Anda di halaman 1dari 3

Crimes Of War :

What the Public Should Know

Di luar Pertempuran
(Hors de Combat)
Oleh Kurt Schork

Pasukan tentara Irak dan gerilyawan Kurdi bertempur beberapa hari pada
peperangan puncak di dalam kota Sulaymaniyah dan sekitarnya pada Oktober
1991. Menjelang sore hari, ketiga pertahanan Irak di Sulaymaniyah terdesak ke
komplek bangunan di sudut barat daya kota. Saya menyaksikan ratusan warga
Kurdi berdatangan untuk memberikan tekanan terakhir bagi pasukan Irak.

Setelah kurang lebih satu jam saling menembaki dengan senapan, roket dan
mortar, Kurdi telah menduduki area terbuka di sekitar komplek dan deretan
terdepan dari komplek tersebut. Saat pasukan Kurdi maju mendekati deretan
bangunan terakhir, mereka telah menciptakan tumpukan mayat dan prajurit Irak
yang terluka. Prajurit Irak di area terbuka tersebut menunjukkan dengan jelas
bahwa mereka telah menyerah, dengan meletakan senjata mereka, berlutut di
tanah dan meletakan tangan mereka di belakang kepala. Banyak di antaranya
berteriak “Allahu Akbar” (Tuhan Maha Besar), meminta belas kasihan. Tidak
ada lagi tembakan yang dilepas dari bangunan utama, dimana prajurit Irak yang
tersisa berada. Akibatnya, pertempuran berakhir.

Prajurit-prajurit Irak yang saya lihat, telah berada di luar pertempuran (hors de
combat) dan karenanya berhak untuk dilindungi, tidak diserang, dan
diperlakukan manusiawi berdasarkan ketetapan hukum humaniter
internasional. Pasal 3 pada konvensi Genewa tahun 1949, yang mengatur
“konflik yang tidak bersifat internasional” seperti pemberontakan Kurdi di utara
Irak, menyebutkan: “orang-orang yang tidak terlibat dalam kekerasan, termasuk
anggota pasukan bersenjata yang telah meletakkan senjata mereka dan mereka
yang ditempatkan di luar pertempuran karena sakit, luka, tawanan, atau sebab-
sebab lain, akan diperlakukan secara manusiawi dalam kondisi apapun.”

Bagi mereka yang dianggap di luar arena perang (hors de combat), pasal
tersebut melarang “kekerasan terhadap nyawa dan manusia, khususnya
pembunuhan, memotong bagian tubuh, perlakuan kejam dan siksaan. “
Larangan ini adalah absolut. Seperti ditegaskan dalam Penjelasan Komite
Palang Merah Internasional: “Tidak ada jalan keluar yang tersisa, tidak boleh
ada alasan, tidak ada keadaan yang dapat memperlonggarnya.” Dalam konflik
internasional, pelanggaran terhadap prinsip ini merupakan pelanggaran berat.

Namun bukannya menerima penyerahan tentara Irak tersebut, seperti yang


diatur oleh hukum dan seperti yang telah terjadi pada perang sebelumnya di
sekitar Sulaymaniyah, pasukan Kurdi mengeksekusi tentara Irak yang sudah
menyerah. Seorang prajurit Irak yang tidak memiliki senjata, dan mengangkat
tangan ke udara, ditembak dan dibunuh beberapa langkah dari saya. Di
dekatnya, tujuh tawanan tak bersenjata yang sedang berlutut di tanah ditembak
beberapa saat kemudian. Secara perorangan atau kelompok, semua prajurit
Irak yang saya lihat diluar bangunan utama dieksekusi. Tidak satupun dari
mereka memiliki senjata, ataupun melawan atau mencoba meloloskan diri.

Saat saya mencapai bangunan utama, sedikitnya 75 tentara Irak telah


terkepung di dalam satu ruangan besar. Tidak satupun bersenjata dan banyak
di antaranya tampak luka karena bentrokan sebelumnya. Semua tawanan ini
juga ditembak dan dibunuh. Kurdi dengan senjata Kalashnikovs-nya, terus
menembakkan senapan mereka hingga terbentuk tumpukan mayat berlumuran
darah. Beberapa warga Kurdi yang tidak bertempur ikut bergabung dalam
pembantaian itu, memukul kepala prajurit Irak yang belum mati dengan
bongkahan beton, hingga kepala itu pecah. Dalam waktu tiga puluh menit,
sekitar 125 prajurit Irak yang berada dalam lokasi tersebut, akhirnya tewas.

Pembunuhan terhadap para tentara Irak ini adalah kejahatan perang, bahkan
bila dilihat dari definisi tersempit hukum hak asasi manusia internasional. Sekali
seorang pejuang “jatuh ke tangan musuh”, dilumpuhkan, berniat menyerah, atau
tertangkap, ia berhak atas perlindungan.

(Lihat Artikel ‘Meniadakan Pengampunan’)

Anda mungkin juga menyukai