Hypokalemia
Hypokalemia
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
Metabolisme Kalium
Fisiologi Metabolisme Kalium
Kalium (K+) merupakan kation utama intraselular. Total jumlah kalium dalam
tubuh normal mencapai 3000-4000 mmol (50 mmol/kgBB). Dari seluruh total
cadangan kalium tubuh, 98% nya berada dalam cairan intraselular (ICF) dengan
konsentrasi 140-150 mmol perliter, sedangkan cairan ekstraselular (ECF)
mengandung hanya 2% dari total kalium tubuh, dengan konsentasi kalium normal
3.5-5.0 mmol per liter.
Konsentrasi kalium dalam ICF (Ki) jauh lebih tinggi daripada kalium dalam
ECF (Ke) sehingga menimbulkan gradient yang besar melintasi membrane sel.
Gradien konsentrasi dari kalium diatur oleh pompa Na +/K+-ATPase yang secara aktif
membawa natrium keluar dan kalium kedalam sel dengan ratio 3:2.
Kalium dalam ICF berperan dalam pengaturan berbagai fungsi sel, seperti
sintesis protein dan pertumbuhan sel. Konsentrasi plasma kalium diatur dalam
rentang yang sempit (3.5-5.0 mmol per liter) melalui uptake dan pengeluaran kalium
secara seimbang, bersama dengan pengaturan ekskresi kalium oleh ginjal. Sebagai
contoh interaksi antata uptake selular kalium dan ekskresi kalium oleh ginjal adalah
pada pasien dengan ketoasidosis diabetic, dimana penurunan kalium ICF dapat
terselubung oleh kadar plasma kalium yang normal akibat adanya pergeseran kalium
keluar dari sel yang disebabkan oleh keadaan asidosis metabolik dan hiperglikemia.
2.1.2
kalium per hari (1-2 mmol kalium/kgBB perhari). Makanan yang mengandung
kalium dalam kadar tinggi diantaranya adalah jeruk, pisang, buah-buahan kering
(mis: kismis), sayuran dan daging. Dalam keadaan normal, 90-95% kalium yang
diserap dari makanan akan diekskresi oleh ginjal dalam 6-8 jam. Sisa 5-10% akan
dikeluarkan melalui feces. Distribusi dari kalium antara cairan intra dan ekstraseluler
memainkan peranan penting dalam keseimbangan kalium.
2.1.3
kalium ICF, cukup mengejutkan bila asupan kalium harian (60-150 mmol) tidak
mengakibatkan lonjakan drastis pada ECF dan konsentrasi kalium plasma. Hal ini
tidak terjadi karena kalium yang dikonsumsi akan secara cepat didistribusikan dan
ambilan oleh sel akan meningkat segera setelah penyerapan dan akhirnya diekskresi
melalui urin untuk mempertahankan keseimbangan kalium.
Peningkatan tinggi dalam kadar kalium plasma akan ditekan oleh ambilan sel
secara cepat melalui aktivitas pompa Na+/K+-ATPase pada membrane sel. Pompa ini
secara aktif memindahkan kalium ke dalam sel melawan gradient yang besar. Factorfaktor yang berperan dalam stimulasi aktivitas Na+/K+-ATPase antara lain adalah
peningkatan kalium plasma dari penyerapan melalui gastrointestinal, pelepasan
insulin setelah asupan makanan, dan katekolamin (mis: epinefrin) yang dapat
dilepaskan dalam keadaan stress. Beberapa factor tersebut akan meningkatkan kalium
cellular uptake untuk mencegah lonjakan drastic dari kadar kalium plasma. Faktor
lain yang juga dapat meningkatkan ambilan kalium oleh sel antara lain termasuk
aldosteron, pH alkali dan aktivitas anabolik sel. Karena kalium cellular uptake hanya
menstabilkan kadar kalium secara temporer, beban kalium dari asupan makanan pada
akhirnya harus diekskresi oleh ginjal untuk menjaga homeostasis kalium.
2. 1.4 Perangsangan neuromuskuler
Resting membrane potential adalah nilai voltase pada seluruh membrane sel
selama fase istirahat (resting stage). Pada jaringan neuromuskuler (mis: saraf, otot
jantung, dan otot rangka), resting membrane potential ditentukan terutama oleh
gradient konsentrasi kalium di sepanjang membrane sel atau ratio dari kalium ICF
dan ECF (Ki/Ke).
Threshold potential adalah potensial dimana potensial aksi timbul selama
depolarisasi. Perangsangan membrane sel tergantung pada perbedaan antara resting
potential dan threshold potential. Karena perbedaan kadar plasma kalium akan
mengubah ratio (Ki/Ke), kadar plasma kalium yang abnormal akan sangat
mempengaruhi mekanisme perangsangan neuromuskuler, berakibat pada disfungsi
selular, perubahan pada konduksi jantung, serta kelemahan dan paralisis dari otot.
Sehingga pengaturan homeostasis kalium membutuhkan total body potassium dalam
jumlah yang cukup dan mempertahankan (Ki/Ke) dalam ratio normal untuk
melindungi fungsi normal jaringan neuromuskular.
98% dari total kalium tubuh berada dalam ruang intraselular, karena itu
perubahan (meskipun dalam jumlah kecil) dari distribusi kalium antara intra dan
ekstraselular akan berpengaruh besar dalam konsentrasi kalium ekstrasel. Konsentrasi
kalium intraselular berfungsi untuk meminimalisasi perubahan dalam kadar kalium
ekstrasel dalam keadaan defisiensi kalium. Dalam keadaan ini kalium akan berpindah
dari intrasel keluar ke ekstrasel sehingga mengatasi perubahan pada gradient kalium
transmembran. Dalam keadaan defisiensi kalium, beberapa jaringan, terutama otot,
menunjukkan penurunan kadar kalium intrasel yang cepat bila dibandingkan dengan
jaringan lainnya, seperti otak. Hasilnya, defisiensi kalium dalam jumlah kecil tidak
terlalu mempengaruhi kadar kalium serum. Maka dapat disimpulkan dalam
hipokalemia (<3.5 mEq/L), sudah terjadi defisiensi kalium dalam jumlah besar.
2.1.5
kalium tersebut (kurang lebih 90%) akan di reabsorpsi dalam 2 segmen awal dari
nefron. Kurang lebih 65% dari kalium yang telah difiltrasi akan secara pasif
direabsorpsi bersamaan dengan reabsorpsi aktif dari natrium di tubulus contortus
proksimal. Sebagian kecil (25%) dari kalium yang terfiltrasi akan direabsorpsi secara
aktif pada lengkung Henle melalui Na +/K+/2 Cl- transporter. Maka, 90% dari kalium
yang terfiltrasi akan direabsorpsi ketika cairan tubular mencapai nefron distal. Eksresi
kalium pada urin akhir ditentukan terutama oleh sekresi kalium yang dilakukan oleh
principal cells pada collecting tubules. Pada area ini reabsorpsi natrium secara aktif
menghasilkan daya gerak yang besar untuk terjadinya sekresi pasif dari kalium.
Reabsorpsi natrium akan meninggalkan anion-anion yang akan menimbulkan lumen-
negative electrical potential. Potensial negati8f ini akan meningkatkan sekresi kation
(seperti kalium) ke dalam lumen tubular.
Aldosteron, yang dihasilkan oleh korteks adrenal juga memiliki peran penting
dalam
mekanisme
pengaturan
sekiresi
kalium
di
tubulus
ginjal
untuk
Berbagai factor lainnya juga akan meningkatkan sekresi dari kalium. Keadaan
peningkatan plasma kalium dapat secara langsung meningkatkan sekresi kalium
karena adanya kalium dalam jumlah tinggi yang mencapai sel tubular. Hal ini juga
akan menstimulasi pelepasan aldosterin sehingga meningkatkan sekresi kalium. Bila
distal tubular fluid flow rate meningkat, maka kalium yang disekresi juga akan
terbilas lebih cepat, yang akan membantu mempertahankan gradient konsentrasi yang
diperlukan dalam sekresi pasif kalium. Peningkatan volume ECF juga akan
meningkatkan jumlah natrium dan cairan tubular yang mencapai nefron distal
sehingga juga meningkatkan sekresi dari kalium. Namun demikian, peningkatan
volume ECF juga akan menekan pelepasan aldosteron untuk menekan sekresi dari
kalium. Sehingga, hasil akhir dari mekanisme ini berupa peningkatan dari ekskresi
kalium ginjal pada awalnya, kemudian diikuti oleh penurunan secara gradual seiring
waktu. Faktor lainnya yang dapat meningkatkan lumen-negative potential dan
meningkatkan sekresi kalium tubular adalah adanya anion-anion yang sulit diserap
(sulfat, ketoanion) yang tetap tidak terserap dalam lumen dari cortical collecting
tubule, sehingga menciptakan perbedaan gradient yang sesuai (lumen-negative
potential) untuk sekresi kalium. Pada kasus alkalosis metabolic, kalium akan masuk
ke dalam sel untuk menggantikan ion hydrogen yang hilang sehingga
mempertahankan electroneutrality.
Hanya sebagian kecil dari kalium yang disekresi melalui feses, karena volume
feses yang sedikit dan konsentrasi kalium pada feses yang juga sedikit. Kondisi yang
dapat meningkatkan konsentrasi kalium feses diantaranya gagal ginjal and
hiperkalemia, sedangkan peningkatan volume feses seperti diare akan meningkatkan
eksresi kalium pada feces. Gagal ginjal kronis dapat menyebabkan perubahan adaptif
dimana kalium dalam jumlah besar (20-30 mEq/L) diekskresikan dalam feses.
kalium
secara
aktif.
Potassium
conservation
akan
membantu
2.2.1
Hipokalemia adalah salah satu jenis gangguan keseimbangan elektrolit yang paling
sering dijumjpai pada praktek klinis. Gejala klinis dapat bervariasi mulai dari
asimptomatis (dengan gangguan elektrolit ditemukan secara tidak sengaja melalui
pemeriksaan laboratorium), kelemahan tubuh ringan hingga kematian mendadak.
Angka kejadian hipokalemia bergantung erat dengan populasi pasien. Pada orang
dewasa yang sehat tanpa riwayat pengobatan tertentu, kurang dari 1% yang akan
mengalami hipokalemia, yang ditandai dengan serum kalium < 3.5 mEq/L.
Rendahnya frekuensi hipokalemia diakibatkan karena 2 hal: cukupnya kebutuhan
kalium dalam asupan makanan harian dan mekanisme ginjal dalam mempertahankan
kadar serum kalium. Adanya hipokalemia pada orang dewasa sehat yang tidak
memiliki riwayat pengobatan tertentu mengindikasikan kemungkinan adanya
penyakit dasar yang perlu dicaritahu penyebabnya.
Umumnya kasus hipokalemia terjadi dalam suatu keadaan yang spesifik. Pasien yang
menerima terapi diuretic memiliki risiko paling tinggi, di mana 50% pasien akan
mengalami penurunan serum kalium < 3.5 meq/L. Diuretik thiazide lebih sering
menyebabkan hipokalemia dibandingkan dengan golongan diuretic kuat. Individu
dengan hiperaldosteronisme sekunder, baik karena gagal jantung kongestif,
insufisiensi hepar maupuan sindrom nefrotik berada dalam peringkat kedua kelopok
pasien dengan risiko tinggi menjadi hipokalemia. Akhirnya, pasien dengan penyakit
yang
mengubah
kemampuan
mempertahankan
kalium
oleh
renal
(dalam
10
11
12
13
14
15
dihubungkan dengan gejala kelemahan otot, fatigue, malaise, dan myalgia. Pada
kasus hipokalemia berat, paralisis otot serta rhabdomyolisis dapat terjadi. Efek
hipokalemia pada fungsi neuromuscular ditentukan secara utama oleh perubahan
membran potensial. Hipokalemia berakibat pada hiperpolarisasi dari membrane. Hal
ini akan meningkatkan ambang untuk terjadinya potensial aksi, sehingga
menyebabkan kelemahan otot. Dengan hipokalemia berat, saluran natrium pada
membrane juga dapat terinaktivasi yang menyebabkan paralisis.
Pada aktivitas olahraga, kadar kalium lokal dalam otot rangka akan meningkat
untuk mempertahankan vasodilatasi, yang merupakan syarat untuk perfusi otot yang
adekuat. Maka kekurangan kalium merupakan salah satu predisposisi seseorang
mengalami iskemia otot selama aktivitas olahraga. Pada kasus yang berat iskemia
otot dapat berkembang menjadi rhabdomyolisis.
2.2.3
16
mendatar, dan gelombang U yang nyata. Gelombang U yang nyata dapat muncul
sebagai pemanjangan dari QT interval.
Efek Metabolik
Pasien hipokalemia
cenderung
mengalami
intoleransi
karbohidrat.
17
defisiensi kalium dapat dihubungkan dengan growth retardation dan gagal tumbuh
pada anak.
2.2.5
Penatalaksanaan Hipokalemia
Pada hipokalemia ringan dengan kalium plasma kurang dari atau sama dengan
18
19