat disana.
Politik adalah identik dengan konflik didalam pemerintahan suatu negara. Salah satu
kenyataan dasar dikehidupan manusia ini bahwa orang hidup bersama-sama tidak dalam isolasi
satu sama lainnya. Para sosiolog pada umumnya menyatakan bahwa kelompok manusia yang
hidup bersama-sama tersebut bentuk yang besar disebut suatu masyarakat dalam pengertian agak
jelas, masyarakat itu merupakan suatu kelompok orang-orang yang hidup dalam lingkungan
tertentu dalam mempunyai tradisi institusi, aktivitas dan kepentingan bersama dalam masyarakat
terdapat banyak kelompok-kelompok orang, masing-masing mempunyai tradisi, nilai, keyakinan
dan kepentingan yang berbeda dengan kelompok lainnya. Selama kepentingan bersama diantara
diantara kelompok-kelompok itu tidak berbeda maka konflik memungkinkan tidak tumbuh. Akan
tetapi salah satu faktor yang seringkali menimbulkan perbedaan yang memunculkan konflik
diantara orang dan sekelompok orang adalah nilai (value) yang diyakini sebenarya oleh masingmasing suatu nilai adalah suatu objek atau situasi yang dianggap sebagai sesuatu yang sangat
berharga, sesuatu yang mempunyai harga yang sangat tinggi dan yang dicari. Nilai merupakan
sesuatu yang dianggap oleh seseorang sangat penting dan sangat diharapkan.
Birokrasi adalah pejabat yang membuat suatu kebijakan baik itu politisinya maupun
pelaku administrasi, peran dan fungsi birokrasi sangat menentukan arah kebiajakan untuk itu
suatu kebijakan yang diambil merupakan hasil keputusan bersama yang melihat dari kenyataan
dan kondisi riil masyarakat yang ada. Kebijakan merupakan suatu proses dimana untuk
pencapaian suatu tujuan, dan kebijakan publik identik dengan tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah, yang dimana melihat kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah
yang mempunyai tujuan atau sasaran tertentu.

Yang perlu diketahui selanjutnya adalah bahwa aspek kebijakan publik adalah sangat
kompleks. Yang pertama adalah dalam pelaksanaannya yang menyangkut pada strukturnya.
Struktur yang ada dalam sistem pemerintahan seringkali meninbulkan konflik dalam
4

mengimplementasi kebijakan karena adanya perbedaan kepentingan pada masing-masing jenjang


pemerintahan. Contoh, anatara Dati II dan Dati I. yang kedua bahwa tidak semua kebijakan
pemerintah dilaksanakan oleh badan pemerintahan sendiri. Seringkali kebijakan pemerintah
dilaksanakan oleh organisasi swasta dan individu. Ketiga bahwa kebijakan yang diambil
pemerintah akan selalu menimbulkan akibat terhadap warga negara.
Demikian kompleksnya kebijakan publik ini bahkan Limbolm (1980) mengatakan bahwa
kebijakan publik merupakan suatu proses yang amat kompleks, bersifat analitis dan politik yang
tidak mempunyai awal atau akhir dan batas-batas dari proses tersebut pada umumnya tidak pasti.
Kadangkala rangkaian kekuatan-kekuatan yang kompleks yang kita sebut pembuatan kebijakan
itu, menghasilkan suatu akibat yang kita namakan kebijakan.
Struktur penggambilan kebijakan pemerintah merupakan pranata organisasi pemerintah
yang mempunyai kewenangan dalam penentuan kebijakan pemerintah yang perlu ditempuh
dalam

rangka

penyelengaraan

fungsi

umum

pemerintahan

maupun

pembangunanMustopodidjaya, (1988).
Dari pengertian diatas, struktur pembuatan kebijakan menyangkut beberapa hal pokok
sebagai berikut:
1) pranata organisasi pemerintah
2) kewenangan yang dimiliki
3) penyelenggaraan fungsi umum pemerintah dan pembagunan.
Berangkat dari pengertian struktur pembuatan atau perumusan kebijakan yang
dikonstasikan Mustopodidjaya diatas, uraian berikut akan mencoba mendiskusikan bagaimana
struktur pembuatan kebijakan di Indonesia. Struktur pembuatan kebijakan publik pada setiap
negara selalu bersifat kompleks dan rumit. Hal ini karena dalam proses pembuatan kebijakan
selalu melibatkan banyak pihak. Tidak saja lembaga pemerintah, akan tetapi juga berbagai pihak
yang terkait dalam kebijakan yang akan dikeluarkan tersebut.
Kompleksitas ini sering digambarkan bahwa kita sering mempunyai struktur (organisasi)
dalam pembuatan kebijakan ini akan tetapi tidak ditemui adanya koordinasi dan
control/pengawasan yang cukup memadai.
Akibat dari situasi ini, maka tidak mengherankan jika dalam pembuatan kebijakan sering
terjadi tumpang tindih bahkan yang lebih ekstrim terjadi pertentangan, kebijakan yang satu
5

sering membatalkan kebijakan kebijakan yang lain. Contoh kasus aktual yang ada di indonesia
yang dapat digunakan sebagai rujukan statement diatas misalnya: kebijakan menaikan pendapat
petani yang ditempuh pemerintah dengan menaikan harga dasar gabah, akan tetapi pada saat
yang bersamaan harga pupuk pestisida dan lalin-lain juga dinaikan. Kebijakan menekan inflansi
yang dilakukan pemerintah dilakukan bersamaan dengan (melalui kebijakn yang diambil oleh
depertemen yang lain) meneikan tarif listrik dan BBM yang tertunya akan mendorong terjadinya
inflasi.
Fakta yang dapat dibaca dari berbagai contoh kasus tadi, membawa kita pada suatu
pemahaman; karena masing-masing kebijakan mempunyai struktur perumusan yang berbedabeda, maka hal ini sering menimbulkan pertentangan sebagai akibat perbedaan kepentingan
antara lembaga atau departemen yang satu dengan yang lain (perbedaan antara actor kebijakan).
Disamping itu pertentangan tersebut sebagai akibat melemahnya control dan koordinasi dari
eksekutif (puncak) dalam mengakomodasi interaksi berbagai kepentingan yang tadi.
Pada dasarnya pertentangan tersebut tidak perlu terjadi apabila masing-masing pihak
tetap melandaskan pada nilai-nilai yang mendasari setiap perumusan kebijakan. Sebab pada
haikakatnya setiap Negara mempunyai sistem nilai yang mendasari setiap pengambilan
kebijakan.
Kompleksitas struktur pembuatan kebijakan tersebut memang berlaku umum. Tidak saja
terjadi pada negara-negara yang berkembang seperti Indonesia akan tetapi kondisi ini masih
berlaku pada negara-negara yang sudah maju, seperti Amerika Serikat dengan sejarah
demokrasinya yang panjang dalam pembuatan kebijakan
2.2 Birokrasi Indonesia dalam Jebakan Good Governance
Usai keruntuhan rezim neofasis-militer Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal
Besar TNI (Purnawirawan) Soeharto pada Mei 1998, Indonesia menderita kebangkrutan
ekonomi, dekadensi moral, kebuntuan kebudayaan, gelombang konflik sosial, dan sekian
persoalan lain yang hingga kini belum terjawab. Pada Era Reformasi, demikian banyak orang
sepakat menyebut Indonesia masa kini, diharapkan sekian persoalan rumit dan ruwet itu dapat
segera terselesaikan sehingga masyarakat Indonesia bisa menyongsong masa depan yang cerah,
demokratis, adil, dan sejahtera. Pada Era Reformasi, pembaharuan tata politik nasional dalam
suasana transisi menuju demokrasi dimulai dengan Pemilu 1999. Pemilu ini dinilai sukses
6

merestrukturisasi kepemimpinan nasional dan lokal secara demokratis, menghasilkan sejumlah


pembaruan konstitusi dan tata hukum turunannya, mendesentralisasi kekuasaan, dll.
Namun, meski harus tetap diakui ada beberapa capaian positifnya, perubahan-perubahan
itu masih lebih bersifat prosedural, sedikit sekaliatau bahkan sama sekali tidakmembawa
perubahan yang lebih substansial. Tatanan politik lama masih menjadi corak pekat kehidupan
politik kini. Korupsi, kolusi, dan nepotisme masih mewarnai berbagai lembaga yang menjadi
tulang punggung penataan format kenegaraan Indonesia. Lembaga legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif masih diwarnai oleh segunung penyakit kronis yang memberi efek buruk dalam
menjalankan fungsi-fungsinya.
Meski secara formal dan simbolik rezim neofasis-militer Orde Baru sudah runtuh delapan
tahun lalu, namun sekian banyak penyakit warisannya masih membekas. Salah satunya adalah,
kebijakan yang membuat rumit jalur-jalur birokrasi dan tata pemerintahan. Akibatnya penyakit
korupsi sulit sekali untuk diberantas, sebagai efek dari sistemiknya jejaring yang telah dibangun
oleh Orde Baru untuk menciptakan budaya korupsi dikatakan belum lengkap, jika seorang
pejabat belum melakukan tindakan korupsi di masa jabatannya.
Korupsi yang merajalela dalam sistem birokrasi Indonesia, salah satu sebabnya adalah
model birokrasi patrimonial yang dianut oleh Indonesia, seperti dikemukakan oleh Weber,
birokrasi patrimonial ialah suatu sistem birokrasi dimana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan
hirarki birokrasi lebih didasarkan pada hubungan familier, hubungan pribadi dan hubungan
bapak-anak buah (patron client). Max weber berkeyakinan, struktur birokrasi patrimonial akan
tidak melancarkan perkembangan ekonomi yang berciri kapitalis dan swasta, sebab terdapat
banyak ketidakselarasan antara sistem patrimonial dan dan bentuk pertumbuhan industri
ekonomi yang berwatak kapitalis.
Dorojatun Kuntjoro Jakti menyebut birokrasi patrimonial serupa dengan lembaga
perkawulaan, di mana patron adalah gusti atau juragan, dan klien adalah kawula. Hubungan
anatara gusti-kawula bersifat ikatan pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh hidup, seumur
hidup, dengan loyalitas primordial sebagai dasar pertalian hubungan. Mansyur Semma dalam
disertasinya Negara dan korupsi dalam Pandangan Mochtar Lubis, seperti diterangkan dalam
KOMPAS, 21 November 2006, menjelaskan: bahwa warisan birokrasi patrimonial modern dan
masa feodalismenya di Indonesia telah menimbulkan birokrasi nepotisme, yang memberi jabatan
atau jasa khusus kepada sanak dan sahabat. Dalam lingkungan yang seperti itu, korupsi dianggap

sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja dan masyarakat pun tidak marah jika mengetahui berbagai
tindakan korup yang telah terjadi.
Mengenai cakupan dari lapangan birokrasi itu sendiri, Fred Riggs menjelaskan bahwa
birokrasi yaitu keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang melakukan tugas
membantu pemerintah, dan mereka menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu. Senada
dengan Riggs, Etzioni dan Halevy juga mendefinisikan birokrasi sebagai organisasi hirarkis
pemerintah yang ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum. Lebih jauh
Etzioni dan Halevy menjelaskan birokrasi diharapkan bersikap netral sekaligus patuh, hanya
bertanggung jawab pada pekerjaan yang diurusi dan sekaligus tunduk pada tanggung jawab yang
sudah digariskan oleh kementrian (departemen) masing-masing. Intinya birokrasi harus bersikap
politis dan non politis pada saat yang sama.
Apabila kita telaah dari perspektif sejarah, model-model birokrasi di Indonesia, sudah
dimulai sejak model kepagawaian sipil pribumi diterapkan di Jawa, model ini berkembang pada
akhir masa kekuasaan kolonial. Para pegawai sipil pribumi ini disebut dengan sebutan Pangreh
praja atau penguasa kerajaan, sedangkan oleh Belanda mereka disebut dengan inlandsch bestuur
atau pemerintahan pribumi. Pada masa tersebut sebenarnya telah diadakan upaya-upaya untuk
mentransformasikan sistem birokrasi patrimonial menuju sistem birokrasi yanmg rasional.
Proyek ini dikerjakan melalui serangkaian reformasi-reformasi yang masuk akal, mulai dari
perekrutan pegawai, pelatihan, prosedur promosi dan spesialisasi fungsional. Akan tetapi, dalam
perjalanannya proyek ini tidak sepenuhnya berhasil, atau boleh dikatakan nihil. Hal ini terjadi
akibat dari masih kuatnya hegemoni dan dominasi dari pemerintahan kolonial yang berkuasa,
imbasnya pemerintahan pribumi sebagai bawahan harus manut takluk pada penjajah sebagai
atasan. Tradisi semacam inilah yang selanjutnya berkembang hingga mencapai puncaknya pada
masa Orde Baru, dan terus berlanjut hingga sekarang.
Selain pengaruh dari sistem birokrasi patrimonial, kekuasaan absolut birokrasi juga
semakin berkembang karena konsepsi negara modern yang mempunyai kapasitas untuk
memonitor ekonomi rakyatnya dan kemampuannya untuk menyediakan pelayanan publik.
Konsepsi negara modern selanjutnya meningkat kapasitasnya menjadi sistem negara
kesejahteraan (welfare state), yang mengharuskan birokrasi untuk kuat dalam menjalankan
peran-peran tersebut.
Birokrasi dalam negara modern menjadi aktor yang memberikan alokasi bagi sumbersumber daya yang terus bertambah. Akibatnya, semakin banyak orang yang menggantungakn
8

hidupnya pada birokrasi, demi menjamin kelangsungan hidupnya. Pada titik inilah birokrasi
menjadi sumber terjadinya tindakan korupsi yang dilakukan oleh para birokrat, atau orang yang
menggantungkan hidupnya pada birokrasi. Tindakan semacam ini menjadi semakin menguat
setelah rezim Orde Baru menerapkan fungsionalisme Parsonian secara membabi buta. Sebagai
bagian dari proyek besar Amerika Serikat untuk menghegemoni konstruksi pemikiran para
intelektual Indonesia. Banyak teori-teori diciptakan untuk memberi legitimasi atas model-model
pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru, seperti halnya teori tinggal landas
dan teori repilita. Model-model seperti itulah yang kemudian menjadi pemicu lahirnya jejaring
korupsi yang sistemik, karena para koruptor dalam jalur-jalur birokrasi berusaha melindungi
tindakannya dengan berbagai macam teori, dan meligitimasinya dengan berbagai aturan hukum.
Rezim despotis Soeharto sengaja menciptakan suatu bentuk masyarakat birokratis untuk
mendukung terjadinya penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh para kapitalis
birokrat. Lans Castle memberikan ciri pada masyarakat birokratik yaitu: Pertama, lembaga
politiok yang dominan adalah aparat birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politiok lainnya, seperti
parlemen, partai politik, dan interest group semuanya lemah dan tidak mampu melakukan
balance, serta kontrol kepada birokrasi. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politis dan
ekonomis pasif, yang merupakan sebab terpenting melemahnya peraran partai politik, dan secara
timbal balik menguatkan peranan birokrasi.
Jawaban atas carut-marutnya berbagai persoalan yang ada dalam sistem birokrasi
Indonesia adalah adanya reformasi sistem birokrasi. Reformasi ini dapat diwujudkan dengan
perubahan dari sistem birokrasi patrimonial menuju sisitem birokrasi yang rasional, sebab
birokrasi rasional merupakan unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern. Seperti halnya
pemerintahan kolonial pada masa yang lampau, reformasi birokrasi dapat dimula dari sistem
perekrutan pegawai, di mana pada tahap inilah akan diketahui bagaimana kapabilitas dari
masing-masing calon pegawai, untuk itu diperlukan suatu seleksi ketat. Model seleksi semacam
ini sebenarnya sudah diterapkan sejak lama, tercatat semenjak tahun 1864, pemerintah kolonial
Belanda sudah mengadakan Ujian Kleinambtenaars untuk mengangkat pegawai-pegawai kecil
pemerintah. Seleksi ini dimaksudkan untuk memeriksa pekerjaan apa yang cocok bagi peserta
seleksi tersebut. Materi seleksi meliputi kecakapan berhitung dan kemampuan tulis-menulis
dalam bahasa Belanda. Permintaan untuk melakukan reformasi birokrasi menjadi semakin
bertambah kuat seiring dengan berjatuhannya rezim-rezim otoritarian di negara-negara Dunia

Ketiga, termasuk di dalamnya runtuhnya Soeharto pada 1998. Runtuhnya Soeharto menandai
lahirnya sebuah wacana baru tentang good governance.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia sedang berada dalam kesulitan multi-dimensional yang berlarut-larut, dan
lingkaran setan keterpurukan di dalam hampir semua bidang kehidupan masyarakat. Dinamika
sistem politik, hukum, ekonomi, dan administrasi publik yang ada ternyata belum mampu
mengatasi permasalahan integritas sektor publik. Di Indonesia, proses pembuatan keputusan
kebijakan publik masih didominasi oleh kalangan elite sehingga kebijakan yang dibuat lebih
berpihak pada kepentingan kelompok elit. Oleh karena itu, diperlukan kepemimpinan nasional
yang kuat dan visioner untuk menciptakan dan

menggerakkan proses kapabilitas dinamik

(dynamic capability) dikalangan stakeholders. Kapabilitas dinamik merupakan proses thinking


ahead, thinking again, dan thinking across dalam rangka trasformasi kebijakan publik sehingga
dapat berfungsi sebagai pengungkit penyempurnaan, terutama di bidang hukum, pendidikan, dan
administrasi publik agar dapat memajukan program pembangunan nasional.
3.2 Saran-Saran
10

Pertama, penyusunan kebijaksanaan penyempurnaan administrasi negara yang meliputi:


upaya penyempurnaan organisasi, pembinaan lembaga yang diperlukan, kepegawaian dan
pengurusan sarana-sarana administrasi lainnya.
Kedua, perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-programa pembangunan di
berbagai bidang serta dilaksanakan secara efektif.
Ketiga, pencapaian tujuan-tujuan pembangunan tidak mungkin terlaksana dari hasil
kegiatan pemerintahan saja. Faktor yang lebih penting adalah membangun partisipasi masyarakat
lingkungan yang berbeda-beda, terutama lingkungan masyarakat yang baru berkembang.
Administrasi pembangunan berorientasi pada pelaksanaan tugas-tugas pembangunan
yaitu kemampuan merumuskan kebijakan pembangunan sedangkan ilmu administrasi negara
lebih menekankan pada tugas-tugas rutin dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Maka dari
itu diperlukan sumberdaya manusia yang ahli dalam kebijakan publik yang nantinya akan di
tempatkan di pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A.Qodry. Change Management Dalam Reformasi Birokrasi , Jakarta : Gramedia , 2007.
Tjokrowinoto, Moeljarto dan Arif , Saiful. Birokrasi dalam polemik, Malang : Pusat Studi
Kewilayahan Universitas Muhammadiyah Malang, 2008.
http://maulanaadieb.wordpress.com/2009/01/01/dinamika-politik-birokrasi-di-indonesia/

11

Anda mungkin juga menyukai