Anda di halaman 1dari 17

NUTRITION FOR MULTIPLE TRAUMA PATIENT

I. PENDAHULUAN
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi ini
memberikan gambaran superfisial dari respon fisik terhadap cedera. Trauma juga
mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya, trauma adalah
kejadian yang bersifat holistik dan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas
seseorang. Contoh : fraktur jari tangan seorang pemain piano atau seorang ahli bedah,
dampaknya sangat berat dan dapat menghentikan karirnya, sementara cedera yang
sama pada orang dengan profesi lain merupakan gangguan yang ringan.
Hampir setiap trauma merupakan trauma majemuk. Yang penting adalah
menentukan berapa organ dan sistem tubuh yang cedera. Karena itu penting untuk
membedakan cedera berat yaitu yang mengenai satu atau lebih daerah tubuh (kepala,
leher, toraks, vertebra, abdomen, pelvis, dan tungkai), dan cedera kritis, yaitu yang
menyebabkan kegagalan satu atau lebih sistem tubuh (saraf, pernapasan,
kardiovaskuler, hati, ginjal, dan pankreas).
Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur di bawah
35 tahun. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor empat, tetapi
pada kelompok umur 15-25 tahun, merupakan penyebab kematian utama. Sayangnya,
penyakit akibat trauma sering ditelantarkan padahal ia merupakan penyebab kematian
utama pada kelompok usia muda dan produktif di seluruh dunia. Angka kematian ini
dapat diturunkan melalui upaya pencegahan trauma dan penaggulangan optimal yang
diberikan sedini mungkin pada korbannya.
Pasien yang mengalami trauma berat akan mengalami respon fase-akut yang
lama, kehilangan berat badan dengan cepat, dan resiko malnutrisi, hal ini dikarenakan
pasien sulit untuk memakan makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
energinya. Perubahan klinis yang signifikan pada fungsi-fungsi organ selama pasien
kehilangan berat badan akan meningkatkan angka kematian sampai dengan 40%.
Oleh sebab itu, bantuan nutrisi bagi penderita trauma, dewasa ini, merupakan suatu
hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
II. ETIOLOGI TRAUMA
Cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan,
perlambatan (deselerasi), dan kompresi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru,
ledakan, panas, atau zat kimia. Trauma juga sering diakibatkan oleh kecelakaan lalu
lintas.

I.

PATOLOGI TRAUMA

Luka Tembak
Luka tembak mempunyai cirri yang khas. Beratnya cedera akibat luka tembak
tidak hanya tergantung dari jaringan yang terkena atau jaringan sekitarnya tapi juga
dari jenis senjata atau peluru yang dipakai. Beratnya cedera akibat luka tembak
tergantung dari energi kinetik yang membentur jaringan. Besarnya energi dipengaruhi
oleh massa, kecepatan, dan gaya berat peluru. Cedera luka tembak dapat disebabkan
oleh peluru berkecapatan rendah maupun tinggi.
Ketika peluru mengenai jaringan, timbul suatu gelombang kejut yang
menyebar dari peluru secepat kecepatan suara di dalam air (1500 m/detik). Kerusakan
yang diakibatkannya dapat jauh lebih luas dari jalur pelurunya sendiri. Gelombang
kejut tersebut akan menyebabkan terjadinya rongga sekitar jalur peluru. Hampa udara
yang terjadi akan menyedot kotoran dari luar, juga menyedot pembuluh darah dan
saraf ke dalam jalan peluru. Kejadian ini menyebabkan kerusakan, perdarahan, dan
kontaminasi yang luas.
Luka akibat peluru yang tidak berubah bentuk pada benturan tidak separah
luka akibat peluru yang pecah pada benturan (soft bullet) karena peluru ini
menghabiskan semua energi pada waktu mengenai jaringan dan menyebabkan cedera
lokal yang lebih serius.
Peluru yang mengenai tulang akan menyebabkan cedera lebih gawat karena
pecahan tulang merupakan peluru sekunder yang menyebabkan kerusakan lebih
lanjut. Peluru yang melesatnya jungkir balik pun akan menyebabkan cedera yang luas
karena peluru merusak jaringan bukan dengan ujungnya melainkan dengan panjang
badannya dan dengan kecepatan seperti kecepatan keluarnya peluru dari laras
senapan.
Trauma Tumpul
Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau
organ di bawahnya. Trauma tumpul dapat berupa benturan benda tumpul,
perlambatan (deselerasi), dan tekanan. Benturan benda tumpul pada toraks dapat
menimbulkan cedera berupa patah tulang iga; patah tulang iga majemuk menyebkan
terjadinya flail chest yang tampak dalam gerakan napas dinding dada yang paradoksal
yaitu bagian dinding dada yang terlepas melesak ke dalam ketika inspirasi dan
menonjol keluar sawaktu ekspirasi. Biasanya terjadi juga hematotoraks dan
pneumotoraks akibat kerusakan pleura dan jaringan paru. Benturan benda tumpul
pada abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi atau
organ padat berupa perdarahan.
Cedera perlambatan sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah
tabrakan badan masih melaju dan kemudian tertahan suatu benda keras sedangkan
bagian tubuh yang relatif tidak tertahan bergerak terus dan menyebabkan terjadinya

robekan pada hilus organ tersebut. Cedera kompresi atau tekanan terjadi bila orang
tertimbun runtuhan atau longsoran yang menimbulkan tekanan secara tiba-tiba pada
rongga dada.
Cedera ledak adalah luka atau kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh
ledakan bom, granat dan ledakan dalam air. Kerusakan jaringan dapat disebabkan
oleh pecahan logam atau energi yang ditimbulkan oleh ledakan.
Kecelakaan Lalu Lintas
Korban kecelakaan lalu lintas dapat diduga jenis cederanya dengan meneliti
riwayat trauma dengan cermat. Pengemudi yang tidak memakai sabuk pengaman
dapat mengalami lima fase pergerakan bila terjadi tabrakan dari depan, yaitu :
1. Korban akan tersungkur ke depan dan lututnya membentuk dasbor sehingga
terjadi fraktur patela dan atau luksasi sendi panggul.
2. Kepala membentur bingkai kaca depan dan dapat terjadi trauma kepala,
cedera otak dan fraktur servikal.
3. Dadanya membentur kemudi sehingga dapat terjadi fraktur sternum, fraktur
iga dan cedera jantung dan paru.
4. Kepala membentur kaca depan sehingga terjadi trauma muka.
5. Korban terbanting kembali ke tempat duduknya dan kalau tidak ada sandaran
kepala maka terjadi cedera gerak cambuk pada tulang leher.
Kejadian yang sama terjadi juga pada penumpang yang duduk di sebelah
pengemudi. Hanya, disini tidak ada kemudi sehingga muka terbentur pada dasbor
dulu sebelum mengenai kaca depan dan tidak banyak cedera dinding depan toraks.
Penumpang di belakang, pada tabrakan dari depan, akan terlempar ke depan dan
kepala mengenai sandaran kursi depan sehingga terjadi hiperekstensi kepala yang
mengakibatkan cedera pada tulang leher. Trauma pada pengemudi maupun
penumpang dapat dihindarkan kalau sabuk pengaman dipakai dengan baik sehingga
angka mortalitas dapat ditunkan sampai 50%. Sabuk pengaman yang tak memenuhi
syarat atau salah cara memakainya dapat menyebabkan trauma tersendiri misalnya
fraktur klavikula, fraktur iga, ruptur hati atau limpa, perforasi usus, dan rupture bulibuli.
Sekitar 60-75% korban trauma sepeda motor menderita cedera pada daerah
tibia karena bemper mobil tingginya sama dengan tungkai bawah. Selain itu korban
akan terlempar ke jalan atau ke atas dan kepala membentur bingkai atas kaca mobil
sehingga terjadi hiperekstensi kepala dengan cedera otak dan cedera tulang leher.
Harus juga diingat kemungkinan terjadinya cedera abdomen yaitu terjepitnya usus di
antara setang setir dan tulang belakang, namun pada pemeriksaan fisik hanya ada
jejas pada baju atau kulit perut. Pembonceng akan mengalami hal yang sama kecuali
cedera kemudi sepeda motor.
Pejalan kaki akan mengalami trauma yang hampir sama dengan pengendara
sepeda motor atau sepeda karena ia juga akan terlempar ke jalan atau ke bingkai kaca
dan juga dapat terjadi trauma abdomen atau ginjal.

Cedera Listrik
Jika tubuh dialiri arus listrik akan terjadi kontraksi otot. Bila terpegang arus
listrik, misalnya, tangan tak dapat lepas dari sumber listrik tersebut karena fleksor jari
jauh lebih kuat daripada ekstensor jari.
Kontraksi otot yang hebat dapat menyebabkan patah tulang misalnya
kompresi tulang belakang. Pernapasan mungkin berhenti bila aliran listrik mengenai
diafragma atau otot interkostal.
Luka bakar di tempat aliran listrik masuk dan keluar mungkin kelihatan kecil,
tetapi di sebelah dalam terjadi nekrosis yang lebih luas. Korban mungkin pingsan dan
mengalami cedera tambahan karena jatuh. Dapat terjadi gangguan neurologik perifer
karena cedera saraf motorik dan/atau sensorik. Sedangkan vibrilasi ventrikel jantung
dapat menyebabkan kematian mendadak.
IV. ANAMNESIS
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat
perlukaan. Seringkali data seperti ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri, dan
harus didapat dari petugas lapangan atau keluarga. Riwayat AMPLE patut diingat :
A : alergi
M : medical
P : past illness
L : last meal
E : event/environment yang berhubungan dengan kejadian trauma
Dalam menanggulangi trauma harus diketahui riwayat terjadinya trauma
karena dari riwayat tersebut dapat diketahui atau diduga bagian tubuh yang cedera
dan jenis kelainannya. Pada luka tusuk dapat diperkirakan organ mana yang terkena
dengan mengetahui arah tusukan, bentuk pisau atau golok, dan cara memegang alat
penusuk tadi. Seseorang yang jatuh kepala dulu, selain cedera kepala, besar
kemungkinan juga menderita patah tulang leher, sedangkan jatuh terduduk dapat
mengakibatkan patah tulang punggul atau lumbal. Begitu juga bila jatuh berdiri dari
ketinggian, cedera ini dapat menimbulakan patah tulang kompresi tulang kalkaneus.
Korban kecelakaan lalu lintas dapat diduga jenis cederanya dengan mengetahui
apakah ia pengemudi, penumpang di samping pengemudi, penumpang di belakang
pengemudi, pengendara sepeda motor, pembonceng atau pejalan kaki.
V. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena,
kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat trauma.
Prioritas yang selalu harus diingat adalah :
1. Apakah jalan nafas bebas?
2. Apakah penderita bernafas dengan leluasa?
3. Apakah nadi dapat diraba dan jantung berdenyut?
4. Apakah ada pendarahan masif?

Dalam menilai sirkulasi, sifat dan kualitas nadi lebih peka dibandingkan
tekanan darah, karena tekanan darah sifatnya relatif. Manifestasi klinis dari gangguan
stabilitas kardiovaskuler adalah rasa haus dan lemas. Rasa ini diikuti oleh tanda
semacam hipotensi, takikardia, pucat, gelisah, dingin daerah akral, menurunnya
pengisian kapiler, sianosis dan menurunnya produksi urin. Tindakan berikutnya
adalah melakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh.
VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium pada trauma, selain golongan darah, pemeriksaan
kadar hemoglobin dan hematokrit serta pemeriksaan sedimen urin dapat membantu
menentukan adanya cedera atau pendarahan di saluran kemih.
VII. PENCITRAAN
Pencitraan rontgen berguna dalam menentukan adanya patah tulang,
sedangkan sonografi berguna, terutama untuk pemeriksaan jaringan padat, seperti
hati, pankreas, limpa dan ginjal. Bila perlu dilakukan CT scan untuk pemeriksaan
otak dan tengkorak.
VIII. PENILAIAN DERAJAT TRAUMA
Luas dan beratnya trauma ditentukan oleh nilai derajat trauma yang dipakai
sejak 1981 dan memberikan gambaran beratnya trauma, berdasarkan pemeriksaan
pernapasan, pendarahan, dan kesadaran. Angka ini penting untuk menentukan
klasifikasi dan prognosis penderita cedera berat. Penilaian gerak napas di dada dan
pengisian kembali kapiler tidak digunakan untuk menilai derajat trauma sebab sukar
menentukan angka bakunya. Pernapasan ditentukan frekuensinya, perdarahan dinilai
berdasarkan tekanan darah arterial, sedangkan kesadaran diukur berdasarkan skala
koma Glasgow ( trauma severity score = Glasgow coma score ) yang direduksi kirakira seperempat dari angka penilaiannya.
Untuk derajat trauma, setiap parameter diberi angka 0 sampai 4 (makin rendah
makin buruk keadaan). Beratnya trauma diperkirakan berdasarkan jumlah semua
angka; jadi terendah adalah 0 dan yang tertinggi 12.

Tabel 2. Angka Derajat Trauma


Pemeriksaan
Angka
Pernapasan (kali/menit)
10-29
4
>29
3
6-9
2
1-5
1
0
0
Tekanan sitol (mmHg)
>89
76-89
50-75
1-49
0

4
3
2
1
0

Skala koma Glasgow


13-15
9-12
6-8
4-5
3

4
3
2
1
0

Tabel 3. Skala Koma Glasgow

Angka
E. Mata membuka
spontan
setelah dipanggil
dengan rangsang nyeri
tidak pernah
M. Respons motorik
mengikuti perintah
dapat menunjuk letak nyeri
gerak fleksi menarik
gerak menarik anggota badan
gerak meluruskan anggota
tidak ada
V. Respon verbal
pembicaraan terarah
bingung, bicara tak terarah
bicaraan kacau
suara tak dimengerti
tidak ada

4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1

IX. RESPON METABOLIK


Pada kejadian trauma, akan timbul respon metabolik yang secara umum
berhubungan denga tingkat keparahan trauma.
Respon metabolik yang terjadi pada trauma dapat dibagi menjadi dua fase,
yaitu :
1. Ebb Phase
Fase ini terjadi sesaat setelah trauma dan berlangsung dalam jangka waktu yang
pendek yaitu sekitar 12-24 jam. Fase ini berhubungan dengan terjadinya syok
hipovolemik dan hipoksia jaringan. Manifestasi dari fase ini pada umumnya
adalah penurunan cardiac output, konsumsi oksigen, tekanan darah dan suhu
tubuh. Tingkat insulin pun menurun sebagai respon langsung terhadap
peningkatan

glukagon, dan hal ini sebagian besar sebagai sinyal untuk meningkatkan produksi
glukosa di hepar
2. Flow Phase
Fase ini terjadi setelah pemberian resusitasi cairan dan pemulihan transpor oksigen.
Fase ini ditandai dengan peningkatan cardiac output, konsumsi oksigen, suhu tubuh,
energy expenditure, dan total body protein catabolism, hipermetabolisme serta
metabolisme glukosa yang terganggu. Secara fisiologis, terdapat tanda-tanda
peningkatan pada produksi glukosa, pelepasan asam lemak bebas, tingkat sirkulasi
insulin, katekolamines, glukagon, dan kortisol.
Tabel 1. Karakteristik Fase-Fase Metabolik pada Trauma
EBB PHASE
FLOW PHASE
RESPONSE
Acute Response
Adaptife Response
Hypovolemic Shock
Catabolism Predominates
Anabolism Predominates
tissue perfusion
glucocorticoids
Hormonal response
gradually diminishes
metabolic rate
glucagons
hipermetabolic rate
oxygen consumption
catecholamines
Associated with recovery
blood pressure
Release of cytokines,
Potensial for restoration
lipid mediators
of body protein
body temperature
Production of acute
Wound healing depends
phase proteins
in part on nutrient intake
excretion of nitrogen
metabolic rate
oxygen consumption
Impaired utilization of fuels
Hipermetabolisme
Gangguan metabolisme energi pada pasien trauma didasarkan pada perubahan
Energy Expenditure akibat respon metabolik terhadap stress, di mana pada kondisi
hipermetabolisme terjadi peningkatan Basal Metabolic Rate (BMR) yang diprediksi
berdasarkan umur, jenis kelamin dan ukuran tubuh.
Pada fase Ebb, terjadi ketidakstabilan hemodinamik, penurunan perfusi jaringan,
dan kadar pelepasan katekolamin yang tinggi. Fase ini ditandai dengan total konsumsi
oksigen (VO2) yang rendah, penurunan suhu tubuh, vasokontriksi, Cardiac Output
rendah, dan Basal Metabolic Rate yang rendah.
Fase Ebb akan digantikan oleh fase Flow di mana terjadi hipermetabolisme yang
ditandai dengan VO2 yang tinggi, kehilangan protein dan nitrogen yang cepat, dan
peningkatan Basal Metabolic Rate. Tingkat hipermetabolisme berhubungan dengan
tingkat keparahan dari trauma. Pada pasien dengan trauma majemuk BMR meningkat
sebesar 50%.
Bersamaan dengan terjadinya hipermetabolisme, terjadi peningkatan suhu sekitar
1 s.d. 2oC. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan thermoregulatory setpoint pada
otak sebagai respon terhadap trauma.

Karbohidrat ( glukosa )
Setelah mengalami trauma, perubahan metabolisme yang terjadi adalah
hiperglikemi dan peningkatan kadar gula darah puasa yang berbanding lurus dengan
derajat beratnya stress yang terjadi pada fase Ebb. Pada saat itu, tingkat insulin rendah
dan produksi glukosa hanya sedikit meningkat. Setelah itu, selama fase Flow,
konsentrasi insulin normal atau meningkat; namun hiperglikemi tetap berlangsung. Hal
ini menunjukan adanya perubahan yang terjadi antara sensitivitas insulin dan penggunaan
glukosa. Resistensi insulin diinduksi oleh hormon-hormon stress dan mediator inflamasi.
Produksi glukosa hepatik terus meningkat dan terjadi glukoneogenesis yang dipercepat
sehubungan dengan tingkatan trauma.
Pada pasien trauma, penggunaan glukosa oleh sistem saraf pusat hampir normal
(120g/hari), sedangkan pada ginjal meningkat dua kali dari normal (75g/hari). Namun
pada otot skelet, hanya sedikit glukosa yang digunakan, di mana sisanya digunakan oleh
bagin tubuh yang cedera. Bagian tubuh yang cedera menggunakan glukosa secara
anaerob sehingga dihasilkan produksi laktat yang meningkat. Laktat yang dihasilkan akan
dibentuk kembali menjadi glukosa di dalam hati melalui cori cycle.
Pemberian insulin gagal untuk meningkatkan penggunaan glukosa. Selain itu
pemberian glukosa maupun insulin juga gagal menekan produksi glukosa endogen.
Protein
Katabolisme otot yang terus menerus merupakan masalah utama pada pasien
trauma. Lebih dari 21 hari setelah trauma, pasien akan kehilangan 16% dari jumlah total
protein tubuhnya. Setelah 10 hari pertama, hampir dari protein yang hilang berasal dari
otot skelet..
Katabolisme protein yang meningkat menyebabkan peningkatan ekskresi nitogen.
Ekskresi nitrogen ini berhubungan dengan luasnya trauma dan status nutrisi sebelum
terjadinya trauma.
Keseimbangan nitrogen akan menjadi negatif bila kecepatan katabolisme
meningkat dan sintesis protein tetap, atau kecepatan katabolisme tetap dan kecepatan
sintesis protein meningkat. Pada pasien trauma, terjadi peningkatan katabolisme protein
yang melebihi kecepatan sintesis. Akibatnya terjadi keseimbangan negatif.
Terdapat dua teori berbeda yang menjelaskan mengenai peningkatan katabolisme
protein tersebut :
1. Teori Klasik
Teori ini mengatakan bahwa katabolisme protein terjadi demi tersedianya asam amino
untuk sintesis glukosa via glukoneogenesis, untuk sintesis acute-phase protein dan
perbaikan jaringan, serta untuk oksidasi langsung untuk pembentukan energi.
2. Teori Alternatif
Teori ini menjelaskan pentingnya persediaan glutamine untuk sel-sel imun.
Katabolisme protein pada otot menyebabkan peningkatan pelepasan asam amino
oleh otot. Branched Chain Amino Acid (BCAA) mengalami transaminasi bersama ketoglutarat menghasilkan Branched Chain Keto Acid (BCKA) dan glutamat. BCKA
akan dikonversi menjadi zar intermediet Ticarboxylic Cycle (TCA) atau masuk kedalam
sirkulasi darah. Glutamat berperan sebagai prekursor untuk sintesis glutamin dan donor
amino pada sintesis alanin. Oksidasi BCKA oleh otot akan meningkat pada kondisi
trauma. Begitu pula dengan pelepasan alanin dan glutamin oleh otot.

Glutamin diekstrasi oleh ginjal untuk mengekskresikan asam dengan membentuk


amonium. Efek ini diperkuat oleh hormon glukokortikoid. Glutamin jugan digunakan
oleh traktus intestinum sebagai sumber energi. Sel enterosit usus mengubah glutamin
menjadi amonia dan alanin yang kemudian disekresikan ke pembuluh darah vena porta.
Amonia kemudian akan dikonversi menjadi urea dalam hati dan diekskresi, sedangkan
alanin akan dibawa ke hati untuk menjadi prekursor glukoneogenesis. Reaksi ini juga
ditingkatkan oleh rangsangan glukokortikoid.
Lipid
Profil lipid berubah setelah trauma. Kadar HDL menurun dengan drastic, kadar
LDL menurun sedikit, sedangkan kadar VLDL meningkat. Kadar kolesterol total
menurun dimana kadar trigliserid meningkat. Mekanisme yang bertanggungjawab
terhadap perubahan ini adalah kompleks, termasuk di dalamnya sitokin dan hormomhormon stress terutama epinefrin melaui stimulasi 2 adrenergik.
Untuk membantu hipermetabolisme, peningkatan glukoneogenesis, dan fluks
subsrat interorgan, terjadi peningkatan kecepatan mobilisasi dan oksidasi cadangan
trigliserid. Hal ini diikuti pula oleh peningkatan turn over gliserol sebanyak dua kali lipat
dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas.
Pasien dengan trauma berat dan tidak mendapat asupan makanan akan kehilangan
cadangan protein dan lemak dengan cepat. Keadaan malnutrisi ini dapat meningkatkan
resiko perdarahan, infeksi, dan lebih lanjut lagi kegagalan sistem organ, sepsis, dan
kematian.
Respon Hormonal
Pada semua fase trauma, terjadi peningkatan hormon glukagon, glukokortikoid
dan katekolamin. Selama fase ebb, axis simpatoadrenal terutama berfungsi untuk
mempertahankan sirkulasi dan tekanan darah. Aktivitas axis simpatoadrenal bersama
dengan peningkatan respon hormon memberikan berbagai respon metabolik.
Glukagon memilik efek yang poten terhadap proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis di hati. Kortisol memobilisasi asam amino dari otot skelet,
meningkatkan glukoneogenesis di ahti dan memelihara cadangan lemak dalam tubuh.
Katekolamin merangsang glukoneogenesis hepar dan glikolisis, meningkatkan produksi
laktat dari jaringan perifer, meningkatkan kecepatan metabolisme dan merangsang
lipolisis.
Sitokin
Sitokin dihasilkan baik oleh sel endotel jaringan atau organ yang mengalami
trauma dan oleh sel-sel imun. Sinyal polipeptida ini dihasilkan oleh organ sebagai respon
terhadap bakteriemia atau endotoksinemia. Adapun sitokin yang paling berperan dalam
respon ini adalah TNF, IL-1, IL-2, IL-6 dan IFN.
TNF merupakan sinyal utama yang menginisiasi respon metabolik terhadap
trauma dan infeksi. TNF merangsang penggunaan asam amino pada hepar dan sel
endotel. IL-1 berperan dalam respon protein fase akut, termasuk peningkatan pemecahan
protein myofibril dan sekresi asam amino oleh otot skelet, terutama glutamin. Seperti
TNF, IL-1 juga merangsang transpor glutamin ke sel endotel dan hepar.

X. PENANGGULANGAN TRAUMA
Urutan prioritas tindakan pada penderita cedera berat adalah resusitasi, kemudian
penanganan cedera yang mengancam jiwa, cedera tulang besar, tulang belakang, dan
akhirnya cedera kulit, jaringan lunak, tendon dan saraf.
Pertolongan di luar rumah sakit terdiri atas trias resusitasi (Airway, Breathing, dan
Circulation), menghentikan pendarahan, menjamin perlindungan cedera tulang belakang,
dan membidai patah tulang ekstremitas.
Tiga Kelompok Penderita Trauma
Ada tiga kategori penderita trauma menurut tingkat kegawatan cederanya dan
proritas penanggulangan sesuai dengan tingkat cedera :
1. Golongan pertama
Korban trauma yang menyebabkan gangguan faal organ vital seperti otak dan jantung
sehingga dapat menyebabkan kematian. Golongan ini memerlukan pertolongan
segera karena ABC tidak ada atau tidak stabil.
2. Golongan kedua
Cedera yang tidak membahayakan jiwa, seperti luka tembak, luka tusuk, atau trauma
tumpul toraks dan abdomen dengan tanda vital yang masih baik.
3. Golongan ketiga
Penderita trauma ringan atau yang pada pemeriksaan tidak memperlihatkan kelainan
yang jelas.
Resusitasi
Resusitasi merupakan tindakan pertolongan terhadap seseorang yang terancam
jiwanya karena gangguan pernapasan yang kadang disertai henti jantung. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di industri atau di rumah,
tenggelam, cedera listrik, dan lain-lain.
Sebelum resusitasi dimulai harus diperhatikan keselamatan penolong dan korban.
Kemudian segera upayakan pertolongan yang dibutuhkan seperti petugas kesehatan,
ambulans, dan polisi
Resusitasi ditujukan untuk menjamin tersedianya oksigen di jaringan vital,
terutama otak dan miokard. Untuk itu dibutuhkan jalan napas yang bebas (A = airway),
pernapasan dan ventilasi paru (B = breathing) yang baik, serta transport melalui
peredaran darah (C =circulation) yang memadai.
Tabel 4. Prioritas Tindakan Pada Cedera Berat atau Cedera Majemuk
Resusitasi
A. (airway): membebaskan jalan napas
keluarkan penyebab obstruksi orofaring (gigi, darah, muntahan)
letakan lidah di depan dengan hiperekstensi kepala
pasang pipa mayo, Guedel, atau lakukan intubasi
B. (breathing): memelihara pernapasan
napas buatan
intubasi
tanggulangi luka toraks, pneumotoraks, hematotoraks
C. (circulation): memelihara perdarahan
atasi hipovolemi (hentikan perdarahan, infus)
pungsi tamponade jantung
kempaan toraks atau masase jantung (15 kompresi : 2 napas)

Cedera yang mengancam jiwa


perdarahan intra kranial
perdarahan dalam toraks dan atau/ perut
cedera pembuluh darah besar
Dalam penanggulangan trauma majemuk, selain melakukan trias resusitasi sebagai
tindakan pertama, juga harus diketahui riwayat cederanya sehingga dapat diperkirakan
organ dan sistem tubuh mana yang akan mengalami kegagalan. Sambil melakukan
resusitasi, dipasang dua infus di tangan. Pemberian infus dimulai dengan larutan NaCl,
ringer laktat, atau darah sebanyak 1000 cc.
XI. NUTRITIONAL ASSESSMENT
Penilaian nutrisi pada pasien trauma membantu klinisi untuk menentukan
kebutuhan harian energi dan protein. Riwayat medis dan pemeiksaan penting untuk
diperhatikan.
Nutritional assessment dan kebutuhan nutrisi pada pasien trauma dapat ditentukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menentukan BMR berdasarkan umur, jenis kelamin, dan BSA dari tabel Fleisch dan
Harris-Benedict Equation ( BMR dalam kcal/hari ).
2. Menentukan peningkatan persentase angka metabolik (faktor stress) kemudian
dikalikan dengan BMR.
Faktor stress adalah persentase peningkatan kebutuhan energi dan tergantung dari
berat ringannya penyakit. Faktor stress dipengaruhi oleh suhu tubuh, aktivitas fisik
dan luasnya trauma.
3. Menambahkan hasil no. 2 dengan BMR ( stress factor x BMR + BMR ).
4. Tambahkan 25% BMR.
Penambahan 25% ini ditujukan untuk menghitung EE berkaitan dengan pengobatan
dan aktivitas selama di rumah sakit (berjalan, terapi fisik, duduk, dll). Penambahan ini
tidak berlaku bagi pasien yang tidak aktif.
5. Total hasil dari langkah 1-3 adalah kebutuhan energi pasien trauma untuk
mempertahankan berat badannya.
6. Untuk menentukan kebutuhan nitrogen, hasil pada langkah 4 dibagi oleh 150. Rasio
nitrogen terhadap kalori non protein pada orang normal sebesar 1:300 s.d. 350. Jadi,
untuk setiap 300 s.d. 350 kcal energi, diberikan 1g N. Pada pasien yang dalam kondisi
kritis, rasio optimal nitrogen dengan kalori non nitrogen berkisar antara 1:150 dan
1:200. Dari hasil tersebut dapat ditentukan kebutuhan protein.
Protein = 6,25 nitrogen
Jadi, sekitar 15 s.d. 20% asupan energi harus berasal dari protein.
7. Diperkirakan 60-70% dari kebutuhan kalori pada langkah 4 sebagai kebutuhan
glukosa pasien.
Berdasarkan penelitian Black,dkk. Pemberian glukosa menunjukkan adanya
kecepatan penggunaan glukosa yang konstan sekitar 6 s.d. 7mg/kg/ menit, di mana
berdasarkan nilai ini diperkirakan kebutuhan kalori dari glukosa sebanyak 60 s.d.
70% asupan energi. Pemberian glukosa yang lebih besar dapat berhubungan dengan
peningkatan komplikasi seperti hiperglikemia, kondisi heperosmotik, disfungsi hepar
dan insufisiensi respirasi.
8. Sisa dari kebutuhan kalorik di atas ditentukan sebagai kebutuhan lemak pasien.

Bila glukosa digunakan sebagai sisa dari kebutuhan kalori, insulin mungkin
dibutuhkan untuk mencegah hiperglikemi. Emulsi lemak harus diberikan 2-3 kali
perminggu untuk memenuhi kebutuhan asam lemak esensial.
9. Perlu dilakukan penilaian ulang terhadap kebutuhan energi dan nitrogen setidaknya
dua kali seminggu. Berat badan pasien tetap dipantau setiap harinya.
Pemeriksaan Nutrisi Tambahan
Bila dengan langkah-langkah di atas pemberian nutrisi tidak memberikan hasil
yang memuaskan karena pasien kehilangan berat badan secara bertahap, kebutuhan
energi dapat diukur dengan Indirect Calorymetry, dengan penggunaan parameter
respiratori berupa konsumsi oksigen (VO2) dan produksi karbondioksida (VCO2). VO2
dan VCO2 ditentukan dalam keadaan istirahat, tidak stress, dan dalam kondisi basal
(Resting Energy Expenditure).
Hubungan parameter respirasi dengan EE :
Metabolic rate (kcal/jam) = 3,9 VO2 (L/jam) + 1,1 VCO2 (L/jam)
Untuk menentukan kebutuhan energi pasien, nilai harus ditingkatkan 20-30%untuk
aktivitas fisik yang minimal.
Keseimbangan nitrogen membantu untuk menentukan efektivitas pemberian
nutrisi. Olehkarena itu keseimbangan nitrogen harus ditentukan pada riwayat klinis yang
tidak memuaskan .
N bal ( gr/hari ) = N in N out
Hampir semua nitrogen diekskresikan melalui urin, terutama dalam bentuk urea. Oleh
karena itu dilakukan pengukuran Urine Urea Nitrogen (UUN). Nilai UUN ini merupakan
80% dari nitrogen pada urin. Sebagai tambahan, sekitar 2g/hari nitrogen diekskresikan
melalui feses maupun kulit. Jadi penghitungan nitogen yang diekskresikan adalah :
Nout = (UUN: 0,8 ) + 2 g/hari + a
a = kehilangan nitogen dari luka.
Nitrogen diperkirakan sebesar 16% dari asupan protein. Jadi penghitungan asupan
nitrogen adalah :
Nin = protein intake (g/hari) x 0.16
Ekskresi UUN dalam gram/hari, selain dapat digunakan untuk menentukan
nitrogen output, dapat pula digunakan untuk mengevaluasi derajat hipermetabolisme.
Tabel 5. Derajat Hipermetabolisme berdasarkan UUN
UUN

Derajat Metabolisme

0-5
5-10
10-15
> 15

Normometabolism
Mild hypermetabolism / level 1 stress
Moderate hypermetabolism / level 2 stress
Severe hypermetabolism / level 3 stress

X. DRUG THERAPY
Pemberian obat-obatan bagi penderita trauma ditujukan sebagai bantuan hidup
lanjutan setelah penderita menerima trias ABC, dan untuk membantu penderita mencapai

kondisi yang stabil dan pemulihan sirkulasi spontan. Pemberian obat-obtan ini umunya
dibarengi pula dengan pemberian cairan melalui infus.
Adrenalin (Epinefrin) 0,5-1 mg I.V. Ulangi dosis lebih besar jika perlu NATRIUM
BIKARBONAT 1 mEq/kg I.V., jika henti jantung lebih dari 2 menit. Dosis ini diulangi
setiap 10 menit sampai timbul denyut nadi. Monitor dan normalkan pH arteri.
XI. NUTRITIONAL THERAPY
Karbohidrat
Studi menggunakan Inirect Calorymetry menunjukan bahwa nilai infus glukosa
yang memberikan hasil maksimal dari oksidasi glukosa adalah 7 mg/kgBB/menit.
Pemberian karbohidrat harus memenuhi 60-70% dari kalori non-protein. Insulin harus
diberikan pula untuk menjaga kadar glukosa darah sekitar 100 s.d. 150 mg/dl.
Pemberian glukosa yang lebih dari nilai kapasitas oksidatif maksimal yang
dianjurkan dapat memberikan efek yang kurang baik dengan adanya peningkatan berlebih
cadangan glukosa, peningkatan lipogenesis, dan infiltrasi lemak di hati. Nantinya,
oksidasi glukosa yang tinggi dan lipogenesis akan meningkatkan produk CO2 yang
memiliki efek buruk bagi pasien terutama pasien dengan gagal napas.
Protein
Alasan utama pemberian nutrisi setelah trauma adalah untuk mengurangi
katabolisme protein dan meningkatkan sintesis protein. Kehilangan protein meningkat
setelah trauma karena kehilangan dari saluran gastrointestinal dan eksudatif kutaneus.
Kehilangan protein ini tidak selalu berarti kebutuhannya meningkat pula.
Pemberian protein dianjurkan 1,5-3 g/kgBB/hari, dengan rasio non-protein energi
: nitrogen = 100 : 1 (kcal/g). bila ditemukan adanya kegagalan organ, rasio non-protein
energi : nitrogen menjadi 150 : 1.
Glutamine merupakan bagian terbesar dari asam amino bebas dalam tubuh dan
otot, 70-80% dari total asam amino tubuh. Protein ini adalah non toksik nitrogen shuttle
untuk transport amonia dari jaringan perifer ke hati atau ginjal.
Alanin merupakan sebagai substrat utama untuk glukoneogenesis. Untuk alasan
solubilitas dan stabilitas larutan, glutamine tidak dapat diberikan bersama asam amino
lainnya. Namun dapat diberikan secara parenteral sebagai dipeptide (alanin-glutamin atau
glisin-alanin) yang dapat dihidrolisis di sirkulasi.
Arginin juga merupakan asam amino yang penting. Arginin juga digunakan oleh tubuh
pasien trauma dalam jumlah besar, dan keseimbangannya tidak dapat dicapai dengan
pemberian campuran asam amino standar. Konsentrasi plasma arginin berkurang dalam
jumlah besar setelah terjadi trauma dan keseimbangan tidak dapat dicapai tanpa asupan
eksogen. Arginin berperan dalam pembentukan ornithin untuk membantu proses
perbaikan sel dan pembentukan nitrit oksida yang berperan dalam fungsi makrofag.
Lipid
Emulsi lemak telah lama digunakan pada pasien dengan keadaan kritis, terutama
pada mereka yang dibatasi volumenya. Pemberian lemak didasarkan karena pada pasien
trauma ditemukan defisiensi asam lemak esensial, seperti defisiensi asam linoleat setelah
5 hari dan penurunan asam linolenat setelah 7 hari. Kuantitas minimal pemberian lipid
untuk menghindari defisiensi asam lemak esensial adalah sekitar 100 g/minggu.

Pemberian lemak harus memenuhi sekitar 15-40% dari kalori non-protein dengan rasio
asam lemak n-3 dengan n-6 yang lebih besar.

Elektrolit
Pasien trauma memiliki kebutuhan khusus yang membedakan mereka dari pasien
penyakit kritis lainnya.
Tabel 6. Kebutuhan Mineral pada Pasien Trauma Dewasa
Mineral
Kebutuhan perhari
Sodium
2-3 mmol/kgBB
Potassium
IV : 1-2 mmol/kgBB
Calcium
E : 1200 mg
IV : 4 mmol
Magnesium
E : 400mg
IV : 4mmol
Pospat
E : 1200mg
IV : 3-4 mmol
Mikronutrien
Mikronutrien, yaitu trace element dan vitamin, memiliki fungsi anti oksidan.
Fungsi inilah yang memiliki peranan penting pada pasien trauma dimana produksi radikal
bebas dan lipid peroksidasi meningkat.
Tabel 7. Kebutuhan Mikronutrien pada Pasien Trauma Dewasa
Trace elements
Vitamins
Dosis
Perbandingan
Dosis
intravena
dengan nilai
intravena
normal
Copper
2 mg
2X
Vit B1
100 mg
(4 mg)
4X
Selenium
150 g
3X
Vit C
1000 mg
300 g
6X
Zinc
20 mg
3X
Vit A
10.000 IU
(30 mg)
4,5 X
Vit E
100 mg

Perbandingan
dengan nilai
normal
30 X
13 X
3X
10 X

XII. DIETARY THERAPY


Rute pemberian nutrisi yang lebih didahulukan adalah dengan pemberian oral;
bagaimanapun pasien trauma majemuk sering tidak bisa makan karena intubasi
endotrakeal dan pemasangan ventilator. Lebih lagi, pemberian oral tidak bisa dilakukan
karena gangguan mengunyah, menelan, atau anoreksia yang diinduksi oleh rasa sakit
karena pengobatan atau syok post-traumatik dan depresi.

Pasien yang bisa makan pun masih sering tidak dapat memenuhi kebutuhan
nutrisi dan energi yang meningkat sekaitan dengan stress metabolic dan penyembuhan,
oleh sebab itu kerap dibutuhkan Enteral Tube Nutrition. Saat EN gagal untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi atau pemberian makanan melalui gastrointestinal menjadi kontra
indikasi, nutrisi parenteral harus diberikan. Pemberian mekanan secara oral tidak
dilakukan pada pasien dengan trauma fasial. Pada anak-anak, orang dewasa, pasien
dengan trauma kepala, pemberian dengan tube feeding dapat dilakukan.
Nutrisi Enteral
Dewasa ini, pemberian nutrisi enteral telah disadari dan memiliki peranan penting
dalam penanganan pasien trauma majemuk. Pemberian TPN mungkin dapat
mempertahankan status nutrisi pasien yang tidak dpat menerima EN, namun tidak adanya
nutrisi di lumen usus meningkatkan atrofi mukosa yang dapat berkontribusi pada
hipermetabolisme, sepsis dan Multi Organ Dysfunctions Syndrome. Pemberian EN
membutuhkan pengetahuan mengenai status motilitas usus pasien, antisipasi bagian untuk
pemberian nutrisi, komorbiditas sebelum injuri yang mengharuskan pemberian formula
khusus.
Pada pasien dengan diare, pemberian enteral menjadi terbatas. Oleh karena itu,
ketika kebutuhan nutrisi tidak dicapai secara oral dan enteral, pemberian secara intravena
dapat dilakukan.
Total Parenteral Nutrition
The Guidelines of The American Society for Parenteral and Enteral (ASPEN)
menyatakan bahwa penggunaan TPN pada pasien trauma kritis harus diberikan dalam
kondisi berikut :
1. Kondisi pasien tidak lagi bisa menerima nutrisi enteral.
2. Pemberian EN tidak bisa memenuhi kebutuhan nutrisi.
3. Pemberian makanan melalui saluran gastrointestinal menjadi kontra indikasi.
Pada pasien trauma tanpa malnutrisi, elektrolit dan sedikit kalori diberikan melalui
intra vena pada hari pertama. Namun karena beberapa pasien pada awal trauma memiliki
keseimbangan negatif mikronutrien, maka multiple-trace element dan suplemen vitamin
harus diberikan. Nutrisi ini dapat diberikan dalam satu vial berisi multiple trace elemen,
100 mg thiamin, dan 500 mg vit C.
Bila fungsi usus terganggu, nutrisi parenteral harus diberikan 5 hari setelah
trauma. Bila pemeriksaan Indirect Calorymetry tidak dilakukan, kebutuhan energi dapat
ditentukan pada 30 kcal/kgBB/hari; pemberian ditingkatkan setelah 2-3 hari.

Algoritma Pemberian Nutrisi pada Pasien Trauma

Anda mungkin juga menyukai