Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

2.1.

Pendahuluan
Tetanus merupakan penyakit yang akut dan seringkali fatal, penyakit ini

disebabkan oleh eksotoksin yuang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Kata tetanus
berasal dari bahasa Yunani tetanos, yang diambil dari kata teinein yang berarti
teregang. Tetanus dikarakteristikan dengan kekakuan umum dan kejang kompulsif
pada otot-otot rangka. Kekakuan otot biasanya dimulai pada rahang (lockjaw) dan
leher dan kemudian menjadi umum. Penyakit ini merupakan penyakit yang serius
namun dapat dicegah kejadiannya pada manusia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi
Tetanus didefinisakan sebagai penyakit yang timbul karena sistem saraf pusat

terintoksikasi oleh Clostridium tetani, suatu kuman basil gram positif yang
memproduksi neurotoksin spesifik.
2.2.

Epidemiologi
Tetanus terjadi secara luas di seluruh dunia namun paling sering pada daerah

dengan populasi padat, pada iklim hangat dan lembab. Organisme penyebab
ditemukan secara primer pada tanah dan saluran cerna hewan dan manusia. Transmisi
secara primer terjadi melalui luka yang terkontaminasi. Luka dapat berukuran besar
atau kecil. Pada tahun-tahun terakhir ini, tatanus sering terjadi melalui luka- luka yang
kecil. Tetanus juga dapat menyertai setelah luka operasi elektif, luka bakar, luka tusuk
yang dalam, luka robek, otitis media, infeksi gigi, gigitan binatang, aborsi dan
kehamilan.
Di Amerika Serikat, insidensi tetanus telah berhasil diturunkan sejak
pertengahan tahun 1940, sejalan degan penggunaan imunisasi tetanus secara luas.
Pelaporan kasus pada tahun 1981 1991 oleh CDC di Amerika menunjukkan bahwa
angka kematian pasien dengan tetanus hanya sekitar 40%. Dari tahun 1991 -1994
telah dilaporkan bahwa 60% pasien berusia 20 -59 tahun dan 35% >60tahun.
Secara internasional pada tahun 1992 terhitung sekitar 578.000 bayi
mengalami kematian karena tetanus neonatorum. Pada tahun 2000, dengan data dari
WHO menghitung insidensi secara global kejadian tetanus di dunia secara kasar
berkisar antara 0,5 1 juta kasus dan tetanus neonatorum terhitung sekitar 50% dari
kematian akibat tetanus di negara negara berkembang. Perkiraan insidensi tetanus
secara global adalah 18 per 100.000 populasi per tahun. Di negara berkembang,
2

tetanus lebih sering mengenai laki laki dibanding perempuan dengan perbandingan
3 : 1 atau 4 :1.
Secara epidemiologi, angka kematian tetanus sekitar 45%, dan 6 % diketahui
mendapatkan 1 -2 dosis tetanus toksoid, dan 15% pada individu yang tidak divaksin.
Angka kematian tertinggi diketahui pada penderita dengan usia >60 tahun (18%).
2.3.

Etiologi
Penayakit tetanus ini disebabkan karena Clostridium tetani yang merupakan

basil gram positif obligat anaerobik yang dapat ditemukan pada permukaan tanah
yang gembur dan lembab dan pada usus halus dan feses hewan. Mempunyai spora
yang mudah bergerak dan spora ini merupkan bentuk vegetatif. Kuman ini bisa masuk
melalui luka di kulit. Spora yang ada tersebar secara luas pada tanah dan karpet, serta
dapat diisolasi pada banyak feses binatang pada kuda, domba, sapi, anjing, kucing,
marmot dan ayam. Tanah yang dipupuk dengan pupuk kandang mungkin mengandung
sejumlah besar spora. Di daerah pertanian, jumlah yang signifikan pada manusia
dewasa mungkin mengandung organisme ini. Spora juga dapat ditemukan pada
permukaan kulit yang terkontaminasi. Spora ini akan menjadi bentuk aktif kembali
ketika masuk ke dalam luka dan kemudian berproliferasi jika potensial reduksi
jaringan rendah. Spora ini sulit diwarnai dengan pewarnaan gram, dan dapat bertahan
hidup bertahun-tahun jika tidak terkena sinar matahari. Bentuk vegetatif ini akan
mudah mati dengan pemanasan 120oC selama 15-20 menit tapi dapat betahan
hidup terhadap antiseptik seperi fenol, kresol.

gambar 1. Mikroskopik bakteri Clostridium tetani.


Kuman ini juga menghasilkan 2 macam eksotoksin yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Fungsi tetanolisin belum diketahui secara pasti, namun diketahui dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang sehat pada luka terinfeksi, menurunkan
potensial reduksi dan meningkatkan pertumbuhan organisme anaerob. Tetanolisin ini

diketahui dapat merusak membran sel lebih dari satu mekanisme. Tetanospasmin
(toksin spasmogenik) ini merupakan neurotoksin potensial yang menyebabkan
penyakit. Tetanospasmin merupakan suatu toksin yang poten yang dikenal
berdasarkan beratnya. Toksin ini disintesis sebagai suatu rantai tunggal asam amino
polipeptida 151-kD 1315 yang dikodekan pada plsmid 75 kb. Tetanospasmin ini
mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran neurotransmiter glisin dan GABA pada
terminal inhibisi daerah presinaps sehingga pelepasan neurotransmiter inhibisi
dihambat dan menyebabkan relaksasi otot terhambat. Batas dosis terkecil
tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada manusia adalah 2,5 nanogram
per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk manusia dengan berat badan 75kg.
2.4.

Patogenesis
C.tetani biasa memasuki tubuh melalui luka. Pada keadaan yang anaerobik,

spora dapat tumbuh. Jaringan nekrosis, benda asing atau infeksi aktif juga merupakan
tempat yang baik untuk perkembangan spora dan pelepasan toksin. Tetanospasmin
merupakan suatu zinc metalloprotease, suatu substansi amino acid polyperptide chain
yang dilepaskan di dalam luka. Toksin kemudian dapat menyebar melalui otot yang
terkena kepada otot di sekitarnya, dan terikat pada ujung terminal motor neuron
perifer, kemudian memasuki akson dan ditransport secara retrograd mealui
intraneuronal. Toksin ini bekerja pada sistem saraf simpatis. Selain itu toksin juga
dapat menyebar melalui sistem predaran darah dan limfatik.
Toksin tetanus ini memblokade pelepasan neurotransmitter dengan membelah
permukaan protein dari vesikel sinaps, hal ini mencegah eksositosis normal dari
neurotransmiter. Toksin ini menginterfensi fungsi arkus refleks dengan memblokade
transmiter inhibisi, terutama GABA, pada daerah presinaps pada medula spinalis dan
brainstem. Pada pasien dengan tetanus, terdapat kegagalan dari mekanisme inhibisi,
yang menghasilkan peningkatan pada aktivasi saraf-saraf yang menginervasi
muskulus maseter (trismus or lockjaw). Dari semua sistem neuromuskular, persarafan
maseter merupakan yang paling sensitif terhadap toksin. Stimulus yang berbeda ini
bukan hanya menghasilkan efek yang berlebihan, tetapi juga menghilangkan inervasi
resiprokal; kontraksi agonis dan antagonis, meningkatkan spasme muskular. Selain
terjadi efek generalisata pada saraf-saraf motorik di medula spinalis dan brainstem,
toksin ini juga beraksi langsung pada otot skeletal pada titik akson membentuk end
4

plate (mungkin terjadi pada tetanus terlokalisasi) dan pada korteks serebral dan
sistem saraf simpatis, pada hipotalamus.
Efek Tetanospasmin terhadap Pelepasan Neurotransmiter
Pengaruh tetanospasmin terhadap pelepasan neurotransmiter dapat terjadi
melalui invasi saraf terminal, aksi potensial dependent calcium entry, dan peranan
kalsium itu sendiri terhadap pelepasan transmiter. Terdapatnya hambatan aliran
kalsium oleh toksin juga dapat menghambat pelepasan neurotransmiter, selain itu
pelepasan transmiter dari saraf terminal presinaps juga tergantung pada kalsium.
Toksin diketahui dapat memodifikasi proses mekanisme perubahan 4 Ca dependent
menajadi 1 Ca dependent, bersamaan dengan meningkatnya daya ikat kalsium.
Vesikel sinaptik memerlukan 4 kalsium untuk dapat berataut pada membran presinaps
bagian dalam, untuk kemudian bergabung dan melepaskan transmiter. Tetanospasmin
ini mengubah keadaan tadi menjadi 1 ca dependent, bersamaan dengna menurunnya
afinitas terhadap kalsium. Dengan demikian vesikel sinaps menjauhi membran
presinaps yang aktif dan neurotransmiter gagal dilepaskan.
Hipotesa lain oleh Gambale dan Montal, yang menyebutkan bahwa setelah toksin
masuk ke dalam sel, meniumbulkan passive cation channel yang menyebabkan sel
tetap berdepolarisasi sehingga mencegah pelepasan transmiter. Sedangkan Sanberg
dkk mengemukakan bahwa tetanospasmin dapat menginhibisi pelepasan asetilkolin
dari sel faeokromositoma adrenal tikus dan mencegah akumulasi cGMP (cyclic
guanosin monophosphate). (1) (5)

2.5.

Gambaran Klinis
Tetanus biasanya mengikuti luka-luka yang dikenali. Kontaminasi benda tajam

dengan tanah, pupuk atau besi yang berkarat dapat menyebabkan tetanus. Penyakit ini
juga dapat sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus, gangren, gigitan ular yang telah
nekrotik, infeksi telinga tengah, aborsi, kelahiran, infeksi intramuskular dan
pembedahan.
Ada trias gejala yaitu rigiditas atau kekauan, spasme dari otot, dan jika parah
maka bisa didapatkan disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorok, dan
kesulitan membuka mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter bisa
5

menyebabkan trismus atau lockjaw. Spasme yang progesif meluas dari otot muka
menyebabkan ekspresi khusus yang disebut Risus Sardonicus dan pada otot
menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan retraksi
kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan kesulitan
bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.
Spasme pada tetanus dapat terjadi secara spontan atau dipengaruhi oleh
sentuhan, visual, suara, atau emosi. Spasme yang terjadi bervariasi kekuatan dan
frekuensinya tapi cukup kuat untuk menyebabkan patah tulang dan robeknya suatu
jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi terus-menerus yang bisa mengakibatkan gagal
napas. Spasme faring sering diikuti spasme laring dan berhubungan dengan aspirasi
dan obstruksi jalan nafas.
Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.
Pada umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan sistem saraf
pusat, sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang lebih
lama. Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup tinggi.
Pada tetanus neonatorum gejala biasanya muncul antara 4 sampai 14 hari setelah lahir
dengan rata-rata 7 hari.
Karakteristik Dari Tetanus:
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5-7
hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan
leher.
5. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus / lockjaw) karena
spasme otot masseter.
6. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (nuchal rigidity)
7. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat.
8. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai ekstensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap
baik.

9. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).
Berdasarkan pada temuan klinis terdapat 4 bentuk tetanus yang telah
dideskripsikan yaitu:
1. Tetanus lokal, merupakan bentuk yang tidak umum dimana pasien mengalami
kontraksi otot yang persisten pada daerah luka yang terjadi (agonis, antagonis,
dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus likal. Kontraksi otot
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan
biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus
umum namun dalam bentuk yang relatif lebih ringan dan jarang menimbulkan
kematian. Prognosis pada pasien dengan tetanus lokal ini sangat baik, hanya
berkisar 1% dari kasus yang mengalami kematian.
2. Tetanus sefalik, merupakan bentuk tetanus yang jarang terjadi, bisanya terjadi
menyertai otitis media dimana C. tetani ditemukan sebagai flora pada telinga
tengah atau menyertai trauma kepala. Tetanus bentuk ini dapat mengenai
nervus kranialis, khususnya pada daerah wajah. Bentuk tetanus ini merupakan
bentuk yang tidak biasa dengan masa inkubasi 1-2 hari.
3. Tetanus Umum, merupakan bentuk yang paling sering terjadi (sekitar 80%).
Penyakit ini biasanya muncul dalam bentuk descending. Gejala pertama yang
muncul adalah trismus dan lockjaw, kemudian diikuti dengan kekakuan leher,
kesulitan menelan, dan rigiditas abdomen. Gejala lain berupa Risus sardonicus
(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot
punggung), kejang dinding punggung. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianosis asfiksia. Gejala
lainnya adalah suhu tubuh yang meningkat 2-4 C di atas suhu normal,
berkeringat, peningkatan tekanan darah, dan denyut jantung yang cepat secara
episodik. Spasme dapat terjadi secara berkala selama beberapa menit. Spasme
dapat berkelanjutan selama 3-4 minggu. Penyembuhan secara komplit dapat
memakan waktu selama beberapa bulan.
4.

Tetanus neonatorum, merupakan bentuk tetanus umum yang terjadi pada bayi
baru lahir. Tetanus neonatorum terjadi pada bayi yang tidak mendapatkan
perlindungan imunisasi pasif, karena ibu yang tidak diimunisasi. Infeksi biasanya
terjadi melalui umbilikus yang dipotong dengan perangkat yang tidak steril.
7

Tetanus neonatorum sering terjadi di negara-negara berkembang (terhitung sekitar


lebih dari 215.000 kematian di dunia pada tahun 1998).
2.6.

Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis dan anamnesa. Tetanus

tidaklah mungkin apabila terdapat

riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan

secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Pemeriksaan
laboratorium hanya dipakai untuk eksklusi diagnosa-diagnosa yang lain.
Biakan anaerob dari jaringan luka yang terkontaminasi didapat organisme
Clostridium tetani, dan elektromiogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit
motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal
dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non-spesifik dapat dijumpai pada
elektrokardiogram, dan enzim otot (CPK) mungkin meningkat.
2.7.

Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang karakteristik untuk tetanus. Pada

pemeriksaan darah, jumlah lekosit mungkin meningkat, laju endap darah sedikit
meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal masih dalam batas normal. Tingkat
serum enzim otot mungkin meningkat. Diagnosis ditegakkan secara klinis dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik dan tidak tergantung pada konfirmasi bakteriologis.
C. Tetani hanya ditemukan pada 30% pada luka pasien dengan kasus tetanus, dan
dapat diisolasi dari pasien yang tidak memberikan gejala tetanus.
2.8.

Klasifikasi
Berdasarkan gambaran klinis yang telah dideskripsikan, maka tingkatan

penyakit tetanus dapat dibuat dalam suatu kriteria/derajat berat ringannya penyakit.
Menurut abletts, kriteria tetanus ini dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
I (Ringan) : kasus tanpa disfagia dan gangguan respirasi
II (Sedang) : kasus dengan spastisitas nyata, gangguan menelan (disfagia) dan
gangguan respirasi
IIIa (Berat) : kasus dengan spastisitas berat disertai spasme berat
8

IIIb (Sangat Berat) : sama dengan tingkat IIIa hanya disertai adanya aktivitas
simpatis berlebihan (disotonomia)
Modifikasi klasifikasi Abletts :
-

I
Trismus ringan dan sedang dengan kekakuan umum. Tidak disertai dengan
kejang, gangguan respirasi dengan sedikit atau tanpa gangguan menelan

II
Trismus sedang, kaku disertai spasme kejang ringan sampai sedang yang
berlangsung singkat, disertai disfagia ringan dan takipnea >3035x/ menit

III
Trismus berat, kekakuan umum, spasme dan kejang spontan yang berlangsung
lama. Gangguan pernapasan dengan takipnea >40x/menit, kadang apnea,
disfagia berat dan takikardia >120x/menit. Terdapat peningkatan aktivitas
saraf otonom yang moderat dan menetap.

IV
Gambaran tingkat III disertai gangguan saraf otonom berat dimana dijumpai
hipertensi berat dengan takikardi berselang dengan hipotensi relatif dan
bradikardia atau hipertensi diastolik yang berat dan menetap (tekanan diastolik
>110 mmHg) atau hipotensi sistolik yang menetap (tekanan sistolik <90
mmHg). Dikenal juga dengan autonomic storm.

Sedangkan Patel dan Joag membagi penyakit tetanus ini dalam tingkatan dengan
berdasarkan gejala klinis yang dibaginya dalam 5 kriteria :
Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 100oF dan aksila sampai 99oF
Dengan berdasarkan 5 kriteria di atas, maka dibuatlah tingkatan penyakit tetanus
sebagai berikut :
Tingkat I

: Ringan, minimal 1 kriteria (K1/K2) mortalitas 0 %

Tingkat II

: Sedang, minimal 2 kriteria (K1&K2) dengan masa inkubasi > 7


hari dan onset >2 hari, mortalitas 10 %
9

Tingkat III

: Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi <7 hari dan


onset <2 hari, mortalitas 32%

Tingkat IV

: Sangat berat, minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%

Tingat V

: Biasanya mortalitas 84 % dengan 5 kriteria, termasuk di dalamnya


adalah tetanus neonatorum maupun puerpurium

2.9.

Penatalaksanaan

Prinsip :
1. Mengeliminasi

bakteri

dalam

tubuh

untuk

mencegah

pengeluaran

tetanospasmin lebih lanjut


2. Menetralisir tetanospasmin yang beredar bebas dalam sirkulasi (belum terikat
dengan sistem saraf pusat)
3. Meminimalisasi gejala yang timbul akibat ikatan tetanospasmin dengan sistem
saraf pusat

Pentalaksanaan umum
Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana observasi
dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus menerus, sedangkan
stimulasi diminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan napas bersifat vital. Luka
hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan dibridemen secara
menyeluruh. (5)

Netralisasi dari toksin yang bebas


Antitoksin menurunkan mortilitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di
sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat
pada jaringan saraf tdak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia (TIG)
merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera dengan dosis terbagi
karena volumenya besar.

Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian

beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unit sama efektifnya
dengan dosis yang lebih tinggi. Imunoglobulin intravena merupakan alternatif lain
daripada TIG tapi konsentrasi antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum
distandarisasi. Paling baik memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka.

10

Manfaat memberikan antitoksin pada insisi proksimal luka atau dengan menginfiltrasi
luka belumlah jelas. Dosis tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh antitoksin
yang panjang. Antibodi tidak dapat meembus sawar darah otak. Antitoksin tetanus
kuda tidak tersedia di Amerika Serikat, tetapi masih dipergunakan di tempat lain.
Lebih murah dibandingkan antitoksin manusia, tetapi waktu paruhnya lebih pendek
dan pemberiannya sering menimbulkan hipersensitivitas dan serum sicknesss
syndrome. (5)

Menyingkirkan sumber infeksi


Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah.
Walaupun manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk
mengeradikasi sel-sel vegetatif, sebagai sumber toksin. Penggunaan penisilin (10
sampai 12 juta unit intravena setiiap hari selama 10 hari) telah direkomendasikan dan
secra luas dipergunakan selama bertahun-tahun, tetapi merupakan antagonis GABA
dan berkaitan dengan konvulsi. Metronidazol mungkin merupakan antibiotik pilihan.
Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1 gr tiap 12 jam) digunakan oleh beberapa ahli
berdasarkan aktivitas antimikrobial metronidazol yang bagus. Metronidazol aman dan
pada penelitian yang membandingkan dengan penisilin menunjukkan angka harapan
hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan penisilin karena metronidazol tidak
menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan oleh
penisilin. (5)

Pengendalian rigiditas dan spasme


Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi
untuk mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat mengancam respirasi
karena menyebabkan laringospasme atau kontraksi terus menerus otot-otot
pernafasan. Regimen yang ideal adalah regimen yang dapan menekan aktivitas
spasmodik tanpa menyebabkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Harus dihindari
stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya adalah sedasi dengan menggunakan
benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat agonisme GABA dengan menghambat
inhibitor endigen pada reseptor GABAA. Diazepam dapat diberikan melalui rute yang
bervariasi, murah dan dipergunakan secara luas, tapi metabolit kerja panjangnya
(oksazepam dan desmetildiazepam) dapat terakumulasi dan berakibat koma

11

berkepanjangan. Sebagai sedasi tambahan dapat diberikan antikonvulsan, terutama


fenobarbiton yang lebih jauh memperkuat aktivitas GABAergik dan fenithiazin,
biasanya klorprimazin. Barbiturat dan klorpromazin ini merupakan obat lini kedua. (5)

Penatalaksanaan respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin
dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau
laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan
kemampuan menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus di antisipasi
dan diterapkan secara elektif dan secara dini. (5)

Pengendalian disfungsi otonomi


Metode non farmaklokgis untuk mencegah instabilitas otonomik didasarkan pada
pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. Sedasi sering merupakan terapi
pertama. Benzodiazepin, antokonvulsan dan terutama morfin sering dipergunakan.
Morfin terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat terjadi karena
gangguan jantung. Dosisnya bervariasi antara 20 sampai 180 mg per hari. Mekanisme
aksi yang dipertimbangkan adalah penggantian opioid endogen, pengurangan aktifitas
refleks simpatis dan pelepasan histamin. Fenotiazin, terutama klorpromazin
merupakan sedatif yang berguna, antikolinergik dan antagonis a adrenergik dapat
berperan terhadap stabilitas kardiovaskular. (5)

Penatalaksanaan intensif suportif


Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut menjadi
penyebabnya mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju
metabolisme akibat pireksia atau aktivitas muskular dan masa kritis yang
berkepanjangan. Oleh karena itu, nutisi hendaknya diberikan seawal mungkin. Nutiri
enteral berkaitan dengan insidensi komplikasi yang rendah dab lebih murah daripada
nutrisi parenteral. (5)

12

Pentalaksanaan lain
Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang
tak tampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan;kecukupan
kebutuhan gizi yang meningkat dengan pemberian enteral maupunmparenteral;
fisioterapi untuk mencegah kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yang
lain untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal, kandung kemih dan saluran cerna
harus dimonitor. Perdarahan gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan
infeksi sekunder harus diatasi. (5)

Vaksinasi
Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi karena
imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus.

Farmakologi obat-obatan yang biasa dipakai pada tetanus

Diazepam.
Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi
semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan retikular, mungkin
dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmiter inhibitori utama. (5)
-

Dosis dewasa
o Spasme ringan : 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu
o Spasme sedang: 5-10 mg i.v apabila perlu
o Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg perjam

13

Dosis pediatrik
o Spasme ringan : 0,1-0,8 mg/kg/hari daam dosis terbagi tiga kali atau
empat kali sehari
o Spasme sedang sampai spasme berat : 0,1-0,3 mg/kg/hari i.v tiap 4
sampai 8 jam.

Kontraindikasi:

hipersensitivitas, glaukoma sudut sempit.

Interaksi

Toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat apabila


dipergunakan bersamaan dengan alkohol, fenotiazin, barbiturat dan MAOI;
cisapride dapat meningkatkan kadar diazepam secara bermakna.

Kehamilan : kriteria D tidak aman pada kehamilan

Perhatian
Hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan sistem saraf

pusat yang

lain, pasien dengan kadar albumin yang rendah atau gagal hati karena toksisitas
diazepam dapat meningkat.

Fenobarbital
Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi
pernafasan. Jika ada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan
untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blogindonesia 2009)
-

Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari

Dosis pediatrik: 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari.

Kontraindikasi: hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru


berat, dan nefritis.

Interaksi: dapat menurunkan kloramfenikol, digitoksin, kortikosteroid,


karbamazepin,

teofilin, verapamil, metronidazol dan antikoagulan.

Kehamilan: kriterian D-tidak aman pada kehamilan.

Perhatian: pada terapi jangka panjang, monitor fungsi hati, ginjal dan sistem
hematopoitik; hati-hati pada demam, diabetes melitus, anemia berat, karena
efek samping dapat terjadi; hati-hati pada miyastenia gravis dan miksedema.

14

Baklofen.
Baklofen intratekhal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara
eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infus
diazepam. Keseluruhan dosis baklofen diberikan sebagai bolus injeksi. Dosis dapat
diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali terjadi. (5)

Dosis dewasa: < 55 tahun: 100 mcg IT, > 55 tahun : 800 mcg IT

Dosis pediatrik: < 16 tahun : 500 mcg IT, > 16 tahun: seperti dosis dewasa

Kontraindikasi: hipersensitifitas

Interaksi: C-keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum dikuetahui.

Perhatian: hati-hati pada psien dengan disrefleksia otonomik.

Penisilin G
Berperan dengan mengganggua pembentukan polipeptida dinding otot selama
multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikriorganisme yang
rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penisislin i.v dapat
menyebabkan anemia hemolititk dan neurotoksisitas. ( Sudoyo, Aru. W 2006.blogindonesia 2009)
-

Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4 dosis

Dosis pediatrik: 100.000-250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4 kali/hari

Kontraindikasi: hipersensitivitas.

Kehamilan: kriteria B-nya biasanya aman, tapi dipergunakan apabila


manfaatnya melebihi resiko yang mungkin terjadi.

Perhatian: hati-hati pada gangguan fungsi ginjal.

Metronidazol.
Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa.dapat diabsorbsi ke
dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagaian yang terbentuk mengikat DNA dan
menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan
terapi selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai
antibiotik pada terapi tetanus karena penisilin G juga merupakan agonis GABA yang
dapat memperkuat efek toksin. (5)

15

Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 gr i.v tiap 12 jam, tidak lebih
dari 4 gr/hari.

Dosis pediatrik: 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam, tidak lebih
darri 2 gr/hari.

Kontraindikasi: hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan.

Kehamilan: kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya


melebihi resiko yang mungkin terjadi.

Perhatian: penyesuaian dosis pada penytakit hati, pemantauan kejang dan


neuropati perifer.

Vekuronium.
Merupakan agen pemblokade neuromuskuler prototipik yang menyebabkan
terjadinya paralisis muskuler.
-

Dosis dewasa: 0,08-0,1 mg/kg i.v dapat dikurangi ,emjadi 0,05 mg/kg apabila
pasien telah diterapi dengan suksinilkoin. Dosis pemeliharaan untuk paralisis:
0,025-0,1 mg/kg/hari i.v dapat dititrasi.

Dosis pediatrik: 7 minggu-1 tahun: 0,08-1 mg/kg/dosis diikuti dengan dosis


pemeliharaan sebesar 0,05-0,1 mg/kg tiap 1 jam apabila perlu, 1-10 tahun:
mungkin membutuhkan dosis awal yang besar dab suplementasi yang lebih
sering, > 10 tahun: seperti dosis biasa.

Kontraindikasi: hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindroma yang


berkaitan. Interaksi: apabila venkuronium dipergunakan bersama dengan
anestesi inhalasi, blokade neuromuskuler diperkuat, gagal hati dan gagal ginjal
serta penggunaan steroid secara bersamaan dapat menyebabkan blokade
berkpenjangan walaupun obat telah distop.

Perhatian: pada miastenai gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil


vekuronium akan memberikan efek yang kuat.

2.10.

Komplikasi

1. Kematian (sudden cardiac death)


Kasus fatal sering terjadi terutamanya pada pasien yang berusia lebih dari 60
tahun (18%) dan pasien yang tidak mendapat vaksinasi (22%). Kematian sering

16

diakibatkan oleh adanya produksi katekolamin yang berlebihan dan adanya efek
langsung tetanospasmin atau tetanolisin pada miokardium.
2. Obstruksi jalan napas
Pasien tetanus sering terjadi laringospasme hingga menyebabkan obstruksi dan
gangguan pada jalan napas.
3. Fraktur
Fraktur pada tulang vertebra atau tulang panjang bisa terjadi karena kontraksi
yang berlebih atau kejang yang kuat.
4. Hiperaktifitas sistem saraf otonomik
Efek samping yang terjadi pada keadaan ini adalah dengan meningkatnya tekanan
darah (hipertensi) dan denyut jantung yang tidak normal.
5. Infeksi nosokomial
Infeksi nosokomial sering terjadi karena perawatan di rumah sakit yang lama.
6. Infeksi sekunder
Infeksi sekunder dapat berupa sepsis akibat pemasangan kateter, hospitalacquired pneumonias dan ulkus dekubitus.
7. Hypoxic injury, aspirasi pneumonia dan emboli paru
Emboli paru adalah masalah yang sering ditemukan pada pasien lanjut usia dan
pasien dengan penggunaan obat-obatan. Aspirasi pneumonia adalah komplikasi
lanjut pada tetanus dan sering ditemukan pada 50 -70% pasien yang diotopsi.
8. Ileus paralitik, luka akibat tekanan, retensi urin dan konstipasi
9. Malnutrisi dan stress ulcers
10. Koma
11. Neuropati
12. Kelainan psikis
13. Kontraktur otot
14. Dislokasi sendi glenohumeral dan temporomandibular
2.11.

Prognosis
Prognosis tergantung pada masa inkubasi, waktu dari inokulasi spora sampai

timbul gejala awal dan waktu dari timbulnya gejala awal sampai spasme tetanik awal.
Secara umum, interval yang lebih pendek menunjukkan tetanus yang lebih berat dan
prognosis yang lebih buruk. Kebanyakan pasien yang bertahan dari tetanus ini
17

biasanya akan kembali pada kondisi kesehatan sebelumnya walau pun perbaikan
berjalan secara lambat (sekitar 2 hingga 4 bulan) dan pasien seringkali tetap menjadi
hipotonus. Pasien yang sembuh harus mendapatkan imunisasi aktif dengan tetanus
toksoid untuk mengelakkan dari terjadinya rekurensi. Selain itu, prognosis dan angka
kematian pasien dengan tetanus juga dipengaruhi oleh faktor usia, gizi yang buruk
serta penangan terhadap komplikasi yang mungkin terjadi. Dari data terkini yang
diperolehi, kadar kematian pada penderita tetanus ringan dan sedang adalah 6% dan
pada penderita tetanus berat bisa mencapai 60%. Meningkatnya kadar kematian pada
penderita tetanus adalah berhubung dengan faktor faktor berikut:
a. Masa inkubasi yang pendek
b. Onset kejang yang dini (early onset)
c. Penanganan yang lambat
d. Apabila terdapat lesi di kepala dan muka yang terkontaminasi
e. Tetanus neonatorum

Berdasarkan 5 kriteria menurut Patel dan Joag, dibuat 5 tingkatan yaitu:


a. Tingkat 1 (ringan): minimal 1 kriteria (K1 atau K2), mortalitas 0%
b. Tingkat 2 (sedang): minimal 2 kriteria (K1atau K2) dengan masa inkubasi >
7 hari dan awitan > 2 hari, mortalitas 10%
c. Tingkat 3 (berat): minimal 3 kriteria (K1atau K2) dengan masa inkubasi < 7
hari dan awitan < 2 hari, mortalitas 32%
d. Tingkat 4 (sangat berat): minimal 4 kriteria, mortalitas 60%
e. Tingkat 5: minimal 5 kriteria termasuk tetanus neonatorum maupun
puerperium, mortalitas 80%.
Klasifikasi prognostik menurut Cole-Spooner
Kelompok prognostik
I

Periode awal
< 36 jam

Masa inkubasi
6 hari

II

>36 jam

>6 hari

III

Tidak diketahui

Tidak diketahui

18

Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I mempunyai angka


kematian lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan
angka kematian akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu,
pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga menurunkan angka kematian. (3)

19

BAB III
KESIMPULAN

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkaan oleh neurotoksin


yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospasmin meripakan neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani.
Prognosis tetanus ditentukan

salah

satunya

adalah

dengan

penatalaksanaan yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus


pada neonatus mempunyai case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga
bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka
dapat lebih menurunkan angka kematian.
Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman
yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi,
penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. CDC.

Tetanus.

(cited

2015

March

30th

).

2006.

Avalaible

at:

www.cdc.gov/niP/publications/pink/tetanus.pdf
2. Fauci, Braunwald et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th
edition. McGraw-Hill: United State. 2008.
3. Jong, de Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC: Jakarta. 2005. Hal 23-4.
4. Kiking R. Tetanus. Medan: USU Digital Library, 2004;1-9.
5. Sudoyo, Aru. W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Pusat
penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI: Jakarta. 2006. Hal 177785.

21

Anda mungkin juga menyukai