Anda di halaman 1dari 8

Bioavailabilitas merupakan salah satu unsur penting

dalam farmakokinetik. Bioavailabilitas harus dipertimbangkan saat


menghitung
dosis untuk rute pemberian selain intravena.
Bioavailabilitas adalah ukuran dari obat aktif secara terapetik yang
mencapai sirkulasi sistemik. Bioavailabilitas disimbolkan dengan huruf F.
Bioavailabilitas absolut membandingkan bioavailabilitas (dinilai sebagai
AUC, daerah di bawah kurva) dari obat aktif dalam sirkulasi sistemik yang
mengikuti rute pemberian selain secara intravena dengan bioavailabilitas
dari obat
yang sama secara intravena. Bioavailabilitas absolut merupakan hasil dari
obat
yang diabsorpsi melalui rute pemberian selain intravena yang dibandingkan
dengan pemberian secara intravena pada obat yang sama. Perbandingannya
harus
pada dosis yang normal jika digunakan dosis yang berbeda. Hasilnya
diperoleh
dengan membagikan AUC dari tiap pemberian.
Dalam rangka menentukan bioavailabilitas absolut obat, suatu studi
farmakokinetik harus dilakukan untuk memperoleh suatu konsentrasi obat
dalam
plasma vs waktu obat setelah pemberian secara intravena dan yang selain
intravena. Bioavailabilitas absolut merupakan dosis koreksi dari area di
bawah
kurva (AUC) pemberian selain iv dibagi dengan AUC pemberian secara iv.
Sebagai contoh, rumus untuk menghitung F untuk suatu obat yang diatur oleh
rute
pemberian oral (po) adalah seperti ini :

Rikha Sarah : Pemeriksaan Ketersediaan Hayati Dari Tablet Ibuprofen Pada


Hewan Kelinci, 2009.

Oleh karena itu, suatu obat yang diberikan secara intravena


akan
mempunyai suatu kemutlakan bioavailabilitas 1 (F=1) sementara obat yang
diberi
oleh rute lain pada umumnya mempunyai bioavailabilitas absolut kurang dari
satu.
Bioavailabilitas absolut adalah bioavailabilitas yang mengukur
(diperkirakan sebagai area di bawah kurva, atau AUC) dari suatu obat
tertentu
ketika dibandingkan dengan rumus lain dari obat yang sama, pada umumnya
ditetapkan standard, atau melalui pemberian suatu rute yang berbeda. Ketika
standard terdiri dari obat yang diberikan melalui secara intravena, ini
dikenal
sebagai bioavailabilitas absolut.

Bioavailabilitas absolut suatu obat, ketika diberikan melalui rute


ekstravaskuler, pada umumnya kurang dari satu ( yaitu. F<1). Berbagai
faktor
fisiologis mengurangi ketersediaan obat sebelum masuk ke dalam peredaran
darah.
Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah :
1. Sifat fisis obat (hidrofobisitas, pKa, daya larut)
2. Formulasi obat (pelepasan segera, penggunaan bahan tambahan,
metode pembuatan, pelepasan yang dimodifikasi, pelepasan yang
ditunda, extended release, sustained release, dll.)
3. Obat yang diberikan bersama makanan atau saat puasa

4. Pengosongan lambung
5. Induksi enzim/hambatan oleh obat/makanan lain
6. Interaksi dengan obat lain, dan sebagainya (Anonim, 2008).
Rikha Sarah : Pemeriksaan Ketersediaan Hayati Dari Tablet Ibuprofen Pada
Hewan Kelinci, 2009.

2.4 Bioekivalensi
Alasan utama dilakukannya studi bioekivalensi oleh karena produk obat
yang dianggap ekivalen farmasetik yang sebanding pada penderita.
Persyaratan
bioekivalensi diberlakukan oleh FDA atas dasar sebagai berikut:
1. Adanya fakta dari percobaan klinik yang terkendali dengan baik atau
pengamatan terkendali pada penderita yang menyatakan bahwa berbagai
produk obat tidak memberi efek terapetik yang sebanding.
2. Adanya fakta dari studi bioekivalensi yang terkendali dengan baik yang
menyatakan bahwa produk-produk tersebut bukan merupakan produk obat
yang bioekivalen.
3. Adanya fakta bahwa produk-produk obat memperlihatkan rasio terapetik
yang sempit dan konsentrasi efektif minimum dalam darah, serta
penggunaannya secara aman dan efektif memerlukan titrasi dosis yang
cermat dan memerlukan pemantauan penderita.
4. penetapan secara medik oleh yang berwenang menyatakan bahwa suatu
kekurangan bioekivalensi akan menyebabkan suatu efek yang tidak
dikehendaki yang membahayakan dalam pengobatan atau pencegahan
suatu penyakit atau kondisi-kondisi yang parah.
5. Sifat-sifat fisikokimia sebagai berikut:
a. Bahan obat aktif mempunyai kelarutan rendah dalam air, misal lebih
kecil dari 5 mg/ml.
b. Laju pelarutan dari satu atau lebih produk rendah, misal lebih kecil
dari 50 % dalam 30 menit bila diuji dengan metode umum yang
ditetapkan oleh FDA.
Rikha Sarah : Pemeriksaan Ketersediaan Hayati Dari Tablet Ibuprofen Pada
Hewan Kelinci, 2009.

c. Ukuran partikel dan/atau luas permukaan bahan obat aktif merupakan


hal yang sangat menentukan bioavailabilitas obat tersebut.
d. Bentuk struktur tertentu dari bahan obat aktif (misal bentuk polimorf,
solvat, kompleks dan modifikasi kristal) melarut sangat kecil, sehingga
mempengaruhi absorpsi.
e. Produk-produk obat yang mempunyai perbandingan bahan tambahan
yang besar terhadap bahan aktif, misal lebih besar dari 5:1.
f. Bahan inaktif tertentu (misal bahan tambahan hidrofilik atau
hidrofobik dan lubrikan) mungkin diperlukan untuk absorpsi bahan
aktif atau bagian terapetik atau dapat mempengaruhi absorpsi.
6. Sifat farmakokinetik sebagai berikut:
a. Bahan obat aktif, bagian terapetik, atau prekursornya diabsorpsi dalam
jumlah besar pada bagian tertentu saluran cerna atau diabsorpsi pada
suatu tempat terbatas.
b. Derajat absorpsi bahan aktif, bagian yang berkhasiat atau prekursornya
kecil (misal, lebih kecil dari 50 % dibandingkan terhadap suatu dosis
intravena) begitu pula bila diberikan dalam bentuk murni (misal
larutan).
c. Terjadi metabolisme cepat dari bagian terapetik di dalam dinding usus
atau hati selama proses absorpsi (metabolisme orde kesatu), sehingga
laju absorpsi biasanya tidak berpengaruh terhadap efek terapetik
dan/atau toksisitas produk obat.

d. Bagian terapetik dimetabolisme atau diekskresi secara cepat, sehingga


pelarutan dan absorpsi yang cepat diperlukan untuk keefektifannya.
Rikha Sarah : Pemeriksaan Ketersediaan Hayati Dari Tablet Ibuprofen Pada
Hewan Kelinci, 2009.

e. Bahan obat aktif atau bagian terapetik tidak stabil dalam bagian
tertentu saluran cerna dan memerlukan penyalutan atau formulasi
tertentu (misal, dapar, salut enterik, dan salut film ) untuk memastikan
absorpsi yang cukup.
f. Produk obat yang mengikuti kinetika yang bergantung dosis (dosedependent kinetics) dalam atau dekat rentang terapetiknya, dan laju
serta jumlah absorpsi mempengaruhi bioekivalensi (Shargel, 2005).
2.5 Absorpsi
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul
obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati
sawar
biologik (Aiache, et al., 1993). Absorpsi obat adalah peran yang terpenting
untuk
akhirnya menentukan efektivitas obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat
mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati
berbagai membran sel. Pada umumnya, membran sel mempunyai struktur
lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel (Shargel,
2005).
Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan
biologis.
Kelarutan serta cepat-lambatnya melarut menentukan banyaknya obat
terabsorpsi.
Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama adalah cairan
gastrointestinal, dari sini melalui membran biologis obat masuk ke
peredaran
sistemik. Disolusi obat didahului oleh pembebasan obat dari bentuk
sediaannya.
Secara ringkas proses biofarmasetik digambarkan dalam gambar 1 (Joenoes,
2002).

Rikha Sarah : Pemeriksaan Ketersediaan Hayati Dari Tablet Ibuprofen Pada


Hewan Kelinci, 2009.

Gambar 1. Fase Biofarmasetik Obat (Joenoes, 2002).


Obat yang terbebaskan dari bentuk sediaannya belum tentu diabsorpsi, jika
obat tersebut terikat pada kulit atau mukosa disebut adsorpsi. Jika obat
sampai
tembus ke dalam kulit, tetapi belum masuk ke kapiler disebut penetrasi.
Jika obat
meresap/menembus dinding kapiler dan masuk ke dalam saluran darah disebut
absorpsi (Joenoes, 2002).
Perpindahan obat dari suatu bentuk sediaan dosis oral ke dalam sirkulasi
sistemik bisa dicapai dengan tiga langkah yaitu:
a. Penghantaran obat pada tempat absorpsinya
b. Obat dalam bentuk larutan
c. Penembusan obat ke dalam sirkulasi sistemik (Syukri, 2002).
Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh dari
sistem LADME (Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi). Bila
pembebasan obat dari bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka
disolusi

dan juga absorpsinya lama, sehingga dapat mempengaruhi efektivitas obat


secara
keseluruhan (Joenoes, 2002).
2.5.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat
a. Ukuran partikel obat
Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan yang
kontak dengan cairan/pelarut. Bertambah kecil partikel, bertambah luas
permukaan total, bertambah mudah larut (Joenoes, 2002).
Rikha Sarah : Pemeriksaan Ketersediaan Hayati Dari Tablet Ibuprofen Pada
Hewan Kelinci, 2009.

b. Pengaruh daya larut obat


Pengaruh daya larut obat/bahan aktif tergantung pada:
- Sifat kimia: modifikasi kimiawi obat
- Sifat fisik: modifikasi fisik obat
- Prosedur dan teknik pembuatan obat
- Formulasi bentuk sediaan/galenik dan penambahan eksipien (Joenoes, 2002).
c. Beberapa faktor lain fisiko-kimia obat
- pKa dan derajat ionisasi obat
Konsentrasi relatif bentuk ion/molekul bergantung pada pKa obat dan juga
pada pH lingkungannya. Kebanyakan obat berupa asam lemah atau basa lemah;
oleh karena absorpsi dengan cara difusi pasif hanya terjadi dalam bentuk
tidak
terionisasi atau molekul, maka perbandingan obat yang tidak terionisasi
sangat
menentukan absorpsi. pKa obat merupakan faktor penting, apakah obat itu
bila
diberikan per oral diabsorpsi lebih banyak di lambung atau lebih banyak di
usus
(Joenoes, 2002).
- Koefisien partisi lemak/air (Joenoes, 2002).
2.6 Ikatan Obat pada Protein plasma
Plasma dan serum merupakan cairan darah yang bebas dari sel dan samasama berwarna kuning jernih. Plasma didapat dengan melakukan sentrifuge
terhadap darah yang telah ditambahkan antikoagulan (seperti heparin), tapi
serum
didapat dengan penggumpalan spontan tanpa penambahan antikoagulan (Sadikin,
2002).
Rikha Sarah : Pemeriksaan Ketersediaan Hayati Dari Tablet Ibuprofen Pada
Hewan Kelinci, 2009.

Senyawa yang terdapat dalam plasma salah satu diantaranya adalah protein
plasma yang merupakan senyawa dengan ukuran molekul besar. Protein yang
terdapat dalam plasma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu albumin
dan globulin (Sadikin, 2002).
Protein yang terkandung dalam serum dan plasma tidak sama. Plasma
meliputi semua jaringan dari tubuh, termasuk elemen selular dari darah.
Diduga
bahwa obat dalam plasma berada pada kondisi yang equilibrium yang dinamis
dengan jaringan, sehingga perubahan konsentrasi obat dalam plasma akan
menggambarkan perubahan konsentrasi obat di jaringan (Shargel, 2005).
Ikatan antara zat aktif dan protein plasma tidak terlalu kuat, tetapi
fenomena
tersebut berperan pada penyebaran zat aktif dalam jaringan, karena
konsentrasi zat

aktif dalam cairan interstisial ekstraseluler dapat lebih rendah dari


konsentrasi
dalam plasma (Aiache, 1993).
Ikatan zat aktif dan protein pada umumnya mengikuti hukum aksi masa, jadi
terdapat keseimbangan bolak-balik antara bentuk bebas dengan bentuk terikat
yang merupakan ketersediaan obat dalam plasma dan jumlah setiap bentuk
beragam tergantung pada senyawanya. Jumlah bentuk bebas awalnya tergantung
pada difusi zat aktif yang masuk ke dalam plasma serta aktivitas dan
lamanya
dalam peredaran. Gradien konsentrasi hanya tergantung pada konsentrasi
bentuk
bebas dalam plasma dan difusi (pasif atau sederhana) yang terus terjadi
hingga
tercapai keseimbangan dengan bentuk bebas dalam semua cairan seluler atau
ekstraseluler (Aiache, 1993).
Hanya obat bentuk bebas yang dapat terikat dengan reseptor farmakologi
dan ikatan ini yang menentukan efektivitas klinik dari zat aktif. Bentuk
yang
Rikha Sarah : Pemeriksaan Ketersediaan Hayati Dari Tablet Ibuprofen Pada
Hewan Kelinci, 2009.

terikat tidak aktif, tetapi ikatan ini hanya bersifat sementara. Bila
sebagian bentuk
bebas dimetabolisme dan atau ditiadakan, maka bentuk terikat akan
melepaskan
bentuk bebasnya. Jadi ikatan plasma memperbaiki efek farmakologik dengan
memperpanjang efek obat dan mengurangi intensitas efek awal (Aiache, 1993).
2.7 Spektrofotometri
Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara
radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik
yang
sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektroskopi ultraviolet,
cahaya
tampak, inframerah dan srapan atom. Untuk serapan ultraviolet, daerah
spektrumnya adalah 190 nm hingga 380 nm, sedangkan untuk serapan cahaya
tampak, daerah spektrumnya adalah 380 nm hingga 780 nm (Depkes RI, 1995).
2.7.1 Hukum Lambert-Beer
Daya dari suatu berkas radiasi akan berkurang sehubungan dengan jarak
yang ditempuhnya melalui medium penyerap. Daya tersebut juga akan berkurang
sehubungan dengan kadar molekul atau ion yang terserap dalam medium
tersebut
(Depkes RI, 1995).
Hukum Lambert-Beer adalah hubungan linieritas antara absorban dengan
konsentrasi larutan analit. Biasanya hukum Lambert-Beer ditulis dengan:
A = . b. C
A = absorban (serapan)
= koefisien ekstingsi molar (M-1cm-1)
b = tebal kuvet (cm)
C = konsentrasi (M)
Pada beberapa buku ditulis juga:
Rikha Sarah : Pemeriksaan Ketersediaan Hayati Dari Tablet Ibuprofen Pada
Hewan Kelinci, 2009.

10.
massa molar
A = E. b. C

E = koefisien ekstingsi spesifik (ml g-1cm-1)


b = tebal kuvet (cm)
C = konsentrasi (gram/100 ml)
Hubungan antara E dan adalah:
E =
Pada percobaan, yang terukur adalah transmitan (T), yang didefinisikan
sebagai
berikut:
T = I/Io
I
= intensitas cahaya setelah melewati sampel
Io = intensitas cahaya awal
Hubungan antara A dan T adalah
A = -log T = -log (I/Io)
(Dachriyanus, 2004)
Jika absorbansi suatu seri konsentrasi larutan diukur pada panjang
gelombang, suhu, kondisi pelarut yang sama; dan absorbansi masing-masing
larutan diplotkan terhadap konsentrasinya maka suatu garis lurus akan
teramati
sesuai dengan persamaan A = abc. Grafik ini disebut dengan plot hukum
LambertBeer dan jika garis yang dihasilkan merupakan suatu garis lurus maka dapat
dikatakan bahwa hukum Lambert-Beer dipenuhi pada kisaran konsentrasi yang
diamati (Rohman, 2007).
2.7.2 Spektra Elektronik
Istilah dalam spectra elektronik meliputi kromofor, ausokrom, pergeseran
batokromik, pergeseran hipsokromik, efek hiperkromik dan efek hipokromik.
Kromofor adalah gugus fungsi dalam molekul suatu senyawa yang dapat
Rikha Sarah : Pemeriksaan Ketersediaan Hayati Dari Tablet Ibuprofen Pada
Hewan Kelinci, 2009.

menyerap energi radiasi pada daerah ultraviolet dan sinar tampak, apabila
gugus
tersebut terikat pada suatu residu jenuh yang tidak menyerap radiasi.
Ausokrom
adalah gugus fungsi yang memiliki electron non-bonding (bukan ikatan).
Gugus
ini menyerap radiasi ultraviolet jauh dan tidak menyerap radiasi pada
panjang
gelombang lebih besar dari 200 nm (Ingle dan Crouch, 1988).

Analisis data
Tujuan utama penilaian bioekivalensi adalah untuk menghitung
perbedaan bioavailabilitas antara produk uji dan produk pembanding, dan untuk
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna secara klinik. Jika pada to
ditemukan obat dengan kadar 5% Cmax, maka data dari subyek ini dapat dimasukkan
dalam analisis tanpa penyesuaian.
Tetapi jika Co ini > 5% Cmax maka subyek ini harus dikeluarkan
dari analisis.
Jika subyek muntah pada atau sebelum 2 x median t max, pada studi BE untuk produk
lepas cepat, maka data subyek ini harus dikeluarkan dari analisis. Pada studi BE untuk
produk lepas lambat, data subyek yang. muntah kapan saja harus dikeluarkan.
Observasi yang merupakan outliers tidak boleh dibuang jika tidak ada alasan yang kuat
bahwa telah terjadi kesalahan teknis. Analisis data harus dilakukan dengan dan tanpa

nilai- nilai tersebut dan harus dikaji dampaknya terhadap kesimpulan studi, Harus dicari
penjelasan medis atau farmakokinetik untuk
observasi demikian.
5. 12, 1. Analisis statistik
a, Dari data darah
- Parameter bioavailabilitas. yang dibandinqkan
untuk penilaian bioekivalensi adalah AUC, C max dan tmax
- Cara menghitung AUC0-t ; AUC0- , t1/2
- Data yang bergantung pada kadar yakni AUC dan C max, harus ditransformasi
logaritmik (ln) terlebih dulu sebelum dilakukan analisis statistik karena kinetik
obat mengikuti kinetik first order sehingga dalam skala logaritmik akan diperoleh
distribusi yang normal dan varians yang homogen. Selanjutnya nilai- nilai ln AUC
ke-2

produk dibandingkan menggunakan analisis varians (ANOVA) untuk desain


menyilang 2-way yang memperhitungkan sumber-sumber variasi berikut :
produk obat yang dibandingkan (Test dan Reference),periode pemberian obat (I
dan II). Demikian juga nilai-nilai ln Cmax ke-2 produk dibandingkan dengan cara
yang sama
Rasio rata-rata geometrik T/R = anti ln difference x 100o/o
- Untuk tmax biasanya hanya dilakukan statistik
deskriptif. Jika perlu dibandingkan, digunakan
statistik non-parametrik pada data yang asli
(tidak ditransformasi), dengan = 5% ;
- Untuk ke-3 parameter tersebut di atas, selain dihitung 90% confidence intervals (90% CI) untuk
perbandingan ke-2 produk, juga dihitung statistik ringkasan seperti nilai rata-rata arithmetic &
geometrik, untuk AUC dan Cmax) atau median (untuk tmax), serta nilai-nilai minimum dan
maksimum;

Anda mungkin juga menyukai