TINJAUAN PUSTAKA
2.1Adsorpsi
2.1.1 Definisi Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses perpindahan massa yang terjadi akibat interaksi
berupa gaya tarik menarik atau interaksi kimia antara permukaan padatan berpori dengan
partikel yang akan diserap dari fasa bulk(Oscik, 1982). Partikel yang teradsorpsi akan
terakumulasi pada permukaan zat padat, berbeda dengan proses absorbsi dimana massa
berpindah ke dalam volume ataubulk padatan atau fluida pengabsorbsi. Partikel yang
berpindah pada proses adsorpsidisebut sebagai adsorbat dan zat penyerap partikel adsorbat
disebut adsorben(Grassi, Kaykioglu, Belgiorno, & Lofrano, 2012).
Gambar 2.2Profil temperatur dan konsentrasi adsorbat pada adsorben padat berpori di
dalam fluida pada proses; (a) adsorpsi dan (b) desorpsi(Seader, Henley, & Roper, 2010)
Adsorpsi merupakan proses perpindahan massa dengan driving force perpindahan
massa berupa perbedaan konsentrasi adsorbat pada fasa bulk dan konsentrasi adsorbat pada
permukaan film yang melapisi adsorben. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1pada butir
(a), profil konsentrasi adsorbat di dalam adsorben lebih rendah daripada konsentrasi
adsorbat pada fasa bulk. Hal ini menyebabkan perpindahan massa adsorbat terjadi dari fasa
bulk ke dalam adsorben (adsorpsi).Jika adsorpsi terjadi secara fisika, maka proses
adsorpsiakanterjadi secara eksotermis. Proses eksotermis menghasilkan panas sehingga
temperatur adsorben akanmenjadi lebih tinggi daripada temperatur lingkungan. Jika
adsorpsi yang terjadi merupakan adsorpsi kimia, perubahan suhu akan bergantung pada
panas reaksi yang terjadi(Rouquerol, Rouquerol, & Sing, 1999).
Perpindahan massayang berlawanan dari adsorpsi dimana terjadi transfer adsorbat
dari dalam adsorben menuju fasa bulk dinamakan proses desorpsi. Profil temperatur dan
konsentrasi adsorbat pada proses desorpsi digambarkan padaGambar 2.1 butir (b).
Konsentrasi adsorbat di dalam adsorben lebih tinggi daripada konsentrasi adsorbat pada
fasa bulk sehingga terbentukdriving force yang menyebabkan perpindahan massa adsorbat
terjadi dari dalam adsorben menuju fasa bulk. Desorpsi secara umummerupakan proses
dengan panas reaksi endotermis sehingga memerlukan energi tambahan berupa panas dari
lingkungan.
2.1.2 Adsorpsi Fisika dan Adsorpsi Kimia
Seperti yang telah dijelaskan pada butir 2.1.1, adsorpsi terjadi akibatinteraksi antara
adsorben dengan adsorbat.Berdasarkan interaksi yang terlibat, adsorpsi dapat berupa
adsorpsi fisika (physisorption) atau adsorpsi kimia (chemisorption).
Tabel 2.1 Perbedaan Adsorpsi Fisika dan Adsorpsi Kimia (Rouquerol, Rouquerol, & Sing,
1999)
Adsorpsi Fisika
Adsorpsi Kimia
Perbedaan
Jenis
ikatan Van der Waals, reversible
ikatan kimia, irreversible
interaksi
Selektivitas
bergantung pada kereaktifan adsorben dan
relatif rendah
spesifik
adsorbat
Energi
bergantung pada energi reaksi yang
eksotermis
reaksi
terjadi
Kebutuhan
energi
tidak memerlukan energi aktivasi
memerlukan energi aktivasi
Aktivasi
Jumlah
mono-layer, multi-layer pada
terbatas pada mono-layer
lapisan
tekanan tinggi
partikel adsorbat tidak mengalami
partikel mengalami perubahan struktur
Identitas
perubahan, pada proses desorpsi,
kimia sehingga membentuk zat baru
partikel
partikel adsorbat yang teradsorpsi
karena telah melalui suatu reaksi kimia
akan kembali ke kondisi awal
Temperatur
relatif rendah, di bawah
operasi dilakukan pada suhu tinggi
Operasi
temperatur kritis zat adsorbat
(>200oC)
Adsorpsi fisika terjadi apabila interaksi yang terbentuk antara adsorben dan
adsorbat berupa ikatan Van der Waals. Gaya van der Waals merupakan suatu gaya lemah
yang ditimbulkan oleh perbedaan kepolaran momen dipol antar molekul. Ikatan yang
timbul oleh gaya ini juga bersifat lemah sehingga dapat terlepas dengan mudah atau
dengan kata lain sifat ikatan tersebut dapat balik (reversible).Adsorpsi fisika berlangsung
relatif cepat dan dapat membentuk lapisan tunggal (mono-layer) atau lapisan rangkap
(multi-layer) pada operasi dengan tekanan tinggi.Pada pembentukan lapisan rangkap,
proses adsorpsi yang terjadi terlebih dahulu membentuk lapisan tunggal pada permukaan
adsorben. Molekul molekul yang mengisi lapisan tunggal ini kemudian akan menjadi
gugus adsorpsi untuk molekul berikutnya sehingga dapat terbentuk lapisan rangkap.
Adsorpsi kimia melibatkan ikatan kimia (ikatan kovalen) yang terbentuk sebagai
akibat interaksi elektron antara adsorben dan adsorbat.Reaksi yang timbul memiliki sifat
irreversible. Adsorbat yang mengalami adsorpsi kimia akan mengalami reaksi dan berubah
menjadi suatu senyawa baru, berbeda dengan adsorpsi fisika dimana tidak terbentuk
senyawa baru setelah proses adsorpsi. Ikatan yang terbentuk pada adsorpsi kimia terbatas
pada pembentukan lapisan tunggal pada permukaan adsorben.Hal ini disebabkan oleh
gugus aktif pemicu adsorpsi kimia yang hanya terdapat pada permukaan adsorben
saja.Adsorpsi kimia secara umum hanya terjadi pada suhu yang relatif tinggi (>200 oC),
berlangsung relatif lambat, dan memerlukan energi aktivasi untuk memulai reaksi. Pada
kondisi temperatur dan tekanan operasi tertentu, dalam suatu proses adsorpsi dapat terjadi
proses adsorpsi kimia dan fisika secara bersamaan atau bergantian(Rouquerol, Rouquerol,
& Sing, 1999).
2.1.3 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kinetika Adsorpsi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinetika perpindahan massa pada adsorpsi
adalah(Grassi, Kaykioglu, Belgiorno, & Lofrano, 2012):
a) Kecepatan pengadukan
Pengadukan akan memperkecil hambatan perpindahan massa yang terdapat di dalam
larutan fasa bulk. Pada laju pengadukan yang lebih besar, hambatan perpindahan
massa yang harus dilalui oleh adsorbat menjadi makin kecil sehingga difusi partikel
adsorbat menjadi lebih cepat. Pergerakan partikel yang semakin cepatakan
mempengaruhi laju kolisi antar partikel adsorbat dengan adsorben sehingga
meningkatkan laju adsorpsi.
b) Konsentrasi awal adsorbat dalam larutan
driving force perpindahan massa pada proses adsorpsi merupakan perbedaan profil
antara konsentrasi adsorbat di dalam fasa bulk (larutan) dengan konsentrasi adsorbat
pada lapisan tipis film yang mengelilingi adsorben. Jika perbedaan konsentrasi antara
kedua fasa tersebut semakin besar, maka proses perpindahan massa akan berlangsung
semakin cepat dan adsorpsi yang terjadi akan lebih cepat mencapai kesetimbangan.
c) pH larutan
Nilai pH larutan mempengaruhi besar muatan elektrostatis pada permukaan adsorbat
dan pada gugus aktif adsorben (Ofomaja, 2008).Pada nilai pH yang berbeda, muatan
yang terbentuk pada gugus aktif adsorben dapat mengalami perubahan dari positif
menjadi negatif atau sebaliknya(Bestani, Benderdouche, Benstaali, Belhakem,
&Addou, 2008). Perubahan muatan permukaan ini akan mempengaruhi atraksi
adsorbat pada adsorben. makin besar perbedaan muatan yang terbentuk, makin besar
pula atraksi yang terjadi dan proses adsorpsi akan berlangsung lebih cepat.
d) Temperatur operasi
10
suatu
proses
adsorpsi
ditentukan
olehluas
permukaan
spesifik
adsorben.Semakin besar luas permukaan spesifik suatu adsorben, semakin banyak pula
adsorben tersebut dapat mengadsorpsi adsorbat(Grassi, Kaykioglu, Belgiorno, & Lofrano,
2012).Oleh karena itu, dalam menentukan kualitas suatu adsorben, hal utama yang
dipertimbangkan adalah luas permukaan spesifik adsorben.Luas permukaan spesifik pori
adalah sebagian dari luas permukaan total yang terkandung di dalam suatu massa adsorben
yang tersedia untuk proses adsorpsi(Seader, Henley, & Roper, 2010). Luas permukaan
spesifik pori dapat dihitung dengan menggunakan yang melibatkan adsorpsi gas Nitrogen
pada adsorben pada berbagai tekanan operasi. Volume kesetimbangan adsorpsi gas
Nitrogen digunakan dalam perhitungan luas permukaan spesifik dengan menggunakan
persamaan BET(Rouquerol, Rouquerol, & Sing, 1999).
Adsorben komersial yang beredar luas di pasaran dalam bentuk apapun memiliki
rentang luas permukaan sekitar 300-1200 m2/gram adsorben(Seader, Henley, & Roper,
2010).Luas permukaan demikian disebabkan oleh pori-pori pada adsorben. Perbandingan
antara volume rongga pori-pori adsorben terhadap volume total adsorben disebut dengan
istilah porositas. Dengan diameter poriberkisar pada rentang 10-200 , porositas adsorben
dapat berkisar antara 30-85%-volume(Seader, Henley, & Roper, 2010).
11
Porosita
s
Partikel,
p
Densitas
Partikel
p
(g/cm3)
Luas
Permukaan
Sg, (m2/g)
Kapasitas Adsorpsi
uap air pada 25oC
dan 4.6 mmHg,
%wt (basis kering)
10-75
0.5
1.25
320
Pori kecil
22-26
0.47
1.09
750-850
11
Pori besar
100-150
0.71
0.62
300-350
10-25
0.4-0.6
0.5-0.9
400-1200
>30
0.6-0.8
200-600
Adsorben
Alumina Aktif
Silica gel :
Karbon aktif :
Sifat
hidrofilik, amorf
hidrofilik/hidrofobik,
amorf
hidrofobik, amorf
Pori kecil
Pori besar
Molecular-sieve
carbon
Molecular-sieve
zeolites
hidrofobik
2-10
0.98
400
polar-hidrofilik, kristalin
3-10
0.2-0.5
1.4
600-700
20-25
Adsorben polimer
40-25
0.4-0.55
80-700
Karbon Aktif
Karbon aktif merupakan padatan karbon hitam yang berasal dari material kaya
karbon seperti kulit kelapa, kayu, arang, dan tulang yang telah melalui serangkaian proses
karbonisasi dan aktivasi sehingga dipenuhi oleh pori pori berukuran mikroskopis. Pori
pori tersebut berfungsi untuk meningkatkan luas permukaan spesifik karbon aktif dalam
proses adsorpsi. Dapat dilihat pada Tabel 2.1 bahwa terdapat dua macam karbon aktif
dengan dua jenis ukuran pori. Perbedaan ukuran pori pada permukaan karbon aktif
disesuaikan dengan ukuran partikel zat yang akan diproses.
Berdasarkan Tabel 2.1, dapat diperhatikan bahwa karbon aktif merupakan adsorben
bersifat hidrofobik dengan luas permukaan yang besar (400-1200 m2/g untuk karbon aktif
berpori kecil dan 200-600 m2/g untuk karbon aktif berpori besar). Karbon aktif digunakan
untuk memisahkan atau memurnikan larutan dengan campuran organik. Senyawa organik
yang bersifat non-polar di dalam larutan akan lebih kuat mengikat pada karbon aktif
dibandingkan air karena karbon aktif juga memiliki sifat non-polar. Dibandingkan dengan
air yang memiliki sifat semi polar, molekul senyawa organik akan lebih mudah untuk
berikatan dengan karbon aktif. Karbon aktif juga mudah diregenerasi karena interaksi yang
terbentuk antara permukaan karbon aktif dengan adsorbat cukup lemah, sehingga mudah
dipisahkan.
12
Molecular-Sieve Carbon
Molecular-SieveCarbonmerupakan salah satu adsorben karbon seperti juga karbon
aktif.Molecular-SieveCarbonadalah kerangka karbon berpori yang tersisa setelah proses
pirolisis senyawa polimer. Adsorben ini memiliki nilai porositas yang tinggi sehingga
sering dimanfaatkan untuk menyaring molekul berukuran sangat kecil (C2-C5).Seperti
juga pada adsorben lain, ukuran pori pada adsorben Molecular-Sieve Carbon dan ukuran
analit yang akan diadsorbsi mempengaruhi proses adsorpsi yang terjadi. Molecular-Sieve
Carbon memiliki kekuatan adsorpsi yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan kekuatan
adsorpsi adsorben karbon lain. Hal ini menyebabkan partikel yang berukuran relatif
besar,lebih besar dari C5 misalnya, sulit dipisahkan dari adsorben pada proses desorpsi.
Dapat diamati pada Tabel 2.1 bahwa Molecular-SieveCarbon merupakan adsorben
dengan sifat hidrofobik sehingga adsorpsi masih dapat terjadi dengan baik dan stabil pada
daerah dengan kelembapan udara tinggi. Ukuran diameter pori yang sangat kecil (2-10 )
memungkinkan Molecular-Sieve Carbon untuk digunakan dalam penyaringan gas Nitrogen
dari udara.
Secara garis besar, terdapat dua macam produk Molecular-Sieve Carbon, yaitu
(Sigma Aldrich):
a) Carboxen Adsorbents
Yaitu Molecular-Sieve Carbon dengan struktur pori terbuka sehingga
b)
pori
tertutup
untuk
13
Berdasarkan Tabel 2.1, silica Gel sebagai adsorben memiliki luas permukaan yang
relatif tinggi berkisar antara 350-850 m2/g silica gel. Silica gel memiliki afinitas yang
tinggi terhadap air sehingga sangat cocok digunakan sebagai desikan(Ali, Chughtai, &
Sattar, 2009) Selain sebagai desikan, silica gel juga digunakan sebagai penopang katalis,
zat perata dalam proses coating, dan sebagai adsorben selektif pada kromatografi. Selain
dalam bentuk SiO2, terdapat pula adsorben berbasis silika lain, seperti magnesium silikat
(florisil), kalsium silikat, clays, dan Fullers earth. Seperti juga karbon aktif, terdapat dua
macam silica gel dengan ukuran diameter pori yang berbeda.
Alumina
Alumina aktif merupakan padatan berwarna putih dengan rupa menyerupai kapur
yang dibuat dengan cara menguapkan air dari larutan koloid Al2O3.3H2O hingga senyawa
hidrat alumina hanya mengikat 0,5 molekul air. Alumina secara komersil dipasarkan dalam
wujud bola berdiameter 1-8mm, granul, pelet berukuran 2-4 mm, dan serbuk.(Seader,
Henley, & Roper, 2010)Alumina memiliki kapasitas adsorpsi air yang cukup tinggi untuk
mengeringkan gas dengan kandungan air hingga mencapai < 1 ppm.Untuk alasan ini,
alumina digunakan secara luas sebagai desikan dan untuk mengikat molekul air dari dalam
suatu larutan.
Zeolit
Zeolit
merupakan
padatan
putih
berkabut
dengan
rupa
menyerupai
kapur.Keserupaan wujud fisik zeolit dengan alumina dikarenakan zeolit adalah senyawa
alumino-silikat yang merupakan gabungan dari senyawa silika dan alumina.Rasio
perbandingan antara senyawa silika dan senyawa alumina dalam zeolit memperngaruhi
kepolaran zeolit dalam mengadsorpsi. Zeolit yang lebih kaya mengandung silika akan
bersifat non polar sedangkan zeolit dengan kandungan silika yang lebih kaya akan bersifat
lebih polar.
Zeolit memiliki ukuran diameter pori yang sangat kecil dan seragam dengan
kisaran antara 3-10 (Tabel 2.1). Ukuran diameter pori yang kecil ini membuat zeolit
dapat dengan selektif memisahkan partikel yang berukuran lebih besar dari diameter pori
sehingga zeolit disebut juga sebagai molecular-sieve zeolites.Penggunaan zeolit meliputi
pengeringan gas, (Zahra, Jafar, & Masoud, 2008)sebagai adsorben pada pressure swing
adsorption untuk memisahkan gas oksigen, memisahkan parafin dari nafta, dan
memisahkan p-xilena dari isomer isomer zat tersebut.
2.2 Prinsip Adsorpsi
14
(2.1)
Integrasi persamaan (2.1) dengan kondisi batasan t=0 hingga t=t dan q=0 hingga
q=qtmenghasilkan persamaan (2.2) :
ln ( q e q t )=ln qe k 1 . t
(2.2)
Keterangan :
qe
gram adsorbat
qt
gram adsorbat
k1
ln ( q e q t )
vs t dan nilai
d qt
=k 2( qe qt )2 (2.3)
dt
dqt
(q e qt )2
=k 2 dt
(2.4)
Integrasi persamaan (2.4) dengan kondisi batasan t=0 hingga t=t dan q=0 hingga
q=qtmenghasilkan persamaan (2.5) :
t
1
t
=
+
qt k 2 q 2e qe (2.5)
15
h=k 2 qe (2.6)
Keterangan :
qe
gram adsorbat
qt
gram adsorbat
k2
gram adsorben
gram
)
gram . menit
nilai laju awal adsorpsi (h), kapasitas kesetimbangan adsorpsi (qe), dan konstanta
orde 2(k2)ditentukan secara eksperimen dari gradien dan intercept regresi linier kurva
t/qtversus t. nilai k2 merupakan 1/gradien persamaan (2.6) dan nilai qe diperoleh dengan
mensubstitusikan nilai k2 ke dalam intercept persamaan (2.6).
2.2.1.3 Persamaan Elovich(Alkan, Dogan, Turhan, Demirbas, & Turan, 2008)
Pada proses adsorpsi kimia, tanpa desorpsi, laju adsorpsi akan semakin berkurang
seiring waktu karena permukaan adsorben semakin tertutup oleh adsorbat. Salah satu
persamaan yang paling tepat untuk memodelkan peristiwa ini adalah persamaan Elovich :
dqt
= exp ( q t) (2.7)
dt
dimana adalah laju adsorpsi mula-mula (kgadsorbat/kgadsorben.s) dan merupakan
variabel yang menghubungkan energi aktivasi dan cakupan permukaan() pada adsorben
untuk adsorpsi kimia. Untuk menyederhanakan persamaan (2.7), nilai t diasumsikan >>
1 dan dengan kondisi batas qt = 0 saat t = 0, bentuk sederhana persamaan tersebut menjadi
persamaan linear (2.8) :
qt= ln() + ln t(2.8)
Jika qtdialurkan terhadap ln(t), maka dari persamaan regresi yang dihasilkan akan
diperoleh nilai sebagai gradien persamaan linear dan nilai diperoleh dari intercept
persamaan pada sumbu qt.
2.2.2 Kesetimbangan Adsorpsi
Jika ditinjau berdasarkan sudut pandang adsorbat, pada sistem adsorpsi padat-cair,
proses adsorpsi menyebabkan jumlah partikel solut di dalam larutan semakin berkurang
dan pada saat yang bersamaan, meningkatkan akumulasi adsorbat pada permukaan
16
(2.9)
Dimana qt(mg/g) adalah jumlah adsorbat yang diadsorpsi oleh adsorben per unit
massa adsorben pada saat t.C0dan Ctberturut-turut adalah konsentrasi mula-mula adsorbat
dan konsentrasi adsorbat pada saat t. V (liter) merupakan volume larutan dan m (gram)
adalah massa adsorben.
Secara praktis, kebanyakan proses adsorpsi merupakan proses yang cukup
kompleks sehingga persamaan umum tersebut tidak dapat mencakup aspek keseluruhan
proses yang terjadi. Beberapa isoterm adsorpsi diperkenalkan untuk memodelkan proses
adsorpsi tersebut yang termasuk Isoterm Langmuir, Isoterm Freundlich, Isoterm Brunauer,
Emmet, dan Teller (BET), dan Isoterm Toth.
2.2.2.1 Isoterm Langmuir
Persamaan Isoterm Langmuir menggambarkan suatu sistem kontak antara
adsorben-adsorbat dimana kontak hanya terbatas pada satu lapisan molekul /
monolayer(Rouquerol, Rouquerol, & Sing, 1999).
Langmuir mengasumsikan terdapat gugus aktif dalam jumlah terbatas pada
permukaan adsorben (Dada, Olalekan, Olatunya, & DADA, 2012) danfraksi jumlah gugus
aktif yang berikatan dengan molekul adsorbat didefinisikan sebagai variabel .
Beberapa asumsi yang dibuat dalam penggunaan isoterm Langmuir, menurut F.O.
& E.O., 2010 dan (Zavareh, 2012):
1. Lapisan adsorbat pada adsorben merupakan lapisan monolayer, adsorpsi hanya
terjadi pada gugus aktif spesifik yang terdapat pada permukaan adsorben.
17
2. Tiap gugus aktif adsorpsi hanya dapat mengadsorpsi satu molekul atau atom
adsorbat.
3. Tidak ada interaksi antara molekul adsorbat sehingga molekul yang teradsorpsi
pada permukaan adsorben tidak mengalami perpindahan (transmigrasi) posisi
gugus aktif
4. Setiap gugus aktif adsorpsi adalah identik dan terdapat kesama-rataan
penyebaran energi pada setiap gugus aktif.
Perumusan awal Isoterm Langmuir didasarkan pada teori kinetika gas. Berdasarkan
teori kinetika gas, laju adorpsi berbanding lurus dengan tekanan gas dan (1- ) sedangkan,
laju desoprsi bergantung pada dan energi aktivasi, E. Langmuir kemudian merumuskan
bahwa terjadi kesetimbangan antara laju adsorpsi dengan laju desorpsi pada permukaan
adsorben dimana laju adsorpsi sama besar dengan laju desorpsi. Perumusan Isoterm
Langmuir berdasarkan teori kinetika gas adalah sebagai berikut :
Dimana
dan
1
(2.10)
p
padatan-gas tertentu. Pada asumsi dimana desorpsi terjadi pada nilai E konstan, maka
persamaan (2.10) dapat disederhanakan menjadi persaman (2.11) :
bp
q
=
q
(1+bp)
m
(2.11)
( )
b= e R T
(2.12)
18
kL
C
Ce
1
=
+ e (2.13)
qe k L . Qo Qo
1
n
(2.14)
Keterangan :
kF
= konstanta isoterm Freundlich (m3/kg)
1/n
= konstanta yang mengindikasikan kekuatan interaksi antara partikel
adsorben dengan adsorbat. (Zavareh, 2012)Nilai 1/n > 1 mennunjukkan
Ce
qe
Nilai konstanta kFdan 1/n pada persamaan di atas dapat ditentukan dengan
melakukan regresi linear terhadap persamaan (2.14) ke dalam bentuk persamaan (2.15) :
1
ln q e =ln k F + lnC e
n
(2.15)
Dengan mengalurkan nilai ln (qe) terhadap nilai ln Ce, maka akan diperoleh
persamaan regresi linier dengan bentuk persamaan
y=mx +c
sama dengan nilai 1/n dan nilai kF dapat diperoleh melalui eksponen nilai intercept.
2.2.2.3 Isoterm BET
Persamaan Isoterm BET merupakan persamaan isoterrm yang dikembangkan oleh
Brunauer, Emmett, dan Teller. Asumsi yang digunakan dalam model isoterm BET adalah
19
( )
(2.16)
Keterangan :
P
= tekanan gas total (atm)
Po
= tekanan uap adsorbat pada temperatur operasi (atm)
v
= volume gas yang teradsorpsi pada kondisi kondisi 0oC dan 1 atm (Liter)
vm
[
]
= konstanta panas adsorpsi
RT
terhadap
mewakili nilai
nilai
vm
P
v (P0P)
1
vm c
sehingga nilai
vm
dan
( c1 )
vm c
yang telah diketahui, maka luas permukaan spesifik adsorben (Sg) dapat
20
Sg=
vm N A
V
=1.091
M
N A L
(2.17)
2
3
(2.18)
Keterangan :
Sg
= luas permukaan spesifik adsorben (cm2)
vm
NA
V
M
L
21
22
23
24
Kebocoran gas CO2 dalam jumlah besar dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis
bila terpapar pada manusia (Huijgen & Comans, 2003).
2.4 Heterogeneous Surface Diffusion Model (HSDM)
HSDM menggunakan asumsimultipore model yaitu suatu asumsi dimana terdapat
variasi ukuran pori pada adsorben berupa ukuran pori yang besar (macropore), pori
berukuran sedang (mesopore), dan pori berukuran kecil (micropore). Ukuran diameter pori
untuk macropores adalah > 50 nm, ukuran diameter pori mesoporesadalah 2 50 nmdan
ukuran diameter pori micropores adalah < 2 nm (Angelina). Ukuran pori yang berbeda
pada permukaan adsorben menyebabkan perbedaan mekanisme perpindahan massa pada
masing masing pori. Mekanisme perpindahan massa berdasarkan HSDM adalah sebagai
berikut :
a) Perpindahan adsorbat eksternal yaitu perpindahan massadari fasa bulk menuju
partikel adsorben secara konveksi.
b) Kesetimbangan antara konsentrasi di fasa bulk dengan fasa padatan di interface
c) Perpindahan internal yang meliputi difusi dan adsorpsi adsorbat pada
permukaan macropore, mesopore, danmicropore
Perpindahan massa yang terjadi dinyatakan dalam model matematis yang akan
dimodelkan berdasarkan penurunan neraca massa.
Pemodelan matematis dengan HSDM menggunakan asumsi asumsi berikut :
a)
b)
c)
d)
e)
Pemodelan HDSM pada pori dilakukan dengan menerapkan neraca mikroskopis atau
neraca massa kulit pada control volume yang ditentukan di dalam dimensi adsorben.
Control volume berupa lapisan kulit tipis berbentuk bola pada adsorben dengan ketebalan
r , luas permukaan
4 r 2 , dan volume
massa
pada
permukaan
adsorben
dinyatakan
dalam
variabel
25
q(
kg adsorbat
)
kg adsorben dan fluks konsentrasi pada luas permukaan bola mengikuti persamaan :
[Ds .
d CP
] (2.19)
dr
dq
]
dr (2.20)
konvektif :
dCt
=k f (Ct C S , t ) (2.21)
dt
Keterangan :
kf
= koefisien perpindahan massa (1/s)
Ct
= konsentrasi adsorbat di fasa cair pada waktu tertentu (kg/m3)
CS,t
= konsentrasi adsorbat pada adsorben pada waktu tertentu (kg/m3)
2.4.2
f1
dqma f 1
= 2
dt
r
Keterangan :
f1= fraksi macropore pada adsorben
qma = konsentrasi adsorbat pada adsorben pada macropore (kgadsorbat/kgadsorben)
qme = konsentrasi adsorbat pada adsorben pada mesopore (kgadsorbat/kgadsorben)
qmi = konsentrasi adsorbat pada adsorben pada micropore (kgadsorbat/kgadsorben)
k1 = koefisien laju adsorpsi dari macropore menuju mesopore (s-1)
k2 = koefisien laju adsorpsi dari mesopore menuju micropore (s-1)
Ds = koefisien difusivitas permukaan (m2/s)
q
= fluks perpindahan massa dengan satuan konsentrasi massa (kgadsorbat/m.s)
26
Akumulasi yang terjadi pada control volume merupakan akumulasi massa akibat
perbedaan laju masuk dan keluar fluks masa (
q m . p . V t + t qm . p . V t=( q .4 r 2 r q .4 r 2 r+ r ) . tk 1 ( q maq me ) . p .4 r 2 . r .
q mt
q mt + t
2
f 1 . p .4 r . r
qm (r ,t ) f 1 ( q .r 2)
f1
= 2
k 1 ( qmaqme )k 2 (qma qmi ) (2.23)
t
r
r . p
Dimana
q=Ds . P .
dq
dr
(2.24):
f1
qm (r ,t ) f 1
= 2
t
r
2.4.2.2
Mesopore
qm (r ,t )
r
k 1 ( qma qme )k 2 (q maq mi)
r
r2 . D s .
(2.24)
Laju perpindahan massa adsorbat pada mesopore dinyatakan dalam variabel R1.
f2
qme
=k 1 ( qma q me )k 2 ( qme qmi )
t
(2.25)
Keterangan :
f2
qma
qme
qmi
k1
k2
27
f 2.
me
=k 1 (q maq me )k 2 (qme q mi)
t
2.4.2.3
Micropore
qmi
=k 3 ( q maq mi ) +k 2 ( q me qmi )
t
(2.26)
Keterangan :
f3
qma
qme
qmi
k3
k2
28
k
k
2
.
q
k
(
me
2 . qmi ). t . m
( 3 . qmak 1 . q mi )+
m t + t m t =
k
k
( 2 .q me k 2 . qmi ). t . p . V
( 3 . qmak 3 .q mi)
t . p . V
f 3 .( qmi . p . V t + t q mi . p . V t )=
f3
mi
=k 3 (qmaqmi )+k 2 (qme q mi)
t
(2.27)
Kondisi awal dan batas untuk model HSDM adalah sebagai berikut:
a) Pada saat t = 0, belum terdapat molekul adsorbat yang teradsorpsi pada
permukaan adsorben dan konsentrasi larutan adalah sama dengan
konsentrasi awal (Co) sehingga :
q ma ( r , 0 )=0
(2.28)
q me ( r ,0 )=q mi ( r , 0 )=0
(2.29)
Ct ( t=0 )=C 0
(2.30)
b) Pada posisir = 0 untuk setiap nilai t, tidak terjadi perubahan konsentrasi
adsorbat terhadap perbedaan posisi di dalam adsorben, sehingga :
qm
( 0, t )=0
r
(2.31)
q ma
=k f (Ct C S ,t )
r
(2.32)
29
(2.34)
c) Persamaan potensial
2 u 2 u 2 u
+ 2 + 2 u=0
2
x
y
z
(2.35)
2.5.2
30
diferensial parsial dengan dua variabel bebas berupa variabel waktu (t) dan variabel posisi
(r).Terdapat berbagai metode dalam penyelesaian persamaan diferensial parsial termasuk
metode analitis dan metode numerik.
Dikenal dua macam kondisi batas yang digunakan untuk menyelesaikan suatu
persamaan diferensial parsial yaitu; Initial Value Condition (IVP) dan Boundary Value
Condition (BVP).IVP menggambarkan kondisi awal pada saat salah satu variabel bebas
berharga nol sedangkan BVP menyatakan kondisi pada batas awal dan akhir suatu
persamaan diferensial parsial.Baik IVP maupun BVP dapat dinyatakan secara ekplisit atau
dapat diestimasi dari fenomena yang terjadi dalam suatu permasalahan.
Beberapa metode numerik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan
diferensial parsial, yaitu :
2.5.3.1Method of Lines
31
32
Gambar 2.5 Ilustrasi diskretisasi persamaan diferensial dengan metode Crank Nicolson
Metode lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial
parsial adalah Metode Crank Nicolson. Metode Crank Nicholson merupakan metode
penghampiran terbatas orde dua yang merupakan gabungan dari metode eksplisit dan
metode implisit Euler.Berbeda dengan method of lines yang hanya melakukan diskretisasi
penghampiran terbatas terhadap salah satu variabel Persamaan diferensial parsial, metode
Crank Nicolson melakukan penghampiran terhadap kedua variabel yang terlibat.Metode ini
menghasilkan solusi yang stabil untuk penyelesaian beragam persamaan diferensial
parsial(Thomas, 1995).
Diskretisasi pada metode Crank Nicolson menggabungkan penghampiran maju
terhadap waktu dan penghampiran mundur terhadap waktu dari metode eksplisit dan
implisit Euler.Penghampiran varabel ruang dilakukan dengan penghampiran tengah.Salah
satu contoh penyelesaian persamaan diferensial paial dengan metode Crank Nicolson
digambarkan pada Gambar 2.5 dengan contoh persamaan (Nurfitroh, 2013):
33
2
u
2 u
=
t
x2
(2.36)
Penyelesaian untuk persamaan (2.35) dengan metode Crank Nicolson adalah sebagai
berikut :
Penghampiran maju untuk tahap :
wi , j+1wi , j
2 w i +1, j 2 w i , j +w i 1, j
=
2
(2.37)
k
h
Penghampiran mundur untuk tahap +1 :
wi , j+1wi , j
2 w i +1, j +12 w i , j+ 1+ w i1, j+1
=
(2.38)
k
h2
Metode Crank Nicolson merupakan rata-rata dari penggabungan persamaan (2.37) dan
(2.38), sehingga menjadi :
(2.39)