Anda di halaman 1dari 3

SUMBERDAYA KELAUTAN

Secara umum, sumberdaya kelautan terdiri atas sumberdaya dapat pulih (renewable
resources), sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa-jasa
lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya dapat pulih terdiri atas
berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan
budidaya laut (mariculture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan
tambang/galian, minyak bumi dan gas. Adapun yang termasuk jasa-jasa lingkungan
kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut. Potensi sumberdaya kelautan ini
belum banyak digarap secara optimal, karena selama ini upaya kita lebih banyak
terkuras untuk mengelola sumberdaya yang ada di daratan yang hanya sepertiga dari
luas negeri ini.
Sumberdaya Dapat Pulih
Kita bersyukur karena selain dianugerahi dengan laut yang begitu luas, juga
dianugerahi beraneka ragam sumberdaya ikan di dalamnya. Potensi lestari ikan laut
sebesar 6,2 juta ton, terdiri ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, ikan
karang konsumsi, udang peneid, lobster, dan cumi-cumi. Potensi sumberdaya
perikanan ini tersebar dalam sembilan wilayah pengelolaan. Masing-masing (1) Selat
Malaka, (2) Laut Cina Selatan, (3) Laut Jawa, (4) Selat Makasar dan Laut Flores, (5)
Laut Banda, (6) Laut Seram sampai Teluk Tomini, (7) Laut Sulawesi dan Samudera
Pasifik, (8) Laut Arafura dan (9) Samudera Hindia (Aziz, dkk, 1998). Apabila potensi
perikanan laut ini dikelola secara serius diperkirakan akan memberikan sumbangan
devisa sebesar US$ 10 milyar per tahun mulai tahun 2003.
Kawasan pesisir dan laut Indonesia yang beriklim tropis, banyak ditumbuhi hutan
mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass), dan rumput laut (seaweed).
Dengan kondisi pantai yang landai, kawasan pesisir Indonesia memiliki potensi
budidaya pantai (tambak) sekitar 830.200 ha yang tersebar di seluruh wilayah tanah
air dan baru dimanfaatkan untuk budidaya (ikan bandeng dan udang windu) sekitar
356.308 ha (Ditjen Perikanan 1998).
Sementara itu, potensi produksi budidaya ikan dan kerang serta rumput laut adalah
46.000 ton per tahun dan 482.400 ton per tahun. Dari keseluruhan potensi produk
budidaya laut tersebut, sampai saat ini hanya sekitar 35 persen yang sudah
direalisasikan. Potensi sumberdaya hayati (perikanan) laut lainnya yang dapat
dikembangkan adalah ekstrasi senyawa-senyawa bioaktif (natural products), seperti
squalence, omega-3, phycocolloids, biopolymers, dan sebagainya dari microalgae
(fitoplankton), macroalgae (rumput laut), mikroorganisme, dan invertebrata untuk
keperluan industri makanan sehat (healthy food), farmasi, kosmetik, dan industri
berbasis bioteknologi lainnya.
Sumberdaya Tidak Dapat Pulih
Sumberdaya alam lainnya yang terkadung dalam laut kita adalah terdapatnya
berbagai jenis bahan mineral, minyak bumi dan gas. Menurut Deputi Bidang
Pengembangan Kekayaan Alam, BPPT dari 60 cekungan minyak yang terkandung
dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut.

Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti
sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi
menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang
diketahui dengan pasti, 7,5 milyar barel di antaranya sudah dieksploitasi, sedangkan
sisanya sebesar 89,5 milyar barel berupa kekayaan yang belum terjamah.
Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung
di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di
laut dalam. Energi non konvensional adalah sumberdaya kelautan non hayati tetapi
dapat diperbaharui juga memiliki potensi untuk dikembangkan di kawasan pesisir dan
lautan Indonesia. Keberadaan potensi ini di masa yang akan datang semakin
signifikan manakala energi yang bersumber dari BBM (bahan bakar minyak) semakin
menepis. Jenis energi ini yang berpeluang dikembangkan adalah ocean thermal
energy conversion (OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus,
konversi energi dari perbedaan salinitas.
Jasa-jasa Lingkungan Kelautan
Dewasa ini pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari) telah menjadi salah satu
produk pariwisata yang menarik dunia internasional. Pembangunan kepariwisataan
bahari pada hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan
objek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan
Indonesia, yang terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai),
keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang
diperkirakan sekitar 263 jenis
Potensi jasa lingkungan kelautan lainnya yang masih memerlukan sentuhan
pendayagunaan secara profesional agar potensi ini dapat dimanfaatkan secara
optimal adalah jasa transportasi laut (perhubungan laut). Betapa tidak, sebagai negara
bahari ternyata pangsa pasar angkutan laut baik antar pulau maupun antar negara
masih dikuasai oleh armada niaga berbendera asing.
Pengelolaan Pembangunan Sumberdaya Kelautan
Pembangunan suatu kawasan akan bersifat berkesinambungan (sustainable) apabila
tingkat (laju) pembangunan beserta segenap dampak yang ditimbulkannya secara
agregat (totalitas) tidak melebihi daya dukung lingkungan kawasan tersebut.
Sementara itu, daya dukung lingkungan suatu kawasan ditentukan oleh
kemampuannya di dalam menyediakan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
bagi kehidupan makhluk hidup serta kegiatan pembangunan manusia, yaitu: (1)
ketersediaan ruang (space) yang sesuai (suitable); (2) ketersediaan sumberdaya alam
untuk keperluan konsumsi dan proses produksi lebih lanjut; (3) kemampuan kawasan
untuk menyerap/mengasimilasi limbah; dan (4) kemampuan kawasan menyediakan
jasa-jasa penunjang kehidupan (life-supporting systems) dan kenyamanan (amneties).
Atas dasar pengertian pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan
kawasan tersebut di atas, maka secara ekologis terdapat empat persyaratan agar
pengelolaan sumberdaya kelautan daerah dapat berlangsung secara optimal dan
berkelanjutan, yaitu:

1. Di dalam suatu kawasan (jika mungkin) ditetapkan terlebih dahulu tiga


mintakat/zona (zone), yaitu: (1) zona preservasi, (2) zona konservasi, dan (3)
zona pemanfaatan intensif. Dalam hal ini, yang dimaksud zona preservasi
adalah suatu kawasan yang mengandung atribut biologis dan ekologis yang
sangat penting (vital) bagi kelangsungan hidup ekosistem beserta biota
(organisme) yang hidup di dalamnya termasuk kehidupan manusia, seperti
keberadaan spesies langka atau endemik, tempat asuhan dan berpijah (nursery
and spawning grounds) berbagai biota laut, alur ruaya (migratory routes) ikan
dan biota laut lainnya, dan sumber air tawar. Oleh karena itu, di dalam zona
preservasi tidak diperkenankan adanya kegiatan pemanfaatan/pembangunan,
kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan. Zona konservasi adalah
kawasan yang diperbolehkan adanya kegiatan pembangunan, tetapi dengan
intensitas (tingkat) yang terbatas dan sangat terkendali, misalnya berupa wisata
alam (ecotourism), perikanan tangkap dan budidaya yang ramah lingkungan
(responsible fisheries), dan pengusahaan hutan mangrove secara lestari.
Sedangkan, zona pemanfaatan intensif adalah kawasan yang karena sifat
biologis dan ekologisnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan
pembangunan yang lebih intensif, seperti industri, pertambangan, dan
pemukiman padat penduduk.
2. Jika kita memanfaatkan sumberdaya dapat pulih, seperti sumberdaya ikan atau
hutan mangrove, maka laju (tingkat) pemanfaatannya tidak boleh melebihi
kemampuan pulih (potensi lestari) sumberdaya tersebut dalam periode waktu
tertentu. Dalam bidang perikanan tangkap, misalnya, potensi lestari biasanya
didefinisikan sebagai MSY (maximum sustainable yield atau Hasil Tangkap
Maksimum yang Lestari). Sementara ini, sudah ada pedoman dari Direktorat
Jenderal Perikanan bahwa tingkat penangkapan/pemanenan suatu stok ikan
tidak boleh melebihi 80% dari nilai MSY-nya. Dalam pada itu, untuk sumberdaya
tak dapat pulih, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan bahan tambang
lainnya, pedomannya adalah bahwa kegiatan pemanfaatan (eksploitasi), proses
produksi (pengolahan) dan distribusi/transportasinya harus dilakukan secara
cermat, sehingga tidak merusak lingkungan sekitarnya. Jika kita menggunakan
kawasan laut sebagai tempat pembuangan limbah, maka syarat pertama adalah
bahwa jenis limbah tersebut bukan yang bersifat B3 (Bahan Berbahaya dan
Beracun). Selain itu, jumlah (beban, load) limbah yang dibuang ke dalam
kawasan laut termaksud harus tidak melampaui kapasitas asimilasi (assimilative
capacity) dari perairan tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kapasitas
asimilasi adalah kemampuan kawasan perairan laut di dalam menerima jumlah
limbah tertentu, tanpa mengakibatkan penurunan fungsi (peruntukan) perairan
termaksud atau tanpa menimbulkan kerusakan ekologis atau penurunan
kesehatan manusia yang menggunakan perairan
3. Di dalam melakukan kegiatan rancangan (design) dan konstruksi atau modifikasi
bentang alam (morfologi) pantai atau laut dalam, seperti pembangunan dermaga
laut (jetty), struktur pemecah gelombang (breakwaters), dan marina, harus
disesuaikan dengan karakteristik dan dinamika biogeofisik setempat, termasuk
pola arus, gelombang, dan struktur geologi

Anda mungkin juga menyukai