Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN KASUS

PENURUNAN KESADARAN ec HIPOGLIKEMIA DM

Pembimbing : Dr. R.A.Hanifatun.I.Ariestina,SpPD


Disusun oleh: Nadya Y.D.H.P
030.07.173

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD BUDHI ASIH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2014

BAB I
LAPORAN KASUS

STATUS ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH JAKARTA

Nama

: Nadya Y.D.H.P

NIM

: 030.07.173

Pembimbing : Dr. R.A.Hanifatun.I.Ariestina,SpPD

I. IDENTITAS
Nama lengkap/CM

: Ny. Siti Hadijah/89.99.30

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 58 tahun

Suku bangsa

: Betawi

Status perkawinan

: Menikah

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Pendidikan

: SD

Alamat

: Jl.Pal-Batu I No 36, Tebet

Tanggal masuk RS

: 24-06-2014

II. ANAMNESIS
Telah dilakukan autoanamnesis dengan pasien pada hari Rabu pukul 11.15 WIB, tanggal 25
Juni 2014 di ruang 607.
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan tidak sadar sejak 9 jam yang lalu SMRS.
Keluhan tambahan
Lemas seluruh badan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan tidak sadar sejak 9 jam yang lalu
sebelum masuk rumah sakit. Pada waktu tidak sadar, pasien sempat muntah 1x isi cairan.
Riwayat mual, nyeri kepala, demam, batuk, pilek dan kejang disangkal. BAB dan BAK
lancar. Selama 5 tahun ini pasien mengkonsumsi obat diabetik oral secara teratur hanya saja
pasien memiliki kebiasaan susah makan, lebih sering makan pepaya dicampur jeruk nipis.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada tahun 2009 pernah dirawat di RSUD Budhi Asih untuk operasi katarak. Saat itu baru
diketahui bahwa pasien mempunyai penyakit DM. Pada tanggal 24 Februari 2013 pasien
kembali dirawat di RSUD Budhi Asih dikarenakan penurunan kesadaran dan kejang akibat
dari hipoglikemik DM, lalu 9 bulan setelah itu pasien dirawat lagi dengan keluhan yang sama
yaitu tidak sadarkan diri, hanya saja tanpa kejang.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi, DM, Jantung disangkal pada keluarga.
Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan susah makan, lebih sering makan pepaya dicampur jeruk nipis.
Riwayat Pengobatan
2

Selama 5 tahun ini pasien hanya mengkonsumsi obat diabetik oral secara teratur. Sayangnya
pasien tidak membawa obatnya dan lupa nama obatnya sehingga tidak diketahui jenis obat
diabetiknya.
Riwayat alergi
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.
Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal dirumah padat penduduk, pencahayaan baik tidak perlu memakai lampu pada
pagi hari, ventilasi cukup baik.
Anamnesis menurut sistem
Kulit : Tidak ada keluhan
Kepala : Kepala, mata, telinga, hidung, mulut, tenggorokan tidak ada keluhan.
Leher : Nyeri menelan, sakit tenggorokan disangkal.
Dada : Nyeri dada dan sesak setelah makan, batuk disangkal.
Abdomen : Bab hitam, nyeri ulu hati, perut kembung, muntah darah disangkal.
Saluran kemih : Bak lancar, jernih dan lancar.
Genital : Tidak ada keluhan.
Ekstremitas : Tidak ada keluhan.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Kesan sakit

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Somnolen

TTV : TD 130/80 mmHg N 86x/menit RR 20x/menit

S 36oC

BB : 50kg
TB : 165cm
BMI : 18,3
Kesan : Normal
Status Generalis
Kulit
Warna kulit sawo matang, pucat (-), sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit baik, efloresensi
bermakna (-).
Kepala
Normochepali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut, deformitas (-)
Mata : Ptosis (-), palpebra oedem (-), Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor, reflex cahaya langsung dan tidak langsung (+/+).
Telinga : Normotia, nyeri tarik atau nyeri lepas (-/-), liang telinga lapang (+/+), serumen
(-/-)
Hidung : Deformitas (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-), kavum nasal tampak lapang (+/+)
Mulut : sianosis (-),bibir tidak kering, mukosa mulut tidak kering, tidak ada efloresensi
yang bermakna, oral hygine baik, uvula letak di tengah, tidak hiperemis, arkus faring
tidak hiperemis dan tidak tampak detritus, tonsil T1/T1.
4

Leher
Inspeksi : Tak tampak benjolan KGB dan kelenjar tiroid
Palpasi : Kelenjar getah bening tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar.
JPV : 5+2 cmH2O
Toraks
Inspeksi :Tidak tampak efloresensi yang bermakna, gerak pernafasan simetris tidak
tampak pergerakan nafas yang tertinggal, tulang iga tidak terlalu vertikal maupun
horizontal, retraksi otot-otot pernapasana (-).
Palpasi : vocal fremitus simetris kiri dan kanan dada. Ictus cordis teraba setinggi ICS 5 1
cm dari garis midclavicula kiri.
Perkusi : Didapatkan perkusi sonor pada kedua lapang paru.
-

batas paru dengan hepar : setinggi ICS 5 linea midclavicula kanan dengan suara redup
batas paru dengan jantung kanan : setinggi ICS 3 hingga 5 linea sternalis kanan

dengan suara redup


batas paru dengan jantung kiri : setinggi ICS 5 1 cm linea midclavicula kiri dengan

suara redup
batas atas jantung : setinggi ICS 3 linea parasternal kiri dengan suara redup

Auskultasi :
-

Jantung : Bunyi jantung I & II regular murmur (-) gallop (-).


Paru : Suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronki (-/-).

Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak efloresensi yang bermakna, perut buncit, smiling umbilicus (-),
hernia umbilikalis (-), pulsasi abnormal (-), spider navy (-).
Auskultasi : BU (+) normal.
Perkusi : Didapatkan timpani pada seluruh lapang abdomen, shifting dullness (-).
5

Palpasi : datar, tidak teraba massa, defence muscular (-), nyeri tekan epigastrium (-).
Nyeri lepas (-).
Hepar, lien tidak teraba, ballotemen (-).
Ekstremitas
Inspeksi : Simetris, tidak tampak efloresensi yang bermakna, oedem ekstremias superior
(-/-), oedem ekstremitas inferior (-/-), palmar eritema (-/-).
Palpasi : Akral teraba hangat, CRT < 2 detik.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

JENIS
PEMERIKSAAN
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
GDS
Ureum
Kreatinin
Na
K
Cl

Hasil
21,4
3,5
9,5
29
288
82,0
27,1
32,8
13,9
50
41
2,10
141
3,6
108

Satuan
ribu/ul
juta/ul
g/dl
%
ribu/ul
fL
Pg
g/dl
%
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mmol/l
mmol/l
mmol/l

Nilai normal
3,6-11
3,8-5,2
11,7-15,5
35-47
150-440
80-100
26-34
32-36
<14
<110
13-43
<1,1
135-155
3,6-5,5
98-109

2. Foto Rontgen Thoraks


6

Foto thoraks AP :
Jantung tidak dapat dinilai, terlihat perselubungan homogen di bagian basal pulmo
sinistra.
Kesan : Bronchopneumonia pulmo sinistra
IV. RINGKASAN
Pasien seorang perempuan berusia 58 tahun datang ke IGD RSUD Budhi Asih dengan
keluhan tidak sadar sejak 9 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien sempat muntah
1x isi cairan. Selama 5 tahun ini pasien mengkonsumsi obat diabetik oral secara teratur hanya
saja pasien memiliki kebiasaan susah makan, lebih sering makan pepaya dicampur jeruk
nipis.
Pada pemeriksaan didapatkan kesadaran pasien somnolen, hipertensi, dan suhu 36 C/
Pada pemeriksaan lab didapatkan anemia, penurunan eritrosit dan hematokrit, leukositosis,
nilai kreatinin yang diambang batas atas, dan hipoglikemi.
7

Pada pemeriksaan foto rontgen thoraks didapatkan kesan Bronchopneumonia.


V. DAFTAR MASALAH
- Penurunan kesadaran ec hipoglikemik DM
- Anemia
- AKI dd/ CKD
- CAP
VI.

PENGKAJIAN MASALAH

1. Penurunan kesadaran ec hipoglikemik DM


a. Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah dibawah normal. kadar
glukosa darah < 70mg/dl dengan gejala klinis.
b. Rencana diagnosis untuk menentukan adanya hipoglikemia yaitu dengan pemeriksaan
GDS dan HbA1c. Pada pasien baru dilakukan pemeriksaan GDS dengan hasil 50mg/dl
c. Rencana terapi pada hipoglikemia yaitu IVFD Renxamin/12jam, IVFD D10%/12jam
Inj. Cefobactam 3x1 dan cek GDS/4jam. Non medikamentosa yaitu istirahat yang
cukup, makan teratur, minum obat sesuai dosis yang dianjurkan dan konsul rutin untuk
DMnya.
2. Anemia
a. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
b. Rencana diagnosis anemia dengan darah lengkap, SADT, benzidin test. pada pasien
darah lengkap sudah dilakukan dan didapatkan nilai Hb 9,5 g/dl.
c. Rencana terapi dengan pemberian Inj. Pumpitor 1x1, Ardium 3x1 dan B.comp 3x1.
non medikamentosa yaitu istirahat yang cukup, makan teratur, minum obat sesuai
dosis yang dianjurkan dan konsul rutin untuk DMnya.
3. AKI
a. AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus
(LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria
berikut terpenuhi :Serum kreatinin naik sebesar 26mol / L dalam waktu 48 jam atau
Serum kreatinin meningkat 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang diketahui atau
8

dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau Output urine <0.5ml/kg/hr
untuk> 6 jam berturut-turut.
b. Rencana diagnostik yaitu dengan pemeriksaan fungsi ginjal, BUN test, monitor urine
output dan USG abdomen. Pada pasien sudah dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan
didapatkan creatinin yang melebihi batas ambang yaitu 2,1mg/dl.
c. Rencana terapi yaitu IVFD RL/8jam dan terapi sesuai etiologi. non medikamentosa
yaitu istirahat yang cukup, makan teratur, minum obat sesuai dosis yang dianjurkan
dan konsul rutin untuk DMnya.
4. CAP
a. Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia
komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi
di dunia. Penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram positif dan
dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia
menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif.
b. Rencana diagnostik yaitu dengan pemeriksaan darah lengkap dan foto rontgen thoraks.
Pada pasien keduanya sudah dilakukan dan didapatkan hasilnya yaitu leukositosis
dengan nilai

21,4

ribu/ul dan dari foto rontgen thoraks

dengan kesan

bronchopneumonia.
c. Rencana terapi yaitu Inj. Cefobactam 3x1gr. non medikamentosa yaitu istirahat yang
cukup, makan teratur, minum obat sesuai dosis yang dianjurkan dan konsul rutin untuk
DMnya.
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
1. USG Abdomen
2. Feses lengkap (makroskopik, mikroskopik dan kimia yaitu benzidine test).
3. SADT
4. BUN Test
5. Monitor urine output
6. HbA1c
VIII. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
1. Renxamin/12jam,
2. IVFD D10%/12jam
3. Inj. Cefobactam 3x1
4. Inj. Pumpitor 1x1
5. Ardium 3x1
9

6. B.comp 3x1
b. Non medikamentosa
1. istirahat yang cukup
2. makan teratur
3. minum obat sesuai dosis yang dianjurkan
4. konsul rutin untuk DMnya

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Follow up harian
Tanggal
25/06/14

Subjektif
Muntah

Objektif
Kesadaran : CM

Assessment
Hipoglikemik

Penatalaksanaan
IVFD

cair+ampas

KU : tampak sakit DM

D10%/8jam

makanan 3x

ringan

DM tipe II

Inj.Cefobactam

kemarin

Suhu : 37,5C

AKI dd CKD

2x1gr

Nafsu

TD : 130/ 70

CAP

B.Comp 3x1

makanan

N : 86x/menit

menurun

RR:20x/menit

Cek GDS 3-4jam

Mata : CA -/-, SI -/-

IVFD RL/8jam

Thorax

Sleeding

Paru : Sn

scale/4jam

vesikuler +/+,
ronki -/-,
-

wheezing -/Jantung : S1
dan S2 reg, M
(-), G (-)
10

Abd : supel, NT (-),


NTE (-) BU (+)
timpani
Eks : akral hangat (+/
+)

26/06/14

Tidak
tidur

bisa Kesadaran : CM

Hipoglikemik

KU : tampak sakit DM teratasi

IVFD RL/8jam
Inj.Cefobactam

Gatal-gatal di ringan

DM tipe II

2x1gr

daerah bokong Suhu : 37C

AKI dd CKD

B.Comp 3x1

karena

CAP

Sleeding

TD : 120/60

pampers sering N : 80x/menit

scale/4jam

terlambat

RR : 20x/menit

Cek GDS/12jam

diganti

Thorax
-

Paru : Sn
vesikuler +/+,
ronki -/-,

wheezing -/Jantung : S1
dan S2 reg, M
(-), G (-)

Abd : supel, NT (-),


NTE (-) BU (+)
timpani
Eks : akral hangat (+/
27/06/14

Tidak
keluhan

+)
ada Kesadaran : CM

Hipoglikemik

Pasien

menolak

KU : tampak sakit DM teratasi

dipasang infus

ringan

DM tipe II

Venflon +

Suhu : 37C

AKI dd CKD

Inj.Cefobactam

TD : 130/70

CAP

2x1
11

N : 80x/menit

B.Comp 3x1

RR : 20x/menit

Sleeding

Thorax

scale/4jam

Paru : Sn

Cek GDS/12jam

vesikuler +/+,
ronki -/-,
-

wheezing -/Jantung : S1
dan S2 reg, M
(-), G (-)

Abd : supel, NT (-),


NTE (-) BU (+)
timpani
Eks : akral hangat (+/
28/06/14

Tidak
keluhan

+)
ada Kesadaran : CM

Hipoglikemik

Venflon +

KU : tampak sakit DM teratasi

Inj.Cefobactam

ringan

DM tipe II

2x1gr

Suhu : 36,8C

AKI dd CKD

Inj.Pumpitor 1x1

TD : 120/ 80

CAP

B.Comp 3x1

N : 88x/menit

Ardium 3x1

RR:20x/menit

Sleeding

Thorax

scale/6jam

Paru : Sn
vesikuler +/+,
ronki -/-,

wheezing -/Jantung : S1
dan S2 reg, M
(-), G (-)

Abd : supel, NT (-),


NTE (-) BU (+)
12

timpani
Eks : akral hangat (+/
29/06/14

Tidak
keluhan

+)
ada Kesadaran : CM

Hipoglikemik

KU : tampak sakit DM teratasi


ringan

DM tipe II

Suhu : 36,6C

AKI dd CKD

TD : 130/80

CAP

Venflon +
Inj.Cefobactam
2x1gr
Inj.Pumpitor 1x1
B.Comp 3x1
Ardium 3x1

N : 90x/menit

Sleeding
scale/6jam

RR : 17x/menit
Thorax
-

Paru : Sn
vesikuler +/+,
ronki -/-,

wheezing -/Jantung : S1
dan S2 reg, M
(-), G (-)

Abd : supel, NT (-),


NTE (-) BU (+)
timpani
Eks : akral hangat (+/
30/06/14

Tidak
keluhan

+)
ada Kesadaran : CM

Hipoglikemik

KU : tampak sakit DM teratasi


ringan

DM tipe II

Suhu : 36,8C

AKI dd CKD

TD : 130/70

CAP

BLPL
Gliquidone 1x1
Metformin 2x1

N : 80x/menit
RR : 18x/menit
Thorax
-

Paru : Sn
13

vesikuler +/+,
ronki -/-,
-

wheezing -/Jantung : S1
dan S2 reg, M
(-), G (-)

Abd : supel, NT (-),


NTE (-) BU (+)
timpani
Eks : akral hangat (+/
+)
Tanggal 24/06/14
GDS

Hasil

Nilai normal

10.00

50 mg/dl

>110 mg/dl

11.30

234 mg/dl

>110 mg/dl

12.00

194 mg/dl

>110 mg/dl

13.00

110 mg/dl

>110 mg/dl

15.00

58 mg/dl

>110 mg/dl

16.00

110 mg/dl

>110 mg/dl

17.00

72 mg/dl

>110 mg/dl

18.00

227 mg/dl

>110 mg/dl

19.00

103 mg/dl

>110 mg/dl

20.00

143 mg/dl

>110 mg/dl

21.00

93 mg/dl

>110 mg/dl

22.00

167 mg/dl

>110 mg/dl

23.00

147 mg/dl

>110 mg/dl

Tanggal 25/06/14
14

GDS

Hasil

Nilai normal

01.00

95 mg/dl

>110 mg/dl

02.00

140 mg/dl

>110 mg/dl

03.00

155 mg/dl

>110 mg/dl

04.00

132 mg/dl

>110 mg/dl

05.00

125 mg/dl

>110 mg/dl

06.00

143 mg/dl

>110 mg/dl

07.00

158 mg/dl

>110 mg/dl

08.00

198 mg/dl

>110 mg/dl

09.00

282 mg/dl

>110 mg/dl

10.00

364 mg/dl

>110 mg/dl

11.00

323 mg/dl

>110 mg/dl

12.00

288 mg/dl

>110 mg/dl

13.00

313 mg/dl

>110 mg/dl

14.00

354 mg/dl

>110 mg/dl

15.00

576 mg/dl

>110 mg/dl

16.00

511 mg/dl

>110 mg/dl

19.00

374 mg/dl

>110 mg/dl

23.00

162 mg/dl

>110 mg/dl

Tanggal 26/06/14
JENIS
GDSPEMERIKSAAN
03.00Leukosit
Eritrosit
07.00Hemoglobin
Hematokrit
11.00Trombosit
15.00MCV
MCH
MCHC
RDW

Hasil
Hasil
198 14,4
mg/dl
3,6
211 mg/dl
9,8
29
145 mg/dl
265
281 81,4
mg/dl
27,5
33,8
12,5

Satuan
ribu/ul
juta/ul
g/dl
%
ribu/ul
fL
Pg
g/dl
%

Nilai normal
Nilai normal
3,6-11
>110 mg/dl
3,8-5,2
>110 mg/dl
11,7-15,5
35-47
>110 mg/dl
150-440
80-100
>110 mg/dl
26-34
32-36
<14

15

Tanggal 27/06/14
JENIS
PEMERIKSAAN
Leukosit
Eritrosit
GDS
Hemoglobin
Hematokrit
16.00
Trombosit
MCV
06.00
MCH
MCHC
RDW

Hasil

Satuan

12,9
3,6
Hasil
9,7
29
232 mg/dl
284
81,5
243
mg/dl
27,3
33,6
12,3

ribu/ul
juta/ul
g/dl
%
ribu/ul
fL
Pg
g/dl
%

Nilai normal
3,6-11
3,8-5,2
Nilai normal
11,7-15,5
35-47
>110 mg/dl
150-440
80-100
>110 mg/dl
26-34
32-36
<14

Tanggal 28/06/14
JENIS

Hasil

Satuan

PEMERIKSAAN
Ureum
Kreatinin
GDS

61
2,68
Hasil

06.00

268 mg/dl

mg/dl
mg/dl

Nilai normal
13-43
<1,1
Nilai normal
>110 mg/dl

16

07.00

370 mg/dl

>110 mg/dl

00.00

387 mg/dl

>110 mg/dl

GDS

Hasil

Nilai normal

06.00

326 mg/dl

>110 mg/dl

Tanggal 29/06/14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HIPOGLIKEMIA

Definisi, Diagnosis dan Klasifikasi


Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah dibawah normal. kadar glukosa
darah < 70mg/dl dengan gejala klinis. Walaupun kadar glukosa plasma puasa pada orang normal
jarang melampaui 99 mg% (5,5 mmol/L), tetapi kadar < 108 mg% (6 mmol/L) masih dianggap
normal. Kadar glukosa plasma kira-kira 10% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa
17

darah keseluruhan karena eritrosit mengandung kadar glukosa yang relative lebih rendah. Kadar
glukosa arteri lebih tinggi dibandingkan dengan vena, sedangkan kadar glukosa darah kapiler
diantara kadar arteri dan vena.
Pada individu normal, sesudah puasa semalaman kadar glukosa darah jarang lebih rendah
dari 4 mmol/L, tetapi kadar kurang dari 50 mg% (2,8 mmol/L) pernah dilaporkan dijumpai
sesudah puasa yang berlangsung lebih lama.
Hipoglikemia spontan yang patologis mungkin terjadi pada tumor yang mensekresi insulin
atau insulin-like growth factor (IGF). Dalam hal ini diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar
glukosa < 50 mg% atau bahkan 40 mg%. Walaupun demikian berbagai studi fisiologis
menunjukkan bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat terjadi pada kadar glukosa darah 55 mg
% (3 mmol/L). lebih lanjut diketahui bahwa kadar glukosa darah 55 mg% yang terjadi berulang
kali merusak mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih berat. Gejala
hipoglikemi dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma disertai kejang.
Respon regulasi non pankreas terhadap hipoglikemia dimulai pada kadar glukosa darah 6365 mg% (3,5-3,6 mmol/L). oleh sebab itu, dalam konteks terapi diabetes, diagnosa hipoglikemia
ditegakkan bila kadar glukosa plasma 63 mg% (3,5 mmol/L).

Klasifikasi
Pada diabetes, hipoglikemia juga didefinisikan sesuai dengan gambaran klinisnya.
Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dari Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi klinis
hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi :
a. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah yang rendah.
b. Kadar glukosa darah yang rendah (< 3 mmol/L, hipoglikemia pada diabetes).
c. Hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi.
Akan tetapi pada pasien diabetes dan insulinoma dapat kehilangan kemampuannya untuk
menunjukkan atau mendeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada
pasien diabetes yang mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan,
sedang dan berat (tabel 1)
Tabel 1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut

18

Ringan

Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada


gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata.

Sedang

Simtomatik,

dapat

diatasi

sendiri,

menimbulkan gangguan aktivitas seharihari yang nyata.


Berat

Sering (tidak selalu) tidak simtomatik,


karena ganguan kognitif pasien tidak
mampu mengatasi sendiri.

Epidemiologi
Karena definisi yang digunakan berbeda perbandingan kekerapan kejadian hipoglikemia
dari berbagai studi harus dilakukan dengan hati-hati. Sangat bermanfaat untuk mencatat
kekerapan kejadian hipoglikemia agar pengaruh berbagai regimen terapi terhadap timbulnya
hipoglikemia dan ciri-ciri klinik yang menyebabkan pasien beresiko dapat dibandingkan. Dalam
The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang dilaksanakan pada pasien diabetes
tipe 1, kejadian hipoglikemia berat tercatat pada 60 pasien/tahun pada kelompok yang mendapat
terapi insulin intensif dibandingkan dengan 20 pasien/tahun pada pasien yang mendapat terapi
konvensional. Sebaliknya dengan kriteria yang berbeda kelompok the Dusseldorf mendapat
kejadian hipoglikemia yang berat didapatkan pada 28 dengan terapi insulin intensif dan 17
dengan terapi konvensional.
Walaupun tidak menyenangkan, hipoglikemia yang ringan seringkali hanya dianggap
sebagai konsekuensi terapi menurunkan glukosa yang tidak dapat dihindari. Walaupun demikian,
hipoglikemia ringan tidak boleh diabaikan karena potensial dapat diikuti kejadian hipoglikemia
yang lebih berat.
Etiologi
Pada pasien diabetes hipoglikemia timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang
tepat, naik sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang menyebabkan
meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonilurea. Oleh sebab itu dijumpai saat-saat dan keadaan
tertentu dimana pasien diabetes mungkin mengalami kejadian hipoglikemia. Sampai saat ini
pemberian insulin masih belum sepenuhnya dapat menirukan pola sekresi insulin yang fisiologis.
Makan akan meningkatkan glukosa darah dalam beberapa menit dan mencapai puncak sesudah 1
19

jam. Bahkan insulin yang bekerjanya paling cepat, bila diberikan subkutan belum mampu
menirukan kecepatan peningkatan kadar puncak tersebut dan berakibat menghasilkan puncak
konsentrasi insulin 1-2 jam sesudah disuntikan. Oleh sebab itu pasien rentan terhadap
hipoglikemia sekitar 2 jam sesudah makan sampai waktu makan yang berikutnya. Oleh sebab itu
waktu dimana resiko hipoglikemia paling tinggi adalah saat menjelang makan berikutnya dan
malam hari.
Hampir setiap pasien yang mendapat terapi insulin dan sebagian besar pasien yang
mendapat sulfonilurea, pernah mengalami keadaan dimana kadar insulin di sirkulasi tetap tinggi
sementara kadar glukosa darah sudah dibawah normal. Untuk menghindari timbulnya
hipoglikemia pada pasien perlu diajarkan bagaimana menyesuaikan penyuntikan insulin dengan
waktu dan jumlah makanan (karbohidrat), pengaruh aktivitas jasmani terhadap kadar glukosa
darah, tanda-tanda dini hipoglikemia dan cara penanggulangannya. Resiko hipoglikemia terkait
dengan penggunaan sulfonilurea dan insulin.
Pada pasien diabetes tipe 2 kejadian hipoglikemia berat jauh lebih sedikit. Dari the United
Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), pada kadar HbA1c yang setara dengan DCCT
dalam 10 tahun pertama kejadian hipoglikemia berat dengan terapi klorpropamid timbul pada
0,4%, glibenklamid 0,6% dan insulin 2,3%. Kejadian hipoglikemia berat juga meningkat dengan
penggunaan insulin yang makin lama.
Tabel 2. Faktor Yang Merupakan Predisposisi atau Mempresipitasi Hipoglikemia
Berbagai faktor yang merupakan predisposisi atau presipitasi hipoglikemia adalah :
1. Kadar insulin yang berlebihan
Dosis berlebihan : kesalahan dokter, farmasi, pasien ; ketidaksesuaian dengan kebutuhan
pasien atau gaya hidup.
Peningkatan bioavabilitas insulin : absorbs yang lebih cepat (aktivitas jasmani), suntik
diperut, perubahan ke human insulin ; antibody insulin ; gagal ginjal..
2. Peningkatan sensitivitas insulin
Defisiensi hormone counter-regulatory : penyakit Addison ; hipopituitarisme
Penurunan berat badan
Latihan jasmani, postpartum ; variasi siklus menstruasi.
3. Asupan karbohidrat kurang
Makan tertunda atau lupa, porsi makan kurang
Diet slimming, anoreksia nervosa
Muntah, gastroparesis
20

Menyusui
4. Lain-lain
Absorpsi yang cepat, pemulihan glikogen otot
Alkohol, obat (salisilat, sulfonamide meningkatkan kerja sulfonilurea ; penyekat non
selektif, pentamidin)
Proteksi Fisiologi Melawan Hipoglikemia
Mekanisme kontra regulator. Glukagon dan epinefrin merupakan 2 hormon yang disekresi
pada kejadian hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja dihati. Glukagon mula-mula
meningkatkan glikogenolisis dan kemudian glukoneogenesis. Epineferin selain meningkatkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis dihati juga menyebabkan lipolisis dijaringan lemak serta
glikogenolisis dan proteolisis diotot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino merupakan bahan
baku glukogenesis.
Epinefrin juga meningkatkan glukoneogenesis di ginjal yang pada keadaan tertentu
merupakan 25% produksi glukosa tubuh. Pada keadaan hipoglikemia yang berat, walaupun kecil
hati juga menunjukkan kemampuan otoregulasi.
Kortisol dan growth hormone berperan pada keadaan hipoglikemia yang berlangsung lama,
dengan cara melawan kerja insulin dijaringan perifer serta meningkatkan glukoneogenesis.
Defisiensi growth hormone dan kortisol pada individu menimbulkan hipoglikemia yang
umumnya ringan.
Bila sekresi glukagon dihambat secara farmakologis, pemulihan kadar glukosa setelah
hipoglikemia yang diinduksi insulin berkurang sekitar 40%. Bila sekresi glukagon dan epinefrin
dihambat sekaligus pemulihan glukosa tidak terjadi.
Sel pankreas terhadap hipoglikemia adalah dengan menghambat sekresi insulin dan
turunnya kadar insulin didalam sel berperan dalam sekresi glikagon oleh sel . Studi
eksperimental pada hewan menunjukkan bahwa respon fisiologi utama terhadap hipoglikemia
terletak dineuron hipotalamus ventromedial (VMH). Neuron-neuron di VMH responsive
terhadap glukosa, sebagian responsive terhadap hipoglikemia.
Neuron-neuron tersebut diproyeksi kearea yang berkaitan dengan aktivitas pituitary adrenal
dan system simpatis. Tampaknya respon fisiologiutama terhadap hipoglikemia terjadi sesudah
neuron-neuron di VMH yang sensitive terhadapglukosa teraktivasi dan kemudian mengaktifkan
system saraf otonomik dan melepaskan hormone-hormon kontra regulator.
21

Keluhan dan Gejala Hipoglikemi


Faktor utama mengapa hipoglikemia menjadi penting dalam pengelolaan diabetes adalah
ketergantungan jaringan saraf terhadap asupan glukosa yang terus menerus. Gangguan asupan
glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan system saraf pusat, dengan
gejala gangguan kognisi, bingung, dan koma. Seperti jaringan yang lain, jaringan saraf dapat
memanfaatkan sumber energy alternative,

yaitu keton dan laktat. Pada hipoglikemia yang

disebabkan oleh insulin, konsentrasi keton di plasma tertekan dan mungkin tidak mencapai kadar
yang cukup di SSP, sehingga tidak dapat dipakai sebagai sumber energy alternative.
Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon fisiologi terhadap glukosa darah tidak
hanya membatasi makin parahnya metabolisme glukosa, tetapi juga menghasilkan berbagai
keluhan dan gejala yang khas. Petugas kesehatan, pasien dan keluarganya belajar mengenai
keluhan dan gejala tersebut sebagai episode hipoglikemia dan dapat segera melakukan tindakantindakan koreksi dengan memberikan glukosa oral atau bentuk karbohidrat refined yang lain.
Kemampuan mengenali gejala awal sangat penting bagi pasien diabetes yang mendapat terapi
insulin yang ingin mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah normal atau mendekati
normal. Terdapat keluhan yang menonjol diantara pasien maupun pada pasien itu sendiri pada
waktu yang berbeda. Walaupun demikian pada umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola
tertentu, sesuai komponen fisiologis dan respon fisiologis yang berbeda.
Tabel 3. Keluhan dan gejala hipoglikemia akutyang sering dijumpai pada pasien diabetes.
Otonomik
Berkeringat

Neuroglikopenik
Bingung

Malaise
Mual

Jantung berdebar

Mengantuk

Sakit kepala

Tremor

Sulit berbicara

Lapar

Inkoordinasi
Perilaku yang berbeda
Gangguan visual
Parestesi
Pada pasien diabetes yang masih relative baru, keluhan dan gejala yang terkait dengan

system saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau berkeringat yang lebih menonjol dan
22

biasanya mendahului keluhan dan gejala disfungsi serebral yang disebabkan oleh
neuroglikopeni, seperti gangguan konsentrasi atau koma. Sakit kepala dan mual mungkin bukan
merupakan keluhan malaise yang khas. Pada pasien diabetes yang lama intensitas keluhan
otonomik cenderung berkurang atau menghilang. Hal tersebut menunjukkan kegagalan yang
progresif aktivasi system saraf otonomik.

Gambar 1. Patofisiologi hipoglikemia.


Pengenalan hipoglikemia
Respon pertama pada saat kadar glukosa turun di bawah normal adalah peningkatan akut
sekresi hormone caunter-regulatory (glukosa dan epinefrin): batas glukosa tersebut adalah 65-68
mg% (3,6-3,8 mmol/L). Lepasnya epinefrin menunjukkan aktivasi system simpatoadrenal. Bila
kadar glukosa tetap turun sampai 3,2 mmol/L, gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi
kognisi, yang diukur dengan kecepatan reaksi dan berbagai fungsi psikomotor yang lain, mulai
terganggu pada kadar glukosa 3 mmol/L, pada individu yang masih mempunyai kesiagaan
(awareness) hipoglikemia, aktivasi system simpatoadrenal terjadi sebelum disfungsi serebral
yang bermakna timbul pasien-pasien tersebut tetap sadar yang mempunyai kemampuan kognitif
yang cukup untuk melakukan tindakan koreksi yang diperlukan.

23

Gambar 2. Koma hipoglikemia.


Hipoglikemi Yang Tidak Disadari (UNAWARENESS)
1. Kegagalan respon proteksi fisiologis dan timbulnya hipoglikemia yang tidak disadari.
Walaupun dengan derajat yang berbeda-beda, hampir semua pasien diabetes yang
mendapat terapi insulin mengalami gangguan pada mekanisme proteksi terhadap hipoglikemia
yang berat. Pada pasien DMT 2 gangguan tersebut umumnya ringan.
Pada diagnose DM dibuat, respon glukosa terhadap hipoglikemia umumnya normal. Pada
pasien DMT 1 mulai turun sesudah menderita diabetes 1-2 tahun dan sesudah 5 tahun hampir
semua pasien mengalami gangguan atau kehilangan respon. Penyebabnya sampai saat ini belum
diketahui pasti tetapi tampaknya tidak berkaitan dengan neuropati otonomik atau kendali glukosa
darah yang ketat. Sel alfa secara selektif gagal mendeteksi adanya hipoglikemia dan tidak dapat
menggunakan hipoglikemia sebagai rangsangan untuk mensekresi glukagon, walaupun sekresi
yang glukagon masih dapat dirangsang oleh perangsang lain seperti alanin. Hipotesis yang paling
24

meyakinkan adalah gangguan tersebut timbul akibat terputusnya paracrine-insulin cross-talk


didalam islet cell, akibat produksi insulin endogen yang turun.
Pada diabetes yang sudah lama sering dijumpai respon simpatoadrenal yang berkurang
walaupun dengan tingkat gangguan yang bervariasi. Respon epinefrin terhadap rangsangan yang
lain, seperti latihan jasmani tampaknya normal. Seperti pada gangguan respon glukagon,
kelainan tersebut merupakan kegagalan mengenal hipoglikemia yang selektif.
Pasien diabetes dengan respon glukagon dan epinefrin yang berkurang paling rentan
terhadap hipoglikemia. Hal tersebut terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari karena
hilangnya glucose counter regulation dan gangguan respon simpatoadrenal.
2. Hipoglikemia yang tidak disadari
Merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien diabetes yang mendapat terapi insulin.
Segi epidemiologis melaporkan sekitar 25% pasien DMT 1 mengalami kesulitan mengenal
hipoglikemia yang menetap atau berselang seling. Kemampuan mengenal hipoglikemia mungkin
tidak absolute dan keadaan hipoglikemia unawareness yang parsial juga dijumpai. Dari sekitar
25% pasien yang sebelumnya menyatakan dirinya tidak mengalami hipoglikemia unawareness
ternyata waktu menjalani tes gagal mengenal hipoglikemia. Bila didapatkan hipoglikemia yang
tidak didasari kemungkinan pasien mengalami episode hipoglikemia yang berat 6-7 kali lipat,
peningkatan tersebut juga terjadi pada terapi standar. Pada pasien-pasien tersebut selayaknya
tidak diberikan terapi yang intensif, tidak diizinkan untuk memiliki izin mengemudi dan juga
tidak diperkenankan untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Keluarga pasien
selayaknya juga diberikan tentang kemungkinan terjadinya hipoglikemia yang berat dan cara
penanggulangannya. Berbagai keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemia yang tidak
disadari dapat dilihat dalam tabel 4.
Tabel 4. Keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari (Heller,
2003)
Keadaan klinis
Diabetes yang lama

Kemungkinan mekanisme
Tidak diketahui
Hipoglikemia
yang
berulang

Kendali metabolic yang ketat

merusak neuron glukosensitif


Regurgitasi
transport
glukosa
neuronal yang meningkat
Peningkatan kortisol dengan akibat

Alcohol

gangguan

jalur

utama

transmisi
25

Episode nocturnal

Usia muda (anak)


Usia lanjut

neuron
Penekanan respon otonomi respon
Gangguan kognisi
Tidur menyebabkan gejala awal
hipoglikemia tidak diketahui
Posisi berbaring mengurangi respon

simpatoadrenal
Kemampuan abstrak belum cukup
Perubahan perilaku
Gangguan kognisi
Respon otonomik berkurang
Sensitivitas adrenergic berkurang

3. Alkohol
Pasien dan kerabatnya harus diberi informasi tentang potensi bahayanya alkohol. Alkohol
meningkatkan kerentanan tehadap hipoglikemia awareness. Episode hipoglikemia sesudah
meminum alkohol mungkin lebih lama dan berat dan mungkin karena dianggap mabuk
hipoglikemia tidak dikenali oleh pasien atau kerabatnya.
4. Usia muda dan usia lanjut
Pasien diabetes anak, remaja dan usia lanjut rentan terhadap hipoglikemia. Anak umumnya
tidak mengenal atau melaporkan keluhan hipoglikemia dan kebiasaan yang kurang teratur serta
aktivitas jasmani yang sulit diramalkan menyebabkan hipoglikemia menjadi masalah yang besar
bagi anak. Otak yang sedang tumbuh sangat rentan terhadap hipoglikemia. Episode hipoglikemia
yang berulang terutama yang disertai kejang dapat mengganggu kemampuan intelektual anak di
kemudian hari.
Keluhan hipoglikemia pada usia lanjut sering tidak diketahui, dan mungkin dianggap
sebagai keluhan-keluhan pusing atau serangan iskemia yang sementara. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea tidak jarang, terutama sulfonilurea yang bekerja lama seperti glibenklamide. Pada
usia lanjut respon otonomik cenderung turun dan sensitifitas perifer epinefrin juga berkurang.
Pada otak yang menua gangguan kognitif mungkin terjadi pada hipoglikemia yang ringan.1
Pada anak dan usia lanjut sasaran kendali glikemia sebaiknya tidak terlalu ketat dan oleh
sebab itu dosis insulin perlu disesuaikan. Lebih lanjut disarankan agar sulfonilurea yang bekerja
lama tidak digunakan pada pasien DMT 2yang berusia lanjut.

26

Obat penghambat (-blocking agent) yang tidak selektif sebaiknya tidak digunakan
karena menghambat lepasnya glukosa hati yang dimediasi oleh reseptor 2, penghambat yang
selektif dapat digunakan dengan aman.
Terapi Hipoglikemia
Bila hipoglikemia telah terjadi maka pengobatan harus segera dilaksanakan terutama
gangguan terhadap otak yang paling sensitive terhadap penurunan glukosa darah. Berdasarkan
stadium terapi hipoglikemi:
1. Stadium permulaan (sadar)
Berikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan

pemanis pengganti gula dan makanan yang mengandung karbohidrat.


Stop obat anti diabetik
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab

2. Stadium lanjut (koma hipoglikemi atau tidak sadar + curiga hipoglikemi)


a. Berikan larutan dextrose 40% sebanyak 2 flakon (= 50 ml) bolus intravena
b. Diberikan cairan dextrose 10% per infuse. 6 jam per kolf
c. Periksa GD sewaktu, kalau memungkinkan dengan glukometer.
Bila GDs < 50 mg/dl, bolus dextrose 40% 50 ml IV
Bila GDs < 100 mg/dl, tambah bolus dextrose 40% 25ml IV
d. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian dextrose 40% :
Bila GDs < 50 mg/dl , tambah bolus dextrose 40% 50 ml IV
Bila GDs < 100 mg/dl, bolus dextrose 40% 25 ml IV
Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus dextrose 40%
Bila GDs >200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip dextrose 10%.
e. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam,
dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200mg/dl, pertimbangkan mengganti
infuse dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
Glukosa oral
Sesudah diagnosa hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler, 1020 g glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam bentuk tablet, jelly atau 150-200 ml
minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar dan non diet cola. Sebaiknya coklat
manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat menghambat absorpsi glukosa. Bila
belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20 g karbohidrat
kompleks.
27

Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan terlalu gawat, pemberian madu atau
gel glukosa lewat mukosa rongga mulut mungkin dapat dicoba.
Glukagon intramuscular
Glukagon 1 mg intramuscular dapat diberikan oleh tenaga professional yang terlatih dan
hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Kecepatan kerja glukagon tersebut sama dengan
pemberian glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar pemberian glukagon harus diikuti dengan
pemberian glukosa oral 20 g dan dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam bentuk
tepung untuk mempertahankan pemulihan. Pada keadaan puasa yang panjang atau hipoglikemia
yang diinduksi alkohol, pemberian glukagon mungkin tidak efektif. Efektivitas glukagon
tergantung dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi.
Glukosa intravena
Glukosa intravena harus diberikan dengan hati-hati. Pemberian glukosa dengan konsentrasi
50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100 ml glukosa 20% atau 150-200 ml glukosa 10%
dianggap lebih aman. Ekstravasi glukosa 50% dapat menimbulkan nekrosis yang memerlukan
amputasi.

Gambar 3. Algoritma tatalaksana hipoglikemi.

28

ANEMIA
Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer.
Kriteria
Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar
hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal hemoglobin sangat
bervariasi secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia, kehamilan dan ketinggian tempat
tinggal.
Kriteria anemia menurut WHO adalah:
NO

KELOMPOK

KRITERIA ANEMIA

1.

Laki-laki dewasa

< 13 g/dl

2.

Wanita dewasa tidak hamil

< 12 g/dl

3.

Wanita hamil

< 11 g/dl

29

Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi
didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin
No Morfologi Sel
1.

Keterangan

Anemia makrositik Bentuk


- normokromik

Jenis Anemia

eritrosit

yang - Anemia Pernisiosa

besar dengan konsentrasi - Anemia defisiensi folat


hemoglobin yang normal

2.

Anemia mikrositik Bentuk


- hipokromik

eritrosit

yang - Anemia defisiensi besi

kecil dengan konsentrasi - Anemia sideroblastik


hemoglobin

yang - Thalasemia

menurun
3.

Anemia normositik Penghancuran


- normokromik

atau - Anemia aplastik

penurunan

jumlah - Anemia posthemoragik

eritrosit

disertai - Anemia hemolitik

kelainan

tanpa

bentuk

dan - Anemia Sickle Cell

konsentrasi hemoglobin

- Anemia

pada

penyakit

kronis

30

AKI

Definisi dan Kriteria Diagnosis


Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia- tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan
intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian
istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam,
sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan
patologi gangguan ginjal(Sinto R, 2010).
Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI) harus mencakup:
1) sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera ginjal, 2) penilaian terhadap
perjalanan klinis termasuk komorbiditas, 3) penilaian yang cermat pada status volume, dan 4)
langkah-langkah terapi yang tepat yang dirancang untuk mengatasi atau mencegah
memburuknya fungsional atau struktural abnormali ginjal. Penilaian awal pasien dengan AKI
klasik termasuk perbedaan antara prerenal, renal, dan penyebab pasca-renal (Himellfarb J, 2008).
Akut kidney injury(AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi ginjalyang terjadi
dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat atas dasar adanya kreatinin
serum yang meningkat dan blood urea nitrogen(BUN) dan urine output yang menurun,
meskipun terdapat keterbatasan. Perlu dicatat bahwa perubahan BUN dan serum kreatinin dapat
mewakili tidak hanya cedera ginjal, tetapi juga respon normal dari ginjal ke deplesi volume
ekstraseluler atau penurunan aliran darah ginjal (Akcay A, 2010).
Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut terpenuhi : (Lewington A,
2011)

Serum kreatinin naik sebesar 26mol / L dalam waktu 48 jam atau


31

Serum kreatinin meningkat 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang diketahui atau
dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau

Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut

ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3
kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang
menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggam- barkan
prognosis gangguan ginjal (Sinto R, 2010).
Tabel 1. Perbandingan antara kriteria diagnosis RIFLE dan AKIN (Ackay R, 2010).
RIFLE
GFR Criteria
CriteriaClass

Urine output criteria

R-Risk

Creatinin increa x 1,5 or GFR loss > 25%

0,5 < ml/kg/hour > 6


hours

I-Injury

Creatinin increa x 2 or GFR loss > 50%

0,5 < ml/kg/hour > 12


hours

F-Failure

Creatinin increase x 3 or GFR loss > 75% 0,5 < ml/kg/hour > 12
Creatinin increase x 4 mg/dl (acute increase >0,5 hours
mg/dl)

L-Loss

Persistent loss of kidney function >4weeks

E-ESKD

ESKD > 3 months

AKIN
Ceriteria
Stage

Serum Creatinin Criteria

Urine Output criteria

Creatinin increase x 1,5 or creatinine 0,5 < mg/kg/hour x >6 hours


increase > 0,3 mg/dl

Creatinine increase x 2

Creatinin increase x 3 or creatinine 0,5 < mg/kg/hour x >24


increase > 4 mg/dl (acute increase > 0,5 hoursor Anuria > 12 hours
32
mg/dl

0,5 < mg/kg/hour x >12 hours

Klasifikasi Etiologi dan pathogenesis


Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1)
penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran
kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat
terjadinya AKI.4,9 Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada tabel (Sinto R,
2010).

Gambar 1: Kriteria RIFLE yang dimodifikasi (Markum, 2009)

Patogenesis AKI adalah kompleks. Iskemia dan toxin merupakan faktor utama yang
memicu cedera, dan meskipun kejadian awal mungkin berbeda, respon cedera berikutnya
kemungkinan melibatkan jalur yang sama. Sebagai contoh, AKI oleh karena iskemia disebabkan
oleh penurunan aliran darah ginjal dibawah batas autoregulasi aliran darah. Berbagai tanggapan
molekul yang "maladaptif" dan stereotip kemudian terjadi. Respon ini menyebabkan cedera sel
endotel dan epitel setelah timbulnya reperfusi. Faktor-faktor patogen seperti vasokonstriksi,
leukostasis, vascular congestion , apoptosis, dan kelainan pada modulator kekebalan tubuh dan
faktor pertumbuhan telah membentuk dasar rasional terapi intervensi (Jo S.K, 2007).
33

Tabel 2 . Beberapa penyebab AKI yang dikelompokkan dalam AKI prarenal, AKI Renal, dan
AKI pascarenal (Sinto R, 2010)

34

Diperlukan pendekatan klinis untuk menentukan etiologi dari AKI. Dapat berupa anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Akcay A, 2010).
1. Prerenal Azotemia
Ada empat kriteria yang diperlukan untuk diagnosis azotemia prerenal: 1) peningkatan akut BUN
dan / atau serum kreatinin, 2) penyebab hipoperfusiginjal, 3) sedimen urin hambar (tidak adanya
sel dan gips selular) atau eksresi natrium (FE) kurang dari 1%, dan 4) Kembalinya keadaaan
fungsi ginjal yang normal dalam 24-48 jam setelah keadaan hipoperfusi diatasi.
2. Postrenal Azotemia
Obstruksi aliran urin di kedua ureter, kandung kemih, atau uretra atau obstruksi dari ginjal soliter
dapat menyebabkan AKI pasca-renal. Penyebab dari azotemia akut dalam keadaan ini adalah
obstruksi aliran urin. Pasien yang paling berisiko untuk azotemia akut postrenal adalah pria tua
dengan hipertrofi prostat atau kanker prostat. Pemeriksaan pelvis wajib dalam evaluasi azotemia
postrenal, karena pasien dengan karsinoma serviks atau endometrium atau endometriosis dapat
hadir dengan azotemia sekunder karena obstruksi saluran kemih bilateral. Ultra-sonografi ginjal
akan mendeteksi dilatasi pelvicalyceal sekunder untuk obstruksi pada lebih dari 90% pasien.

35

3. Setelah azotemias prerenal dan postrenal telah disingkirkan, diagnosis AKI


intrarenal dapat dipertimbangkan.

Diagnosis
1) Pendekatan Diagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah dipaparkan di atas,
pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau
merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan
kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan
klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran
ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran
kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati
diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada
penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi (Sinto R, 2010).
2) Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat badan dan
perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan
jugular venouspressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stig- mata penyakit hati
kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia
menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI.
Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun
toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu
dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis,
glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna.4,9,12 AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat
nyeri sudut kostover- tebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal,
atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan
obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan
pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat
pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan
antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom (Sinto R, 2010).
3) Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus, tubulus,
infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular
dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran
36

sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau
penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada
penyebab AKI, antara lain pigmented muddy brown granular cast, cast yang
mengandungepitel tubulus yangdapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan
glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented muddybrown granular
cast pada nefritis interstitial (Schrier R.W, 2004).
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin,
kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI (Brady H.R,
2005).
Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah ginjal akan
menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga mencapai 99%. Akibatnya,
ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin) terakumulasi di dalam darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dengan fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi
natrium (FENa = [(Na urin x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%,
FEUrea kurang dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada
seseorang yang menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na
oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama juga berlaku untuk pasien
dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik dengan pengurangan LFG.
Meskipun demikian, pada beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan
mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi
tubulus ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1%.
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan urin
residu pasca- berkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan
pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil
kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos
abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan
biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum jelas, namun
penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama
dianjurkan pada dugaan AKI renal non- ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Schrier R.W, 2004).

Penatalaksanaan
Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan utama
hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat ini, tidak ada
terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal karena iskemia atau nefrotoksisitas.
Manajemen gangguan ini harus fokus pada penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau
toksin, menghindari penghinaan tambahan, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi.
37

Pengobatan khusus dari penyebab lain dari AKI renal tergantung pada patologi yang mendasari
(Brady H.R, 2005).
1) AKI Prarenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat hipovolemia harus
disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemia berat akibat perdarahan
harus dikoreksi dengan packed red cells, sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang
sesuai untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar,
pankreatitis). Cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun
biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya direkomendasikan
sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat meningkatnya kehilangan
cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus
yang parah. Terapi berikutnya harus didasarkan pada pengukuran volume dan isi ionik cairan
yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus dimonitor dengan hati-hati. Gagal
jantung mungkin memerlukan manajemen yang agresif dengan inotropik positif, preload dan
afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanis seperti pompa balon
intraaortic. Pemantauan hemodinamik invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk
komplikasi pada pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit.
2) AKI intrinsic renal
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau vaskulitis dapat
merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan / atau plasmapheresis, tergantung pada patologi
primer. Glukokortikoid juga mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial nefritis alergi.
Kontrol agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam membatasi cedera ginjal
pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit pembuluh darah
lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif terhadap pengobatan dengan
inhibitor ACE
3) AKI postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara nephrologist, urologi, dan
radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandung kemih biasanya dikelola awalnya oleh
penempatan transurethral atau suprapubik dari kateter kandung kemih, yang memberikan
bantuan sementara sedangkan lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati secara definitif.
Demikian pula, obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis
ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat diterapi perkutan (misalnya, kalkulus,
sloughed papilla) atau dilewati oleh penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma). Kebanyakan
pasien mengalami diuresis yang tepat selama beberapa hari setelah relief obstruksi. Sekitar 5%
dari pasien mengembangkan sindrom garam-wasting sementara yang mungkin memerlukan
pemberian natrium intravena untuk menjaga tekanan darah.
38

Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa AKI
ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang
dapat dilakukan adalah tata laksana opti- mal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada
tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah
prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal,
dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus
dilakukan secara rutin.4,17 Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan),
beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat
serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi
cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta
elektrolit urin dan serum (Sinto R, 2010).
1. Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan kondisi komorbid
yang dijumpai. Se- buah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme
diajukan oleh Druml pada tahun 2005(Sinto R, 2010).
Tabel 3. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi pada pasien AKI (Sinto R, 2010)

Manajemen nutrisi untuk AKI tidak jauh berbeda untuk pasien sakit kritis, tetapi lebih rumit
karena rejimen tersebut harus dirancang dengan tetap melihat perubahan kompleks dalam sisa
metabolisme dan nutrisi yang terjadi dengan hilangnya fungsi ginjal akut. Selain dukungan
nutrisi harus dikoordinasikan dengan terapi pengganti ginjal (RRT). Masalah utama dalam
pengelolaan AKI adalah retensi air dan produk dari Asam Amino karena gangguan fungsi
ekskresi yang membatasi pemberian cairan dan elektrolit (Saxena A, 2012).
39

Tujuan utama terapi nutrisi tidak semata-mata untuk menggantikan kebutuhan gizi makro dan
mikro, tetapi dukungan nutrisi adalah dukungan kualitatif dari intervensi metabolik yang
bertujuan untuk memodulasi keadaan inflamasi, memperbaiki kebutuhan oksigen sistem radikal,
dan memperbaiki Imunokompetensi. Tergantung pada tingkat keparahan penyakit, kebutuhan
nutrisi dapat bervariasi antara pasien dan fase penyakit kritis (Saxena A, 2012).
Tabel 4. Kebutuhan nutrisi pada pasien AKI (Saxena A, 2012)

2. Terapi Farmakologis
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama berpuluhpuluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obat- obatan tersebut antara
lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada
sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai
penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan
pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan
AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan
ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Namun, penelitian dan metaanalisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI (menurunkan
mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan
peng- gunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,0040

15,78). Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan
pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh (Sinto R, 2010).
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada peng- gunaan diuretik sebagai bagian dari tata
laksana AKI adalah:

Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan
tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit.
Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.

Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal
(keadaan oligouria kurang dari 12 jam).

Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak terlihat,
dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan
lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke
intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus
dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat
menyebabkan toksisitas (Ho K.M, 2009)
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga
dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegu- naan
manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat
nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek
negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain
menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak
memperbaiki prognosis pasien (Sinto R, 2010).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata
laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis
rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase
dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis
tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap
pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan
kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara
umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi,
diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia
nyata tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan
41

meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait
dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna,
gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba
dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar
menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan
untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki
hemodinamik dan fungsi ginjal.17,24,25 Obat-obatan lain seperti agonis selektif DA1
(fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter untuk
penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti efektif pada tata
laksana AKI (Kumar V.S, 2000).

Terapi Pengganti Ginjal ( RRT )


Dengan adanya komplikasi AKI seperti misalnya hipervolemia, edema paru akut atau
keseimbangan cairan besar kumulatif positif, hiperkalemia, asidosis metabolik (pH kurang dari
7,1) dan gejala uremik (mual dan muntah persisten, peri-karditis, neuropati, atau tidak jelas
penyebabnya penurunan status mental) dialisis harus dipertimbangkan sebagai terapi andalan.
Modalitas RRT termasuk hemodialisis intermiten (IHD), terapi pengganti ginjal berkelanjutan
(CRRTs), dan terapi hybrid, seperti berkelanjutan rendah efisiensi dialisis (SLED). Meskipun
teknik ini bervariasi, angka kematian pada pasien dengan AKI tetap lebih besar dari 50% pada
pasien sakit berat. Ada kemungkinan bahwa variasi dalam waktu inisiasi, modalitas, dan / atau
dosis dari RRT dapat mempengaruhi hasil klinis, khususnya kelangsungan hidup (Akcay A,
2010).
Beberapa indikasi utama untuk melakukan terapi pengganti Ginjal adalah sebagai
berikut : (Dube S et al, 2007)

Fluid overload

Metabolic acidosis

Oliguria (urine output <200 mL/12 h)

Anuria /extreme oliguria (urine output <50 mL/12 h)

Hyperkalemia ([K] >6.5 mEq/L)

Clinically significant organ (especially pulmonary) edema

Uremic encephalopathy

Uremic pericarditis
42

Uremic neuropathy/myopathy

Severe dysnatremia ([Na] <115 or >160 mEq/L)

Hyperthermia

Drug overdose with filterable toxin (lithium, vancomycin, procainamide, etc)

Imminent or ongoing massive blood product administration

Pertimbangan utama ketika memulai pasien dengan AKI pada dialisis adalah sebagai berikut: 1)
waktu inisiasi dialisis, 2) modalitas dialisis, dan 3) dosis dialisis.
1) Waktu Inisiasi Dialisi
Baru-baru ini, penelitian telah mengevaluasi hubungan antara waktu inisiasi CRRT dan hasil
klinis. Dalam sebuah penelitian retrospektif dari unit trauma tunggal, pasien dicirikan sebagai
"awal" atau "akhir" permulaan, berdasarkan BUN kurang dari atau lebih besar dari 60 mg / dL,
sebelum memulai CRRT. Kelangsungan hidup adalah 39% pada permulaan awal dibandingkan
dengan 20% pada permulaan akhir (P = 0,041) . Dua analisis pasien AKI setelah operasi jantung
menunjukkan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi pada pasien yang terus menerus
menggunakan hemofiltration venous - vena (CVVH) dimulai sebagai respon terhadap urin output
kurang dari 100 mL dalam waktu delapan jam berturut-turut setelah operasi meskipun tanpa
pemberian diuretik, dibandingkan dengan pasien dengan terapi ditahan dengan kriteria
laboratorium yang menggunakan serum kreatinin, BUN, dan kalium. 243 pasien dari Program to
Improve Care in Acute Renal Disease (Picard) studi, risiko kematian ditentukan pada pasien
dengan BUN lebih besar dari atau kurang dari 76 mg / dL pada inisiasi dialisis. Setelah
penyesuaian untuk usia, kegagalan hati, sepsis, trombositopenia, dan serum kreatinin.
2) Modalitas dialisis
Beberapa Penelitian retrospektif dan prospektif membandingkan hasil untuk modalitas
dariContinous dan Intermitent dialisis. Secara umum, penelitian sulit untuk melakukan seperti
saat sakit (misalnya, saat pasien hipotensi umumnya dimulai pada CVVH) dan kurang sakit
(misalnya, mobile, pasien non hipotensi umumnya dimulai pada IHD). Dalam sebuah penelitian
retrospektif terhadap 349 pasien, tingkat kematian lebih tinggi untuk cuci darah terus menerus
(continuous) dibandingkan intermiten (68% versus 41%, P, 0,001) .90 Namun, ketika multivariat
cox analisis digunakan untuk menyesuaikan alasan untuk penugasan pasien dalam pengobatan
terus menerus (continuous) (misalnya, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg, kegagalan
hati dll) tidak ada peningkatan risiko kematian dengan pengobatan terus menerus (continuous).
Dalam studi prospektif yang lain, 225 pasien di ICU dibagi menjadi tiga kelompok: kelompok I
(kelompok kontrol): 156 pasien dengan AKI yang tidak menerima dialisis, kelompok II: 21
pasien yang menerima dialisis peritoneal atau IHD, dan kelompok III: 43 pasien yang menerima
43

hemodiafiltration terus menerus (contonous). Mortalitas lebih tinggi pada pasien dengan gagal
ginjal dimana terapi dialisis diperlukan. Tidak ada perbedaan angka kematian antara pasien yang
diperlukan IHD dibandingkan CRRT.
3) Dosis Dialisis
Tiga studi terbaru pada pusat penelitian telah menunjukkan bahwa dosis peningkatan dialisis
dikaitkan dengan kematian yang lebih rendah.
Tabel 5. Dosis Dialisi yang diperlukan pada pasien AKI (Ackay A, 2010)

Tata Laksana Komplikasi


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai
dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan komplikasi juga dapat dilakukan
dengan terapi pengganti ginjal yang diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia
(K>6,5 mEq/l), asidosis berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edema paru, ensefalopati
uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia berat (Na>160
mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang dapat didialisis.26 Tidak ada
panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk menghentikan terapi pengganti ginjal. Secara
umum, terapi dihentikan jika kondisi yang menjadi indikasi sudah teratasi (Sinto R, 2010).

Prognosis
Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal. Perlu
diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi yang menyertai,
perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk prognosa. Penyebab
kematian tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%),
jantung (10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi,
44

septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan.

CAP
Definisi

45

Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia komuniti


ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia.
Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram
positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia
menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia
komuniti adalah bakteri Gram negatif.
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan,
Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode
pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut :
o

Klebsiella pneumoniae 45,18%

Streptococcus pneumoniae 14,04%

Streptococcus viridans 9,21%

Staphylococcus aureus 9%

Pseudomonas aeruginosa 8,56%

Steptococcus hemolyticus 7,89%

Enterobacter 5,26%

Pseudomonas spp 0,9%

Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan
fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika
pada foto toraks trdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih

46

gejala di bawah ini :

Batuk-batuk bertambah

Perubahan karakteristik dahak / purulen

Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam

Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan


ronki
Leukosit > 10.000 atau < 4500

Penilaian derajat Keparahan penyakit


Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan dengan
menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research
Team (PORT) seperti tabel di bawah ini :
Tabel 1. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di
bawahini.
Kriteria minor:

Frekuensi napas > 30/menit

Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg

Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral

Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus

Tekanan sistolik < 90 mmHg

Tekanan diastolik < 60 mmHg

Kriteria mayor adalah sebagai berikut :

Membutuhkan ventilasi mekanik

Infiltrat bertambah > 50%

47

Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)

Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis

Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
komuniti adalah:
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai
salah satu dari kriteria dibawah ini.

Frekuensi napas > 30/menit

Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg

Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral

Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus

Tekanan sistolik < 90 mmHg

Tekanan diastolik < 60 mmHg


3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Kriteria perawatan intensif

Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang
mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik
dan membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu
(Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan
tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan
indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif.
Pneumonia atipik
Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik sering pula dijumpai
bakteri atipik. Bakteri atipik yang sering dijumpai adalah Mycoplasma pneumoniae,
48

Chlamydia pneumoniae, Legionella spp. Penyebab lain Chlamydiapsittasi, Coxiella


burnetti, virus Influenza tipe A & B, Adenovirus dan Respiratori syncitial virus
Diagnosis pneumonia atipik
1) Gejalanya adalah tanda infeksi saluran napas yaitu demam, batuk nonproduktif dan
gejala sistemik berupa nyeri kepala dan mialgia. Gejal klinis pada tabel dibawah
ini dapat membantu menegakkan diagnosis pneumonia atipik.
2) Pada pemeriksaan fisik terdapat ronki basah tersebar, konsolidasi jarang terjadi.
3) Gambaran radiologis infiltrate interstisial.
4) Laboratorium menunjukkan leukositosis ringan, pewarnaan gram, biakan dahak
atau darah tidak ditemukan bakteri.
5) Laboratorium untuk menemukan bakteri atipik

Isolasi biakan sensivitasnya sangat rendah.

Deteksi antigen enzyme immunoassays (EIA)

Polymerase Chain Reaction (PCR).

Uji serologi
-

Cold agglutinin

Uji fiksasi komplemen merupakan standar untuk diagnosis M.


pneumonia.

Micro immunopluorescence (MIF). Standard serologi untuk C.


pneumonia.

Antigen dari urin untuk legionella

Tabel 2. Perbedaan gambaran klinik pneumonia atipik dan tipik

49

Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan
ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi
dengan mikroorganisme patogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae . yang resisten
penisilin.

Yang

termasuk

dalam

faktor

modifikasi

adalah:

a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin


Umur lebih dari 65 tahun

Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir


Pecandu alkohol
50

Penyakit gangguan kekebalan


Penyakit penyerta yang multipel

b. Bakteri enterik Gram negatif


Penghuni rumah jompo
Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
Riwayat pengobatan antibiotik

c. Pseudomonas aeruginosa
Bronkiektasis
Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
Gizi kurang
Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:
a) Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
-

Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi

Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas

Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran.

Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam.

b) Penderita rawat inap di ruang rawat biasa


Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
c) Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian
51

obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik


Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8
Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik

Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya,


bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat biasa; bila terjadi
respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif.

Tabel 3. Petunjuk terapi empiris menurut PDPI

52

Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka
pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti.
Pengobatan pneumonia atipik
Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia termasuk atipik.
Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh M.pneumoniae,
C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan(5) :

Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)

Fluorokuinolon respiness

Doksisiklin

Terapi Sulih (switch therapy)


Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
53

oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan
mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan
ketersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitinya
mampu mengimbangi efektiviti antibiotik iv yang telah digunakan. Perubahan ini dapat
diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi
sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah).

Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin

Contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral

Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral.

Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4 diganti
obat oral dan penderita dapat berobat jalan.
Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti(8) :

Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi

Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna

Penderita sudah tidak panas 8 jam

Gejala klinik membaik (mis : frekuensi pernapasan, batuk)

Leukosit menuju normal/normal

Evaluasi pengobatan
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak ada perbaikan,
kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat yang telah
diberikan dan bakteri penyebabnya, seperti dapat dilihat pada tabel 4.

54

Tabel 4. Penderita yang tidak respon dengan pengobatan empiris yang telah diberikan.

Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan
intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka
kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan ,
sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious
Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian pneumonia komuniti pada rawat
jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas
III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2% (6). Hal ini menunjukkan bahwa
meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan
risiko kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998
adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka
kematian 20 -35%.
Pencegahan
55

Pola hidup sebut termasuk tidak merokok

Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)


sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin

tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik ,
diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan
setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi
yang jarang terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3

ALUR TATA LAKSANA PNEUMONIA KOMUNITI


56

57

TERAPI SULIH PADA PNEUMONIA KOMUNITI


Pada tabel dibawah ini dapat dilihat pemilihan antibiotik untuk alih terapi pada pneumonia
komuniti

58

TERAPI EMPIRIS PADA CAP

59

60

DAFTAR PUSTAKA

1. Harrison`s. Principles of Internal Medicine. 17thEdition. United State of America. 2008


2. Sudoyo A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2006
3. Sylvia AP, Lourraine MW. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Edisi ke
6. Vol II. Jakarta :EGC. 2003
4. Silbernagl Stefan, Lang Florian. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC.
2006
5. Hipoglikemia

(kadar

gula

darah

rendah).

Diakses

melalui

URL: http://www.medicastore.com.
6. Adamson WJ et al, 2005, Anemia and Polycythemia in Harrisons Principles of Internal
Medicine 16th edition ; NewYork : McGraw Hill.
7. Supandiman I dan Fadjari H, 2006, Anemia Pada Penyakit Kronis dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI
8. Akcay A, Turkmen A, Lee D, Edelstein C.L, 2010, Update on the diagnosis and
management of acute kidney injury, International Journal of Nephrology and
Renovascular Disease, vol 3 :129140
9. Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL,Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, edi- tor. Harrisons principle of internal medicine.
Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53
10. Dube S, Sharman V.K, 2009, Renal Replacement Therapy in Intensive Care Unit,
Journal of the Assocation of Physician of India, Vol 57
11. Himellfarb J, Joannidis M, Molitoris B, Schietz M, Okusa M.D et al, 2008, Evaluation
and Initial Mangement of Acute Kidney Injury, Clin J Am Soc Nephrol, Vol 3: 962967
12. Ho K.M, Power BM, 2009, Benefits and Risks of Furosemid in Acute Kidney Injury,
Journal of the Assocation of Anaesthetists of Great Britain and Ireland, Vol 65: 283-293
13. Jo S.K, Rosner M.H, Okusa M.D, 2007, Pharmacologic Treatment of Acute Kidney
Injury: Why Drugs Havent Worked and What Is on the Horizon, Clin J Am Soc Nephrol
2: 356365.
14. KDIGO Clinical Pratice of Acute Kidney Injury, 2012, Official Journal of the
International Society of Nephrology, Vol 2: 1
61

15. Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure, 2000, Indian J Urol, Vol 16:175
16. Lameire N, Biesen WV, Vanholder R, 2006, The rise of prevalence and the fall of
mortality of patients with acute renal failure: what the analysis of two databases does and
does not tell us. J Am Soc Nephrol. Vol 17:923-5.
17. Lewington A, Kanagasundaram A, 2011, AKI: Definition, epidemiology, and outcomes,
Clinical Pratice AKI Guidline
18. Markum H.M.S, 2009, Gangguan Ginjal Akut, DalamBuku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed
2, edi-tor, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrta MKSetiati S, Jakarta: Interna
Publishing, Vol II: 1041-1058
19. Mehta R.L, 2011, Management of Acute Kidney Injury: Its the Squeaky Wheel That Gets
the Oil!, Clin J Am Soc Nephrol, Vol 6: 21022104
20. Saxena A, 2012, Dietary Management in Acute Kidney Injury, Clinical Queries:
Nephrology 0101:5869
21. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A, 2004, Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest, Vol 114:5-14.
22. Sedgewick J, 2011, Invited editorial.Acute kidney injury: responding to the deficits in
management and care. Renal Society of Australasia Journal, 7(2), 53-54.
23. Sinto R, Nainggolan G, 2010, Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana,
Maj Kedokt Indon, Volume 60:2
24. Waikar SS,2006, Declining mortality in patients with acute renal fail- ure, 1988 to 2002.
J Am Soc Nephrol. Vol 17:1143-50.
25. American thoracic society(ATS). 2001.Guidelines gor management of adults with
community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial
therapy, and prevention. Am J Respir Crit. Care Med;163: 1730-54
26. Canadian acquired pneumonia working group. 2000. Canadian guidelines for the initial
management of community acquired pneumonia and evidence based up date by the
canadian thoracic society. Clin Infect Dis;31: 383-421
27. Fauci. 2009. Harrisons manual of Medicine 17th ed:Pneumonia. North America: Mc
Graw Hill
28. Gerberding JL, Sande MA. 2000. Infection Diseases of the lung:Textbook of respiratory
medicine. Philadelphia:WB Saunders Co
29. Hadiarto M. 1995. Pneumonia atipik, masalah dan penatalaksanaannya. Jakarta:FKUI
62

30. Infectious Disease Society of America (IDSA). 2000. Practice guidelines for management
community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis;31:347-82
31. RSUP Persahabatan. 2000. Laporan Tahunan bagian Pulmonologi. Jakarta
32. Nathwani D. 1998. Sequential switch therapy for lower respiratory tract infections.
Chest;113:211s-218s
33. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). 1995. Badan Litbang Depkes RI. Jakarta
34. Sabatine, Marc S. 2008. Pocket medicine 3rd ed:Pneumonia. Philadelphia: Lippincott &
Wilkins
35. Sylvia A, Loraine M. patofisiologi : Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit vol. 2 ed. 6.
Jakarta : EGC, 2005
36. Zul, Dahlan. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II ed. IV:Pneumonia.
Jakarta:FKUI
37. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pneumonia Komuniti. Jakarta:FKUI

63

Anda mungkin juga menyukai