Analisis Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia
Analisis Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia
dan bagi pekerja kurang terdidik sebesar 4%. Kenaikan upah minimum memberikan
dampak yang lebih besar terhadap lapangan pekerjaan bagi kelompok pekerja marjinal
karena upah minimum telah mendekati tingkat upah rata-rata kelompok tersebut di
pasar kerja.
Kenaikan upah minimum yang tinggi akhir- akhir ini di seluruh Indonesia
disebabkan oleh sejumlah kelemahan dalam proses penetapan upah minimum
diantaranya, ketergantungan yang besar terhadap indeks kebutuhan hidup minimum
atau KHM, penetapan indeks secara kurang hati- hati sej ak diberlakukannya otonomi
daerah, tidak adanya pedoman mengenai bagaimana menggunakan kriteria lain dalam
penetapan upah minimum, dan rendahnya partisipasi para stakeholder utamanya dalam
proses penetapan upah. Proses penetapan upah minimum menjadi semakin rumit sejak
penyerahan kewenangan penetapan upah minimum kepada pemerintah daerah di era
otonomi.
PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab
XII pada pasal 150 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan
dengan serikat pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut tidak
mendapatkan persetujuan maka permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja
diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
disertai alasan yang mendasarinya (pasal 152). Selanjutnya dalam pasal 153-155
dijelaskan alasan-alasan yang diperbolehkannya PHK dan alasan-alasan tidak
diperbolehkannya PHK.
Aturan PHK yang diberlakukan pada UU ini telah mempersulit dan menimbulkan biaya
tinggi bagi perusahaan untuk memberhentikan pekerja karena setiap kasus pengurangan
pekerja wajib diajukan kepada pemerintah agar dikeluarkan izinnya. Tidak terdapat
kewenangan manajemen dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan.
Undang-Undang Ketenagakerjaan hendaknya memberikan kewenangan kepada
manajemen dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan, tergantung pada
pelaksanaan kontrak, negosiasi bipartit terhadap keadaan yang menyebabkan terjadinya
PHK yang tidak adil, dan kerangka hukum yang memungkinkan pekerja dan serikat
pekerja naik banding ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial. Sekalipun dalam
UU Ketenagakerjaan keputusan dilakukannya PHK harus didasarkan pada alasan yang
jelas, persetujuan terlebih dahulu untuk melakukan PHK tidak diwajibkan oleh standar
ketenagakerjaan internasional dan tidak diatur oleh sebagian besar undang- undang
ketenagakerjaan modern. Persetujuan terlebih dahulu hendaknya hanya diwajibkan oleh
UU untuk kategori kelompok pekerja tertentu yang rawan pemecatan seperti misalnya
pengurus serikat pekerja.
Jika terjadi PHK perusahaan diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (pasal
156). Dalam pasal tersebut juga dirincikan besarnya uang pesangon/penghargaan
tersebut.
Pada pasal 158 dinyatakan bahwa pengusaha tidak wajib pemberi kerja
membayar uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja kepada pekerja yang
mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat (misalnya,
pencurian atau melakukan kekerasan di tempat kerja). Namun, pengusaha diwajibkan
membayar uang pisah kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau
dipecat karena pelanggaran berat, yang besarannya ditetapkan melalui proses
perundingan bersama.
Terkait dengan aturan mengenai uang pesangon dan uang penghargaan masa
kerja, UU ini telah menaikkan tingkat uang pesangon sebesar antara 19% sampai 63%
bagi pekerja yang masa kerjanya mencapai lima tahun atau lebih. Tingkat uang
pesangon yang baru tersebut termasuk tertinggi di kawasan Asia, khususnya untuk
pesangon yang diberikan kepada pekerja yang terkena PHK karena pengurangan
karyawan .
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ketentuan pesangon ini:
1. Biaya pesangon meningkat pesat dari waktu ke waktu, baik terkait dengan
peningkatan besaran uang pesangon maupun melalui kenaikan upah minimum
yang tinggi. Peningkatan besarnya uang pesangon meningkatkan insentif bagi
pekerja untuk menjadikan dirinya dipecat dengan melakukan pelanggaran ringan
pada setiap waktu tertentu.
2. Diberlakukannya uang pesangon yang tinggi dapat dianggap sebagai pajak di
bidang ketenagakerjaan. Karena pemberi kerja harus membayar uang pesangon
secara lump sum pada saat pekerja dikeluarkan atau saat terjadi pengurangan
karyawan, maka uang pesangon dapat dianggap sebagai pajak atas pemecatan
dan penerimaan karyawan baru, yang dapat mengurangi lapangan pekerjaan di
sektor modern dalam jangka panjang.
3. Uang pesangon berkaitan langsung dengan masa kerja pekerja di perusahaan.
Hal ini menciptakan distorsi dalam pasar kerja. Misalnya, perusahaan akan
cenderung mempertahankan para pekerja yang lebih tua usianya, walaupun
mereka kurang produktif dibandingkan yang jauh lebih muda karena biaya yang
harus dikeluarkan untuk memecat pekerja yang lebih tua lebih mahal. Dengan
cara demikian, struktur uang pesangon saat ini berpotensi menghambat bagi
penempatan pekerja usia muda sebagai pekerja.
pekerja kontrak biasanya terus memperoleh pekerjaan dan pada akhirnya menjadi
pekerja tetap, tetapi hal ini jarang terjadi pada pekerja berpendidikan rendah.
Dasar Hukum
Pasal
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek)
Pasal 330
Pasal 47
Pasal 1 angka 26
Pasal 1 angka 8
b.
c.
Pasal 1
Pasal 1 angka 5
Pasal 4
Pasal 1 angka 5
Dasar Hukum
Pasal
7
b.
c.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah, 2006, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa, Bandung.
Prinst, Darwan. 2003, Hukum Anak Indonesia, Anggota IKAPI, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Wiryani, Fifik. 2003, Perlindungan Pekerja Anak, Pusat Studi Kajian Wanita, UMM
Press, Malang
Haryadi, Dedi, Tjandraningsih dan Indrasari, 1995, Buruh Anak dan Dinamika
Industri Kecil, Alkatiga, Bandung
Affandi, Idrus. 2007, Pendidikan Anak Berkonflik Hukum (model Konfergensi Antara
Fungsionalis Dan Religious), Alfabeta, Bandung
Purnianti, Sri S.M, dan Martini, 2002, Analisa Suatu Sistem Peradilan Anak, FISIP
UI, Jakarta.
Kurniaty, Rika. 2007, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasar Hukum
Positif Indonesia, Risalah Hukum, Fakultas Hukum, vol.13, No.2, edisi
Desember 2006-Mei 2007, ISSN 021-969X,Unmul
Tadjhoedin, Noer Effendi, 1992, Buruh Anak Fenomena Dikota dan Pedesaan-Dalam
Buruh Anak Disektor Informal-Tradisional Dan Formal, Sumberdaya Manusia,
Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta
10