Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH MDGS KE EMPAT : MENURUNKAN

KEMATIAN ANAK

Di susun oleh:
KELOMPOK 4
1.
2.
3.
4.

FATHIMAH KURNIAWATI F0113039


HEVELYN PRISCILLIA S
F0113048
MAHARANI PRATIWI ANWAR F0113059
THEODORA REVIA
F0113088

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) adalah
Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan
butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan
pembangunan masyarakat pada 2015. Target ini merupakan tantangan utama dalam
pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium, dan diadopsi oleh 189
negara serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000 tersebut.
Pemerintah Indonesia turut menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York tersebut dan
menandatangani Deklarasi Milenium itu. Deklarasi berisi komitmen negara masing-masing dan
komunitas internasional untuk mencapai 8 buah sasaran pembangunan dalam Milenium ini
(MDG), sebagai satu paket tujuan yang terukur untuk pembangunan dan pengentasan
kemiskinan. Penandatanganan deklarasi ini merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin
dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan,
menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan
jender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3 , dan
mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015.
Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator sensitif untuk mengetahui derajat
kesehatan suatu negara bahkan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu bangsa. Dalam
pelayanan kebidanan (obstetric), selain Angka Kematian Maternal/Ibu (AKM) terdapat Angka
Kematian Perinatal (AKP) yang dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan pelayanan.
Namun, keberhasilan menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) di negara-negara maju saat ini
menganggap Angka Kematian Perinatal (AKP) merupakan parameter yang lebih baik dan lebih
peka untuk menilai kualitas pelayanan kebidanan. Hal ini mengingat kesehatan dan keselamatan
janin dalam rahim sangat tergantung pada keadaan serta kesempurnaan bekerjanya sistem dalam
tubuh ibu, yang mempunyai fungsi untuk menumbuhkan hasil konsepsi dari mudigah menjadi
janin cukup bulan.
Kematian perinatal (perinatal mortality) adalah jumlah bayi lahir-mati dan kematian bayi
dalam tujuh hari pertama sesudah lahir (early neonatal) yang terjadi dari masa kehamilan ibu 28

minggu atau lebih. Adapun angka kematian perinatal adalah jumlah lahir mati (umur kehamilan
ibu 28 minggu) ditambah jumlah kematian neonatal dini (umur bayi 0 7 hari) per jumlah
kelahiran hidup pada tahun yang sama dikali 1000 (Wiknjosastro, 2006).
Menurut Varney (2006), kurang lebih 8 juta kematian perinatal di dunia terjadi setiap
tahun. Dari jumlah ini, sekitar 85 % kematian bayi baru lahir terjadi akibat infeksi, asfiksia pada
saat lahir, dan cedera saat lahir. Berdasarkan kelompok kerja World Health Organitation (WHO)
April 1994, dari 8,1 juta kematian bayi di dunia, 48 % adalah kematian neonatal. Dari seluruh
kematian neonatal sekitar 60 % merupakan kematian bayi berumur kurang dari 7 hari (perinatal)
dan kematian bayi umur lebih dari 7 hari akibat gangguan pada masa perinatal. Pola penyakit
penyebab kematian bayi dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 adalah
penyakit sistem pernafasan 30 %, gangguan perinatal 29 %, diare 14 %, penyakit sistem saraf 16
%, tetanus neonatorum 4 %, dan infeksi atau parasit lainnya 4 %. Bila dibandingkan hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga 1992 dengan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga 1995, gangguan
perinatal naik dari urutan kelima menjadi kedua sebagai penyebab kematian bayi (Anonim,
2008).
Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2003, diperoleh data 35/1000
kelahiran hidup untuk angka kematian bayi dan 20/1000 kelahiran hidup untuk angka kematian
neonatal. Indonesia belum berhasil mencapai target penurunan kematian perinatal (early
neonatal). Dimana Indonesia, melalui program kesehatan bayi baru lahir tercakup di dalam
program kesehatan ibu. Dalam rencana strategi nasional Making Pregnancy Safer, target dari
dampak kesehatan untuk bayi baru lahir adalah menurunkan angka kematian neonatal menjadi 15
per 1000 kelahiran hidup (Djaja, 2003).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, kematian neonatal (0 28 hari )
adalah 180 kasus. Kasus lahir mati berjumlah 115 kasus. Jumlah seluruh kematian bayi adalah
466 kasus. Distribusi kematian neonatal sebagian besar di wilayah Jawa Bali (66,7%) dan di
daerah pedesaan (58,6%). Menurut umur kematian, 79,4% dari kematian neonatal terjadi pada
usia 0 7 hari yakni pada masa perinatal (early neonatal), dan 20,6% terjadi pada usia 8-28 hari.
Studi Mortalitas SKRT 2001 menunjukkan penyebab utama kematian perinatal dari faktor bayi
adalah asfiksia 34%, prematur dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 33 % (Djaja, 2003).
Di Provinsi Sulawesi Tenggara sendiri, berdasarkan profil kesehatan provinsi Sulawesi
Tenggara tahun 2006, kasus kematian perinatal cenderung mengalami peningkatan, yakni pada

tahun 2005 terdapat 372 kasus lahir mati (perinatal) dan 381 kematian bayi dari 32.006
kelahiran, dimana terdapat 1 kasus Tetanus Neonaturum dan 83 kasus berat badan lahir rendah
serta 325 tercatat sebagai penyebab lain. Pada tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 380
kasus lahir mati dan 325 untuk kematian bayi dari 45.952 kelahiran, dimana terdapat 1 kasus
tetanus neonaturum dan 100 kasus berat badan lahir rendah serta 118 tercatat sebagai penyebab
lain. Pada tahun 2007 meningkat menjadi 465 kasus, dimana disimpulkan bahwa penyebab
kematian didominasi karena berat badan lahir rendah dan asfiksia, hal ini disebabkan karena
sebagian pertolongan persalinan masih ada ditolong oleh dukun bayi serta keterampilan bidan
dan peralatan yang kurang memadai (Laporan Pelaksanaan Pembangunan Kesehatan Prov.
Sultra, 2007).
Berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram) merupakan salah satu faktor utama
yang berkontribusi terhadap kematian perinatal dan neonatal. Berat badan lahir rendah (BBLR)
dibedakan dalam 2 katagori yaitu: BBLR karena premature (usia kandungan kurang dari 37
minggu) atau BBLR karena intrauterine growth retardation (IUGR) yaitu bayi cukup bulan
tetapi berat kurang untuk usianya. Banyak BBLR di negara berkembang dengan IUGR sebagai
akibat ibu dengan status gizi buruk, anemia, malaria, dan menderita penyakit menular seksual
(PMS) sebelum konsepsi atau ketika hamil, namun dari hasil survei proporsi kematian BBLR
dengan IUGR hanya 1,4% (Djaja, 2003).
Berdasarkan studi pendahuluan di diperoleh data bahwa pada wilayah kerja dinas
kesehatan Kabupaten Konawe, pada tahun 2006 terdapat 91 kasus kematian perinatal dari 6268
kelahiran, dimana kasus lahir mati sebanyak 51 kasus dan kematian pada usia 0 7 hari
sebanyak 40 kasus atau terdapat kasus kematian perinatal 14/1000 kelahiran hidup, kemudian
menurun pada tahun 2007, yakni terdapat 58 kasus kematian perinatal dari 6357 kelahiran,
dimana kasus lahir mati sebanyak 37 kasus dan kematian pada usia 0 7 hari terdapat 21 kasus
atau terdapat kasus kematian perinatal sebanyak 9/1000 kelahiran hidup. Dan pada tahun 2008
meningkat menjadi 60 kasus kematian perinatal dari 4815 kelahiran, dimana terdapat 30 kasus
lahir mati dan kematian 0 7 hari terdapat 30 kasus atau terdapat kasus kematian perinatal
sebanyak 12/1000 kelahiran hidup (Dinkes Kab. Konawe, 2008).

Rumusan masalah

1.
2.
3.
4.

Bagaimana keadaan AKB, AKBa dan AKN di Indonesia?


Apa penyebab AKB, AKBa dan AKN di Indonesia?
Apa kebijakan mengurangi AKB, AKBa dan AKN di Indonesia?
Apa upaya untuk mempercepat progam mdgs ke 4 ini di Indonesia?

Tujuan Penulisan
1.
2.
3.
4.

untuk mengetahui keadaan AKB, AKBa dan AKN di Indonesia


untuk mengetahui penyebab AKB, AKBa dan AKN di Indonesia
untuk mengetahui kebijakan mengurangi AKB, AKBa dan AKN di Indonesia
untuk mengetahui upaya untuk mempercepat progam mdgs ke 4 ini di Indonesia

PEMBAHASAN

TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK


Upaya untuk menurunkan angka kematian anak sudah sejalan dengan sasaran MDGs. Hal ini
ditunjukkan dengan penurunan angka kematian balita dari 97 (tahun 1991) menjadi 40 per seribu
kelahiran hidup (tahun 2012); penurunan angka kematian bayi dari 68 menjadi 32 per seribu
kelahiran; dan neonatal dari 32 menjadi 19 per seribu kelahiran. Sedangkan proporsi anak usia 1
tahun yang diimunisasi campak meningkat dari 44,50 persen (tahun 1991) menjadi 74,20 persen
(tahun 2013).

TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK

TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK

KEADAAN DAN KECENDERUNGAN


Angka Kematian Balita dan Kematian Bayi telah mengalami penurunan tajam tetapi
diperkirakan masih belum mencapai target MDG pada tahun 2015. Angka Kematian Neonatal
turun, tetapi sejak tahun 2007 tidak mengalami penurunan Kematian Neonatal memberikan
kontribusi yang besar bagi kematian Bayi dan Balita Target persentase anak usia 1 tahun yang
diimunisasi campak telah tercapai Terjadi disparitas yang konsisten dalam pencapaian MDG 4
antarprovinsi tempat tinggal, pendidikan ibu, dan kuintil kekayaan
Angka Kematian Balita (AKBa) telah turun sebesar 58.8% dari 97 pada tahun 1991 menjadi 40
per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Namun demikian, masih diperlukan upaya keras
untuk dapat mencapai target MDG 4 sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup. Dengan tren seperti
ini, target MDG pada tahun 2015 diperkirakan tidak dapat tercapai, terutama karena kedua
indikator tersebut sudah mencapai tahap yang sulit untuk diturunkan (hard rock). Sementara itu
Angka Kematian Bayi (AKB) turun sebesar 52.5 persen pada kurun waktu yang sama. Seperti
pada AKBa, penurunan ini masih perlu upaya keras untuk mencapai target 23 per 1000 kelahiran
hidup. Angka Kematian Neonatal (AKN) turun sebesar 37.5 persen sampai dengan tahun 2003,

dari 32 menjadi 20 per 1000 kelahiran hidup, kemudian turun sedikit menjadi 19 pada tahun
2007, selanjutnya tidak berubah pada tahun 2012.

Antara tahun 1991 sampai dengan 2003, AKBa dan AKB menurun cukup tajam, tetapi sesudah
itu penurunan terjadi lebih lambat sampai dengan tahun 2012. Penurunan AKBa terutama
disebabkan oleh kontribusi penurunan Angka Kematian Bayi (AKB), yang menurun dengan
cepat antara tahun 1991 sampai tahun 2003 dan selanjutnya melambat sampai tahun 2012. Perlu
juga mendapatkan perhatian bahwa kematian neonatal, bayi, dan balita di tingkat provinsi diukur
untuk periode 10 tahun sebelum survei sehingga tidak sepenuhnya menggambarkan pencapaian
upaya terkini.
Analisis terhadap tren penurunan AKBa dan AKB yang melambat sejak tahun 2003 perlu dilihat
setidaknya dari dua aspek:
1. Aspek periode life-cycle, terutama periode neonatal (0-28 hari), periode bayi usia 1-11
bulan dan anak balita usia 1-5 tahun, oleh karena faktor yang mempengaruhi dan program
untuk ketiga periode life-cycle tersebut mempunyai arti dan implikasi yang berbeda; dan
2. Aspek disparitas berdasarkan berbagai variabel, yaitu provinsi, tempat tinggal,
pendidikan, kuintil kekayaan, dan variabel lainnya. Kemiskinan merupakan faktor
mendasar yang sangat penting yang berpengaruh terhadap kematian bayi dan anak.
Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tingginya faktor

risiko lain pada kelompok miskin seringkali sejalan dengan status kesehatan yang buruk
dan kematian bayi dan anak yang tinggi. Oleh karena itu, analisis terhadap disparitas
terkait kemiskinan dan faktor determinan lainnya perlu dilakukan.

Periode neonatal (bayi 0-28 hari)


Masih tingginya kematian neonatal secara global dan pentingnya kontribusi kematian neonatal
terhadap kematian bayi telah mendorong ditetapkannya Every Newborn Initiative baru-baru ini
oleh WHO untuk menghentikan kematian yang dapat dicegah.
Kematian neonatal perlu dianalisis secara lebih mendalam karena kontribusi kematian neonatal
terhadap kematian bayi dan anak balita sangat tinggi. Gambar 2 menunjukkan bahwa kematian
bayi dan balita yang terjadi pada periode neonatal proporsinya sangat besar. Bila dibandingkan
dengan sebelumnya, proporsi kematian neonatal terhadap kematian anak balita meningkat, dari
33 persen pada tahun 1991, meningkat tajam sampai tahun 1999, kemudian menurun sedikit dan
naik lagi menjadi 47.5 persen pada tahun 2012. Demikian pula proporsi kematian neonatal
terhadap kematian bayi meningkat dari 47.1 persen pada tahun 1991 menjadi 59.4 persen pada
tahun 2012. Sementara itu, proporsi kematian bayi terhadap kematian balita sangat tinggi, 70
persen pada tahun 1991 menjadi 80 persen pada tahun 2012. Hal ini mengindikasikan bahwa
tanpa penurunan kematian neonatal yang signifikan, target MDG 4 akan sulit dicapai.
Diperkirakan bahwa dengan menurunkan AKN sebesar 50 persen akan bisa menurunkan AKB
sebesar 30 persen dari 32 menjadi 22 per 1000 kelahiran hidup dan menurunkan AKBa sebesar
23.5 persen dari 40 menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup.

Tren dan Disparitas Kematian Neonatal, Bayi dan Balita Menurut Provinsi
Kematian neonatal, bayi, dan balita di tingkat provinsi (yang merupakan angka 10 tahun sebelum
survei) pada umumnya mengalami penurunan antara tahun 2007 dan 2012. Walaupiun demikian,
masih terjadi kenaikan angka kematian neotanal di 13 provinsi yaitu DI Aceh, Sumatera Utara,
Bengkulu, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tenggara, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Kenaikan yang sangat tajam terjadi
di Aceh dan Papua Barat. Kematian bayi dan balita di tingkat provinsi juga sebagian besar
mengalami penurunan. Tetapi di sembilan provinsi yaitu Gorontalo, Papua, Papua Barat, Maluku
Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan DI Aceh,
kematian bayi dan balita (kecuali di Sulawesi Tenggara) justru mengalami kenaikan.
Disparitas tingkat kematian neonatal, bayi dan balita antar provinsi masih tetap tinggi. Pada
tahun 2012, kematian neonatal terendah adalah 12 per 1000 kelahiran hidup di Kalimantan Timur
dan tertingi adalah 37 per 1000 kelahiran hidup di Maluku Utara. Kematian bayi, terendah adalah
21 per 1000 kelahiran hidup di Kalimantan Timur dan tertinggi 74 per 1000 kelahiran hidup di
Papua Barat. Sedangkan angka kematian balita terendah adalah 28 per 1000 kelahiran hidup di
Riau dan tertinggi 115 per 1000 kelahiran hidup di Papua. Bahkan di Pulau Jawa dengan kondisi
ekonomi dan akses pelayanan kesehatan yang relatif baik dan merata, disparitas antarprovinsi
masih cukup lebar yaitu dari 14 per 1000 kelahiran hidup di Jawa Timur sampai dengan 23 per

1000 kelahiran hidup di Banten. Disparitas serupa juga terjadi di pulau Sumatera, Kalimantan,
dan Sulawesi.

Telaah lebih lanjut terhadap kematian neonatal, bayi, dan balita berdasarkan provinsi
menunjukkan hasil yang menarik. Pada umumnya kontribusi kematian neonatal di negara maju
dengan angka kematian bayi sangat rendah, lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi
kematian neonatal di negara dengan kematian bayinya tinggi. Hal ini terjadi karena di negara
maju penanganan terhadap neonatal semakin canggih sehingga bayi prematur yang mempunyai
resiko kematian sangat tinggi dapat diselamatkan.
Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi lebih
tinggi di provinsi yang AKBnya rendah, dan sebaliknya lebih rendah di provinsi yang AKBnya
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada provinsi dengan AKB rendah, penurunan kematian bayi
dicapai keberhasilan dallam penurunan penyakit infeksi yang bisa dicegah dengan imunisasi,
penurunan infeksi karena diare, dan upaya-upaya lainnya seperti perbaikan status gizi bayi
karena asupan bayinya yang baik. Sementara itu, kematian neonatal dengan penanganan dan
teknologi yang lebih kompleks serta kualitas pelayanan persalinan yang tinggi belum secara
optimal bisa dicapai. Pada provinsi dengan AKB tinggi, tidak berarti bahwa masalah kematian
neonatal lebih baik, masalah kematian tetap ada, tetapi masalah penyakit infeksi masih belum
tertangani dengan baik. Demikian pula dengan perbaikan status gizi bayi dan anak belum
optimal.

Kecenderungan serupa juga terjadi pada kontribusi kematian nneonatal terhadap kematian balita.
Provinsi yang mempunyai angka kematian balita yang rendah, proporsi kematian neonatal
terhadap kematian balitanya lebih kecil dibandingkan dengan di provinsi yang mempunyai
AKBa tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa di provinsi dengan kematian bayi dan balita masih
tinggi, permasalahannya tidak hanya pada pencegahan terjadinya dan penanganan neonatal,
tetapi juga pada pencegahan dan penanganan penyakit infeksi dan kurang gizi.

Disparitas Kematian Neonatal, Bayi, dan Balita berdasarkan daerah, kondisi ekonomi dan
demografi ibu
Kematian neonatal, bayi maupun balita lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di perkotaan.
Sedangkan proporsi kematian neonatal terhadap kematian bayi dan balita hampir tidak ada
perbedaan antara daerah perkotaan dan perdesaan, yaitu masing-masing. Kontribusi kematian
neonatal terhadap kematian bayi adalah 58 persen di perkotaan dan 60 persen di perdesaan.
Sedangkan kontribusi kematian neoatal terhadap kematian balita adalah 44 persen di perkotaan
dan 46 persen di perdesaan.
Kematian neonatal, bayi maupun balita secara umum juga lebih tinggi pada ibu dengan tingkat
pendidikan rendah serta ibu pada kuintil kekayaan yang lebih rendah. Kontribusi kematian
neonatal terhadap kematian bayi dan balita secara umum lebih besar pada ibu dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi. Di antara ibu yang bersekolah, kontribusi kematian neonatalnya
mencapai 32 persen, sedangkan di antara ibu yang mempunyai pendidikan tertinggi,
kontribusinya menjadi 56 persen. Disparitas kematian balita berdasarkan status pendidikan ibu
antara yang terendah dan tertinggi sangat besar, yaitu lebih dari 5 kali lipat (96 dibanding 18
kematian per 1.000 kelahiran hidup). Disparitas ini jauh lebih besar dibandingkan dengan
disparitas pada kematian neonatal dan bayi. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan pola
asuh yang diberikan ibu/pengasuh terkait dengan asupan makanan yang adekuat, pencegahan
penyakit infeksi melalui imunisasi dan perilaku hidup bersih.
Data pada Gambar 15 menunjukkan bahwa pada anak balita, anak berusia 6-47 bulan
mempunyai risiko menderita penyakit ISPA lebih tinggi dan anak usia 6-35 bulan lebih beresiko
menderita enyakit diare.. Gizi kurang dan stunting lebih banyak pada anak usia 12 bulan atau
lebih, sedangkan kurus lebih banyak pada usia yg lebih muda (Gambar 23). Sebagaimana
perkiraan, kematian neonatal, bayi, dan balita lebih tinggi pada kelompok keluarga yang lebih
miskin (kuintil rendah). Kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi dan balita, tidak
banyak berbeda antar golongan pendapatan, yaitu berturut-turut adalah 56 persen dan 41 persen
pada kuintil terendah serta 59 persen dan 43 persen pada kuintil tertinggi

Analisis terhadap faktor usia ibu terhadap kematian neonatal, bayi, dan balita menunjukkan
kecenderungan hubungan berpola U-shape, yaitu kematian yang tinggi pada usia kurang dari 20
tahun,dan usia 40 tahun atau lebih, serta rendah dinatar kedua kelompok usia tersebut.
Seharusnya kematian neonatal lebih terkait dengan faktor usia ibu , sementara kematian bayi dan
balita lebaih karena faktor diluar usia ibu, atau faktor sisa (retained effect) pada periode neonatal
yang terbawa sampai bayi/anak selanjutnya. Kematian neonatal, bayi, dan balita lebih tinggi
pada ibu yang melahirkan dengan jarak 2 tahun atau kurang. Kontribusi kematian neonatal
terhadap kematian bayi dan balita antara jarak kelahiran yang berbeda, tidak begitu berbeda.
Pada kelompok dengan jarak kelahiran < 2 tahun kontribusi kematian neonatal terhadap bayi
adalah 56 persen sedangkan terhadap balita 44 persen. Selanjutnya pada kelompok yang
mempunyai jarak kelahiran 4 tahun atau lebih, kontribusi tersebut berturut-turut adalah 54 persen
dan 41persen.
Pada umumnya, bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir rendah cenderung mempunyai
status gizi yang lebih rendah pada umur-umur selanjutnya dibandingkan bayi yang lahir dengan
berat badan normal. Gambar 6 mengkonfirmasikan besarnya pengaruh BBLR, yaitu

menunjukkan bahwa resiko kematian neonatal dan kematian bayi jauh lebih tinggi pada bayi
BBLR dibandingkan dengan kematian pada bayi dengan berat lahir normal, yaitu masing-masing
8 kali dan 5 kali lebih tinggi.

Penyebab Kematian Neonatal


Secara global penyebab utama kematian neonatal adalah prematuritas (28 persen), infeksi berat
(36 persen, termasuk sepsis/pneumonia 26 persen, tetanus 7 persen, dan diare 3 persen) dan
asfiksia (23 persen). Sebagian besar kematian neonatal terjadi pada minggu pertama pascalahir,
terutama pada hari pertama kehidupan (Lawn, 2005). Artinya, masa persalinan dan 24 jam
setelah persalinan merupakan waktu yang sangat kritis dan strategis untuk mencegah kematian
neonatal. Kematian neonatal setelah minggu pertama biasanya disebabkan oleh infeksi.
Di Indonesia, penyebab utama kematian neonatal usia 0-6 hari adalah gangguan
pernapasan/asfiksia, prematuritas, infeksi, dan hipotermi. Infeksi dan hipotermi dapat merupakan
akibat dari berat badan lahir yang rendah dan sebagian besar prematuritas juga mempunyai berat
badan lahir rendah. Oleh karena itu, peran BBLR terhadap kematian pada minggu pertama

pascalahir cukup besar. Penyebab utama kematian neonatal usia 7-28 hari adalah sepsis,
malformasi kongenital, pneumonia, RDS, dan prematuritas.

Penanganan Persalinan dan Pascasalin


Proses persalinan merupakan faktor penting untuk mencegah kesakitan dan kematian bayi,
terutama yang disebabkan oleh asfiksia dan infeksi. Continuum of care atau pelayanan
berkelanjutan kebidanan dan neonatal mulai dari tingkat komunitas sampai fasilitas rujukan
untuk kasus komplikasi menjadi sangat penting, yaitu apakah proses persalinan berjalan dengan
baik termasuk apakah persalinan yang disertai komplikasi yang mengancam keselamatan ibu dan
bayinya ditangani dengan baik di fasilitas rujukan. Dalam kenyataannya, akses terhadap
pelayanan persalinan yang berkualitas masih menjadi permasalahan besar di Indonesia.
Kontinuitas pelayanan PONED dan PONEK 24/7 berkualitas yang ditunjang oleh sistem rujukan
yang kuat masih menghadapi berbagai tantangan. Akses terhadap pelayanan kebidanan
berkelanjutan dan berkualitas masih menjadi kendala dan karenanya perlu mendapatkan prioritas
lebih tinggi.
Selanjutnya, pola perawatan bayi baru lahir di rumah akan mempengaruhi kesakitan dan
kematian neonatal, termasuk tetanus. Program pemerintah untuk kunjungan neonatal (KN)
sebanyak 3 kali, yaitu pada 6-48 jam pertama (KN1), 3-7 hari pasca lahir (KN2) dan 8-28 hari
pasca lahir (KN3), dimaksudkan untuk mencegah dan mengidentifikasi dengan segera kesakitan

pada periode neonatal ini. Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan bahwa persentase KNI
adalah sebesar 71.4 persen, KN2 sebesar 61.3persen, dan KN3 hanya 38 persen. Kurang dari
sepertiga (31.8 persen) yang mendapatkan KN lengkap, sementara yang tidak pernah melakukan
KN mencapai 20.8 persen.
Kematian neonatal terutama terjadi sekitar 24 jam pertama pascasalin. Data SDKI 2012
menunjukkan bahwa hanya 40.5 persen bayi yang mendapatkan kunjungan dalam 24 jam
pertama sesudah kelahirannya. Kurang dari separuhnya, yaitu 45.6 persen, diperiksa oleh tenaga
kesehatan.
Disparitas Kunjungan 24 jam pertama pascalahir
Terdapat disparitas antarprovinsi yang cukup lebar pada program KN1, KN2 dan dan KN3. KN1
bervariasi antara antara 37.5 persen (Maluku Utara) sampai 96.2 persen (Yogyakarta), KN2
antara 25.9 persen (Maluku Utara) sampai 83.7 persen (DI Yogyakata), dan KN3 antara 9.2
persen (Sulawesi Barat) sampai 77.1 persen (DIY). Sedangkan KN lengkap bervariasi antara 6.8
persen (Sulawesi Barat) sampai 71.2 persen (DIY) (Riskesdas, 2010).
Gambar 8 menyajikan kunjungan dalam waktu kurang dari 4 jam dan 4-23 jam setelah lahir
(SDKI 2012). Secara umum kunjungan dalam 4 jam pertama jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan kunjungan 4-23 jam pascalahir. Penjumlahan keduanya menunjukkan kunjungan di
dalam 24 jam pertama pascalahir. Terdapat perbedaan yang mencolok pada kunjungan tersebut
antara ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan dan tempat lainnya, yang bisa dimengerti
karena kunjungan tersebut mungkin merupakan kunjungan saat ibu masih berada di fasilitas
kesehatan. Perbedaan berdasarkan tempat tinggal tidak begitu mencolok. Berdasarkan
pendidikan, ibu yang dengan tingkat pendidikan paling rendah melaksanakan kunjungan yang
paling rendah juga, dan kunjungan tersebut terutama adalah antara 4-23 jam setelah persalinan.
Demikian pula berdasarkan tingkat kekayaan, kunjungan yang terendah adalah pada kelompok
kuintil terendah.

Disparitas BBLR berdasarkan berbagai Variabel


BBLR lebih tinggi di perdesaan, di kelompok berpendidikan rendah dan kelompok dengan
kuintil kekayaan rendah. Data SDKI 2012 menunjukkan perbedaan prevalensi BBLR
berdasarkan pendidikan yang sangat mencolok pada 3 kelompok terendah tingkat pendidikan,
sedangkan berdasarkan kuintil kekayaan, perbedaan sangat nyata pada kelompok kuintil 1.
Gambaran tersebut mengindikasikan panjangnya proses yang mempengaruhi terjadinya BBLR,
yaitu mulai dari status gizi remaja sampai ibu hamil, yang sangat mungkin dipengaruhi oleh
faktor pendidikan. Meningkatnya childbearing (hamil atau pernah melahirkan anak pertama saat
berumur 15-19 tahun) pada remaja puteri yaitu 8.5 persen pada tahun 2007 dan 9.5 persen pada
tahun 2012 (SDKI), bisa juga terkait dengan rendahnya pendidikan remaja puteri. Pada
umumnya pertumbuhan remaja puteri telah selesai pada usia 18-20 tahun, yang berarti setelah
usia inilah remaja puteri siap untuk hamil. Kehamilan pada usia sebelum selesainya pertumbuhan
akan mengakibatkan terjadinya persaingan pemenuhan kebutuhan zat gizi untuk pertumbuhan
bayi dan pertumbuhan ibunya yang belum selesai. Akibatnya, pertumbuhan ibu dan bayi akan
terhambat.
Berbedanya prevalensi BBLR antara data SDKI 2012 (7.3 persen) dengan Riskesdas (10.2
persen) mungkin disebabkan oleh berbedanya segmen penduduk yang digunakan di dalam kedua
survei atau metoda pengumpulan informasi yang berbeda. Penyajian kedua data yang berbeda

tersebut tidak untuk menggambarkan prevalensinya semata tetapi lebih dimaksudkan untuk
melihat disparitas berdasarkan berbagai variabel.

Status Gizi Wanita Usia Subur


Faktor penting yang berhubungan dengan risiko terjadinya BBLR adalah status gizi ibu yaitu
tinggi badan, berat badan ibu terhadap tinggi badannya atau Index Massa Tubuhdan pertambahan
berat badan selama kehamilan. Berdasarkan hasil meta analisis dari berbagai negara berkembang
yang dilakukan oleh Kramer (1987), ketiganya merupakan faktor resiko yang diperkirakan
memberikan kontribusi sebesar 40 persen terjadinya BBLR yang diakibatkan oleh IUGR (Intra
Uterine Growth Restriction).
Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa prevalensi pendek dan sangat pendek pada remaja
perempuan umur 16-18 tahun adalah 25.9 persen, sedangkan prevalensi kurus berdasarkan
Indeks Massa Tubuh (IMT) pada perempuan dewasa > 18 tahun adalah 12.3 persen. Selain itu,
data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa perempuan dewasa yang mempunyai risiko terjadinya
kurang energi kronis (KEK) berdasarkan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA) menunjukkan
kenaikan dari tahun 2007 ke tahun 2013 (Riskesdas), dan KEK terutama tinggi pada mereka
yang berusia muda, 15-24 tahun.

Periode bayi usia 1-11 bulan dan anak usia 1-5 tahun
Penyebab utama kematian bayi adalah diare, pneumonia, dan meningitis, sementara penyebab
utama kematian anak 1-5 tahun adalah diare, pneumonia, NEC (necroticans entero colitis),
meningitis, DBD, dan campak. Turunnya AKB dan AKBa mengindikasikan bahwa program
untuk menurunkan kematian bayi dan balita cukup sukses. Program tersebut meliputi
peningkatan imunisasi termasuk imunisasi campak yang dapat menurunkan kematian melalui
penurunan prevalensi pneumonia, dan penurunan prevalensi diare dan penyakit infeksi lainnya
yang berpengaruh terhadap kesakitan dan kematian bayi dan anak.

Disparitas Penyakit pada Anak Balita berdasarkan provinsi dan variabel lainnya.
Dua penyakit yang paling sering diderita pada masa kanak-kanak adalah diare dan penyakit
pernapasan akut, termasuk pneumonia. Terdapat variasi yang besar pada insiiden diare pada
Balita, yaitu 3.3 persen di Kalimantan Timur sampai 10.2 persen di Aceh. Demikian pula dengan
period prevalence pneumonia, yaitu 6.6 per 1000 Balita di Kalimantan Timur sampai 38.5 per
100 Balita di provinsi Nusa Tenggara Timur (Riskesdas 2013).

Disparitas penyakit diare dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) juga terlihat berdasarkan
usia ibu, tempat tinggal, pendidikan ibu, dan kuintil kekayaan. ISPA lebih banyak terjadi pada
bayi usia 6 bulan atau lebih, di daerah perdesaan, pada kelompok berpendidikan lebih rendah,
dan kelompok dengan kuintil rendah. Untuk penyakit diare, perbedaan mencolok terutama
adalah pada kelompok usia 6-35 bulan. Disparitas berdasarkan tempat tinggal, pendidikan ibu,
dan kuintil kekayaan tidak begitu mencolok seperti pada ISPA (SDKI 2012).

Proporsi anak usia 1 tahun yang mendapatkan imunisasi campak


Indikator MDG 4 lainnya adalah meningkatnya proporsi anak usia 1 tahun yang mendapatkan
imunisasi campak. Cakupan imunisasi campak meningkat tajam sebesar 66.4 persen, yaitu dari
44.50 persen pada tahun 1991 menjadi 80.10 persen pada tahun 2012.
Disparitas Vaksinasi Campak
Proporsi anak yang pernah menerima vaksinasi campak secara umum cukup tinggi. Variasi
cakupan berdasarkan provinsi juga tinggi, yaitu antara 49 persen di Papua dan 97.1 persen di DI
Yogyakarta. Lebih dari separo dari 33 provinsi mempunyai cakupan vaksinasi campak lebih
rendah dari rata-rata nasional (80.1 persen), 9 di antaranya mempunyai cakupan kurang dari 70
persen.

IImunisasi campak berkaitan dengan angka kematian neonatal, bayi, dan balita. Secara
umum kematian neonatal, bayi dan balita rendah pada provinsi yang mempunyai cakupan
imunisasi campak tinggi.

Asupan Makanan Bayi dan Anak


Pemberian ASI merupakan praktik yang sangat efektif untuk menjaga kesehatan dan
kelangsungan hidup anak karena ASI mengandung zat gizi yang lengkap dan antibodi yang
dibutuhkan bayi, mempunyai risiko pencemaran yang rendah dibandingkan susu formula serta
menciptakan kedekatan antara ibu dan bayinya. Selanjutnya, saat usia bayi mencapai 6 bulan,

pemberian makanan pendamping ASI akan sangat mempengaruhi status kesehatan dan gizi bayi.
Oleh karena itu, WHO menganjurkan agar setiap anak mendapatkan ASI eksklusif selama 6
bulan, termasuk upaya inisasi menyusu (IMD) dini dalam 1 jam pertama pasca lahir . Pada usia 6
bulan makanan pendamping ASI mulai diberikan dan dilanjutkan selama dua tahun. Pemberian
ASI ini sebaiknya on demand, atau sesuai dengan keinginan dan kebutuhan bayi. IMD akan
merangsang produksi ASI dan memfasilitasi pengeluarannya sehingga bayi dapat segera
mendapatkan asupan makanannya. IMD juga penting karena ASI yang keluar pertama kali
sampai dengan beberapa hari setelahnya mengandung kolostrum yang kaya zat gizi dan antibodi
sehingga segera memenuhi kebutuhan makanan bayi dan memproteksi terhadap serangan
penyakit infeksi.
Masalah utama dengan pola makan bayi dan anak di Indonesia adalah rendahnya praktik
pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI)
yang tidak adekuat. Hal ini akan berpengaruh terhadap kesehatan dan status gizi bayi, yang
kemudian akan meningkatkan risiko terjadinya kematian. Gambar 18 menunjukkan bahwa
prevalensi ASI eksklusif 0-6 bulan masih rendah yaitu hanya 41persen, sementara ASI ekslusif
sampai usia 4-5 bulan lebih rendah lagi yaitu 27 persen.

Selain IMD, ASI eksklusif, dan pemberian ASI sampai dengan usia 2 tahun, pedoman yang
direkomendasikan WHO mengenai pemberian makanan pada bayi dan anak usia dini (IYCF-

Infant and Young Child Feeding) adalah waktu pemberian makanan pendamping ASI sejak usia
6 bulan, yang dimulai dengan jumlah yang sedikit, selanjutnya jumlah dan frekuensi makanan
ditingkatkan seiring dengan bertambahnya usia. Pemberian makanan semisolid /solid untuk bayi
usia 6-8 bulan adalah sebanyak 2-3 kali perhari dan 3-4 kali perhari untuk bayi usia 9 24 bulan,
diselingi makanan kudapan (snack) di antaranya, 1 atau 2 kali perhari sesuai dengan keinginan
bayi/anak.
Minimum IYCF untuk bayi usia 6-23 bulan yang diberi ASI adalah melanjutkan pemberian ASI,
pemberian makanan semisolid/solid untuk bayi usia 6-8 bulan sedikitnya 2 kali perhari dan
sedikitnya 3 kali perhari untuk bayi usia 9 24 bulan, dengan persyaratan makanan tersebut
mengandung sedikitnya 3 kelompok makanan perhari. Sedangkan untuk bayi yang tidak
mendapatkan ASI, minimum IYCF adalah mendapatkan pengganti ASI, pemberian makanan
semisolid/solid sedikitnya 4 kali perhari, dengan persyaratan makanan tersebut mengandung
sedikitnya 4 kelompok makanan perhari, termasuk pengganti ASI.

Gambar 19 menunjukkan bahwa bayi

6-23 bulan

yang diberi makanan sesuai dengan

rekomendasi IYCF hanya 37 persen. Pada kelompok anak yang diberi ASI hanya 3 persen yang
mendapatkan minimum diet yg bisa diterima (minimum acceptable diet), dibandingkan 43
persen pada anak yang tidak diberi ASI. Keragaman diet minimum pada anak yang diberi ASI

hanya 52 persen dengan frekuensi diet minimum 61 persen, dibandingkan dengan anak non-ASI,
yaitu berturut-turut 76 persen dan 79 persen.
Suplementasi Vitamin A
Defisiensi vitamin A berhubungan dengan risiko morbiditas dan mortalitas anak sehingga
pencapaian suplementasi vitamin A perlu dijadikan indikator penentu penurunan morbiditas dan
mortalitas anak balita.
Disparitas Suplementasi Vitamin A
Proporsi anak 6-59 bulan yang menerima suplementasi vitamin A mempunyai bervariasi
antarprovinsi, yaitu antara 32 persen (Provinsi Sulawesi Barat) dan 75 persen (Provinsi Nusa
Tenggara Barat).

Variasi cakupan suplementasi vitamin A yang cukup besar antae kelompok pendidikan dan antar
tingkat pendapatan. Secara umum semakin rendah tingkat pendidikan dan semakin rendah
tingkat pendapatan, cakupan suplementasi vitamin A semakin kecil. Khusus untuk kelompok
yang tidak pernah bersekolah, cakupan suplementasi vitamin A hanya 28.2 persen.

Hubungan konsumsi vitamin A dan tingkat kematian mengindikasikan bahwa pada umumnya
angka kematian neonatal, bayi dan balita lebih rendah di provinsi dengan cakupan suplementasi
vitamin A tinggi atau sebalikya walaupun tidak selalu konsisten untuk individual provinsi.

Status Gizi Bayi dan Anak Balita


Status gizi dan infeksi saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Infeksi dapat menyebabkan
seorang bayi/anak kekurangan gizi karena meningkatnya metabolisme, berkurangnya asupan
makanan dan pada diare disertai dengan kehilangan cairan dan zat gizi. Sebaliknya bayi/anak
yang kekurangan gizi mudah terinfeksi penyakit oleh karena daya tahannya menurun.
Salah satu penyebab belum tercapainya penurunan AKBa dan AKB adalah banyaknya balita
yang menderita gizi kurang, pendek atau kurus. Walaupun status gizi balita telah mengalami

perbaikan dan prevalensi gizi kurang pada anak balita hampir mencapai target MDG, yaitu
sebesar 17.9 persen pada tahun 2010, prevalensi balita pendek/stunting dan sangat pendek, masih
sangat tinggi dan cenderung bahkan cenderung meiningkat 36.8 persen (2007) menjadi 37.2
persen (2012). Tingginya stunting pada anak balita mengindikasikan bahwa telah terjadi keadaan
kurang gizi secara kronis dan/atau berulang sejak usia dini. Prevalensi stunting meningkat mulai
usia 12 bulan sampai dengan umur 59 bulan. Hal ini mengindikasikan adanya proses kekurangan
gizi kronis/berulang pada usia dini (<12 bulan) dan berlanjut sampai usia selanjutnya. Tingginya
prevalensi kurus pada usia yang lebih muda juga mengindikasikan bahwa proses kekurangan gizi
akut sudah terjadi sejak usia dini.

TANTANGAN
Angka Kematian Balita dan Angka Kematian Bayi sudah turun dengan tajam, tetapi dengan
pelambatan laju penurunan di beberapa tahun terakhir, target MDG pada tahun 2015
diperkirakan tidakakan tercapai. Program untuk menurunkan AKBa dan AKB melalui imunisasi
dan penurunan infeksi cukup berhasil. Indikator penurunan AKN dan peningkatan imunisasi
campak pada bayi dan anak 6-59 bulan telah memenuhi target MDG. Beberapa hal yang dapat
dijelaskan sehubungan upaya penurunan AKBa dan AKB untuk mencapai tujuan MDG adalah
sebagai berikut:
1. AKB dan AKBa akan sulit untuk turun jika AKN tidak dapat diturunkan dengan
signifikan. Pernurunan AKN sebesar 50 persen diperkirakan akan dapat menurunkan
AKB sebesar 30 persen (dari 32 menjadi 22 per 1000 kelahiran hidup) dan menurunkan
AKBa sebesar 23.5 persen (dari 40 menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup). Oleh karena
itu, upaya penurunan AKBa dan AKB sebaiknya difokuskan pada penurunan kematian
neonatal khususnya dengan menurunkan BBLR dan meningkatkan akses terhadap
pelayanan kebidanan berkelanjutan (PONED 24/7 dan PONEK 24/7 yang didukung oleh
sistem rujukan yang kuat). Akses terhadap pelayanan kebidanan berkualitas di sekitar

waktu persalinan dapat menurunkan risiko asfiksia dan

infeksi dan memperbaiki

manajemen BBLR. Karena sebagian kematian neonatal sangat terkait dengan komplikasi
maternal saat persalinan, maka penurunan kematian neonatal perlu didesain dalam
konteks program maternal dan neonatal secara terintegrasi.
2. Gizi kurang dan terutama stunting pada bayi dan balita masih tinggi. Oleh karena
itu perbaikan status gizi pada anak balita perlu dikaitkan dengan program perbaikan gizi
pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK), yaitu ibu hamil dan anak usia 2 tahun
pertama kehidupan.
3. Faktor penting yang berhubungan dengan risiko terjadinya BBLR adalah status gizi
ibu, yaitu tinggi badan ibu, berat badan ibu terhadap tinggi badannya atau Index Massa
Tubuh (IMT) dan pertambahan berat badan selama kehamilan. Ketiganya diperkirakan
memberikan kontribusi sebesar 40 persen risiko terjadinya BBLR yang diakibatkan oleh
IUGR (Intra Uiterine Growth Restriction).
4. Disparitas angka kematian bayi, kematian anak, BBLR dan dalam capaian
program antra provinsi masih lebar. Peran daerah dalam menurunkan AKB dan AKBa
dapat lebih ditingkatkan dan difokuskan pada penurunan AKN dan peningkatan status
gizi 1000 HPK.
5. Kematian neonatal, bayi, dan balita lebih tinggi di perdesaan, pada kelompok
masyarakat dengan pendidikan rendah dan pada kuintil terendah. Program perlu
memfokuskan target pada kelompok ini dan berintegrasi dengan sektor terkait.
6. Masih rendahnya cakupan imunisasi. Pengawasan program, intervensi program
berbasismfakta menuju universal coverage, perencanaan yang terintegrasi, dan
kecukupan anggaran untuk program imunisasi belum memadai.
7. Belum optimalnya deteksi dini dan perawatan segera bagi balita sakit atau
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Sekitar 35 - 60 persen anak-anak tidak
memiliki akses ke layanan kesehatan yang layak ketika sakit dan 40 persen tidak
terlindung dari penyakit yang dapat dicegah. Tatakelola, pelatihan staf, pendanaan dan
promosi MTBS ditingkat akar rumput masih perlu ditingkatkan.
8. Masih terbatasnya upaya perbaikan gizi pada anak. Intervensi gizi yang cost-eff
ective, layak, dan dapat diterapkan secara luas masih perlu dikembangkan.
9. Masih rendahnya keterlibatan keluarga dalam kesehatan anak. Hanya sekitar 30
persen dari ibu menerapkan praktik kesehatan yang baik. Kegiatan komunikasi, informasi
dan edukasi (KIE) untuk perubahan perilaku perlu terus ditingkatkan.

10. Masih rendahnya upaya pengendalian faktor risiko lingkungan. Faktor risiko kema
an bayi dan anak sangat terkait dengan kesehatan lingkungan - air bersih, sanitasi dasar
dan tingkat polusi dalam ruangan.
11. Masih terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan. Masih terdapat sekitar 20
persen kelahiran tidak memiliki akses ke layanan kesehatan yang layak, dan kebanyakan
bayi lahir di Indonesia berisiko tinggi.

Kotak 4.1.
Pengalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur
dalam Percepatan Penurunan Kematian Neonatal
Kabupaten TTS merupakan kabupaten di provinsi NTT dengan jumlah penduduk tertinggi yaitu
441,155 (BPS 2012), yang tinggal di 278 desa, dan 32 kecamatan. Kabupaten TTS mempunyai
30 Puskesmas, 1 RSUD (RS Soe) dan 1 RS Swasta. Kabupaten TTS merupakan kabupaten yang
mempunyai kematian neonatal yang tinggi yang berfluktuasi dari tahun 2011, 2012, dan 2013
yakni 58, 93, dan 67 per 1000 kelahiran hidup.
Pemerintah Daerah dalam menurunkan kematian neonatal melakukan berbagai intervensi baik di
tingkat keluarga, masyarakat, pelayanan kesehatan primer, dan pelayanan kesehatan rujukan.
Beberapa upaya intervensi terkait erat dengan upaya penurunan kematian ibu, antara lain
Revolusi KIA yang dicanangkan pada tahun 2009 untuk mendorong persalinan di fasilitas
kesehatan. Terobosan lain dilaksanakan melalui AIPMNH Australia-Indonesia Pertnership for
Maternal Neonatal Health (AIPMNH) antara lain:
1. Di tingkat masyarakat melalui desa siaga aktif dengan aktivitas meliputi kelompok siaga
ibu hamil (terdiri dari suami, orangtua, om dan tanta, penatua, kader dan tokoh
masyarakat)), gerakan TABULIN (tabungan ibu bersalin), kesiapan donor darah, rumah
tunggu berbasis masyarakat, ambulans desa serta membawa ibu melahirkan ke fasilitas
kesehatan. Kondisi ini diperkuat dengan adanya Regulasi KIA berupa Perda dan Instruksi
Bupati serta Peraturan Desa. Peningkatan cakupan pelayanan KIA dikomunikasikan
melalui tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat yang menganjurkanpentingnya
kesehatan ibu dan anak serta pemanfaatan pelayanan KIA.

2. Di tingkat keluarga diupayakan eliminasi budaya sei, yaitu ibu setelah melahirkan
melakukan panggang dengan bara api di dalam rumah bulat selama 40 hari. Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan melaksanakan studi dengan melaksanakan beberapa
intervensi yang menyadarkan masyarakat akan dampak negatif dari budaya sei ini.
Intervensi yang dilaksanakan antara lain membuat percontohan rumah bulat sehat,
budaya panggang yang semula menggunakan bara api diganti dengan arang saja dan yang
tadinya dilaksanakan 40 hari pertama setelah persalinan menjadi 5-6 hari. Kondisi ini
diperkuat dengan adanya peraturan desa. Upaya ini menekan kasus pneumonia pada ibu
dan neonatal.
Salah satu strategi meningkatkan kualitas RS Soe dalam penanganan kasus emergensi
bagi maternal dan neonatal adalah program Sister Hospital sehingga mampu PONEK. Kondisi
ini meningkatkan akses rujukan kasus komplikasi maternal dan neonatal ke RS SOE dan
mengurangi rujukan kasus ke RS Kupang sehingga kasus emergency maternal dan neonatal
semakin cepat tertangani.
RS SOE juga berfungsi meningkatkan kualitas pelayanan Puskesmas termasuk Puskesmas
PONED melalui bimbingan tenis, magang, dan menyelenggarakan konferensi klinik terhadap
kasus komplikasi maternal dan neonatal. Peningkatan pelayanan di fasilitas kesehatan juga
diikuti oleh peningkatan fisik serta perubahan perilaku.
Agar rujukan dapat berjalan dengan baik dan terencana, Dinas kesehatan bersama stakeholders
terkait membuat Manual Rujukan yang didukung dengan adanya frontline SMS, sistem
kewaspadaan melalui pemantauan ibu hamil 7 hari sebelum melahirkan dan 7 hari sesudah
melahirkan, serta audit maternal neonatal yang ditindaklanjuti dengan implementasi dari
rekomendasi .

KEBIJAKAN

1. Fokus intervensi pada penyebab terbanyak kematian bayi dan balita yaitu

masalah

neonatus (asfiksia, berat badan lahir rendah, dan infeksi), penyakit infeksi (terutama diare
dan pneumonia serta malaria pada daerah endemis), dan masalah gizi kurang dan gizi
buruk sebagai underlying factor penyebab kematian bayi dan balita.
2. Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan untuk neonatus-bayi dan balita
sakit, dengan penekanan pada penguatan di pelayanan primer. Khusus untuk mengatasi
masalah pada neonatus perlu peningkatan kualitas kesehatan sebelum dan selama
kehamilan, masa persalinan dan pelayanan kesehatan ibu pascasalin dan neonatus.
3. Meningkatkan pelayanan kesehatan neonatus, bayi, dan balita yang terstandardisasi, dan
terakreditasi, peningkatan distribusi tenaga kesehatan startegis dan kompetensi tenaga
kesehatan (in- dan preservice), pendanaan (termasuk pelaporan dan akuntabilitas),
ketersediaan obat-sarana dan prasarana serta peralatan medis yang siap pakai dan aman,
regulasi-manajemen dan sistem informasi serta penelitian yang mendukung peningkatkan
kesehatan bayi dan balita dengan pendekatan penguatan sistem kesehatan (Health System
Strengthening).
4. Meningkatkan peran serta keluarga (termasuk suami dan anggota keluarga lain) dan
masyarakat (peran kader, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat) melalui
peningkatan pengetahuan dan pemberdayaan untuk kesehatan neonatus-bayi dan balita
serta deteksi dini faktor risiko dan pola pencarian pertolongan pelayanan kesehatan.
5. Memperkuat implementasi registrasi vital serta meningkatkan pengetahuan menganalisis
penyebab kematian pada neonatus, bayi dan balita serta tindak lanjutnya.
6. Fokus pendekatan pada daerah dengan jumlah penduduk besar dan jumlah kematian bayi
terbanyak tanpa mengabaikan daerah terisolisasi, dengan memanfaatkan skema jainan
kesehatan nasinal untuk mempermudah akses bayi dan balita sakit untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan.
7. Meningkatkan kerjasama dengan lintas sektor terkait, profesi, akademisi, LSM, dan mitra
pembangunan intarenasional serta institusi pendidikan untuk meningkatkan kelangsungan
dan kualitas hidup bayi dan balita.
Kebijakan kesehatan anak di Indonesia difokuskan pada intervensi-intervensi layanan kesehatan
meliputi : imunisasi, MTBS, gizi pada anak, penguatan peran keluarga, dan
peningkatan akses layanan kesehatan, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Meningkatkan cakupan imunisasi campak, melalui penyediaan sumber daya yang


memadai, dan memperjelas peran pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi
program imunisasi.
2. Meningkatkan pelaksanaan strategi MTBS, antara lain:
(i)
Pelatihan MTBS bagi petugas kesehatan
(ii)
Penguatan struktur manajemen ditingkat pusat dan daerah
(iii)
Menjamin ketersediaan obat esensial
(iv)
Pelaksanaan MTBS ditingkat keluarga dan masyarakat
(v)
Penyelenggaraan konseling bagi Ibu dan caregivers.
3. Menangani permasalahan gizi pada anak yang difokuskan untuk menurunkan prevalensi
stunting meliputi :
(i)
Peningkatan pemberian ASI eksklusif
(ii)
Pemberian makanan tambahan
(iii)
Memantau tumbuh kembang anak
(iv)
Memperkenalkan komunikasi untuk perubahan perilaku
(v)
Intervensi gizi mikro.
4. Menerapkan strategi kesehatan anak pada tingkat keluarga, meliputi :
(i)
Melindungi anakanak di daerah endemis malaria dengan kelambu berinsektisida
(ii)
Memberikan imunisasi lengkap sebelum berusia satu tahun
(iii)
Mengenali anak sakit secara dini dan mencari perawatan pada fasilitas/tenaga
(iv)

kesehatan yang tepat dan cepat


Memberikan lebih banyak makanan dan minuman, termasuk ASI, kepada anak-

anak sakit
(v)
Perawatan yang tepat di rumah kepada anak yang menderita infeksi.
5. Meningkatkan upaya perubahan perilaku, melalui peningkatan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) ditingkat rumah tangga.
6. Meningkatkan pelayanan kesehatan neonatal dan ibu, meliputi :
(i)
Penerapan strategi kelangsungan hidup untuk bayi baru lahir dan anak-anak
(ii)
Pelayanan emergensi obstetrik dan neonatal
(iii)
Pelatihan bagi petugas kesehatan untuk mempromosikan praktik persalinan yang
aman
(iv)
Vaksinasi dan pemberian suplemen zat besi.
7. Memperkuat dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan, melalui:
(i)
Mempromosikan pelayanan kesehatan dasar dan revitalisasi Posyandu
(ii)
Peningkatan fasilitas kesehatan hingga menjadi PONED dan PONEK
(iii)
Menjamin tersedianya biaya operasional kesehatan untuk rumah sakit dan
puskesmas.
8. Meningkatkan mobilisasi partisipasi masyarakat melalui kegiatan posyandu yang
meliputi pemantauan status gizi bayi dan balita melalui penimbangan bulanan, pemberian
imunisasi lengkap dan layanan kesehatan lainnya.

9. Meningkatkan advokasi kebijakan bagi daerah dengan tingkat pencapaian target


kesehatan anak yang masih rendah, melalui:
(i)
Pengalokasian sumber daya yang memadai
(ii)
Peningkatan penyediaan anggaran publik untuk kesehatan khususnya bagi
(iii)
(iv)
(v)

masyarakat miskin
Pengembangan instrumen monitoring
Peningkatan kemampuan tenaga kesehatan
Pengembangan strategi dalam penyediaan tenaga kesehatan strategis di daerah

terpencil, tertinggal, perbatasan dan kepulauan.


10. Memadukan strategi lintas sektor untuk mempercepat pencapaian target penurunan angka
kematian balita, bayi maupun neonatal

UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs


1. Upaya penurunan AKN, karena AKN merupakan proporsi yang tinggi terhadap Angka
Kematian Bayi dan Anak.
2. Upaya penjaminan akses terhadap pelayanan PONED dan PONEK 24/7 yang berkualitas
karena proses kelahiran berpengaruh terhadap kematian neonatal.
3. Melakukan koordinasi dan sinergi dengan Direktorat terkait agar upaya program
perbaikan gizi remaja puteri, dan kesehatan serta status gizi ibu hamil lebih baik.
4. Melakukan koordinasi dan sinergi dengan direktorat terkait agar upaya program
perbaikan Gizi bayi dan anak balita lebih baik, termasuk:
a. Upaya perbaikan status gizi bayi 0-5 bulan melalui peningkatan pemberian ASI
eksklusif.
b. Upaya perbaikan status gizi bayi/anak 6-24 bulan: MP-ASI adekuat; ASI sampai usia
2 tahun; suplementasi vit A; pemantauan berat badan secara teratur melalui Posyandu
dll.
5. Upaya pencegahan dan penanggulangan infeksi pada anak Balita termasuk imunisasi dan
MTBS.
6. Memberikan penekanan yang berbeda untuk provinsi yang kematian Bayi dan Balitanya
tinggi dan rendah dan daerah perdesaan dan perkotaan.

KESIMPULAN

Upaya untuk menurunkan angka kematian anak sudah sejalan dengan sasaran MDGs. Hal ini
ditunjukkan dengan penurunan angka kematian balita. Angka Kematian Balita dan Kematian
Bayi telah mengalami penurunan tajam tetapi diperkirakan masih belum mencapai target MDG
pada tahun 2015. Angka Kematian Balita (AKBa) telah turun sebesar 58.8% dari 97 pada tahun
1991 menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Angka Kematian Bayi (AKB) turun
sebesar 52.5 persen pada kurun waktu yang sama. Seperti pada AKBa, penurunan ini masih perlu
upaya keras untuk mencapai target 23 per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Neonatal
(AKN) turun sebesar 37.5 persen sampai dengan tahun 2003, dari 32 menjadi 20 per 1000
kelahiran hidup, kemudian turun sedikit menjadi 19 pada tahun 2007, selanjutnya tidak berubah
pada tahun 2012.
Beberapa hal yang dapat dijelaskan sehubungan upaya penurunan AKBa dan AKB untuk
mencapai tujuan MDG adalah sebagai berikut: AKB dan AKBa akan sulit untuk turun jika AKN
tidak dapat diturunkan dengan signifikan, Gizi kurang dan terutama stunting pada bayi dan balita

masih tinggi, adanya faktor penting yang berhubungan dengan risiko terjadinya BBLR, disparitas
angka kematian bayi, kematian anak, BBLR dan dalam capaian program antra provinsi masih
lebar, adanya kematian neonatal, bayi, dan balita lebih tinggi di perdesaan, pada kelompok
masyarakat dengan pendidikan rendah dan pada kuintil terendah, masih rendahnya cakupan
imunisasi belum optimalnya deteksi dini dan perawatan segera bagi balita sakit atau Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS), masih terbatasnya upaya perbaikan gizi pada anak, masih
rendahnya keterlibatan keluarga dalam kesehatan anak, masih rendahnya upaya pengendalian
faktor risiko lingkungan, masih terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan.
Sedangakan adanya upaya untuk mencapai tingkat MDGs yaitu dengan: Upaya penurunan
AKN, karena AKN merupakan proporsi yang tinggi terhadap Angka Kematian Bayi dan Anak,
upaya penjaminan akses terhadap pelayanan PONED dan PONEK 24/7 yang berkualitas karena
proses kelahiran berpengaruh terhadap kematian neonatal, dengan melakukan koordinasi dan
sinergi dengan Direktorat terkait agar upaya program perbaikan gizi remaja puteri, dan kesehatan
serta status gizi ibu hamil lebih baik, dengan melakukan koordinasi dan sinergi dengan direktorat
terkait agar upaya program perbaikan Gizi bayi dan anak balita lebih baik , upaya pencegahan
dan penanggulangan infeksi pada anak Balita termasuk imunisasi dan MTBS, dan memberikan
penekanan yang berbeda untuk provinsi yang kematian Bayi dan Balitanya tinggi dan rendah dan
daerah perdesaan dan perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA
https://arali2008.wordpress.com/2009/09/04/indikator-mdgs-ke-empat-menurunkanangka-kematian-anak/ di unduh pada 20 mei 2015
http://kesmas-ode.blogspot.com/2012/10/makalah-angka-kematian-bayi-dan-balita.html
di unduh pada 20 mei 2015
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2013, BAPENNAS
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2010, BAPENNAS

Anda mungkin juga menyukai