Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

Rabu, 20 November 2013 - 12:24:10 WIB


Diposting oleh : mirwandika
- Dibaca: 1606 kali
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat
empat kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran
uang pesangon, ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan
dengan jam kerja.
Upah Minimum
Pengaturan mengenai upah minimum dijelaskan pada pasal 88 90. Dalam
pasal-pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu komponen/kebijakan pengupahan
adalah upah minimum (pasal 88). Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan
kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi (pasal 88). Upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau
kabupaten/kota serta berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota
(pasal 89). Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan
bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum tersebut dapat dilakukan
penangguhan (pasal 90).
Jika diterapkan secara proporsional, kebijakan upah minimum bermanfaat dalam
melindungi kelompok kerja marjinal yang tidak terorganisasi di sektor modern. Namun
demikian, kenaikan upah minimum yang tinggi dalam kondisi pertumbuhan ekonomi
yang rendah di Indonesia belakangan ini telah berdampak pada turunnya keunggulan
komparatif industri-industri padat karya, yang pada gilirannya menyebabkan
berkurangnya kesempatan kerja akibat berkurangnya aktivitas produksi.
Kenaikan upah minimum yang terlalu cepat ini selain berdampak negatif
terhadap prospek pekerja memperoleh pekerjaan di sektor formal, juga menyebabkan
tingkat pengangguran terbuka menjadi lebih tinggi, terutama di kalangan angkatan kerja
usia muda. Tentang upah minimum menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum tidak
mengurangi kesempatan kerja bagi pekerja laki- laki dewasa, pekerja berpendidikan
tinggi atau para profesional. Sebaliknya, kenaikan upah minimum tersebut telah
mengurangi kesempatan kerja bagi pekerja perempuan, pekerja usia muda dan pekerja
kurang terdidik (yaitu mereka yang berpendidikan dasar atau lebih rendah). Studi
SMERU menunjukkan bahwa secara ratarata, kenaikan upah minimum riil sebesar
20%, sebagaimana terjadi di beberapa daerah yang menyebabkan berkurangnya
lapangan pekerjaan sektor formal di daerah perkotaan sebesar 2%, lapangan pekerjaan
bagi pekerja perempuan dan pekerja usia muda berkurang masing-masing sebesar 6%,
1

dan bagi pekerja kurang terdidik sebesar 4%. Kenaikan upah minimum memberikan
dampak yang lebih besar terhadap lapangan pekerjaan bagi kelompok pekerja marjinal
karena upah minimum telah mendekati tingkat upah rata-rata kelompok tersebut di
pasar kerja.
Kenaikan upah minimum yang tinggi akhir- akhir ini di seluruh Indonesia
disebabkan oleh sejumlah kelemahan dalam proses penetapan upah minimum
diantaranya, ketergantungan yang besar terhadap indeks kebutuhan hidup minimum
atau KHM, penetapan indeks secara kurang hati- hati sej ak diberlakukannya otonomi
daerah, tidak adanya pedoman mengenai bagaimana menggunakan kriteria lain dalam
penetapan upah minimum, dan rendahnya partisipasi para stakeholder utamanya dalam
proses penetapan upah. Proses penetapan upah minimum menjadi semakin rumit sejak
penyerahan kewenangan penetapan upah minimum kepada pemerintah daerah di era
otonomi.
PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab
XII pada pasal 150 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan
dengan serikat pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut tidak
mendapatkan persetujuan maka permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja
diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
disertai alasan yang mendasarinya (pasal 152). Selanjutnya dalam pasal 153-155
dijelaskan alasan-alasan yang diperbolehkannya PHK dan alasan-alasan tidak
diperbolehkannya PHK.
Aturan PHK yang diberlakukan pada UU ini telah mempersulit dan menimbulkan biaya
tinggi bagi perusahaan untuk memberhentikan pekerja karena setiap kasus pengurangan
pekerja wajib diajukan kepada pemerintah agar dikeluarkan izinnya. Tidak terdapat
kewenangan manajemen dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan.
Undang-Undang Ketenagakerjaan hendaknya memberikan kewenangan kepada
manajemen dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan, tergantung pada
pelaksanaan kontrak, negosiasi bipartit terhadap keadaan yang menyebabkan terjadinya
PHK yang tidak adil, dan kerangka hukum yang memungkinkan pekerja dan serikat
pekerja naik banding ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial. Sekalipun dalam
UU Ketenagakerjaan keputusan dilakukannya PHK harus didasarkan pada alasan yang
jelas, persetujuan terlebih dahulu untuk melakukan PHK tidak diwajibkan oleh standar
ketenagakerjaan internasional dan tidak diatur oleh sebagian besar undang- undang
ketenagakerjaan modern. Persetujuan terlebih dahulu hendaknya hanya diwajibkan oleh
UU untuk kategori kelompok pekerja tertentu yang rawan pemecatan seperti misalnya
pengurus serikat pekerja.

Jika terjadi PHK perusahaan diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (pasal
156). Dalam pasal tersebut juga dirincikan besarnya uang pesangon/penghargaan
tersebut.
Pada pasal 158 dinyatakan bahwa pengusaha tidak wajib pemberi kerja
membayar uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja kepada pekerja yang
mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat (misalnya,
pencurian atau melakukan kekerasan di tempat kerja). Namun, pengusaha diwajibkan
membayar uang pisah kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau
dipecat karena pelanggaran berat, yang besarannya ditetapkan melalui proses
perundingan bersama.
Terkait dengan aturan mengenai uang pesangon dan uang penghargaan masa
kerja, UU ini telah menaikkan tingkat uang pesangon sebesar antara 19% sampai 63%
bagi pekerja yang masa kerjanya mencapai lima tahun atau lebih. Tingkat uang
pesangon yang baru tersebut termasuk tertinggi di kawasan Asia, khususnya untuk
pesangon yang diberikan kepada pekerja yang terkena PHK karena pengurangan
karyawan .
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ketentuan pesangon ini:
1. Biaya pesangon meningkat pesat dari waktu ke waktu, baik terkait dengan
peningkatan besaran uang pesangon maupun melalui kenaikan upah minimum
yang tinggi. Peningkatan besarnya uang pesangon meningkatkan insentif bagi
pekerja untuk menjadikan dirinya dipecat dengan melakukan pelanggaran ringan
pada setiap waktu tertentu.
2. Diberlakukannya uang pesangon yang tinggi dapat dianggap sebagai pajak di
bidang ketenagakerjaan. Karena pemberi kerja harus membayar uang pesangon
secara lump sum pada saat pekerja dikeluarkan atau saat terjadi pengurangan
karyawan, maka uang pesangon dapat dianggap sebagai pajak atas pemecatan
dan penerimaan karyawan baru, yang dapat mengurangi lapangan pekerjaan di
sektor modern dalam jangka panjang.
3. Uang pesangon berkaitan langsung dengan masa kerja pekerja di perusahaan.
Hal ini menciptakan distorsi dalam pasar kerja. Misalnya, perusahaan akan
cenderung mempertahankan para pekerja yang lebih tua usianya, walaupun
mereka kurang produktif dibandingkan yang jauh lebih muda karena biaya yang
harus dikeluarkan untuk memecat pekerja yang lebih tua lebih mahal. Dengan
cara demikian, struktur uang pesangon saat ini berpotensi menghambat bagi
penempatan pekerja usia muda sebagai pekerja.

4. Mengaitkan uang pesangon dengan masa kerja juga mengurangi insentif


pemberi kerja untuk berinvestasi dalam SDM (human capital) terutama jika
keahlian yang diperlukan merupakan keahlian khusus. Alasannya adalah bahwa
pembayaran uang pesangon mendorong pekerja tersebut untuk berganti
pekerjaan dan ini akan merupakan biaya besar bagi perusahaan sehingga dalam
jangka panjang perusahaan kehilangan insentif untuk berinvestasi bagi
pekerjanya.
5. Besarnya uang pesangon mendorong timbulnya perselisihan industrial karena
kebanyakan perusahaan tidak menyiapkan diri untuk melakukan pembayaran
uang pesangon, sehingga pekerja mempunyai inisiatif untuk menunggu dipecat
daripada mengundurkan diri secara sukarela walaupun pekerja sudah tidak
produktif lagi.
Hubungan Kerja
Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk
waktu tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian kerja untuk
waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat
atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang
sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c.
pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk
baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan
yang bersifat tetap.
Undang-undang ini juga mengatur berbagai persyaratan penggunaan tenaga
kerja dan pemborongan produk dari luar perusahaan. Penggunaan pekerja kontrak,
pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar (outsourcing), dan
perekrutan tenaga kerja melalui agen penempatan tenaga kerja dibatasi hanya untuk
beberapa jenis pekerjaan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Pemborongan
pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar hanya diperbolehkan bagi pekerjaan yang
bukan pekerjaan utama dari perusahaan. Selanjutnya dalam konteks ini hubungan kerja
yang terjadi adalah antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
(pasal 64 66)
Tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk memberikan
perlindungan kerja di tingkat perusahaan bagi pekerja di sektor modern. Meskipun
demikian, bila ketentuan-ketentuan UU tersebut diimplementasikan secara kaku,
ketentuan-ketentuan tersebut akan menghambat sebagian angkatan kerja untuk
memperoleh kesempatan kerja di sektor modern. Selain itu, pekerja kontrak memiliki
kesempatan yang lebih kecil untuk cuti libur yang dibayar, cuti sakit, tidak termasuk
dalam program pensiun, dan kurang memperoleh akses untuk pelatihan. Meskipun,
4

pekerja kontrak biasanya terus memperoleh pekerjaan dan pada akhirnya menjadi
pekerja tetap, tetapi hal ini jarang terjadi pada pekerja berpendidikan rendah.

Diana Kusumasari, S.H., M.H.


Ketidakseragaman batasan usia dewasa atau batasan usia anak pada berbagai
peraturan perundang-undangan di Indonesia memang kerap menimbulkan pertanyaan
mengenai batasan yang mana yang seharusnya digunakan. Berikut di bawah ini
beberapa pengaturan batasan usia anak dan dewasa menurut peraturan perundangundangan yang ada di Indonesia yang kami sarikan dari buku Penjelasan Hukum
Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan
Umur) terbitan NLRP.
Tabel 1: Umur Anak/belum dewasa

Dasar Hukum

Pasal

Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek)

Pasal 330

UU No. 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan

Pasal 47

Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai


umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin
sebelumnya.

Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang


belum mencapai 18 tahun.
UU No. 13 Tahun 2003
tentang
Ketenagakerjaan

Pasal 1 angka 26

UU No. 12 Tahun 1995


tentang
Pemasyarakatan

Pasal 1 angka 8

Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18


(delapan belas) tahun

Anak didik pemasyarakatan adalah:


a.

Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan


pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

b.

Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan


pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan
ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur
18 (delapan belas) tahun;

c.

Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua


atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk
6

dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18


(delapan belas) tahun.
UU No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan
Anak

Pasal 1

UU No. 39 Tahun 1999


tentang Hak Asasi
Manusia

Pasal 1 angka 5

UU No. 23 Tahun 2002


tentang Perlindungan
Anak

Pasal 1 ayat (1)

UU No. 44 Tahun 2008


tentang Pornografi

Pasal 1 ayat (4)

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah


mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin

Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18


(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak
yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya.

Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan


belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan


belas) tahun.
UU No. 12 Tahun 2006
tentang
Kewarganegaraan
Republik Indonesia

Pasal 4

UU No. 21 Tahun 2007


tentang Pemberantasan
Tindak Pidana
Perdagangan Orang

Pasal 1 angka 5

Warga Negara Indonesia adalah: ag ...


anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu
warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga
Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan
belas) tahun atau belum kawin.

Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan


belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Tabel 2: Umur Dewasa

Dasar Hukum

Pasal
7

Kompilasi Hukum Islam

Pasal 98 ayat [1]


Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau
dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak
bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.

SK Mendagri Dirjen Agraria


Direktorat Pendaftaran
Tanah (Kadaster) No.
Dpt.7/539/7-77, tertanggal
13-7-1977

Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan


dalam:
a.

dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17


tahun untuk dapat ikut Pemilu;

b.

dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18


tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan
menurut Undang-Undang Perkawinan yang baru;

c.

dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan


adalah batas umur tertentu menurut hukum yang
dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.

Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut


di atas memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang,
sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas)
tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun. Ketidakseragaman ini juga kita temui
dalam berbagai putusan hakim yang contohnya kami kutip dari buku Penjelasan
Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar
Batasan Umur) terbitan NLRP berikut ini:

Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg tanggal 24 Juli


1974 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang No.
41/1975/PT.PERDATA tanggal 14 Agustus 1975 (hal. 143), dalam amarnya
majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberi nafkah
kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 21
tahun. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa seseorang yang belum
berumur 21 tahun dianggap masih di bawah umur atau belum dewasa sehingga
ayahnya berkewajiban untuk menafkahinya sampai anak tersebut berumur 21
tahun, suatu kondisi di mana anak tersebut telah dewasa, dan karenanya telah
mampu bertanggung jawab penuh dan menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum.

Dalam kasasi di Mahkamah Agung, dengan Putusan MA RI No.477/K/


Sip./1976 tanggal 2 November 1976, majelis hakim membatalkan putusan
pengadilan tinggi dan mengadili sendiri, di mana dalam amarnya majelis hakim
memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberian nafkah kepada anak hasil
perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 18 tahun. Majelis hakim
berpendapat bahwa batasan umur anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua
atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21 Tahun. Dengan demikian, dalam umur 18
tahun, seseorang telah dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya,
dan karenanya menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum. Keputusan ini tepat,
mengingat Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa seseorang yang
berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian adalah yang belum berumur
18 tahun.
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1 15/Pdt.P/2009/PN.
Jaktim Tanggal 17 Maret 2009 (hal. 145). Hakim menggunakan pertimbangan bahwa
batasan umur dewasa seseorang untuk cakap bertindak secara hukum mengacu pada
Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan
mendasarkan pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menunjukkan bahwa hakim berpendapat batasan umur yang digunakan sebagai
parameter untuk menentukan kecakapan untuk berbuat dalam hukum adalah telah
berumur 18 tahun.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah, 2006, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa, Bandung.
Prinst, Darwan. 2003, Hukum Anak Indonesia, Anggota IKAPI, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Wiryani, Fifik. 2003, Perlindungan Pekerja Anak, Pusat Studi Kajian Wanita, UMM
Press, Malang
Haryadi, Dedi, Tjandraningsih dan Indrasari, 1995, Buruh Anak dan Dinamika
Industri Kecil, Alkatiga, Bandung
Affandi, Idrus. 2007, Pendidikan Anak Berkonflik Hukum (model Konfergensi Antara
Fungsionalis Dan Religious), Alfabeta, Bandung
Purnianti, Sri S.M, dan Martini, 2002, Analisa Suatu Sistem Peradilan Anak, FISIP
UI, Jakarta.
Kurniaty, Rika. 2007, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasar Hukum
Positif Indonesia, Risalah Hukum, Fakultas Hukum, vol.13, No.2, edisi
Desember 2006-Mei 2007, ISSN 021-969X,Unmul
Tadjhoedin, Noer Effendi, 1992, Buruh Anak Fenomena Dikota dan Pedesaan-Dalam
Buruh Anak Disektor Informal-Tradisional Dan Formal, Sumberdaya Manusia,
Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta

10

Anda mungkin juga menyukai