PENDAHULUAN
1. 1. Pendahuluan
Syok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila
oxygen delivery ke mitokondria sel diseluruh tubuh manusia tidak mampu
memenuhi kebutuhan oxygen consumption. Sebagai respon terhadap pasokan
oksigen yangtidak cukup ini, metabolisme energi sel terbatas, selanjutnya dapat
timbul kerusakan irreversible pada organ vital. Pada tingkat multiseluler, tidak
semua jaringan dan organ secara klinis terganggu akibat kurangnya oksigen pada
saat syok.
Diseluruh dunia terdapat 6-20 juta kematian akibat syok tiap tahun,
meskipun penyebabnya berbeda tiap-tiap negara. Diagnosa adanya syok harus
didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas, yang
merupakan akibat dari kurangnya perfusi jaringan. Syok bersifat progresif dan
teru memburuk jika tidak segera ditangani. Syok mempengaruhi kerja organ-organ
vital dan penangannya memerlukan pemahaman tentang patofisiologi syok.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1. Definisi
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah
jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat
mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel
kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada keadaan dimana fungsi ventrikel kiri
yang cukup baik.
Hipotensi sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off untuk
tekanan darah sistolik yang sering dipakai adalah <90mmHg. Dengan
menurunnya tekanan darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang
mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis dapat
ditemukan tanda-tanda hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status mental,
kulit dingin dan oliguria.
2.2. Etiologi
Syok kardiogenik diakibatkan oleh kerusakan bermakna pada miokardium
ventrikel kiri yang ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri, yang
mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan. Penyebab dari syok kardiogenik dibagi dalam :
1) Gangguan ventrikular ejection
a. Infark miokard akut
b. Miokarditis akut
c. Komplikasi mekanik :
- Regurgitasi mitral akut akibat ruptur atau disfungsi otot papilaris
- Ruptur septum interventrikulorum
- Ruptur free wall
- Aneurisma ventrikel kiri
- Stenosis aorta yang berat
- Kardiomiopati
- Kontusio miokard
2) Gangguan ventrikular filling
a. Tamponade jantung
b. Stenosis mitral
c. Miksoma pada atrium kiri
d. Trombus ball valvepada atrium
e. Infark ventrikel kanan
Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung. Disritmia
sering menyertai infark akut sering kali disebabkan oleh kegagalan ventrikel
kanan dari pada sebagai akibat langsung dari iskemik sistem konduksi.
Disritmia setelah infark miokard akut sering terjadi dan bervariasi jenisnya
yang sering ditemukan adalah kontraksi ventrikel premature, bradikardi,
fibrilasi atrium, Atrio ventrikular blok, ventrikel takikardi, aritmia letal yang
disebabkan karna ventrikel fibrilasi dan gangguan yang terjadi pada
disritmia yang sangat berbahaya adalah asistole.
Disritmia diakibatkan oleh berbagai faktor, di antaranya yaitu infark
miokard. Infark miokard menyebabkan kurang efektifnya otot jantung untuk
memompakan darahnya, kemudian mengakibatkan penurunan cardiak
output. Penurunan cardiak output ini mengakibatkan penurunan perfusi
jaringan yang ditandai dengan kulit dingin, pucat, cianosis, nadi dan
respiratori rate (RR) menjadi meningkat. Selain itu, penurunan perfusi
jaringan juga mengakibatkan penurunan kontruksi jantung. Penurunan
kontruksi jantung menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah juga akan
menurun, kemudian menyebabkan penurunan tekanan darah, akhirnya akan
menyebabkan kerusakan otot jantung dan mengakibatkan gangguan
transmisi impuls dan akan mengakibatkan disritmia.
2.3. Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi kontraktilitas
miokard yang mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah jantung, tekanan
darah rendah,insufisiensi koroner, dan selanjutnya terjadi penurunan kontraktilitas
dan curah jantung. Syok kardiogenik ditandai dengan gangguan fungsi ventrikel
kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada pefusi jaringan dan penghantaran
oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik oleh infark miokardium
akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri. Selain dari
kehilangan masif jaringan otot ventrikel kiri juga ditemukan daerah-daerah
nekrosis fokal diseluruh ventrikel. Nekrosis fokal diduga merupakan akibat dari
ketidak seimbangan yang terus-menerus antara kebutuhan dan suplai oksigen
miokardium. Pembuluh koroner yang terserang juga tidak mampu meningkatkan
alira darah secara memadai sebagai respon terhadap peningkatan beban kerja dan
kebutuhan oksigen jantung oleh aktivitas respon kompensatorik seperti
perangsangan simpatik. Sebagai akibat dari proses infark, kontraktilitas ventrikel
kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu.
Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan
curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Maka
dimulailah siklus berulang. Siklus dimulai dengan terjadinya infark yang berlanjut
dengan gangguan fungsi miokardium. Gangguan fungsi miokardium yang berat
akan menyebabkan menurunnya curah jantung dan hipotensi arteria. Akibatnya
terjadinya asidosis metabolik dan menurunnya perfusi koroner, yang lebih lanjut
mengganggu fungsi ventrikel dan menyebabkan terjadinya aritmia.
Syok kardiogenik dapat dipandang sebagai bentuk yang berat dari kegagalan ventrikel
kiri. Peristiwa patofisiologik dan respon kompensatoriknya sesuai dengan gagal
jantung, tetapi telah berkembang ke bentuk yang lebih berat. Penurunan
kontraktilitas jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, hingga mengakibatkan kongesti paru-paru
dan edema.
Dengan menurunnya tekanan arteria, maka terjadi perangsangan terhadap
baroreseptor pada aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpato adrenal
menimbulkan refleks vasokonstriksi, takikardia, dan meningkatkan kontraktilitas
untuk menambah curah jantung dan menstabilkan tekanan darah. Kontraktilitas
akanterus meningkat sesuai dengan hukum Starling melalui retensi natrium dan
air.
Jadi,
menurunnya
kontraktilitas
pada
syok
kardiogenik
akan
memulai
kanan.
Sianosis
dan
ekstremitas
yang
teraba
dingin,
Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran rekaman elektrokardiografi dapat membantu untuk
menetukan etiologi dari syok kardiogenik.
Elevasi
segmen
ST
dapat
terobservasi. Right-sided
leads dapat
hipovolemia.
Ekokardiografi
vaskular
sistemik).
Minimalisasi
afterload
sangat
akan
2.5. Farmakologi
Penanganan syok kardiogenik merupakan contoh yang baik
mengenai keadaan aliran darah yang rendah yang membutuhkan berbagai
intervensi otonomik yang juga digunakan pada bentuk lain dari sindrom
output rendah. Reduksi akut dalam kontraktilitas ventrikel kiri
(inotropisme) menghasilkan suatu kaskade efek yang semakin memburuk
dalam suatu proses siklik. Seseorang dapat menggambarkan kaskade ini
dengan diawali salah satu dari lima penentu curah jantung. Penurunan
konraktilitas akan menghasilkan penurunan dalam curah jantung,
peningkatan tekanan ventrikel kiri pada akhir diastol dan menimbulkan
berbagai refleks kompensasi. Mekanisme kompensasi ini salah satunya
adalah hukum Frank-Starling dan peningkatan aktivitas simpatis yang
memperkuat kontraktilitas dan denyu jantung. Disfungsi kronis akan
menimbulkan mekanisme kompensasi yang ketiga, yaitu hipertrofi.
Karena obat inotropik yang ideal tidak ada, maka efek samping perifer dari
obat inotropik manapun sangat perlu dipertimbangkan dalam menentukan
pilihan karena semuanya merupakan agonis multireseptor.
Pemberian obat-obat simpatomimetik harus diletakkan dalam perspektif
yang tepat dalam penatalaksanaan syok kardiogenik, oleh sebab itu ditekankan
peran penting monitoring hemodinamik invasif dan manajemen volume dalam
mengkonfirmasi suatu diagnosis kegagalan kardiogenik. Walaupun ekspansi
volume dan pengurangan afterload dapat memperbaiki curah jantung, intervensi
farmakologis lainnya mungkin masih dibutuhkan untuk mengoptimalisasi curah
jantung dan distribusinya. Monitoring invasif merupakan suatu keharusan dalam
penggunaan obat vasoaktif yang rasional untuk (1) menentukan perlu atau
tidaknya suatu obat simpatomimetik, (2) memilih obat sesuai dengan kondisi
hemodinamik, (3) mengikuti perubahan-perubahan hemodinamik yang timbul
karena sebagian besar efek katekolamin yang menguntungkan dapat tersembunyi
dan (4) untuk menghindari komplikasi terapi presor yang dapat terlihat oleh
semua. Pemilihan obat untuk keadaan output rendah masih membingungkan.
Bolus
Infusion Rate iv
10
Dobutamine
No
2 20 /kg/min ( + )
Dopamine
No
Milrinone
Enoximone
Levosimenda
No Bolus
0,2 1 /kg/min
Nor
Epinephrine
Epinephrine
dobutamin adalah
11
dalam
tampilan
hemodinamik
dan
memperbaiki
variabel
lain,
obat
ini
hanya
tersedia
dalam
obat
pemeriksaaan
12
mendalam daripada agen lain yang mana dapat menyebabkan iskemia organ
perut.
Di instalasi gawat darurat, epinefrin paling bermanfaat sebagai agen primer
untuk pengobatan anafilaksis dan sebagai agen sekunder untuk pengobatan
sepsis dan bronkospasme berat. Pada dosis 2 sampai 10 mg / menit,
rangsangan reseptor beta epinefrin mendominasi. Rangsangan 1 epinefrin
menyebabkan peningkatan denyut jantung (kronotropi) dan peningkatan
volume tekanan / kekuatan aliran darah (stroke volume) (inotropi) dengan
berakibat peningkatan cardiac output dan konsumsi oksigen jantung. Pada
dosis ini, epinefrin juga menginduksi sejumlah rangsangan 2 yang
mengakibatkan vasodilatasi pada arteriol otot rangka yang mengimbangi
sedikit vasokonstriksi (yang diinduksi alpha) nya. Hasil akhir dari aktivitas
beta dominan ini berakibat pada meningkatnya cardiac output, SVR
menurun, dan beragam efek terhadap MAP. Pada dosis diatas 10 mg / menit,
rangsangan reseptora alfa menghasilkan vasokonstriksi umum dan
peningkatan MAP yang diperantarai dengan peningkatan SVR. Pada dosis
yang beragam (tidak tetap), epinefrin juga merangsang sejumlah respon
metabolik penting dan secara langsung merangsang ginjal, yang
menghasilkan renin. Melalui aktivasi sistem renin-angiotensin, epinefrin
secara tidak langsung menyebabkan vasokonstriksi tambahan.
NE dan metaraminol menghasilkan efek hemodinamik yang hampir sama.
NE merupakan mediator alami SNS dan merupakan prekursor langsung
EPI. NE menghasilkan efek hemodinamik secara langsung pada reseptor
dan dengan mekanisme yang dipengaruhi dosis saat diberikan melalui
secara infusi. NE meningkatkan curah jantung dan tekanan darah apabila
diberikan dalam dosis yang kecil, terutama sebagai akibat kerja
predominannya pada tingkat ini. Dosis yang lebih tinggi menurunkan aliran
darah karena adanya konstriksi arteri sebagai efek yang timbul sebelum
timbulnya efek .
2. 6 Penanganan Syok Kardiogenik
Langkah penatalaksanaan syok kardiogenik
13
14
15
16
a. Bila PCWP atau PAEDP < 15 mmHg (atau CVP < 12 cmH2O), sulit
untuk mengatakan adanya pump failure dan sebelum penanganan lebih
lanjut, volume cairan intravaskuler harus ditingkatkan hingga LVEDP
mencapai 18 mmHg. Pada keadaan ini, diberikan initial test volume
sebanyak 100 ml cairan (D5%) melalui infus dalam waktu 5 menit.
Bila ada respon, berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan
diuresis, perbaikan syok secara klinis, tanda-tanda kongesti paru tidak
ada atau tidak semakin berat, dan bila PCWP atau PAEDP tidak
berubah atau tidak meningkat > 2 mmHg di atas nilai awal (atau jika
CVP tetap atau tidak meningkat > 2-3 cmH2O di atas nilai awal), maka
diberikan cairan tambahan sebanyak 200 ml dalam waktu 10 menit.
b. Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP tetap stabil atau tidak meningkat >
2 mmHg atau tidak melebihi 16 mmHg (atau jika CVP tetap < 15
cmH2O), tekanan darah tetap stabil atau meningkat, atau tanda-tanda
kongesti paru tidak timbul atau semakin bertambah, maka infus
dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1000 ml/jam sampai
tekanan darah dan gejala klinis syok lain menghilang. Periksa PCWP
atau PAEDP (atau CVP), tekanan darah, dan paru setiap 15 menit.
Diharapkan PCWP atau PAEDP akan meningkat sampai 15-18 mmHg
(atau CVP meningkat sampai 15 cmH2O).
c. Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara
15-18 mmHg (atau nilai CVP awal 12-18 cmH2O), maka diberikan
infus cairan 100 ml dalam waktu 10 menit. Pemberian cairan
selanjutnya tergantung dari peningkatan PCWP atau PAEDP (atau
CVP), perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis
kongesti paru.
d. Jika nilai PCWP atau PAEDP pada awalnya 20 mmHg atau lebih (atau
jika nilai awal CVP 20 cmH2O atau lebih), maka tidak boleh dilakukan
tes toleransi cairan intravena, dan pengobatan dimulai dengan
pemberian vasodilator.
17
e. Jika PCWP atau PAEDP menunjukan nilai yang rendah (< 5 mmHg),
atau jika nilai CVP < 5cmH2O, infus cairan dapat diberikan walaupun
didapatkan edema paru akut.
f. Jika pasien menunjukan adanya edema paru dengan nilai PCWP atau
PAEDP yang rendah dan dalam penanganan dengan pemberian infus
cairan menyebabkan peningkatan kongesti paru serta perburukan
keadaan klinis, maka infus cairan harus dihentikan dan keadaan pasien
dievaluasi kembali.
13. Pada pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume
intravaskular yang adekuat harus dicari kemungkinan adanya tamponade
jantung sebelum pemberian obat-obat inotropik atau vasopresor dimulai.
Tamponade jantung akibat infark miokard memerlukan tindakan volume
expansion untuk mempertahankan preload yang adekuat dan dilakukan
perikardiosentesis segera.
14. Penanganan pump failure dibagi berdasarkan subset hemodinamik dan
pasien dapat berpindah dari satu subset ke subset lainnya dan memerlukan
perubahan dalam regimen terapi.
a. Subset 1: LVEDP > 15 mmHg, tekanan sistolik arteri > 100 mmHg,
dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan
adanya gagal jantung kiri dengan tekanan arteri cukup tinggi, sehingga
pengurangan afterload dapat dilakukan sebagai terapi pertama.
- Ada dua vasodilator yang sering digunakan, yaitu nitrogliserin
dan nitroprusid. Pada waktu pemberian nitroprusid harus dilakukan
monitor terhadap tekanan darah dan tekanan pengisian ventrikel
kiri. Pemberian nitroprusid dimulai dengan dosis 0,4 mg/kg
BB/menit (dosis awal jangan lebih dari 10 mg/menit), kemudian
dosis ditingkatkan 5 mg/menit setiap 10 menit sampai tercapai efek
hemodinamik yang diinginkan. Bila curah jantung meningkat dan
gejala syok berkurang, maka terapi diteruskan. Bila tekanan darah
18
b. Subset 2: Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg, dan
indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan tanda
klasik adanya syok akibat hipotensi pada pasien infark miokard akut,
dimana tim ballon perlu digerakan dan sarana untuk kateterisasi
harus dipersiapkan untuk menerima pasien ini
19
20
21
22
BAB III
KESIMPULAN
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah
jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat
mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel
kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada keadaan dimana fungsi ventrikel kiri
yang cukup baik. Syok kardiogenik diakibatkan oleh kerusakan bermakna pada
miokardium ventrikel kiri yang ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri, yang
mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan. Syok kardiogenik ditandai dengan gangguan fungsi ventrikel kiri, yang
mengakibatkan gangguan berat pada pefusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik oleh infark miokardium akut adalah
hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri.
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik
tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang dengan keluhan tipikal nyeri
dada yang akut, dan kemungkinan sudah mempunyai riwayat penyakit jantung
koroner sebelumnya.
Pemberian obat-obat simpatomimetik harus diletakkan dalam perspektif
yang tepat dalam penatalaksanaan syok kardiogenik, oleh sebab itu ditekankan
peran penting monitoring hemodinamik invasif dan manajemen volume dalam
mengkonfirmasi suatu diagnosis kegagalan kardiogenik.
DAFTAR PUSTAKA
23
th
223
6. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of
Emergency Surgery. 2006. 1-14
7.
8.
24