Anda di halaman 1dari 6

DEFISIENSI VITAMIN A DAN XEROPHTHALMIA PADA ANAK USIA

SEKOLAH DI ASIA TENGGARA


V Singh1 and KP West, Jr1*
1

Center for Human Nutrition, Department of International Health, Johns Hopkins Bloomberg
School of Public Health, Baltimore, MD, USA

Objektif: Untuk menentukan perkiraan tingkat defisiensi vitamin A (VA) dan


xerophthalmia pada anak usia sekolah
Desain: Literatur yang diterbitkan, tidak diterbitkan, survei berdasarkan website dan
laporan penelitian dengan Negara yang memiliki angka prevalensi dan jumlah anak
yang dipengaruhi: (1) Defisiensi VA berdasar pengukuran distribusi konsentrasi
serum retinol <0,70 mol/l (setara <20 g/dl) dan (2) xerophthalmia per negara
Subjek: Kelompok anak usia 5-15 tahun
Hasil:Perkiraan prevalensi defisiensi VA 23,4%, menunjukkan bahwa sekitar 83juta
defisiensi VA pada daerah yang 10,9% (9 juta, pada prevalensi total 2,6%) memiliki
xerophthalmia ringan (rabun senja atau bercak Bitot). Kebutaan xerophthalmia
kornea dianggap tidak penting pada usia ini.
Kesimpulan: Defisiensi VA, termasuk xerophthalmia ringan, turut mempengaruhi
anak usia sekolah di ASEAN dalam jumlah besar.
____________________________________________________________________
Kata Kunci: Defisiensi vitamin A; xerophthalmia, rabun senja, bercak Bitot, usia
sekolah, ASEAN

Introduksi
Defisiensi vitamin A (VA) tampil sebagai masalah kesehatan nutrisi umum pada
anak usia sekolah di 118 negara berkembang di seluruh dunia dengan angka tertinggi
di ASEAN (Bangladesh, Kamboja, India, India, Korea Utara, Maladewa, Myanmar,
Nepal, Sri Lanka, dan Thailand). Masalah kesehatan akibat defisiensi VA atau VADD,
awalnya termasuk gejala awal xerophthalmia, yaitu xerophthalmia kornea dan potensi
kebutaannya, mekanisme gangguan imun penderita, peningkatan infeksi, anemia,
pertumbuhan terganggu dan kematian (Sommer&West, 1996). Perkiraan data
sebelumnya secara global terdapat 127 juta anak berusia dibawah 5 tahun dengan
defisiensi VA (serum retinol <0,7 mol/l atau memiliki kelainan sel) diantarannya
4.4juta dengan xerophthalmia (West, 2002). Juga terdapat perkiraan sekitar 7,2 juta
wanita hamil dengan defisiensi VA pada negara berkembang, diantaranya 6 juta

dengan rabun senja(West, 2002), kondisi yang disebabkan defisiensi VA (Christian,


2002). Defisiensi VA gestasional dan postpartum meningkatkan angka kesakitan dan
kematian ibu, dan juga kematian bayi. Prevalensi tinggi ibu dengan status VA rendah
(berdasar serum retinol <1,05 mol/l) selama kehamilan ( Afrika 22%, ASEAN
24,3%), ditambah bukti rabun senja berulang pada kehamilan berulang, menunjukkan
bahwa masalah nutrisi dapat dianggap kronis. Namun prevalensi defisiensi VA dan
keparahan pada VADD kurang pada anak usia sekolah pada kebanyakan negara
berkembang.
Tujuan awal penelitian ini untuk memperkirakan prevalensi defisiensi VA dan
xerophthalmia, dan juga jumlah anak yang terkena, antara usia 5-15 tahun per negara
pada negara-negara berkembang. Namun dikarenakan kekurangan data pada usia ini
pada kebanyakan negara, perkiraan sementara dibuat hanya untuk negara WHO di
Asia Tenggara.

Metode
Mengkaji penemuan yang berhubungan dengan xerophthalmia dan defisiensi
VA pada usia anak sekolah dari sumber yang diterbitkan, tidak diterbitkan, dan
website. Sumber terbesar termasuk Multiple Indicator Cluster Surveys (MICS) untuk
penilaian 55 negara UNICEF pada tahun 2001, laporan penelitian Micronutrient
Deficiency Information System (MDIS) dari WHO tahun 1995, ringkasan penelitian
Micronutrient Initiative (MI) UNICEF dan Universitas Tulane tahun 1998, dan hasil
penemuan, penelitian observational, dan juga percobaan intervensi yang dilaporkan
sebagai jurnal ilmiah.
Perkiraan jumlah anak usia 5-15 tahun tiap negara berasal dari 2 sumber:
UNICEF Year 2001 State of the World Children Report, yang memberikan perkiraan
dari total populasi dan jumlah anak pra-sekolah (<5tahun) pada tahun 1999, dan 2001
World Population Data Sheet of the Population Reference Bureau yang menghasilkan
persentasi anak usia dibawah 15 tahun tiap negara. Persentasi ini digunakan pada total
populasi yang dilaporkan UNICEF untuk mendapat jumlah anak <15 tahun, yang
telah dikurangi jumlah usia <5 tahun, untuk memperkirakan jumlah anak 5-15 tahun
di tiap negara.
Laporan dari prevalensi defisiensi VA berdasarkan indikator biokimia dan
sitology. Status defisiensi VA utamanya dikenali dari konsentrasi serum (atau plasma)
retinol >0,70 mol/l (<20 g/dl) (IVACG, 1993). Jika data serologi dilaporkan hanya
sebagai konsentrasi rata-rata dengan standar deviation (SD), atau kesalahan standar
dengan jumlah sampel, sebuah tingkat prevalensi dihitung dengan asumsi dari nilai
normal konsentrasi serum retinol, yang sering diperhatikan dalam laporan populasi.

Hal ini mengizinkan mengambil deviasi normal standar (Z-score) dari rata-rata yang
dilaporkan dan SD. Kemungkinan yang berhubungan dengan daerah distribusi
sebelah kiri dari angka 0,7 mol/l, diperoleh dari perkiraan estimasi prevalensi
defisiensi. Dalam satu negara, prevalensi dari kelainan konjungtiva, sebagai indikator
populasi pembanding dari defisiensi VA.
Perkiraan dari prevalensi xerophthalmia dan jumlah usia sekolah didasari dari
laporan WHO- tingkat klinis dari rabun senja (XN), bercak Bitot (XIB) dan penyakit
kornea aktif (X2 dan X3). Xerosis konjungtiva (X1A) tidak digunakan sebagai
indikator klinis dikarenakan diagnosis yang tidak dapat diandalkan. Sebuah
prevalensi dari xerophthalmia aktif dianggap selesai sebelumnya untuk usia anak
pra-sekolah.

Perkiraan prevalensi dan jumlah penderita di Asia Tenggara


Meskipun data yang berhubungan umumnya tersedia di Asia Tenggara,
penelitian status VA usia sekolah masih jarang. Keberagaman bukti membuat peneliti
menggunakan pendekatan per negara untuk menghubungkan prevalensi defisiensi VA
dan xerophthalmia.

Hasil
Perkiraan sementara dari prevalensi defisiensi VA dan jumlah anak antara usia
5-15 tahun dari tiap negara di Asia Tenggara terdapat pada Table 1. Keseluruhan
perkiraan prevalensi untuk defisiensi VA adalah 23,4%, dengan perkiraan negara yang
paling rendah Thailand 5,2% dan paling tinggi Indonesia 34,2%. Prevalensi total ini
mengarah pada perkiraan dari 82,7 juta anak usia sekolah dengan defisiensi VA di
Asia Tenggara. Walaupun tidak memiliki prevalensi terbesar (23,1%), India memiliki
jumlah anak usia sekolah dengan defisiensi VA, diperkirakan 56,4 juta, mewakili 68%
dari semua anak dengan defisiensi VA di Asia Tenggara. Jika satu digunakan sebagai
minimal dari 15% prevalensi defisiensi VA, sebagai yang baru direvisi oleh IVACG
untuk menentukan makna dari kesehatan masyarakat pada anak pra-sekolah, negaranegara seperti, Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, dan Myanmar akan muncul
sebagai pemilik masalah defisiensi VA dari kepentingan kesehatan masyarakat
diantara anak usia sekolah.

Tabel 1 juga menunjukkan perkiraan sementara dari prevalensi dan jumlah


kasus xerophthalmia ringan (XN dan X1B) antara usia 5-15 tahun per negara di Asia
Tenggara. Pada perhitungan prevalensi keseluruhan dari 2,6%, terdapaat 9 juta anak
dengan rabun senja dan/atau becak bitot. Prevalensi maksimal terdapat di Bangladesh
(3,7%); prevalensi minimal terdapat di Thailand (0,15%). Seperti defisiensi VA,
berdasarkan perkiraan penting prevalensi (2,8%) digabungkan dngan jumlah
populasinya yang besar, jumlah terbesar pada anak usia sekolah dengan
xerophthalmia terdapat di India (6,8juta), mewakili 76% seluruh kasus di Asia
Tenggara. Negara-negara seperti Bangladesh, India, Myanmar, Nepal, dan Sri Lanka
melebihi kriteria minimal prevalensi dari 1,5% untuk semua tingkat aktif
xerophthalmia.

Gambar 1 menunjukkan peta dari distribusi prevalensi defisiensi VA diatas atau


dibawah 15% dan xerophthalmia diatas atau dibawah 1,5% per negara di Asia
Tenggara.

Diskusi
Walaupun terdapat dokumen penting dari prevalensi, keparahan dan
konsekeuensi kesehatan dari defisiensi VA pada anak usia pra-sekolah, dan bukti
berulang mengenai masalah nutrisi pada wanita hamil dan menyusui, sedikitnya telah
selesai untuk mengevaluasi secara sistematis tingkat dari defisiensi VA pada usia
menjelang remaja dan remaja. Dibawah desakan dunia pada anak usia pra-sekolah
dan wanita hamil, diketahui masalah kesehatan dari defisiensi VA dan kegawatannya
dan berlanjut untuk memunculkan, mengembangkan, dan menopang usaha
pencegahan pada kelompok risiko tinggi, sebaliknya anak usia sebelum remaja,
sebagai kelompok demografi, secara luas relatif memiliki risiko rendah masalah
kesehatan dan nutrisi. Hal ini menurunkan keinginan untuk mengkaji prevalensi
defisiensi VA dan komplikasinya atau menerapkan program pencegahan defisiensi VA
pada anak usia sekolah. Konsekuensi kesehatan masyarakat dari defisiensi VA usia
sebelum remaja, disbanding manifestasi ringan dari xerophthalmia, sebagian besar
masi belum diketahui. Sedangkan kebutaan akibat xerophthalmia terlihat sangat

jarang, sebagian kecil konsekuensi spesifik dari defisiensi VA diketahui muncul pada
anak usia lebih muda, seperti mengingkatnya keparahan dari diare, dapat
berkontribusi sebagai pokok penyakit dari kelompok usia ini dan tidak dapat
dianggap tidak ada.
Pada laporan ini, penulis menunjukkan perkiraan sementara dari prevalensi
defisiensi VA dan xerophthalmia, dan juga jumlah penderita, diantara anak usia 5-15
tahun di Asia Tenggara. Setelah mengulas kepustakaan, Asia Tenggara merupakan
satu-satunya di dunia untuk dapat ditentukan jumlah minimal data populasi yang
diterbitkan maupun tidak. Penelitian ini menunjukkan bahwa paling sedikit
seperempat dari seluruh anak usia sekolah, atau mendekati 83 juta di Asia Tenggara
memiliki defisiensi VA, terlihat dari jumlah konsentrasi serum retinol dibawah 0,70
mol/l (20 g/dl). Penulis lebih jauh memperkirakan bahwa 10,9% atau 9 juta dari
penderita memiliki xerophthalmia ringan (rabun senja atau bercak Bitot), setara
dengan prevalensi keseluruhan 2,6%. Tidak diketahui dalam perkiraan ini adalah
populasi yang potensial sebagai kasus bercak Bitot yang tidak bereaksi sebagaimana
telah dilaporkan pada beberapa populasi usia anak pra-sekolah. Menariknya, kedua
prevalensi yang memperkirakan defisiensi VA dan xerophthalmia melampaui minimal
kesehatan masyarakat dari 15% dan 1,5%, sebagaimana diperkenalkan WHO dan
International Vitamin A Consultative Group (IVACG) untuk menentukan defisiensi
VA sebagai masalah kesehatan masyarakat pada anak usia pra-sekolah. Penulis
mengusulkan hingga ada perubahan terjamin, angka tersebut dapat digunakan untuk
anak usia 5-15 tahun.
Walaupun sangat sedikit data yang terserdia untuk memperkirakan prevalensi
defisiensi VA pada anak usia sekolah di bagian lain dunia, survei populasi atau
penelitian berdasarkan komunitas dapat dilakukan di Kamerun, Ethiopia, Ghana,
Malawi, Senegal, dan Tanzania untuk mengungkap prevalensi 0,5%-6%
xerophthalmia dan 13-60% defisiensi VA.
Perkiraan sementara ini menunjukkan bahwa defisiensi VA pada usia sekolah
dapat menjadi masalah penting kesehatan masyarakat di Asia Tenggara berdasarkan
jumlah anak yang menjadi penderita.

Anda mungkin juga menyukai