Anda di halaman 1dari 25

Karsinoma Kolorektal

1. Pendahuluan
Keganasan kolorektal (KKR) menempati posisi ketiga diagnosis terbanyak pada pria
dan kedua terbanyak pada wanita di dunia, dengan 1,2 juta kasus baru serta 608.700
kematian pada 2008.1
KKR lebih sering terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita. Insiden meningkat
secara signifikan antara usia 40 50 tahun dan risiko akan meningkat dua kali lipat
setiap dekade berikutnya. Di Indonesia, insiden tertinggi terjadi pada usia produktif,
yaitu 30-50 tahun, dimana sebagian besar penderita darang dalam kondisi stadium
lanjut atau telah terjadi komplikasi.2
2. Anatomi dan Patologi
Kolorektal
a. Anatomi
Usus besar memiliki panjang 1,5 meter dengan diameter 6,5 cm, terbentang
dari ileum hingga anus. Usus besar terbagi empat bagian, yaitu caecum, kolon,
rektum, dan kanalis analis.3
Kolon dibagi menjadi kolon asenden, transversum, desenden, dan sigmoid.
Kolon

asenden dan desenden terletak retroperitoneal, sementara kolon

transversum dan sigmoid intraperitoneal. Kolon sigmoid dimulai dari kolon dekat
krista iliaka kiri, ke midline, hingga mencapai rektum pada posisi vertebra S3.

Gambar 2.1 Anatomi Kolon dan


Rektum3
Lapisan pada kolon dan rektum terdiri atas mukosa, submukosa, otot
sirkular dalam (membentuk sfinger ani interna), otot longitudinal luar (terpisah
menjadi 3 teniae coli pada kolon, proksimal teniae bergabung di apendiks dan
distal teniae bergabung di rektum), dan lapisan serosa (melapisi kolon
intraperitoneal dan sepertiga rektum).4

Gambar 2.2 Drainase Limfatik Kolorektal4


2

Rektum memiliki panjang sekitar 20 cm, dimana 2 3 cm bagian terminalnya disebut


kanalis analis.3 Rektum intraoperatif merupakan batas fusi dua taenia mesenterik
dengan area amorfus rektum (true rectum), sedangkan pada pemeriksaan
sigmoidoskopi kaku, rektum berjarak 12 15 cm dari anal verge.2
Anus menghubungkan kanalis analis dengan dunia luar. Sfingter ani interna
tersusun oleh otot polos yang bekerja involunter dan sfingter ani eksterna tersusun
atas otot rangka yang bekerja secara volunter.3
b. Patologi Lesi Jinak dan Ganas Kolorektal
-

Polip
Jinak
Polip merupakan pertumbuhan berlebih dari stroma ataupun kelenjar mukosa,
berupa massa pada permukaan mukosa yang menonjol ke dalam lumen usus.
1) Polip non-neoplastik
Yang termasuk polip jenis ini adalah polip reaktif (tumbuh akibat jejas
kronik) dan polip hamartomatosa.
2) Polip hiperplastik/metaplastik
Pada polip hiperplastik dapat ditemukan mutasi gen ras. Karakteristik poli ini
adalah hiperplasia, pemanjangan kripti, dan proliferasi epitel, yang kemudian
membentuk tonjolan pseudostratifikasi sel epitel ke dalam lumen kripti, yang
memberikan gambaran histologik shaw tooth. Pada polip hiperplastik belum
ditemukan displasia, inti sel terletak di basal, monomorfik, dengan
sitoplasma bervakuola berisikan musin.
3)
inflamatorik

Polip

Terjadi pada mukosa yang mengalami inflamasi kronik, seperti inflammatory


bowel disease
mukosa

atau

divertikulitis.

Gambaran

histologi

menunjukkan

yang meradang, epitel dan kelenjar tampak reaktif, kadang

ditemukan jaringan granulasi atau proliferasi jaringan ikat di laminna propria.


3

4)
hamartoma

Polip

Merupakan proliferasi abnormal komponan jaringan normal yang ada pada


suatu organ, antara lain polip juvenile, familial juvenile polyposis, polip
Peutz Jeghers, polip Cronkite-Canada, sindrom Cowden.
5) Polip limfoid
Merupakan hasil agregasi MALT (mucosa-associated lymphoid tissue) pada
area mukosa hingga submukosa dengan centrum germinativum reaktif.

- Polip Neoplastik/Adenoma
Adenoma merupakan lesi prekanker yang menunjukkan ciri neoplasma, yaitu
disregulasi pertumbuhan dan kegagalan diferensiasi. Disregulasi pertumbuhan
ditandai adanya area proliferatif yang bergerser ke permukaan mukosa dan
kegagalan pematangan sel epitel kripta, serta ditemukannya sel imatur atau
basaloid di permukaan mukosa.
Pada bagian atas kripta, tidak ditemukan lagi sel absorbtif matur yang ditandai
dengan tidak ditemukannya musin di sitoplasma dan tidak tampak lagi sel goblet
matur.
1) Adenoma tubular
Umumnya pedunculated atau datar. Gambaran mikroskopi berupa proliferasi
kripta yang dilapisi epitel kolumnar yang displastik. Lamina propria
bersebukan limfosit, sel plasma, dan eosinofil.
2) Adenoma vilosum
Berupa proloferasi kelenjar yang membentuk pola seperti jari atau papil
runcing, yang dilapisi sel epitel yang displastik.
3) Adenoma tubulovilosum
Merupakan campuran bentuk tubular dan vili, dapat juga berupa adenoma
vilosum yang mengandung struktur tubuler. Struktur vili berkisar 35 75%.
4

4)
serrated

Adenoma

Bentuk dapat sessile ataupun pedunculated. Gambaran mikroskopik berupa


polip hiperplastik, seperti shaw tooth, namun pada serrated, adenoma
memiliki ciri displasia epitel. Epitel tampak bertumpuk dengan inti
hiperkromatik, anak inti nyata, dan sitoplasma mengandung sedikit musin.
5) Adenoma datar
Merupakan varian tubular, dengan ketebalan mukosa yang mengalami
displasia tidak lebih dari 2 kali ketebalan mukosa non displastik. Mukosa
yang displastik pada umumnya terkonsentrasi di permukaan.

6) Adenoma hipersekretorik
Merupakan varian vilosum, yang memproduksi mukus. Vili dilapisi oleh
sel displastik dan ditemukan sel goblet proliferatif dengan susuanan maupun
bentuk sel tidak normal atau kehilangan polaritas. Sel goblet ini disebut
distrofik, dengan ukuran bervariasi dan inti terletak eksentrik, tidak terletak
di basal, seperti sel goblet normal.
- Polip Ganas
Istilah

yang

sering

digunakan

untuk

menyebut

polip

ganas

adalah

adenokarsinoma in adenoma atau adenoma dengan fokus adenokarsinoma.


Pada lesi ini, akan dijumpai invasi sel ganas ke submukosa. Polip ganas
selanjutnya dibedakan menjadi:

1)Polip ganas dengan prognosis baik


Derajat keganasan grade 1 atau 2, tidak terdapat invasi angiolimfatik,
tidak ditemukan tumor pada batas sayatan
2)Polip ganas dengan prognosis buruk
Derajat keganasan grade 3 atau 4, ditemukan invasi angiolimfatik, batas
sayatan tidak bebas tumor: ditemukan sel tumor < 1 mm dari batas sayatan,
pada jaringan yang mengalami diatermi (lesi akibat panas oleh elektrokauter).
5

c. Jenis Histologik Karsinoma Kolorektal


- Adenokarsinoma
1) Adenokarsinoma musinosum. Komponen musinosum > 50%
2) Signet ring cell carcinoma. Komponen musin intrasitoplasma > 50%
3)

Karsinoma adenoskuamosa. Mengandung komponen karsinoma sel


skuamosa dan adenokarsinoma.

4) Karsinoma medular. Sel tumor tersusun seperti lembaran, inti vesikuler,


anak inti nyata, sitoplasma eosinofilik, dan ditemukan banyak infiltrasi
limfosit di sekitar massa tumor.
5) Karsinoma tidak berdiferensiasi. Komponen sel berdiferensiasi sedikit.
-

Karsinoid
Dibagi menjadi tumor neuroendokrin berdiferensiasi baik, sedang, dan buruk
(small cell carcinoma pada usus).

Mixed dan composite carcinoid-adenocarcinoma


Komponen

adenokarsinoma

dan

karsinoid

bergabung.

Pada

tipe

komposit, adenokarsinoma dan karsinoid terpisah dengan batas tegas.2


d. Karsinogenesis
Perjalanan KKR memiliki dua jalur utama untuk terjadinya inisiasi tumor dan
progesi, yaitu LOH (Loss of Heterzygocity) dan RER (Replication Error). Jalur LOH
memiliki karakteristik delesi kromosomal dan aneuploid tumor, dimana 80% KKR
merupakan hasil dari mutasi pada jalur LOH. 20% sisanya merupakan mutasi pada
jalur RER, dengan karakteristik kesalahan pada mismatch repair selama replikasi
DNA.

Gambar 2.3 Proses Karsinogenesis Karsinoma


Kolorektal4
Pada jalur RER, sejumlah gen yang berfungsi, baik untuk mengenali dan
memperbaiki kesalahan replikasi DNA, seperti hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2,
dan hMSH6/GTBP, mengalami mutasi. Akibatnya, terdapat predisposisi mutasi sel
dan akumulasi yang akan menyebabkan instabilitas genom dan berujung pada
karsinogenesis. Jalur RER dihubungkan dengan instabilitas mikrosatelit, yang rentan
terhadap kesalahan replikasi.Tumor dengan instabilitas mikrosatelit memiliki
prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan tumor yang berasal dari jalur LOH
dengan mikrosatelit yang stabil.4,5
KKR berawal dari mukosa yang kemudian menginvasi dinding usus dan jaringan
sekitar. Tumor dapat menjadi besar dan menyebabkan obstruksi. Perluasan lokal,
khususnya

ke rektum, dapat menyebabkan obstruksi organ lain, seperti ureter.

Keterlibatan KGB regional merupakan bentuk penyebaran tersering dari KKR dan
biasanya mendahului metastasis jauh atau perkembangan karsinomatosis (metastasis
peritoneal difus). Kecenderungan metastasis KGB meningkat seiring dengan ukuran
tumor, derajat diferensiasi, invasi limfovaskular, dan kedalaman invasi. Lesi kecil
pada dinding usus (T1 dan T2, lihat penentuan stadium) dihubungkan dengan
metastasis KGB pada 5-20% kasus, sementara pada tumor T3 dan T4 dijumpai
metastasis KGB pada 50% kasus. Keterlibatan empat atau lebih KGB memberikan
gambaran prognosis buruk. Metastasis terjadi secara hematogen melalui sistem vena
porta.2
3. Faktor Risiko dan Faktor Protektif
7

Faktor risiko KKR, antara lain:


1) Penuaan. Penuaan merupakan faktor risiko dominan, dengan insiden
meningkat di atas usia 50 tahun.
2) Genetik. Sebesar 70-80% KKR terjadi sporadik, dengan 20% terjadi pada
orang dengan riwayat KKR pada keluarga.
3) Lingkungan dan pola diet. Diet tinggi lemak jenuh meningkatkan risiko
KKR., sementara diet tinggi asam oleat (minyak zaitun, minyak kelapa,
minyak ikan) tidak meningkatkan risiko. Sebaliknya, diet tinggi sayur menjadi
faktor protektif dari KKR. Asupan kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E
dapat menurunkan risiko perkembangan KKR. Obesitas dan gaya hidup
sedentari meningkatkan mortalitas pada beberapa jenis keganasan, termasuk
KKR.
4) Inflammatory bowel disease
5) Lain-lain, seperti merokok berhubungan dengan peningkatan risiko adenoma
kolon, terutama dengan durasi merokok lebih dari 35 tahun. Pasien
dengan ureterosigmoidostomi memiliki risiko untuk formasi adenoma atau
karsinoma. Akromegali dihubungkan dengan peningkatan kadar hormon
pertumbuhan dan insulin- like growth factor-1. Radiasi pelvis meningkatkan
risiko perkembagan karsinoma rektal. Faktor lingkungan yang beragam
dengan predisposisi genetik atau defek yang didapat akan bekembang
menjadi KKR.1,2,4
Faktor risiko KKR yang perlu diperhatikan:
1)

Sindrom KKR yang diturunkan. Faktor genetik ini diturunkan secara autosomal
dominan, tersering adalah FAP (Familial Adenomatous Polyposis) dan Sindrom
Lynch (HNPCC (Hereditary Nnpolyposis Colorectal Cancer)), yang terjadi sekitar
5% dari KKR. Pada kelompok HNPCC, terdapat tingkat risiko untuk menderita
KKR (kriteria Amsterdam):
Tabel 2.2 Klasifikasi Risiko Karsinoma Kolorektal pada Populasi
Umum2
8

Risiko
Tinggi

Kriteria
Minimal 3 anggota keluarga menderita KKR atau dua dengan KKR
dan satu dengan karsinoma endometrial pada minimal dua
generasi. Satu dari anggota keluarga telah menderita KKR pada
usia < 50 tahun dan salah satu anggota yang didiagnosis adalah
silsilah pertama.

Sedang

Seorang anggota keluarga silsilah pertama menderita KKR pada usia


< 45 tahun, atau dua anggota keluarga silsilah pertama
menderita KKR (seorang pada usia < 55 tahun), atau dua/tiga
anggota keluarga (seorang pada usia <
55 tahun) dengan KKR/karsinoma endometrial yang
merupakan silsilah pertama.

Rendah
atau sedang.

Tidak memenuhi kriteria tinggi

Apabila tidak dilakukan terapi, 7% penderita FAP akan menderita adenoma pada
usia 21 tahun, 50% pada usia 39 tahun, dan 90% pada usia 45 tahun.
2) Riwayat penyakit atau riwayat keluarga dengan KKR sporadik atau polip
adenomatosa. Riwayat keluarga derajat pertama dengan KKR meningkatkan
risiko
sebesar 2 kali lipat dibandingkan dengan populasi umum.
3) Kolitis Ulseratif. Risiko KKR meningkat 8 10 tahun setelah diagnosis awal
pankolitis dan 15 20 tahun pada kolitis kolon kiri. Probabilitas
meningkat seiring dengan peningkatan durasi kolitis, mencapai 30% pada
dekade ke-4 pankolitis. Penyakit Crohn, masih dalam penelitian lebih lanjut.
4) Ras/etnik dan jenis kelamin. Mortalitas KKR 20% lebih tinggi pada etnik AfrikaAmerika sehingga skrining dimulai pada usia 45 tahun dan menggunakan
kolonoskopi. Mortalitas KKR 25% lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita,
dimana pada wanita, adenoma ataupun KKR terjadi lebih proksimal.

5) Transplantasi ginjal yang dihubungkan dengan imunosupresi jangka panjang akan


meningkatkan risiko KKR.
6) Diabetes melitus dan resistansi insulin. Risiko KKR 38% lebih tinggi untuk kanker
kolon dan 20% lebih tinggi untuk kanker rektum. Kejadian ini dihubungkan
dengan hiperinsulinemia, dimana insulin merupakan faktor pertumbuhan yang
penting bagi sel mukosa kolon dan insulin menstimulasi sel tumor kolon.
Konsentrasi IGF-1 (Insulin-like Growth Factor-1) dalam plasma dan peptida C
(indikator produksi insulin) meningkatkan risiko KKR, sementara IGFBP-3 (IGF
binding protein-3) merupakan faktor protektif.
7) Terapi deprivasi androgen. Pria yang menjalani terapi agonis GnRH atau
orkidektomi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk KKR, dan risiko meningkat
seiring durasi terapi.
8) Kolesistektomi. Terdapat hubungan kolesistektomi dengan kanker kolon kanan,
tetapi tidak ditemukan pada kanker kolon distal. Mekanisme yang terjadi
dipikirkan karena gangguan komposisi asam empedu pada kolon setelah tindakan.
9) Alkohol. Terdapat peningkatan risiko KKR yang signifikan pada konsumsi alkohol
berat (> 4 porsi/hari) dan sedang (2-3 porsi/hari). Pada konsumsi ringan (<
1 porsi/hari), dengan kadar etanol 10 g/hari, didapatkan peningkatan risiko KKR
sebesar 7%. Hal ini dipikirkan karena terganggunya penyerapan folat oleh alkohol
dan menurunnya asupan folat.
10) Obesitas. Terdapat peningkatan risiko 1,5 kali dibandingkan dengan berat badan
yang normal (IMT 18,5 24,9 kg/m2). Risiko karsinoma kolon meningkat 15%
pada orang overweight (IMT > 25 kg/m2) dan 33% pada obesitas (IMT > 20
kg/m2).
11) Faktor risiko lain, seperti penyakit jantung coroner, merokok, konsumsi jangka
panjang daging merah atau daging proses, dan radiasi area abdomen.
Adapun beberapa faktor yang diketahui bersifat protektif, antara lain:
1) Aktivitas fisik yang teratur, minimal 30 menit/hari.
2) Diet. Konsumsi sayur dan buah memiliki risiko relatif 0,5 pada kelompok
tertinggi dan terendah.
10

3) Vitamin dan mineral. Folat dipikirkan menghambat patogenesis kanker di


jaringan, termasuk kolon. Suplementasi asam folat 400 mg/hari menurunkan
kejadian KKR, begitu pula dengan vitamin E, D, B6, dan magnesium.
4) Kalsium dan produk susu. Kalsium dapat mencegah rekurensi adenoma kolorektal
pasca polipektomi, bergantung pada kadar vitamin D (berhubungan dengan
genotipe reseptor vitamin D). Dosis kalsium yang dipakai adalah 1.250 2000 mg.
5) NSAID.

Menghambat

produksi

prostaglandin,

melalui

hambatan

COX.

Terjadi peningkatan apoptosis dan gangguan pertumbuhan sel tumor melalui


inhibisi COX-2 yang berfungsi merangsang angiogenesis KKR.
6) Terapi hormon post menopause. Terapi ini dihubungkan dengan penurunan risiko
kanker kolorektal pada wanita yang menjadi terapi kombinasi estrogen dan
progestin.2,4
4. Penegakan Diagnosis, Modalitas Diagnostik dan Staging
a. Klinis
Kecurigaan

klinis

timbul

manakala

didapatkan

riwayat

perdarahan

peranal disertai peningkatan frekuensi defekasi dan/atau diare selama minimal 6


minggu (semua umur); perdarahan peranal tanpa gejala anal (di atas 60 tahun);
peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6 minggu (di atas 60
tahun); perabaan massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur); atau
perabaan massa intraluminal dalam rectum; dan tanda obstruksi mekanik usus.
Dapat pula terjadi pada penderita dengan anemia defisiensi besi (Hb < 11 g/dl
pada pria dan Hb < 10 g/dl pada wanita pasca menopause).
Setiap penderita yang secara klinis dicurigai KKR, seluruh kolon dan rektum perlu
dinilai, salah satunya dengan colok dubur, yang mencakup:
-

Keadaan tumor. Ekstensi lesi pada dinding rektum, letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung
os coccyges. Pada wanita, perlu dilakukan palpasi melalui vagina untuk
mengetahui apakah mukosa di atas tumor licin, dapat digerakkan, ada
perlekatan, atau ulserasi, serta untuk menilai batas atas dari lesi anular.

11

Mobilitas tumor. Lesi awal biasanya masih dapat digerakkan apda lapisan
otot dinding rektum. Pada lesi denga ulserasi lebih dalam, terjadi perlekatan
dan fiksasi karena penetrasi/perlekatan ke struktur ekstrarektal, seperti prostat,
vesika urinaria, dinding posterior vagina, atau dinding anterior uterus.

Ekstensi penjalaran, yang diukur dari besar tumor dan karakteristik


pertumbuhan primer, mobilitas, dan fiksasi lesi.

Terdapat dua gambaran khas pada colok dubur, yaitu indurasi dan penonjolan pada
tepi, yang dapat berupa:
-

Pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi, seperti cakram kecil dengan
permukaan licin dan batas tegas

Pernonjolan yang rapuh, biasanya lunak, namun umumnya mempunyai


beberapa daerah indurasi dan ulserasi

Bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi nodular yang menonjol dengan
kubah yang dalam (bentuk paling sering)

- Bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin.

b. Penunjang
Terdapat tiga macam pemeriksaan penunjang yang efektif dalam diagnosis KKR:
- Barium enema dengan kontras ganda
Pemeriksaan enema barium dengan kontras ganda memiliki keunggulan,
yaitu sensitivitas yang cukup tinggi (65 95%), aman, tingkat keberhasilan
prosedur tinggi, tidak memerlukan sedasi, dan telah terjangkau. Kelemahan
pemeriksaan enema barium dengan kontras ganda disebabkan oleh lesi T1 sering
tidak terdeteksi, akurasi diagnosis lesi rektosigmoid dengan divertikulosis dan
caecum rendah, akurasi diagnosis lesi tipe datar rendah, sensitivitas diagnosis
polip < 1 cm rendah (70 95%), dan pasien terpapar radiasi.
- Endoskopi
Jenis endoskopi yang digunakan adalah sigmoidoskopi rigid, fleksibel, dan
kolonoskopi. Untuk visualisasi kolon dan rektum, sigmoidoskopi fleksibel lebih
12

efektif diabndingkan dengan sigmoidokopi rigid. Pada semua kasus yang


dicurigai KKR, sebaiknya dilakukan kolonoskopi. Apabila kolonoskopi tidak
dapat dilakukan, dilakukan sigmoidoskopi dilanjutkan enema barium kontras
ganda.

Keunggulan

kolonoskopi

antara

lain sensitivitas mencapai 95%

dalam diagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal, dapat berfungsi sebagai


alat

diagnostik

melalui

biopsi

dan

terapi

pada

polipektomi,

dapat

mengidentifikasi dan seksi synchronous polyp, serta tidak ada paparan


radiasi. Akan tetapi kerugiannya mencakup kesulitan untuk mencapai caecum,
memerlukan sedasi intravena, tidak dapat melokalisasi tumor secara akurat, dan
tingkat mortalitas 1:5000 kolonoskopi.
- Pneumocolon Computed Tomography (PCT)
Keunggulan PCT, yaitu sensitivitas tinggi dalam diagnosis KKR, toleransi
penderita baik, serta mampu memberi informasi mengenai keadaan di luar kolon,
termasuk untuk penentuan stadium, melalui penilaian invasi lokal, metastasis
hepar, dan KGB. Adapun kerugiannya dapat berupa ketidakmampuan untuk
mendiagnosis polip < 10 mm, paparan radiasi yang lebih tinggi, tidak dapat
menentukan metastasis KGB apabila KGB tidak membesar, kurangnya operator
yang kompeten, serta tidak dapat dilakukan biopsi atau polipektomi.2,6,7

c. Derajat Keganasan, Staging, Pembagian Stadium Klinis, dan Stadium Histopatologis


Derajat keganasan tumor berdasarkan World Health Organization (WHO):
Grade I : tumor diferensiasi baik, struktur glandular > 95%
Grade II

: tumor diferensiasi sedang, struktur glandular 50-95%

Grade III

: tumor diferensiasi buruk, struktur glandular 5-50%

Grade IV

: tumor tidak berdiferensiasi, struktur glandular < 5%.2

Awalnya, staging KKR menggunakan sistem Dukes, namun saat ini sudah
ditinggalkan. Staging dan pembagian stadium klinis KKR mengacu pada revisi
panduan American Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi ke-7 tahun 2010,
sebagai berikut:
13

Tumor (T)
Tx

: tumor primer tidak dapat dinilai

T0

: tidak terdapat bukti keberadaan tumor primer

Tis
propria

: karsinoma insitu, intraepitelial atau invasi lamina

T1

: tumor menginvasi submukosa

T2

: tumor menginvasi lapisan muskularis propria

T3

:tumor menginvasi melalui muskularis propria ke jaringan


perikolorektal

T4a

: tumor penetrasi ke permukaan lapisan peritoneum viseral

T4b

: tumor menginvasi langsung atau melekat pada


organ atau struktur sekitarnya

Nodul (N) Kelenjar Getah Bening (KGB) Regional


Nx

: nodus limfa regional tidak dapat dinilai

N0

: tidak terdapat metastasis ke kelenjar getah bening regional

N1

: metastasis pada 1-3 KGB regional

N1a

: metastasis hanya pada 1 KBG regional

N1b

: metastasis pada 2-3 KGB regional

N1c

: deposit tumor pada subserosa, mesenterika, atau jaringan


perikolik atau perirektal yang tidak terselubungi oleh selaput
peritoneal tanpa disertai metastasis KGB regional

N2

: metastasis pada 4 atau lebih KGB regional

N2a

: metastasis pada 4-6 KGB regional

N2b
-

: metastasis pada 7 atau lebih KGB regional

Metastasis (M)
M0

: tidak terdapat metastasis jauh


14

M1

: terdapat metastasis jauh

M1a

: metastasis terbatas pada satu organ, seperti hati, paru,


ovarium,
atau nodus nonregional

M1b
peritoneum.

: metastasis pada lebih dari satu organ/situs atau ke

Tabel 2.3 Klasifikasi Stadium Klinis Pasien Karsinoma Kolorektal8

Perlu diketahui bahwa klasifikasi Tis meliputi sel kanker yang terbatas dalam
membran basal kelenjar mukosa (intraepitelial) atau lamina propria mukosa
(intramukosal) tanpa ekstensi dari mukosa pars muskularis ke submukosa. Invasi
langsung pada klasifikasi T4 yang dimaksud adalah infiltrasi massa tumor ke
jaringan sekitar melalui serosa, seperti invasi kolon sigmoid oleh karsinoma
pada

sekum,

atau

tumor

pada

dinding

posterior

kolon desenden yang

menginfiltrasi ginjal kiri atau dinding abdomen lateral. Pada beberapa klasifikasi,
kadang dicantumkan tulisan cTNM dan pTNM, di mana c yang dimaksud adalah
clinical atau klasifikasi klinis dan pathological atau klasifikasi patologis, secara
berturut- turut.
d. Deteksi Dini (Skrining), Metode, Indikasi, dan Rekomendasinya
KKR memiliki peranan penting dalam meningkatkan angka survival dan menurunkan
morbiditas serta mortalitas. Skrining merupakan investigasi pada individu
15

asimtomatik, yang bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini
sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.2 Indikasi dilakukannya skrining adalah:
-

Usia di atas 40 tahun

Kelompok masyarakat dengan risiko tinggi:

Kolitis ulseratif atau penyakit Crohn selama lebih dari 10 tahun

Telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal

Riwayat keluarga dengan KKR.

Metode deteksi dini pada populasi umum:


1)

Uji darah samar feses setiap tahun. Uji ini menurunkan mortalitas KKR

sebesar 16% hingga 23%


2)

Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Kebanyakan KKR berasal dari

adenoma sehingga setiap lesi perlu diangkat. Tindakan polipektomi telah terbukti
menurunkan risiko KKR.
Metode deteksi dini pada populasi dengan risiko tinggi:
1) Penderita kolitis ulseratif atau penyakin Crohn > 10 tahun. Bila > 20 tahun
atau ditemukan displasia, kolonoskopi dilakukan setiap tahun
2) Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal.
Bila telah menjalani polipektomi adenoma kolorektal: follow up kolonoskopi;
bila ukuran polip < 1 cm pada follow up maka dilakukan kolonoskopi setiap 5
tahun; bila ditemukan > 3 adenoma atau paling sedikit satu berukuran > 1 cm
atau adanya displasia berat maka dilakukan kolonoskopi setiap 3 tahun.
3) Riwayat keluarga KKR.2
Tabel 2.3 Rekomendasi Deteksi Dini Menurut Tingkat Risiko2
Risiko
Tinggi

Sedang

Kriteria
Kolonoskopi setiap 2 tahun;
tawarkan

Usia skrining
30 70 tahun; untuk Ca
gaster

endoskopi setiap 2 tahun; deteksi dini


untuk
kanker lain yang berhubungane
HNPCC
Kolonoskopi
tunggal; kolonoskpi 30 35 tahun dan 55
ulang
tahun
normal
16

Rendah

Penyuluhan
pada
penderita
menerapkan
gaya hidup sehat
untuk

Tidak perlu

5. Penatalaksanaan
Berkaitan dengan terapi, karsinoma kolorektal, khususnya di Indonesia, sebagian
besar didiagnosis pada stadium lanjut atau manakala telah terjadi komplikasi ke
struktur/organ sekitar. Akibatnya, hasil akhir dari penatalaksanaan akan jauh dari
yang diharapkan. Beberapa

risiko

utama

dari

penatalaksanaan

karsinoma

kolorektal adalah tingginya angka kekambuhan lokal, gangguan fungsi seksual,


serta fungsi berkemih. Seperti halnya tumor solid pada umumnya, pilihan modalitas
terapi utama pada karsinoma kolorektal adalah terapi pembedahan. Namun, saat ini
telah banyak dikembangkan metode terapi adjuvan, berupa kemo- dan radioterapi
yang melalui berbagai studi telah terbukti mengurangi insiden rekurensi dari
karsinoma kolorektal pascareseksi.
a. Modalitas Terapi
- Pembedahan
Prinsip reseksi karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor primer bersama
dengan jaringan limfovaskularnya. Namun karena aliran limfatik pada kolon
acapkali mengikuti suplai arteri utama, panjang dari usus yang direseksi
bergantung pada vaskular yang mempendarahi segmen kolon yang terlibat
dengan kanker. Manakala omentum pun terlibat oleh infiltrasi jaringan tumor,
maka harus direseksi secara en bloc bersama dengan tumor primernya, yang
mencakup pula pengangkatan kolon normal ke arah proksimal dan distal dari
tumor. Sedikit berbeda dengan karsinoma pada kolon, prinsip reseksi karsinoma
pada rektum lebih kompleks karena struktur anatomis lain di sekitarnya, seperti
ureter, kandung kemih, prostat, vagina, pembuluh iliaka, dan sakrum. Oleh sebab
itu, tidak jarang jika sulit mendapatkan batas tepi sayatan bebas tumor, khususnya
yang telah ekstensi ke dinding usus oleh karena keterbatasan anatomi rongga
pelvis ini.
Berbagai pilihan terapi pembedahan untuk karsinoma kolorektal antara lain:
17

Pada kolon intraperitoneal dan rektum sepertiga atas


Reseksi dan anastomosis

Rektum sepertiga tengah


Reseksi abdominoperineal, reseksi anterior rendah (low anterior
resection), reseksi abdominosakralis, reseksi koloanal, eksisi lokal
(fulgurasi), TME, dan terapi radiasi primer

Rektum sepertiga bawah


Reseksi abdominoperineal, eksisi lokal (fulgurasi), dan terapi radiasi
4
primer.

Seperti yang telah disebutkan, untuk rektum sepertiga tengah, dapat dilakukan
eksisi lokal untuk tumor rektal. Eksisi dilakukan pada area distal sepanjang 10 cm
pada rektum karena area tersebut dapat diakses secara transanal. Salah satu
contohnya adalah eksisi transanal untuk adenoma jinak nonsirkumferensial.
Namun

karena

segala

keterbatasan

dari

terapi

lokal

tersebut,

lebih

direkomendasikan untuk melakukan reseksi radikal pada sebagian besar kasus


karsinoma rektum, yaitu pengangkatan tumor bersama dengan jaringan
limfovaskular dengan batas dinding distal sepanjang 2 cm untuk reseksi kuratif.

Untuk kanker rektum, sangat direkomendasikan melakukan total mesorectal


excision (TME) yang diketahui dapat mengurangi angka rekurensi lokal dan
memperbaiki angka survival. TME pada rektum bagian atas dilakukan sesuai
prosedur TME, sedangkan pada rektum bagian tengah dan bawah harus dilakukan
preservasi pada saraf-saraf otonom untuk mencegah disfungsi seksual dan
bladder. .
TME merupakan teknik diseksi tajam di sepanjang bidang anatomis untuk
memastikan reseksi komplit dari mesenterium rektal saat dilakukan reseksi
rendah dan anterior rendah ekstensif, sampai 5 cm di bawah tumor. Untuk rektum
bagian atas atau reseksi rektosigmoideksisi mesorektal parsial cukup dilakukan
minimal 5 cm distal dari tumor. Keuntungan dari TME selain dari angka
rekurensi yang rendah adalah rendahnya risiko perdarahan dan cedera nervus.

18

Gambar berikut menyajikan secara skematis bagaimana teknik bedah TME


2,4

dilakukan intraoperatif.

Gambar 2.4 Prosedur Total Mesorectal Excision. Pada dua gambar


pertama dilakukan diseksi tajam pada bidang avaskular presakralis, di mana
gambar kedua memperlihatkan diseksi yang mencakup refleksio peritoneal.

19

Pada gambar ketiga dilakukan diseksi anterior yang melibatkan fasia


4

Denonvilliers.

Gambar 2.5 Reseksi Abdominoperineal

Berkaitan dengan topik besar mengenai karsinoma kolorektal, secara umum


terdapat berbagai macam metode teknik pembedahan untuk karsinoma kolorektal,
yang mana pilihannya bergantung pada stadium dan lokasi karsinoma tersebut.
Menurut

panduan

pengelolaan

adenokarsinoma

kolorektal

dari

Pokja

Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia Revisi tahun 2006, prosedur standar


mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Heald dkk.
Berikut ini adalah gambaran skematis untuk istilah berbagai reseksi segmental
pada kolon dan rektum sepertiga atas.

20

Gambar 2.6 Reseksi Kolon. Reseksi segmen A-C: Ileokolektomi; A + B D:


kolektomi asendens; A + B F: hemikolektomi kanan; A + B G:
hemikolektomi kanan ekstensif; E + F sampai G + H: kolektomi transversum; G
I: hemikolektomi kiri; F I: hemikolektomi kiri ekstensif; J + K: kolektomi
sigmoid (sigmoidektomi); A + B J: kolektomi subtotal; A + B K: kolektomi
total; A + B L: proktokolektomi total.7
- Kemoterapi Adjuvan dan Neoadjuvan
Pada stadium II, pasien dengan karsinoma kolorektal memiliki risiko tinggi
terjadinya rekurensi sistemik dan perlu mendapatkan kemoterapi. Menurut
panduan penatalaksanaan, beberapa faktor yang menempatkan seorang pasien
pada risiko tinggi terjadinya relaps antara lain:

Derajat keganasan 3-4

Invasi limfatik atau pembuluh darah

Obstruksi usus

Kurang dari 12 KGB yang diperiksa

Klasifikasi T4, N0, M0 atau T3 dengan perforasi terlokalisasi

Tepi sayatan positif untuk tumor atau tepi sayatan dengan penentuan batas
yang terlalu dekat dengan tumor atau sulit ditentukan.

Kemoterapi untuk karsinoma kolorektal telah berkembang pesat dalam dekade


terakhir. Beberapa protokol pemberian sitostatika pada kanker kolorektal yang
saat ini dianut, antara lain:
21

2
Capecitabine tunggal: 2500 mg/m /hari terbagi dalam 2 dosis; hari 1-14
diikuti dengan 7 hari istirahat dan diulangi tiap 3 minggu
2
Protokol Mayo: leucovorin 20 mg/m bolus intravena hari 1-5; 5-FU 425
2
mg/m bolus intravena 1 jam setelah leucovorin hari 1-5, diulangi setiap 4
minggu.
Protokol Roswell-Park: leucovorin 500 mg/m

intravena selama 2

jam hari 1, 8, 15, 22, 29, dan 36; 5-FU 500 mg/m

intravena 1 jam

setelah leucovorin pada hari-hari tersebut; diulangi setiap 6 minggu.


Protokol de Gramont: dekstro-leucovorin 200 mg/m

(100 mg/m

bila digunakan levo-leucovorin atau ca-levofolinat) intravena selama 2


jam, hari 1 dan 2; 5-FU 400 mg/m

bolus intravena, kemudian 600

2
mg/m intravena selama 22 jam kontinyu, hari 1 dan 2; ulang setiap 2
minggu.
- Radioterapi
Radiasi dalam kasus karsinoma kolorektal dapat diberikan pada tumor yang
bersifat resektabel maupun nonresektabel. Tujuan dari pemberian radiasi antara
lain:
Mengurangi risiko rekurensi lokal, terutama pada pasien dengan
prognosis dari histopatologis yang buruk
Meningkatkan kemungkinan preservasi sfingter
Meningkatkan kemungkinan resektabilitas tumor lokal jauh atau
nonresektabel sebelumnya
Mengurangi beban sel tumor sehingga mengurangi kemungkinan
kontaminasi sel tumor secara hematogenus saat operasi.
Radiasi dapat dilakukan secara eksternal, baik pre- maupun pascaoperatif,
brakiterapi/internal, baik intrakavitas maupun interstitial. Radiasi eksternal
pascaoperatif direkomendasikan untuk diberikan bersama infus 5-FU dan
leucovorinpada karsinoma T3N0. Pemberian brakiterapi endokaviter ditujukan
sebagai alternatif pembedahan pada kanker stadium 0. Kombinasi radiasi eksterna
22

dengan brakiterapi endokaviter diberikan sebagai alternatif pembedahan pada


stadium I dengan tumor kurang dari 3 cm, berdiferensiasi baik, tanpa ulserasi,
fiksasi, maupun keterlibatan kelenjar getah bening.

6. Prognosis dan Komplikasi


a. Prognosis dan Survivabilitas
Diketahui bahwa progesivitas alami dari perjalanan klinis karsinoma kolorektal
meliputi invasi lokal, penyebaran limfatik, dan penyebaran hematogenosa.
Pada setiap 100 pasien yang awalnya dievaluasi, 30 orang di antaranya akan
secara klinis terdeteksi telah mengalami metastasis jauh, sedangkan 70 orang
sisanya akan menjalani proses reseksi untuk tumor lokal. Di antara ke-70 orang
tersebut, 45 akan sembuh dan sisanya mengalami rekurensi. Sampai saat ini,
melalui berbagai studi prospektif ditemukan bahwa angka survivabilitas 5 tahun
adalah sebesar 62,1%. Terdapat berbagai faktor yang berhubungan dengan
prognosis tersebut, dan sedikit banyak akan menentukan derajat risiko populasi
dalam program deteksi dini.
b. Komplikasi
-

Rekurensi lokoregional
Kekambuhan lokoregional pada karsinoma di rektum mencakup kekambuhan
anastomosis, tumor bed, dan KGB. Pasien dengan kanker kolorektal sangat
memerlukan pemantauan yang intensif dan komprehensif, terutama pada
pasien yang telah menjalani reseksi tumor primer sesuai prosedur. Alasan
yang mendasari hal tersebut adalah karena 50% akan rekurensi dalam 18 bulan
pascapembedahan dan 90% dalam 3 tahun. Beberapa metode pemeriksaan
yang dapat dilakukan antara lain dengan CT scan (sensitivitas 95%),
namun perlu kehati-hatian karena terdapat granulasi pascapembedahan,
edema, perdarahan, dan fibrosis yang dapat membuat kerancuan dengan
massa tumor yang dimaksud. Kelemahan lain dari CT-scan (dan MRI) adalah
tidak dapat membedakan tumor jinak

dan

intraluminer,

dan barium kontras ganda dapat

digunakan

modalitas
(sensitivitas

endoskopi
97%).

ganas.

Penggunaan

Untuk

antigen

kekambuhan

karsinoembrionik

(carcinoembryonic antigen/CEA) dapat dievaluasi tiap 2-3 bulan selama 2


tahun atau lebih, di mana terjadinya peningkatan mengindikasikan perlunya
23

evaluasi metastasis. Prosedur kolonoskopi dapat dilakukan tiap 3-5 bulan


jika perlu untuk mendeteksi kanker dan polip baru.
- Metastasis
Metastasis secara hematogenus paling banyak terjadi pada hepar. Melalui studi,
diektahui reseksi metastasis hepar berkaitan dengan angka survivabilitas 5 tahun
sebanyak 25-30%. Pasien yang dapat menjadi kandidat untuk reseksi hepatik
akibat metastasis adalah pasien yang tidak terbukti memiliki tumor ekstrahepatik,
tidak terdapat kontraindikasi medis terhadap pembedahan, dan lesi ditemukan
dalam jumlah yang terbatas dengan batas sayatan negatif. Pada kasus metastasis
yang tidak dapat dilakukan reseksi, dapat diberikan alternatif kemoterapi regional
melalui arteri hepatika (contohnya Fluorodeoksiuridin). Untuk mendeteksi
metastatasis

hepar, dapat

dilakukan

pemeriksaan

ultrasonografi

dengan

sensitivitas 57% (berkurang menjadi 20% pada ukuran tumor lebih kecil dari 1
cm). Modalitas diagnostik lain adalah CT scan dengan kontras yang memiliki
sensitivitas tinggi (78-90%).
Situs metastatik lainnya adalah ke organ paru, yang memiliki insiden kurang
lebih 10%. Sampai saat ini belum ada metode diagnostik pilihan untuk kasus
metastasis paru sehingga sejauh ini dapat dilakukan foto polos thoraks rutin untuk
mendeteksi kasus asimptomatik. Situs metastasis lainnya adalah tulang dengan
insidensi 4%. Untuk kasus tersebut, bone scan merupakan pilihan metode paling
sensitif.

24

25

Anda mungkin juga menyukai