Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1
2.1.1

Metabolisme Kalium
Fisiologi Metabolisme Kalium
Kalium (K+) merupakan kation utama intraselular. Total jumlah kalium dalam

tubuh normal mencapai 3000-4000 mmol (50 mmol/kgBB). Dari seluruh total
cadangan kalium tubuh, 98% nya berada dalam cairan intraselular (ICF) dengan
konsentrasi 140-150 mmol perliter, sedangkan cairan ekstraselular (ECF)
mengandung hanya 2% dari total kalium tubuh, dengan konsentasi kalium normal
3.5-5.0 mmol per liter.
Konsentrasi kalium dalam ICF (Ki) jauh lebih tinggi daripada kalium dalam
ECF (Ke) sehingga menimbulkan gradient yang besar melintasi membrane sel.
Gradien konsentrasi dari kalium diatur oleh pompa Na +/K+-ATPase yang secara aktif
membawa natrium keluar dan kalium kedalam sel dengan ratio 3:2.
Kalium dalam ICF berperan dalam pengaturan berbagai fungsi sel, seperti
sintesis protein dan pertumbuhan sel. Konsentrasi plasma kalium diatur dalam
rentang yang sempit (3.5-5.0 mmol per liter) melalui uptake dan pengeluaran kalium
secara seimbang, bersama dengan pengaturan ekskresi kalium oleh ginjal. Sebagai
contoh interaksi antata uptake selular kalium dan ekskresi kalium oleh ginjal adalah
pada pasien dengan ketoasidosis diabetic, dimana penurunan kalium ICF dapat
terselubung oleh kadar plasma kalium yang normal akibat adanya pergeseran kalium
keluar dari sel yang disebabkan oleh keadaan asidosis metabolik dan hiperglikemia.

2.1.2

Asupan Kalium Harian


Asupan makanan sehari-hari orang Amerika mengandung 60-150 mmol

kalium per hari (1-2 mmol kalium/kgBB perhari). Makanan yang mengandung
kalium dalam kadar tinggi diantaranya adalah jeruk, pisang, buah-buahan kering
(mis: kismis), sayuran dan daging. Dalam keadaan normal, 90-95% kalium yang
diserap dari makanan akan diekskresi oleh ginjal dalam 6-8 jam. Sisa 5-10% akan
dikeluarkan melalui feces. Distribusi dari kalium antara cairan intra dan ekstraseluler
memainkan peranan penting dalam keseimbangan kalium.

2.1.3

Cellular uptake dari Kalium


Mengingat kadar kalium ECF (60-80 mmol) yang lebih kecil dibandingkan

kalium ICF, cukup mengejutkan bila asupan kalium harian (60-150 mmol) tidak
mengakibatkan lonjakan drastis pada ECF dan konsentrasi kalium plasma. Hal ini
tidak terjadi karena kalium yang dikonsumsi akan secara cepat didistribusikan dan

ambilan oleh sel akan meningkat segera setelah penyerapan dan akhirnya diekskresi
melalui urin untuk mempertahankan keseimbangan kalium.
Peningkatan tinggi dalam kadar kalium plasma akan ditekan oleh ambilan sel
secara cepat melalui aktivitas pompa Na+/K+-ATPase pada membrane sel. Pompa ini
secara aktif memindahkan kalium ke dalam sel melawan gradient yang besar. Factorfaktor yang berperan dalam stimulasi aktivitas Na+/K+-ATPase antara lain adalah
peningkatan kalium plasma dari penyerapan melalui gastrointestinal, pelepasan
insulin setelah asupan makanan, dan katekolamin (mis: epinefrin) yang dapat
dilepaskan dalam keadaan stress. Beberapa factor tersebut akan meningkatkan kalium
cellular uptake untuk mencegah lonjakan drastic dari kadar kalium plasma. Faktor
lain yang juga dapat meningkatkan ambilan kalium oleh sel antara lain termasuk
aldosteron, pH alkali dan aktivitas anabolik sel. Karena kalium cellular uptake hanya
menstabilkan kadar kalium secara temporer, beban kalium dari asupan makanan pada
akhirnya harus diekskresi oleh ginjal untuk menjaga homeostasis kalium.
2. 1.4 Perangsangan neuromuskuler
Resting membrane potential adalah nilai voltase pada seluruh membrane sel
selama fase istirahat (resting stage). Pada jaringan neuromuskuler (mis: saraf, otot
jantung, dan otot rangka), resting membrane potential ditentukan terutama oleh
gradient konsentrasi kalium di sepanjang membrane sel atau ratio dari kalium ICF
dan ECF (Ki/Ke).
Threshold potential adalah potensial dimana potensial aksi timbul selama
depolarisasi. Perangsangan membrane sel tergantung pada perbedaan antara resting
potential dan threshold potential. Karena perbedaan kadar plasma kalium akan
mengubah ratio (Ki/Ke), kadar plasma kalium yang abnormal akan sangat
mempengaruhi mekanisme perangsangan neuromuskuler, berakibat pada disfungsi
selular, perubahan pada konduksi jantung, serta kelemahan dan paralisis dari otot.
Sehingga pengaturan homeostasis kalium membutuhkan total body potassium dalam

jumlah yang cukup dan mempertahankan (Ki/Ke) dalam ratio normal untuk
melindungi fungsi normal jaringan neuromuskular.
98% dari total kalium tubuh berada dalam ruang intraselular, karena itu
perubahan (meskipun dalam jumlah kecil) dari distribusi kalium antara intra dan
ekstraselular akan berpengaruh besar dalam konsentrasi kalium ekstrasel. Konsentrasi
kalium intraselular berfungsi untuk meminimalisasi perubahan dalam kadar kalium
ekstrasel dalam keadaan defisiensi kalium. Dalam keadaan ini kalium akan berpindah
dari intrasel keluar ke ekstrasel sehingga mengatasi perubahan pada gradient kalium
transmembran. Dalam keadaan defisiensi kalium, beberapa jaringan, terutama otot,
menunjukkan penurunan kadar kalium intrasel yang cepat bila dibandingkan dengan
jaringan lainnya, seperti otak. Hasilnya, defisiensi kalium dalam jumlah kecil tidak
terlalu mempengaruhi kadar kalium serum. Maka dapat disimpulkan dalam
hipokalemia (<3.5 mEq/L), sudah terjadi defisiensi kalium dalam jumlah besar.

2.1.5

Metabolisme kalium oleh ginjal


Plasma kalium secara bebas difiltrasi oleh glomerulus, dan sebagian besar dari

kalium tersebut (kurang lebih 90%) akan di reabsorpsi dalam 2 segmen awal dari
nefron. Kurang lebih 65% dari kalium yang telah difiltrasi akan secara pasif
direabsorpsi bersamaan dengan reabsorpsi aktif dari natrium di tubulus contortus
proksimal. Sebagian kecil (25%) dari kalium yang terfiltrasi akan direabsorpsi secara
aktif pada lengkung Henle melalui Na +/K+/2 Cl- transporter. Maka, 90% dari kalium
yang terfiltrasi akan direabsorpsi ketika cairan tubular mencapai nefron distal. Eksresi
kalium pada urin akhir ditentukan terutama oleh sekresi kalium yang dilakukan oleh
principal cells pada collecting tubules. Pada area ini reabsorpsi natrium secara aktif
menghasilkan daya gerak yang besar untuk terjadinya sekresi pasif dari kalium.
Reabsorpsi natrium akan meninggalkan anion-anion yang akan menimbulkan lumen-

negative electrical potential. Potensial negati8f ini akan meningkatkan sekresi kation
(seperti kalium) ke dalam lumen tubular.
Aldosteron, yang dihasilkan oleh korteks adrenal juga memiliki peran penting
dalam

mekanisme

pengaturan

sekiresi

kalium

di

tubulus

ginjal

untuk

mempertahankan homeostasis kalium. Aldosteron berefek pada peningkatan


reabsorpsi natrium dan sekresi kalium pada tubulus distal. Namun, efek ini sangat
bergantung pada jumlah natrium yang sampai ke distal. Aldosteron akan berikatan
dengan reseptor pada sel-sel tubulus kolektivus untuk mengaktifkan dan
meningkatkan jumlah sodium channels pada membrane luminal. Hal ini pada
akhirnya akan meningkatkan jumlah natrium yang masuk ke dalam sel-sel tubular.
Permeabilitas dari membrane lumen terhadap kalium juga meningkat melalui
potassium channels yang mengakibatkan peningkatan sekresi kalium dalam lumen.
Aktivitas dan sintesis dari Na+/K+-ATPase juga diatur oleh aldosteron, sehingga
menghasilkan perpindahan intrasel dari natrium dari cairan lumen dan bertukar
dengan kalium.

Berbagai factor lainnya juga akan meningkatkan sekresi dari kalium. Keadaan
peningkatan plasma kalium dapat secara langsung meningkatkan sekresi kalium
karena adanya kalium dalam jumlah tinggi yang mencapai sel tubular. Hal ini juga
akan menstimulasi pelepasan aldosterin sehingga meningkatkan sekresi kalium. Bila

distal tubular fluid flow rate meningkat, maka kalium yang disekresi juga akan
terbilas lebih cepat, yang akan membantu mempertahankan gradient konsentrasi yang
diperlukan dalam sekresi pasif kalium. Peningkatan volume ECF juga akan
meningkatkan jumlah natrium dan cairan tubular yang mencapai nefron distal
sehingga juga meningkatkan sekresi dari kalium. Namun demikian, peningkatan
volume ECF juga akan menekan pelepasan aldosteron untuk menekan sekresi dari
kalium. Sehingga, hasil akhir dari mekanisme ini berupa peningkatan dari ekskresi
kalium ginjal pada awalnya, kemudian diikuti oleh penurunan secara gradual seiring
waktu. Faktor lainnya yang dapat meningkatkan lumen-negative potential dan
meningkatkan sekresi kalium tubular adalah adanya anion-anion yang sulit diserap
(sulfat, ketoanion) yang tetap tidak terserap dalam lumen dari cortical collecting
tubule, sehingga menciptakan perbedaan gradient yang sesuai (lumen-negative
potential) untuk sekresi kalium. Pada kasus alkalosis metabolic, kalium akan masuk
ke dalam sel untuk menggantikan ion hydrogen yang hilang sehingga
mempertahankan electroneutrality.
Hanya sebagian kecil dari kalium yang disekresi melalui feses, karena volume
feses yang sedikit dan konsentrasi kalium pada feses yang juga sedikit. Kondisi yang
dapat meningkatkan konsentrasi kalium feses diantaranya gagal ginjal and
hiperkalemia, sedangkan peningkatan volume feses seperti diare akan meningkatkan
eksresi kalium pada feces. Gagal ginjal kronis dapat menyebabkan perubahan adaptif
dimana kalium dalam jumlah besar (20-30 mEq/L) diekskresikan dalam feses.

2.1.6 Keseimbangan Kalium


Dalam keadaan fisiologis, keseimbangan kalium akan dipertahankan terutama
oleh pengaturan ekskresi kalium melalui urin yang menyesuaikan dengan asupan
kalium harian. Ekskresi kalium melalui fecal (5-10% dari asupan kalium) hanya
memainkan peranan yang kecil pada keadaan normal, namun demikian, pada pasien
dengan gagal ginjal kronis, sekresi kalium dari kolon dapat meningkat hingga lebih
dari 30% untuk menjaga keseimbangan kalium.
Sebaliknya bila asupan kalium berkurang, potassium conservation oleh ginjal
dapat terjadi dalam 5-14 hari, lebih lambat dari pada keadaan hiponatremi (2-3 hari).
Ekskresi kalium urin akan berkurang hingga di bawah 20 mmol/24jam dan
konsentrasi kalium urin turun hingga di bawah 20 mmol/L. proses ini dapat dicapai
melalui pengurangan sekresi kalium oleh sel-sel principal dan meningkatkan
reabsorpsi

kalium

secara

aktif.

Potassium

conservation

akan

membantu

meminimalisir kehilangan kalium melalui ginjal, namun hipokalemia dapat tertap


terjadi bila kekurangan asupan kalium berlangsung terus-menerus.
2.2 Hipokalemia

2.2.1

Definisi dan Epidemiologi Hipokalemia


Definisi dari hipokalemia adalah plasma kalium yang kurang dari 3.5 mmol/L.

Hipokalemia adalah salah satu jenis gangguan keseimbangan elektrolit yang paling
sering dijumjpai pada praktek klinis. Gejala klinis dapat bervariasi mulai dari
asimptomatis (dengan gangguan elektrolit ditemukan secara tidak sengaja melalui
pemeriksaan laboratorium), kelemahan tubuh ringan hingga kematian mendadak.
Angka kejadian hipokalemia bergantung erat dengan populasi pasien. Pada orang
dewasa yang sehat tanpa riwayat pengobatan tertentu, kurang dari 1% yang akan
mengalami hipokalemia, yang ditandai dengan serum kalium < 3.5 mEq/L.
Rendahnya frekuensi hipokalemia diakibatkan karena 2 hal: cukupnya kebutuhan
kalium dalam asupan makanan harian dan mekanisme ginjal dalam mempertahankan
kadar serum kalium. Adanya hipokalemia pada orang dewasa sehat yang tidak
memiliki riwayat pengobatan tertentu mengindikasikan kemungkinan adanya
penyakit dasar yang perlu dicaritahu penyebabnya.
Umumnya kasus hipokalemia terjadi dalam suatu keadaan yang spesifik. Pasien yang
menerima terapi diuretic memiliki risiko paling tinggi, di mana 50% pasien akan
mengalami penurunan serum kalium < 3.5 meq/L. Diuretik thiazide lebih sering
menyebabkan hipokalemia dibandingkan dengan golongan diuretic kuat. Individu
dengan hiperaldosteronisme sekunder, baik karena gagal jantung kongestif,
insufisiensi hepar maupuan sindrom nefrotik berada dalam peringkat kedua kelopok
pasien dengan risiko tinggi menjadi hipokalemia. Akhirnya, pasien dengan penyakit
yang

mengubah

kemampuan

mempertahankan

kalium

oleh

renal

(dalam

hubungannya dengan hantaran natrium ke duktus kolektivus kortikal) juga memiliki


risiko tinggi untuk terjadinya hipokalemia.
2.2.2 Etiologi Hipokalemia

10

Penatalaksanaan hipokalemia secara tepat memerlukan identifikasi dari penyebab


hipokalemia itu sendiri. Hipokalemia dapat terjadi pada kadar total kalium tubuh
yang menurun maupun normal. Hipokalemia dengan total kalium tubuh yang normal
disebabkan oleh redistribusi kalium dari ekstrasel ke dalam intrasel. Defisiensi total
kalium tubuh dapat disebabkan oleh kehilangan kalium renal maupun ekstrarenal.
Dalam menentukan penyebab dari hipokalemia, dapat dipertimbangkan 4 kelompok
besar etiologi, yaitu: pseudohipokalemia, redistribusi, kehilangan kalium ekstrarenal
dan renal.
Pseudohipokalemia
Sel darah putih abnormal dalam jumlah yang cukup besar, dapat menarik kalium
ekstrasel bila disimpan dalam suhu ruang cukup lama, sehingga didapatkan kadar
kalium plasma yang rendah. Keadaan hipokalemia yang disebabkannya disebut
dengan pseudohipokalemia. Penyakit dasar yang paling sering mendasari kelainan
ini adalah acute myelogenous leukemia. Pemisahan plasma secara cepat atau
penyimpanan sample darah dalam suhu 4C akan mencegah adanya pseudokalemia
dan menghindari terapi yang tidak perlu.
Redistribusi
Lebih dari 98% dari total kalium tubuh berada dalam cairan intrasel, terutama dalam
sel otot rangka. Hormone tertentu, terutama insulin, aldosteron dan simpatomimetik,
adalah yang paling sering menyebabkan redistribution-induced hypokalemia.
Insulin akan mengaktivasi Na+-K+-ATPase sehingga meningkatkan uptake kalium
oleh sel. Pemberian insulin akan memnyebabkan pergeseran kalium dari ekstrasel ke
intrasel berujung pada keadaan hipokalemia. Masalah ini paling sering dijumpai
dalam penatalaksanaan diabetic ketoacidosis.

11

Selain insulin, penyebab tersering dari redistribution-induced hypokalemia adalah


aldosteron, yang menginduksi uptake kalium oleh sel melalui beberapa mekanisme,
namun secara umum lebih lambat dari insulin. Aldosteron akan menstimulasi
produksi dari Na+K+-ATPase. Selain itu aldosteronb juga mengatur transport kalium
renal. Sehingga hiperaldosteronisme menyebabkan hipokalemia sebagai hasil dari
kombinasi redistribusi dan stimulasi dari renal potassium clearance.
Sebab hormonal terakhir yang dapat mengakibatkan redistribution-induced
hypokalemia adalah sympathomimetic agents, agonist adrenergic, dopamine,
dobutamin dan teofilin.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan pergeseran kalium dari ECF ke dalam ICF
akan berakibat menurunnya plasma kalium dan berunjung pada hipokalemia. Faktor
tersebut diantaranya adalah alkalosis, insulin, dan katekolamin. Dalam keadaan
alkalosis (baik metabolic maupun respiratory), ion H+ akan keluar dari dalam sel
sebagai usaha untuk memperbaiki gangguan keseimbangan asam basa. Kalium yang
merupakan kation intraselular utama, akan masuk ke dalam sel untuk menggantikan
ion hydrogen tersebut sehingga mempertahankan electroneutrality. Pergeseran kalium
ke dalam sel ini dapat mengakibatkan hipokalemia ringan. Insulin juga berperan
dalam pengaturan kadar plasma kalium, dimana insulin akan dilepaskan sebagai
respon terhadapa peningkatan kalium plasma serta menstimulasi Na+/K+-ATPase
untuk meningkatkan kalium cellular uptake sehingga menurunkan kadarnya dalam
plasma. Dengan mekanisme yang mirip, katekolamin (co: epinefrin) akan dilepaskan
dalam keadaan stress. Pemberian insulin atau agonis 2 (co: albuterol) dapat
menyebabkan hipokalemia. Pada familial hypokalemic periodic paralysis, serangan
intermiten dari paralisis otot tubuh terjadi karena hipokalemia yang disebabkan oleh
pergeseran kalium plasma ke dalam sel.

12

Kehilangan kalium melalui saluran gastrointestinal


Kekurangan asupan kalium harian yang berat seperti pada penderita anorexia
nervosa atau alkoholisme dapat menyebabkan hipokalemia. Kekurangan kalium tidak
dapat dikompensasi secara penuh oleh ginjal sehingga terjadi hipokalemia. Dalam
keadaan mual dan muntah, atau gastric drainage, kehilangan kalium yang terjadi
lebih besar melalui ginjal daripada kehilangan kalium dari cairan lambung (cairan
lambung hanya mengandung 5-10 mmol/L kalium). Mekanisme kehilangan kalium
melalui ginjal pada keadaan vomiting meliputi beberapa faktor. Keadaan alkalosis
metabolic pada vomiting akan meningkatkan sekresi kalium tubular ginjal secara
langsung dengan masuknya kalium kedalam sel-sel tubular untuk meningkatkan
sekresi. Vomiting juga menyebabkan penyusutan volume ECF, yang akan
menginduksi pelepasan aldosteron dan meningkatkan sekresi kalium oleh ginjal.
Walaupun cairan kolon dapat mengandung hingga 75-80 mmol/L kalium,
kehilangan kalium hanya sedikit melalui feses karena volume tinja yang sedikit.

13

Dalam keadaan diare, peningkatan volume feses dapat mengakibatkan kehilangan


kalium serta elektrolit lainnya dalam jumlah yang signifikan. Laxative abuse
menyebabkan hipokalemia melalui proses serupa.
Kehilangan kalium melalui ginjal
Sekresi kalium pada tubular ginjal ditingkatkan dengan adanya berbagai faktor
seperti peningkatan hantaran natrium ke nefron distal, aldosteron, anion yang sulit
direabsorbsi (poorly reabsorbable anions) dan alkalosis metabolic.
a. Peningkatan hantaran natrium ke nefron distal
Diuretika seperti thiazid dan loop diuretics menghambat reabsorpsi dari
natrium dan klor pada tubulus contortus distal dan pada ascending loop Henle.
Hal ini akan meningkatkan hantaran natrium dan cairan ke bagian nefron
distal dan meningkatkan sekresi kalium tubular yang berujung pada
hipokalemia. Selain itu, diuretic juga menyebabkan penyusutan volume ECF
melalui pengeluaran cairan dan natrium yang akan menstimulasi pelepasan
aldosteron yang akan meningkatkan sekresi kalium pada tubulus ginjal.
Beberapa kelainan herediter juga berhubungan dengan mutasi pada transporter
di tubulus ginjal. Mutasi pada cotransporter Na +/K+/2Cl- pada MTAL (medulla
thick ascending limb of Loop of Henle) berhubungan dengan sindroma Bartter.
Sedangkan pada sindroma Gittelman, terjadi mutasi pada cotransporter
Na+/Cl- pada tubulus contortus distal. Kedua sindroma ini memiliki efek yang
mirip dengan kerja dari diuretic kuat dan thiazid secara berurutan.
b. Mineralocorticoid excess
Pada hiperaldosteronisme primer, yang biasanya disebabkan karena
aldosterone-secreting adrenal adenoma, produksi aldosteron secara otonom
akan mengakibatkan hipertensi akibat peningkatan volume ECF. Hipokalemia
merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi pada hiperaldosteronisme
primer akibat peningkatan sekresi kalium tubular oleh aldosteron. Pada
hiperaldosteronisme sekunder (co: renal artery stenosis), sistem renin-

14

angiotensin-aldosteron yang dipicu oleh ginjal yang mengalami kelainan,yang


c.

akan berakibat pada renovascular hypertension dan hipokalemia.


Anion yang sulit direabsorpsi (unresorbable) / pH alkali
Adanya bikarbonat dan anion yang sulit direabsorpsi (co: sulfat, ketoanion)
alam lumen nefron distal akan meningkatkan sekresi kalium karena
keberadaannya akan menciptakan suatu potensial elektris negatif dari
reabsorpsi natrium, dengan anion yang unresorbable tertinggal di dalam
lumen tubulus. Pada renal tubular acidosis proksimal (RTA tipe II), bikarbonat
filtrasi akan lolos dari reabsorpsi pada tubulus proksimal. Hantaran bikarbonat
tersebut hingga ke nefron distal akan meningkatkan sekresi kalium dan
hipokalemia pada RTA tipe II. Paa RTA tipe I, penurunan sekresi ion hydrogen
ke dalam lumen tubulus akan dikompensasi dengan peningkatan sekresi
kalium untuk mempertahankan electroneurality. Pada alkalosis metabolik,
kelebihan bikarbonat yang terfiltrasi melampaui kapasitas reabsorbsi tubulus
proksimal sehingga meningkatkan hantaran bikarbonat ke nefron distal dan
meningkatkan sekresi kalium. Selain itu kadaan alkalosis metabolic akan
meningkatkan pergeseran kalium ke dalam sel untuk menggantikan ion
hydrogen yang keluar agar dapat mempertahankan elektroneutralitas.
Asidosis metabolic akut menurunkan sekresi kalium tubulus dengan
cara menghambat Na+/K+ ATPase dan menurunkan permeabilitas lumen
terhadap kalium. Meski demikian, asidosis metabolic kronis seringkali
dihubungkan dengan peningkatan ekskresi kalium ginjal. Hal ini dikarenakan
sebagian pasien dengan asidosi metabolic kronis memiliki berbagai faktor
yang meningkatkan kaliuresis. Pada ketoasidosis diabetikum, ketoanion
(unresorbable) dalam jumlah besar akan difiltrasi oleh glomerulus kemudian
dihantarkan ke nefron distal, yang akan berakibat pada peningkatan sekresi
kalium tubulus. Selain itu, dieresis osmotic dari keadaan hiperglikemia dan
glikosuria juga akan meningkatkan kehilangan kalium ginjal dengan adanya
peningkatan hantaran natrium dan air ke nefron distal. Dieresis juga
menurunkan volume plasma yang akan menginduksi pelepasan kalium

15

sehingga memperparah kehilangan kalium oleh ginjal. Meski demikian,


kekurangan kalium pada pasien-pasien tersebut dapat tertutup karena adanya
asidosis metabolic, hiperglikemia berat dan defisiensi insulin. Berbagai hal ini
dapat menyebabkan pergeseran kalium keluar dari sel, dan hal ini mungkin
dapat meningkatkan plasma kalium ke tingkat normal, meskipun terjadi
defisiensi kalium intraseluler. Maka, kadar kalium plasma dapat berbeda dari
keadaan sesungguhnya dari total kalium tubuh dalam beberapa kondisi klinis.
2.2
2.2.2

Manifestasi Klinis Hipokalemia


Efek Hipokalemia terhadap Fungsi Neuromuskular
Hipokalemia, terutama bila kadar plasma di bawah 3.0 mmol/L, dapat

dihubungkan dengan gejala kelemahan otot, fatigue, malaise, dan myalgia. Pada
kasus hipokalemia berat, paralisis otot serta rhabdomyolisis dapat terjadi. Efek
hipokalemia pada fungsi neuromuscular ditentukan secara utama oleh perubahan
membran potensial. Hipokalemia berakibat pada hiperpolarisasi dari membrane. Hal
ini akan meningkatkan ambang untuk terjadinya potensial aksi, sehingga
menyebabkan kelemahan otot. Dengan hipokalemia berat, saluran natrium pada
membrane juga dapat terinaktivasi yang menyebabkan paralisis.
Pada aktivitas olahraga, kadar kalium lokal dalam otot rangka akan meningkat
untuk mempertahankan vasodilatasi, yang merupakan syarat untuk perfusi otot yang
adekuat. Maka kekurangan kalium merupakan salah satu predisposisi seseorang
mengalami iskemia otot selama aktivitas olahraga. Pada kasus yang berat iskemia
otot dapat berkembang menjadi rhabdomyolisis.
2.2.3

Efek Hipokalemia terhadap Jantung


Kadar kalium plasma di bawah 3.0 mmol/L seringkali dihubungjan dengan
gambaran EKG abnormal. Hipokalemia menyebabkan hiperpolarisasi dari membrane
sel jantung dan repolarisasi ventrikel yang terhambat (delayed ventricular
repolarization) yang tercermin dalam gambaran gelombang U yang nyata. Perubahan
EKG dari hipokalemia umumnya menunjukkan depresi segmen ST, gelombang T

16

mendatar, dan gelombang U yang nyata. Gelombang U yang nyata dapat muncul
sebagai pemanjangan dari QT interval.

Prolonged QT interval pada pasien hipokalemia menandakan kecenderungan


untuk terjadi instabilitas ventrikel dengan aritmia seperti premature ventricular beats
dan pada pasien dengan kelainan jantung sebelumnya, ada kecenderungan terjadinya
ventrikular takikadi maupun fibrilasi yang mengancam nyawa. Oleh karena itu,
pemeriksaan EKG seharusnya dilakukan terutama pada pasien dengan hipokalemia
berat. Hipokalemia juga menyebabkan pasien dengan kelainan jantung lebih mudah
mengalami toksisitas digitalis dan harus segera dikoreksi sebelum pasien tersebut
memulai terapi digitalis.
2.2.4

Efek Metabolik
Pasien hipokalemia

cenderung

mengalami

intoleransi

karbohidrat.

Hiperkalemia akan mecetuskan pelepasan insulin, sedangkan hipokalemia akan


menghambatnya. Hal ini akan berakibat terjadinya intoleransi karbohidrat.
Hipokalemia juga menstimulasi sintesis renin dengan peningkatan pada angiotensin
II, namun penurunan kadar aldosteron. Hal ini disebabkan karena hipokalemia secara
langsung menekan kadar plasma aldosteron.
Karena kalium merupakan komponen penting dalam ion intraselular, kalium
menjadi elemen yang penting dalam pertumbuhan jaringan. Dengan demikian,

17

defisiensi kalium dapat dihubungkan dengan growth retardation dan gagal tumbuh
pada anak.
2.2.5

Efek Hipokalemia terhadap Ginjal


Defisiensi kalium menyebabkan rasa haus dan mengganggu kemampuan
ginjal dalam memekatkan urin. Hal ini mengakibatkan poliuria, polidipsi dan pada
kasus yang berat dapat menyebabkan diabetes insipidus nefrogenik. Gangguan
pemekatan urin adalah sebagai hasil dari gangguan countercurrent multiplier system
pada lengkung Henle. Hipokalemia dapat menginduksi alkalosis metabolik melalui
peningkatan produksi ammonia ginjal. Peningkatan produksi ammonia ini disebabkan
oleh adanya asidosis intraselular (karena masuknya ion H+ ke dalam sel untuk
menggantikan kalium) pada tubulus proksimal di mana ammonia diproduksi.
Peningkatan produksi ammonia akan meningkatkan ammonia dalam urin dan ekskresi
asam dan mengakibatkan terjadinya alkalosis metabolic.
Bila hipokalemia diakibatkan karena kehilangan kalium bukan memlaui
ginjal, mekanisme konservasi kalium oleh ginjal terjadi dalam 5-14 hari. Ekskresi
kalium urin akan berkurang sampai di bawah 20 mmol/hari (FEK < 6%). Sedangkan
pada hipokalemia yang disebabkan karena kehilangan kalium melalui ginjal, ekskresi
kalium urin akan melebihi 20 mmol/hari (FEK>10%). Parameter ini dapat digunakan
untuk membedakan antara kehilangan kalium melalui atau bukan melalui ginjal.
2.3

Penatalaksanaan Hipokalemia
Pada hipokalemia ringan dengan kalium plasma kurang dari atau sama dengan

3.5 mmol/L, cukup dilakukan penatalaksanaan konservatif dengan suplementasi dan


asupan buah dan sayur yang tinggi kalium. Penggantian kalium dengan garam kalium
umumnya dibutuhkan pada pasien dengan hipokalemia sedang sampai berat. Kalium
replacement dapat dilakukan secara oral maupun intravena. Pada kasus hipokalemia
berat, KCl dapat diberikan secara intravena dengan kecepatan lambat (tidak lebih dari
10-20mmol/jam) dengan monitor EKG dan pengukuran berkala dari kalium plasma
untuk menghindari toksisitas jantung maupun overkoreksi.

18

Pada pasien dengan hipokalemik dan hipokloremik alkalosis metabolic, kalium


klorida (KCl) harus digunakan untuk menggantikan kalium dan klor. Kalium
bikarbonat adalah pilihan yang tidak tepat karena bikarbonat akan memperburuk
kondisi alkalosis memperburuk kehilangan kalium oleh ginjal.
Pada pasien dengan hipokalemik dan hiperkloremik metabolik asidosis (pasien
dengan RTA), kalium sitrat atau kalium bikarbonat lebih dipilih sebagai metode
tatalaksana hipokalemia.

19

Anda mungkin juga menyukai