Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Sindrom delirium adalah kondisi yang sering dijumpai pada


pasien geriatric di rumah sakit. Sindrom ini sering tidak terdiagnosis
dengan

baik

saat

pasien

berada

di

rumah

(akibat

kurangnya

kewaspadaan keluarga) maupun saat pasien sudah berada di unit


gawat darurat atau unit rawat jalan. Gejala dan tanda yang tidak
khas merupakan salah satu penyebabnya. Setidaknya 32% - 67% dari
sindrom ini tidak dapat terdiagnosa oleh dokter, padahal kondisi ini
dapat dicegah. Literatur lain menyebutkan bahwa 70% dari kasus
delirium tidak terdiagnosis atau salah terapi oleh dokter. Sindrom
delirium sering muncul sebagai keluhan utama atau tak jarang justru
terjadi pada hari pertama pasien dirawat dan menunjukkan gejala
yang berfl uktuasi. Keadaan yang terakhir ini tentujika tidak ada
keterangan yang memadai dari dokter- dapat disalahartikan keluarga
pasien sebagai kesalahan pengelolaan di rumah sakit.
Prevalensi sindrom delirium di ruang gawat akut geriatric RSCM
adalah 23% (tahun 2004) sedangkan insidensnya mencapai 17%
pada pasien yang sedang dirawat inap (2004). Sindrom delirium
mempunyai dampak buruk, tidak saja karena meningkatkan risiko
kematian sampai 10x lipat namun juga karena memperpanjang masa
rawat serta meningkatkan kebutuhan perawatan (bantuan ADL) dari
petugas kesehatan dan pelaku rawat.
Sindrom delirium memiliki banyak nama, beberapa literature
menggunakan istilah seperti acute mental status change, altered
mental status, reversible dementia, toxic/metabolic encephalopathy,
organic brain syndrome, dysergasticreaction dan acute confusional
state.

TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Delirium
adanya

adalah

perubahan

gangguan

suatu

kognitif

berbahasa)

dan

kondisi
akut

yang

dikarakterisasi

(defi sit

gangguaan

memori,

pada

dengan

disorientasi,

sistem

kesadaran

manusia. Delirium bukanlah suatu penyakit melainkan suatu sindrom


dengan penyebab multipel yang terdiri atas berbagai macam gejala
akibat dari suatu penyakit dasar.
Delirium
reversible,

didefi nisikan

akut

neuropsikiatri.

dan

sebagai

bermanifestasi

Delirium

sering

salah

disfungsi
klinis

cerebral

pada

yang

abnormalitas

diintrepretasikan

dengan

demensia, depresi, mania, schizophrenia akut, atau akibat usia tua,


hal ini dapat terjadi karena gejala dan tanda dari delirium juga
muncul pada demensia, depresi, mania, psikosis dll.
Kata delirium berasal dari bahasa latin yang artinya lepas
jalur. Sindrom ini pernah dilaporkan pada masa Hippocrates dan
pada tahun 1813 Sutton mendeskripsikan sebagai Delirium Tremens ,
kemudian Wernicke menyebutnya sebagai Encephalopathy Wernicke .

PATOFISIOLOGI
Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara
seutuhnya.

Delirium

menyebabkan

variasi

yang

luas

terhadap

gangguan struktural dan fi siologik.


a. Asetilkolin
Defi siensi
dengan

sindrom

neurotransmitter
delirium.

asetilkolin

Penyebabnya

sering

antara

dihubungkan

lain

gangguan

metabolisme oksidatif di otak yang dikaitkan dengan hipoksia dan


hipoglikemi. Faktor lain yang berperan antara lain meningkatnya
sitokin otak pada penyakit akut. Gangguan atau defi siensi asetilkolin
atau

neurotransmiter

mengganggu

lain

transduksi

maupun

sinyal

peningkatan

neurotransmitter

sitokin
serta

akan
second

messenger system . Pada gilirannya, kondisi tadi akan memunculkan


gejala-gejala serebral dan aktivitas psikomotor yang terdapat pada
sindrom delirium.
Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah
satu dari neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya
delirium.

Hal

yang

mendukung

teori

ini

adalah

bahwa

obat

antikolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan bingung, pada


pasien dengan transmisi kolinergik yang terganggu juga muncul
gejala ini. Pada pasien post- operatif delirium serum antikolinergik
juga meningkat.
b. Dopamine
Pada otak, hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik.

Pada

delirium

muncul

aktivitas

berlebih

dari

dopaminergik, pengobatan simptomatis muncul pada pemberian obat


antipsikosis seperti haloperidol dan obat penghambat dopamine.
c. Neurotransmiter lainnya
Serotonin; terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan
encephalopati hepatikum. GABA (Gamma-Aminobutyric acid); pada
pasien dengan hepatic encephalopati, peningkatan inhibitor GABA
juga ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien
hepatic encephalopati, yang menyebabkan peningkatan pada asam
amino glutamate dan glutamine (kedua asam amino ini merupakan
precursor GABA). Penurunan level GABA pada susunan saraf pusat
juga

ditemukan

pada

pasien

yang

mengalami

gejala

putus

benzodiazepine dan alkohol.


d. Mekanisme peradangan/infl amasi
Studi

terkini

interleukin-1

dan

menyatakan

bahwa

peran

sitokin,

interleukin-6,

dapat

menyebabkan

seperti
delirium.

Mengikuti setelah terjadinya infeksi yang luas dan paparan toksik,


bahan pirogen endogen seperti interleukin-1 dilepaskan dari sel.
Trauma
delirium,

kepala

dan

terdapat

iskemia,
hubungan

interleukin-1 dan interleukin 6.

yang
respon

sering
otak

dihubungkan
yang

dengan

dimediasi

oleh

e. Mekanisme reaksi stress


Stress

psikososial

dan

gangguan

tidur

mempermudah

terjadinya delirium.
f. Mekanisme struktural
Pada

pembelajaran

mendukung

hipotesis

terhadap

bahwa

jalur

MRI

terdapat

anatomi

data

tertentu

yang

memainkan

peranan yang lebih penting daripada anatomi yang lainnya. Formatio


reticularis dan jalurnya memainkan peranan penting dari bangkitan
delirium.

Jalur

tegmentum

dorsal

diproyeksikan

retikularis mesensephalon ke tectum dan

dari

formatio

thalamus adalah struktur

yang terlibat pada delirium. Kerusakan pada sawar darah otak juga
dapat

menyebabkan

menyebabkan

agen

delirium,

neurotoksik

mekanismenya
dan

sel-sel

karena

peradangan

dapat
(sitokin)

untuk menembus otak.

KRITERIA DIAGNOSTIK
Kriteria diagnostik delirium (APA, 1999) :
1. Gangguan kesadaran (yaitu penurunan kejelasan

/ clarity

atas kewaspadaan terhadap lingkungan) dalam hubungannya


dengan

penurunan

kemampuan

untuk

memfokuskan,

mempertahankan atau mengalihkan perhatian


2. Perubahan dari kognisi (misalnya suatu defi sit
disorientasi
gangguan
demensia

atau

gangguan

perceptual
yang

perkembangan
3. Timbulnya suatu

yang

mendasari
gangguan

bahasa)
tidak

atau

bi sa

atau
selama

memori

timbulnya

dijelaskan

suatu
dengan

yang

sedang

dalam

periode

pendek

(dalam

hitungan jam atau hari) dengan kecenderungan berfl uktuasi


sepanjang hari
4. Bukti anamnesis
laboratorium

yang

pemeriksaaan
menunjukan

fi sik

bahwa

atau

pemeriksaan

gangguan

tersebut

disebabkan oleh :
a. Kondisi medis umum
b. Intoksikasi suatu subtansi, efek samping atau penghentian
substansi tersebut

Delirium

ditandai

dari

perubahan

mental

akut dari

pasien,

perubahan fl uktuatif pada kognitif termasuk memori, berbahasa dan


organisasi.
a. Gangguan atensi
Pasien
dengan
memperhatikan.

delirium
Mereka

mengalami

mudah

kesulitan

melupakan

untuk

instruksi

dan

mungkin dapat menanyakan instruksi dan pertanyaan untuk


diulang berkali-kali. Metode untuk mengidentifi kasi gangguan
atensi

yaitu

dengan

menyuruh

pasien

menghitung

angka

terbalik dari 100 dengan kelipatan 7, mengurutkan nama hari


dalam

seminggu,

mengurutkan

nama

bulan

dalam

setahun/mengeja balik kata pintu .


b. Gangguan memori dan disorientasi
Defi sit memori, hal yang sering jelas terlihat pada pasien
delirium. Disorientasi waktu, tempat dan situasi juga sering
didapatkan pada delirium.
c. Agitasi
Pasien dengan delirium dapat menjadi agitasi sebagai akibat
dari disorientasi dan kebingungan yang mereka alami. Sebagai
contoh; pasien yang disorientasi menggangap mereka dirumah
meskipun

ada

dirumah

sakit,

sehingga

staff

rumah

sakit

dianggap sebagai orang asing yang menerobos kerumahnya.


d. Apatis dan menarik diri terhadap sekitar/withdrawal.
Pasien dengan delirium dapat menampilkan apatis dan
withdrawal. Mereka dapat terlihat depresi, penurunan nafsu
makan, penurunan motivasi dan gangguan pola tidur.
e. Gangguan tidur.
Pada pasien delirium sering tidur pada waktu siang hari tapi
bangun pada waktu malam hari. Pola ini digabungkan dengan
disorientasi,

kebingungan

dapat

menimbulkan

situasi

yang

berbahaya pada pasien yang resikonya dapat jatuh dari tempat


tidur, menarik kateter atau iv dan pipa nasogastric.
f. Emosi yang labil
Delirium dapat menyebabkan emosi pasien yang labil seperti
gelisah, sedih, menangis dan kadang-kadang gembira yang
berlebih. Emosi ini dapat muncul bersamaan ketika seseorang
mengalami delirium.
g. Gangguan persepsi
Terjadi halusinasi visual dan auditori.
h. Tanda tanda neurologis

Pada delirium dapat muncul tanda neurologis antara lain :


tremor gait, asterixis mioklonus, paratonia dari otot terutama
leher,sulit untuk menulis dan membaca dan gangguan visual.
Berdasar kan DSM-III R , 2 syarat berikut harus terpenuhi yaitu:
1. Derajat kesadaran menurun, misalnya sulit untuk tetap bangun
saat diperiksa
2. Gangguan persepsi, antara lain ilusi, delusi, halusinasi, dan
mis-interpretasi
3. Terganggunya siklus bangun tidur dengan terjadinya insomnia
tetapi siang hari tertidur
4. Aktifi tas psikomotor meningkat atau menurun
5. Disorientasi waktu, tempat, orang
6. Gangguan memori , misalnya tidak mampu belajar materi baru.

KLASIFIKASI SINDROM DELIRIUM


Klasifi kasi sindrom delirium berdasarkan aktivitas psikomotor
(tingkat/kondisi kesadaran, aktivitas prilaku) yakni :
a. Hiperaktif
Pasien yang hiperaktif paling sering dikenali di ruang rawat
karena sangat menyita perhatian dan biasanya terjadi pada
kurang

lebih

30%

kasus .

mengulang-ngulang

Gejala

(misalnya

tidur), mengembara, halusinasi


Pasien

nampak

mondar- mandir

gaduh
atau

biasanya

menarik-narik
dan agresi

gelisah,

mengomel

berupa
sprei

tempat

verbal dan fi sik.

berteriak-teriak,
sepanjang

p erilaku

hari.

berjalan
Dibanding

dengan tipe lain, pasien yang hiperaktif mempunyai prognosis


yang lebih baik. Hal yang perlu diperhatikan pada pasien yang
hiperaktif adalah hati-hati jangan sampai disalahartikan oleh
tenaga

kesehatan

ditenangkan

sebagai

dengan

pasien

memberi

sedang

obat

bad

sedatif

mood/

sering

jika

justru

memperburuk sindrom delirium.


b. Hipoaktif
Tipe ini lebih sulit untuk dikenali, terjadi pada kurang lebih
25%

kasus.

Penderita

tampak

tenang

dan

menarik

diri,

sehingga seringkali di diagnosis salah sebagai suatu depresi.


c. Campuran (paling sering)
Suatu pola tipe campuran yang berfl uktuasi dan meliputi suatu
periode sadar (lusid) terjadi pada kurang lebih 45% penderita .

ETIOLOGI
Hampir semua penyakit medis, intoksikasi atau medikasi dapat
menyebabkan delirium. Seringkali delirium merupakan multifaktorial
dalam etiologinya. Tiga kelompok penyebab bisa dikatakan sebagai
penyebab utama delirium, adalah keadaan patologik intraserebral,
keadaan

patologik

Gangguan

sensorik

ekstraserebral,
dan

depresi

dan

juga

penyebab

dapat

memicu

iatrogenik.
terjadinya

konfusio akut.
1. Dari penyebab serebral, diantaranya adalah :
a. Penyebab intraserebral, terdiri atas :
Ensefalopati

B12

hipertensi

Ensefalopati

Oedema serebral

Wernicke

Serangan

Psikosis Korsakoff

iskemik

otak sepintas
Lesi
(SOL)

Meningitis/ensefaliti

desak

ruang

yang

cepat

Penggunaan

membesar

sedatif/transquilizer/

Hidrosefalus

hipnotik berlebihan

Defi siensi

vitamin

b. Akibat penurunan pasokan nutrisi serebral :


Penyebab
Kardiovaskular

Infark miokard

Iskemik koroner
akut

Berbagai aritmia

Gagal jantung

Lain-lain :
endokarditis,
miokard

Penyebab
Respiratorik

Inf
eksi paru

E
mboli Paru

Pe
nyakit obstruktif
paru

La
in-lain :
Bronkiektasis,
abses paru, efusi
pleura,
pneumotoraks

Iatrogenik dan
sebab lain
Obat hipotensif
poten
Perdarahan dan
anemia
Hipoglikemi
Keracunan

2. Penyebab ekstra serebral, dapat dibagi menjadi :


a. Penyebab toksik :
Infeksi
Septikemia dan toksemia

Alkoholisme
b. Kegagalan mekanisme homeostatik :
Diabetes

melitus

asidosis laktat, dan

Gangguan elektrolit
Hipotermia
Dehidrasi
Hipertiroidisme,

hipoglikemi )
Gagal hati

miksedema
Pireksia

(keto -asidosis,

c. Lain- lain :
Retensi urin
Nyeri hebat
Hilang/
gangguan
sensorik

mendadak

(misalnya kebutaan)
Perubahan

mendadak
Ileus paralitik
Depresi
Karsinomatosis
Impaksi fekal
Insomnia
Obat- obatan

lingkungan
3. Penyebab Iatrogenik
Tabel. Obat-obatan
Obat-obatan yang dihubungkan dengan delirium
Amantadin
Anti hipertensif
Obat anti kolinergik
Anti parkinsonisme
Anti konvulsan
Atropin
Anti dep resan
Analgesik kerja sentral
Anti histamin
Kortikosteroid
Digoksin
Opiat
Hipoglikemik
Sedatif
Isoniazid
Penenang ( tranquilizer )
Obat yang dihubungkan dengan gangguan memori
Obat anti kolinergik
Kortikosteroid
Obat anti konvulsan
Fenotiazin
tertentu
Anti hipertensi tertentu
Obat psikotropik
Benzodiazepin
Sedatif
Beberapa kondisi yang lazim mencetuskan kondisi delirium
Iatrogenik
Pembedahan, kateterisasi, urin, physical
restraints
Obat-obatan
psikotropika
Gangguan
Insufi siensi ginjal, dehidrasi, hipoksia,
metabolik/cairan
azotemia
Penyakit
Demam, infeksi, stres, alkohol, putus obat
fi sik/psikiatrik
(tidur), fraktur, malnutrisi, gangguan pola
tidur
Overstimulation
Perawatan di ICU, atau perpindahan ruang

rawat

DIAGNOSIS
Kondisi delirium pertama kali dilaporkan sekitar 2000 tahun
yang lalu oleh Aurelius namun demikian pada tahun 1987 kriteria
diagnosis sindrom delirium dapat disepakati oleh para ahli kriteria
diagnosis ini dituangkan dalam diagnosis dan statistikal manual III
(DSM-III) yang telah direvisi dalam DSM-IV lima tahun kemudian.
Berdasarkan DSM-IV tersebut, telah disusun algoritma (disebut
Confusion

Assessment Method = CAM) untuk menegakkan diagnosis

sindrom delirium. Algoritma tersebut telah divalidasi oleh inouye et


al pada tahun 1990 sehingga dapat digunakan untuk penegakan
diagnosis. CAM ditambah uji mental status lain dapat dipakai sebagai
baku emas diagnosis. Uji status mental lain yang sudah lazim dikenal
antara lain Mini Mental State Examination (MMSE, fol stain), Delirium
Rating Scale, Delirium Symptom Interview. Kombinasi pemeriksaan
tersebut dapat dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit oleh tenaga
kesehatan yang terlatih dan cukup handal, spesifi k serta sensitif.
Satu tata cara diagnosis yang juga dipakai secara luas adalah
metoda pengkajian konfusio ( Confusion Assessment Method = CAM)
yang mendiagnosis delirium berdasarkan kriteria :
a.
b.
c.
d.

Awitan akut dan berfl uktuasi, DAN


Tidak ada perhatian, DAN
Fikiran tak teroganisasi, ATAU
Perubahan tingkat kesadaran
Berdasarkan kriteria DSM-IIIR, CAM ini mempunyai sensitivitas

>94%

dan

spesifi sitas

>90%

dalam

mendiagnosis

konfusio

(ASGM,2005).
Tabel. Mini Mental State Examination (MMSE)
N
o
1.

Daftar Pertanyaan

2.

Tanggal
berapakah
(bulan, tahun)
Hari apakah hari ini?

3.

Apakah nama tempat ini?

4.

Berapa
Bapak/Ibu?

nomor
(bila

hari

Penilaian
ini?

telepon
tidak
ada

0 2 kesalahan = baik
3 4 kesalahan = gangguan
intelek ringan
5 7 kesalahan = gangguan
intelek sedang
8 10 kesalahan = gangguan
intelek berat

5.
6.

telepon, dijalan apakah rumah


Bapak/Ibu?)
Berapa umur Bapak/Ibu?
Kapan Bapak/Ibu lahir? (tanggal,
bulan, tahun)

Bila penderita
tak
pernah
sekolah,
nilai
kesalahan
diperbolehkan +1 dari nilai di
atas.

7.

Siapakah nama gubernur kita?


(walikota/lurah/camat)
8. Siapakah
nama
gubernur Bila penderita sekolah lebih
sebelum
ini? dari SMA, kesalahan yang
(walikota/lurah/camat)
diperbolehkan -1 dari atas.
9. Siapakah nama gadis Ibu anda?
10 Hitung mundur 33, mulai dari
.
20!
Dari : Folstein and Folstein, 1990
DELIRIUM

MNEMONIC S

merupakan

suatu

rangkaian

kata

yang

dapat dipakai untuk membedakan diagnosis delirium :


I WATCH DEATH
Infection
Withdrawal
Acute
metabolic
Trauma

HIV, sepsis, pneumonia


alkohol, barbiturat, hipnotik-sedatif
asidosis,
alkalosis,
gangguan
elektrolit,
gagal
hepar, gagal ginjal
luka kepala tertutup, heat stroke, post- operasi,
subdural hematoma, abses et causa terbakar
CNS patologis
infeksi,
stroke,
tumor,
metastasis,
vaskulitis,
encephalitis, meningitis, sifi lis
Hipoksia
anemia,
keracunan
gas
CO,
hipotensi,
gagal
pulmoner atau gagal jantung
Defi siensi
vitamin B12, folat, niacin, thiamine
Endokrinopati
hiper/hipoadenokortism,
hiper/hipoglikemi,
miksudem, hiperparatiroidism
Acute vaskuler hipertensif encephalopati, stroke, aritmia, shock
Toxin
atau obat yang diresepkan, pestisida, pelarut berbahaya
obat
Heavy metals
mangan, air raksa, timah hitam

PENATALAKSANAAN (ROCKWOOD, 2003; SAMUELS, 2003)


Tujuan utama pengobatan adalah menemukan dan mengatasi
pencetus serta faktor predisposisi. Keselamatan pasien dan keluarga
harus diperhatikan. Comprehensive geriatric assessment (pengkajian
geriatri

paripurna)

sangat

bermanfaat

karena

akan

memberikan

gambaran lebih jelas tentang beberapa faktor resiko yang dimiliki


pasien.

Pemeriksaan

tak

hanya

terhadap

faktor

fi sik,

namun

juga

psikiatrik, status fungsional, riwayat penggunaan obat, dan riwayat


perawatan/penyakit/operasi

terdahulu

serta

asupan

nutrisi

dan

cairan sebelum sakit. Pemeriksaan tanda vital (kesadaran, tanda


rangsang meningeal, tekanan darah, frekuensi nafas dan denyut
jantung serta suhu rektal) sangat penting, selain untuk diagnosis
namun juga bermanfaat dalam evaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer lengkap,
elektrolit, analisis gas darah, gula darah, ureum, kreatinin, SGOT dan
SGPT, urin lengkap, EKG, foto toraks dan kultur darah harus segera
dilaksanakan.
Obat- obat yang tidak esensial untuk sementara dihentikan. Jika
terdapat kecurigaan terhadap putus obat (biasanya obat sedativum
atau hipnotikum) maka riwayat tersebut bisa diperoleh dari keluarga
atau pelaku rawat.
Pengobatan/penanganan yang diberikan tidak saja menyangkut
aspek fi sik, namun juga psikologik/psikiatrik, kognitif, lingkungan,
serta

pemberian

membahayakan

obat.

dirinya

Untuk
sendiri

mencegah
atau

orang

agar

pasien

tidak

lain

(pasien

yang

hiperaktif, gaduh gelisah bisa menendang-nendang, sangat agitatif,


agresif, bisa terjatuh dari tempat tidur atau bisa menciderai diri
sendiri) maka sebaiknya pasien ditemani pendamping atau yang
biasa mendampingi pasien. Mengikat pasien ke tepian tempat tidur
bukanlah tanpa risiko, misalnya trauma atau trombosis.
Data empiris manfaat obat untuk mengatasi gejala sindrom
delirium masih terbatas. Beberapa obat antipsikotik mempunyai efek
yang mampu menekan berbagai gejala hiperaktif dan hipoaktif dari
sindrom delirium; menjadi obat pilihan utama pada fase akut (agitasi
hebat, perilaku agresif, hostility, halusinasi atau gejala lain yang
membahayakan dirinya). Untuk kondisi diatas, haloperidol masih
merupakan
tanggapan

pilihan
pasien.

utama.

Dosis

juga

Dibandingkan

dapat

dengan

ditingkatkan
obat

lain

sesuai
seperti

chlorpromazin dan droperidol, haloperidol memiliki metabolit dan


efek antikolinergik, sedasi serta efek hipotensi yang lebih kecil
sehingga lebih aman. Dosis obat per oral pada umumnya dapat
diterima dengan baik, namun jika pasien tak mampu menelan maka

dapat diberikan intramuskular maupun intravena. Olanzapin dapat


diberikan sebagai tambahan jika agresivitas masih muncul dengan
dosis maksimal haloperidol. Beberapa laporan kasus menunjukkan
manfaat

antipsikotik

penghambat

generasi

kedua

asetilkolin-esterase;

intervensional

lebih

lanjut.

seperti

masih

Perlu

risperidon

diperlukan

dicatat

bahwa

dan

penelitian
penggunaan

antipsikotik harus dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan


secara bertahap jika diperlukan. Walaupun risiko efek samping yang
mungkin

muncul

rendah

namun

beberapa

efek

serius

seperti

perpanjangan QT dan torsades de pointes , gejala ekstrapiramidal


dan diskinesia putus obat dapat terjadi. Oleh karena itu penggunaan
antipsikotik harus dikonsultasikan ke psikiater geriatri.
Medikasi yang dapat diberikan antara lain :
1. Neuroleptik (haloperidol, risperidone, olanzapine)
a. Haloperidol (haldol)
Suatu

antipsikosis

dengan

potensi

tinggi.

Salah

satu

antipsikosis efektif untuk delirium.


DOSIS : Gejala ringan
Gejala berat
Geriatric

; 0,5-2 mg per oral


; 3-5 mg per oral

; 0,5- 2 mg per oral

Anak : 3-12 tahun ; 0,05mg/KgBB/hari


6-12 tahun ; 0,15mg/KgBB/hari
b. Risperidone (risperdal)
Antipsikotik golongan terbaru dengan efek ekstrapiramidal
lebih sedikit dibandingkan dengan haldol. Mengikat reseptor
dopamineD2 dengan afi nitas 20 kali lebih rendah daripada 5ht2-reseptor.
DOSIS : Dewasa : 0,5-2 mg per oral
Geriatric ; 0,5 mg per oral
2. Short acting sedative (lorazepam)
Digunakan untuk delirium yang diakibatkan oleh gejala putus
obat

atau

alkohol.

Tidak

digunakan

benzodiazepine

karena

dapat mendepresi nafas, terutama pada pasien dengan usia


tua, pasien dengan masalah paru.
DOSIS :
Dewasa : 0,5-2 mg per oral/iv/im

3. Vitamin thiamine (thiamilate) dan cyanocobalamine (nascobal,


cyomin, crystamine).
Seperti telah diungkapkan diatas bahwa defi siensi vitamin B 6
dan

vitamin

B12

dapat

menyebabkan

delirium

maka

untuk

mencegahnya maka diberikan preparat vitamin B per oral.


DOSIS :
Dewasa :
100 mg per iv (thiamilate)
100

mcg

per

oral/hari

(nascobal,

cyomin,

(nascobal,

cyomin,

crystamine)
Anak :
50 mg per iv (thiamilate)
10-50

mcg

per

im/hari

crystamine)
Secara umum penanganan yang bersifat suportif amat penting
dalam

pengelolaan

pengobatan

pasien

maupun

keseimbangan

dengan

sindrom

delirium,

dalam konteks pencegahan.

cairan

dan

elektrolit,

baik

Asupan

kenyamanan

untuk
nutrisi,

pasien

harus

diupayakan seoptimal mungkin. Keberadaan anggota keluarga atau


yang selama ini biasanya merawat akan sangat berperan dalam
memulihkan orientasi. Sedapat mungkin ruangan pasien haruslah
tenang

dan

cukup

penerangan.

Masih

dalam

konteks

orientasi,

dokter dan perawat harus mengetahui apakah sehari-hari pasien


mengenakan kacamata untuk melihat atau alat bantu dengar untuk
berkomunikasi dan mengusahakan agar pasien dapat mengenakan
manakala diperlukan setiap saat.
Hal umum lain yang perlu diperhatikan adalah perawat harus
waspada

bahwa

pasien

sangat

mungkin

tidak

mampu

menelan

dengan baik sehingga asupan per oral tidak boleh diberikan selama
belum terdapat kepastian mengenai kemampuan menelan. Dokter
yang

merawat

rehabilitasi

harus

medik

menilai

harus

menilai

kesadarannya
kemampuan

dan
otot

dokter

ahli

menelan

jika

pasien sadar. Setelah yakin bahwa kesadaran pasien compos mentis


dan

tidak

terdapat

kelumpuhan

otot

menelan

barulah

perawat

diizinkan memberikan asupan per oral. Selama perawatan, tanda


vital harus lebih sering dievaluasi, setidaknya setiap empat jam, jika
diperlukan dapat dinilai setiap dua atau bahkan setiap satu jam

tergantung

kondisi

pasien.

Penilaian

yang

lebih

sering

dengan

kewaspadaan yang tinggi ini diperlukan karena gejala dan tanda


klinik yang sangat berfl uktuatif. Selain tanda vital, jumlah produksi
urin dan cairan yang masuk harus diukur dengan cermat tiap empat
jam dan dilaporkan kepada dokter yang merawat agar perubahan
instruksi

yang

diperlukan

dapat

segera

dilaksanakan

tanpa

menunggu laporan keesokan harinya (akan terlambat).


Sehubungan dengan hal di atas, maka keluarga pasien atau
pelaku rawat yang menunggu harus diberi informasi tentang bahaya
aspirasi jika memberikan makanan atau minuman dalam keadaan
kondisi yang tidak compos mentis atau terdapat kelumpuhan otot
menelan. Diberitahukan pula perlunya kerja sama yang baik antara
perawat dengan penunggu pasien terutama perihal pemantauan urin
dan asupan cairan.
Perlu dicatat bahwa pasien sindrom delirium sering merasa apa
yang baru dialami saat delirium sebagai mimpi. Pada saat kondisi
pasien

membaik

maka

dokter

atau

perawat

harus

menjelaskan/mendidik pasien tentang keadaan yang baru dialaminya


untuk mengantisipasi atau mencegah episoda cemas.
Penatalaksanaan

spesifi k

ditujukan

untuk

mengidentifi kasi

pencetus dan predisposisi. Segera setelah faktor pencetus diketahui


maka dapat dilakukan tindakan yang lebih defi nitif sesuai faktor
pencetusnya. Memperbaiki faktor predisposisi harus dikerjakan tanpa
menunggu selesainya masalah terkait faktor pencetus.

DAFTAR PUSTAKA
Soejono, czeresna. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Jilid 1. Edisi
V. Jakarta : Interna publishing. 2009. 907 912
Stuart, Gw. and Sundeen S.J (1995). Perbandingan Delirium, Depresi dan
Demensia.St.louis : Mosby year book
White

S. The

Gerontol. 2002;12:62-67.

neuropathogenesis

of

delirium. Rev

Clin

American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders (DSM-IV-TR). 4th ed. Washington, DC: American Psychiatric
Association; 2000.

Anda mungkin juga menyukai