Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1. 1. Pendahuluan
Syok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila
oxygen delivery ke mitokondria sel diseluruh tubuh manusia tidak mampu
memenuhi kebutuhan oxygen consumption. Sebagai respon terhadap pasokan
oksigen yangtidak cukup ini, metabolisme energi sel terbatas, selanjutnya dapat
timbul kerusakan irreversible pada organ vital. Pada tingkat multiseluler, tidak
semua jaringan dan organ secara klinis terganggu akibat kurangnya oksigen pada
saat syok.
Diseluruh dunia terdapat 6-20 juta kematian akibat syok tiap tahun,
meskipun penyebabnya berbeda tiap-tiap negara. Diagnosa adanya syok harus
didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas, yang
merupakan akibat dari kurangnya perfusi jaringan. Syok bersifat progresif dan
teru memburuk jika tidak segera ditangani. Syok mempengaruhi kerja organ-organ
vital dan penangannya memerlukan pemahaman tentang patofisiologi syok.

BAB II
PEMBAHASAN
2. 1. Definisi
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah
jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat
mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel
kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada keadaan dimana fungsi ventrikel kiri
yang cukup baik.
Hipotensi sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off untuk
tekanan darah sistolik yang sering dipakai adalah <90mmHg. Dengan
menurunnya tekanan darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang
mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis dapat
ditemukan tanda-tanda hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status mental,
kulit dingin dan oliguria.
2.2. Etiologi
Syok kardiogenik diakibatkan oleh kerusakan bermakna pada miokardium
ventrikel kiri yang ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri, yang
mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan. Penyebab dari syok kardiogenik dibagi dalam :
1) Gangguan ventrikular ejection
a. Infark miokard akut
b. Miokarditis akut
c. Komplikasi mekanik :
- Regurgitasi mitral akut akibat ruptur atau disfungsi otot papilaris
- Ruptur septum interventrikulorum
- Ruptur free wall
- Aneurisma ventrikel kiri
- Stenosis aorta yang berat
- Kardiomiopati

- Kontusio miokard
2) Gangguan ventrikular filling
a. Tamponade jantung
b. Stenosis mitral
c. Miksoma pada atrium kiri
d. Trombus ball valvepada atrium
e. Infark ventrikel kanan
Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung. Disritmia
sering menyertai infark akut sering kali disebabkan oleh kegagalan ventrikel
kanan dari pada sebagai akibat langsung dari iskemik sistem konduksi.
Disritmia setelah infark miokard akut sering terjadi dan bervariasi jenisnya
yang sering ditemukan adalah kontraksi ventrikel premature, bradikardi,
fibrilasi atrium, Atrio ventrikular blok, ventrikel takikardi, aritmia letal yang
disebabkan karna ventrikel fibrilasi dan gangguan yang terjadi pada
disritmia yang sangat berbahaya adalah asistole.
Disritmia diakibatkan oleh berbagai faktor, di antaranya yaitu infark
miokard. Infark miokard menyebabkan kurang efektifnya otot jantung untuk
memompakan darahnya, kemudian mengakibatkan penurunan cardiak
output. Penurunan cardiak output ini mengakibatkan penurunan perfusi
jaringan yang ditandai dengan kulit dingin, pucat, cianosis, nadi dan
respiratori rate (RR) menjadi meningkat. Selain itu, penurunan perfusi
jaringan juga mengakibatkan penurunan kontruksi jantung. Penurunan
kontruksi jantung menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah juga akan
menurun, kemudian menyebabkan penurunan tekanan darah, akhirnya akan
menyebabkan kerusakan otot jantung dan mengakibatkan gangguan
transmisi impuls dan akan mengakibatkan disritmia.
2.3. Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi kontraktilitas
miokard yang mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah jantung, tekanan
darah rendah,insufisiensi koroner, dan selanjutnya terjadi penurunan kontraktilitas

dan curah jantung. Syok kardiogenik ditandai dengan gangguan fungsi ventrikel
kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada pefusi jaringan dan penghantaran
oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik oleh infark miokardium
akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri. Selain dari
kehilangan masif jaringan otot ventrikel kiri juga ditemukan daerah-daerah
nekrosis fokal diseluruh ventrikel. Nekrosis fokal diduga merupakan akibat dari
ketidak seimbangan yang terus-menerus antara kebutuhan dan suplai oksigen
miokardium. Pembuluh koroner yang terserang juga tidak mampu meningkatkan
alira darah secara memadai sebagai respon terhadap peningkatan beban kerja dan
kebutuhan oksigen jantung oleh aktivitas respon kompensatorik seperti
perangsangan simpatik. Sebagai akibat dari proses infark, kontraktilitas ventrikel
kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu.
Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan
curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Maka
dimulailah siklus berulang. Siklus dimulai dengan terjadinya infark yang berlanjut
dengan gangguan fungsi miokardium. Gangguan fungsi miokardium yang berat
akan menyebabkan menurunnya curah jantung dan hipotensi arteria. Akibatnya
terjadinya asidosis metabolik dan menurunnya perfusi koroner, yang lebih lanjut
mengganggu fungsi ventrikel dan menyebabkan terjadinya aritmia.
Syok kardiogenik dapat dipandang sebagai bentuk yang berat dari kegagalan ventrikel
kiri. Peristiwa patofisiologik dan respon kompensatoriknya sesuai dengan gagal
jantung, tetapi telah berkembang ke bentuk yang lebih berat. Penurunan
kontraktilitas jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, hingga mengakibatkan kongesti paru-paru
dan edema.
Dengan menurunnya tekanan arteria, maka terjadi perangsangan terhadap
baroreseptor pada aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpato adrenal
menimbulkan refleks vasokonstriksi, takikardia, dan meningkatkan kontraktilitas
untuk menambah curah jantung dan menstabilkan tekanan darah. Kontraktilitas
akanterus meningkat sesuai dengan hukum Starling melalui retensi natrium dan
air.

Jadi,

menurunnya

kontraktilitas

pada

syok

kardiogenik

akan

memulai

responkompensatorik, yang meningkatkan beban akhir dan beban awal. Meskipun


mekanisme protektif ini pada mulanya akan meningkatkan tekanan arteria darah
danperfusi jaringan, namun efeknya terhadap miokardium justru buruk karena meningkatkan
beban kerja jantung dan kebutuhan miokardium akan oksigen. Karenaaliran darah koroner
tidak memadai, terbukti dengan adanya infark, maka ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan suplai oksigen terhadap miokardium semakin meningkat.
Gangguan miokardium juga terjadi akibat iskemia dan nekrosis fokal, yang akan
memperberat lingkaran setan dari kerusakan miokardium. Dengan bertambah
buruknya kinerja ventrikel kiri, keadaan syok berkembang dengan cepat sampai akhirnya
terjadi gangguan sirkulasi hebat yang mengganggu sistem organ-organ penting.
Pengaruh sistemik dari syok akhirnya akan membuat syok menjadi irreversibel.
Beberapa organ terserang lebih cepat dan berat daripada yang lain. Seperti telah
diketahui, miokardium akan menderita kerusakan yang paling dini padakeadaan
syok. Selain dari bertambahnya kerja miokardium dan kebutuhannyaterhadap oksigen,
beberapa perubahan lain juga terjadi. Karena metabolism anaerobik dimulai pada
keadaan syok, maka miokardium tidak dapat mempertahankan cadangan fosfat
berenergi tinggi (adenosin trifosfat) dalam kadar normal, dan kontraktilitas
ventrikel akan makin terganggu. Hipoksia dan asidosis menghambat pembentukan
energi dan mendorong terjadinya kerusakan lebih lanjut. dari sel-sel miokardium. Kedua
faktor ini juga menggeser kurva fungsi ventrikel kebawah dan ke kanan yang akan
semakin menekan kontraktilitas.
Gangguan pernafasan terjadi sekunder akibat syok. Komplikasi yang
mematikan adalah gangguan pernafasan yang berat. Kongesti paru-paru dan
edemaintra-alveolar akan mengakibatkan hipoksia dan kemunduran gas-gas darah
arteria. Atelektasis dan infeksi paru-paru dapat pula terjadi. Faktor-faktor ini
memicu terjadinya syok paru-paru, yang sekarang sering disebut sebagai sindrom
distress pernafasan dewasa. Takipnea, dispnea, dan ronki basah dapat ditemukan,
demikian juga gejala-gejala yang dijelaskan sebelumnya sebagai manifestasi gagal jantung
kebelakang.
Perfusi ginjal yang menurun mengakibatkan anuria dengan keluaran kemih
kurang dari 20 ml/jam. Dengan semakin berkurangnya curah jantung, biasanya

menurunkan pula keluaran kemih. Karena adanya respon kompensatorik retensi


natrium dan air, maka kadar natrium dalam kemih juga berkurang. Sejalan dengan
menurunnya laju filtrasi glomerulus, terjadi peningkatan BUN dan kreatinin. Bila
hipotensi berat dan berkepanjangan, dapat terjadi nekrosis tubular akut yang kemudian
disusul gagal ginjal akut.
Syok yang berkepanjangan akan mengakibatkan gangguan sel-sel hati. Kerusakan sel
dapat terlokalisir pada zona-zona nekrosis yang terisolasi, atau dapat berupa
nekrosis hati yang masif pada syok yang berat. Gangguan fungsi hati dapatnyata dan
biasanya bermanifestasi sebagai peningkatan enzim-enzim hati, glutamatoksaloasetat transaminase serum (SGOT), dan glutamat-piruvat transaminase
serum(SGPT). Hipoksia hati juga merupakan mekanisme etiologi yang mengawali
komplikasi-komplikasi ini.
Iskemia saluran cerna yang berkepanjangan umumnya mengakibatkan nekrosis
hemorhagik dari usus besar. Cedera usus besar dapat mengeksaserbasi
syok melalui penimbunan cairan pada usus dan absorbsi bakteria dan endotoksin
ke dalam sirkulasi. Penurunan motilitas saluran cerna hampir selalu ditemukan
pada keadaan syok.
Dalam keadaan normal, aliran darah serebral biasanya menunjukan
autoregulasi yang baik, yaitu dengan usaha dilatasi sebagai respon terhadap
berkurangnya aliran darah atau iskemia. Namun, pengaturan aliran darah serebral
ternyata tidak mampu mempertahankan aliran dan perfusi yang memadai pada tekanan darah
di bawah 60 mmHg. Selama hipotensi yang berat, gejala-gejala deficit neurologik
dapat ditemukan. Kelainan ini biasanya tidak berlangsung terus jika pasien pulih
dari keadaan syok, kecuali jika disertai dengan gangguan serebrovaskular
Selama syok yang berkelanjutan, dapat terjadi pengumpulan komponenkomponen selular intravaskular dari sistem hematologik, yang akan meningkatkan
tahanan vaskular perifer lebih lanjut. Koagulasi intravaskular difus (DIC) dapat
terjadi selama syok berlangsung, yang akan memperburuk keadaan klinis.
2.4. Manifestasi klinis
a. Anamnesis

Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok


kardiogenik tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang dengan
keluhan tipikal nyeri dada yang akut, dan kemungkinan sudah
mempunyai riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya.
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard
akut, biasnaya terjadi dalam beberapa hari sampai minggu setelah onset
infark tersebut. Umumnya pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya
disertai gejala tiba-tiba yang menunjukkan adanya edema paru akut atau
bahkan henti jantung.
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi,
presinkop, sinkop atau merasakan irama jantung yang berhenti sejenak.
Kemudian pasien akan merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi ke
sistem saraf pusat.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik awal hemodinamik akan ditemukan tekanan
darah sistolik yang menurun sampai <90 mmHg, bahkan dapat turun
sampai <6o mmHg pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan
adekuat. Denyut jantung biasanya cenderung meningkat sebagai
stimulasi simpatis, demikian pula dengan frekuensi pernapasan dan yang
biasanya meningkat sebagai akibat kongesti paru.
Pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya ronki. Dengan infark
ventrikel kanan atau pasien dengan keadaan hipovolemik yang menurut
studi sangat kecil kemungkinannya menyebabkan kongesti di paru.
Sistem kardiovaskular yang dapat dievaluasi seperti vena-vena di
leher seringkali meningkat distensinya. Letak impuls apikal dapat
bergeser pasa pasien dengan kardiomiopati dilatasi, dan intensitas bunyi
jantung akan jauh menurun pada efusi perikardial ataupun tamponade.
Irama gallop dapat ttimbul yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel
kiri yang bermakna.
Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan
menunjukkan beberapa tanda-tanda antara lain : pembesaran hati, pulsasi
di liver akibat regurgitasi trikuspid atau terjadinya asites akibat gagal

jantung kanan yangsulit untuk diatasi. Pulsasi arteri di ekstremitas perifer


akan menurun intensitasnya dan edema perifer dapat timbul pada gagal
jantung

kanan.

Sianosis

dan

ekstremitas

yang

teraba

dingin,

menunjukkkn terjadinya penurunan perfusi ke jaringan.


c. Pemeriksaan penunjang

Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran rekaman elektrokardiografi dapat membantu untuk
menetukan etiologi dari syok kardiogenik.

Elevasi

segmen

ST

dapat

terobservasi. Right-sided

leads dapat

menunjukkan suatu pola infark ventrikel kanan, yang mengindikasikan


terapi yang berbeda dari terapi untuk penyebabpenyebab lainnya dari
syok kardiogenik.
Gambaran EKG penderita syok kardiogenik umumnya infark miokard akut
(IMA). Hasil/pembacaan electrocardiogram: Pada pasien karena infark
miokard akut dengan gagal ventrikel kiri (LV failure), gelombang Q
(Q waves) dan/atau >2-mm ST elevation pada multiple leads atau left
bundle branch block biasanya tampak. Lebih dari setengah (> 50%) dari
semua infark yang berhubungan dengan syok adalah anterior. Global
ischemia karena severe left main stenosis biasanya disertai dengan depresi
ST berat (>3 mm) pada multiple leads.

Foto rontgen thorax


Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda
kongetsi paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat.
Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral
akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran kongesti paru yang
tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset infark yang pertama
kali. Gambaran kongesti paru menunjukkan kecil kemungkinan
terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan atau keadaan

hipovolemia.
Ekokardiografi

Modalitas pemeriksaan yang non-invasik ini sangat banyak membantu


dalam membuat diagnosis dan mencari etiologi dari syok kardiogenik.
Pemeriksaan ini relatif cepat dan aman. Keterangan yang diharapkan
dapat diperoleh dari pemeriksaan ini antara lain : penilaian fungsi
ventrikel kanan dan kiri (global maupun segmental), fungsi katupkatup jantung (stenosis atau regurgitas), tekanan ventrikel kanan dan
deteksi adanya shunt (misalnya pada defek septal ventrikel dengan

shunt dari kiri ke kanan), efusi perikardial atau tamponade.


Pemantauan hemodinamik
Penggunaan kateter Swan-Ganz untuk mengukur tekanan arteri
pulmonal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru sangat berguna,
khususnya untuk memastikan diagnosis dan etiologi dari syok
kardiogenik, serta sebagai indikator evaluasi terapi yang diberikan.
Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang berat, akan
terjadi peningkatan baji paru. Bila pada pengukuran ditemukan
tekanan baji pembuluh darah paru lebih dari 18 mmHg pada pasien
infark miokard akut menunjukkan bahwa volume intravaskular pasien
tersebut cukup adekuat. Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau
hipovelemia yang signifikan, akan menunjukkan tekanan baji
pembbuluh paru yang normal atau lebih rendah. Pemantauan
parameter hemodinamik juga membutuhkan perhitungan afterload
(resistensi

vaskular

sistemik).

Minimalisasi

afterload

sangat

diperlukan, karena bila terjadi peningkatan afterload

akan

menimbulkan efek penurunan kontraktilitas yang akan menghasilkan


penurunan curah jantung.

2.5. Farmakologi
Penanganan syok kardiogenik merupakan contoh yang baik
mengenai keadaan aliran darah yang rendah yang membutuhkan berbagai

intervensi otonomik yang juga digunakan pada bentuk lain dari sindrom
output rendah. Reduksi akut dalam kontraktilitas ventrikel kiri
(inotropisme) menghasilkan suatu kaskade efek yang semakin memburuk
dalam suatu proses siklik. Seseorang dapat menggambarkan kaskade ini
dengan diawali salah satu dari lima penentu curah jantung. Penurunan
konraktilitas akan menghasilkan penurunan dalam curah jantung,
peningkatan tekanan ventrikel kiri pada akhir diastol dan menimbulkan
berbagai refleks kompensasi. Mekanisme kompensasi ini salah satunya
adalah hukum Frank-Starling dan peningkatan aktivitas simpatis yang
memperkuat kontraktilitas dan denyu jantung. Disfungsi kronis akan
menimbulkan mekanisme kompensasi yang ketiga, yaitu hipertrofi.
Karena obat inotropik yang ideal tidak ada, maka efek samping perifer dari
obat inotropik manapun sangat perlu dipertimbangkan dalam menentukan
pilihan karena semuanya merupakan agonis multireseptor.
Pemberian obat-obat simpatomimetik harus diletakkan dalam perspektif
yang tepat dalam penatalaksanaan syok kardiogenik, oleh sebab itu ditekankan
peran penting monitoring hemodinamik invasif dan manajemen volume dalam
mengkonfirmasi suatu diagnosis kegagalan kardiogenik. Walaupun ekspansi
volume dan pengurangan afterload dapat memperbaiki curah jantung, intervensi
farmakologis lainnya mungkin masih dibutuhkan untuk mengoptimalisasi curah
jantung dan distribusinya. Monitoring invasif merupakan suatu keharusan dalam
penggunaan obat vasoaktif yang rasional untuk (1) menentukan perlu atau
tidaknya suatu obat simpatomimetik, (2) memilih obat sesuai dengan kondisi
hemodinamik, (3) mengikuti perubahan-perubahan hemodinamik yang timbul
karena sebagian besar efek katekolamin yang menguntungkan dapat tersembunyi
dan (4) untuk menghindari komplikasi terapi presor yang dapat terlihat oleh
semua. Pemilihan obat untuk keadaan output rendah masih membingungkan.
Bolus

Infusion Rate iv

10

Dobutamine

No

2 20 /kg/min ( + )

Dopamine

No

< 3 /kg/min: renal ( + )


3 5 /kg/min: inotropic ( + )
>5 /kg/min: ( + ) vasopressor ( + )

Milrinone

25 75 /kg over 10 20 0,375 0,75 /kg/min


min

Enoximone

0,25 -0,75 mg/kg

1,25 7,5 /kg/min

Levosimenda

12 - 24 /kg over 10 min

0,1 /kg/min ( 0,05 0,2 /kg/min )

No Bolus

0,2 1 /kg/min

Nor
Epinephrine
Epinephrine

1 mg can be given iv for 0,05 0,5 /kg/min


resuscitation, may be repeated
after 3 5 min

Dobutamin merupakan katekolamin sintetik yang ditinjau secara primer


sebagai agen inotropik. Dobutamin secara dominan adalah suatu agonis b1
dengan alfa yang lemah dan efek b2. Aktivitas selektivitas b1 dobutamin
secara primer meningkatkan efek inotropik karena peningkatan volume
sekuncup (stroke volume) dan denyutan jantung dengan efek yang bervariasi
pada pembuluh darah.

Efek akhir respon stimulus

dobutamin adalah

peningkatan CO dan penurunan SVR yang menghasilkan reduksi global


tekanan dinding ventikel, tekanan stress simpatik, dan konsumsi oksigen
miokardial.

11

Dopamin adalah bentuk stabil dan digunakan dalam campuran pengobatan


emergensi; dan sering tersedia dalam agen vasoaktif. Dopamin juga
mempunyai kegunaan klinis dalam mengobati neurogenik dan keadaan
lainnya dimana stimulasi denyutan jantung, kontraktilitas dan kemampuan
dalam memodulasi resistensi vaskular.
Amrinone dan milrinone adalah inhibitor 3 fosfodiasterase yang
menyebabkan akumulasi cAMP intraseluler, mangakibatkan rantai yang
sama dalam vaskular dan jaringan jantung yang dapat dilihat dengan
stimulasi b-adrenergik. Hasil akhir aktivitas ini menghasilkan vasodilatasi
dan respon inotropik positif. Obat ini menyebabkan perbaikan jangka
pendek

dalam

tampilan

hemodinamik

dan

memperbaiki

variabel

hemodinamik. Sama seperti dobutamin, amrinone dan milrinone digunlkan


dalam memperbaiki fungsi jantung dan mnengobati kegagalan jantung
refrakter. Agen ini terbatas kegunaannya dalam status syok karena sifat
vasodilator. Walaupun obat ini telah menunjukkan perbaikan hemodinamik
klinis jangka pendek, penelitian secara luas gagal menerjemahkan obat ini
dalam manfaat mortalitas jangka panjang.
Levosimendan adalah sensitizer kalsium. Levosimendan meningkatkan
kontraksi dengan peningkatan sensitivitas troponin C hingga kalsium.
Kemampuan bertahan hidup pasien dengan gagal jantung akut dalam
percobaan kebutuhan bantuan inotropik intravena, akan tetapi, kegagalan
dalam mendemonstrasikan perbedaan dalam bertahan hidup antara
dobutamin dan levosimendan. Selain itu, walaupun levosimendan tersedia di
negara

lain,

obat

ini

hanya

tersedia

dalam

obat

pemeriksaaan

(investigational drug) di Amerika Serikat.


Epinefrin adalah hormon katekolamin yang bersirkulasi yang disintesis dari
norepinephrine terutama di medula adrenal. Hormon Ini memiliki berbagai
sifat alfa dan beta agonistik dengan sejumlah efek yang pada akhirnya
membatasi kemudahan penggunaan klinisnya. Keterbatasan utama epinefrin
adalah yang potensinya memprovokasi terjadinya disritmia, potensi
terjadinya miokard iskemia, dan vasokonstriksi splanknikus yang lebih

12

mendalam daripada agen lain yang mana dapat menyebabkan iskemia organ
perut.
Di instalasi gawat darurat, epinefrin paling bermanfaat sebagai agen primer
untuk pengobatan anafilaksis dan sebagai agen sekunder untuk pengobatan
sepsis dan bronkospasme berat. Pada dosis 2 sampai 10 mg / menit,
rangsangan reseptor beta epinefrin mendominasi. Rangsangan 1 epinefrin
menyebabkan peningkatan denyut jantung (kronotropi) dan peningkatan
volume tekanan / kekuatan aliran darah (stroke volume) (inotropi) dengan
berakibat peningkatan cardiac output dan konsumsi oksigen jantung. Pada
dosis ini, epinefrin juga menginduksi sejumlah rangsangan 2 yang
mengakibatkan vasodilatasi pada arteriol otot rangka yang mengimbangi
sedikit vasokonstriksi (yang diinduksi alpha) nya. Hasil akhir dari aktivitas
beta dominan ini berakibat pada meningkatnya cardiac output, SVR
menurun, dan beragam efek terhadap MAP. Pada dosis diatas 10 mg / menit,
rangsangan reseptora alfa menghasilkan vasokonstriksi umum dan
peningkatan MAP yang diperantarai dengan peningkatan SVR. Pada dosis
yang beragam (tidak tetap), epinefrin juga merangsang sejumlah respon
metabolik penting dan secara langsung merangsang ginjal, yang
menghasilkan renin. Melalui aktivasi sistem renin-angiotensin, epinefrin
secara tidak langsung menyebabkan vasokonstriksi tambahan.
NE dan metaraminol menghasilkan efek hemodinamik yang hampir sama.
NE merupakan mediator alami SNS dan merupakan prekursor langsung
EPI. NE menghasilkan efek hemodinamik secara langsung pada reseptor
dan dengan mekanisme yang dipengaruhi dosis saat diberikan melalui
secara infusi. NE meningkatkan curah jantung dan tekanan darah apabila
diberikan dalam dosis yang kecil, terutama sebagai akibat kerja
predominannya pada tingkat ini. Dosis yang lebih tinggi menurunkan aliran
darah karena adanya konstriksi arteri sebagai efek yang timbul sebelum
timbulnya efek .
2. 6 Penanganan Syok Kardiogenik
Langkah penatalaksanaan syok kardiogenik

13

Langkah 1. Tindakan resusitasi segera


Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien
dibawa untuk terapi definitif. Mempertahankan tekanan arteri rata-rata
yang adekuat untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal adalah vital.
Dopamin atau noradrenalin (norepinefrin), tergantung pada derajat
hipotensi, harus diberikan secepatnya untuk meningkatkan tekanan arteri
rata-rata dan dipertahankan pada dosis minimal yang dibutuhkan.
Dobutamin dapat dikombinasikan dengan dopamin dalam dosis sedang
atau digunakan tanpa kombinasi pada keadaan low output tanpa hipotensi
yang nyata.
Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan
sebelum transportasi jika fasilitas tersedia. Analisis gas darah dan saturasi
oksigen harus dimonitor dengan memberikan continuous positive airway
pressure atau ventilasi mekanis jika ada indikasi. EKG harus dimonitor
secara terus menerus, dan peralatan defibrilator, obat antiaritmia
amiodaron dan lidokain harus tersedia.
Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi ST
jika diantisipasi keterlambatan angiografi lebih dari 2 jam. Metode
menghancurkan trombus dengan obat dikenal sebagai terapi fibrinolitik.
Trombus intra koroner yang baru terbentuk dapat hancur atau lisis bila
diberikan obat yang tepat pada waktu yang tepat. Di Indonesia obat yang
paling umum dipakai adalah Streptokinase. Streptokinase menghancurkan
fibrin yang melapisi trombus. Itu sebabnya dinamakan fibrinolitik. Fibrin
dan trombus dapat lisis bila baru terbentuk. Bila streptokinase diberikan
dalam waktu kurang dari 1 jam sejak onset serangan, angka kematian
dapat diturunkan sampai 47%. Hasil optimal dicapai bila streptokinase
diberikan kurang dari 3 jam setelah onset serangan jantung. Tetapi masih
ada manfaat sampai 12 jam setelah onset serangan jantung. Mortalitas 35
hari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 100 mmHg yang
mendapatkan trombolitik pada meta analisis FTT adalah 28,9%
dibandingkan 35,1% dengan plasebo. Meningkatkan trombolisis dengan

14

meningkatkan tekanan perfusi koroner. Pada syok kardiogenik karena


infark, inhibitor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan.
Langkah 2. Menentukan secara dini anatomi koroner
Hal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok kardiogenik
yang berasal dari kegagalan pompa (pump failure) iskemik yang
predominan. Hipotensi diatasi segera dengan IABP.
Langkah 3. Melakukan revaskularisasi dini
Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan pemilihan
modalitas terapi secepatnya. Tidak ada trial acak yang membandingkan
PCI dengan CABG emergensi pada left main atau penyakit 3 pembuluh
darah besar.
Tahapan-tahapan di dalam penatalaksanaan syok kardiogenik adalah
sebagai berikut:
1. Pasien diletakkan dalam posisi berbaring mendatar.
2. Pastikan jalan nafas tetap adekuat dan yakinkan ventilasi yang adekuat,
bila tidak sadar sebaiknya diakukan intubasi.
3. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa
yang terjadi.
4. Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk
mempertahankan PaO2 70-120 mmHg.
a. PaO2 (tekanan yang ditimbulkan oleh O2 yang terlarut dalam darah)
minimal 60 mmHg
b. Intubasi jika PaO2 < 60 mmHg pada FIO2 (konsentrasi oksigen
inspirasi) maksimal dengan masker muka atau PaCO2 > 55 mmHg
(tekanan yang ditimbulkan oleh CO2 yang terlarut dalam darah)
c. Semua pasien harus mendapat suplemen oksigen untuk meyakinkan
oksigenasi yang adekuat.
5. Terapi terhadap gangguan elektrolit, terutama Kalium.
Pada kondisi hiperkalium dapat diberikan diuretik.

15

Diuretik digunakan untuk mengurangi volume plasma dan edema


perifer. Pengurangan cairan ekstrasel dan volume plasma yang
berhubungan dengan diuresis awalnya dapat menurunkan cardiac output
dan, akibatnya, tekanan darah, dengan peningkatan kompensasi dalam
resistensi pembuluh darah perifer. Semua diuretika dengan titik kerja di
bagian muka tubuli distal memperbesar ekskresi ion K+ dan H+ karena
ditukarkan dengan ion Na+.
6. Koreksi asidosis metabolik dengan Bikarbonas Natrikus sesuai dosis.
7. Pasang Folley catheter, ukur urine output 24 jam. Pertahankan produksi
urine > 0,5 ml/kg BB/jam.
8. Lakukan monitor EKG dan rontgen thoraks.
9. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada
harus diatasi dengan pemberian morfin.
10. Hilangkan agitasi, dapat diberikan Diphenhydramin HCL 50 mg per
oral atau intra muskular : 3-4 x/hari.
11. Bila terdapat takiaritmia, harus segera diatasi:
a. Takiaritmia supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi
dengan pemberian digitalis.
b. Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung < 50 kali/menit harus
diatasi dengan pemberian sulfas atropin.
12. Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama
dalam penanganan syok kardiogenik adalah pemberian cairan yang
adekuat secara parenteral (koreksi hipovolemia) dengan menggunakan
pedoman dasar PCWP atau pulmonary artery end diastolic pressure
(PAEDP) atau CVP.
Jenis cairan yang digunakan tergantung keadaan klinisnya, tetapi
dianjurkan untuk memakai cairan salin isotonik. Intravenous fluid
tolerance test merupakan suatu cara sederhana untuk menentukan apakah
pemberian cairan infus bermanfaat dalam penanganan syok kardiogenik.
Caranya:

16

a. Bila PCWP atau PAEDP < 15 mmHg (atau CVP < 12 cmH2O), sulit
untuk mengatakan adanya pump failure dan sebelum penanganan lebih
lanjut, volume cairan intravaskuler harus ditingkatkan hingga LVEDP
mencapai 18 mmHg. Pada keadaan ini, diberikan initial test volume
sebanyak 100 ml cairan (D5%) melalui infus dalam waktu 5 menit.
Bila ada respon, berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan
diuresis, perbaikan syok secara klinis, tanda-tanda kongesti paru tidak
ada atau tidak semakin berat, dan bila PCWP atau PAEDP tidak
berubah atau tidak meningkat > 2 mmHg di atas nilai awal (atau jika
CVP tetap atau tidak meningkat > 2-3 cmH2O di atas nilai awal), maka
diberikan cairan tambahan sebanyak 200 ml dalam waktu 10 menit.
b. Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP tetap stabil atau tidak meningkat >
2 mmHg atau tidak melebihi 16 mmHg (atau jika CVP tetap < 15
cmH2O), tekanan darah tetap stabil atau meningkat, atau tanda-tanda
kongesti paru tidak timbul atau semakin bertambah, maka infus
dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1000 ml/jam sampai
tekanan darah dan gejala klinis syok lain menghilang. Periksa PCWP
atau PAEDP (atau CVP), tekanan darah, dan paru setiap 15 menit.
Diharapkan PCWP atau PAEDP akan meningkat sampai 15-18 mmHg
(atau CVP meningkat sampai 15 cmH2O).
c. Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara
15-18 mmHg (atau nilai CVP awal 12-18 cmH2O), maka diberikan
infus cairan 100 ml dalam waktu 10 menit. Pemberian cairan
selanjutnya tergantung dari peningkatan PCWP atau PAEDP (atau
CVP), perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis
kongesti paru.
d. Jika nilai PCWP atau PAEDP pada awalnya 20 mmHg atau lebih (atau
jika nilai awal CVP 20 cmH2O atau lebih), maka tidak boleh dilakukan
tes toleransi cairan intravena, dan pengobatan dimulai dengan
pemberian vasodilator.

17

e. Jika PCWP atau PAEDP menunjukan nilai yang rendah (< 5 mmHg),
atau jika nilai CVP < 5cmH2O, infus cairan dapat diberikan walaupun
didapatkan edema paru akut.
f. Jika pasien menunjukan adanya edema paru dengan nilai PCWP atau
PAEDP yang rendah dan dalam penanganan dengan pemberian infus
cairan menyebabkan peningkatan kongesti paru serta perburukan
keadaan klinis, maka infus cairan harus dihentikan dan keadaan pasien
dievaluasi kembali.
13. Pada pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume
intravaskular yang adekuat harus dicari kemungkinan adanya tamponade
jantung sebelum pemberian obat-obat inotropik atau vasopresor dimulai.
Tamponade jantung akibat infark miokard memerlukan tindakan volume
expansion untuk mempertahankan preload yang adekuat dan dilakukan
perikardiosentesis segera.
14. Penanganan pump failure dibagi berdasarkan subset hemodinamik dan
pasien dapat berpindah dari satu subset ke subset lainnya dan memerlukan
perubahan dalam regimen terapi.
a. Subset 1: LVEDP > 15 mmHg, tekanan sistolik arteri > 100 mmHg,
dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan
adanya gagal jantung kiri dengan tekanan arteri cukup tinggi, sehingga
pengurangan afterload dapat dilakukan sebagai terapi pertama.
- Ada dua vasodilator yang sering digunakan, yaitu nitrogliserin
dan nitroprusid. Pada waktu pemberian nitroprusid harus dilakukan
monitor terhadap tekanan darah dan tekanan pengisian ventrikel
kiri. Pemberian nitroprusid dimulai dengan dosis 0,4 mg/kg
BB/menit (dosis awal jangan lebih dari 10 mg/menit), kemudian
dosis ditingkatkan 5 mg/menit setiap 10 menit sampai tercapai efek
hemodinamik yang diinginkan. Bila curah jantung meningkat dan
gejala syok berkurang, maka terapi diteruskan. Bila tekanan darah

18

menurun, terjadi takikardi, dan bila peningkatan curah jantung


tidak mencukupi, maka ditambahkan dobutamin dengan dosis awal
5 mg/kg BB/menit dan ditingkatkan sampai maksimal 15 mg/kg
BB/menit. Bila tekanan darah menurun lebih cepat, maka
dobutamin diganti dengan dopamin (mikro drip) sesuai dosis
efektif 2-10 ug/kg BB/menit atau Isoproterenol drip jika disertai
bradikardia.
-

Pemberian nitrogliserin mempunyai peranan lebih kecil dalam


penanganan syok kardiogenik ringan. Terutama diberikan bila
proses iskemia masih berlangsung dan didapatkan adanya kongesti
paru yang berat. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5
mg/menit dan ditingkatkan 5 mg/ menit setiap 10 menit. Bila ada
perbaikan gejala syok dan pump failure, maka nitrogliserin
dilanjutkan selama 24-28 jam. Bila tekanan darah menurun dengan
tekanan preload yang tinggi, maka dosis nitrogliserin diturunkan
dan ditambahkan dobutamin dengan dosis 2-5 mg/kg BB/menit.
Bila tekanan darah lebih cepat menurun, maka dobutamin diganti
dengan dopamin.

- Selama periode ini, pemasangan intra aortic ballon pump (IABP)


counterpulsation harus dipertimbangkan, karena hanya dengan
tindakan ini aliran darah koroner dapat ditingkatkan, dan secara
bersamaan kerja ventrikel kiri dapat dikurangi.
-

Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan tanda-tanda kongesti


paru masih tetap, maka pemberian diuretik secara perlahan dapat
dipertimbangkan.

b. Subset 2: Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg, dan
indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan tanda
klasik adanya syok akibat hipotensi pada pasien infark miokard akut,
dimana tim ballon perlu digerakan dan sarana untuk kateterisasi
harus dipersiapkan untuk menerima pasien ini

19

- Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat, norepinefrin merupakan


pilihan utama dengan dosis 2-15 mg/menit sampai tekanan darah
sistolik mencapai 80-90 mmHg, kemudian diusahakan untuk
mengganti dengan dopamin.
- Jika tekanan darah sistolik 70-90 mmHg, dopamin dapat digunakan
untuk terapi awal dengan dosis 5-15 mg/kg BB/menit, dimana efek
utamanya merangsang adrenergik perifer, lebih baik digunakan
norepinefrin.
- Bila tekanan darah pasien sudah stabil, maka terapi selanjutnya yang
terbaik adalah dobutamin yang dapat diberikan bersama-sama
dopamin untuk mengurangi kebutuhan dosis dopamin. Dobutamin
tidak dapat digunakan secara tunggal pada pasien dengan hipotensi
berat.
c. Subset 3: Infark ventrikel kanan, peningkatan tekanan diastolik atrium
kanan dan ventrikel kanan (> 10 mmHg), indeks jantung < 2,5
liter/menit/m2, tekanan sistolik < 100 mmHg, LVEDP normal atau
meningkat. Pasien dalam keadaan ini sangat sensitif terhadap
kekurangan volume cairan dan sering menunjukan respon dengan
terapi cairan.
- Prinsip terapi: tekanan pengisian ventrikel kanan harus ditingkatkan
dengan pemberian cairan secara cepat sampai tekanan darah stabil,
tekanan pengisian ventrikel kiri > 20 mmHg, atau tekanan atrium
kana > 20 mmHg.
- Pemakaian vasodilator dan diuretik harus dihindarkan dan pada
keadaan ini pemberian dobutamin lebih dianjurkan daripada
dopamin.
- Jika dengan terapi cairan dan obat inotropik tidak ada perubahan,
maka dianjurkan pemasangan IABP counterpulsation.
15. Penggunaan trombolitik pada awal terapi infark miokard akan
mengurangi jumlah miokard yang mengalami nekrosis, sehingga insiden

20

sindrom syok kardiogenik akan berkurang. Penelitian GUSTO I


menunjukan angka mortalitas untuk 6 minggu follow up 58% pada pasien
syok kardiogenik yang mendapat terapi trombolisis dan aspirin serta
heparin. Pada GUSTO I TPA lebih baik dari streptokinase bila tidak ada
syok dan insiden syok juga lebih kecil, tetapi pada syok mortalitas pada
streptokinase lebih rendah walaupun secara statistik tidak bermakna.
16. Sementara menunggu uji yang membandingkan angioplasti dan terapi
medis, saat ini dianggap bahwa angioplasti direk lebih superior daripada
terapi suportif semata-mata maupun terapi trombolitik. Keberhasilan
percutaneus transluminal coronary angioplasty (PTCA) terutama bila
dilakukan pada 24 jam pertama setelah timbulnya gejala syok kardiogenik,
pada pasien berusia < 65 tahun, dan dengan single-vessel disease.
Kegagalan PTCA terutama dikaitkan dengan usia pasien yang lanjut (> 70
tahun) dan riwayat infark sebelumnya. Data-data menunjukan PTCA pada
syok kardiogenik menurunkan angka kematian menjadi 46% atau kurang.
PTCA sebaiknya dikerjakan dengan support IABP. Semula PTCA dengan
balon saja untuk membuka pembuluh darah yang tersumbat secepatnya
pada kasus-kasus infark menunjukan hasil lebih baik dari trombolisis.
Akhir-akhir ini dengan pemasangan stent pada kasus infark akut
menunjukan hasil lebih baik dari angioplasti dengan memakai balon saja,
terutama untuk mencegah penyempitan kembali. Angka mortalitas didalam
rumah sakit untuk pasien infark akut yang dilakukan angioplasti primer 26%, tetapi pada infark akut dengan syok kardiogenik yang dilakukan
PTCA, angka kematian di rumah sakit masih tinggi, menurut PAMI 39%,
dan GUSTO 38%.
17. Harapan hidup jangka panjang yang mengecewakan dari penanganan syok
kardiogenik akibat infark miokard dengan terapi medis telah mendorong
dilakukannya tindakan bedah revaskularisasi dini pada pasien yang telah
stabil dengan terapi farmakologis dan IABP. Guyton menyimpulkan
bahwa coronary-artery bypass surgery (CABS/CABG) merupakan terapi
pilihan pada semua pasien syok kardiogenik akibat infark miokard, kecuali

21

pada kelompok oktogenarian. CABS juga dianjurkan pada pasien yang


mengalami kegagalan dengan tindakan angioplasti. Tindakan operasi
dilakukan apabila didapatkan adanya kontraksi dari segmen yang tidak
mengalami infark dengan pembuluh darah yang stenosis. Bedah
revaskularisasi sebaiknya tidak dilakukan pada pasien oktogenarian,
pasien dengan LVEDP > 24 mmHg, skor kontraktilitas ventrikel kiri > 13,
dan adanya kerusakan pada organ sistemik yang irreversibel. Pada pasien
dengan kerusakan mekanik, misalnya robeknya otot papilaris, robeknya
septum interventrikel, maka tindakan operasi akan efektif terutama bila
revaskularisasi juga dapat dilaksanakan. Kumpulan data dari 370 pasien
dari 22 studi menunjukan CABG yang dilakukan pada pasien dengan
infark jantung akut dan syok kardiogenik mempunyai mortalitas sebesar
36%. CABG perlu dipertimbangkan pada pasien dengan penyempitan di
banyak pembuluh darah (multivessel disease) dan bila PTCA tidak
berhasil.
18. Pada pasien syok kardiogenik dengan disfungsi miokard akibat kerusakan
miokard irreversibel, mungkin diperlukan tindakan transplantasi jantung

22

BAB III
KESIMPULAN
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah
jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat
mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel
kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada keadaan dimana fungsi ventrikel kiri
yang cukup baik. Syok kardiogenik diakibatkan oleh kerusakan bermakna pada
miokardium ventrikel kiri yang ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri, yang
mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan. Syok kardiogenik ditandai dengan gangguan fungsi ventrikel kiri, yang
mengakibatkan gangguan berat pada pefusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik oleh infark miokardium akut adalah
hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri.
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik
tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang dengan keluhan tipikal nyeri
dada yang akut, dan kemungkinan sudah mempunyai riwayat penyakit jantung
koroner sebelumnya.
Pemberian obat-obat simpatomimetik harus diletakkan dalam perspektif
yang tepat dalam penatalaksanaan syok kardiogenik, oleh sebab itu ditekankan
peran penting monitoring hemodinamik invasif dan manajemen volume dalam
mengkonfirmasi suatu diagnosis kegagalan kardiogenik.

DAFTAR PUSTAKA

23

1. Rackley CE. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Edisi 3. EGC.


Jakarta. 1995. Hal. 243-249
2. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik Pedoman Penatalaksanaan
Praktis. Binarupa Aksara. Jakarta. 2000. Hal: 47-57
3. Kaligis RWM. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Indonesia. Jakarta. 2002. Hal: 90-93
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 4. EGC. Jakarta. 1995. Hal: 593-606
5. Braunwald, Fauci, Isseibacher, Martin, Petersdorf, Wilson. Harrisons
Principles of Internal Medicine vol.1. 13

th

ed. EGC. Jakarta. 1999. Hal. 218-

223
6. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of
Emergency Surgery. 2006. 1-14
7.

Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock.


Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and
Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995

8.

Suryono B. Diagnosis dan pengelolaan syok pada dewasa. [Clinical updates


emergency case]. FK UGM: RSUP dr. Sadjito, 2008

24

Anda mungkin juga menyukai

  • AP SKN Litbangkes
    AP SKN Litbangkes
    Dokumen45 halaman
    AP SKN Litbangkes
    Aditya Rachman Van Der Arjunaquee
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Anak
    Lapsus Anak
    Dokumen3 halaman
    Lapsus Anak
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Faringitis Akut
    Faringitis Akut
    Dokumen3 halaman
    Faringitis Akut
    Melisa Ramadhani
    Belum ada peringkat
  • BST Anestesi Eta
    BST Anestesi Eta
    Dokumen3 halaman
    BST Anestesi Eta
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Anestesi Inhalasi
    Anestesi Inhalasi
    Dokumen20 halaman
    Anestesi Inhalasi
    Maulida Annisa'
    Belum ada peringkat
  • Peraturan Presiden No 72 Tahun 2012 Tentang SKN
    Peraturan Presiden No 72 Tahun 2012 Tentang SKN
    Dokumen7 halaman
    Peraturan Presiden No 72 Tahun 2012 Tentang SKN
    Fatkhul Ali Imron
    Belum ada peringkat
  • Vasopressor Dan Inotropik
    Vasopressor Dan Inotropik
    Dokumen13 halaman
    Vasopressor Dan Inotropik
    yehezkiel_yesi
    88% (8)
  • Bab I-1
    Bab I-1
    Dokumen29 halaman
    Bab I-1
    Ian Pahlevi
    Belum ada peringkat
  • Bab I-1
    Bab I-1
    Dokumen29 halaman
    Bab I-1
    Ian Pahlevi
    Belum ada peringkat
  • Tuberkulosis Paru
    Tuberkulosis Paru
    Dokumen3 halaman
    Tuberkulosis Paru
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Edema Paru Akut SU
    Edema Paru Akut SU
    Dokumen3 halaman
    Edema Paru Akut SU
    Ginger Davis
    Belum ada peringkat
  • BRONKITIS
    BRONKITIS
    Dokumen3 halaman
    BRONKITIS
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Efusi Pleura
    Efusi Pleura
    Dokumen3 halaman
    Efusi Pleura
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Hemothorax
    Hemothorax
    Dokumen3 halaman
    Hemothorax
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Asma Bronkialtiffany
    Asma Bronkialtiffany
    Dokumen3 halaman
    Asma Bronkialtiffany
    Ginger Davis
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Skabies
    Lapsus Skabies
    Dokumen28 halaman
    Lapsus Skabies
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Cover Lit
    Cover Lit
    Dokumen4 halaman
    Cover Lit
    Anggrian Iba
    Belum ada peringkat
  • Analisa
    Analisa
    Dokumen3 halaman
    Analisa
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Litmin
    Litmin
    Dokumen43 halaman
    Litmin
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Auto
    Auto
    Dokumen1 halaman
    Auto
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Minie
    Lapsus Minie
    Dokumen38 halaman
    Lapsus Minie
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (Kad)
    Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (Kad)
    Dokumen13 halaman
    Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (Kad)
    Emir Afif
    Belum ada peringkat
  • Sistem Kemih-2
    Sistem Kemih-2
    Dokumen4 halaman
    Sistem Kemih-2
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Kegawatdaruratan Psikiatri
    Kegawatdaruratan Psikiatri
    Dokumen15 halaman
    Kegawatdaruratan Psikiatri
    Glen Sandy Saapang
    Belum ada peringkat
  • Halaman Pengesahan
    Halaman Pengesahan
    Dokumen1 halaman
    Halaman Pengesahan
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Halaman Pengesahan
    Halaman Pengesahan
    Dokumen1 halaman
    Halaman Pengesahan
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat
  • Referat Gangguan Autis
    Referat Gangguan Autis
    Dokumen34 halaman
    Referat Gangguan Autis
    Okky Rizka Sesarina
    Belum ada peringkat