Anda di halaman 1dari 73

Partisipasi Masyarakat Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat Melalui Pendekatan

Mpa-Phast Di Kabupaten Pulang Pisau


Tri Widodo, Suharman, Widodo Hariyono ............................................................................................... 1
Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Klien Pasca Stroke
Gad Datak, Aida Kusnaningsih, Ester Inung Sylvia ................................................................................. 12
Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk Suction Endotrakheal Terhadap Saturasi Oksigen di ICU
RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto
Budi Widiyanto, S. Hudijono ..................................................................................................................... 20
Hubungan Persepsi Perawat Tentang Fungsi Manajerial Kepala Ruang terhadap Pelaksanaan Manajemen
Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Untung Halajur, Berthiana Tinse .............................................................................................................. 29
Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Penerapan Prinsip Enam Tepat Dalam
Pemberian Obat Oleh Perawat Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Reny Sulistyowati, Barto Mansyah ............................................................................................................. 38
Hubungan Penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Dengan Kejadian Kanker Payudara
Di RSUD dr Doris Sylvanus, Palangka Raya, 2011
Arainiati, Legawati, Noordiati ................................................................................................................... 48
Efektifitas Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu Hamil Dengan Hipertensi di Palangka Raya
Berthiana Tinse, Aida Kusnaningsih, Nita Theresia ................................................................................ 56
Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perubahan Konsep Diri : Harga Diri Pada Lansia
Di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya
Syamani, Reny Sulistyowati, Untung Halajur ......................................................................................... 62

TIM REDAKSI
Jurnal Ilmiah Forum Kesehatan Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan Palangka Raya
Tim Penyunting :
Penanggung Jawab

Santhy K. Samuel, S.Pd, M.Kes

Redaktur

Iis Wahyuningsih, S.Sos

Editor

Vissia Didin Ardiyani, SKM, MKM

Tim Pembantu Penyunting :


Penyunting Pelaksana

Erma Nurjanah Widiastuti, SKM

Pelaksana TU

1. Deddy Eko Heryanto, ST


2. Daniel, A.Md.Kom
3. Arizal, A.Md

Tim Mitra Bestari :


1.

Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., MARS

Fakultas Ilmu Keperawatan


Universitas Indonesia

2.

Prof. Rr. Tutik Sri Hariyanti, S.Kp., MARS Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia

3.

Djazuly Chalidyanto, SKM, MARS

Fakultas Kesehatan Malang


Universitas Airlangga

Alamat Redaksi :
Unit Perpustakaan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
Jalan George Obos No. 32 Palangka Raya 73111- Kalimantan Tengah
Telepon/Fax : 0536 3230730, 3221768
Email

: poltekkespalangkaraya@gmail.com, forumkesehatanpky@gmail.com

Website : www.poltekkes-palangkaraya.ac.id
Terbit 2 (dua) kali setahun.

PENGANTAR REDAKSI
Salah satu tugas utama dari lembaga pendidikan tinggi sebagaimana tercantum dalam
Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah melaksanakan penelitian. Agar hasil-hasil penelitian
dan karya ilmiah lainnya yang telah dilakukan oleh civitas akademika Politeknik Kesehatan
Kemenkes Palangka Raya lebih bermanfaat dan dapat dibaca oleh masyarakat, maka
diperlukan suatu media publikasi yang resmi dan berkesinambungan.
FORUM KESEHATAN merupakan Jurnal Ilmiah sebagai Media Informasi yang
menyajikan kajian hasil-hasil penelitian, gagasan dan opini serta komunikasi singkat maupun
informasi lainnya dalam bidang ilmu khususnya keperawatan, kebidanan, gizi, dan umumnya
bidang ilmu yang berhubungan dengan kesehatan.
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya
berkat bimbingan dan petunjuk-Nyalah upaya untuk mewujudkan media publikasi ilmiah
Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya yang diberi nama FORUM KESEHATAN
volume kedua nomor keempat ini dapat terlaksana. Dengan tekat yang kuat dan kokoh, kami
akan terus lebih memacu diri untuk senantiasa meningkatkan kualitas tulisan yang akan
muncul pada penerbitan penerbitan selanjutnya.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes
Palangka Raya sebagai Penanggung Jawab serta Dewan Pembina yang telah memberikan
kepercayaan dan petunjuk kepada redaktur hingga terbitnya FORUM KESEHATAN Volume
III Nomor 5, Pebruari 2013 ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan
kepada Dewan Redaksi dan Tim Mitra Bestari yang telah meluangkan waktunya untuk
mengkaji kelayakan beberapa naskah hasil penelitian/karya ilmiah yang telah
disampaikan kepada redaksi.
Kepada para penulis yang telah menyampaikan naskah tulisannya disampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya dan selalu diharapkan partisipasinya untuk mengirimkan
naskah tulisannya secara berkala dan berkesinambungan demi lancarnya penerbitan FORUM
KESEHATAN ini selanjutnya.
Akhirnya, semoga artikel-artikel yang dimuat dalam FORUM KESEHATAN volume
kedua nomor keempat ini dapat menambah wawasan dan memberikan pencerahan bagai
lentera yang tak kunjung padam. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan demi penyempurnaan penerbitan selanjutnya.
Tim Redaksi

DAFTAR ISI
Hal.
Partisipasi Masyarakat Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat Melalui Pendekatan
Mpa-Phast Di Kabupaten Pulang Pisau
Tri Widodo, Suharman, Widodo Hariyono ..................................................................

Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Klien Pasca Stroke


Gad Datak, Aida Kusnaningsih, Ester Inung Sylvia ....................................................

12

Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk Suction Endotrakheal Terhadap Saturasi


Oksigen di ICU RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Margono Soekarjo
Hospital, Purwokerto
Budi Widiyanto, S. Hudijono ........................................................................................

20

Hubungan Persepsi Perawat Tentang Fungsi Manajerial Kepala Ruang terhadap


Pelaksanaan Manajemen Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Untung Halajur, Berthiana Tinse .................................................................................

29

Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Penerapan Prinsip Enam Tepat


Dalam Pemberian Obat Oleh Perawat Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Reny Sulistyowati, Barto Mansyah ...............................................................................

38

Hubungan Penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Dengan Kejadian Kanker


Payudara Di RSUD dr Doris Sylvanus, Palangka Raya, 2011
Arainiati, Legawati, Noordiati ......................................................................................

48

Efektifitas Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu Hamil Dengan Hipertensi


di Palangka Raya
Berthiana Tinse, Aida Kusnaningsih, Nita Theresia ..................................................

56

Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perubahan Konsep Diri : Harga Diri


Pada Lansia Di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya
Syamani, Reny Sulistyowati, Untung Halajur ...........................................................

62

Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

ARTIKEL PENELITIAN

Partisipasi Masyarakat Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat


Melalui Pendekatan Mpa-Phast Di Kabupaten Pulang Pisau
Community Participation In Hygienic And Healthy Behavior Through Mpa-Phast
Aproach At District Of Pulang Pisau
Tri Widodo1, Suharman2, Widodo Hariyono3
1.
3.

Dinas Kesehatan Pulang Pisau, Kalteng, 2..Rural and Regional Research Center, UGM
FKM, Universitas Ahmad Dahlan

Abstrak. Kemiskinan, kebersihan lingkungan dan sanitasi dapat membawa dampak buruk bagi
kesehatan masyarakat. Untuk mencegah beberapa upaya perbaikan harus dibuat. Upaya yang telah
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pulang Pisau untuk meningkatkan PHBS adalah dengan
melibatkan masyarakat untuk meningkatkan kebersihan lingkungan dan sanitasi. Di Kabupaten
Pulang Pisau persentase PHBS masih relatif rendah (17%). Melalui proyek pelayanan air bersih
(CWSHP) melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan pendekatan MPA PHAST-. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
keluarga di desa yang berpartisipasi dalam MPA PHAST-dan mereka yang tidak menerima MPA
PHAST di Kecamatan Pandih Batu dan Maliku Kabupaten Pulang Pisau. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif-kualitatif dan eksperimen semi post test dengan
membandingkan group design. Sampel terdiri dari 294 kepala keluarga diambil dengan teknik
proportional random sampling dari delapan desa, empat desa mendapat MPA-PHAST di Kecamatan
Pandih Batu (Talio Muara, Talio Hulu), Kecamatan Maliku (Tahai Jaya, Tahai Baru) dan empat desa
yang tidak mendapatkan MPA-PHAST di Kecamatan Pandih Batu (Pangkoh Sari, Pangkoh Hilir),
Kecamatan Maliku (Buntoi, Maliku). Tidak ada perbedaan pengetahuan tentang PHBS dan perilaku
cuci tangan keluarga di desa yang mendapat MPA PHAST-dan mereka yang tidak MPA PHASTdengan p> 0,05 (0,536 dan 0,050). Ada perbedaan perilaku penyediaan air bersih dan penggunaan,
toileting di tempat yang tepat, sanitasi lingkungan, dan pengetahuan tentang sanitasi lingkungan
keluarga di desa yang mendapat MPA PHAST-dan mereka yang tidak MPA PHAST-dengan p <0,05
(0,000; 0,001, 0,000, dan 0,000). Para keluarga di desa yang mendapat pemberdayaan melalui MPAPHAST umumnya lebih baik daripada keluarga yang tidak.
Kata kunci: kebersihan, sanitasi lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat, tokoh masyarakat,
MPA-PHAST
Abstract. Poor environmental hygiene and sanitation can bring bad impact to public health. In order
to that prevent that efforts for improvement have to be made. An effort that has been made by Pulang
Pisau District of Health Office to improve PHBS is involving the community to increase
environmental hygiene and sanitation. At District of Pulang Pisau the percentage of PHBS is still
relatively low (17%). Through the project of community water services and health (CWSHP)
community empowerment is undertaken using MPA-PHAST approach. The objective of the study
was to identify the difference in PHBS of the family in the village that participated in MPA-PHAST
and those that did not receive MPA-PHAST at Sibdistrict of Pandih Batu and Maliku District of
Pulang Pisau. The study used quantitative-qualitative approach and quasi experiment post test with
compare group design. Samples consisted of 294 heads of the family taken with proportional
random sampling technique from eight villages; four villages got MPA-PHAST at Subdistrict of
Pandih Batu (Talio Muara, Talio Hulu), Subdistrict of Maliku (Tahai Jaya, Tahai Baru) and four
villages that did not get MPA-PHAST at Subdistrict of Pandih Batu (Pangkoh Sari, Pangkoh Hilir),
Subdistrict of Maliku (Buntoi, Maliku). There was no difference in knowledge on PHBS and
behavior of handwashing of the family at the village that got MPA-PHAST and those without MPA1

Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST

PHAST with p > 0.05 (0.536 and 0.050). There was difference in behavior of clean water provision
and use, toileting in the proper place, environmental sanitation, and knowledge about environmental
sanitation of the family in the village that got MPA-PHAST and those without MPA-PHAST with p
< 0.05 (0.000; 0.001; 0.000; and 0.000). The of family in the village that got empowerment through
MPA-PHAST generally better than the family that did not.
Keywords: hygiene, environmental sanitation, hygienic and healthy behavior, community
empowerment, MPA-PHAST

Pendahuluan
Data dari World Health Organization
(WHO)(1), menunjukkan bahwa kira-kira 3,1%
kematian (1,7 juta) dan 3,7% disability adjusted
life years (DALYs) (54,2 juta) disebabkan oleh
air yang tidak layak konsumsi, sanitasi dan
hygiene. Di Afrika dan negara berkembang di
Asia Tenggara, 4-8% penyakit disebabkan oleh
faktor tersebut. Lebih dari 99,8% kematian juga
disebabkan oleh faktor tersebut ,dan 90% nya
yang meninggal adalah anak-anak.
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia melalui Program Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) mengajak masyarakat
agar menyadari akan pentingnya berperilaku
hidup sehat(2). Perilaku hidup bersih dan sehat
di Kalimantan Tengah masih di bawah nasional
(38,7%) yaitu sebesar 33,0%(3).
Melalui Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit
dan
Penyehatan
Lingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (P2
dan PL Depkes RI) tahun 2003 dibentuklah
proyek Community Water Services and Health
Project
(CWSHP)(4).
Kabupaten
Pulang
Pisau
merupakan salah satu daerah yang ikut dalam
CWSHP. Proyek CWSHP Pulang Pisau ini
dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
Methodology for Participatory AssessmentParticipatory
Hygiene
and
Sanitation
Transformation (MPA-PHAST)(5,6). Sebagai
tahap awal pelaksanaan kegiatan pemberdayaan
dengan MPA-PHAST dilakukan di 4 desa dalam
2 kecamatan yang telah menyetujui persyaratan
yang diberikan oleh proyek.
Masyarakat yang ikut kegiatan ini adalah
keluarga yang termasuk dalam ekonomi
golongan menengah ke bawah. Dipilihnya
kelompok tersebut karena keluarga yang
berperilaku tidak sehat dalam
hygiene dan sanitasi lingkungan terbanyak
(83%) adalah keluarga ekonomi menengah ke
bawah(7). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan dan


perilaku
keluarga
yang
ikut
dalam
pemberdayaan dengan metode MPA-PHAST
dengan yang tidak ikut dalam pemberdayaan
dengan metode MPA-PHAST dalam ber- PHBS
dan sanitasi lingkungannya di Kecamatan
Pandih Batu dan Maliku Kabupaten Pulang
Pisau.
Metodologi
Pada penelitian ini digunakan metode
kuantitatif - kualitatif, dengan rancangan
penelitian eksperimen semu setelah intervensi
dengan pembanding (quasi experimenl post test
only with compare design).Metode kualitatif
dilakukan untuk mendukung jawaban dari
metode kuantitatif. Penelitian dilakukan Di
Kecamatan Maliku dan Pandih Batu Kabupaten
Pulang Pisau
dilaksanakan pada bulan
November 2009 Januari
2010 dengan
pertimbangan di 2 kecamatan tersebut terdapat
desa yang sudah mengikuti pemberdayaan
melalui pendekatan MPA-PHAST. Dua desa di
Kecamatan Maliku yaitu desa Tahai Jaya dan
Tahai Baru, dan dua desa di Kecamatan Pandih
Batu adalah Desa Talio Hulu dan Talio Muara.
Populasi penelitian ini adalah semua keluarga
yang ikut pemberdayaan melalui MPA-PHAST
di Kecamatan Maliku dan Pandih Batu pada
tahun 2008. Subjek Penelitian adalah kepala
keluarga ikut dalam pemberdayaan dengan
MPA-PHAST. Sampel pada penelitian ini
sebanyak 308 kepala keluarga (KK) yang terdiri
dari 154 KK yang ikut pemberdayaan dengan
MPA-PHAST dan 154 KK yang tidak ikut. Data
primer adalah data perilaku cuci tangan dengan
air bersih dan sabun, penyediaan dan
penggunaan air bersih, BAB di jamban, sanitasi
lingkungan dan data tingkat pengetahuan PHBS
dan sanitasi lingkungan. Pengumpulan data
menggunakan
kuesioner,
checklist,
dan
wawancara singkat dengan beberapa responden,
Satker CWSHP dan tenaga kesehatan setempat.
Setelah data dikumpulkan lalu diberikan kode
2

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

yang bertujuan untuk memudahkan dalam


tabulasi data.Selanjutnya dilakukan editing data
dan kemudian dianalisis.Data dianalisis secara
kuantitatif secara univariat, dan bivariat. Untuk
analisis uji statistik yang digunakan adalah uji
independent t-test, untuk data berdistribusi
normal dan Mann Whitney test bila data tidak
berdistribusi normal.
Hasil Penelitian
Pelaksanaan penelitian
Subjek penelitian pada awal penelitian
adalah
308 KK untuk kelompok yang
mendapatkan MPA-PHAST 154 KK dan 154 KK
yang tidak mendapatkan. Ada 14 KK yang drop
out
yaitu 7 KK dari
kelompok
yang
mendapatkan MPA-PHAST dan 7 KK yang
tidak mendapatkan. Dari 308 KK setelah
dikurangi yangdrop out yang disebabkan
responden pindah rumah dan tidak bersedia
untuk diwawancarai, subjek penelitian menjadi
berjumlah 294 KK.

PHBS keluarga yang mendapatkan MPAPHAST


dengan
keluarga
yang
tidak
mendapatkan, dengan nilai p hitung = 0,536
lebih besar dari p tabel (0,05).
Untuk mengetahui penyebab hal tersebut
terjadi,
dilakukan
wawancara
terhadap
responden, petugas kesehatan dan satker
CWSHP.Wawancara
dilakukan
terhadap
responden yang tidak mendapatkan MPAPHAST. Mereka mengatakan meskipun tidak
mendapatkan
MPA-PHAST,
mereka
memperoleh pengetahuan PHBS dari petugas
kesehatan yang setiap bulan melakukan
penyuluhan kepada masyarakat tentang cara
berperilaku hidup bersih dan sehat. Sedangkan
masyarakat yang mendapatkan pemberdayaan
melalui pendekatan MPA-PHAST ketika ditanya
tentang pengetahuan PHBS merasa dirinya tidak
mampu.
setiap bulan kami mendapatkan
penyuluhan tentang kesehatan oleh bu
bidan di sini paksetiap ada kegiatan
posyandu... (R1DT,15-01-2010)

Karakteristik subjek penelitian


Karakteristik yang ditampilkan meliputi
jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan,
pekerjaan responden, dan pendapatan keluarga
yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang
tidak (Tabel 1).
Perbedaan tingkat pengetahuan PHBS
antara keluarga yang mendapatkan MPAPHAST dengan keluarga yang tidak
mendapatkan
Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa tingkat
pengetahuan PHBS desa yang mendapatkan
MPA-PHAST yang berkategori baik lebih
banyak daripada yang tidak mendapatkan (79
KK dan 76 KK). Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan

kami ini dhedhel pak (bodoh


pak)SD saja tidak tamatbelum
mikir pekerjaan kami diladang untuk
bertahan hidupya namanya orang
miskin pak(R2DP,10-01-2010)
Dengan promosi yang dilakukan melalui
penyuluhan secara berulang-ulang, pengetahuan
tentang PHBS keluarga yang tidak mendapatkan
MPA-PHAST ternyata tidak jauh berbeda
dengan
yang
mendapatkan.Selain
itu,
pendidikan formal juga memegang peranan
penting bagi seseorang untuk menerima
pengetahuan atau hal yang baru.

Tabel 1.
Karakteristik RespondenYang Mendapatkan MPA-PHAST dan Tidak Mendapatkan MPA-PHAST di
Kecamatan Pandih batu dan Maliku Tahun 2010
Jumlah KK Desa
Karekteristik Responden

Umur
< 36 tahun
36 55 tahun

Persentase
(%)

Tidak
mendapatkan
MPA-PHAST

Mendapatkan
MPA-PHAST

27.2

22.4

24,8

48.3

53.7

51

Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST

> 55 tahun

24.5

23.8

24,1

Jenis Kelamin
Laki-laki

71.4

88.4

79,9

Perempuan

28.6

11.6

20,1

Tabel 1. Karakteristik RespondenYang Mendapatkan MPA-PHAST dan Tidak Mendapatkan MPAPHAST di Kecamatan Pandih batu dan Maliku Tahun 2010
Jumlah KK Desa
Karekteristik Responden

Tidak
mendapatkan
MPA-PHAST

Pendidikan
Tidak Sekolah

Persentase
(%)

Mendapatkan
MPA-PHAST

8.2

12.9

10,5

Tamat SD

25.9

40.8

33,3

Tamat SMP

26.5

25.2

25,9

Tamat SMA

32.7

14.3

23,5

PT

6.8

6.8

6,8

Pekerjaan
Petani

50.3

74.8

62,6

Nelayan

2.0

0.7

1,4

Pedagang

8.8

4.1

6,5

Buruh

17.7

8.2

12,9

PNS

17.0

9.5

13,3

Lain-Lain

4.1

2.7

3,4

Pendapatan
< Rp 400.000,-

19.7

50.3

35

Rp 400.000,- - Rp 800.000,-

51.0

32.0

41,5

> Rp 800.000,-

29.3

17.7

23,5

Tabel 2. Analisis perbedaan tingkat pengetahuan PHBS desa yang mendapatkan


MPA-PHAST dan tidak mendapatkan MPA-PHAST

Variabel

Tingkat pengetahuan PHBS


Kurang %

Baik %

Tidak mendapatkan MPA-PHAST

71 (51.1%)

76 (49%)

Mendapatkan MPA-PHAST

68 (48,9%)

79 (51%)

Md

14

0.536

Desa

Untuk mengetahui penyebab hal tersebut


terjadi,
dilakukan
wawancara
terhadap
responden, petugas kesehatan dan satker
CWSHP.Wawancara
dilakukan
terhadap
responden yang tidak mendapatkan MPAPHAST. Mereka mengatakan meskipun tidak
mendapatkan
MPA-PHAST,
mereka

memperoleh pengetahuan PHBS dari petugas


kesehatan yang setiap bulan melakukan
penyuluhan kepada masyarakat tentang cara
berperilaku hidup bersih dan sehat. Sedangkan
masyarakat yang mendapatkan pemberdayaan
melalui pendekatan MPA-PHAST ketika ditanya

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

tentang pengetahuan PHBS merasa dirinya tidak


mampu.
setiap bulan kami mendapatkan
penyuluhan tentang kesehatan oleh
bu bidan di sini paksetiap ada
kegiatan posyandu... (R1DT,15-012010)

dengan nilai p hitung= 0,05, sama dengan p


tabel (0,05). Ketika ditanyakan kepada
responden tentang perilaku cuci tangan dengan
air dan sabun mereka menjawab bahwa mereka
biasa cuci tangan tetapi tidak menggunakan
sabun.
kami ini petani pakkalau cuci
tangan ya..yang penting sudah tidak
ada lumpur dan tanah cukup saja
tidak perlu pakai sabun... (R2DP,1001-2010)

kami ini dhedhel pak (bodoh


pak)SD saja tidak tamatbelum
mikir pekerjaan kami diladang untuk
bertahan hidupya namanya orang
miskin pak(R2DP,10-01-2010).
Dengan promosi yang dilakukan melalui
penyuluhan secara berulang-ulang, pengetahuan
tentang PHBS keluarga yang tidak mendapatkan
MPA-PHAST ternyata tidak jauh berbeda
dengan yang mendapatkan. Selain itu,
pendidikan formal juga memegang peranan
penting bagi seseorang untuk menerima
pengetahuan atau hal yang baru.
Perbedaan perilaku cuci tangan dengan air
bersih dan sabun antara keluarga yang
mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga
yang tidak mendapatkannya
Tabel 3 menyatakan bahwa jumlah keluarga
dengan perilaku cuci tangan dengan air bersih
dan sabun, di desa yang tidak mendapatkan
MPA-PHAST berkategori baik jumlahnya lebih
banyak, daripada yang mendapatkan (90 KK dan
73 KK). Tidak ada perbedaan perilaku cuci
tangan dengan air bersih dan sabun antara
keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST
dengan keluarga yang tidak mendapatkannya,

Hal tersebut ditanyakan juga pada


Satker CWSHP mereka menjawab bahwa
untuk perilaku cuci tangan dengan sabun
baru diawali pada siswa SD. Di setiap SD
yang desanya mengikuti program CWSHP,
disediakan sarana dan prasarana untuk cuci
tangan dengan air dan sabun.
ya benar saja pak karena kegiatan
cuci tangan baru dilakukan di siswasiswa SD, untuk orang tuanya hanya
diberitahu saat penyuluhan dalam
kegiatan proyeksedangkan untuk
pengawasan apa mereka melakukan
cuci tangan dengan benar atau tidak
kami tidak melakukansedangkan
untuk siswa SD ada pengawasan dari
gurunya (CWSH,18-01-2010).
Penyuluhan tentang pentingnya perilaku
cuci tangan dengan air bersih dan sabun
dilakukan pada siswa SD, dengan harapan agar
perubahan perilaku tersebut juga dilakukan di
rumah para siswa.

Tabel 3. Analisis perbedaan perilaku cuci tangan dengan menggunakan air bersih dan sabun,
antara keluarga di desa yang mendapatkan MPA-PHAST dan
tidak mendapatkan MPA-PHAST

Variabel

Perilaku cuci tangan dg menggunakan


Air bersih& sabun
Kurang %

Baik %

Tidak mendapatkan MPA-PHAST

57 (43.5%)

90 (55,2%)

Mendapatkan MPA-PHAST

74 (56.5%)

73 (44.8%)

Md

16

0.050

Desa

Perbedaan tingkat pengetahuan tentang


sanitasi
lingkungan
keluarga
yang

mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga


yang tidak mendapatkannya
5

Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST

Tabel 4 menyatakan bahwa, jumlah


keluarga dengan tingkat pengetahuan sanitasi
lingkungan, di desa yang mendapatkan MPAPHAST yang berkategori baik lebih banyak
daripada yang tidak mendapatkan (105 KK dan
87 KK).
Wawancara singkat pada masyarakat yang
mendapatkan MPA-PHAST dilakukan untuk
mengetahui pengetahuan tentang sanitasi
lingkungan.
saat mas-mas dan mbak-mbaknya
dari proyek datang (CWSHP)kami
diberitahu bagaimana menata keadaan
lingkungan tempat tinggal agar sesuai
kesehatankami juga tidak hanya
diajari (diberitahu) tapi langsung
praktek pakjadi sampai sekarang kami
masih ingat bagaimana membuat
lingkungan kami jadi sehat(R1DP,1001-2010)
Pada masyarakat yang tidak mendapatkan
MPA-PHAST dilakukan wawancara mengenai
pengetahuan sanitasi lingkungan. Mereka
menjawab bahwa tidak semuanya dapat diingat
pengetahuan sanitasi lingkungan yang diperoleh
dari tenaga kesehatan saat penyuluhan

kesehatan, karena hal tersebut tidak langsung


dipraktekkan.
yakami diberitahu sama petugas
kesehatan tentang sanitasi lingkungan
tapi yahanya sebatas tahu saja
paktidak dibimbing langsung untuk
praktek yang benar itu gemanamaka
saat ditanya yakelalen pak (kelupaan
pak)(R1DT,15-01-2010)
Ada perbedaan antara tingkat pengetahuan
sanitasi lingkungan keluarga yang mendapatkan
MPA-PHAST dengan keluarga yang tidak
mendapatkan, dengan nilai p hitung = 0,000
lebih kecil dari p tabel (0,05), CI = -2,628 - (1,032).Pada
tabel
4
dapat
diketahui
bahwakeluarga yang mendapatkan MPA-PHAST
memiliki
tingkat
pengetahuan
sanitasi
lingkungan yang baik dibandingkan dengan
keluarga yang tidak mendapatkan MPAPHAST.Dengan CI 95% kita percaya bahwa
pemberian MPA-PHAST yang dilakukan pada
populasi akan memberikan perbedaan tingkat
pengetahuan sanitasi lingkungan antara keluarga
yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang
tidak mendapatkan adalah antara -2,628 sampai
- 1,032.

Tabel 4.
Analisis perbedaan tingkat pengetahuan sanitasi lingkungan desa yang mendapatkan MPA-PHAST
dan tidak mendapatkan MPA-PHAST

Variabel

Tk. pengetahuan sanitasi


lingkungan

Kurang %

Baik %

60 (58,6%)

87 (45,3%)

15.05

42 (41,2%)

105 (54,7%)

16.88

Nilai p
(95% CI)

Desa
-

Tidak mendapatkan
MPA-PHAST
Mendapatkan MPAPHAST

Perbedaan perilaku buang air besar di


jamban
antara
keluarga
yang
mendapatkan MPA-PHAST dengan
keluarga yang tidak mendapatkannya
Tabel 5 terlihat bahwa jumlah
keluarga dengan perilaku buang air besar
di
jamban,
di
desa
yang
mendapatkanMPA-PHAST
berkategori

0.000
-2.100-(-1.032)

baik lebih banyak (56%), daripada yang


tidak mendapatkan (112 KK dan 88 KK).
Wawancara dengan salah satu
keluarga yang mengikuti pemberdayaan
dengan MPA-PHAST mengatakan bahwa
atas anjuran dari Satker CWSHP, maka
jamban mereka perbaiki agar sesuai

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

dengan jamban yang sehat dan tidak


menimbulkan penyakit.
saat mas dan mbaknya datang
ke desa ini (Satker CWSHP),
mereka mengajari kami membuat
jamban yang sehat paksehingga
jamban yang selama ini kami
pakai untuk buang air besar
yakami perbaiki sesuai anjuran
mereka (R1DP,10-01-2010)
Ada perbedaan perilaku buang air
besar di jamban antara keluarga yang
mendapatkan
MPA-PHAST
dengan
keluarga yang tidak mendapatkannya,

dengan nilai p hitung = 0,001 lebih kecil


darip tabel (0,05), CI = - 2.081- (-0.586).
Pada
tabel
5
dapat
diketahui
bahwakeluarga yang mendapatkan MPAPHAST memiliki perilaku buang air besar
di jamban yang baik dibandingkan
dengan keluarga yang tidak mendapatkan
MPA-PHAST.Dengan CI 95% kita
percaya bahwa pemberian MPA-PHAST
yang dilakukan pada populasi akan
memberikan perbedaan perilaku buang
air besar di jamban antara keluarga yang
mendapatkan MPA-PHAST dengan yang
tidak mendapatkan adalah antara -2.081sampai
-0.586.

Tabel 5. Analisis perbedaan perilaku BAB di jamban desa dan perilaku penyediaan dan penggunaan
air bersih terhadap desa yang mendapatkan MPA-PHAST
dan tidak mendapatkan MPA-PHAST
Perilaku BAB di jamban
Variabel

Confidence Interval
95%

Kurang %

Baik
%

59 (62.8%)

88 (44%)

12.24

0.001

-2.08- (-0.586)

35 (37.2%)

112 (56%)

13.57

Confidence Interval
95%

Desa
-

Tidak mendapatkan
MPA-PHAST
Mendapatkan MPAPHAST
Variabel

Perilaku penyediaan dan


penggunaan air bersih
Kurang %

Baik %

Desa
-

Tidak mendapatkan
MPA-PHAST
Mendapatkan MPAPHAST

77 (68.8%)

70 (38.5%) 16.39 0.000

35 (31.3%)

112 (61.5%) 18.35

Perbedaan
perilaku
penyediaan
dan
penggunaan sarana air bersih antara
keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST
dengan keluarga yang tidak mendapatkan
Tabel 5 menyatakan bahwa jumlah
keluarga dengan perilaku penyediaan dan
penggunaan sarana air bersih, di desa yang
mendapatkanMPA-PHAST berkategori baik
jumlahnya lebih banyak (61,5%), daripada yang
tidak mendapatkan (112 KK dan 70 KK).
Ada perbedaan perilaku penyediaan dan
penggunaan air bersih antara keluarga yang
mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga

-2.713 - (-1.205)

yang tidak mendapatkan, dengan nilai p hitung =


0,000 lebih kecil darip tabel (0,05), CI = - 2.713
- (-1.205). Pada tabel 6 dapat diketahui bahwa
keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST
memiliki perilaku penyediaan dan penggunaan
sarana air bersih yang baik dibandingkan dengan
keluarga yang tidak mendapatkan MPAPHAST.Dengan CI 95% kita percaya bahwa
pemberian MPA-PHAST yang dilakukan pada
populasi akan memberikan perbedaan perilaku
penyediaan dan penggunaan sarana air bersih
antara keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST
7

Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST

dengan yang tidak mendapatkan adalah antara 2.713 sampai -1.205.


Perbedaan sanitasi lingkungan keluarga yang
mendapatkan MPA-PHAST dengan yang
tidak mendapatkan.
Tabel 6 menyatakan bahwa, jumlah
keluarga dengan perilaku sanitasi lingkungan,
keluarga di desa yang mendapatkan MPAPHAST berkategori baik jumlahnya lebih
banyak (66,5%), daripada yang tidak
mendapatkan (127 KK dan 64 KK).
Ada perbedaan sanitasi lingkungan antara
keluarga di desa yang mendapatkan MPA-

PHAST dengan yang tidak mendapatkan, dengan


nilai p hitung = 0,000 lebih kecil darip tabel
(0,05), CI = -4.528 - (-2.493).Pada tabel 6 dapat
diketahui bahwakeluarga yang mendapatkan
MPA-PHAST memiliki sanitasi lingkungan yang
baik dibandingkan dengan keluarga yang tidak
mendapatkan MPA-PHAST.Dengan CI 95% kita
percaya bahwa pemberian MPA-PHAST yang
dilakukan pada populasi akan memberikan
perbedaan sanitasi lingkungan antara keluarga
yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang
tidak mendapatkan adalah antara -4.528 sampai
-2.493.

Tabel 6. Analisis perbedaan perilaku dan ketersediaan sarana dan prasarana berkaitan
dengan sanitasi lingkungan desa yang mendapatkan MPA-PHAST
dan tidak mendapatkan MPA-PHAST

Variabel

Perilaku berkaitan dg
sanitasi lingkungan
Baik
Kurang %
%

Nilai p
(95% CI)

Desa
-

Tidak mendapatkan
MPA-PHAST
Mendapatkan MPAPHAST

Variabel

83 (80.6%)

64 (33.5%)

10.01

20 (19.4%)

127 (66.5%)

13.57

Ketersediaan sarana dan


prasarana sanitasi
lingkungan

Kurang %

Baik %

83 (65.4%)

64 (38.3%)

7.93

44 (38.3%)

103 (61.7%)

11.44

0.000
-4.343 - (-2.786)

Nilai p
(95% CI)

Desa
-

Tidak mendapatkan
MPA-PHAST
Mendapatkan MPAPHAST

Dilihat dari sarana dan prasarana yang


dimiliki antara keluarga desa yang mendapatkan
pemberdayaan dengan metode MPA-PHAST
dengan yang tidak mendapatkan ada perbedaan
yang
bermakana.
Kemaknaan
tersebut
ditunjukkan dengan nilai p hitung = 0,000, CI =
-3.812 - (-1.460). Sedangkan ketersediaan sarana
dan prasarana keluarga desa yang mendapatkan
MPA-PHAST berkategori baik lebih tinggi
(61,7%) daripada yang tidak mendapatkan (103
KK dan 64 KK).
Pembahasan

0.000
-4.528 - (-2.493)

Umur responden antara desa yang


mendapatkan MPA-PHAST dengan yang tidak
terbanyak (51%) pada usia antara 36 55 tahun.
Dengan jenis kelamin responden
terbanyak adalah laki-laki (79%).Hal tersebut
menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan
dalam
pemberdayaan
masih
rendah
dibandingkan dengan laki-laki. Padahal peran
serta perempuan sangatlah penting dalam
kehidupan karena perempuan merupakan central
of role(5).
Tingkat pendidikan responden antara desa
yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang
tidak lebih banyak berpendidikan SD (33,3%).
8

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

Dengan jumlah keluarga terbanyak yang


pendidikan hanya tamat SD pada desa yang
mendapatkan MPA-PHAST (60 KK).Keluarga di
desa yang tidak mendapatkan MPA-PHAST
tingkat pendidikannya lebih banyak yang tamat
SMP/SMA (77 KK).Tingkat pendidikan
seseorang dapat berpengaruh terhadap perilaku
kesehatannya.Sander(8),
dari penelitiannya menyimpulkan bahwa jenjang
pendidikan memegang peranan penting dalam
kesehatan masyarakat.
Pekerjaan responden baik desa yang
mendapatkan MPA-PHAST maupun tidak, yang
terbanyak adalah petani, Sebagai masyarakat
yang memiliki profesi sebagai petani, kesibukan
mereka lebih banyak di ladang atau di
sawah.Hal tersebut tentu berdampak pada
perilaku ber PHBSnya. Pendapatan masyarakat
kedua desa tersebut yang terbanyak (41,5%)
antara Rp 400.000,00 - Rp 800.000,00.
Pendapatan keluarga tersebut telah sesuai
dengan pendapatan per kapita untuk wilayah
Kalimantan Tengah sebesar Rp. 700.000,00(9).
Hasil analisis tingkat pengetahuan PHBS
dalam penelitian ini yang memiliki kategori baik
lebih banyak (51%) diperoleh di desa yang
mendapatkan MPA-PHAST, sedangkan desa
yang tidak mendapatkan tingkat pengetahuannya
yang berkategori baik hanya 49%. Bila dilihat
dari presentase ternyata tidak besar, bedanya,
hanya 1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
tingkat pengetahuan PHBS keluarga antara
kedua desa adalah tidak jauh berbeda.Kondisi
tersebut bisa terjadi karena, meskipun tidak
mendapatkan MPA-PHAST, masyarakat desa
tersebut
juga
mendapatkan
penyuluhan
kesehatan yang dilakukan oleh petugas
puskesmas satu bulan sekali.
Tingkat
pendidikan
juga
dapat
berpengaruh, semakin tinggi tingkat pendidikan
akan semakin mudah untuk menerima
pengetahuan dan perubahan(10). Semakin tinggi
pendidikan formal, akan semakin baik
pengetahuan tentang kesehatan(11). Keluarga di
desa yang tidak mendapatkan MPA-PHAST
lebih banyak yang tamat SMP/SMA (77 KK).
Dengan pendidikan formal yang lebih tinggi
tersebut, keluarga di desa yang tidak
mendapatkan
MPA-PHAST,
memiliki
pengetahuan PHBS yang tidak jauh berbeda
dengan yang mendapatkan, meskipun hanya
mendapat penyuluhan yang dilakukan oleh
nakes setempat.

Tidak ada perbedaan perilaku cuci tangan


antara keluarga di desa yang mendapatkan MPAPHAST dengan yang tidak. Di daerah penelitian,
mayoritas penduduknya adalah petani dan
pendatang.Kebiasaan cuci tangan dengan
menggunakan sabun merupakan hal baru yang
harus dilakukan.Selain itu sebagai permulaan
untuk melakukan perubahan perilaku baru
dipromosikan melalui siswa SD setempat.
Dengan harapan melalui anak-anak kebiasaan
cuci tangan dengan sabun dapat ditransfer
kepada orang tua atau anggota keluarga yang
lain.
Menurut Wijk(12), perubahan perilaku
merupakan proses yang berisikan beberapa
tahapan, dimulai dari keinginan untuk berubah
dan memutuskan sesuatu perubahan untuk
membuat keputusan mencobanya dan bila
positif, akan dipeliharanya. Selama ini
masyarakat merasa tidak ada masalah walaupun
cuci tangan tanpa sabun.
Jenjang pendidikan memegang peranan
penting
dalam
kesehatan
masyarakat(8).
Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan
keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST sulit
memahami akan arti pentingnya hygiene
perorangan dan sanitasi lingkungan untuk
mencegah terjangkitnya penyakit menular.
Ada perbedaan pengetahuan sanitasi
lingkungan antara keluarga di desa yang
mendapatkan MPA-PHAST dengan yang
tidak.Hal
tersebut
menunjukkan
bahwa
pengetahuan sanitasi lingkungan keluarga di
desa yang mengikuti pemberdayaan lebih baik
daripada yang tidak mengikuti.Salah satu
responden yang terlibat langsung dengan
kegiatan MPA-PHAST mengatakan bahwa
mereka masih mengingat hal yang dilakukan
saat pemberdayaan.
Masyarakat, dalam kegiatan pemberdayaan
yang terjun langsung ke lapangan juga membuat
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan
sendiri dengan dibimbing oleh Satker CWSHP.
Untuk pengetahuan sanitasi lingkungan, karena
langsung praktek di lapangan maka mudah
mengingat kembali, sedangkan desa
yang tidak mendapatkan MPA-PHAST tidak
langsung praktek di lapangan sehingga sulit
untuk mengingat kembali hal yang berkaitan
dengan sanitasi lingkungan.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Kolesar(13) bahwa dengan adanya
partisipasi masyarakat secara aktif dalam
9

Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST

kegiatan pemberdayaan akan memberikan


dampak positif pada yang terlibat langsung.
Ada perbedaan perilaku buang air besar
antara keluarga di desa yang mendapatkan MPAPHAST dengan yang tidak.Kesadaran yang baik
tersebut menunjukkan adanya pemahaman yang
baik terhadap dampak negatif yang disebabkan
oleh buang air besar di sembarang tempat.
Menurut Wibowo, dkk.(14), tempat pembuangan
tinja yang tidak sanitair akan meningkatkan
risiko terjadinya diare pada balita sebesar 2,55
kali dibandingkan dengan yang sanitair.
Perilaku penyediaan dan penggunaan air
bersih, keluarga yang mendapatkan MPAPHAST lebih baik daripada yang tidak
mendapatkan.
Adanya
penyediaan
dan
penggunaan air ini juga tidak terlepas dari
adanya sarana dan prasarana. Kesadaran tersebut
tidak terlepas dari pemahaman keluarga yang
mengikuti MPA-PHAST akan pentingnya air
bagi kesehatan. Hasil penelitian Atmosukarto(15),
menunjukkan bahwa morbiditas diare paling
tinggi terjadi pada penduduk yang menggunakan
air minum dari sungai.
Menurut Green(16), perubahan perilaku
dipengaruhi oleh 3 faktor, salah satunya adalah
faktor pendukung. Responden yang diberi sarana
dan prasarana air bersih di dekat tempat tinggal
mereka memanfaatkan sarana tersebut, sehingga
perilaku
masyarakat
yang
biasanya
memanfaatkan air sungai sebagai sumber air
bersih, mulai tidak menggunakan lagi.Menurut
Tan(17), bahwa perubahan perilaku bukan karena
pendidikan kesehatan yang diberikan oleh
petugas kesehatan tetapi karena adanya sarana
dan prasarana untuk berubah.
Lingkungan
yang
kondusif
untuk
terwujudnya keadaan sehat, adalah lingkungan
yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih,
sanitasi lingkungan yang memadai, kawasan
perumahan dan pemukiman yang sehat, serta
terwujudnya kehidupan masyarakat yang
memelihara nilai-nilai budaya bangsa(18).
Pentingnya lingkungan yang sehat dibuktikan
oleh WHO(19), yaitu angka kematian dan
kesakitan yang tinggi serta epidemi sering
terjadi pada masyarakat yang higiene dan
sanitasi lingkungannya buruk.
Dampak sanitasi lingkungan yang buruk
telah diketahui oleh keluarga yang mendapatkan
MPA-PHAST.Pembuangan
sampah
rumah
tangga telah menjadi perhatian keluarga yang
mendapatkan MPA-PHAST agar tidak menjadi

sumber penyakit. Menurut Kusnoputranto(20)


penentuan lokasi pembuangan sampah harus
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu : tidak
mencemari lingkungan seperti sumber air, tanah
dan udara, tidak terjangkau dan digunakan
sebagai tempat perkembangbiakan vektor
penyakit, tidak mengganggu pemandangan dan
berbau tidak sedap akibat proses pembusukan.
Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan
1. Tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan
PHBS, perilaku cuci tangan denagn air
bersih dan sabun antara keluarga di desa
yang mendapatkan MPA-PHAST dengan
yang tidak.
2. Ada perbedaan tingkat pengetahuan sanitasi
lingkungan, perilaku BAB di jamban,
penyediaan dan penggunaan air, perilaku
sanitasi lingkungan antara keluarga di desa
yang mendapatkan MPA-PHAST dengan
yang tidak.
Saran
Program promosi kesehatan hendaknya
dilakukan terus menerus untuk melakukan
perubahan perilaku kepada masyarakat yang
sesuai dengan PHBS. Hal yang perlu dilakukan
oleh instansi terkait antara lain :
1. Dinas Kesehatan Kabupaten Pulang Pisau
sebaiknya
saat
melakukan
promosi
kesehatan sedapat mungkin menyesuaikan
kondisi masyarakat yang ada. Masyarakat
yang ada adalah mayoritas transmigran
dengan pekerjaan sebagai petani. Promosi
kesehatan yang dilakukan sebaiknya
menyesuaikan dengan kultur dan budaya
masyarakat, dengan cara memasukkan
muatan lokal sebagai bahan promosi.
2. Tenaga kesehatan yang berada di wilayah
kerja Dinas Kesehatan sebaiknya melakukan
pembinaan kepada masyarakat secara
berkesinambungan agar perubahan PHBS
dapat lebih cepat dilakukan. Masyarakat
desa yang telah mendapatkan MPA-PHAST
sebaiknya mulai mempraktekkan cuci
tangan dengan sabun untuk mengurangi
risiko terkena penyakit.
Daftar Pustaka
1. World Health Organization (WHO).
Sanitation and Hygiene Promotion:
Programming Guidance, Geneva; 2005.
10

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

2.

Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
RI. No. 1114/Menkes /SK/VIII/2005 tentang
Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan
di Daerah, Jakarta; 2006a
3. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Badan Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan,
Riset
Kesehatan Dasar 2007,Laporan Nasional
2007:2008b
4. Asian Developing Bank (ADB).Water for
All: The Water Policy of the Asian
Development Bank .Manila;2000.
5. Dayal, R., Wijk, C. van, Mukherje, N.
Methodology for Participatory Assessments
with Communities Institution and Policy
Makers Linking Sustainability with
Demand, Gender and Poverty, Water and
Sanitation Programme, World Bank;2000.
6. World Health Organization, 1997, The
PHAST Initiative, Participatory Hygiene
and Sanitation Transformation, A New
Approach to Working with Communities,
UNDP-World Bank, Geneva;1997
7. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia., Lembar Catatan dan Skoring
Tahap I CWSHP Pulang Pisau Kalimantan
Tengah, Dirjen P2 dan PL;2007.
8. Sander, M.A. 2005. Hubungan Faktor
Sosio Budaya dengan Kejadian Diare di
Desa Candinegoro Kecamatan Wonoayu
Sidoarjo. Jurnal MedikaI. Vol 2.No.2. JuliDesember 2005: 163-193.
9. DinasKesehatan
Propinsi
Kalimantan
Tengah. 2008. Profil Kesehatan Provinsi
Kalimantan Tengah tahun 2007. Palangka
Raya.
10. Daud, R.K. Hubungan antara Tingkat
Pendidikan, Pendapatan, dan Perilaku
Masyarakat dengan Kualitas Sanitasi
Lingkungan di Pesisir Pantai Desa
Huangobatu Kecamatan Kabila Kabupaten
Gorontalo, Tesis, Program Pascasarjana
Universitas
Gadjah
Mada
Yogyakarta;2000.
11. Hastono, PS. 1997. Hubungan Faktor
Sosial Demografi Ibu dengan Pemanfaatan
Penolong Persalinan di Kabupaten Cianjur
1995. Jurnal Penelitian UI.Makaro no I
seri A.
12. Wijk, C. van, and Murre, T.,1994.
Mechanisms of Change Motivating Better
Hygiene Behaviour :Importance for Public

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.
20.

Health Mechanisms of Change. IRC


International
Water
and Sanitation
Centre.The
Hague.
The
Netherlands.UNICEF
Kolesar, R., Kleinau, E. , Torres, MP.,
Candida Gil, C,. Cruz, V. de la, and Post,
M. 2004. Combining Hygiene Behavior
Change with Water and Sanitation:
Monitoring Progress in Hato Mayor,
Dominican Republic Part II Prepared for
the Office of Health, Bureau for Global
Health, U.S. Agency for International
Development,
under
EHP
Project
26568/CESH.DR.Y5
Wibowo, T,A, Soenarto, S,S, dan Pramono,
D, 2004, Faktor-faktor Risiko Kejadian
Diare Berdarah pada Balita di Kabupaten
Sleman;2004. BKM, Vol. 20. No.01, pp.4147
Atmosukarto, K. Peran Sumber Air Minum
dan Kakus Saniter dalam Pemberantasan
Diare di Indonesia, Cermin Dunia
Kedokteran;1996.No. 109, pp. 39-41
Green, L.W., Kreuter, H.W., Deeds, S.G.,
and Patridge, K.B. Health Education
Planning :A
Diagnostic
Approach.
Mayfield
Publishing
Company,
California;1980.
Nachuk, S., Tan, E.S.M., Gaduh, A.B.,
Leisher, S.H., Kuznezov, L., and Ginting,
J.I., 2006, Making Services Work for the
Poor (MSWP) Nine Case Studies from
Indonesia : Water Supply and Health in
Lumajang District, East Java, World
Bank;2006.
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia. Panduan Manajemen PHBS
Menuju
Kabupaten/Kota
Sehat,
Jakarta;2002
Entjang, I.Ilmu Kesehatan Masyarakat,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung;1991.
Kusnoputranto, H., 1986, Kesehatan
Lingkungan. Badan Penerbit Kesehatan
Masyarakat,
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Indonesia,
Jakarta;1986.

11

ARTIKEL PENELITIAN

Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Klien Pasca Stroke


Familys Role in Physical Rehabilitation of Post Stroke Patient

Gad Datak, Aida Kusnaningsih, Ester Inung Sylvia


Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. Dampak yaang ditimbulkan dari penyakit stroke adalah kecacatan, sehigga
mengakibatkan ketergantungan klien kepada keluarganya. Upaya yang dilakukan adalah
memberikan pelayanan rehabiltasi fisik melalui peran keluarga dengan harapan ketergantungan
klien kepad aorang lain menjadi minimal dan klien mampu mandiri.Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui peran keluarga dalam melakukan rehabilitasi fisik di rumah terhadap kemandirian
aktifitas fisik sehari-hari klien pasca stroke. Desain penelitian adalah kuasi eksperimen pre-pos tes
dengan kelompok kontrol. Besar sampel adalah 27 responden kelompok kontrol dan 27 responden
kelompok intervensi. Cara pemilihan sampel adalah non probability sampling jenis consecutive
sampling. Uji statistik yang digunakan adalah uji beda dua mean dependent sample test paired t
test, uji beda dua mean independent sample t test dan ANOVA. Hasil penelitian penelitian
menunjukkan bahwa kelompok intervensi menunjukkan peningkatan kemandirian dibandingkan
kelompok kontrol (p=0.000). Peningkatan kemandirian klien pasca stroke dipengaruhi oleh posisi
di dalam keluarga dan pendidikan (p=0,000). Diharapkan perawat mengembangkan potensi yang
dimiliki keluarga dan klien untuk meningkatkan kemandirian aktifitas sehari-hari.
Kata Kunci : Peran keluarga, rehabilitasi fisik, kemandirian aktifitas sehari-hari, klien pasca stroke
Abstract : One of the apparent impacts resulting from stroke is disability which may cause the
client to be dependent on the family. An effort which can be done to cope with this problem is
providing physical rehabilitation service through the role of familiy. The purpose is to reduce
clients independecy at the end and the clients can live independently or self care. The purpose of
tthis research is to find out an role in carrying out physical rehabilitation on daily activity
independence of post stroke clients at home in Palangka Raya city. This research used the design of
quasi experimental pre test-post test with control group. The sample covered, 27 respondents in
control group and 27 respondents in the intervention group. The sample was drawn using non
probability sampling method of consecutive sampling type. The statiscal test used here was the
mean dependent samples test paired, mean independent sample t test and ANOVA. The results
showed that intervention group to increase independency compared to the to the control group.
(p=0,000). Independency to increase of post stroke client was ifluence by client education and
family in positions (p=0,000). Recommended for nurses should be developed further so that
potensials of clients and family can be increased and exlored well
Key words : Family role, physical rehabilitation, activity independence, post stroke client
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2007)2, di
di Indonesia
Pendahuluan
Stroke adalah suatu sindrom klinis dengan
gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal
atau global yang dapat menimbulkan kematian
atau kelainan yang menetap lebih dari 24 jam,
tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular
(WHO, 1983 dalam Mulyatsih, 2007)1.

prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per


1.000 penduduk dan merupakan penyebab
kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4%
dari seluruh kematian)., stroke menjadi
penyebab kematian tertinggi baik di perkotaan
maupun pedesaan di Indonesia. Laporan World
Stroke Organization (2009) memperlihatkan
12

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

bahwa stroke adalah penyebab utama hilangnya


hari kerja dan kualitas hidup yang buruk.
Kecacatan akibat stroke tidak hanya berdampak
bagi para penyandangnya, namun juga bagi
para anggota keluarganya. Beban ekonomi yang
ditimbulkan akibat stroke juga sedemikian
beratnya.
Merujuk pada hasil Riskesdas tahun 2007,
memperlihatkan prevalensi stroke Propinsi
Kalimantan Tengah mencapai 7 per 1000
penduduk dan untuk Kotamadya Palangka Raya
8-9 per 1000 penduduk. Hal ini memerlukan
perhatian dari serius dari tenaga kesehatan agar
prevalensi stroke dapat dikurangi atau
diminimalkan.
Berdasarkan
penyebabnya
stroke
diklasifikasikan menjadi stroke hemoragik dan
stroke iskemik (Misbach, 1999)3. Dari seluruh
kejadian stroke, 83% adalah stroke iskemik dan
sisanya 17% stroke hemoragik. Namun
demikian pemulihan akibat penyakit stroke ini
tergantung dari berbagai faktor antara lain
faktor risiko yang dimiliki pasien, ketepatan
dan kecepatan penatalaksanaan, penyakit yang
memperberat stroke dan perawatan untuk
mencegah salah satu komplikasi.
Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa
klien stroke yang mampu hidup sampai 6 bulan
, 27 % tidak mengalami kecacatan, 24 %
mengalami cacat ringan, 23 % mengalami cacat
sedang dan 6 % mengalami cacat berat (
Gordon, 2000 dalam Winarni 2004).4
Berdasarkan data WHO (1989, dalam
Tandrawarsito, 1993)5 menyatakan bahwa pada
akhir tahun pertama klien stroke yang
membutuhkan bantuan untuk aktifitas seharihari sebanyak 60 % dan 20 % diantaranya
membutuhkan bantuan aktifitas secara total, 15
% mengalami ketergantungan parsial dan 5 %
mengalami ketergantungan minimal kepada
orang lain serta 20 % klien mampu mandiri.
Winarni (2004)4 juga menyatakan bahwa dari
klien stroke yang mengalami hemiparese, 68 %
mengalami
ketergantungan
total,
15%
mengalami ketergantungan sebagian dan 16 %
mengalami ketergantungan minimal. Hal ini
menunjukkan bahwa klien pasca stroke
mempunyai kesempatan mandiri dalam
melakukan aktifitas sehari-hari, apabila klien
mendapatkan latihan rutin yang dapat dilakukan
oleh anggota keluarga di rumah dan dilakukan
pengawasan oleh perawat.

Rehabilitasi fisik merupakan salah satu


upaya untuk mengatasi dampak pasca stroke
yang dapat dilakukan secara terintegrasi dalam
bentuk kerjasama secara tim seperti dokter
spesialis saraf, dokter rehabilitasi medik,
perawat dan anggota keluarga. Tindakan
rehabilitasi fisik dapat dilakukan oleh keluarga
yang pada awalnya dilatih oleh perawat dan
selanjutnya dapat dilakukan secara mandiri oleh
keluarga. Keluarga mempunyai peran sebagai
pemberi perawatan utama apabila salah satu
anggota mengalami sakit atau ketidakmampuan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran
keluarga dalam rehabilitasi fisik terhadap
kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca
stroke di kota Palangka Raya
Metode
Desain yang digunakan dalam penelitian
ini adalah quasi eksperimen dengan pendekatan
pre-post test with control group. Pengukuran
kemandirian kepada klien pasca stroke sebelum
(pre test) dan sesudah (post test) pemberian
rehabilitasi fisik terhadap klien pasca stroke.
Pre test dilakukan satu hari sebelum klien
stroke pulang baik pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol. Rehabilitasi fisik
pada kelompok intervensi melalui kunjungan
rumah dan dilakukan selama 4 minggu dengan
frekuensi 2 kali seminggu bersama keluarga
pada , sedangkan pada kelompok kontrol
dilakukan 2 kali selama 4 minggu. Setelah
minggu ke 4 dilakukan post test.
Populasi adalah seluruh keluarga pasien
stroke yang di rawat di ruang neurologi RSUD
Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dengan
teknik sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalah consecutive sampling,
dimana semua subjek penelitian yang datang
dan memenuhi kriteria pemilihan di masukkan
ke penelitan sampai batas waktunya
terpenuhi.6,7
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah
keluarga pasien pasca stroke yang mengalami
hemiparese atau hemiplegia, kesadaran compos
mentis, berkomunikasi dengan baik, tidak
mengalami depresi, bersedia dikunjungi dan
berdomisili di kota Palangka Raya.
Penelitian ini dilakukan di ruang H
(neurologi) Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya dan dilanjutkan
kunjungan rumah di wilayah kota Palangka
Raya mulai bulan Juli 2011 sampai dengan
Desember 2011.
13

Datak, Kusnaningsih, Sylvia, Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Paska Stroke

Hasil
Karakteristik Responden
Karakteristik responden pada penelitian ini
meliputi jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan
dan usia pada kelompok kontrol serta kelompok
kontrol.
Berdasarkan hasil penelitian, jenis kelamin
anggota keluarga yang merawat klien pasca
stroke pada penelitian ini paling banyak adalah
perempuan, yaitu 40 orang dengan rincian pada
kelompok kontrol 18 orang (66,6%) dan
kelompok intervensi 22 orang ( 81,4%).
Berdasarkan latar belakang pendidikan,
terlihat bahwa keluarga yang merawat klien
sebagian besar berpendidikan SLTA yaitu 26
orang,
dengan 9 orang
(33,3%) pada
kelompok kontrol dan 17 orang (63,0%) pada
kelompok intervensi. Keluarga klien yang
berpendidikan SLTP adalah 13 orang, dengan 9
orang (33,3%) pada kelompok kontrol dan 4
orang (14,8%) pada kelompok intervensi.
Keluarga klien yang berpendidikan SD adalah
11 orang, dengan 6 orang (22,2%) pada
kelompok kontrol dan 5 orang (18,5%) pada
kelompok intervensi, sedangkan keluarga klien
yang berpendidikan perguruan tinggi adalah 4
orang, dengan 3 orang (11,1%) pada kelompok
kontrol dan 41 orang (3,7%) pada kelompok
intervensi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
keluarga yang merawat klien pasca stroke yang
tidak bekerja adalah 28 orang, dimana paling
banyak pada kelompok intervensi 16 orang
(59,3%) sedangkan pada kelompok kontrol
yaitu 12 orang (44,4% ). Pada keluarga yang
merawat klien pasca stroke yang bekerja
sebanyak 26 orang, 15 orang (55,6%) pada
kelompok kontrol dan 11 orang (40,7%) pada
kelompok intervensi.
Berdasarkan posisi di dalam keluarga
dalam merawat klien pasca stroke dapat dilihat
bahwa sebagian besar klien dirawat oleh anak
dan istri. Klien pasca stroke yang dirawat oleh
anak dan yang lainnya adalah 23 orang, 12
orang (44,4%) pada kelompok kontrol dan 11
orang (40,7%) pada kelompok intervensi.
Selanjutnya klien pasca stroke yang dirawat
oleh istri sebanyak 22 orang, 8 orang (29,6%)
pada kelompok kontrol dan 13 orang (48,2%)
pada kelompok intervensi. Suami juga berperan
dalam merawat istri yang stroke, yaitu 7 orang

(26,0%) pada kelompok kontrol dan 3 orang


(11,1%) pada kelompok intervensi.
Hasil analisis tabel 4.1. menunjukkan ratarata usia keluarga yang melatih klien stroke di
rumah pada kelompok kontrol adalah 45,19
tahun, median 47 tahun dengan standar deviasi
12, 41 tahun. Usia termuda 24 tahun dan usia
tertua 65 tahun. Dari estimasi interval dapat
disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa ratarata usia keluarga yang merawat pasien pasca
stroke di rumah pada kelompok kontrol antara
usia 40, 28 tahun sampai dengan usia 50,09
tahun. Sedangkan pada kelompok intervensi
menunjukkan rata-rata usia keluarga yang
melatih klien stroke di rumah pada kelompok
kontrol adalah 41,59 tahun, median 45 tahun
dengan standar deviasi 13,06 tahun. Usia
termuda 19 tahun dan usia tertua 70 tahun. Dari
estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95
% diyakini bahwa rata-rata usia keluarga yang
merawat pasien pasca stroke di rumah antara
36,43 tahun dan 46,76 tahun. Secara rinci dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden
Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan,
Usia dan Hasil Uji Kesetaraan di Kota Palangka
Raya Periode Juli-Desember 2011 (n=34)
Karakteristik
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
SD
SLTP
SLTA
PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Bekerja
Posisi di
Keluarga
Suami
Istr
Usia
Mean
Median
SD
Min-Mak
95% CI

Kelompok
Kontrol
Intervensi

p
value

9 (33,3%)
18 (66,7%)

5 (18,6%)
22 (81,4%)

0,352

6 (22,2%)
9 (33,3%)
9 (33,3%)
3 (11,1%)

5 (18,5%)
4 (14,8%)
17 (63,0%)
1 (3,7%)

0,140

12 (44,4%)
15 (55,6%)

16 (59,3%)
11 (40,7%)

0,414

7(26,0%)
8 (29,6%)
12 (44,4%)

3 (11,1%)
13 (48, 2%)
11 (40,7%)

0,242

45,19
47
12,41
24-65
40,28-50,09

41,59
45
13,06
19-70
36,43-46,76

0,262

Hasil uji kesetaraan pada karakteristik


keluarga klien pasca stroke menunjukkan
adanya kesetaraan pada
antara kelompok
kontrol dan kelompok intervensi, jika ada
perbedaan setelah dilakukan intervensi, maka
14

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

perbedaan tersebut disimpulkan terjadi sebagai


pengaruh dari perlakukan tersebut.
Kemandirian Aktifitas Sehari-hari Klien
Pasca Setelah Dilakukan Rehabilitasi Fisik
di Rumah
dan setelah dilakukan intervensi yaitu 64,26
(SD=17,53). Analisis lebih lanjut menunjukkan
bahwa rata-rata kemandirian aktifitas fisik klien
pasca stroke pada kelompok kontrol meningkat
setelah dilakukan rehabilitasi fisik (p=0,000).
Pada kelompok intervensi menunjukkan ratarata kemandirian aktifitas fisik sehari-hari
sebelum dilakukan intervensi adalah 39,63
(SD=14,00) dan setelah intervensi yaiu 83,70
(SD=16,68). Analisis lebih lanjut menunjukkan
peningkatan rata-rata kemandirian aktifitas fisik
klien pasca stroke pada kelompok intervensi
setelah dilakukan rehabilitasi fisik (p=0,000).
Berdasarkan tabel 2., hasil analisis lebih
lanjut menunjukkan bahwa peningkatan selisih
sebelum dilakukan intervensi adalah 34,07
(SD=14,28) dan setelah dilakukan intervensi
yaitu 64,26 (SD=17,53). Analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa rata-rata kemandirian
aktifitas fisik klien pasca stroke pada kelompok
kontrol meningkat setelah dilakukan rehabilitasi
fisik (p=0,000).
Pada kelompok intervensi menunjukkan
rata-rata kemandirian aktifitas fisik sehari-hari
sebelum dilakukan intervensi adalah 39,63
(SD=14,00) dan setelah intervensi yaiu 83,70
(SD=16,68). Analisis lebih lanjut menunjukkan
peningkatan rata-rata kemandirian aktifitas fisik
klien pasca stroke pada kelompok intervensi
setelah dilakukan rehabilitasi fisik (p=0,000).
Berdasarkan tabel 2., hasil analisis lebih
lanjut menunjukkan bahwa peningkatan selisih
rata-rata kemandirian aktifitas fisik setelah
dilakukan rehabilitasi fisik pada kelompok

Tabel
2
memperlihatkan
rata-rata
kemandirian aktifitas fisik sehari hari klien
pasca stroke pada kelompok kontrol sebelum
dilakukan intervensi adalah 34,07 (SD=14,28)

rata-rata kemandirian aktifitas fisik setelah


dilakukan rehabilitasi fisik pada kelompok
intervensi lebih tinggi yaitu 44,26 (SD=10,44)
dibandingkan kelompok kontrol yaitu 30,19
(SD=8,38), sehingga dapat disimpulkan
rehabilitasi fisik sebanyak pada sebanyak 8 kali
selama 4 minggu dapat meningkatkan
kemandirian aktifitas fisik sehari-hari pada
pasien pasca stroke dibandingkan yang
dilakukan hanya 2 kali selama 4 minggu.
Tabel
2
memperlihatkan
rata-rata
kemandirian aktifitas fisik sehari hari klien
pasca stroke pada kelompok kontrol

intervensi lebih tinggi yaitu 44,26 (SD=10,44)


dibandingkan kelompok kontrol yaitu 30,19
(SD=8,38), sehingga dapat disimpulkan
rehabilitasi fisik sebanyak pada sebanyak 8 kali
selama 4 minggu dapat meningkatkan
kemandirian aktifitas fisik sehari-hari pada
pasien pasca stroke dibandingkan yang
dilakukan hanya 2 kali selama 4 minggu. Secara
rinci dapat dilihat pada tabel.2. rata-rata
kemandirian aktifitas fisik setelah dilakukan
rehabilitasi fisik pada kelompok intervensi lebih
tinggi yaitu 44,26 (SD=10,44) dibandingkan
kelompok kontrol yaitu 30,19 (SD=8,38),
sehingga dapat disimpulkan rehabilitasi fisik
sebanyak pada sebanyak 8 kali selama 4
minggu dapat meningkatkan kemandirian
aktifitas fisik sehari-hari pada pasien pasca
stroke dibandingkan yang dilakukan hanya 2
kali selama 4 minggu.

Tabel 2. Analisis Rata-rata Kemandirian Aktifitas Klien Pasca Stroke Di Kota Palangka RayaPeriode
Juli-Desember Tahun 2011 (n=34)
Kemandiran
Aktifitas
Sehari hari
Kelompok Kontrol
Pre test
Post test
Kelompok Intervensi
Pre test
Post test
Peningkatan
Kemandirian
Kelompok Kontrol
Kelompok Intervensi

Mean

SD

SE

p
value

34,07
64,26

14,28
17,53

2,75
3,37

0,000

39,63
83,70

14,00
16,68

2,97
3,68

0,000

30,19
44,26

8,38
10,44

2,01
1,61

0,000

15

Datak, Kusnaningsih, Sylvia, Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Paska Stroke

Pengaruh Karakteristik Keluarga Terhadap


Kemandirian Aktifitas Fisik Sehari-Hari
Klien Pasca Stroke
Analisis
yang
dilakukan
dengan
menggunakan uji t pada variabel usia dan uji
Berdasarkan tabel 3, memperlihatkan
koefisien determinasi (R square) adalah 0,117
yang menjelaskan variabel usia keluarga hanya
dapat menjelaskan variabel peningkatan
kemandirian aktifitas fisik sehari-hari klien
pasca stroke sebesar 11,7% dan hasil uji F
menunjukkan
usia
keluarga
tidak
mempengaruhi
terhadap
peningkatan
kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca
stroke (p=0,723).
Rata-rata pengaruh jenis kelamin keluarga
terhadap peningkatan kemandirian aktifitas
fisik sehari-hari klien pasca stroke, dimana
keluarga yang berjenis kelamin laki laki yaitu
39,93 (SD=9,42) dan perempuan 36,63
(SD=12,53). Lebih lanjut setelah dilakukan
analisis diperoleh hasil tidak ada perbedaan
yang signifikan berdasarkan jenis kelamin
terhadap peningkatan kemandirian aktifitas
sehari-hari klien pasca stroke (p=0,533)
Dilihat dari pekerjaan keluarga klien pasca
stroke, diperoleh rata-rata keluarga responden
yang tidak bekerja yaitu 40,36 (SD=11,78),
sedangkan keluarga yang bekerja yaitu 33,85
(SD=10,98). Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa status pekerjaan keluarga bermakna

anova pada variabel jenis kelamin, pekerjaan,


pendidikan dan peran keluarga secara terinci
dapat dilihat pada tabel 3.

terhadap kemandirian aktifitas fisik klien pasca


stroke (p=0,041).
Rata-rata pengaruh pendidikan keluarga
responden terhadap kemandirian aktifitas
sehari-hari klien pasca stroke dengan latar
belakang SD adalah 22,55 (SD=6,50), SLTP
yaitu 31,15 (SD=6,81) dan SLTA yaitu 45,19
(SD=9,21), kemudian perguruan tinggi adalah
40 (SD=10,00). Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa ada perbedaan latar belakang pendidikan
keluarga terhadap kemandirian aktifitas fisik
sehari klien pasca stroke (p=0,000).
Jika dilihat dari rata-rata anggota keluarga
yang melatih klien pasca stroke lebih tinggi
oleh istri dibandingkan dengan suam atau anak
serta yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari
rata-rata peningkatan kemandirian aktifitas fisik
sehari-hari klien pasca stroke yang dilatih istri
adalah 42,38 (SD=10,44), jika oleh suami
adalah 38,50 (D=9,44) dan oleh anak serta yang
lainnya adalah 31,96 (SD=11,94). Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan
yang signifikan posisi di keluarga terhadap
peningkatan aktifitas fisik sehari-hari klien
pasca
stroke
(p=0,010).

Tabel 3. Pengaruh Karaktersitik Keluarga Terhadap Peningkatan Kemandirian Aktifitas Fisik


Sehari-hari Klien Pasca Stroke di Kota Palangka Raya
Periode Juli-Desember 2011 (n=34)

16

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

Karakteristik Keluarga
Usia

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pekerjaan
Tidak Bekerja
Bekerja
Pendidikan
SD
SLTP
SLTA
PT
Posisi Keluarga
Suami
Istri
Anak dan lainnya

Koef.Regresi
0,107
R=0.117

Beta
0,117
R=0,014

T
0,850

p value
0,399

Mean

SD

95% CI

p value

38,93
36,63

9,42
12,53

33,48-44,38
32,62-40,63

0,533

40,36
33,83

11,78
10,98

35,79-44,38
29,41-38,28

0,041

24,55
31,15
45,19
40,00

6,50
6,81
9,21
10,00

20,18-28,92
27,03-35,27
41,47-48,92
24,09-55,91

0,000

38,50
42,38
31,96

9,44
10,44
11,94

31,75-45,25
37,63-47,13
26,79-37,12

0,010

Pembahasan
Kemandirian Aktifitas Sehari-hari Klien
Pasca Setelah Dilakukan Rehabilitasi Fisik
di Rumah
Berdasarkan
hasil
penelitian
ini
disimpulkan rehabilitasi fisik dapat lebih
meningkatkan kemandirian aktifitas fisik
sehari-hari pada pasien pasca stroke pada
kelompok intervensi dibandingkan kelompok
kontrol (p=0,000). Peningkatan kemandirian
aktifitas sehari-hari klien pasca stroke dapt
terjadi karena adnya faktor pemulihan secara
alammiah dari dalam tubuh dengan adanya
perbaikan fungsional atau kesembuhan yang
terjadi.8
Selain dari proses penyembuhan alamiah,
juga dapat dihasilkan dari pengaruh pengobatan
yang dapat mengurangi perluasan stroke atau
intervensi lain seperti rehabilitasi fisi yang
dilakukan
untuk
mempertinggi
fungsi
neurologis sehingga klien menunjukkan kontrol
motorik yang baik.4
Hasil penelitian ini mendukung hasil
penelitian sebelumnya oleh Gilbertson, et al
(2000)9 bahwa rehabilitasi fisik di rumah klien
pasca stroke yang pulang dari rumah sakit
sebanyak 8 kali dengan waktu selama 30-45
menit selama 8 minggu menunjukkan hasil
yang bermakna pada kelompok perlakuan
dibandingkan kelompok kontrol (p=0,001).
Penelitian yang lain dilakukan Weiss, et al
(2005)10 menyebutkan bahwa klien yang
dilakukan rehabilitasi fisik di rumah terkait
aktifitas fisik sehari-hari, pergerakan sendi,
tonus dan koordinasi serta sensasi yang
dilakukan 6 minggu sampai 8 minggu
menunjukkan hasil
kemampuan berjalan

dengan alat dan mandiri secara parsial dalam


pemenuhan aktifitas sehari-harinya.
Peningkatan kemandirian aktifitas seharihari klien pasca stroke tidak terlepas dari peran
keluarga
melakukan
rehabilitasi
fisik.
Pengembangan ketrampilan keluarga dalam
merawat atau melatih klien dalam melakukan
rehabilitasi fisik di rumah dan mendukung
keluarga agar dapat mengambil keputusan
dalam menentukan perawatan klien.11
WHO (1989, dalam Tandarwarsito, 1993)5
menyatakan bahwa program rehabilitasi fisik
dapat dilanjutkan di ruah agar rehabilitasi fisik
yang sudah dilakukan di rumah sakit menjadi
optimal dan peranan keluarga sangat penting
untuk menunjang keberhasilan rehabilitasi fisik
klien. Keluarga mempunyai waktu dan
kesempatan yang lebih banyak dalam
memberikan perawatan pada anggota keluarga
yang mengalami stroke, sehingga kemitraan
perawat dengan keluarga dapat mewujudkan
kelanjutan perawatan yang dilakukan di rumah.
Pengaruh Karakteristik Keluarga Terhadap
Kemandirian Aktifitas Fisik Sehari-Hari
Klien Pasca Stroke
Usia
Usia adalah umur individu yang terhitung
mulai saat dilahirkan sampai saat berulang
tahun.12 Semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang lebih
matang dalam berpikir dan bekerja dan hal ini
terlihat
dari
hasil
penelitian
yang
memperlihatkan bahwa rata-rata usia anggota
keluarga yang melakukan rehabilitasi fisik
adalah 45, 19 (kelompok kontrol) dan 41,59
(kelompok intervensi), yang berarti rata-rata
usia keluarga termasuk usia dewasa madya,
17

Datak, Kusnaningsih, Sylvia, Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Paska Stroke

dimana dalam menyelesaikan suatu masalah


langsung memasuki masalahnya dan mampu
mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit
dan dapat melihat akibat langsung dari usahausahanya guna menyelesaikan masalah tersebut,
walaupun setelah dianalisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa usia keluarga tidak
mempengaruhi
terhadap
peningkatan
kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca
stroke (p=0,723).
Bagi
keluarga
yang
memberikan
perawatan, usia dari pemberi perawatan di
rumah akan berdampak terhadap perawatan
yang diberikan kepada klien pasca stroke
kemarena semakin tua umur seseorang atau
keluarga diharapkan semakin konstruktif dalam
menyelesaikan yang dialami oleh klien pasca
stroke.
Jenis Kelamin
Jenis
kelamin
penting
untuk
dipertimbangkan karena perbedaan pengalaman
antara laki-laki dan perempuan dapat berkaitan
efek terapeutik. Berdasarkan hasil penelitian ini
memperlihatkan bahwa jenis kelamin anggota
keluarga yang merawat klien pasca stroke pada
penelitian ini paling banyak adalah perempuan,
40 orang dengan rincian pada kelompok kontrol
18 orang (66,6%) dan kelompok intervensi 22
orang ( 81,4%). Setelah dilakukan analisis lebih
lanjut disimpulkan jenis kelamin keluarga yang
melakukan rehabilitasi fisik pada klien pasca
stroke tidak pengaruh terhadap peningkatan
kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca
stroke (p=0,533). Jenis kelamin merpakan
sebuah set yang diduga atau diyakini
mempunyai
perbedaan
perilaku
dan
pengalaman antara laki-laki dan perempuan.
Keyakinan ini dikembangkan oleh adanya
budaya, agama dan pengaruh dari keluarga
sendiri.
Pendidikan
Tingkat pendidikan dalam penelitian ini
adalah pendidikan formal tertinggi yang dicapai
oleh keluarga. Berdasarkan latar belakang
pendidikan,
terlihat bahwa keluarga yang
merawat klien sebagian besar berpendidikan
SLTA yaitu 26 orang, SLTP 13 orang, SD 11
orang dan berpendidikan perguruan tinggi
adalah
4
orang.
Pendidikan
dapat
mempengaruhi seseorang termasuk juga
perilaku seseorang akan pola hidup terutama
dalam memotivasi untuk sikap berperan dalam
bidang kesehatan.13

Analisis lebih lanjut memperlihatkan


bahwa ada perbedaan latar belakang pendidikan
keluarga terhadap kemandirian aktifitas fisik
sehari klien pasca stroke (p=0,000). Pendidikan
yang dimiliki oleh keluarga akan dapat
mempengaruhi kemandirian aktifitas sehari-hari
klien pasca stroke di rumah. Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang semakin mudah
mengerti, mampu menyelesaikan masalah, lebih
trampil dan lebih cakap serta mempunyai sikap
yang positif terhadap perawatan.
Pekerjaan
Pekerjaan merupakan kegiatan yang dapat
menghasilkan uang atau pendapatan sebagi
sumber penghasilan. Berdasarkan hasil
penelitian ini memperlihatkan bahwa keluarga
yang merawat klien pasca stroke yang tidak
bekerja adalah 28 orang dan yang bekerja
sebanyak 26 orang. Analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa status pekerjaan keluarga
berpengaruh terhadap kemandirian aktifitas
fisik sehari-hari klien pasca stroke (p=0,041).
Bagi keluarga yang merawat klien pasca
stroke, jenis pekerjaan keluarga memberikan
dampak pada kemampuan keluarga untuk
memberikan dukungan yang lebih baik dalam
perawatan yang menunjang kelanjutan dari
pengobatan dan penggunaan fasilitas kesehatan
yang tersedia.
Posisi di Keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung
utama yang memberikan perawatan langsung
kepada klien selama di rumah dalam keadaan
sehat ataupun sakit (Friedman, Bowman &
Jines, 2003). Berdasarkan hasil penelitian ini
memperlihatkan bahwa posisi di dalam
keluarga dalam merawat klien pasca stroke
sebagian besar klien dirawat oleh anak dan
yang lainnya adalah 23 orang, dirawat oleh istri
sebanyak 22 orang dan dirawat oleh suami
sebanyak 10 orang. Lebih lanjut analisis
statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan
yang signifikan posisi di keluarga terhadap
peningkatan aktifitas fisik sehari-hari klien
pasca stroke (p=0,010). Posisi di dalam
keluarga berkaitan dengan status-status yang
diciptakan dalam sebuah keluarga. Dalam
sebuah keluarga terdapat sejumlah peran forml
yaitu sebagai orang tua atau anak. Peran
keluarga apabila salah satu anggota keluarga
mengalami kondisi sakit adalah sebagai
pemberi keperawatan yang dapat dilakukan
oleh istri, anak atau suami. Perubahan peran ini
dapat terjadi jika ada anggota keluarga yang
18

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

sakit, ketidakmampuan melakukan aktifitas,


kematian atau kelahiran.
Kesimpulan
1. Peran keluarga dalam melakukan rehabilitasi
fisik bermakna terhadap kemandirian
aktifitas sehari-hari klien pasca stroke.
2. Tingkat kemandirian aktifitas sehari-hari
klien pasca stroke pada kelompok intervensi
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol
setalah dilakukan rehabilitasi fisik.
3. Setelah
dilakukan
rehabilitasi
fisik,
karakteristik keluarga yang bermakna
terhadap kemandirian kemandirian aktifitas
fisik sehari klien pascastroke adalah
pendidikan, pekerjaan dan posisi di
keluarga, sedangkan usia dan jenis kelamin
tidak bermakna terhadap kemandirian
aktifitas fisik sehari-hari klien pasca stroke.
Saran
1. Perlu diperkuat sistem follow up pasien
pasca stroke antara rumah sakit dan
puskesmas sebagai tindak lanjut perawatan
di rumah.
2. Perlu dikembangkan pelayanan keperawatan
di rumah (home care) sebagai modela
pelayanan keperawatan berkelanjutan yang
dapat dilakukan bersama oleh perawat atau
antar profesi kesehatan sehingga perawatan
lanjutan bagi pasien stroke dapat dilakukan
secara paripurna.
3. Perlu support mental melalui kunjungan
rumah terhadap keluarga yang melakukan
latihan rehabilitasi fisik pada pasien-pasien
stroke yang di rawat di rumah.
4. Perlu dikembangan penelitian lanjutan
terhadap variabel-variabel yang diduga
berpengaruh terhadapa penelitian ini
Daftar Rujukan

3. Miscbah,J.(1999). Stroke aspek diagnostik,


patofisiologi, managemen. Jakarta : Balai
penerbit FKUI
4. Winarni, S (2004). Pola Tindakan
Keperawatan
untuk
Meningkatkan
Kemandirian Pada Pasien Stroke Dengan
Hemiparese. Laporan Penelitian. Tidak
Dipublikasikan
5. Tandrawarsito, A.L (1993). Gambaran
Tentan
Aktifitas
Hidup
Sehari-Hari
Penderita Pasca Stroke Di Uni Rawat Jalan
RSU Dr . Soetomo Surabaya. Laporan
Penelitian
Pendahuluan.
Tidak
Dipublikasikan.
6. Sabri, L., & Hastono, S.P. (2006). Statistik
kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
7. Sastroasmoro, S. (2006). Pemilihan subyek
penelitian, dalam Sastroasmoro & Ismael,
dasar-dasar metodologi penelitian klinis
(hlm.67-77). Jakarta: Sagung Seto.
8. Hadinoto, S., Setiawan & Soetedjo (1992).
Stroke Pengelolaan Mutakhir.SemarangBadan Penerbit UNDIP.
9. Gilbertson, L., Langhorne P., Alle &
Murray,G.D.
(2000).
Domiciliary
Occupational Therapy For Patient With
Stroke Discharge From Hospital :
Randomized
Controlled
Trial,
http:///bmjjournal.com. Diakses 24 Januari
2010
10. Weiss, et.al (2005)
11. Friedman, M.M., Bowman, V.R., Jones,
E.G.(2003).
Family
Nursing,
Research,theory & Practice. New Jersey:
Appleton & Lange
12. Hurlock,
E.B.
(1995).
Psikologi
Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
rentang
Kehidupan.Alih
Bahasa
:
Istiwidayanti & Soedjarwo. Edisi lima.
Jakarta : Penerbit Erlangga
13. Notoatmojo, S.(1997). Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta

1. Mulyatsih,E & Ahmad,A .(2008). Stroke


:Petunjuk perawatan pasien pasca stroke di
rumah. Jakarta :Balai penerbit FKUI
2. Balitbangkes, (2007). Laporan Nasional
Riskesdas 2007

19

ARTIKEL PENELITIAN

Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk Suction


Endotrakheal Terhadap Saturasi Oksigen di ICU RSUD
Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Effect Of Suction Endotracheal Preoxygenation FOR THE OXYGEN Saturation
in ICU Prof Dr. Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto
Budi Widiyanto, S. Hudijono
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang

Abstrak. Tindakan suction bertujuan untuk mengeluarkan sputum dari rongga mulut, trakhea,
dan bronchus sehingga jalan napas tidak terganggu, akan tetapi ada dampak lain yang
ditimbulkan dari tindakan tersebut yaitu adanya hipoksemia yang ditandai penurunan saturasi
oksigen, dan salah satu cara untuk mengatasi hipoksemia adalah dengan pemberian
preoksigenasi sebelum dilakukan tindakan suction endotrakheal. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100 % untuk suction
endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.Metode penelitian menggunakan pre eksperimental design dengan desain one group
pra test-post test design. Alat yang digunakan adalah Pulse Oksimetri dan lembar observasi.
Sampel yang diperoleh 17 responden dengan teknik purposive sampling. Hasil penelitian ini
nilai rata-rata saturasi oksigen setelah suction endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100 %
adalah 97,2941 % dan nilai rata-rata saturasi oksigen setelah suction endotrakheal dengan
preoksigenasi O2 100 % adalah 99,7647 %, dari analisa statistik dengan t-test dependent
didapat p = 0.000 (<0.05), sehingga kesimpulannya terdapat pengaruh peningkatan yang
signifikan pemberian preoksigenasi sebelum dilakukan tindakan suction endotrakheal terhadap
saturasi oksigen.
Kata Kunci : Suction, pre oksigenasi, saturasi oksigen
Abstract. Mucus suction aimed to release sputum of mouth cavity, trachea, and bronchus, so
that the airway is not obstructed. However there is an impact from those suction ie : the
existence of hypoxemia which is marked by degradation of saturation oxygen .One of the ways
to overcome hypoxemia is by giving pre oxygenation before conducting Endo tracheal suction.
The aim of this research is to know the influence of giving pre oxygenation for Endo tracheal
suction toward oxygen saturation in ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. This
research has been conducted from 15 August until 14 September 2008. The research method
was pre experimental with design one group pre test-post test. The instruments used were Pulse
oxymetri and observation sheet. The obtained samples were 17 respondents by using purposive
sampling technique. The result of this research revealed that average value of oxygen saturation
after suction without O2 pre oxygenation 100 % was 97, 2941 % and the average value of
oxygen saturation after suction with O2 pre oxygenation 100 % was 99,7647 %. The statistical
analysis with dependent t-test showed p = 0.000 (< 0.05), so that it was concluded that there was
significance influence from delivering pre oxygenation toward oxygen saturation before Endo
tracheal suction has been conducted.
Keyword : Suction, pre oxygenation, oxygen saturation

20

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

Pendahuluan
Beberapa kondisi pasien yang memerlukan
pelayanan intensif adalah pasien dengan
gangguan sistem penapasan. Salah satu bentuk
gangguan pernapasan diantaranya adalah
obstruksi saluran pernapasan yang bisa
diakibatkan oleh adanya penumpukan sekret /
cairan ataupun benda yang menghalangi saluran
pernapasan. Apabila benda tersebut tidak dapat
dikeluarkan maka akan berakibat sangat fatal
bagi kelangsungan hidup. Obstruksi jalan napas
adalah resiko yang dihadapi pasien tidak sadar
karena epiglotis dan lidah mungkin rileks, yang
menyumbat orofaring, atau pasien mungkin
muntah atau sekresi nasofaring.1
Salah satu intervensi yang dilakukan oleh
perawat di pelayanan intensif adalah
pelaksanaan suction / suction saluran
pernapasan. Ada 3 macam bentuk penghisapan
yaitu penghisapan orofaring dan penghisapan
nasofaring, penghisapan orotrakhea dan
nasotrakhea, dan penghisapan napas buatan.2
Tujuan dari tindakan keperawatan suction ini
adalah untuk mengeluarkan sputum dari rongga
mulut, trakhea, dan bronchus sehingga jalan
napas tidak terganggu, akan tetapi ada dampak
lain yang ditimbulkan dari tindakan tersebut
yaitu hipoksemia yang ditandai dengan
penurunan saturasi dan peningkatan frekuensi
pernapasan jika dilakukan dengan teknik yang
kurang tepat.3
Menurut Baun (1984), Judson (1994),
Lookinland (1991), Mancinelli-Van (1992),
Peruzzi (1995) yang dikutip oleh Wynne R,
Botti M, Paratz J (2004)4 Preoksigenasi
direkomendasikan
pada
suction/suction
endotrakheal untuk mencegah hipoksemia.
Adapun salah satu bentuk teknik preoksigenasi
yaitu hiperoksigenasi dengan meningkatkan
pemberian oksigen pada saat inspirasi. Menurut
Bresler (1998)5 untuk mencegah terjadinya
hipoksemia
adalah
dengan
melakukan
preoksigenasi dengan O2 100% selama 30 detik
sampai 3 menit.
Pengukuran saturasi oksigen kapiler yang
kontinu dapat dilakukan dengan menggunakan
oksimetri kutaneus. Saturasi oksigen adalah
persentase hemoglobin yang
disaturasi
oksigen. Menurut Whitney (1990) dikutip oleh
Potter dan Perry (2005)2 keuntungan
pengukuran oksimetri transkutaneus yaitu
mudah dilakukan, tidak invasif, dan dengan
mudah diperoleh. Oksimetri yang paling umum

digunakan adalah oksimeter nadi. Jenis


oksimeter ini melaporkan amplitudo nadi
dengan data saturasi oksigen. Perawat biasanya
mengikatkan sensor noninvasif ke jari tangan,
jari kaki, atau hidung klien yang memantau
saturasi oksigen darah.
Di ruang Intensif Care Unit (ICU) RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto jumlah
pasien dari bulan Januari sampai April 2008
sebanyak 138 orang, dan yang dilakukan
tindakan suction/suction sebanyak 76 orang
artinya sekitar 55 % pasien-pasien di ruang ICU
RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo dilakukan
pengisapan lendir/suction. Penghisapan lendir
harus dilakukan dengan prosedur yang tepat
untuk mencegah terjadinya infeksi, luka,
spasme, edema, serta perdarahan jalan napas,
dan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk
menghindari
terjadinya
hipoksia
atau
hipoksemia. Sedangkan di ruang ICU RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo tidak semua
perawat sebelum melakukan tindakan suction /
suction endotrakheal melakukan preoksigenasi
dengan O2 100 % terlebih dahulu.
Berdasarkan fenomena di atas penulis tertarik
untuk menyusun laporan penelitian tentang
pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100 %
untuk suction / suction endotrakheal terhadap
saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto. Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut diatas maka
dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai
berikut, Adakah
pengaruh pemberian
preoksigenasi O2 100 % untuk suction / suction
endotrakheal terhadap saturasi oksigen di
ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah ada pengaruh pemberian
preoksigenasi O2 100 % untuk suction / suction
endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang
ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto .
Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan metode pre
eksperimental design, atau sering juga disebut
dengan istilah quasi eksperimen dengan jenis
penelitian menggunakan desain one group pra
test-post testwithout control group yaitu
caranya dengan dilakukan pre test dahulu
sebelum diberikan intervensi kemudian setelah
intervensi lalu diberikan post test. Sebelum

21

Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen

dilakukan intervensi kelompok subyek


di
lakukan tindakan pengukuran saturasi oksigen
(SaO2) dengan pulse oksimetri dan setelah
dilakukan intervensi dengan cara memberikan
preoksigenasi O2 100 % pada suction/suction

endotrakheal kemudian dilakukan pengukuran


SaO2
setelah
tindakan
suction/suction
endotrakheal selesai, kemudian dibandingkan
apakah ada perbedaan, untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan terhadap subyek penelitian


Subyek
K

Pra

Perlakuan

O1
Time 1

I
Time 2
1

Paska Test

O2
Time 3

Keterangan:
K : Subyek (Pasien dengan terpasang endotrakheal)

O1

O2

: Observasi saturasi oksigen (SaO2) setelah dilakukan suction/suction tanpa preoksigenasi O2 100%.
: Intervensi pemberian preoksigenasi O2 100% sebelum tindakan suction/suction.
: Observasi saturasi oksigen (SaO2) setelah dilakukan suction/suction dengan preoksigenasi O2 100%.

Populasi dan Sampel.


Dalam penelitian ini populasi yang diambil
adalah seluruh pasien dengan terpasang
endotrakheal yang dilakukan suction/suction
di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo dari tanggal 15 Agustus sampai
dengan 14 September 2008.
Sampel pada penelitian ini diambil dengan
teknik Purposive sampling yaitu dengan cara
mengambil subjek bukan didasarkan atas
strata, atau random tetapi didasarkan atas
adanya tujuan penelitian penulis dari seluruh
populasi yang dirawat inap di ruang ICU
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan untuk
penelitian ini. Jumlah sampel pada penelitian
ini adalah 17 orang. Kriteria sampel yang
digunakan adalah :
Pasien yang terpasang endotrakheal, keluarga
Pasien bersedia menjadi responden, semua
golongan jenis kelamin yang kooperatif,
pasien yang terpasang ventilator dan
dilakukan tindakan suction/suction, tidak ada
kontra indikasi dilakukan preoksigenasi O2
100%.
Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
Pada penelitian ini alat yang digunakan
adalah pulse oksimetri
yang terdapat pada
bedside monitor untuk mengukur saturasi
oksigen (SaO2) dari sampel yang akan diteliti,

sedangkan pemberian O2 100% yaitu dengan


setting ventilator yang terhubung dengan
oksigen sentral. Disamping itu peneliti juga
menggunakan lembar observasi untuk
menuliskan hasil pengukuran saturasi oksigen
(SaO2). Lembar observasi diisi oleh peneliti
atau enumerator (jika peneliti berhalangan
hadir) yang terlibat dalam penelitian ini.
Cara Pengumpulan Data.
Peneliti meminta ijin secara tertulis kepada
Direktur RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto untuk melakukan penelitian di
ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Setelah mendapatkan ijin untuk
melakukan
penelitian,
peneliti
dan
enumerator menjelaskan maksud dan tujuan
penelitian kepada responden atau keluarga
pasien.
Responden
yang
bersedia
berpartisipasi
secara sukarela dalam
penelitian ini dimohon untuk menandatangani
lembar persetujuan menjadi responden.
Peneliti atau enumerator melakukan tindakan
suction tanpa preoksigenasi O2 100%
kemudian mencatat saturasi oksigen dilembar
observasi.
Selanjutnya dilakukan preoksigenasi
O2
100% selama 2 menit dilanjutkan tindakan
suction selama maksimal 15 detik kemudian
kita lakukan pengukuran kembali saturasi
oksigen (SaO2).

22

Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen

Etika Penelitian
Peneliti atau enumerator memberikan lembar
persetujuan (Informed Consent) yang
merupakan cara persetujuan antara peneliti
dengan responden penelitian, hal ini bertujuan
agar subyek mengerti maksud dan tujuan
penelitian,
mengetahui
dampak
dari
penelitian, jika bersedia maka subyek diminta
untuk menandatangani lembar persetujuan
yang telah disediakan, apabila responden
menolak maka peneliti akan menghormati hak
pasien dan tidak akan melakukan pemaksaan
kehendak. Pada lembar pengumpulan data
nama responden tidak dicantumkan, hanya
dituliskan kode pada lembar alat ukurnya
yaitu menggunakan nomor 1 sampai 17.
Confidentiality (kerahasiaan). Pelaporan hasil
riset hanya kelompok data tertentu yang dapat
mewakili, semua informasi yang telah
dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti.
Metode Pengolahan Data dan Analisa Data
Pengolahan Data.
Hasil dari pengumpulan data merupakan data
kasar, kemudian diolah agar data kasar dapat
diorganisir, disajikan dan dianalisa hingga
bisa ditarik kesimpulan, ini merupakan proses
penataan data.
Editing. Tujuan dari editing adalah agar
kesalahan atau kekurangan data yang
ditemukan dengan segera dapat dilakukan
perbaikan dengan cara mengoreksi data yang
meliputi kelengkapan pengisian dan hasil
pengamatan, koreksi ini dilakukan dilapangan
setelah pengukuran saturasi oksigen (SaO2)
dan pengisian chek list selesai.
Koding. Setelah editing data selesai maka
dilakukan pemberian kode atau tanda tertentu
terhadap hasil tindakan dan pengamatan yang
diperoleh untuk mempermudah penyusunan
tabel.
Tabulasi
Guna
memudahkan
dalam
menganalisa data maka dilakukan kegiatan
memasukkan data-data hasil penelitian ke
dalam tabel-tabel sesuai dengan kriteria
tertentu.
Pengolahan data.Untuk mengetahui pengaruh
preoksigenasi O2 100% untuk tindakan
suction terhadap nilai saturasi oksigen (SaO2)
dengan cara menghitung selisih nilai SaO2
tindakan suction dengan preoksigenasi O2

100% dan nilai SaO2 tindakan suction tanpa


preoksigenasi O2 100%.
Analisa Data.
Analisa Univariat. Digunakan dengan tujuan
untuk menggambarkan tiap variabel dengan
menggunakan tendensi sentral yang berupa
Standart Deviasi (SD) dan Mean, dari hasil
tersebut akan tergambar hasil pengukuran
nilai SaO2 tindakan suction dengan
preoksigenasi O2 100% dan nilai SaO2
tindakan suction tanpa preoksigenasi O2
100% di ruang ICU Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto.
Analisa Bivariat. Analisa data ini digunakan
untuk mengetahui hasil pengukuran nilai SaO2
tindakan suction dengan preoksigenasi O2
100% dan nilai SaO2 tindakan suction tanpa
preoksigenasi O2 100% di ruang ICU Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto dengan
menggunakan alat bantu komputer melalui
program SPSS versi 11.5.
kemudian
dilanjutkan uji statistik menggunakan t-test
dependen untuk uji beda yang digunakan
untuk menganalisa perbedaan nilai Mean
hasil pengukuran nilai SaO2 tindakan suction
dengan preoksigenasi O2 100% dan nilai SaO2
tindakan suction tanpa preoksigenasi O2
100% di ruang ICU Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto, untuk semua responden
yang didapat.
Berdasarkan uji tersebut dapat disimpulkan
nilai p value jika 0,05 maka hipotesis nol
(Ho) diterima dan Ha di tolak, yang berarti
tidak ada pengaruh hasil pengukuran nilai
SaO2 tindakan suction dengan preoksigenasi
O2 100% dan nilai SaO2 tindakan suction
tanpa preoksigenasi O2 100% di ruang ICU
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto,
sebaliknya nilai p value jika < 0,05 maka
hipotesis nol (Ho) ditolak dan Ha diterima
yang berarti ada pengaruh hasil pengukuran
nilai SaO2 tindakan suction dengan
preoksigenasi O2 100% dan nilai SaO2
tindakan suction tanpa preoksigenasi O2
100% di ruang ICU Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto.
Hasil
Dalam Bab ini akan disampaikan tentang hasil
penelitian yang telah dilaksanakan di ruang
ICU Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto dengan jumlah

23

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

sampel 17 yaitu antara lain karakteristik


responden, nilai saturasi oksigen (SaO2)
setelah tindakan suction/suction endotrakheal
tanpa preoksigenasi O2 100%, nilai SaO2
setelah tindakan suction/suction endotrakheal
dengan preoksigenasi O2 100%, pengaruh
pemberian preoksigenasi O2 100% untuk
suction/suction endotrakheal terhadap SaO2 di
ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.
Karakteristik Responden
Dari rincian tabel 2 dapat kita uraikan hasil
penelitian terhadap 17 responden yang

memenuhi kriteria inklusi, berdasarkan


analisa data dapat diketahui bahwa jumlah
proporsi responden antara laki-laki dan
perempuan lebih besar laki-laki yaitu 11
responden (64,7 %) perempuan 6 responden
(35,3 %).
Dari tabel 2. dapat diuraikan usia terbanyak
antara usia 13-44 tahun yang berjumlah 10
orang (58,8 %) kemudian usia 45-60 tahun
berjumlah 5 orang (29,4 %) dan usia lebih
dari 60 tahun paling sedikit yaitu hanya 2
responden
(11,8%).

Table 1. Karakteristik responden menurut jenis kelamin di ruang ICU RSUD


Margono Soekarjo Purwokerto (n=17)
Karakteristik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan

Frekuensi (n)

Prof. Dr.

Persentase (%)

11
6

64,7
35,3

17

100,0

Table 2. Karakteristik responden menurut umur di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto (n=17)
Karakteristik
Umur
a.
b.
c.

13-44 tahun
45-60 tahun
> 60 Tahun

Frekuensi (n)

Persentase (%)

10
5
2

58,8
29,4
11,8

17

100,0

Nilai saturasi oksigen (SaO2) setelah


tindakan suction/suction endotrakheal
tanpa preoksigenasi O2 100%
Dari rincian pada tabel 3 dapat diterangkan
bahwa berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan pada pasien dengan terpasang
endotrakheal yang dilakukan tindakan
suction/suction tanpa preoksigenasi O2 100%
di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono
purwokerto terdapat 17 responden, nilai ratarata (Mean) SaO2 adalah 97,2941 %, SaO2
tertinggi (Maksimal) adalah 100 %, SaO2
terendah adalah 95 % dan standar deviasi
adalah 1,57181.

Nilai saturasi oksigen (SaO2) setelah


tindakan suction/suction endotrakheal
dengan preoksigenasi O2 100% .
Pada tabel 4. dapat dijelaskan bahwa
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
pada pasien dengan terpasang endotrakheal
yang dilakukan tindakan suction/suction
dengan preoksigenasi O2 100% di ruang ICU
RSUD Prof. Dr. Margono purwokerto
terdapat 17 responden, nilai Mean SaO2
adalah 99,7647 %, SaO2 tertinggi (Maksimal)
adalah 100 %, SaO2 terendah adalah 99 % dan
standar
deviasi
adalah
0,43724.

24

Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen

Tabel 3. Hasil pengukuran nilai SaO2 setelah tindakan suction/suction endotrakheal tanpa
preoksigenasi O2 100% di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
N
17

Mean

(%)

Maksimal

97,2941

(%)

Minimal
(%)

Standart Deviasi

95

1,57181

100

Tabel 4. Hasil pengukuran nilai SaO2 setelah tindakan suction/suction endotrakheal dengan
preoksigenasi O2 100% di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Mean
(%)

Maksimal
(%)

Minimal
(%)

Standart Deviasi

17

99,7647

100

99

0,43724

Pengaruh pemberian preoksigenasi O2


100% sebelum tindakan suction/suction
endotrakheal terhadap saturasi oksigen di
ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto.
Pada tabel 5. berdasarkan analisa statisik
dengan menggunakan uji beda t- test

dependen menunjukan bahwa nilai p value


adalah sebesar 0,000 (< 0,05) dengan nilai
thitung = -6,769 < ttabel = -2,120 yang berarti
terdapat pengaruh pemberian preoksigenasi
O2 100% sebelum tindakan suction/suction
endotrakheal terhadap saturasi oksigen.

Table 5. Pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100% sebelum tindakan suction/suction


endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto
Tindakan suction

Tanpa O2

X
( %)

97,2

SD

1,5

0,4

- 6,769
Dengan O2

99,7

P
value

Pembahasan
Pada bab ini akan dibahas mengenai
karakteristik responden, hasil pengukuran
saturasi oksigen (SaO2) setelah dilakukan
tindakan suction/suction endotrakheal tanpa
preoksigenasi O2 100%, hasil pengukuran
SaO2
setelah
dilakukan
tindakan
suction/suction
endotrakheal
dengan
preoksigenasi
O2
100%,
menganalisa
pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100%
untuk suction/suction endotrakheal terhadap
saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto yang telah
selesai diteliti.

0,000

Karakteristik Responden.
Hasil penelitian dari 17 responden yang
memenuhi syarat inklusi didapatkan bahwa
proporsi responden antara laki-laki dan
perempuan adalah lebih besar laki-laki yaitu
11 orang (64,7 %) dibandingkan perempuan
yaitu 6 orang (35,3 %) pada pasien yang
dilakukan
tindakan
suction/suction
endotrakheal dengan terpasang ventilator.
Sedangkan karakteristik sampel menurut umur
pada penelitian ini jumlah sampel terbanyak
pada rentang usia 13-44 tahun yaitu 10 orang
(58,8 %) kemudian usia 45-60 tahun sebanyak

25

Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen

5 orang (29,4 %) dan yang paling sedikit usia


lebih dari 60 tahun sebanyak 2 orang (11,8
%).
Angka kejadian tersebut bukan berarti jumlah
pasien yang terpasang endotrakheal dan
dilakukan tindakan suction/suction laki-laki
lebih besar dari perempuan, hal ini merupakan
suatu kebetulan saja pada saat dilaksanakan
penelitian
pasien
yang
dilakukan
suction/suction endotrakheal lebih banyak
laki-laki. Sementara dilihat dari karakteristik
usia, kelompok usia yang paling banyak
adalah usia 13-44 tahun hal ini kemungkinan
adalah karena usia tersebut adalah usia
produktif dimana angka kejadian trauma
kepala lebih besar karena dari 17 responden
yang dijadikan sampel 82,3 % adalah pasien
dengan trauma kepala. Hal ini diperkuat data
dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2008
jumlah pasien yang terpasang ventilator dan
dilakukan
suction/suction
endotrakheal
sebanyak 52 orang dan 44 orang atau 85 %
adalah pasien cedera kepala.
Hasil pengukuran saturasi oksigen (SaO2)
setelah
tindakan
suction/suction
endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100%
Berdasarkan
penelitian
yang
telah
dilaksanakan diperoleh bahwa Nilai rata-rata
SaO2 setelah tindakan suction/suction
endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100%
adalah 97,2941 % hal ini lebih rendah
dibandingkan dengan nilai rata-rata SaO2
setelah tindakan suction/suction endotrakheal
dengan preoksigenasi O2 100% yaitu 99,7647
% sehingga sesuai dengan apa yang ditulis
oleh Hudak dan Gallo (1997)3 bahwa ada
dampak lain yang ditimbulkan dari tindakan
suction/suction yaitu hipoksemia yang
ditandai dengan penurunan saturasi dan
peningkatan frekuensi pernapasan jika
dilakukan dengan teknik yang kurang tepat,
dan salah satu cara untuk mengatasi
hipoksemia tersebut adalah dengan terapi
oksigen atau pemberian preoksigenasi O2
100% sebelum tindakan suction/suction
endotrakheal dilakukan (Hudak dan Gallo,
1997).3
Adapun menurut Fikri dan Ganda (2005)6,
sistem pengangkutan oksigen dalam tubuh
melibatkan fungsi paru-paru dan sistem
kardiovaskuler. Oksigen yang ditranspor ke
jaringan tergantung dari jumlah oksigen yang

masuk ke paru-paru, difusi oksigen antara


alveolus dan arteri, aliran darah ke jaringan
dan kemampuan darah dalam mengangkut
oksigen (hemoglobin). Sependapat dengan
Hudak dan Gallo (1997)3, mayoritas oksigen
yang dibawa oleh darah dibawa oleh
hemoglobin, dan dalam jumlah sangat sedikit
dilarutkan dalam plasma. Persentase saturasi
hemoglobin dengan oksigen memberikan
perkiraan mendekati jumlah total oksigen
yang dibawa oleh darah. Tiap gram
hemoglobin dapat membawa maksimum 1,34
ml oksigen. Persentase saturasi hemoglobin
diartikan sebagai jumlah oksigen yang dibawa
hemoglobin dibandingkan dengan jumlah
oksigen yang dapat dibawa
oleh
hemoglobin,ditunjukan sebagai persentase :
Jumlah O2 Hb yang dibawa
Persen saturasi O2 Hb =
Jumlah O2 yang dapat dibawa Hb
Hasil pengukuran saturasi oksigen (SaO2)
setelah
tindakan
suction/suction
endotrakheal dengan preoksigenasi O2
100%
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat
diketahui bahwa nilai saturasi oksigen (SaO2)
setelah tindakan suction/suction endotrakheal
dengan preoksigenasi O2 100% diperoleh ratarata SaO2 99,7647 % hal ini lebih tinggi
dibandingkan nilai SaO2 setelah tindakan
suction/suction
endotrakheal
tanpa
preoksigenasi O2 100% yang hanya 97,2941
%, sehingga dapat diartikan bahwa pemberian
preoksigenasi sebelum dilakukan tindakan
suction endotrakheal mampu meningkatkan
nilai saturasi oksigen. Hal ini sesuai dengan
apa yang dikemukakan oleh Baun (1984),
Judson
(1994),
Lookinland
(1991),
Mancinelli-Van (1992), Peruzzi (1995) yang
dikutip oleh Wynne , Botti , Paratz (2004)4
bahwa Preoksigenasi direkomendasikan pada
suction/suction endotrakheal untuk mencegah
hipoksemia. Teknik untuk preoksigenasi ada
tiga cara yaitu dengan memasukan
hiperoksigenasi
atau
meningkatkan
pengiriman oksigen inspirasi, kemudian
dengan hyperinflasi atau meningkatkan tidal
volume, dan teknik hyperventilation atau
meningkatkan menit volume atau kecepatan
respirasi. Adapun salah satu bentuk teknik
preoksigenasi yaitu hiperoksigenasi dengan

26

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

meningkatkan pemberian oksigen pada saat


inspirasi.
Sedangkan terapi pemberian preoksigenasi
dengan O2 100% pada pasien yang dilakukan
tindakan
suction/suction
endotrakheal
bertujuan untuk mengatasi hipoksemia sesuai
dengan analisis gas darah, serta menurunkan
kerja nafas dan menurunkan kerja miokard.
Terapi pemberian oksigen dapat berjalan
dengan baik dilihat dari hasil observasi
saturasi oksigen. Menurut (Rupii, 2005)7
saturasi
oksigen
adalah
kemampuan
hemoglobin mengikat oksigen. Ditunjukkan
sebagai derajat kejenuhan atau saturasi
(SaO2). Saturasi yang paling tinggi (jenuh)
adalah 100%. Artinya seluruh tangan
hemoglobin mengikat oksigen. Sebaliknya
saturasi yang paling rendah adalah 0% artinya
tidak ada oksigen sedikitpun yang terikat oleh
hemoglobin. Hemoglobin yang tidak berikatan
dengan oksigen disebut reducen hemoglobin.
Menurut (Hudak & Gallo, 1997)3 tiap gram
hemoglobin dapat membawa maksimal 1,34
ml oksigen. Presentase saturasi hemoglobin
diartikan sebagai jumlah oksigen yang dibawa
oleh hemoglobin dibandingkan dengan jumlah
oksigen yang dapat dibawa oleh hemoglobin
(Hudak & Gallo, 1997).3
Adapun transport oksigen ke jaringan
tergantung pada jumlah oksigen dalam darah
arteri (kandungan oksigen arteri) dan
kemampuan jantung untuk memompa darah
yang mengandung oksigen ini keseluruh
jaringan. Sedangkan kandungan oksigen arteri
tergantung pada seberapa baik paru mampu
mendapatkan oksigen dari udara ke dalam
darah dan jumlah normal hemoglobin yang
berfungsi
untuk
membawa
oksigen.
Sependapat dengan Fikri dan Ganda (2005)6
pengangkutan oksigen ke dalam jaringan
tubuh tergantung dari jumlah oksigen yang
masuk ke paru-paru, difusi oksigen antara
alveolus dan arteri, aliran darah ke jaringan
dan kemampuan darah dalam mengangkut
oksigen.
Pengaruh pemberian preoksigenasi O2
100% untuk suction/suction endotrakheal
terhadap saturasi oksigen (SaO2)
Berdasarkan hasil penelitian pada pasien
dengan
ventilator
yang
dilakukan
suction/suction endotrakheal di Ruang ICU
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto yang dilakukan terhadap 17

responden didapatkan hasil bahwa ada


pengaruh pemberian pemberian preoksigenasi
O2 100% untuk suction/suction endotrakheal
terhadap saturasi oksigen (SaO2). Hal ini
dapat dilihat dari data adanya peningkatan
nilai rata-rata SaO2 99,7647 % dari tindakan
suction/suction endotrakheal yang dilakukan
preoksigenasi
O2 100% terlebih dahulu
dibandingkan nilai rata-rata saturasi oksigen
dari
tindakan
suction
suction/suction
endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100%
yaitu hanya 97,2941 %. Dari uji beda dengan
t-test dependent diperoleh p value 0,000
(<0,05) yang berarti ada pengaruh yang
signifikan sekali dari pemberian preoksigenasi
O2 100% sebelum tindakan suction/suction
endotrakheal.
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh Hudak dan Gallo
(1997)3 bahwa preoksigenasi O2 100%
diberikan untuk mencegah hipoksemia,
takipnea, takikardi pada pasien yang
dilakukan
suction/suction
endotrakheal.
Sependapat dengan Baun (1984), Judson
(1994), Lookinland (1991), Mancinelli-Van
(1992), Peruzzi (1995) yang dikutip oleh
Wynne, Botti , Paratz (2004)4 Preoksigenasi
direkomendasikan
pada
suction/suction
endotrakheal untuk mencegah hipoksemia.
Weingart & Levitan (2011)8 bahkan meminta
preoksigenasi dilakukan pada semua kategori
baik resiko rendah (SpO2 96%100%), tinggi
(SpO2 91%95%) hingga hypoksemia SpO2
90% sehingga tidak terjadi desaturasi pada
akhirnya
berkaitan
dengan
tindakan
emergency airway management.
Ada banyak penyebab terjadinya hipoksia
jaringan yang mengakibatkan ketidakcukupan
oksigen. Empat penyebab mengapa darah
arteri tidak dapat membawa jumlah oksigen
normal yaitu Hipoventilasi alveolar yang
berhubungan dengan PCO2 tinggi, kerusakan
difusi yang berhubungan dengan PCO2 rendah
atau normal, pirau kanan ke kiri, ketidak
cocokan ventilasi dan aliran darah pada paru.
Salah satu cara untuk mengetahui ada atau
tidaknya hipoksia atau hipoksemia adalah
dengan mengukur saturasi oksigen. Saturasi
oksigen dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang
masuk paru-paru (ventilasi), kecepatan difusi,
dan kapasitas homoglobin dalam membawa
oksigen. Kapasitas darah membawa oksigen
dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang larut

27

Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen

dalam plasma. Jumlah dan kecenderungan


homoglobin untuk berikatan oksigen.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian mengenai
Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk
Suction/Suction
Endotrakheal
Terhadap
Saturasi Oksigen Di Ruang ICU RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto yang
dilakukan pada 17 responden yang dianalisa
dengan SPSS versi 11.5 dapat diambil
kesimpulan nilai rata-rata saturasi oksigen
setelah tindakan suction/suction endotrakheal
tanpa preoksigenasi O2 100% adalah 97,2941
%, saturasi oksigen tertinggi 100 %, saturasi
oksigen terendah 95 %, dengan standar
deviasi 1,57181, nilai rata-rata saturasi
oksigen setelah tindakan suction/suction
endotrakheal dengan preoksigenasi O2 100%
adalah 99,7647 %, saturasi oksigen tertinggi
100 %, saturasi oksigen terendah 99 %,
dengan standar deviasi 1,50489, hasil analisis
dari uji beda dengan menggunakan t-test
dependen didapatkan p value 0,000 (<0,05)
yang berarti bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan dari pemberian preoksigenasi O2
100%
untuk
tindakan
suction/suction
endotrakheal terhadap saturasi oksigen di
Ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto. Dari kesimpulan ini
peneliti menyarankan agar klien yang
terpasang ventilator agar diberikan tindakan
suction/suction
endotrakheal
dengan
preoksigenasi O2 100%.

6. Fikri B, Ganda I.J. 2005. Transpor


Oksigen, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Hasanuddin/RSUP
Dr.
Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
7. Rupii. 2005. Kumpulan makalah pelatihan
PPGD,RSUP dr. Karyadi, Semarang: tidak
dipublikasikan.
8. Weingart, S. & Levitan, R. 2011.
Preoxygenation
and
prevention
of
desaturation during emergency airway
management. Annals of Emergency
Medicine
Volume 59, Issue 3 , Pages 165-175.e1.
Diakses 20 Maret 2012.

Daftar Pustaka
1. Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan
Medikal Bedah, (terjemahan), Edisi 8
volume 3, Jakarta: EGC.
2. Perry & Potter. 2005. Buku saku
ketrampilan
dan
prosedur
dasar,
(terjemahan), Jakarta: EGC.
3. Hudak & Gallo. 1997. Keperawatan Kritis,
(terjemahan), Jakarta,EGC.
4. Wynne R, Botti M, Paratz J. 2004.
Preoxygenation for tracheal suctioning in
ventilated
adults,diakses
dari
doi.wiley.com/10.1002/14651858.Cd
005142, tanggal 14 mei 2008 jam 11.00
WIB.
5. Bressler, M. 1998. Buku saku: Penuntun
Kedaruratan medis (terjemahan) ,Edisi V,
Jakarta: EGC.

28

ARTIKEL PENELITIAN

Hubungan Persepsi Perawat Tentang Fungsi Manajerial


Kepala Ruang terhadap Pelaksanaan Manajemen Asuhan
Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Association Between Nurse Managerial Functions Head Of Nursing Perception In
dr. Doris Sylvanus Hospital Palangkaraya
Untung Halajur, Berthiana Tinse
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Palangka Raya

Abstrak. Perawat sebagai ujung tombak rumah sakit akan selalu menghadapi secara langsung
baik pasien maupun keluarga, selalu berinteraksi selama 24 jam sehingga lebih banyak
memiliki waktu dan jumlah kontak,juga dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan
profesional,merupakan salah satu indikator dalam menciptakan kepuasan dan loyalitas pasien.
Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi
manajerial kepala ruangan terhadap pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di ruang rawat
inap RSUD Dr. Doris Sylavanus Palangka Raya. Desain penelitian merupakan studi crosssectional,unit analisis akan dilakukan kepada responden yaitu perawat pelaksana dengan
pengukuran melalui kuesioner persepsi perawat pelaksana tentang fungsi manajerial kepala ruang
dan pengukuran manajemen asuhan keperawatan melalui penilaian 5 dokumen keperawatan
pasien yang sudah dinyatakan pulang pada masing-masing ruangan. Hasil analisis univariat
tentang pelaksanaan penerapan standar asuhan keperawatan di RSUD dr. Doris Sylvanus
menunjukan bahwa hasil askep yang dinilai dan pencapaian rata-rata dalam asuhan keperawatan
kategori cukup (68,6%), persepsi perawat terhadap fungsi perencanaan kepala ruangan yaitu
73,3% baik,fungsi pengorganisasian kepala ruangan 66,7% baik, fungsi pengarahan kepala
ruangan 66,7% baik, fungsi pengawasan kepala ruangan 50% baik. Hasil analisis bivariat
menunjukkan tidak ada hubungan antara persepsi perawat pelaksana tentang fungsi perencanaan
dan pengorganisasian kepala ruang dengan pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan,
sedangkan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan dan pengawasan menunjukkan
ada hubungan yakni p<0,05.
Kata kunci: fungsi manajerial, kepala ruang, asuhan keperawatan, rumah sakit
Abstract. Nurses as the spearhead of the hospital will always face directly either the patient or
the family, always interacting for 24 hours so that more have the time and the number of
contacts, are also required to provide health care professionals, is one of the indicators in creating
patient satisfaction and loyalty. The effort is very important in improving the quality of nursing
services one of which is to improve human resources management and nursing. The research
objective was to analyze the relationship nurse's perception of managerial functions chief
executive room on the implementation of nursing care management in the inpatient hospital Dr.
Doris Sylavanus Palangkaraya.
Method. The study design was cross-sectional study, the unit of analysis will be done to the
respondent that the nurse practitioner through a questionnaire measuring perceptions of the nurse
practitioner on managerial functions and measurement of head space management nursing care
through assessment document five nursing home patients who had been declared in each room.
The results of univariate analysis of implementation of the standards of nursing care in hospitals
dr. Doris Sylvanus showed that nursing outcomes were assessed and the average achievement in
nursing care enough category (68.6%), the perception of the head nurse of the planning function
29

Halajur, Tinse, Hubungan Persepsi Perawat terhadap Fungsi Manajerial Askep

room which is 73.3% better, the head of the organizing function rooms 66.7% good, function
direction of head room 66.7% good, room monitoring function heads 50% good. The results of
bivariate analysis showed no association between nurse executive perceptions about the
functions of planning and organizing head space with the implementation of nursing care
management ie p> 0.05, while the nurse executive perceptions about the direction and
controlfunctions
show
no
relationship
that
is
p
<0.05.
Keywords: managerial functions, the head of the room, nursing care, hospital

Pendahuluan
Rumah Sakit merupakan salah satu tatanan
pemberi jasa layanan kesehatan, dimana rumah
sakit dituntut
harus mampu dan mau
menyediakan berbagai jenis pelayanan kesehatan
yang bermutu bagi pelanggan/pasien. Salah satu
tuntutan
yang
harus diperhatikan
adalah
pelayanan prima yang tidak hanya memberikan
pelayanan sesuai standar tetapi mengedepankan
kepuasan pelanggan/pasien. Perawat sebagai
ujung tombak rumah sakit secara langsung
berinteraksi dengan pelanggan baik pasien
maupun keluarga,
juga selalu berinteraksi
dengan pasiennya selama 24 jam, sehingga lebih
banyak memiliki waktu kontak dan jumlah
kontak, dengan demikian memiliki kontribusi
yang besar dalam upaya meningkatkan kualitas
dan kuantitas pelayanan kesehatan khususnya
pelayanan keperawatan.1Perawat juga dituntut
untuk memberikan pelayanan yang profesional
sebagai salah satu indikator dalam menciptakan
kepuasan dan loyalitas pelanggan. Salah satu
upaya yang sangat penting dalam meningkatkan
mutu
pelayanan
keperawatan
adalah
meningkatkan sumber daya manusia dan
manajemen keperawatan.2Melihat pentingnya
peran seorang pemimpin khususnya kepala
ruangan dalam memimpin terutama melakukan
fungsi manajerial dalam memberikan pelayanan
kepada pasien dan penting mengetahui persepsi
perawat pelaksana terhadap fungsi manajerial
kepala ruangan agar bisa tercapainya pelayanan
keperawatan sesuai dengan standar praktek
keperawatan, maka penelitian ini penting
dilakukan.
Menurut Sarlito persepsi adalah kemampuan
untuk membeda-bedakan, mengelompokkan dan
memfokuskan perhatian terhadap suatu objek ,
sehingga setiap orang akan berlainan dalam
mempersepsikan suatu objek, dan menurut
Menurut Walgito (2001) Cit Sunaryo persepsi
adalah
proses
pengorganisasian,
penginterpretasian terhadap rangsang yang
diterima oleh organisme atau individu sehingga
merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan

aktivitas yang integrated dalam diri individu,


sedangkan menurut Maramis (1999) Cit Sunaryo
persepsi adalah daya mengenal barang, kualitas
atau hubungan dan perbedaan antara hal ini
melalui proses mengamati, mengetahui, atau
mengartikan setelah pancainderanya mendapat
rangsang.3Jadi
dengan
demikian
dapat
disimpulkan, bahwa persepsi adalah suatu proses
diterimanya rangsang melalui pancaindera yang
didahului oleh perhatian sehingga individu
mampu
mengetahui,
mengartikan,
dan
menghayati tentang hal yang diamati, baik hal
yang diluar dirinya maupun hal yang didalam
dirinya.Manajemen adalah proses melaksanakan
pekerjaan melalui upaya orang lain (Gillies).1
Manajemen
keperawatan sebagai proses
pelaksanaan pelayanan keperawatan melalui staf
keperawatan untuk memberikan Asuhan
Keperawatan, pengobatan dan rasa aman kepada
pasien/keluarga/masyarakat. Fungsi manajemen
yang harus dilaksanakan oleh pengelola
keperawatan yakni kepala ruangan adalah untuk
merencanakan,
mengorganisasi
dan
mengarahkan serta mengawasi sumber-sumber
yang ada (dana dan daya) untuk membuat
pelayanan
asuhan
kesehatan
khususnya
pelayanan keperawatan dapat berlangsung secara
efektif dan efisien dan sesuai dengan standar
asuhan keperawatan yang sudah ditetapkan.4
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah
Menganalisis hubungan persepsi perawat
pelaksana tentang fungsi manajerial kepala
ruangan terhadap pelaksanaan manajemen
asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSUD
Dr. Doris Sylavanus Palangka Raya.
Metode
Desain penelitian ini merupakan studi crosssectional, populasi dalam penelitian adalah
seluruh perawat pelaksana rawat inap dan
dokumen keperawatan pasien yang telah pulang
dalam kurun waktu 2 (dua) bulan pada Oktober
Nopember 2011 di RSUD Dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya.Pengambilan sampel penelitian
untuk perawat pelaksana, ini ditentukan melalui
30

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

Proportionate Stratified Random Sampling yaitu


teknik pengambilan sampel dari anggota
populasi secara acak dan berstrata secara
proposional serta berdasarkan ruangan dimana
perawat pelaksana berada.5 Selain itu responden
ditentukan berdasarkan kriteria:
bersedia
menjadi responden, pendidikan minimal DIII
keperawatan, bekerja minimal 2 tahun diruangan
tempat dimana responden berada saat penelitian,
dan bekerja sebagai perawat pelaksana.Sebagai
unit analisis akan dilakukan kepada responden
yaitu perawat pelaksana sebanyak 30 responden
yang berasal dari ruangan A, B, D, E dan F serta
ruang kelas utama masing-masing diambil 5
orang sebagai responden yang memenuhi
kriteriadengan pengukuran melalui kuesioner
persepsi perawat pelaksana tentang fungsi
manajerial kepala ruang dan kuesioner
pengukuran manajemen asuhan keperawatan
melalui penilaian 5 dokumen keperawatan pasien
yang sudah dinyatakan pulang pada masingmasing ruangan yang didapat dari bagian
medikal record rumah sakit Doris Sylvanus dan
ditentukan secara random sampling.
Alat untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini digunakan jenis instrumen yanig
terdiri dari :a. Kuisioner Penelitian Perawat
Pelaksana; 1) Daftar isian karakteristik
demografi perawat, 2) Daftar pernyataan persepsi
tentang faktor fungsi manajerial kepala
ruangan.b. Instrumen Studi Dokumentasi
Penerapan Standar Asuhan Keperawatan.
Analisis data pada penelitian ini terdiri dari :a.
Analisis
Univariat;
dilakukan
untuk
mendiskripsikan seluruh variabel, yaitu variabel
independen maupun variabel dependen dengan
menggunakan analisis statistik deskriptif
(persentase, ukuran nilai tengah dan ukuran
varian), b. Analisis Bivariata Analisis bivariat ini
menggunakan analisis tabulasi silang (Crosstab)
yaitu menyajikan data dalam bentuk tabulasi
yang meliputi baris dan kolom yang datanya
berskala nominal atau kategori.
Chisquaremenguji adakah assosiasi antara masingmasing variabel independen persepsi perawat
pelaksana tentang fungsi manajerial kepala ruang
yaitu
fungsi
perencanaan,
fungsi
pengorganisasian, fungsi pengarahan, dan fungsi
pengawasan secara sendiri-sendiri terhadap

variabel
dependen
tentang
pelaksanaan
manajemen asuhan keperawatan, sehingga
diketahui variabel independen mana yang secara
bermakna berhubungan dan layak untuk diuji
secara bersama-sama (multivariat). Apabila hasil
uji Chi-squares () nilai p<0.05, maka dapat
disimpulkan ada hubungan atau assosiasi antara
variabel independen dan dependen.c. Analisis
Multivariat; digunakan regresi logistik (logistic
regression) karena skala pengukuran pada
variabel dependen berskala nominal dikotom dan
skala pengukuran pada variabel independen juga
berskala numerik dan nominal. Disini diuji
apakah probabilitas terjadinya variabel dependen
dapat
diprediksi
dengan
variabel
independennya.Karena dalam penelitian ini
diteliti variabel independen persepsi perawat
pelaksana tentang fungsi manajerial kepala ruang
yang diukur dengan skala nominal berpengaruh
terhadap variabel dependen tentang pelaksanaan
manajemen asuhan keperawatan yang juga
berskala nominal.
Hasil
Karakteristik responden penelitian kepala
ruangan adalah 1) berdasarkan tingkat
pendidikan kepala ruangan di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya paling banyak
berpendidikan D3 Keperawatan (93,3%) dan S1
keperawatan sebanyak 6,7%. 2) berdasarkan
umur kepala ruangan berumur 26-30 tahun
sebanyak 50%, yang berumur 31-35 tahun
sebanyak 33%, dan berumur 21-24 tahun
sebanyak 16,7%. Sebagian besar kepala ruangan
adalah perempuan (86,7%), laki-laki berjumlah
13,3 %. kepala ruanganyang sudah menikah
sebanyak 70% dan 30% belum menikah.
Pelaksanaan Penerapan Standar Asuhan
Keperawatan di RSUD dr. Doris Sylvanus
Pada tabel 1.menunjukan bahwa hasil askep
yang dinilai dan pencapaian rata-rata dalam
asuhan keperawatan di RSUD dr. Doris
Sylvanus, Palangka Raya, 2011 di kategori
cukup (68,6%). Hal ini dapat dilihat pada nilai
pengkajian keperawatan 74,2%, diagnose
keperawatan 63,3%, perencanaan keperawatan
93,3%, evaluasi keperawatan 91,7%, dan catatan
askep 88,7%.(Lihat tabel1).

31

Halajur, Tinse, Hubungan Persepsi Perawat terhadap Fungsi Manajerial Askep

Tabel 1. Evaluasi Pelaksanaan Penerapan Standar Askep di RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya, 2011
No

Askep

Jumlah

1
Pengkajian
2
Diagnose
3
Perencanaan
4
Tindakan
5
Evaluasi
6
Catatan Askep
Total
Pencapaian Rata-rata

89
57
168
99
55
133

Nilai
seharusnya
120
90
180
120
60
150

Rata-Rata
(%)
74,2
63,3
93,3
82,5
91,7
88,7
493,7
68,6

Persepsi Perawat tentang Fungsi Manajerial perencanaan terdiri dari 8 pertanyaan, fungsi
dan PelaksanaanManajemen Askep di Ruang pengorganisasian terdiri dari 7 pertanyaan,
Rawat Inap RSUD dr. Doris Sylvanus
fungsi pengarahan 4 pertanyaan, fungsi

Pelaksanaan manajemen Askep dinilai


dari 6 standar pelaksanaan Askep yaitu
pengkajian
keperawatan,
diagnosa
keperawatan, perencanaan keperawatan,
tindakan keperawatan, evaluasi keperawatan,
dan
catatan
asuhan
keperawatan.
Berdasarkan 6 standar ini kemudian
dikelompokan
menjadi
pelaksanaan
manajemen Askep tidak baik, bila nilai
kurang dari nilai rata-rata dan dikatakan baik
bila lebih atau sama dengan nilai rata-rata.
Sedangkan persepsi perawat tentang fungsi
manajerial Kepala Ruangan ditanyakan 5
fungsi manajerial Kepala Ruangan. Fungsi

pengawasan terdiri dari 6 pertanyaan, dan


fungsi pengendalian terdiri dari 8
pertanyaan. Berdasarkan 6 standar ini
kemudian dikelompokan menjadi persepsi
perawat tentang fungsi manajerial Kepala
Ruangan tidak baik bila kurang dari nilai
rata-rata dan dikatakan baik bila lebih atau
sama dengan nilai rata-rata.
Hasil analisis bivariat ditemukan variable
independen yang memenuhi kriteria kandidat
model adalah fungsi pengarahan (nilai
p=0,002) dan pengawasan (nilai p=0,009)
(Lihat
tabel
2).

Tabel 2. Hasil Analisis Bivariate Fungsi Manajerial Kepala Ruangan terhadap Pelaksanaan Asuhan
Keperawatan di RSBLUD dr. Doris Sylvanus, 2011
Variabel

Perencanaan

Tidak baik
Baik

Pengorganisasian Tidak baik


Baik

Manajemen
Askep

Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%

Tidak
baik

Baik

4
50.0%
11
50.0%
3
30.0%
12
60.0%

4
50.0%
11
50.0%
7
70.0%
8
40.0%

Total

OR

95% CI

Nilai P

8
100.0%
22
100.0%
10
100.0%
20
100.0%

0,198-5,045

1,000

0,29

0,056-1,446

0,121

32

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

Tabel 2. Hasil Analisis Bivariate Fungsi Manajerial Kepala Ruangan terhadap Pelaksanaan Asuhan
Keperawatan di RSBLUD dr. Doris Sylvanus, 2011
Variabel

Pengarahan

Tidak
baik
Baik

Pengawasan

Tidak
baik
Baik

Manajemen
Askep

Total

OR

95% CI

Nilai P

Jumlah

Tidak
baik
7

Baik
3

10

2,5

1,092-7,714

0,002

%
Jumlah
%
Jumlah

70.0%
8
40.0%
6

30.0%
12
60.0%
5

100.0%
20
100.0%
11

2,3

2,130-5,915

0,009

%
Jumlah
%

54.5%
9
47.4%

45.5%
10
52.6%

100.0%
19
100.0%

Model
akhir
multivariat
terdapat
hubungan antara pengarahan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan Asuhan Keperawatan di
Ruang Rawat Inap RSUD dr.Doris Sylvanus
Palangka Raya. Terlihat bahwa Fungsi
pengarahan dengan nilai p=0,014 (p<0,05) dan
OR=3,4, menunjukkan persepsi perawat
tentang fungsi pengarahan kepala ruang tidak
baik,
mempunyai
pengaruh
terhadap
manajemen asuhan keperawatan tidak baik 3,4
kali lebih besar dibandingkan dengan persepsi
perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan
kepala ruang baik,danfungsi pengawasan

dengan nilai p=0,044 (p<0,05) dan OR=1,19,


menunjukkan persepsi perawat pelaksana
tentang fungsi pengawasan kepala ruang tidak
baik,
mempunyai
pengaruh
terhadap
pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan
tidak baik sebesar 1,19 kali lebih besar,
dibandingkan dengan persepsi perawat
pelaksana tentang fungsi pengawasan kepala
ruang baik. Variabel yang paling dominan
mempengaruhi pelaksanaan Askep di Ruang
Rawat Inap RSUD dr. Doris Sylvanus adalah
fungsi pengarahan (OR=3,4)(Lihat tabel 3).

Tabel 3. Model Akhir Regresi Logistik Fungsi Manajerial Kepala Ruangan terhadap Pelaksanaan
Asuhan Keperawatan di RSBLUD dr. Doris Sylvanus, 2011
Fungsi Manajerial
Pengarahan
Pengawasan
Konstanta
R2 = 0,601

Koefisien

OR

95% CI

Nilai P

1,304
-0,144
-1,952

3,46
1,19

1,73 5,60
1,09 4,37

0,014
0,044

Pembahasan
Pelaksanaan penerapan standar Askep di
RSUD Dr.Doris SylvanusPalangka Raya
Nopember 2011 khususnya pada ruangan A,
B, D, E dan F serta ruang kelas utama yang
dijadikan sampel penelitian, menunjukan hasil
bahwa asuhan keperawatan yang dinilai dan
pencapaian
rata-rata
dalam
asuhan
keperawatan di RSUD Dr.Doris Sylvanus di
kategorikan cukup baik (68,6%), hal ini dapat

dilihat pada nilai pengkajian keperawatan


74,2%, diagnosa keperawatan 63,3%,
perencanaan keperawatan 93,3%, evaluasi
keperawatan 91,7%, dan catatan askep 88,7%.
Hal ini terkait dengan pendidikan perawat
dimana
sebagian
besar
responden
berpendidikan D III Keperawatan (93,3%),
dimana sudah mendapat pengetahuan dan
pengalaman mengelola pasien dengan
pendekatan asuhan keperawatan selama
33

Halajur, Tinse, Hubungan Persepsi Perawat terhadap Fungsi Manajerial Askep

pendidikan.Menurut Nursalam (2009) seorang


manajer diharapkan mampu mengelola
pelayanan keperawatan di ruang rawat inap
dengan menggunakan pendekatan manajemen
keperawatan
yaitu
melalui
fungsi
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
dan pengawasan.
Hasil penelitian menunjukkan persepsi
perawat pelaksana tentang fungsi perencanaan
kepala ruangan sebagian besar setuju pada
perencanaan kegiatan askep kepala ruang,
khususnya kegiatan setiap bulan (70%) dan
setiap hari (70%), ada sebagian ragu-ragu,
khususnya pada perencanaan askep tiap tahun
(53,3%) dan sebagian kecil yang kurang
setuju, khususnya pada perencanaan kegiatan
askep tiap minggu (53,3%),akan tetapi secara
kumulatif persepsi perawat pelaksana tentang
fungsi perencannaan kepala ruangan yang
tidak baik proporsinya sama baik pada
perencanaan yang baik maupun tidak baik,
masing-masing yaitu 50%, demikian pula
dengan manajemen askep yang baik.
Berdasarkan
uji
Chi-squares
menunjukkan tidak ada hubungan antara
persepsi perawat pelaksana tentang fungsi
perencanaan
kepala
ruang
dengan
pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan
di ruang rawat inap RSUD Dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya (p>0,05). Dimana perawat
pelaksana yang melaksanakan manajemen
asuhan keperawatan baik maupun tidak baik,
tidak terkait dengan persepsi mereka tentang
fungsi perencanaan kepala ruang baik maupun
tidak baik. Hal ini dikarenakan dari 6 kepala
ruangan tingkat pendidikannya D-IV (30,3
%) dan S-1 (30,3%) serta S-1 + Ners (30,3%)
walaupun mereka mempunyai masa kerja
yang cukup lama, hal tersebut tidak
mempengaruhi
kemampuan manajerial
kepala ruangan. Disamping itu perawat
pelaksana
sebagian
besar
tingkat
pendidikannya D-III (93,3%) sebagai ahli
madya yang sifatnya hanya operasional dalam
pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan.
Hasil penelitian fungsi pengorganisasian
kepala ruang menurut persepsi perawat
pelaksana menunjukkan sebagian besar setuju
bahwa ada perumusan metode/sistem
penugasan (56,7%), membuat rincian tugas
katim dan anggota tim (56,7%), mengatur dan
mengendalikan tenaga keperawatan (40%),
pendelegasian tugas keperawatan (53,3%),
dan memberikan wewenang kepada tenaga
TU (50%).Ada sebagian persepsi perawat

pelaksana ragu-ragu tentang merumuskan


metoda/system penugasan (26,7%), Akan
tetapi secara kumulatif persepsi perawat
pelaksana tentang fungsi pengorganisasian
kepala ruangan yang tidak baik proporsinya
lebih besar berasal dari pelaksanaan karu yang
baik (60%), daripada yang tidak (30%).
Demikian pula dengan manajemen askep karu
yang baik lebih banyak berasal dari fungsi
pengorganisasian yang tidak baik (70%)
daripada yang baik (40%).
Berdasarkan uji Chi-squares menunjukan
tidak ada hubungan antara persepsi perawat
pelaksana tentang fungsi pengorganisasian
kepala ruang dengan pelaksanaan manajemen
asuhan keperawatan di ruang rawat inap
RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
(p=0,121), dimana perawat pelaksana yang
melaksanakan
manajemen
asuhan
keperawatan baik maupun tidak baik, tidak
terkait dengan persepsi mereka tentang fungsi
pengorganisasian kepala ruang baik maupun
tidak baik. Hal ini dikarenakan dari 6 kepala
ruangan sebagian
tingkat pendidikannya
bervariasi walaupun mereka mempunyai masa
kerja yang cukup lama, hal tersebut tidak
mempengaruhi
kemampuan manajerial
kepala ruangan. Disamping itu perawat
pelaksana
sebagian
besar
tingkat
pendidikannya D-III (93,3%) sebagai ahli
madya yang sifatnya hanya operasional dalam
pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan.
Hasil penelitian menunjukkan persepsi
perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan
kepala ruang sebagian besar kurang setuju
(43,3%) bahwa kepala ruang tidak melibatkan
perawat sejak awal hingga akhir, tidak
memberi motivasi dalam meningkatkan
asuhan keperawatan (40%), tidak pernah
membimbing
perawat
dalam
asuhan
keperawatan dengan benar (43,3%). Sebagian
besar setuju, jika kepala ruangan memberi
pujian kepada perawat dalam asuhan
keperawatan (50%), Hal tersebut didukung
oleh data sejumlah persepsi perawat pelaksana
tentang fungsi pengarahan kepala ruangan
yang tidak baik (70%), daripada yang baik
(40%). Demikian pula dengan manajemen
askep yang baik lebih besar berasal dari
pengarahan yang baik (60%) daripada
pengarahan yang tidak baik (40%).
Berdasarkan uji Chi-squares menunjukan
ada hubungan antara persepsi perawat
pelaksana tentang fungsi pengarahan kepala
ruangan dengan pelaksanaan manajemen
34

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

asuhan keperawatan di ruang rawat inap


RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
(p=0,002), dimana perawat pelaksana yang
melaksanakan
manajemen
asuhan
keperawatan baik maupun tidak baik, terkait
dengan persepsi mereka tentang fungsi
pengarahan kepala ruang baik maupun tidak
baik. Hasil uji regresi logistik bahwa persepsi
perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan
kepala ruang tidak baik, mempunyai pengaruh
terhadap pelaksanaan manajemen asuhan
keperawatan tidak baik 3,4 kali lebih besar,
dibandingkan dengan persepsi perawat
pelaksana tentang fungsi pengarahan kepala
ruang baik. Pentingnya fungsi pengarahan ini
dilakukan oleh seorang kepala ruang adalah
karena manusia pada dasarnya dapat
diarahkan dan dapat menerima kepemimpinan
untuk
berbagai
alasan
diantaranya
administrasi mereka, kekuasaan, penghasilan
dan keamanan. Pengarahan efektif yaitu yang
sesuai dengan situasi dan kebutuhan sangat
berguna dalam meningkatkan dukungan staf
untuk
mencapai
tujuan
manajemen
keperawatan dan tujuan asuhan keperawatan.
Fungsi pengarahan yang dilakukan oleh
kepala ruangan dalam melakukan kegiatan
asuhan keperawatan berupa saling memberi
motivasi, membantu pemecahan masalah,
melakukan pendelegasian, menggunakan
komunikasi
yang
efektif,
melakukan
kolaborasi dan koordinasi, hal ini akan
memberikan dampak dan pengaruh yang besar
terhadap pelaksanaan kegiatan asuhan
keperawatan yang dilakukan oleh perawat
pelaksana, karena apa yang dipersepsikan
oleh seseorang terhadap objek tertentu itu
akan di interpretasikan oleh orang tersebut
melalui perilakunya, demikian juga halnya
yang akan dilakukan seorang perawat
pelaksana.
Hasil penelitian menunjukkan persepsi
perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan
kepala ruang sebagian besar kurang setuju,
jika kepala ruangan tidak menilai pelaksanaan
asuhan keperawatan (73,3%), tidak terlibat
perbaikan askep pada saat suvervisi (63,3%),
dan tidak menggunakan standar untuk menilai
askep (53,3%). Persepsi perawat pelaksana
tentang fungsi pengawasan kepala ruang
sebagian besar setuju, jika kepala ruangan
melakukan supervisi langsung (63,3%), saat
supervisi memperhatikan kemajuan dan
kualitas asuhan keperawatan (63,3%), dan
menilai pengetahuan dan ketrampilan perawat

dalam asuhan keperawatan (53,3%). Persepsi


perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan
kepala ruangan yang tidak baik proporsinya
lebih besar berasal dari pengawasan karu yang
tidak baik (54,5%), daripada yang baik
(47,4%). Demikian pula dengan manajemen
askep yang baik, lebih besar berasal dari
pengawasan yang baik (52,6%) daripada
pengawasan
yang
tidak
baik
(45,5%).Berdasarkan
uji
Chi-squares
menunjukan ada hubungan antara persepsi
perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan
kepala ruang dengan pelaksanaan manajemen
asuhan keperawatan di ruang rawat inap
RSUD Dr. Doris Sylvanus (p=0,009), dimana
perawat pelaksana yang melaksanakan
manajemen asuhan keperawatan baik maupun
tidak baik, terkait dengan persepsi mereka
tentang fungsi pengawasan kepala ruang baik
maupun tidak baik. Hasil uji regresi logistik
bahwa persepsi perawat pelaksana tentang
fungsi pengawasan kepala ruang tidak baik,
mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan
manajemen asuhan keperawatan tidak baik
1,19 kali lebih besar, dibandingkan persepsi
perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan
kepala ruangan baik.
Pentingnya
pengawasan dilakukan karena pengawasan
adalah suatu proses untuk mengetahui apakah
pelaksanaan kegiatan/pekerjaan sesuai dengan
renacan, pedoman, ketentuan, kebijakan,
tujuan dan sasaran yang sudah ditentukan
sebelumnya, sehingga dapat mencegah
terjadinya penyelewengan, penyalahgunaan
wewenang, juga dapat meningkatkan rasa
tanggung jawab, mendidik serta dapat
memperbaiki kesalahan, penyelewengan dan
penyalahgunaan wewenang yang telah terjadi.
Fungsi pengawasan kepala ruang dalam
pelayanan keperawatan dapat dilaksanakan
dengan kegiatan supervisi keperawatan secara
langsung maupun tidak langsung. Selain itu
juga dilaksanakan penilaian pelaksanaan
asuhan
keperawatan,
memperhatikan
kemajuan dan kualitas asuhan keperawatan,
memperbaiki kekurangan/kelemahan asuhan
keperawatan, meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan
perawat
dalam
asuhan
keperawatan, dan menggunakan standar untuk
menilai asuhan keperawatan, hal ini akan
sangat membantu perawat pelaksana dalam
kegiatan asuhan keperawatan, hal ini akan
memberikan dampak dan pengaruh yang besar
terhadap pelaksanaan kegiatan asuhan
keperawatan yang dilakukan oleh perawat
35

Halajur, Tinse, Hubungan Persepsi Perawat terhadap Fungsi Manajerial Askep

pelaksana, karena didukung oleh kehadiran


seorang atasan yang dianggap mempunyai
pengaruh terhadap bawahan.Hasil penelitian
ini mendukung hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Warsito, pada tahun 2006
dimana
perawat
pelaksana
yang
melaksanakan
manajemen
asuhan
keperawatan baik maupun tidak baik, tidak
berhubungan dengan persepsi mereka tentang
fungsi perencanaan dan pengorganisasian
kepala ruang baik maupun tidak baik, dan
fungsi pengarahan dan pengawasan dimana
perawat pelaksana yang melaksanakan
manajemen asuhan keperawatan baik maupun
tidak baik, berhubungan dengan persepsi
mereka tentang fungsi pengarahan dan
pengawasan kepala ruang baik maupun tidak
baik.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut :1). Perawat
pelaksana yang mempunyai persepsi tentang
pelaksanaan manajemen kepala ruang inap
RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
yang baik adalah memiliki jumlah yang sama
dengan yang tidak baik.2). Persepsi perawat
pelaksana tentang fungsi perencanaan kepala
ruangan terhadap pelaksanaan manajemen
asuhan keperawatannya di Ruang Rawat Inap
RSUD Dr. Doris Sylvanusyai Palangka Raya
perencanaan yang tidak baik proporsinya
sama baik pada perencanaan yang baik,
maupun yang tidak baik, masing-masing
mempunyai proporsi yang sama, demikian
juga halnya dengan manajemen askep yang
baik mempunyaing sama.3). Persepsi perawat
pelaksana tentang fungsi pengorganisasian
kepala ruangan yang tidak baik proporsinya
lebih besar berasal dari pelaksanaan karu yang
baik daripada yang tidak baik. Demikian juga
halnya dengan manajemen askep karu yang
baik lebih banyak berasal dari fungsi
pengorganisasian yang tidak baik daripada
yang baik.4). Persepsi perawat pelaksana
tentang fungsi pengarahan kepala ruangan
yang tidak baik proporsinya lebih besar
berasal dari pengarahan karu yang tidak baik
daripada yang baik. Demikian juga halnya
dengan manajemen askep karu yang baik

lebih banyak berasal dari fungsi pengarahan


yang baik daripadapengarahan yang tidak
baik. 5). Persepsi perawat pelaksana tentang
fungsi pengawasan kepala ruangan yang
tidak baik proporsinya lebih besar berasal dari
pengawasan karu yang tidak baik daripada
yang baik.Demikian juga halnya dengan
manajemen askep karu yang baik, lebih
banyak berasal dari fungsi pengawasan yang
baik daripada pengawasan yang tidak baik.6).
Persepsi perawat pelaksana tentang fungsi
perencanaan dan pengorganisasian (p>0,05)
kepala ruangan tidak terdapat pengaruhnya
terhadap pelaksanaan manajemen asuhan
keperawatannya di Ruang Rawat Inap RSUD
Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, dimana
perawat pelaksana yang melaksanakan
manajemen asuhan keperawatan baik maupun
tidak baik, tidak terkait dengan persepsi
mereka tentang fungsi perencanaan dan
pengorganisasian kepala ruang baik maupun
tidak baik.7).Persepsi perawat pelaksana
tentang fungsi pengarahan dan pengawasan
kepala ruangan terdapat pengaruhnya
terhadap pelaksanaan manajemen asuhan
keperawatannya di Ruang Rawat Inap RSUD
Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, dimana
perawat pelaksana yang melaksanakan
manajemen asuhan keperawatan baik maupun
tidak baik, terkait dengan persepsi mereka
tentang fungsi pengarahan kepala ruang baik
maupun tidak baik.
Saran
Kepada RSUD Dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya, a).Perlu meningkatkan
kemampuan kepemimpinankepala ruang
dengan pelatihan manajemen keperawatan.
b).Perlu rekruitmen dan seleksi kepala ruang
dengan latar minimal pendidikan S-1
keperawatan dan masa kerja diperhitungkan
sebagai
prasyarat.
Untuk
penelitian
selanjutnya adalah perlu melihat hubungan
antara persepsi dan pelaksanaan dengan latar
belakang pendidikan kepala ruang S-1 dan
pendidkan kepala ruang D-III diteliti secara
tersendiri, selanjutnya juga bisa meneliti
hubungan persepsi dan pelaksanaan dari
masing-masing ruangan secara tersendiri.

36

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

Daftar Pustaka
1. Nursalam. Manajemen Keperawatan
Aplikasi dalam Praktek Keperawatan
Profesional Edisi ke-2. Jakarta : Salemba
Medika, 2009.
2. Gomes C.F. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Edisi ke-1. Yogyakarta : Andi
Offset, 2001.
3. Sunaryo. Psikologi untuk Keperawatan.
Jakarta : EGC, 2004
4. Suarti. S, Bahtiar Y. Manajemen
Keperawatan dengan Pendekatan Praktis.
Jakarta: Erlangga 2002.
5. Kountur R. Metode Penelitian untuk
penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta :
PPM, 2005.
6. Warsito B.E. Pengaruh Persepsi Perawat
Pelaksana tentang Fungsi Manajerial
Kepala Ruang Terhadap Pelaksanaan
Manajemen Asuhan Keperawatan di
RSJD
Dr.Amino
Gondohutomo
Semarang, Tesis. Semarang : 2006

37

ARTIKEL PENELITIAN

Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Penerapan


Prinsip Enam Tepat Dalam Pemberian Obat Oleh Perawat Di
Ruang Rawat Inap RSU BLUD Doris Sylvanus Palangka Raya
Nurse Knowledge On Six Right Principles In Medication At RSU BLUD
dr Doris Sylvanus Palangka Raya
Reny Sulistyowati, Barto Mansyah
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. Prinsip enam tepat merupakan prinsip yang harus diperhatikan oleh perawat dalam
pemberian obat untuk menghindari kesalahan pemberian obat dan keberhasilan pengobatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran dan melihat hubungan antara karakteristik
perawat meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan dan masa kerja serta tingkat pengetahuan perawat
dengan tingkat penerapan prinsip enam tepat dalam pemberian obat di Ruang Rawat Inap RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya. Disain yang digunakan adalah cross sectional. Responden pada
penelitian ini adalah perawat ruang rawat inap yang berperan dalam pemberian obat. Pengambilan
sampel dengan cara purposive sampling berjumlah 50 orang dari 10 ruang rawat inap di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya. Data dikumpulkan dengan cara menyebarkan kuisioner untuk
memperoleh data deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat penerapan prinsip
enam tepat oleh perawat secara umum baik. Urutan tingkat penerapan masing-masing komponen
adalah tepat klien, tepat waktu, tepat obat, tepat rute atau cara, tepat dokumentasi dan tepat dosis.
Namun tingkat penerapan prinsip umum yang berkaitan dengan aspek keamanan bagi perawat masih
rendah. Faktor internal yang mempengaruhi tingkat penerapan ini adalah karakteristik responden
dan tingkat pengetahuan. Upaya mempertahankan dan meningkatkan tingkat penerapan prinsip ini
dapat dilakukan dengan meningkatkan pelaksanaan pendidikan keperawatan berkelanjutan.
Kata Kunci: prinsip enam tepat, kesalahan pemberian obat

Abstract. The purpose of this study was to identify the relationship between nurses knowledge with
the level of application of six rights principles in medication at ward. Six rights principles were the
principles that must be attention by nurses in medication to avoid errors medication and to take a
successful of medication. The design of this study was cross-sectional with purposive sampling.
Fifty (50) nurses who gived medication from 10 (ten) wards were participated as respondens in this
study. The study has been conducted in RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya by distributed a
set of quisioner to get data about the relation ship between the level of nurses knowledge with the
level of application and factors influencing in application of six rights principles in medication. The
result revealed that most nurses has good level of application of six rights principles such as right
patient, right time, right drug, right route, right documentation and right dose. This study also
revealed that most nurses has poor implementation in level of application of universal precaution.
The internal factors that influence in application of six rights principles were respondens
characteristics and level of knowledge. To maintain and increase of level of application should be
done by increasing nurse education.
Key words: six rights principles, error in drug administration

38

Sulistyowati, Mansyah, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Prinsip Enam Tepat

Latar Belakang
Obat merupakan salah satu bagian terpenting
dalam proses penyembuhan penyakit, pemulihan
kesehatan dan juga pencegahan terhadap suatu
penyakit. Penentuan obat untuk pasien adalah
wewenang dari dokter, tetapi para perawat pun
dituntut untuk turut bertanggung jawab dalam
pengelolaan obat tersebut. Mulai dari memesan
obat sesuai order dokter, menyimpan dan
meracik obat sesuai order hingga memberikan
obat pada pasien. Memastikan bahwa obat
tersebut aman bagi pasien dan mengawasi akan
terjadinya efek dari pemberian obat tersebut pada
pasien. Karena hal tersebut maka perawat dalam
menjalankan perannya harus dibekali dengan
ilmu keperawatan (UU No.23 th. 23 th. 1992
pasal 32 ayat (3). Dalam pemberian obat yang
aman, perawat perlu memperhatikan prinsip lima
tepat (five rights) yang kemudian berkembang
menjadi six rights atau enam benar pemberian
obat.
Istilah lima benar1 yaitu : pasien yang benar,
obat yang benar, dosis yang benar, cara/rute
pemberian yang benar, dan waktu yang benar.
Persiapan dan pemberian obat harus dilakukan
dengan
akurat
oleh
perawat.
Perawat
menggunakan Lima Benar pemberian obat
untuk menjamin pemberian obat yang aman
(Benar Obat, Benar Dosis, Benar Klien, Benar
Rute Pemberian, dan Benar Waktu)2. Kemudian
berkembang menjadi prinsip 6 benar dalam
pemberian obat yang dianggap lebih tepat untuk
perawat. Joyce (1996) Prinsip enam benar
yaitu: klien yang benar, obat yang benar, dosis
yang benar, waktu yang benar, rute yang benar
dan ditambah dengan dokumentasi yang benar.
Six Rights Of medication Administration are :
Right Medication, Right Dose, Right Time, Right
Role, Right Client and Right Documentation3.
Mengingat di ruang rawat inap seorang
perawat harus memberikan berbagai macam obat
kepada beberapa pasien yang berbeda. Data
tentang kesalahan pemberian obat (medication
error) yang dilakukan terutama oleh perawat di
Indonesia belum dapat ditemukan. Darmansjah,
ahli farmakologi FKUI menyatakan bahwa kasus
pemberian obat yang tidak benar maupun
tindakan medis yang berlebihan (tidak perlu
dilakukan tetapi dilakukan) sering terjadi di
Indonesia, hanya saja tidak terekspos media
massa4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh peneliti dari Auburn University di 36 rumah
sakit dan nursing home di Colorado dan Georgia,

USA, pada tahun 2002, dari 3216 jenis


pemberian obat, 43% diberikan pada waktu yang
salah, 30% tidak diberikan, 17% diberikan
dengan dosis yang salah, dan 4% diberikan obat
yang salah5. Pada penelitian ini juga
dikemukakan hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Institute of Medicine error pada
tahun 1999, yaitu kesalahan medis (medical
error) telah menyebabkan lebih dari 1 (satu) juta
cedera dan 98.000 kematian dalam setahun. Data
yang didapat JCHO juga menunjukkan bahwa
44.000 dari 98.000 kematian yang terjadi
dirumah sakit setiap tahun disebabkan oleh
kesalahan medis6. Data penelitian mengenai
tingkat pengetahuan farmakologi (pemberian
obat) yang dilakukan oleh Kuntarti pada tahun
20047 di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta di kemukakan sekitar 61,7%
perawat belum pernah mengikuti seminar atau
pelatihan tentang pemberian obat dan hanya
38,3% perawat yang sedah mengikuti kegiatan
tersebut.
Pada penelitian ini penulis memilih
hubungan antara tingkat pengetahuan perawat
terhadap prinsip enam benar dengan tingkat
penerapannya yang harus diperhatikan oleh
perawat dalam pemberian obat. Karena fakta di
lapangan beberapa kali ditemui kasus kesalahan
pemberian obat, contohnya dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Ahmad Qosim (2007)
dirumah sakit di Gombong, ditemukan antara
lain kesalahan cara pemberian obat yaitu perawat
hanya memberikan obat oral pada pasien tanpa
menunggu pasien tersebut meminumnya,
pemberian
obat
kepada
pasien
tanpa
memvalidasi identitas pasien yang dituju dan
pemberian obat yang tidak didokumentasikan
oleh perawat, serta perawat tidak memakai
sarung tangan ketika memberikan obat secara
parenteral.
Tenaga perawat merupakan tenaga
kesehatan yang memiliki jumlah terbesar dalam
pelayanan kesehatan di rumah sakit dan harus
selalu siap membantu klien setiap saat serta
bekerja selama 24 jam setiap harinya untuk
memberikan
asuhan
keperawatan
yang
komprehensif dan profesional7. Sehingga dapat
dikatakan bahwa tenaga perawat menempati
posisi yang menentukan tinggi rendahnya mutu
pelayanan kesehatan yang diberikan di rumah
sakit karena tenaga keperawatan yang setiap hari
berinteraksi langsung dengan klien, demikian
halnya dengan proses pemberian obat.

39

Sulistyowati, Mansyah, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Prinsip Enam Tepat

Berdasarkan hasil pengamatan penulis di


RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya belum
pernah dilakukan penelitian tentang tingkat
penerapan prinsip enam tepat dalam pemberian
obat oleh perawat di ruang rawat inap.
Mengingat kesalahan dalam pemberian obat
merupakan hal yang dapat menimbulkan
ancaman jiwa bagi pasien, maka perlu diadakan
penelitian berkenaan dengan hal tersebut agar
kesalahan serupa tidak terjadi kembali.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metoda analitik
dengan pendekatan cross sectional, yaitu seluruh
variabel independen dan dependen diamati dalam
satu saat yang bersamaan, dalam rangka mencari
hubungan antara karakteristik dan tingkat
pengetahuan perawat tentang prinsip enam
tepat
dalam
pemberian
obat
dengan
pelaksanaannya. Dalam penelitian ini populasi
penelitian adalah seluruh perawat pelaksana
fungsional yang bertanggung jawab dalam
memberikan obat kepada klien dan yang bekerja
di ruang rawat inap RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya. Sedangkan sampel penelitian
adalah perawat yang bertugas di ruang rawat
inap dewasa RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya (total sampling) yaitu sebanyak 50 orang
dengan tingkat pendidikan minimal SPK/SPR.
Alasan mengambil sampel perawat pelaksana
fungsional di ruang rawat inap karena perawat
memiliki kesempatan interaksi dengan pasien
secara individual lebih lama daripada perawat
yang bertugas di bagian rawat jalan. Sampel
dipilih dengan cara purposive sampling.
Pengolahan dan analisa data hasil penelitian
dilakukan melalui tahap-tahap dari Pengolahan
Data, Editing, Coding,Tabulasi, Data entry dan

Tabel 1. Karakteristik Perawat Yang Bekerja


Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya (n=50), 2011

Data cleaning serta melalui Analisa Univariat


dan Analisa Bivariat.
Hasil Penelitian
Karakteristik Responden
Distribusi karakteristik perawat dibedakan
menurut umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan
dan masa kerja dapat dilihat pada tabel 4.1.Umur
responden yang terendah 23 tahun dan tertinggi
51 tahun dengan rata-rata 31 tahun. Umur
dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu umur
dewasa muda 20 39 tahun dan umur dewasa
tua antara 40 60 tahun8. Pada penelitian ini
umur perawat dikelompokkan berdasarkan umur
yang paling membahagiakan diusia 30 yaitu
umur 33 tahun9. Dari seluruh responden dapat
terlihat bahwa sebagian responden berada pada
kelompok umur 33 tahun (88%), sedangkan
yang berumur > 33 tahun sebanyak 12% (tabel
1).
Dari seluruh responden jenis kelamin lakilaki paling sedikit, yaitu sejumlah 6%.
Sedangkan wanita sebanyak 94% (tabel 4.1).
Dari seluruh responden dapat terlihat yang
memiliki
latar
belakang
pendidikan
SPK/SPR/D1 bidan ada 12%, tingkat pendidikan
DIII Keperawatan (88%) (tabel 1). Dari seluruh
responden, rata-rata sudah bekerja selama 6
tahun dengan variasi 1 tahun sampai 31 tahun.
Masa kerja dikelompokkan menurut lama masa
kerja menjadi tiga kategori, yaitu masa kerja
pendek (< 5 tahun) yang mana pengalaman
dalam memberikan obat masih belum cukup,
masa kerja lama ( 5 tahun), yang idealnya
pengalaman dalam melaksanakan penerapan
prinsip enam tepat dalam pemberian obat lebih
banyak.
Berdasarkan masa kerja diperoleh
sebagian besar responden memiliki masa kerja
pendek (48%) dan masa kerja lama (52%)
(tabel1).
Grafik 1. Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang
Prinsip Enam Tepat Dalam Pemberian Obat Di
Ruang Rawat Inap RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya (n=50), 2011

40
39

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

Karakteristik
Umur
a. 33 tahun
b. > 33 tahun
Jenis Kelamin
a. Laki-laki
b. Wanita
Pendidikan
a. DIII Keperawatan
b. SPR/SPK/D1 bidan
Masa Kerja
a. < 5 tahun (pendek)
b. 5 tahun (lama)

Jumlah

44
6

90%
10%

5
45

6%
94%

44
6

88%
12%

24
26

48%
52%

Baik
42%
Buruk
58%

Hasil analisa univariat terhadap seluruh


responden menunjukkan pengetahuan buruk
sebanyak 21 orang (42%) dan pengetahuan
baik sebanyak 29 orang (58%) (Grafik 1).

Pengetahuan
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan
responden, digunakan 20 pertanyaan tentang
pemberian obat. Penilaian untuk tiap butir
pertanyaan diberikan nilai 5 bila responden
menjawab benar dan nilai 0 bila menjawab
salah. Tingkat pengetahuan dibagi dalam 2
kategori dengan cut of point median. Nilai
pengetahuan berkisar yang terendah 30 dan
nilai tertinggi 100 dengan nilai median 75.
Tingkat
pengetahuan
responden
dikategorikan tinggi bila nilai 75 dan
rendah bila < 75.

Penerapan Prinsip Enam Tepat Dalam


Pemberian Obat
Penerapan pemberian obat dengan
menerapkan prinsip enam tepat diukur
dengan pertanyaan dengan skala likert (1-5)
sebanyak 27 pertanyaan mengenai cara
pemberian obat dan 3 pertanyaan mengenai
tindakan universal pre-caution.

Tabel 2. Komponen Enam Tepat dalam Pemberian Obat oleh Perawat di Ruang Rawat
Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (n=50), 2011
No.
I
1
2
3

Komponen Enam Tepat


Tepat Obat
Mengecek program terapi pengobatan
dari dokter
Menanyakan ada/tidaknya alergi obat

Menanyakan keluhan klien sebelum dan


setelah memberikan obat
Mengecek label obat 3 kali

Mengetahui interaksi obat

Mengetahui efek samping obat

Hanya memberikan obat yang


disisapkan sendiri
Tepat Waktu
Mengecek program terapi pengobatan
dari dokter
Mengecek tanggal kadarluarsa obat

II
1
2
3

III
1

Memberikan obat dalam rentang 30


menit seblum sampai 30 menit setelah
waktu yang diprogramkan
Tepat Dosis
Mengecek terapi pengobatan dari dokter

selalu

sering

kadang

htp

tp

42
84%
25
50%
34
68%
33
66%
21
42%
23
46%
14
28%

8
16%
17
34%
8
16%
17
34%
16
32%
17
34%
8
16%

0
0%
8
16%
8
16%
0
0%
21
42%
10
20%
18
36%

0
0%
0
0%
0
0%
0
0%
0
0%
0
0%
4
8%

0
0%
0
0%
0
0%
0
0%
0
0%
0
0%
6
12%

50
100%
42
84%
45
90%

0
0%
2
4%
5
10%

0
0%
6
12%
0
0%

0
0%
0
0%
0
0%

0
0%
0
0%
0
0%

45

2
41

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

Mengecek hasil hitungan dosis dengan


perawatan lain (double cek)

90%
29
58%

10%
16
32%

0%
5
10%

0%
0
0%

0%
0
0%

*htp = hampir tidak pernah; tp = tidak pernah

Hubungan Karakteristik dan Pengetahuan


Responden Tentang Prinsip Penerapan
Enam Tepat
Untuk melihat hubungan antara variabel
independen (bebas) dengan variabel dependen
(terikat) maka dilakukan uji chi square (X2)
dan nilai p. Hasil analisis hubungan faktor
karakteristik responden (umur, jenis kelamin,
pendidikan dan masa kerja) serta pengetahuan
responden tentang prinsip penerapan enam
tepat dengan penerapannya oleh perawat
terdapat pada tabel 2.
Hubungan Umur Dengan Penerapan
Prinsip Enam Tepat Dalam Pemberian
Obat
Umur perawat dikelompok berdasarkan
umur yang paling membahagiakan diusia 30
yaitu umur 33 tahun9. Berdasarkan tabel 3
penerapan prinsip enam tepat yang baik lebih
banyak ditemukan pada perawat dengan usia
33 tahun sedangkan penerapan prinsip enam
tepat yang buruk lebih banyak ditemukan pada
perawat dengan usia diatas 33 tahun.
Berdasarkan hasil uji Chi Square didapatkan
nilai p= 0,041 yang artinya ada perbedaan
yang signifikan pada penerapan prinsip enam
tepat antara perawat yang berumur 33 tahun
dengan perawat yag berumur >33 tahun. Odds
ratio adalah 3,9 tahun yang artinya perawat
dengan umur >33 tahun cenderung melakukan
penerapan prinsip enam tepat yang buruk
sebesar 3,9 kali dibandingkan dengan perawat
yang berumur 33 tahun (95% CI: 1-15,2).
Hubungan
Jenis
Kelamin
Dengan
Penerapan Prinsip Enam Tepat Dalam
Pemberian Obat
Jenis kelamin perawat tidak menunjukan
adanya perbedaan (nilai P=0,218). Hal ini
disebabkan kurangnya responden yang berjenis
kelamin laki-laki hanya 3 orang saja, sehingga
ada 2 sel yang nilai expectednya < 5. (Tabel 2).
Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan
Penerapan Prinsip Enam Tepat Dalam
Pemberian Obat
Tingkat
pendidikan
perawat
tidak
menunjukan adanya perbedaan (nilai p=0,339).
Hal ini disebabkan kurangnya responden yang
berasal dari pendidikan SPK/SPR/D1 bidan

sehingga ada 2 sel yang nilai expectednya < 5.


(Tabel 2.).
Hubungan Masa Kerja Dengan Penerapan
Prinsip Enam Tepat Dalam Pemberian
Obat
Penerapan penerapan prinsip enam tepat
diihat dari masa kerja perawat tidak
menunjukan perbedaan yang signifikan.
Penerapan prinsip enam tepat yang baik sedikit
lebih banyak ditemukan pada perawat dengan
masa kerja <5 tahun (70,8%) dibandingkan
dengan perawat yang masa kerjanya 5 tahun
(61,5%). Sedangkan penerapan prinsip enam
tepat yang buruk sedikit lebih banyak pada
perawat dengan masa kerja 5 tahun (38,5%)
dibandingkan dengan perawat yang masa
kerjanya <5 tahun (29,2%). Namun,
berdasarkan hasil uji chi-square nilai P = 0,488
artinya tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam penerapan prinsip enam tepat antara
masa kerja 5 tahun dengan masa kerja <5
tahun (table 2).
Hubungan Pengetahuan Dengan Penerapan
Prinsip Enam Tepat Dalam Pemberian
Obat
Penerapan prinsip enam tepat yang baik
lebih banyak sedikit pada perawat yang
pengetahuannya baik (69%) dibandingkan
dengan perawat yang pengetahuannya buruk
(61,9%). Sedangkan pelaksaan prinsip enam
tepat yang buruk lebih banyak sedikit pada
perawat dengan pengetahuan kurang (38,1%)
dibandingkan
dengan
perawat
yang
pengetahuannya baik (31%). (Tabel 2.).
Pembahasan
Penerapan Prinsip Enam Tepat Dalam
Pemberian Obat
Hasil kuesioner pernyataan responden
didapatkan 33 orang (66%) perawat telah
melaksanakan prinsip enam tepat dengan
dalam pemberian obat kepada klien sedangkan
yang penerapannya buruk sebanyak 17 orang
(34%). Hasil pernyataan (self assessment) ini
tanpa didukung dengan hasil observasi,
sehingga apabila dilakukan penelitian sejenis
berikutnya hendaknya juga disertai dengan
observasi sebagai perbandingan. Rata-rata
responden menyatakan telah menjalankan

2
42

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

prinsip enam tepat dalam memberikan obat


kepada klien, hal ini terlihat dari hasil
pernyataan yang diberikan, rata-rata responden
melakukan prinsip enam tepat pemberian
obat sebagai rutinitasnya sehari-hari. Kecuali
pada item tepat cara pemberian, yaitu
pemberian per oral: mengecek kemampuan
menelan, menunggui klien sampai meminum
obatnya, antara pernyataan selalu dan kadangkadang sama-sama sebanyak 13%.

Tepat waktu memiliki tingkat penerapan


yang paling tinggi, yaitu pada bagian
pernyataan
mengecek
program
terapi
pengobatan dari dokter, sebanyak 45
responden (90%) menerapkannya. Tindakan
untuk meyakinkan bahwa obat diberikan pada
waktu yang tepat, perawat sebaiknya
memberikan obat dalam waktu 30 menit
sebelum dan sesudah waktu yang terjadwal
jika interval pemberian obat lebih dari 2
jam9,10.

Tabel 3. Hasil Uji Chi Square Hubungan antara Karakteristik dan Pengetahuan Perawat dengan
Pemberian Obat oleh Perawat di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
(n=50), 2011
Penerapan
Baik
Buruk
Umur

Nilai p

OR
95% CI

4,166

0,041

3,9
(1 15,2)

1,518

0,218

0,234
(0,02-2,8)

33 tahun

Jumlah
%

28
73.7%

10
26.3%

38
100.0%

>33 tahun

Jumlah

12

41.7%

58.3%

100.0%

1
33.3%
32
68.1%

2
66.7%
15
31.9%

3
100.0%
47
100.0%

%
Jenis Kelamin laki-laki

Jumlah
%
perempuan Jumlah
%

Pendidikan

SPK/SPR/
D1 bidan
D3

Jumlah
%
Jumlah
%

5
83.3%
28
63.6%

Masa Kerja

5 tahun

Jumlah
%
Jumlah
%

16
61.5%
17
70.8%

10
38.5%

Jumlah
%
Jumlah
%

20
69.0%
13
61.9%

9
31.0%
8
38.1%

<5 tahun
Pengetahuan

Total

baik
buruk

1
16.7%
16
36.4%

7
29.2%

Perawat juga harus mempertimbangkan efek


yang akan terjadi setelah pemberian obat
dengan waktu pemberian. Hasil ini berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
peneliti dari Auburn University di 36 rumah
sakit dan nursing home di Colorado dan
Gergia, USA, pada tahun 2002, bahwa dari
3216 jenis pemberian obat, 43% diberikan
pada waktu yang salah5.

6
100.0%
44
100.0%

0,913

0,339

2,857
(0,306-26,655)

26
100.0%
24
100.0%

0,480

0,488

0,659
(0,202 2,150)

29
100.0%
21
100.0%

0,271

0,603

1,4
(0,420 4,455)

Tingkat penerapan terbaik kedua adalah


tepat klien, yaitu 44 (88%) responden
mengecek identitas klien pada papan atau
kardeks. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh
karakteristik
responden
yang
hampir
seluruhnya wanita (94%), berpendidikan D-III
Keperawatan (88%) dan lama kerja 5 tahun
(62,5%).
Dengan karakteristik responden
seperti itu, penerapan kemampuan komunikasi
perawat lebih baik karena salah satu tindakan

2
43

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

yang perlu dilakukan untuk menjamin


ketepatan klien ini adalah memanggil nama
klien ketika akan memberikan obat12.
Tingkat penerapan yang cukup baik
berikutnya
adalah
tepat
dokumentasi.
Dokumentasi pemberian obat yang tepat
mencakup aspek lima tepat yaitu tepat klien,
obat, dosis, cara pemberian dan waktu
pemberian serta respons klien terhadap
pengobatan.
Aspek
legal
dalam
pendokumentasian yang perlu diperhatikan
antara lain nama atau inisial dan tanda tangan
atau paraf perawat yang memberikan. Prinsip
yang perlu diterapkan oleh perawat yaitu
mencatat yang dikerjakan diri sendiri dan tidak
mencatat apa yang dikerjakan oleh orang
lain12.
Komponen dari prinsip enam tepat dalam
pemberian obat yang tingkat penerapannya
cukup banyak yang rendah adalah penerapan
tepat obat dan tepat cara atau rute pemberian.
Tindakan untuk meyakinkan bahwa perawat
memberikan obat yang tepat kepada klien,
perawat harus mampu mengintepretasikan
program terapi pengobatan dokter secara tepat.
Selain itu perawat juga dianjurkan membaca
label obat paling sedikit tiga kali sebelum
memberikan obat, yaitu saat melihat botol atau
kemasan obat, sebelum menuangkan obat dan
sesudah menuangkan obat11. Hasil penelitian
ini menunjukkan ada 10 orang (20%) yang
rendah. Begitu juga dengan ketepatan cara
pemberian obat, hanya 3 orang (6%) yang
tingkat penerapannya rendah. Tindakan untuk
menjamin bahwa cara atau rute yang
digunakan untuk memberikan obat adalah
tepat, perawat harus yakin bahwa bentuk obat
sesuai dengan cara yang tertulis dalam
program terapi pengobatan10.
Untuk
pemberian obat secara oral atau melalui mulut,
perawat harus mengkaji kemampuan klien
dalam menelan dan tidak meninggalkan klien
sebelum yakin bahwa klien benar-benar
menelan obatnya.
Pada tindakan universal caution dalam
pemberian obat, item pernyataan membuang
jarum suntik bekas pada tempat khusus dalam
keadaan terbuka, didapatkan hasil selalu 14%,
yang lebih rendah dibandingkan dengan
pernyataan tidak pernah sebanyak 16%. Hal
ini berdasarkan pengamatan dari peneliti ratarata diruang rawat inap RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya belum memiliki
tempat pembuangan jarum suntik bekas pakai
yang khusus, di tiap ruangan masing

menggunakan tempat sampah tradisional dan


belum ada alat khusus perusak jarum
disposable.
Padahal prinsip universal
precaution penting diperhatikan dan diterapkan
oleh perawat, terutama untuk keamanan
(safety) bagi perawat. Perawat juga harus
menggunakan
teknik
aseptik
ketika
memberikan obat. Untuk pemberian obat
secara parenteral, perawat harus menggunakan
teknik steril dan mengikuti cara atau instruksi
penyiapan dan pemberian dari perusahaan
pembuat obat11.
Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan
Responden
Dilihat dari karakteristik perawat yang
bekerja di ruang rawat inap RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya sebagian besar
berumur dewasa muda (88%), sedangkan yang
berumur dewasa tua hanya 12%. Di satu sisi
hal ini menguntungkan bagi rumah sakit
karena para perawatnya masih berada dalam
usia produktif dan berkesempatan dalam
mengembangkan diri.
Hasil analisa univariat terhadap seluruh
responden menunjukkan pengetahuan buruk
sebanyak 21 orang (42%) dan pengetahuan
baik sebanyak 29 orang (58%). Hal ini
kemungkinan kurangnya pelatihan atau
seminar tentang penerapan pemberian obat
yang diikuti oleh perawat yang bekerja di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Tampak dari item pertanyaan yang diajukan
pada kuesioner, seluruh perawat menjawab
tidak pernah mengikuti pelatihan atau seminar
tentang pemberian obat.
Variabel-Variabel
Yang
Berhubungan
Dengan Prinsip Enam Tepat Dalam
Pemberian Obat
Umur
Hasil penelitian membuktikan ada
hubungan yang bermakna antara umur dengan
penerapan prinsip enam tepat oleh perawat
dengan nilai p= 0,041. Dengan demikian
penerapan prinsip enam tepat yang baik lebih
banyak ditemukan pada perawat dengan usia
33 tahun sedangkan penerapan prinsip enam
tepat yang buruk lebih banyak ditemukan pada
perawat dengan usia diatas 33 tahun. Teori
Gibson (1987)13 tentang faktor demografi
khususnya umur dapat mempengaruhi perilaku
seseorang, dalam penelitian ini terbukti.
Variabel-Variabel
Yang
Tidak
Berhubungan Dengan Prinsip Enam
Tepat Dalam Pemberian Obat
Jenis Kelamin

2
44

Sulistyowati, Mansyah, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Prinsip Enam Tepat

Hasil penelitian membuktikan tidak ada


hubungan bermakna antara umur dengan
penerapan komunikasi terapeutik dengan nilai
p= 0,218.
Sehingga hipotesis yang
menyatakan adanya hubungan antara jenis
kelamin dengan penerapan komunikasi
terapeutik tidak terbukti. Demikian pula teori
Gibson (1987)13 tentang jenis kelamin dapat
mempengaruhi perilaku kerja individu, dalam
penelitian ini tidak terbukti.
Hal ini
menunjukkan bahwa responden laki-laki
maupun perempuan memiliki peluang yang
sama untuk melaksanakan prinsip enam tepat
dalam pemberian obat kurang atau baik.
Tidak adanya hubungan yang bermakna
antara jenis kelamin dengan penerapan prinsip
enam tepat bisa disebabkan karena dari
keseluruhan jumlah responden yang berjumlah
50 orang, hanya 3 orang dengan jenis kelamin
laki-laki, sedangnya selebihnya adalah
perempuan (47 orang).
Pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan tidak
terdapat
hubungan
bermakna
antara
pendidikan dengan penerapan prinsip enam
tepat dalam pemberian obat dengan nilai p=
0,339, OR= 2,857 (95% CI = 0,306-26,655).
Sehingga hipotesis yang menyatakan adanya
hubungan antara tingkat pendidikan dengan
penerapan prinsip enam tepat dalam
pemberian obat tidak dapat dibuktikan.
Tingkat pendidikan dapat dijadikan indikator
dalam penerapan prinsip enam tepat dalam
pemberian obat yaitu semakin rendah tingkat
pendidikan perawat, semakin kurang pula
tingkat penerapan prinsip enam tepat dalam
pemberian obat. Teori Green (1980) tentang
faktor predisposisi khususnya pendidikan
dapat mempengaruhi perilaku individu tidak
terbukti dalam penelitian ini. Hal ini bisa
disebabkan tidak adanya responden yang
berasal dari pendidikan S-1 perawat, karena
perawat yang memiliki latar belakang
pendidikan S-1 di RSUD Doris Sylvanus ratarata menjabat sebagai kepala ruangan.
Masa Kerja
Hasil penelitian menunjukkan tidak
terdapat hubungan bermakna antara masa kerja
dengan penerapan prinsip enam tepat dalam
pemberian obat dengan nilai p= 0,488, OR=
0,659 (95% CI = 0,202 2,150). Sehingga
hipotesis yang menyatakan adanya hubungan
antara masa kerja dengan penerapan prinsip
enam tepat dalam pemberian obat tidak dapat
dibuktikan.
Teori Gibson (1987) yang

menyatakan bahwa pengalaman termasuk


variabel individu yang mempengaruhi perilaku
kerja tidak terbukti dalam penelitian ini. Masa
kerja perawat di ruang rawat inap RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya yang
menerapkan prinsip enam tepat dalam
pemberian obat antara yang 5 tahun dengan
yang < 5 tahun hampir sama banyak.
Sehingga hasil penelitian ini menunjukkan
tidak ada hubungan antara masa kerja perawat
dengan tingkat penerapan prinsip enam tepat
dalam pemberian obat.
Tingkat Pengetahuan
Berdasarkan hasil penelitian dalam analisis
bivariat membuktikan tidak ada hubungan
bermakna antara tingkat pengetahuan dengan
penerapan prinsip enam tepat dalam
pemberian obat dengan nilai p= 0,603 ; OR =
1,4 (95% CI = 0,420 4,455). Sehingga
hipotesis yang menyatakan adanya hubungan
antara tingkat pengetahuan dengan penerapan
prinsip enam tepat tidak dapat diterima.
Menurut Notoatmodjo (2002)14 pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
apabila suatu tindakan didasari oleh
pengetahuan, maka pengetahuan tersebut akan
bersifat langgeng.
Pengetahuan seseorang
dapat menurun setelah beberapa lama apabila
tidak ada pengulangan atau tidak dipraktekkan
secara terus menerus7.
Tingkat penerapan prinsip enam tepat
dalam pemberian obat yang telah dikemukakan
diatas mungkin dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal.
Pada penelitian ini yang
teridentifikasi adalah faktor internal yaitu
karakteristik
responden
dan
tingkat
pengetahuan; dan faktor eksternal yaitu pernah
tidaknya responden mengikuti seminar atau
pelatihan tentang pemberian obat.
Pada
tingkat
pengetahuan,
penelitian
ini
menunjukkan bahwa kemampuan responden
dalam menyelesaikan kasus tentang pemberian
obat pada kuisioner sebagian besar baik. Hasil
tersebut mungkin dipengaruhi oleh sebagian
besar
responden
merupakan
perawat
berpendidikan D-III (88%). Hal ini juga
dibuktikan dengan pengenalan responden
terhadap istilah enam tepat. Padahal hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa dari 50
responden tidak satupun yang pernah
mengikuti kegiatan seminar atau pelatihan
tentang pemberian obat. Tingkat penerapan
prinsip enam tepatyang baik, yang dicapai

39
45

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

oleh sebagian besar responden pada penelitian


ini juga mungkin disebabkan oleh pemahaman
mereka terhadap besarnya peranan perawat
dalam pemberian obat.
Selain itu dari hasil penelitian ini tampak
bahwa tingkat penerapan prinsip enam tepat
dalam pemberian obat yang sebagian besar
cukup baik, lebih dipengaruhi oleh faktor
internal perawat, yaitu karakteristik responden
meliputi umur responden yang membuktikan
ada hubungan yang bermakna antara umur
dengan penerapan prinsip enam tepat oleh
perawat dengan nilai p= 0,041. Dengan
demikian penerapan prinsip enam tepat yang
baik lebih banyak ditemukan pada perawat
dengan usia 33 tahun sedangkan penerapan
prinsip enam tepat yang buruk lebih banyak
ditemukan pada perawat dengan usia diatas 33
tahun. Dengan demikian responden yang
berumur muda memiliki risiko untuk
melakukan penerapan prinsip enam tepat
dalam pemberian obat lebih baik daripada
yang berusian > 33 tahun. Teori Gibson
(1987)13 tentang faktor demografi khususnya
umur dapat mempengaruhi perilaku seseorang,
dalam penelitian ini terbukti.
Kesimpulan
Tingkat pengetahuan perawat tentang prinsip
enam tepat dalam pemberian obat
menunjukkan hasil yang lebih banyak yang
memiliki
tingkat
pengetahuan
tinggi
dibandingkan yang rendah.
Gambaran
mengenai tingkat penerapan prinsip enam
tepat dalam pemberian obat oleh perawat
menunjukkan bahwa sebagian besar cukup
baik, lebih dipengaruhi oleh faktor internal
perawat yaitu karakteristik responden terutama
umur responden yang membuktikan ada
hubungan yang bermakna antara umur dengan
penerapan prinsip enam tepat oleh perawat
dengan nilai p= 0,041. Tingkat pengetahuan
responden juga baik terbukti pada penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
kemampuan
responden dalam menyelesaikan kasus tentang
pemberian obat pada kuisioner sebagian besar
baik dan perlu dipertahankan.

kepada klien selaku pengguna pelayanan


kesehatan serta mengirimkan staf keperawatan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
minimal sampai setingkat sarjana keperawatan.
Karena semakin tinggi tingkat pendidikan
perawat, penerapan prinsip enam tepat dalam
pemberian obat idealnya lebih optimal
dilaksanakan.
Daftar Rujukan

1. Tambayong, J. 2002. Farmakologi


Untuk Keperawatan. Jakarta: Widya
Medika.
2. Perry dan Potter (2005). Buku Ajar
Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses dan Praktik Edisi 4 Volume 1,
Alih Bahasa Yasmin Asih, SKp.
Jakarta: EGC.
3. Kozier,
Erb
&
Olivieri.
2004.
Fundamentals of Nursing: Concepts,
Process and Practice.
California:
Addison-Wesley.
4. Nainggolan, N. 2003. Pemakaian

5.

6.

7.

8.

Saran
Perlu diadakan kegiatan seminar, pelatihan
9.
atau workshop secara kontinyu mengenai
pentingnya prinsip enam tepat dalam
pemberian obat untuk meningkatkan mutu
pelayanan dibidang keperawatan mengingat
semakin ketatnya persaingan antar rumah sakit
dalam memberikan pelayanan yang terbaik 40

Antibiotik Dosis Tinggi Merusak


Ginjal Anne. Suara Pembaruan, 09
Desember 2003.
Joint Commission on Accreditation of
Health Organization. 2002. Research
Shows Disturbing Drug Error Rates,
diunduh pada 20 November 2011 dari
http://www.glencoe.com/ps/health/arti
cle/php4?articleId=518.
Kinninger, T & Reeder, L. 2003.
Establishing Roi For Technology to
Reduce Medication Errors is Both a
Science and an Art, diunduh pada 20
November
2011
dari
http://www.highbeam.com.
Kuntarti, 2005). Tingkat Penerapan
Prinsip Enam Tepat Dalam Pemberian
Obat Oleh Perawat Di Ruang Rawat
Inap. Jakarta: FKUI.
Taylor, C, Lilis, C & Le Mone, P.
1989.
Fundamentals of Nursing:
Concepts, Process and Practice. New
York: Lippincot.
Chernecky, C, et al. 2002. RealWorld Nursing Survival Guide: Drug
Calculations
and
Drug
Administration.
Philadelphia: WB
Saunders Co.
4
46

Sulistyowati, Mansyah, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Prinsip Enam Tepat

10. Kee, J.L & Hayes, E.R.

2000.
Pharmacology: A Nursing Process
Approach, 3rd Ed. Philadelphia: WB
Saunders Co.
11. Abrams, A.C. 1995. Clinical Drug
Therapy: Rationales For Nursing
Practice, 4th Ed Philadelphia: J.B.
Lippincott Co.
12. Gibson, J.H. 1987. Fundamentals of
Management. Chicago: Irwin.
13. Notoadmojo.
2002.
Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.

39
47

ARTIKEL PENELITIAN

Hubungan Penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Dengan


Kejadian Kanker Payudara Di RSUD dr Doris Sylvanus,
Palangka Raya, 2011
Association Between Hormonal Contraseptive And Breast Cancer In
dr Doris Sylvanus Hospital, Palangka Raya, 2011

Arainiati, Legawati, Noordiati


Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. Menurut WHO 8-9% wanita akan mengalami kanker payudara. Ini menjadikan kanker
payudara sebagai jenis kanker yang paling banyak ditemui pada wanita. Setiap tahun lebih dari
250,000 kasus baru kanker payudara terdiagnosa di Eropa dan kurang lebih 175,000 di Amerika
Serikat. Estimasi insidens kanker payudara di Indonesia sebesar 26 per 100.000 perempuan dan
kanker leher rahim sebesar 16 per 100.000 perempuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan penggunaan metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara
Jenis penelitian yang dilaksanakan menggunakan rancangan cross sectional study melalui
pendekatan kuantitatif sampel 115 ibu. Analisa data dilakukan melalui tiga tahapan yaitu analisis
(
) dan RR sedangkan
univariabel, analisis bivariabel dengan menggunakan uji
untuk analisis multivariat secara regresi logistic. Hasil analisis bivariabel menunjukkan terdapat
hubungan yang bermakna antara penggunaan metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker
payudara.Beberapa variabel yang berhubungan adalah genetik dan paritas. Hasil multivariabel
dengan permodelan menunjukkan hubungan yang bermakna antara penggunaam metode
kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara dengan mengontrol variabel genetik dan
paritas dapat memberikan kontribusi sebesar 17%.Terdapat hubungan yang bermakna antara
metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara, variabel lain yang mempengaruhi
kejadian kanker payudara adalah paritas dan genetik dan yang tidak berpengaruh terhadap kejadian
kanker payudara adalah umur, pendidikan dan pekerjaan.
Kata Kunci: Kontrasepsi hormonal, Kontrasepsi non hormonal dan kanker payudara
Abstract. According to the WHO 8-9% of women will develop breast cancer. This makes breast
cancer as the type of the most common cancer in women. Each year more than 250,000 new cases
of breast cancer diagnosed in Europe and approximately 175.000 in the United States. According to
WHO, in 2000 an estimated 1.2 million women diagnosed with breast cancer and more than
700,000 die from it. There are no accurate statistics in Indonesia, but the data collected from
hospitals showed that breast cancer ranked first among other cancers in women breast cancer is the
leading cause of cancer death in women. Each year, in the United States 44.000 patients died of the
disease while in Europe, more than 165.000. This study was aim to know the relationship of use of
hormonal contraceptive methods with the incidenceof breast cancer. The design conducted using
cross sectional design study with a quantitative approach to sample 115 mothers. Quantitative data
analysis carried out in three stages, namely analysis univariabel, bivariabel analysis using an 2
(Chi square) and RR, while for the multivariate logistic regression analysis. The analysis showed
bivariabel there was a significant association between use of hormonal contraceptive methods with
the incidence of breast cancer (RR = 2.4, 95% CI = 1.13 to 4.93). Several variables related to the
genetic (RR = 1.39 95% CI = 1.1 to 1.7) and parity (RR = 2.85, 95% CI = 1.01 to 8.04). The results
of the multivariable modeling demonstrated a significant association between use of hormonal
contraceptive methods with the incidence of breast cancer (RR = 7.41, 95% CI = 2.05 to 26.73) to

48

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

control the genetic variables and parity can contribute by 17% for events breast cancer in addition
there are many other risk factors that cause increased incidence of breast cancer.
Conclusion: Breast cancer in users of hormonal contraceptive methods was more pronounced, as
many as 71 people (73.2%) compared with those not using hormonal contraception methods were
26 men (26.8%). There is a significant association between hormonal contraceptive method with
the incidence of breast cancer. Another variable affecting the incidence of breast cancer is the
parity (number of children) and genetic (family history of breast cancer). Another factor that has no
effect on the incidence of breast cancer are age, education and employment ..
Keywords: hormonal contraceptives, non-hormonal contraceptives and breast cancer
Pendahuluan
Menurut WHO 8-9% wanita akan
mengalami kanker payudara. Ini menjadikan
kanker payudara sebagai jenis kanker yang
paling banyak ditemui pada wanita. Setiap
tahun lebih dari 250,000 kasus baru kanker
payudara terdiagnosa di Eropa dan kurang lebih
175,000 di Amerika Serikat. Masih menurut
WHO, tahun 2000 diperkirakan 1,2 juta wanita
terdiagnosis kanker payudara dan lebih dari
700,000 meninggal karenanya. Belum ada data
statistik yang akurat di Indonesia, namun data
yang terkumpul dari rumah sakit menunjukkan
bahwa kanker payudara menduduki ranking
pertama diantara kanker lainnya pada wanita(1).
Kanker payudara merupakan penyebab utama
kematian pada wanita akibat kanker. Setiap
tahunnya, di Amerika Serikat 44,000 pasien
meninggal karena penyakit ini sedangkan di
Eropa lebih dari 165,000. Setelah menjalani
perawatan, sekitar 50% pasien mengalami
kanker payudara stadium akhir dan hanya
bertahan hidup 18 30 bulan(2). Penyakit
kanker merupakan penyebab kematianke5 di
Indonesia. Kanker tertinggi di Indonesia adalah
kanker payudara. Sudah lebih dari 30 tahun
kanker payudara menjadi suatu penyakit yang
paling ditakuti oleh wanita. Insiden kanker di
Indonesia masih belum diketahui secara pasti
karena belum ada registrasi kanker berbasis
populasi yang dilaksanakan(3).
Penyebab pasti kanker payudara tidak
diketahui. Ada sejumlah faktor yang dapat
meningkatkan risiko pada individu tertentu,
yang meliputi:Jenis kelamin perempuan, Umur,
Genetik, Mutasi genetik dari kanker ovarium,
riwayat keluarga, mempunyai peluang besar
menderita kanker payudara dari hasil
mammography, hasil biopsi memperlihatkan
adanya hyperplasia, riwayat terkena radiasi
pada usia muda, tidak pernah punya anak,
mempunyai anak pada umur diatas 35 tahun,
tingginya kadar androgen dan estrogen dalam

darah, penggunaan hormonal pengganti,


obesitas, kepadatan tulang yang tinggi, minum
alkohol setiap hari, menopause umur diatas 55
tahun,menarche umur 12 tahun menggunakan
pil hormonal kontrasepsi secara langsung
maupun tidak langsung(4). Pentingnya faktor
usia sebagai faktor risiko diperkuat oleh data
bahwa 78% kanker payudara terjadi pada pasien
yang berusia lebih dari 50 tahun dan hanya 6%
pada pasien yang kurang dari 40 tahun. Ratarata usia pada saat ditemukannya kanker adalah
64 tahun. Studi juga mengevaluasi peranan
faktor gaya hidup dalam perkembangan kanker
payudara yang meliputi pestisida, konsumsi
alkohol, kegemukan, asupan lemak serta
kurangnya olah fisik (5).
Penelitian lain menyatakan bahwa ada dua
faktor penting yang bisa meningkatkan kejadian
kanker payudara adalah tindakan menghentikan
kehamilan dan kontrasepsi hormonal dapat
meningkatkan risiko kejadian kanker payudara.
Kontrasepsi hormonal yang mengandung
estrogen dan progestin dapat menyebabkan selsel payudara berkembang biak sehingga
meningkatkan kemungkinan mutasi yang
menyebabkan sel kanker dan bersifat
karsinogenik (6). Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan kejadian kanker
payudara
dengan
penggunaan
metode
kontrasepsi hormonal di Rg Perawatan Bedah
Wanita RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan rancangan
cross sectional study(7). Subjek penelitian ini
adalah ibu yang menderita/ pernah di rawat di
Ruang Perawatan Bedah Wanita RSUD dr
Doris Sylvanus Palangka Raya pada Periode
Januari-Desember 2010 (8) dengan diagnosis
kanker payudara dan tidak menderita kanker
payudara. Penelitian ini dilakukan di Ruang
Bedah Wanita terdiri dari 78 orang penderita

49

Ariniati, Legawati, Noordiati, Hubungan Penggunaan Metoda Kontrseptif Hormonal dengan Kanker Payudara

kanker payudara dan 37 orang penderita yang


bukan penderita kanker payudara yang dirawat
di Ruang Bedah Wanita RSUD Dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya. Pengambilan data
dilakukansecarasekunder menggunakan catatan
rekam medik pasien yang ada.
Besar
sampel
ditentukan
dengan
menggunakan total populasi penderita yang
pernah di rawat di Ruang Bedah Wanita RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Periode
Januari- Desember 2010(8).Data dianalisis
secara kuantitatif dengan analisis univariabel,
bivariabel dan multivariabel. Uji statistik yang
digunakan chi-square dengan melihat risiko
relatif (RR) dengan tingkat kemaknaan p < 0.05
serta confidence interval 95%(7).
Hasil
Karakteristik subjek penelitian
Karakteristik subjek penelitian dapat
dilihat pada Tabel 1.
Analisis kuantitatif
Analisis
bivariabel
untuk
melihat
hubungan antara variabel penggunaan metode
kontrasepsi hormonal dan kejadian kanker

payudara serta variabel umur ibu, pendidikan,


paritas, genetik, pekerjaan dapat dilihat
padaTabel 2.
PadaTabel 2
terlihat bahwa terdapat
hubungan
antara
penggunaan
metode
kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker
payudara. Dan ini dapat dilihat dari nilai RR 2,4
yang menunjukkan bahwa penggunaan metode
kontrasepsi hormonal dapat meningkatkan
kejadian kanker payudara 2,4 kali lebih besar
dibandingkan dengan penderita yang tidak
menggunakan
metode
kontrasepsi
non
hormonal. Dari tabel 2 juga terlihat bahwa
faktor lain yang mempengaruhi kejadian kanker
payudara adalah genetik (RR= 1,39; dimana
kejadian kanker payudara meningkat pada
responden yang mempunyai keluarga dengan
riwayat penyakit kanker payudara 1,39 kali
lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
memiliki riwayat keluarga menderita kanker
payudara) dan paritas (RR= 2,85: dimana
kejadian kanker payudara lebih besar dialami
multipara 2,85 kali lebih besar dibandingkan
primirapa)

Tabel 1. Karakteristik Responden, RSUD DR Doris Sylvanus Palangka Raya,


2011 (n=106)
Variabel

Frekuensi
n=106

Persentase
(%)

Ya
Tidak

78
37

67,8
32,2

Penggunaan Kontrasepsi
Hormonal
Non Hormonal

97
18

84,4
15,6

78
37

67,9
32,1

73
42

63,5
36,5

18
97

15,7
84,3

Primipara
Multipara

34
81

29,6
70,4

Bekerja
Tidak Bekerja

22
93

19,1
80,9

Kanker Payudara

Umur
20-35 tahun
>35 tahun
Pendidikan
Menengah
Tinggi
Genetik
Ya
Tidak
Paritas

Pekerjaan

50

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

Tabel 2. Analisis Chi Square (2) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kanker Payudara, RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, 2011 (n=106)

Variabel
Penggunaan kontrasepsi
Hormonal
Non Hormonal
Umur
20-35 tahun
>35 tahun
Pendidikan Ibu
Menengah
Tinggi
Genetik
Ya
Tidak
Paritas
Primipara
Multipara
Pekerjaan Ibu
Tidak Bekerja
Bekerja

Kanker Payudara
Ya
Tidak
%
N
%

x2

RR

95% CI

71
7

73,2
38,9

26
11

26,8
61,1

8,19

2,4

1,13-4,93

23
55

62,2
70,5

14
23

37,8
29,5

0,93

0,68

0,87-1,53

49
29

67,1
69,1

24
13

32,9
30,9

1,4

0,91

0,82-2,03

12
62

66,7
63,9

6
35

33,3
36,1

4,3

1,39

1,1-1,7

25
53

73,5
65,4

9
28

26,5
34,6

5,57

2,85

1,01-8,04

64
14

68,8
63,6

29
8

31,2
36,4

0,21

0,92

0,66-1,31

Keterangan:
RR (95% CI) = Risk Ratio (95% Confidence Interval)

Analisis multivariabel dilakukan dengan


menggunakan permodelan yang bertujuan untuk
melihat hubungan antara variabel bebas dan
variabel terikat dan melakukan kontrol pada
beberapa variabel yang mempunyai hubungan
yang bermakna pada analisis bivariat dan
variabel yang secara teoritis mempunyai
hubungan dengan variabel bebas dan terikat.

Berdasarkan hasil analisis multivariat pada


Tabel 3 dengan regresi logistikdan melakukan
permodelan, terdapat hubungan yang bermakna
antara
penggunaan
metode
kontrasepsi
hormonal dengan kejadian kanker payudara
dengan melakukan kontrol pada beberapa
variabel lain.

Tabel 3. Analisis Regresi Logistik Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kanker Payudara,
RSUD DR Doris Sylvanus Palangka Raya, 2011 (n=106)

Variabel
Penggunaan Metode
Kontrasepsi
Hormonal
Non Hormonal
Genetik
Ya
Tidak

Model 1
RR
95% CI

Model 2
RR
95% CI

Model 3
RR
95% CI

Model 4
RR
95% CI

6,18
(1,96-19,47)

7,69
(2,19-27,04)

6,04
(1,83-19,93)

7,41
(2,05-26,73)

6,45
(1,25-32,24)

6,22
(1,09-35-32)

51

Ariniati, Legawati, Noordiati, Hubungan Penggunaan Metoda Kontrseptif Hormonal dengan Kanker Payudara

Tabel 3. Analisis Regresi Logistik Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kanker Payudara,
RSUD DR Doris Sylvanus Palangka Raya, 2011 (n=106)

Variabel
Paritas
Primipara
Multipara
N
R2
Deviance

Model 1
RR
95% CI

115
0,07
133,8

Model 2
RR
95% CI

Model 3
RR
95% CI

Model 4
RR
95% CI

115
0,12
126,9

4,08
(1,41-11,74)
115
0,13
125,9

3,80
(1,29-11,13)
115
0,17
120,04

Keterangan: OR(95%CI): odd ratio (95% confidence interval)

Pemodelan dalam logistic regression


menampilkan nilai RR danconfidence interval
(CI) 95%. Nilai -2 log likelihood atau deviance
digunakan untuk membandingkan perbedaan
regresi model 1 dengan model regresi lainnya.
Perbedaan bermakna secara statistic jika model
regresi yang lain berbeda dengan regresi model
1, berarti variabel tambahan lain selain variabel
bebas mempunyai peluang mempengaruhi
variabel terikat dan berpeluang merubah nilai
RR pada variabel bebasnya. R2 yaitu melihat
seberapa jauh seluruh variabel dalamsetiap
model memprediksi proporsi ibu yang
mengalami kejadian kanker payudara.
Dapat disimpulkan bahwa model yang
dipilih adalah model dengan nilai R2 tertinggi
sebagai pertimbangan untuk melakukan
intervensi. Banyak hal yang menjadi faktor
risiko kejadian kanker payudara sehingga dari
permodelan regresi logistik ini maka dapat
dipilih model 4 dimana terlihat adanya
hubungan yang bermakna antara penggunaan
metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian
kanker payudara dengan nilai RR= 7,41; 95%
CI= 2,05-26,73, sehingga dapat dibuat sebuah
pernyataan bahwa untuk ibu-ibu yang
menggunakan metode kontrasepsi hormonal
mempunyai peluang 7,41 kali lebih besar
mengalami kanker payudara dibandingkan
dengan ibu yang tidak menggunakan metode
kontrasepsi hormonal, apalagi dengan adanya
riwayat genetik dalam keluarga tentang
penyakit kanker payudara dan jumlah anak
lebih dari 1 (multipara) akan memperbesar
peluang risiko (kontrasepsi hormonal dapat
memberikan kontribusi peningkatan kejadian
kanker payudara sebanyak 17%).

Pembahasan
Penelitian ini secara umum bertujuan
untuk mengetahui hubungan penggunaan
metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian
kanker payudara dan melihat beberapa variabel
lain yang juga mempengaruhi meliputi: umur,
pendidikan, genetik, paritas dan pekerjaan.
Hubungan Kejadian Kanker Payudara
dengan penggunaan Metode Kontrasepsi
Hormonal
Berdasarkan hasil analisis multivariat
kontrasepsi hormonal dapat memberikan
kontribusi kejadian kanker payudara sebesar
17% setelah dilakukan pengontrolan pada
variabel genetik dan paritas. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan
oleh Penelitian lain (3) yang menyatakan bahwa
penggunaan metode kontrasepsi hormonal
kombinasi
(estrogen
dan
progesteron)
meningkatkan kejadian kanker payudara 1,864
kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang
bukan pengguna metode kontrasepsi hormonal
kombinasi (OR=1,864; p =0,118). Dari nilai p
value = 0,118 yang lebih besar dari p>=0,05
maka dapat dikatakan bahwa meskipun nilai
OR=1,864 atau kemungkinan pengguna
kontrasepsi hormonal kombinasi memiliki
peluang lebih besar 1,864 kali lebih besar
dibandingkan dengan yang bukan pengguna
metode kontrasepsi hormonal non kombinasi
akan tetapi kontrasepsi hormonal kombinasi
bukan faktor risiko yang signifikan dapat
meningkatkan kejadian kanker payudara.
Non Hormonal Kontrasepsi harus digunakan
sebagai pilihan pertama pada penderita kanker
yang survival. Sterilisasi dan pemasangan IUD
non hormonal
dapat merupakan pilihan

52

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

metode kontrasepsi non hormonal. Penelitian


lanjut untuk penggunaan metode kontrasepsi
hanya hormon progestin dibutuhkan oleh
penderita kanker payudara yang survival (9).
Hubungan Kejadian Kanker Payudara
dengan Umur responden
Penelitian ini menunjukkan bahwa analisis
bivariabel
menunjukkan
tidak
terdapat
hubungan yang bermakna antara umur dengan
kejadian kanker payudara. Penelitian yang
dilakukan di Perjan RS Dr. Cipto
(3)
Mangunkusumo
menunjukkan
bahwa
karakteristik kejadian kanker payudara terbesar
pada responden umur 40-44 tahun. Akan tetapi,
tidak dilakukan analisis bivariabel untuk
melihat hubungan antara umur dengan kejadian
kanker payudara.
Berdasarkan program SEER (Surveillance,
Epidemiology and End Results) yang dilakukan
NCI (National Cancer Institutte) insidensi
kanker payudara meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Diperkirakan 1 dari 8 wanita
mengalami perkembangan penyakit payudara
sepanjang hidupnya. Kemungkinan terbesar
perkembangan payudara mulai terjadi pada
wanita dengan kisaran umur 40-50 tahun (3)
Penelitian ini mendukung penelitian lain
yang dilakukan(5) menyatakan bahwa penderita
kanker payudara pada kisaran umur 60 tahun.
Dan ini mendukung penelitian lain (4) yang
menyatakan bahwa ada perbedaan kejadian
kanker payudara pada masing-masing kisaran
umur meliputi : umur 20 tahun (1 dari 232),
umur 40 tahun ( 1 dari 69), umur 50 tahun (1
dari 42), umur 60 tahun ( 1 dari 29) dan Umur
70 tahun ( 1 dari 27).
Penelitian lain yang dilakukan (1)
menyatakan bahwa umur pertama melahirkan >
30 tahun akan meningkatkan kejadian kanker
payudara (OR=2,27; 95% CI = 1,02-5,05). Hal
ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara umur dengan kejadian kanker
payudara 2,27 kali pada umur melahirkan > 30
tahun dibandingkan dengan ibu yang
melahirkan pertama pada umur < 30 tahun.
Hubungan Kejadian Kanker Payudara
dengan Pendidikan Responden
Pendidikan bukan merupakan salah satu
faktor
yang
bisa
meningkatkan
atau
menurunkan kejadian kanker payudara).

Penelitian
lain
yang
dilakukan(1)
didapatkan bahwa status pendidikan adalah
pada pendidikan menengah sebanyak 34 orang
(54%) dibandingkan pendidikan rendah
sebanyak 4 orang (6,3%). Setelah dilakukan
analisis bivariabel ditemukan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna dan
signifikan antara pendidikan dengan kejadian
kanker payudara
Penelitian berbeda dilakukan oleh (2) yang
menyatakan
bahwa
pendidikan
akan
meningkatkan kewaspadaan tentang kesehatan,
pemeriksaan sadari dan pemeriksaan klinisi
untuk penyakit kanker payudara. Dengan
pendidikan yang tinggi dapat memudahkan
kerjasama dalam memberikan pengobatan atau
penanganan apabila ditemukan/ terdeteksi awal
menderita kanker payudara.
Hubungan Kejadian Kanker Payudara
dengan Pekerjaan Responden
Pekerjaan bukan merupakan salah satu
faktor
yang
bisa
meningkatkan
atau
menurunkan kejadian kanker payudara).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
lain yang dilakukan (1)yang menunjukkan
bahwa angka kejadian kanker payudara paling
banyak diderita oleh ibu rumah tangga
sebanyak 48 orang (76,2%) dibandingkan
dengan wanita pekerja. Walaupun demikian
tidak terdapat hubungan antara pekerjaan
dengan kejadian kanker payudara.
(4)
Penelitian
berbeda
dilakukan
menemukan bahwa paparan radiasi pada umur
muda
yang
berlangsung
lama
akan
meningkatkan risiko kejadian kanker payudara.
Paparan radiasi yang lama dan kontinyu
merupakan salah satu faktor predisposisi
kejadian kanker payudara karena dapat
meningkatkan perkembangan sel baru yang
sifatnya abnormal atau adanya mutasi genetik
dari pertumbuhan sel baru tersebut sehingga
terjadi pertumbuhan sel kanker. Ini banyak
ditemukan pada kelompok wanita yang terkena
radiasi pada umur yang sangat muda.
Hubungan Kejadian Kanker Payudara
dengan Paritas responden
Terdapat hubungan yang bermakna antara
paritas dengan kejadian kanker payudara (RR=
2,85, dan p= 0,01; dimana kejadian kanker
payudara
meningkat
dengan
semakin

53

Ariniati, Legawati, Noordiati, Hubungan Penggunaan Metoda Kontrseptif Hormonal dengan Kanker Payudara

banyaknya jumlah anak yang dilahirkan dimana


multipara 2,85 kali lebih besar kejadian kanker
payudara dibandingkan dengan primipara).
Penelitian lain (10) menemukan bahwa
paritas
mempengaruhi
kejadian
kanker
payudara. Karena ditemukan perbedaan antara
kanker payudara pada ibu yang melahirkan satu
kali dengan yang melahirkan anak 4 orang atau
lebih.
Menyusui bayi setelah melahirkan dapat
menurunkan faktor risiko kejadian kanker
payudara sepanjang proses menyusui. Karena
dalam proses menyusui kelenjar air susu
mengalami
perubahan.
Dalam
periode
menyusui tersebut akan menghasilkan rentang
waktu untuk kehilangan siklus menstruasi.
Siklus menstruasi menyebabkan setiap bulan
wanita melepaskan hormon estrogen dan
progesteron. Paparan hormon estrogen selama
periode mestruasi inilah yang diketahui
merupakan
faktor
risiko
yang
dapat
meningkatkan kejadian kanker payudara.
Sehingga ditemukan perbedaan dengan
penelitian yang lain bahwa paritas dapat
mempengaruhi kejadian kanker payudara.
Dengan semakin banyaknya anak yang
dilahirkan dan semakin panjangnya proses
menyusui akan menurunkan risiko kejadian
kanker payudara (6).
Hubungan Kejadian Kanker Payudara
dengan Genetik (Riwayat Penyakit Kanker
Payudara dalam keluarga)
Dan hasil analisis bivariabel menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara genetik dengan kejadian kanker payudara
Persentase penderita kanker payudara yang
memiliki riwayat keluarga penderita kanker
payudara sekitar 6-12%. Riwayat menderita
kanker payudara yang diwarisi menjadi salah
satu faktor risiko terjadinya kanker payudara.
Carrier kanker payudara akan meningkatkan
perkembangan kanker payudara pada usia muda
(3)

Penelitian lain yang dilakukan (4)


menyatakan bahwa pada kenyataannya bahwa
ada beberapa wanita yang menderita kejadian
kanker payudara akan tetapi tidak memiliki
riwayat keluarga yang menderita kanker
payudara. Seorang wanita yang memiliki ibu,
saudara perempuan atau anak perempuan

menderita kanker payudara akan meningkatkan


faktor risiko kejadian kanker payudara.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :1) Kanker
payudara pada pengguna metode kontrasepsi
hormonal lebih tinggi yaitu sebanyak 71 orang
(73,2%) dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan metode kontrasepsi hormonal
sebanyak 26 orang (26,8%); 2)Terdapat
hubungan yang bermakna antara metode
kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker
payudara; 3) Variabel lain yang mempengaruhi
kejadian kanker payudara adalah paritas
(jumlah anak) dan genetik (riwayat kanker
payudara dalam keluarga); 4) Faktor lain yang
tidak berpengaruh terhadap kejadian kanker
payudara adalah umur, pendidikan dan
pekerjaan.
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka
dapat ada beberapa saran atau rekomendasi
meliputi : 1) Bagi Petugas Kesehatan dapat
melakukan penyuluhan kesehatan secara gencar
dalam setiap kegiatan tentang pengaruh metode
kontrasepsi hormonal terhadap kejadian
peningkatan kanker payudara, 2). Bagi BKKBN
membantu
fasilitasi
penyedian
metode
kontrasepsi non hormonal serta menggalakkan
metode kontrasepsi jangka panjang non
hormonal.
Daftar Pustaka
1. Harrison, PA., Srinivasan, K., Binu, VS.,
Vidyasagar, MS., Nair, S. Risk Factor for
Being Cancer Among Women Attending a
Tertiary Care Hospital in Southern
India.International Journal of Collaborative
Reasearch on Internal Medicine & Public
Health. 2010 April;2(4):109-116.
2. Schulman, LN., Willet, W,., Sievers, A.,
Knaul, FM. Breast Cancer in Developing
Countries: Oppurtunities for Improved
Survival. Oncology.J.2010 May-Oct
3. Harianto., Mutiara, R., Surachmat. Risiko
Penggunaan Pil Kontrasepsi Kombinasi
terhadap Kejadian Kanker Payudara pada
Reseptor KB di Perjan RS Dr. Cipto

54

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

4.

5.

6.

7.

Mangunkusumo.
Majalah
Ilmu
Kefarmasian. II(1): 84-99.
Susan G. Facts For Life Breast Cancer Risk
Factors. Health Communication Research
Laboratory at Saint Louise University
2012
Klein, RL., Brown, AR., Castro, CMG.,
Chambers, SK., Cragun, JM., Le Beu, LG.,
Long, JI. Ovarian Cancer Metastatic to the
Breast Presenting as Inflammatory Breast
Cancer: A Case Report and Literature
Review. Journal of Cancer. 2010
June;1:27-31.
Lanfranchi, A. The Reasons Hormonal
Contraceptives and Induced Abortion
Increase Breast Cancer Risk, Agust
2009.76(3):236-249
Bonita R, Beaglehole R, Kjellstrom T.
Basic Epidemiology. 2nd ed. Geneva:
WHO; 2006.

8.

Bagian Medical Record. Register Pasien


Perawatan Ruang Bedah Wanita. RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya 2011
9. Chair, DMP., Lea, RH., Jeffrey,JF., Oza, A.,
Reid, RL., Swenerton, KD. Progesteron
Only and Non Hormonal Contraception in
The Breast Cancer Survivor: Joint Review
and Committee Opinion of the Society of
Obstericians and Gynaecologist of Canada
and the Society og Gynecologic
Oncologists of Canada. Joint Clinical
Practice Guidelines, July 2006.
10. National Breast and Ovarian Cancer Centre.
Report to The nation Breast Cancer
2010.Australian Goverment Department
of Health and Ageing.

55

ARTIKEL PENELITIAN

Efektifitas Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu Hamil


Dengan Hipertensi di Palangka Raya
Effect of Relaxation Theraphy on Pregnancy induced Hypertension in
Palangka Raya

Berthiana Tinse, Aida Kusnaningsih, Nita Theresia

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Palangka Raya

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Efektifitas Pemberian Relaksasi
Progresif Pada Ibu Hamil Dengan Hipertensi Di Puskesmas sekota Palangka Raya.Desain
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan pendekatan pre
dan post test, tekanan darah diukur sebelum dan setelah pemberian relaksasi progresif. Data
karakteristik ibu hamil dikumpulkan melalui kuisoner. Uji statitistik ada 2 tahap yaitu univariate
dan bivariate. Terdapat 10 orang dengan hasil sistoliknya lebih rendah setelah relaksasi daripada
sebelum relaksasi, 16 orang tetap, dan 0 orang mempunyai sistolik yang tinggi dari sebelum
relaksasi. Test statistics menunjukkan hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai P <0,05, dengan
demikian disimpulkan terdapat perbedaan rerata sistolik antara sebelum relaksasi dan sesudah
relaksasi.Jika dilihat dari perbedaan rerata tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah relaksasi
yaitu sebesar 5 mmHg Sedangkan tekanan diastolic sebelum dan sesudah relaksasi tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,06). Hal tersebut juga terlihat dari perbedaan rerata
diastolic antara sebelum dan sesudah relaksasi yaitu nol. Secara deskriptif, terdapat 4 orang
dengan hasil diastoliknya lebih rendah setelah relaksasi daripada sebelum relaksasi, 22 orang
tetap, dan 0 orang mempunyai diastolik yang tinggi dari sebelum relaksasi.Kesimpulan ada
penurunan tekanan darah sistolik setelah dilakukan relaksasi progresif. Sedangkan tekanan
diastolik tidak ada penurunan yang signifikan dengan dilakukan relaksasi progresif. Tidak terjadi
penurunan tekanan darah yang signifikan terutama tekanan darah diastolik hal ini dapat
disebabkan waktu pemberian atau latihan relaksasi yang singkat yaitu 1 bulan.
Kata Kunci : Relaksasi Progresif, hipertensi pada ibu hamil

Abstract. Hypertension is one of the complication in the pregnancy. Hypertension was defined
as systolic and diastolic pressure increased until it reaches or exceeds140/90 mmHg. Hypertensice
disease in pregnancy plays a major role in morbidity and maternal mortality and perinatal,
complications of hypertension is estimated to be approximately 7-10% of all pregnancies. One of
the measure for hypetension in pregnant women is the relaxation. Relaxation is one way that can
be done by individuals to reduce stress, and reduces blood pressure due to relaxation training can
be by achieved a relaxed state, the general decline in the level of tension and increase comfort.
Purpose research to knowing in purpose of effectiveness research provision progressive
relaxation in pregnant women with hypertension the public health service in Palangka Raya.
Method used in this study was quasi experemental approach to pre and post test, blood pressure
was measured before and after administration of progresive relaxation. Maternal characteristics
data collected throught questionnaires. The are 2 test statistic univariate and bivariate stages.
There are 10 people with lower systolic outcomes after relaxation than before relaxation, 16
people remain, and 10 people have high systolic relaxation than before. Test stastics show the
result obtained by the Wilcoxon test P< 0,05, thus there is a difference rerata sistolic concluded
between the before and after relaxation. It seen from the diffrence in mean systolic blood pressure

56

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

before and after the relaxation is equal to 5 mmHg, while diastolic pressure before and after
relaxation showed significant diffrence (P>0,06). It is also evident from the mean diastolic
difference between before and after relaxation is zero. Discriptively, the are 4 people with lower
diastolic result after relaxation than before relaxation, 22 people remain, and o people have high
distolic relaxation of before. There is a decrease in systolic blood pressure after progresive
relaxation while the diastolic pressure there was no significant decrease with progressive
relaxation cone.
Keywords :Progressive relaxation, hypertension in pregnance women
Pendahuluan
Pada masa kehamilan ibu harus
mempersiapkan diri sebaik-baiknya, karena
ibusehatakanmelahirkanbayi yang sehat,
begitu pula sebaliknya. Faktor kesehatan ibu
sangat menentukan dalam menentukan
kemampuan melahirkan bayi yang sehat.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kesehatan ibu dan kemampuan dalam
melahirkan bayi yang sehat adalah ibu hamil
dengan penyakit hipertensi.
Penyakit hipertensi pada kehamilan
berperan besar dalam morbiditas dan
mortalitas maternal dan parinteral, hipertensi
diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7-10
% seluruh kehamilan. Di dunia yaitu berkisar
5-8% disebabkan oleh hipetensi dalam
kehamilan. Di Amerika Serikat, kematian ibu
disebabkan
hipetensi dalam kehamilan,
preeklampsia dan eklampsia kurang dari 1%
dan kematian janin sekitar 12%. Di negara
berkembang Kematian ibu yang disebabkan
oleh
Hipetensi dalam kehamilan dan
Preeklampsia Berat (PEB) masih tinggi,
sekitar 5 10 %, dan kematian janin sekitar
40 %. Dari seluruh ibu yang mengalami
hipertensi selama masa hamil, setengah
sampai dua pertiganya didiagnosa mengalami
preeklamsi
atau
eklamsi.
Prevalansi
kehamilan pada wanita dengan penyakit ginjal
kronis atau penyakit pembuluh darah seperti
hipertensi esential, diabetus mellitus dan lopus
eritematosus meningkat sampai 20-40%.1
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia
saat ini masih tinggi dibandingkan dengan
AKI negara-negara ASEAN lainnya. Angka
kematian ibu di Indonesia pada tahun 2006
sebanyak 255 per 100.000 kelahiran hidup,
tahun 2007 sebanyak 228 per 100.000
kelahiran hidup, dan pada tahun 2008
sebanyak 248 per 100.000 kelahiran hidup.
Penyebab kematian ibu yang paling besar
adalah
perdarahan
28%,
keracunan

kehamilan/eklamsi (kaki bengkak dan darah


tinggi) sebanyak 24% dan infeksi sebanyak
11%. Pada tahun 2009 angka kematian ibu
(AKI) masih cukup tinggi, yaitu 390 per
100.000 kelahiran hidup. 2
Di Indonesia preeklampsia-eklampsia
masih merupakan salah satu penyebab utama
kematian maternal dan kematian perinatal
yang tinggi. Hipertensi diperkirakan menjadi
komplikasi sekitar 7% sampai 10 % seluruh
kehamilan. Hipertensi dalam Kehamilan
adalah penyebab kematian utama ketiga pada
ibu hamil setelah perdarahan dan infeksi.
Angka kejadian Hipertensi dalam Kehamilan
kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan. 3
Salah satu tindakan untuk mengatasi
hipertensi pada ibu hamil adalah dengan
relaksasi. Relaksasi merupakan salah satu cara
yang dapat dilakukan sendiri oleh individu
untuk mengurangi stres, kekalutan emosi dan
bahkan dapat mereduksi pelbagai gangguangangguan fisiologis dalam tubuh sehingga
dengan
relaksasi dapat memberikan
keuntungan secara fisik dan psikis yaitu
memberikan rasa tenang, mengurangi tekanan
darah, mengatur pernafasan, mengurangi atau
bahkan terhindar dari serangan panik akibat
kekurangan oksigen, memperlancar aliran
darah, mengurangi pegal akibat meningkatnya
tekanan otot di saat stres, menghilangkan
gangguan somatisasi seperti sakit kepala
(migrain), sakit
Punggung, memberikan
kontrol baik ketika marah atau frustrasi,
memberikan tenaga lebih dalam menghadapi
stres, meningkatkan kemampuan konsentrasi,
memberikan ketenangan dalam pengambilan
keputusan dan tenang dalam menghadapi
masalah dan bertindak lebih efisien.
Penelitian yang dilakukan oleh Reshma
dkk
dengan judul Effect of Relaxation
Therapy
on mild
pregnancy incuded
hypertesiondengan menggunakan metode
kuasi eksperimen
didapatkan hasil
57

Tinse, Kusnaningsih, Theresia, Efek Pemberan Relaksasi pada Ibu Hamil dengan Hipertensi

terapirelaksasitelahmengurangitingkatstrespad
aibuhamil
pertama
dengan
dengan hipertensi yaitu rata-rata Score
prarelaksasi 17,4, dan postrelaksasi 7,17.
Berdasarkan hal itu maka penelitian ini
bertujuan
untuk
mengetahuiEfektifitas
Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu
Hamil Dengan Hipertensi.
Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan
quasi eksperimen dengan pendekatan pre dan
post test yaitu tekanan darah ibu diukur
sebelum dan setelah diberikan relaksasi
progresif. Prosedur yang dilakukan yaitu pada
awal penelitian tekanan darah ibu diukur,
bagi ibu dengan tekanan darah yang melebihi
140/90 mmHg diberikan relaksasi progresif
dengan frekuensi 2 kali dalam seminggu
selama 1 bulan, dan terakhir dilakukan
pengukuran tekanan darah kembali.Penelitian
dilakukan di Puskesmas Sekota Palangka
Raya dengan waktu Penelitian dilaksanakan
selama 6 bulan yaitu dari bulan Juni sampai
dengan Desember 2011.Populasi dalam
penelitian ini adalah semua ibu hamil dengan
hipertensi di Puskesmas sekota Palangka
Raya.Sampel penelitian ini adalah semua ibu
hamil yang ada di puskesmas sekota Palangka
Raya dengan hipertensi (tekanan darah di
atas 140/90 mmHg) . Besar sampel dalam
penelitian ini adalah sesuai kriteria subyek
penelitian yang dibatasi oleh lamanya waktu
penelitian yaitu berjumlah 26 orang dengan
kriteria inklusi ibu hamil dengan hipertensi
tanpa melihat usia kehamilan dan berapa
jumlah kehamilan, kesadaran kompos mentis,
dan kriteria inklusi ibu hamil dengan diabetes
mellitus, gangguan perdarahan, ibu hamil
dengan
riwayat
penyakit
hati,
dan
ginjal.Variabel yang diteliti dalam penelitian
ini terdapat dua variabel yaitu variabel
independen
dan
dependen.
Variabel
independen yaitu relaksasi progresif dan
variabel dependen penurunan tekanan darah.

Pengumpulan data dilakukan pada kelompok


ibu hamil dengan hipetensi dan dilakukan
relaksasi progresif, selanjutnya data yang
diperoleh
diolah dan dianalisa dengan
menggunakan aplikasi statistik pada program
komputer.
Hasil Dan Pembahasan
Karakteristik responden dalam penelitian
inidilihat dari umur, pekerjaan, pendidikan
dan usia kehamilan. Responden yang berumur
kurang dari 20 tahun (< 20 tahun) sebanyak
5orang (19%), umur 20-35 tahun sebanyak 16
orang (62%) dan lebih dari 35 tahun (> 35
tahun)
sebanyak 5 orang (19%).
Perkerjaannya adalah sebagai Ibu Rumah
Tangga yaitu sebanyak 16 orang (62%), dan
yang lainnya swasta sebanyak 7 orang (27 %)
dan PNS sebanyak 3 orang (11%).Dari umur
dan pekerjaan terlihat bahwa sebagaian besar
responden berada pada usia produktif yaitu 16
orang dan bekerja baik sebagai ibu rumah
tangga, swasta dan PNS. Seorang ibu yang
bekerja
bertujuan
untuk
membantu
perekonomian keluarga, dan stess dari
pekerjaan dapat dapat memberikan dampak
tersendiri terutama pada ibu yang sedang
hamil.
Berdasarkan
tingkat
pendidikan
responden dalam penelitian ini adalah
SD/Sederajat yaitu sebanyak 9 orang (34,6%),
SMP/sederajat
9
orang
(34,6%),
SMU/sederajat 5 orang (19,2%), perguruan
tinggi (PT) 1 orang (3,8%) dan tidak sekolah
2 orang (7,6%). Dari tingkat pendidikan
terlihat bahwa masih banyak responden pada
tingkat pendidikan SD dan tidak sekolah.
Tingkat pendidikan termasuk dalam latar
belakang psikososial yang dapat menjadi
penyebab stress pada ibu.
Usia
kehamilan
respondendalam
penelitian ini adalah usia kehamilan lebih dari
20 minggu (> 20 minggu) sebanyak 24 orang
(92%) dan kurang dari 20 minggu (<20
minggu) sebanyak 2 orang (8%).

58

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

Tabel 1. KarakteristikSubjekPenelitian (n=26)


Karakteristik

Rerata

SD

Min-Max

Sistoliksebelum (mmHg)

150

8,9

140-170

Sistoliksesudah (mmHg)

145

9,5

130-160

Dstoliksebelum (mmHg)

90

4,7

90-100

Diastoliksesudah (mmHg)

90

5,5

80 - 100

Analisis
bivariate
yang
digunakanyaituujihipotesis non parametric
Wilcoxon (uji alternative dependent Ttest).Uji ini digunakan karena setelah
dilakukan transformasi data untuk upaya
distribusi data menjadi normal tidak berhasil.
Tabel2.memperlihatkan hasil uji analisis
Wilcoxon. Terdapat 10 orang dengan hasil
sistoliknya lebih rendah setelah relaksasi
daripada sebelum relaksasi, 16 orang tetap,
dan 0 orang mempunyai sistolik yang tinggi
dari sebelum relaksasi. Test statistics
menunjukkan hasil uji Wilcoxon diperoleh
nilai P <0,05, dengan demikian disimpulkan
terdapat perbedaan rerata sistolik antara

sebelum relaksasi dan sesudah relaksasi. Jika


dilihat dari perbedaan rerata tekanan darah
sistolik sebelum dan sesudah relaksasi yaitu
sebesar 5 mmHg (table 4.1.).
Sedangkan tekanan diastolic sebelum dan
sesudah
relaksasi
tidak
menunjukkan
perbedaan yang signifikan (p>0,06). Hal
tersebut juga terlihat dari perbedaan rerata
diastolic antara sebelum dan sesudah relaksasi
yaitu nol. Secara deskriptif, terdapat 4 orang
dengan hasil diastoliknya lebih rendah setelah
relaksasi daripada sebelum relaksasi, 22 orang
tetap, dan 0 orang mempunyai diastolik yang
tinggi dari sebelum relaksasi.

Tabel 2. Analisis Non Parametrik Wilcoxon Tekanan Darah Sistolik dan Distolik Sebelum dan
Sesudah Relaksasi (n=26)
N
Sistoliksesudahrelaksasi
sistoliksebelumrelaksasi

Diastoliksesudahrelaksasi
diastolicsebelumrelaksasi

Statistik

Negative Ranks

10a

Positive Ranks

0b

Ties

16c

Total

26

Negative Ranks

4a

Positive Ranks

-2,84

0,005

-1,890

0,06

Ties

22c

Total

26

a. after<before
b. after>before
c. after =before

Relaksasi pada ibu hamil dengan


hipertensi dapat membantu menurunkan
tekanan darah. Dalam penelitian ini
menunjukkan terjadi penurunan tekanan darah

dengan pada ibu hamil dilakukan relaksasi


yaitu
terdapat
10
orangdenganhasilsistoliknyalebihrendahsetela
hrelaksasidaripadasebelumrelaksasi, 16 orang

59

Tinse, Kusnaningsih, Theresia, Efek Pemberan Relaksasi pada Ibu Hamil dengan Hipertensi

tetap, dan 0 orang mempunyaisistolik yang


tinggidarisebelumrelaksasi.
Hal
inisesuai
dengan
penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Reshma dkk
pada penelitiannya yang berjudul Effect of
Relaxation Therapy on mild pregnancy
incuded
hypertesionmenunjukkanbahwa,
terapirelaksasitelahmengurangitingkatstrespad
aibuhamil
pertama
dengan
dengan hipertensi.Studi menunjukkan bahwa
stres memainkan peranan besar dalam tekanan
darah tinggi. Pernapasan lambat adalah teknik
aktif untuk mengurangi stres dan tekanan
darah membuka pembuluh darah santai otot di
diafragma.
Sistem saraf manusiater diri dari atas
system saraf pusat dan system saraf
otonom.Sistem saraf otonom terbagi menjadi
system saraf simpatetis yang bekerja
diantaranya dengan meningkatkan rangsangan
atau memacu organ-organ tubuh dan saraf
parasimpatetis yang menstimulasi turunnya
semua fungsi yang dinaikkan oleh system
saraf simpatetis dan menstimulasi naikknya
semua fungsi yang diturunkan oleh saraf
simpatetis. Saat tubuh mengalami ketegangan
dan kecemasan maka yang bekerja adalah
system saraf simpatetis sedangkan system
saraf para simpatetis bekerja pada waktu
tubuh dalam keadaan rileks. Dengan demikian
relaksasi dapat menekan rasa tegang dan rasa
cemas.4,6
Relaksasi aka nmengubah ketegangan
otot menjad irelaks, sehingga tekanan darah
penderita
hipertensi
dapat
diturunkan.Relaksasi memperlancar proses
metabolism tubuh, laju denyutjantung,
peredaran darah.4,6
Relaksasi dapat mengurangi ketegangan
dan kecemasan.Relaksasi adalah suatu teknik
yang merupakan bagian dari terapi perilaku.
Relaksasi adalah perpanjangan serabut otot
skeletal, sedangkan
ketegangan adala
hkontraksi terhadap perpindahan serabu
totot.4,6
Gold friend dan trier melaporkan terapi
relaksasi efektif menurunkan kecemasan,
metode yang digunakan sebagai self control
coping skill. Jacobson melaporkan bahwa
terjadi penurunan nadi dan tekanan darah pada
pasien ansietas setelah dilakukan terapi
relaksasi. Prawitasari melaporkan bahwa
terapi relaksasi sangat efektif untuk pasien

dengan kecemasan menyeluruh, kecemasan


berbicara di muka umum.4,5,6
Karyono dkk melaporkan bahwa
relaksasi dapat menurunkan tekanan darah
sistolik dan diastolic pada pasien hipertensi.6
Relaksasi
bernafas
lambat
dapat
membuat nafas menjadi lebih dalam dan
lambat. Dengan bernafas secara rutin dapat
membantu mengatur tekanan darah. Bernafas
lambat selama 15 menit selama 2 bulan dapat
menurunkan tekanan darah 10-15 poin.4,5,6
Kesimpulan Dan Saran
Pada ibu hamil yang mengalami
hipertensi setelah
dilakukan
relaksasi
progresif, terdapat penuruan tekanan darah
terutama tekanan darah sistolik. Sedangkan
tekanan diastolik tidak ada penurunan yang
signifikan dengan dilakukan relaksasi
progresif. Tidak terjadi penurunan tekanan
darah yang signifikan terutama tekanan darah
diastolik hal ini dapat disebabkan waktu
pemberian atau latihan relaksasi yang singkat
yaitu 1 bulan. Penelitian tentang relaksasi
progresif pada ibu hamil dengan hipertensi ini
perlu dilanjutkan,
terutama waktu
pelaksanaan relaksasi. Diperlukan waktu >1
bulan dengan frekuensi yang sering untuk
melihat tingkat keefektifitas relaksasi terhadap
penurunan
tekanan
darah.Perlu
dipertimbangkan untuk penggunaan relaksasi
progresif dalam penanganan ibu hamil dengan
hipertensi.Perlu
disosialisasikan
hasil
penelitian agar bisa dimamfaatkan oleh
masyarakat terutama ibu hamil.
Daftar Pustaka

1. Bobak. 2004. KeperawatanMaternitas.


Jakarta : EGC

2. Manuaba

Ida
Bagus.
1993.
PenuntunKepanitraanKlinikObstetridanG
inekologi. Jakarta : EGC
3. PedomanPengelolaanHipertensiDalamKe
hamilan di Indonesia,
Edisi 2.
HimpunanKedokteranFetomaternal
.
POGI 2005
4. Jones Richard Nelson. 2011, Teori dan
Praktik Konseling dan Terapi Yogyakarta
Pustaka Belajar

60

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

5. Karyono, 1994, Efekivitas Relaksasi


Dalam Menurunkan Tekanan Darah Pada
Penderita Hipertensi Ringan, Yogyakarta
: Tesis Program Pasca Sarjana UGM.
6. Komala sari G., et al Teori dan Teknik
Konseling. Jakarta indeks
7. SS.Reshma, Alice Salins, SS. Kiron, and
M. Saritha, Effect of Relaxation Therapy

On
Mild
Hypertension

Pregnancy

incuded

61

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

1. Jurnal ini memuat naskah di bidang kesehatan.


2. Naskah hasil penelitian atau naskah konsep yang
ditujukan
kepada
Forum
Kesehatan,
belum
dipublikasikan di tempat lain.
3. Naskah yang dikirim harus disertai surat persetujuan
publikasi dan ditandatangani oleh penulisa.
4. Komponen naskah:
Judul ditulis maksimal 150 karakter termasuk huruf
dan spasi.
Identitas peneliti ditulis dicatatan kaki di halaman
pertama.
Abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
maksimal 200 kata, dalam satu alenia mencakup
masalah, tujuan, metoda, hasil, disertai dengan 3-5
kata kunci.
Pendahuluan tanpa subjudul, berisi latar belakang,
sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian.
Metode dijelaskan secara rinci, desain, populasi,
sampel, sumber data, teknik/instrumen pengumpul
data, prosedur analisa data.
Pembahasan mengurai secara tepat dan argumentatif
hasil penelitian, temuan dengan teori yang relevan,
bahasa dialog yang logis, sistematik, dan mengalir.
Tabel diketik 1 spasi sesuai urutan penyebutan dalam
teks. Jumlah maksimal 6 tabel dengan judul singkat.
Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian
tidak melampaui kapasitas temuan, pernyataan tegas.
Saran logis, tepat guna, dan tidak mengada-ada.
5. Rujukan sesuai dengan aturan Vancouver, urut sesuai
dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, dibatasi
25 rujukan dan 80% merupakan publikasi 10 tahun
terakhir.
Cantumkan nama belakang penulis dan inisial nama
depan. Maksimal 6 orang, selebihnya diikuti dkk (et
al).
Huruf pertama judul ditulis dengan huruf besar,
selebihnya dengan huruf kecil, kecuali penamaan
orang, tempat dan waktu. Judul tidak boleh digaris
bawah dan ditebalkan hurufnya.
Artikel Jurnal Penulis Individu:
Rivera JA, Sotres-Alvares D, Habicht JP, Shamah T,
Villalpando S. Impact of the Mexican Program for
Education, Health, and Nutrition on Rates of Growth
and Anemia in infants and young children a
randomized effectiveness study. JAMA. 2004;
291(21):2463-70.
Artikel Jurnal Penulis Organisasi
Diabetes Prevention Program Research Group.
Hypertension, insulin, and prosulin in participants with
impaired
glucose
tolerance.
Hypertension.
2002;40(5):679-86.

Buku yang ditulis Individu:


Price, SA, Koch, MW, Basset, S. Health Care Resource
Management: Present and Future Challenges. St. Louis:
Mosby;1998.
Buku yang ditulis Organisasi dan Penerbit:
Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide,
Departement of Clinical Nursing. Compendium of
nursing research and practice dvelopment, 1999-2000.
Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001.
Bab dalam Buku:
Soentoro. Penyerapan Tenaga Kerja Luar Sektor
Pertanian di Pedesaan. Dalam Faisal Kasryno, editor.
Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia.
Jakarta:Yayasan Obor; 1984. p.202-262.
Artikel Koran:
Tynan T. Medical improvements lower homicide rate:
study sees drop in assault rate. The Washington Post.
2002 Aug 12; Sect. A:2 (col.4).
CD-ROM:
Women and HIV/AIDS: Reproductive and Sexual
Health [CD ROM], London: Reproductive Health
Matters;2005.
Artikel Jurnal di Internet:
Griffith, AI. Cordinating Family and School:
Mothering for Schooling, Education Policy Analysis
Archives [Online]. 1997 Jan [Cited 1997 February12] ;
102 (3): [about 3 p.]. Available from:
http://olam.ed.asu.edu/epaa/.
Buku di Internet:
Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative
care for cancer [monograph on the internet].
Washington: National Academy Press; 2001 [cited
2002
Jul
9].
Available
from:
http://www.nap.edu/books/0309074029/html/.
Situs Internet:
Canadian Cancer Society [homepage on the internet].
Toronto: The Society; 2006 [update 2006 May 12;
cited
2006
Oct
17].
Available
from:
http://www.cancer.ca/.
6. Naskah maksimal 20 halaman kuarto spasi ganda,
ditulis dengan program komputer Microsoft Word,
dalam softcopy dan 2 (dua) eksemplar copy dokumen
tertulis.
7. Naskah harus disertai surat pengantar yang
ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada
permintaan tertulis.
8. Naskah dikirimkan kepada: Redaksi Jurnal Forum
Kesehatan, Perpusatakaan Gedung B Lantai 2
Politeknik Kesehatan Palangka Raya, Jalan George
Obos No.32 Palangka Raya. Telp/Fax: 0536-3230730
Atau email : forumkesehatan@gmail.com.

UNIT PPM

Anda mungkin juga menyukai