Anda di halaman 1dari 14

Jump 7

1. Trauma ginjal
a.

b.

Diagnosis
-

Riwayat trauma abdomen, thoraks, atau regio lumbal

Riwayat akselerasi-deselerasi mendadak

Hematuria

Jejas pada regio lumbal


Klasifikasi

Skala trauma ginjal berdasarkan American Association for the Surgery Trauma
Grade Tipe trauma
I
Kontusion

II
III
IV
V

Deskripsi
Gross hematuria atau mikroskopik, pemeriksaan urologis

Hematoma
Hematoma
Laserasi
Laserasi

normal
Subkapsular, tidak meluas tanpa laserasi parenkim
Perirenal yang tidak meluas
<1 cm korteks renalis tanpa ekstravasasi urin
<1 cm korteks renalis tanpa ruptur sistem kolektivus atau

Laserasi
Vaskular
Laserasi
Vaskular

ekstravasasi urin
Mencapai medulla dan sistem kolektivus
Perdarahan pada arteri atau vena renalis
Ginjal terbelah
Avulsi pada hilum yang menyebabkan ginjal
devaskularisasi

c. Algoritma Trauma Ginjal

2. Trauma pelvis
a. Pemeriksaan tes kompresi dan distraksi
1) Tes distraksi
Tes untuk mengetahui adanya cedera pada pelvis. Pasien
berbaring supinasi, dilakukan tekanan di spina iliaca anterior
superior dari medial ke lateral. Hasil tes positif bila nyeri.
2) Tes kompresi
Tes untuk mengetahui cedera di os pubis. Pasien
diposisikan decubitus lateralis, lutut dan panggul ditekuk.
Dilakukan penekanan pada trochanter major. Tes positif bila ada
nyeri di simphysis pubis.
Penilaian stabilitas pelvis dimulai dengan kompresi manual
pada krista iliaka atau spina iliaka anterior superior, jika ada
gerakan abnormal atau nyeri tulang kemungkinan terdapat fraktur
tulang, sebaiknya tes dihentikan. Namun jika pelvis masih stabil,
lanjutkan dengan manuver untuk distraksi spina iliaka anterior
superior untuk mengevaluasi adanya gerakan abnormal atau nyeri.
Kedua tes tersebut sangat berisiko jika pasien benar-benar
mengalami

fraktur

pelvis,

sehingga

lebih

baik

langsung

menggunakan rontgen x-ray jika pasien dicurigai fraktur pelvis


agar pasien terhindar dari nyeri dan kemungkinan perburukan
keadaan. (ATLS, 2008)
- Terapi (yuscha) dimasukin yuscha di jump 3
3. Trauma urethra
Ruptur urethra sering sebagai trauma sekunder dari trauma pelvis
a. Gejala klinis:
-

Darah di orificium uretra ekstrerna


Tidak bisa kencing
Palpably full bladder

Prostat melayang akibat putusnya ligamentum puboprostatikum. Hal


ini dapat dibuktikan melalui pemeriksaan rectal toucher
1)
Indikasi rectal toucher:
- Perdarahan saluran cerna bagian bawah
- Hemorrhoid, prolaps rekti
- Carcinoma recti, tumor anus
- Ileus obstruktif dan ileus paralitik
- Peritonitis
- BPH dan carcinoma prostat
2)
Kontraindikasi rectal toucher
Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk rectal toucher. Namun,
perlu hati-hati pada:
-

Anak-anak, karena pemeriksaan tersebut dapat menyebabkan

vasovagal syncope
- Prostatitis, karena dapat menyebabkan infeksi
- Hemorrhoid interna grade IV
Hematom perineum
Di penis terdapat dua corpus, corpora cavernosa dan corpora
spongiosa. Urethra dibungkus oleh corpora spongiousum penis.
Corpora spongiosum dan corpora cavernosa penis dibungkus fascia
Buck dan fascia Colles. Jika terjadi ruptur urethra dan corpora
spongiosum, darah masih terbatas di fascia Buck, sehingga terlihat
adanya hematom di perineum. Jika fascia Colles juga mengalami
ruptur, darah dapat menjalar sampai ke scortum, bahkan sampai
abdomen. Sehingga nampak adanya gambaran kupu kupu, atau

sering didebut butterfly hematoma.


b. Pemeriksaan penunjang (urethrografi retrograde)
1) Definisi
Uretrografi retrograd atau retrograde uretogram adalah suatu
prosedur diagnostik yang biasa dilakukan pada pasien laki-laki untuk
mendiagnosis keadaan patologis pada uretra, baik akibat trauma atau
striktura. Cara melakukan RUG adalah dengan menggunakan kontras
radio-opak kemudian dimasukkan ke dalam uretra untuk menilai keadaan
uretra seperti adanya ruptur karena trauma atau striktura. Selain itu RUG

juga digunakan untuk prosedur cek ulang (follow-up) pada pasien postrekonstruksi uretra (Burks, 2013).
2) Indikasi
-

Striktur

Retensi urine

Kelainan kongenital

Fistule

Tumor

Batu uretra

3) Kontra indikasi
-

Infeksi akut

Radang uretritis akut

Radang prostat

Penderita terdapat riwayat alergi kontras

c. Tatalaksana
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan hasil uretrografi retrograde
-

Jika ada ekstravasasi dilakukan sistotomi suprapubic


Jika kontusio kateter transurethral.

4. Perdarahan
a. Pemeriksaan
1)

Pemeriksaan darah
Sebelum transfusi dilakukan pemeriksaan golongan darah dan

rhesus supaya pasien mendapatkan darah yang cocok. Selain itu dilakukan
pula pemeriksaan Hb, hitung eritrosit, dan hematokrit untuk mengetahui
banyaknya darah yang dibutuhkan dan urgensi transfusi.
2)
Focused Abdominal Sonography in Trauma (FAST)
Penggunaan USG pada trauma tumpul abdomen untuk mendeteksi
adanya hemoperitoneum dilakukan berdasarkan didapatkannya hasil
sensitifitas

yang

tinggi

pada

berbagai

penelitian.

FAST

telah

dikembangkan sebagai protokol di berbagai pusat trauma dan pemeriksaan

driven ultrasound yang bertujuan untuk mendeteksi dini adanya


hemoperitoneum dan hemopericardium
Di ruang gawat darurat, USG selalu diperlukan untuk menilai
hemoperitoneum dengan cepat. Tujuan utama USG Emergency pada
trauma abdomen adalah menilai adanya cairan abnormal bebas serta
menetapkan indikasi untuk dilakukan operasi.
Saat ini penggunaan ultrasonografi sebagai sarana diagnostik pada trauma
lebih diperluas dengan mengarah kepada penegakan diagnosis dengan
cepat dan akurat dengan istilah FAST. FAST diindikasikan pada pasien
dengan trauma tumpul abdomen baik dengan hemodinamik stabil maupun
tidak stabil. Ultrasonografi kurang peka untuk identifikasi dan menentukan
gradasi cedera organ solid, cedera usus dan cedera retroperitoneal. FAST
dapat mendeteksi adanya cairan bebas intraperitoneal dan tamponade
jantung.
a) Alogaritma

FAST pada

trauma

tumpul

abdomen

dengan

hemodinamik tidak stabil (Sistolik < 90 mmHg)


Trauma Tumpul
Abdomen

Hemodinamik
tidak stabil

Laparotomi

(+
)
FAST (cairan
intraperitoneal)

(-) atau
raguragu

Kemungkinan
lain hilangnya
darah.
Syok nonhemoragik

Ulangi USG
atau DPL
b) Alogaritma

FAST pada

trauma

tumpul

abdomen

dengan

hemodinamik stabil. (Sistolik 90 mmHg)

Trauma Tumpul
Abdomen

(+) atau
meragu
kan

CT-Scan

FAST (cairan
intraperitoneal)

Hemodinamik
stabil

Observasi /
pemeriksaan klinis
secara serial

(-)

Dipertimbangkan :
Ulangi FAST atau
CT-Scan

c) Keunggulan FAST
-

Pemeriksaan USG bisa dikerjakan oleh dokter emergency


maupun residen bedah

Tidak mahal, tidak invasif dan portable

Menghindari risiko akibat penggunaan media kontras

Dapat menilai toraks dan rongga retroperitoneal disamping


rongga peritoneum

Pemeriksaan serial dapat mendeteksi perdarahan yang terus


berlangsung dan meningkatkan ketepatan diagnostic.

Menurunkan tindakan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)


dan CT-Scan

Pada wanita hamil yang mengalami trauma dapat menentukan


umur kehamilan dan kondisi janin.

d) Kekurangan FAST
-

Untuk

mendapatkan

hasil

positif

diperlukan

cairan

intraperitoneal minimal 70 cc dibandingkan DPL hanya 20 cc


-

Akurasinya tergantung pada kemampuan operator atau


pembaca hasil

Akurasi menurun apabila pasien memiliki riwayat operasi


abdomen

Secara teknik sulit untuk pasien gemuk dan adanya emfisema


subkutis

Sensitifitasnya rendah untuk usus halus dan pankreas

Tidak

dapat

menentukan

dengan

tepat

penyebab

hemoperitoneum
-

Meskipun bekuan darah memberikan gambaran yang khas, ia


tidak dapat dengan tepat menentukan jenis dari cairan bebas
intraperitoneal .

e) Teknik pemeriksaan
Untuk mencari cairan abdominal, tranducer ditempatkan pada
empat posisi dasar yaitu :
-

Perihepatik

Perisplenic

Pelvic

Pericardium

b. Terapi
Transfusi packed red blood cells (RBC) dilakukan untuk
menangani perdarahan dan memperbaiki pengiriman oksigen ke jaringan.
Indikasi transfusi RBC di antaranya kehilangan darah akut sebanyak lebih
dari 1.500 ml atau 30 persen volume darah.
Transfusi harus dilakukan bila Hb di bawah 7 g/dL. Satu unit
packed RBC dapat meningkatkan kadar hemoglobin 1 g/dL dan hematokrit
3%.
5. Syok hipovolemik
a. Definisi
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa

organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat
pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik
merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan
perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang
paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat
merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam
rongga dada dan rongga abdomen (Kolecki, 2008).
b. Etiologi
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan
intravaskuler, misalnya terjadi pada:
1) kehilangan darah atau syok hemorargik karena perdarahan yang
mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptur limpa, dan
kehamilan ektopik terganggu.
2) trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung
kehilangan

darah

yang

besar. Misalnya:

fraktur

humerus

menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur


menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3) kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena
kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis
Renal: terapi diuretik, krisis penyakit addison
Luka bakar (kompustio) dan anafilaksis
c. Patofisiologi
Tubuh

manusia

berespon

terhadap

perdarahan

akut

dengan

mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi,


kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.
Pada syok hipovolemik akibat kehilangan darah, sistem hematologi
berespon dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi
pembuluh darah (melalui pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu,
platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan
membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh
darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan

penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu


sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan
menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok
hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon
ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan
ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus
caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem
kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung,
dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan
sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi
menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2
efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok
hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi
sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada
reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan
meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH
dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap
penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap
penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara
tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam
(NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle
(Kolecki, 2008).
d. Manifestasi klinis

1) Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan


pengisian kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi
jaringan.
2) Takhikardi: Peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah
respon homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan
kecepatan aliran darah ke homeostasis penting untuk hopovolemia.
Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi
mengurangi asidosis jaringan.
3) Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi
pembuluh darah sistemik dan curah jantung, vasokontriksi perifer
adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah.
Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan
arteri turun tidak dibawah 70 mmHg.
4) Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok
hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin
kurang dari 30ml/jam.
e. Stadium syok hipovolemik
No.

Stadium syok

Plasma yang hilang

1.

Presyok

10-15% (750 ml)

2.

Syok ringan

20-25% (1000-1200 ml)

3.

Syok sedang

30-35% (1500-1750 ml)

Gejala
Pusing, takikardi ringan,
sistole 90-100 mmHg
Gelisah, keringat dingin, haus,
diuresis berkurang, takikardi
Gelisah, pucat, dingin, oliguri,
takikardi, sistole 70-80 mmHg
Pucat, sianotik, dingin,
takipnea, anuria, kolaps

4.

Syok berat

35-50% (1750-2250 ml)

pembuluh darah, takikardi atau


nadi tidak teraba, sistole 0-40
mmHg

f. Penatalaksanaan
1) Penanganan Sebelum di Rumah Sakit menurut Kolecki (2008):
Pencegahan cedera lebih lanjut.
Transportasi segera pasien ke rumah sakit,

Immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin jalan napas yang


adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.
Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif
dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac
output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun
oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan
positif dapat merusak pada pasien dengan syok hipovolemik.
Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa
keterlambatan

transportasi.

Beberapa

prosedur,

seperti

memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat


dilakukan ketika pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan
yang memperlambat pemindahan pasien sebaiknya ditunda.
Keuntungan pemberian cairan intravena segera pada tempat
kejadian tidak jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi
cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke
tempat pelayanan kesehatan.
2) Penanganan di Rumah Sakit menurut Kolecki (2008):
Memaksimalkan penghantaran oksigen
Kontol perdarahan lanjut
Resusitasi Cairan
6. Hub onset dengan keadaan pasien
Golden period untuk kasus fraktur yaitu 6 jam. Apabila penanganan
dilakukan diatas 6 jam maka akan meningkatkan risiko terkena infeksi.

Mackersie RC. Abdominal Trauma, in : Norton AJ, Boliinger B, Chang,


Lowry,
Mulvihil, Pass, dll (editor). Surgery Basic Science and Clinical Evidence
Vol. 1. New York : Springer-Verlag inc; 2001. Hal. 825-45.

Rozycki GS, Ochner GM, Feliciano, Thomas B, Boulanger BR, Davis FE,
dll. Early Detection of Hemoperitoneum by Ultrasound Examination of the
Right Upper Quadrant. J of Trauma. 1998; 45:878-83.
Fabian TC, Croce MA. Abdominal Trauma, Including Indications for
Celiotomy in Trauma. Feliciano DV. Editors. Ed. 3. London : Appleton S
Lange Co; 1991. Hal 441-459.
Fukuda M, Cogrove DO. Abdominal Ultrasound A Basic TextBook. Tokyo
: IgakuShoin Ltd; 1997. Hal. 1-45.
Alexander Ng. Trauma Ultrasonography The FAST and Beyond.
Trauma.org. 2001; 6:12 URL http//trauma.org./us/html.2001
Wim de Jong, Sjamsuhidajat R. (2004). Buku-Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta :
EGC
Kolecki P (2008). Syok hipovolemik. Thomas Jefferson University Hospital,
Jefferson Medical College, Philadelphia Poison Control Center. Artikel
Burks Frank N. 2013. Urethrogram.
http://emedicine.medscape.com/article/1893948-overview diakses 7 Mei 2015
American College of Surgeons Committee on Trauma. 2008. Advanced Trauma
Life Support for Doctors; ATLS-Student Course Manual 8th Edition. ACS,
Chicago. Terjemahan Komisi Trauma Ikatan Ahli Bedah Indonesia
Ardyanto, Tonang Dwi. 2014. Pelayanan Transfusi Darah
Sharma, S. Sharma, P. dan Tyler, L. 2011. Transfusion of Blood and Blood
Products: Indications and Complications. American Family Physician
Mar 15;83(6):719-724
Santucci RA et al. (2001). Validation of the American Association for the Surgery
of Trauma organ injury severity scale for the kidney. J Trauma;50(2):195-200.

Anda mungkin juga menyukai