Anda di halaman 1dari 14

OLEH : KELOMPOK 6

MARAKNYA BISNIS PROSTITUSI DI


INDONESIA

Industri bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan


erotis, seperti misalnya prostitusi, pornografi, dll
Prostitusi memang bukanlah hal yang baru di muka bumi
ini. Sejak jaman nenek moyang, jaman penjajahan hingga
jaman sekarang, yang katanya semakin beradabnya
tingkat kebudayaan manusia, fenomena yang satu ini
tetap menjadi sebuah trend dalam kehidupan sosial
kita. Definisi prostitusi sendiri adalah pertukaran
hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu
transaksi perdagangan

Latar Belakang

kegiatan prostitusi bawah tanah tetap saja marak


di kota-kota besar di Indonesia. Prostitusi
merupakan ladang bisnis bagi mereka yang
terjepit oleh tuntutan zaman dan ekonomi yang
semakin harus terus dipenuhi. Akan tetapi
tindakan tersebut juga merupakan sebuah tindak
kejahatan yang dapat merugikan apabila mereka
mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan
seperti penganiayaan serta diskriminasi oleh
beberapa pihak.

Prostitusi dan perdagangan wanita merupakan kajian


yang berbeda, namun bisa jadi dan sangat mungkin saling
mendukung.
Banyak faktor yang menyebabkan praktek prostitusi baik
secara internal maupun eksternal. Dari beberapa
penelitian faktor itu antara lain karena kemiskinan,
pendidikan yang rendah, sosial budaya, dan tetek bengek
lainnya

Bisnis Prostitusi

Arus perdagangan perempuan di tanah air memang cukup


tinggi. Pengangguran di depan mata yang sudah
menggunung tak kurang dari 40 juta jiwa menjadi pintu
awal kemungkinan terjadinya perdagangan perempuan.
Perdagangan perempuan terjadi manakala dipicu oleh
faktor
tingginya
angka
pengangguran
dan
meningkatnya kemiskinan
yang ada
dalam
masyarakat

faktor ekonomi, yaitu sebanyak 45%


faktor putus cinta sebanyak 20%
faktor lingkungan 15%
faktor hasrat seks 10%, dan
faktor tipuan mucikari yang katanya hendak mencarikan
kerja yang pantas dan gajinya besar sebanyak 10%.

Faktor Penyebab
Prostitusi

Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM)


dalam penanganan masalah prostitusi selama ini
sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa
ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi
sangat kental dialami perempuan yang
dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga
miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi
pun mereka tak memiliki banyak kesempatan
untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat
jalan itu terbuka.

Bentuk Penanganan

Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah


tangkap karena ada asumsi bahwa setiap perempuan yang
keluar pada malam hari adalah perempuan nakal,
sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah
dipersoalkan. Nuansa bias jender di sini terjadi selain
dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang
laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta
pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara
hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat
hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh
pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, didata,
diberi penyuluhan dan disuruh membayar denda, atau
dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan.
Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat
selama proses penertiban.

Selama ini pendekatan yang digunakan, khususnya oleh


pemerintah, masih belum manusiawi. Untuk itu ada
beberapa hal yang patut diperhatikan:
Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang
legalistik-formil dan militeristik, seperti yang digunakan
aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak
menyelesaikan masalah. Kalaupun dilakukan penertiban
prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly
dengan pendekatan kemanusiaan.

Pendekatan
Kemanusiaan

Kedua, penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan,


holistik, dan integratif. Termasuk memberi penyadaran, mulai
dari pola pikir aparat, masyarakat, rohaniwan, sampai sikap dan
perilaku bahwa perempuan yang dilacurkan adalah korban.
Bersama-sama kita bahu-membahu mencari solusi persoalan,
memberi bekal para perempuan yang dilacurkan untuk
menopang ekonomi keluarga
Ketiga, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan
mereka, seperti sampah masyarakat, penyakit masyarakat, dan
penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus dihentikan.
Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa
semacam ini yang juga termin dalam kebijakan pemerintah,
harus dihapuskan.

Keempat, mulai sejak kurikulum pendidikan calon


petugas tramtib, penggunaan pola militeristik yang
menonjolkan kekerasan harus dihapus. Yang kemudian
melakukan penertiban, diharapkan bukan hanya aparat
laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah
proporsional

penanganan prostitusi tidak dapat dilakukan secara sembarangan


dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral semata.
Prostitusi adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial,
budaya, ekonomi, politik serta moral dan agama. upaya
menanggulangi prostitusi hanya dengan pendekatan moral dan
agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah itu.
Pemerintah bersama seluruh masyarakat disarankan untuk
menggunakan pendekatan sosial, budaya, ekonomi, politik
selain moral dan agama untuk mencari penyelesaian serta
menjawab persoalan prostitusi secara komprehensif. Setidaknya,
upaya itu dapat menekan dan meminimalkan perilaku prostitusi
yang berkembang dalam masyarakat luas

Upaya Penghapusan
Prostitusi

Perdagangan wanita merupakan praktek illegal yang


membahayakan moral bangsa. Banyak faktor, mengapa orang
melakukan perdagangan haram itu, salah satu faktor terbesar
adalah tuntutan ekonomi. Meski hidup ini semakin sulit
mencari sumber penghidupan dengan cara halal, sebaiknya
masyarakat tidak putus asa dan memilih mencari sumber
penghidupan dengan cara yang tidak halal.
Perdagangan wanita menjadi bisnis prostitusi yang akan
mengancam masa depan bangsa. Maka, sebaiknya masyarakat
bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga non-profit
untuk mengkampanyekan upaya pencegahan maupun
penanggulangan bahaya laten perdagangan wanita ini.

KESIMPULAN

masyarakat dituntut menentukan apakah prostitusi


sebagai bisnis
atau sebuah kejahatan. Apabila
masyarakat memang termasuk pihak yang apatis ataupun
justru ikut menikmati industri ini, maka bisa saja
dikatakan sebagai bisnis. Tapi tatkala yang menjadi
korban perdagangan wanita adalah seseorang yang
dicintai, baru disadari bahwa industri ini adalah bisnis
yang sangat jahat.

Anda mungkin juga menyukai