Anda di halaman 1dari 8

Case Report

Sympathetic ophtalmia following vitreoretinal surgery


Chen-Cheng Chao, San-Ni Chen*
Department of Opthalmology, Changhua Christian Hospital, Changhua, Taiwan
Keywords : Sympathetic ophtalmia; vitreoretinal surgery; immunomodulatory
therapy

Abstrak
Oftalmia simpatika adalah suatu peradangan granulomatosa intraokular yang bersifat
bilateral, difus biasanya dipicu oleh trauma atau operasi. Gejala dari penyakit yang langka ini
dapat menyebabkan kebutaan dalam hitungan hari sampai tahunan dari onset. Dalam studi ini,
kami menampilkan tiga pasien yang terkena oftalmia simpatika setelah melakukan operasi
vitreoretina. Pasien 1 mengalami penurunan visus yang tiba-tiba pada kedua mata setelah
melakukan beberapa operasi untuk ablasi retina rekuren dengan komplikasi vitreoretinopati pada
mata kiri. Tidak ditemukan adanya ablasi retina eksudatif maupun kantong cairan subretina pada
pasien. Color fundus photography menunjukkan adanya penumpukan fibrin pada peripapil
subretinal dan pemeriksaan optical coherence tomography(OCT) menunjukkan penebalan koroid
dan gangguan pada hubungan antara segmen luar dan dalam. Fluorescein angiography (FA)
menunjukkan titik-titik hiperfluoresen yang multiple dan pewarnaan disc. Pada pemeriksaan
indocyanine green (ICG) angiography menunjukkan titik-titik hipofloresen yang multiple.
Pasien 2 yang menjalani operasi vitrektomi, lensectomy, dan silicon oil infusion untuk ablasi
retina terkomplikasi dan perdarahan vitreus setelah perforasi bola mata. 6 tahun kemudian,
pasien tiba-tiba mengalami penurunan visus pada mata yang sebelahnya. OCT menunjukkan
koroid yang terlipat dan ICG menunjukkan titik-titik hipofluorescent yang multipel. Pasien 3
yang menjalani vitrektomi pars plana dengan eksisi tumor internal dan silicone oil infusion untuk
melanoma koroidalis. Penurunan visus yang akut pada mata sebelahnya terjadi 2 bulan setelah
vitrektomi. Ketiga pasien pada studi ini mendapat terapi kombinasi kortikosteroid dengan
azathioprine dan mycophenolate. Oftalmia simpatika dapat dipertimbangkan sebagai differensial
diagnosis ketika pasien mengalami penurunan visus setelah operasi vitreoretinal.

Pendahuluan
Oftalmia Simpatika (OS) adalah suatu peradangan granulomatosa intraocular yang dapat
menyebabkan kebutaan yang terjadi setelah adanya operasi atau trauma tembus terhadap salah
1

satu mata. Peradangan mata pada mata sebelahnya dapat terjadi dalam hitungan hari atau bulan
setelah trauma, meski onset dari 80-90% kasus terjadi dalam waktu 3-12 bulan.[1,2]. OS sering
terjadi bersamaan dengan injeksi konjungtiva dan reaksi granulomatosa bilik anterior dengan
mutton-fat keratik presipitat (KPs) pada endotel kornea. Peradangan yang terjadi bisa saja sangat
ringan sehingga istilah iritasi simpatika dapat digunakan untuk mendeksripsikan kondisi ini.
Pada segmen posterior, peradangan yang terjadi bisa hanya vitritis dan vaskulitis retina sampai
koroiditis dan papilitis. Peradangan ini dapat menyebabkan ablasi retina serosa atau
pembengkakan nervus optikus. Lesi putih kekuningan pada koroid lebih sering ditemukan pada
fundus perifer dari pasien dengan OS (Dalen-Fuchs nodules).
Meski trauma tembus merupakan faktor penyebab tersering, OS dapat disebabkan juga
oleh operasi vitreoretina[3]. Dalam studi ini, kami menampilkan 3 kasus pasien yang mengalami
oftalmia simpatika setelah melakukan operasi vitreoretina.

Case Reports

Kasus 1
Seorang wanita berusia 56 tahun mengalami penurunan visus mata kiri pada Juni 2011.
Visus 20/25 pada mata kanan (RE) dan 20/200 pada mata kiri (LE). Pemeriksaan fundus dilatasi
menunjukkan ablasi retina rhegmatogenus pada LE. Pada periode Juni-Desember 2011, pasien
menjalani 6 kali operasi intraocular, termasuk memasukkan encircling band, vitrektomi pars
plana, silicone oil injection, dan fotokoagulasi endolaser akibat ablasi retina rekuren dan
pengerutan macular. Perlekatan yang baik antara retina dan vitreus terdapat pada operasi yang
terakhir; namun, 4 bulan kemudian, visus pada LE menurun menjadi hanya persepsi cahaya dan
visus RE menurun menjadi 20/40. Pemeriksaan pada mata kanan menunjukkan pembengkakan
dan hiperemis pada disc disertai sel 1+ pada bilik anterior dan kavum vitreus (Fig.1A).
Fluorescein angiographya (FA) menunjukkan titik-titik hiperfluoresen dan pewarnaan disk dan
indocyanine green(ICG) angiography juga menunjukkan titik-titik hipofloresen (Fig 1B, C). Dari
pemeriksaan darah, test imun, foto x-ray, dan MRI dari otak menunjukkan tidak adanya bukti
inflamasi atau infeksi sistemik. OS didiagnosa. Terapi steroid sistemik dengan metilprednisolon
250mg setiap 6 jam selama 3 hari dengan steroid topikal dan sikloplegik menghentikan proses
peradangan. Namun, visus pasien menurun setelah menurunkan dosis steroid. Visus pasien
akhirnya stabil setelah mendapat kombinasi injeksi triamsinolon asetonid 4mg dengan pemberian
steroid sistemik, siklosporin dan mikofenolat sodium. Pemeriksaan funduskopi RE diobservasi
pada follow-up terkini.

Figure1. Color fundus phototograph in panel A reveals disc swelling and hyperemia accompanied by
vitreous cells in the RE and multiple Dalen-Fuchs spots throughout the fundus. Fluorescein angiography
(FA) in panel B reveals hyperfluorescent spots and disc staining and indocyanine green (ICG)
angiography in panel C shows hypofluorescent spots.

Kasus 2
Seorang wanita 72 tahun dengan rupture globus akut pada mata kanan pada tahun 2007.
Kerusakan ini diterapi dengan jahitan primer. Kurang lebih 1 bulan kemudian, pasien ini
menjalani operasi vitrektomi pars plana, lensektomi, dan silicon oil infusion untuk ablasi retina
terkomplikasi. Retina mata kanan hanya menempel sebagian setelah operasi dan visus pasien
menurun menjadi tidak ada persepsi cahaya pada April 2012. Visus pada mata kiri normal
(20/20). Pada Desember 2013, pasien tiba-tiba mengalami penglihatan yang kabur pada mata
kiri. Visus pada saat itu adalah 20/32. Pemeriksaan fundus dilatasi menunjukkan koroid yang
terlipat pada pul posterior dan terdapat sel vitreus. B-scan menunjukkan penebalan koroid yang
difus namun tidak adanya massa koroid soliter. MRI orbita menunjukkan tidak adanya lesi retroorbita. FA menunjukkan terdapat beberapa tempat kebocoran yang hiperfloresen dan titik-titik
hipofluoresen multifocal ditemukan pada ICG angiography. Optical coherence
tomography(OCT) menujukkan koroid yang terlipat (Fig.2). SO didiagnosa. Pasien mendapat
terapi steroid dengan metilprednisolon 250mg setiap 6 jam sekali selama 3 hari dan
dikombinasikan dengan immunomodulator oral (siklosporine 25mg dua kali sehari dan
mikofenolat 500mg dua kali sehari). Visus pada mata kiri meningkat menjadi 20/25 dan lipatan
koroid menjadi mendatar.

Figure 2. Color fundus photograph in panel A shows choroid folding. B-scan in panel B reveals
choroid thickening; FA inpanel C shows hyperfluorescent spots; and indocyanine green angiography in
panel D reveals hypofluorescent spots.Panels E and F demonstrate the structure of the choroid before (E)
and after (F) treatment.

Kasus 3
Seorang pria 39 tahun dengan melanoma koroid dan katarak berkomplikasi di mata kanan
menjalani vitrektomi pars plana dengan eksisi tumor internal, silicone oil infusion, dan
fekoemulsifikasi dengan implantasi intraocular lens pada Maret 2007. Pasien luput dari followup sampai Agustus 2009, dimana saat itu terdapat ablasi retina total pada RE pada pemeriksaan
fundus dilatasi. Visus pada mata kanan hanya persepsi cahaya dan 20/20 pada mata kiri. Pada
Januari 2011, pasien tiba-tiba mengalami penurunan visus pada mata kiri (20/100) dan
pemeriksaan fundus menemukan ablasi serosa pada pul posterior. FA menemukan tempat
kebocoran pinpoint yang multiple dan penumpukan pewarna dan ICG angiography menemukan
titik-titik hipofloresen yang multiple. Cairan subretina ditemukan pada OCT (Fig.3). SO
didiagnosa pada mata kiri dan pasien mendapat terapi prednisolon 100mg oral/hari. Visus pada
mata kiri meningkat menjadi 20/25 dalam waktu 1 bulan. SO rekuren dengan akumulasi cairan
4

subretina ditemukan pada May 2011 dan Oktober 2011. Pasien berespon baik pada steroid oral
dan terapi imunomodulator (siklosporin 100mg dua kali sehari dan mikofenolat 500mg dua kali
sehari). Pada follow-up, visus pada mata kiri 20/25.

Figure3. Color fundus photograph in panel A reveals serous retinal detachment in the sympathetic eye.
FA in panel B shows multiple pinpoint leakage spots and hypofluorescent spots on indocyanine green
angiography. OCT in panel C shows evidence of subretinal fluid.

Pembahasan
Insidensi dari OS bervariasi dan tampak berkurang dikarenakan oleh peningkatan
pengetahuan dari penyakit ini dan peningkatan teknik pembedahan. Insidensi yang sebenarnya
tidak diketahui dikarenakan kurangnya bukti patologis, dan kesulitan dalam mempelajari seri
kasus yang banyak, dan fakta dimana data yang didapat, didapatkan dari literature yang sering
membingungkan antara OS dan bentuk lain dari uveitis [4]. Pada 1982, Gass melaporkan bahwa
insidensi OS adalah 0,01% setelah operasi vitrektomi pars plana dan 0,06% setelah mengalami
trauma tembus non-operatif [5]. Studi lainya menunjukkan bahwa insidensi dari SO adalah 0,2%
sampai 0,5% setelah trauma tembus mata non-operatif dan 0,01% setelah operasi intraocular
[6,7].
Kilmartin et al. [8] melaporkan bahwa penyebab tersering dari OS adalah operasi retina
dan jenis kelamin tidak memiliki hubungan akan munculnya kondisi ini. Mereka mengumpulkan
data dari 9 pasien yang baru didiagnosa OS dan menunjukkan bahwa operasi retina adalah
penyebab trauma mata pada semua pasien. Hal yang menarik adalah, 5 dari 9 pasien menjalani
vitrektomi pars plana. Penulis memasukan bahwa risiko munculnya SO setelah vitrektomi dua
kali lebih sering dibanding operasi reparasi ablasi retina eksterna. Risiko imunogenik yang
berhubungan dengan pars plana vitrektomi kemungkinan disebabkan dari peningkatan
manipulasi retina dan pembongkaran dari blood-retinal barrier. Abu El Asrar et al.[9]
melaporkan bahwa kebanyakan pasien yang terkena OS setelah vitrektomi pars plana untuk
ablasi retina rhegmatogenus memiliki riwayat terkena trauma tembus mata. Pada studi mereka,
waktu dari vitrektomi sampai ke onset gejala muncul dalam jangka waktu 2 bulan sampai lebih
dari 2 tahun. Pada pasien kami, OS muncul setelah satu kali operasi vitrektomi pada dua pasien
dan setelah beberapa prosedur operasi pada satu pasien. Sebagai tambahan, onset dari gejala
muncul dalam jangka waktu 3 bulan sampai lebih dari 6 tahun setelah vitrektomi pars plana.

Pada ketiga pasien kami, kami menemukan bahwa segmen anterior tidak selalu terkena,
suatu penemuan yang sejalan dengan yang dilaporkan Gupta et al.[11]. Segmen posterior
mungkin menunjukkan tanda papilitis, vitritis, ablasi retina serosa atau koroid yang terlipat
akibat hyperplasia limfoid.
Diagnosa dari oftalmia simpatika didasari dari riwayat penyakit dahulu dan pemeriksaan
klinis dimana tidak ada studi laboratorium yang spesifik untuk membuat suatu diagnosa; namun,
percobaan klinis yang difokuskan dapat digunakan untuk menyingkirkan penyakit lainnya
dengan gejala klinis yang hampir sama. FA dan ICG angiography berguna dalam menentukkan
tingkatan dan keparahan dari OS. FA secara tipikal mendemontrasikan letak kebocoran
hiperfluoresen yang multiple pada epitel pigmen retina selama fase vena yang cocok dengan fase
akhir dari studi dan studi ICG angiografi cenderung menunjukkan titik-titik hipofloresen
multifocal. Lesi ini dianggap merefleksikan infiltrasi sel inflamasi ke koroid.[12,13]
Diagnosis diferensial dari OS meliputi semua penyakit yang dapat berupa panuveitis.
Namun, riwayat trauma tembus bola mata atau operasi intraocular menunjang penyakit OS.
Terkadang, Sulit membedakan OS dengan penyakit Vogt-Koyanagi-Harada(VKH). Namun,
pasien dengan VKH biasanya tidak memiliki riwayat trauma atau pembedahan. VKH biasanya
muncul sebagai panuveitis granulomatosa bilateral dengan ketelibatan koroid prominent.
Penyakit lain yang perlu dibedakan dari OS meliputi limfoma, sifilis, tuberculosis dan
sarcoidosis. Jika limfoma dicurigai, suatu workup sistemik yang teliti perlu dilakukan, dan jika
diperlukan, sampel dari vitreus perlu diambil untuk tujuan diagnosis. Tuberkulosis, sarkoidosis
dan sifilis biasanya diikuti dengan tanda dan gejala dari penyakit yang mendasarinya. Gejala ini,
dikombinasikan dengan tes yang tepat untuk tuberculosis(Skin test dan foto thorax),
sarkoidosis( ACE serum, lisozim dan foto thorax), sifilis (Reagen plasma rapid dan Fluorescent
Treponemal Antibody-absorption) dapat membedakan infeksi sistemik ini dari OS.
Pengobatan dari OS terutama adalah secara medis. Kortikosteroid sistemik merupakan
lini pertama terapi OS; namun, pasien yang tidak berespon dengan terapi steroid, agen
imunosupresif seperti siklosporin dan azathioprine dapat digunakan sebagai terapi
imunomodulator jangka panjang. Kortikosteroid dapat diberikan secara topikal. Secara subtenon
atau injeksi transseptal, atau sistemik. Prednison oral paling sering diberikan pada pengobatan
OS. Pada kasus berat, terapi steroid intravena dapat diberikan. Pemberian dari imunomodulator
hemat steroid seperti siklosporin, klorambucil, siklofosfoamid, azathioprine, mikofenolat atau
takrolimus dapat memberi keuntungan pada pasien yang resisten steroid atau tidak mempunyai
toleransi terhadap efek samping steroid. [14-16]. Pada pasien kami, kami memberikan steroid
sebagai regimen primer kami dan dikombinasikan dengan agen imunomodulator seperti
siklosporine atau mikofenolat jika OS refrakter terhadap terapi steroid atau jika pasien
mengalami hiperglikemi yang dipicu oleh steroid. Regimen kami ditoleransi dengan baik pada
ketiga pasien dan menghambat OS dari pengrusakan struktur bola mata.

Dapat disimpulkan, Oftalmia simpatika perlu dimasukan ke dalam diferential diagnosis


ketika pasien mengalami penurunan visus mendadak setelah mengalami operasi vitreoretinal.
Referensi
[1] Lubin JR, Albert DM, Weinstein M. Sixty-five years of sympathetic ophthalmia. A
clinicopathologic review of 105 cases (1913-1978). Ophthalmology 1980; 87:10921.
[2] Goto H, Rao NA. Sympathetic ophthalmia and Vogt- Koyanagi-Harada syndrome.
Int Ophthalmol Clin 1990; 30:279-85.
[3] Kilmartin DJ, Dick AD, Forrester JV. Prospective surveillance of sympathetic
ophthalmia in the UK and Republic of Ireland. Br J Ophthalmol 2000; 84:259-63.
[4] Power WJ, Foster CS. Update on sympathetic ophthalmia. Int Ophthalmol Clin
1995; 35:127-137.
[5] Gass JD. Sympathetic ophthalmia following vitrectomy. Am J Ophthalmol 1982;
93:552-558.
[6] Makley TA,Azar A. Sympathetic ophthalmia. A long-term follow-up. Arch
Ophthalmol 1978; 96:257-62.
[7] Marak GE. Recent advances in sympathetic ophthalmia. Surv Ophthalmol 1979;
24:141-156.
[8] Kilmartin DJ, Dick AD, Forrester JV. Sympathetic ophthalmia risk following
vitrectomy: should we counsel patients? Br J Ophthalmol 2000; 84:448-9.
[9] Abu El-Asrar AM, Al Kuraya H, Al-Ghamdi A. Sympathetic ophthalmia after
successful retinal reattachment
surgery with vitrectomy. Eur J Ophthalmol 2006; 16:891-4.
[10] Pollack AL, McDonald HR, Ai E, Green WR, et al. Sympathetic ophthalmia
associated with pars plana vitrectomy without antecedent penetrating trauma.
Retina 2001; 21:146-54.
[11] Gupta V, Gupta A, Dogra MR. Posterior sympathetic ophthalmia: a single centre
long-term study of 40 patients from North India. Eye (Lond) 2008; 22:1459-64.
[12] Bernasconi O, Auer C, Zografos L, Herbort CP. Indocyanine green angiographic
findings in sympathetic ophthalmia. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol 1998;
236:635-8.
[13] Moshfeghi AA, Harrison SA, Ferrone PJ. Indocyanine green angiography findings
in sympathetiophthalmia. Ophthalmic Surg Lasers Imaging 2005; 36:163-6.
7

[14] Tessler HH, Jennings T. High-dose short-term chlorambucil for intractable


sympathetic ophthalmia and Behcet's disease. Br J Ophthalmol 1990; 74:353-7.
[15] Lau CH, Comer M, Lightman S. Long-term efficacy of mycophenolate mofetil in
the control of severe intraocular inflammation. Clin Experiment Ophthalmol 2003;
31:487-91.
[16] Ishioka M, Ohno S, Nakamura S, Isobe K, Watanabe N, Ishigatsubo Y, et al.
FK506 treatment of noninfectious uveitis.

Anda mungkin juga menyukai