Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Patologi merupakan cabang bidang kedokteran yang berkaitan
dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan
fungsi atau keadaan bagian tubuh. Bidang patologi terdiri atas patologi
anatomi dan patologi klinik. Ahli patologi anatomi membuat kajian dengan
mengkaji organ sedangkan ahli patologi klinik mengakaji perubahan
patologi klinik mengkaji perubahan pada fungsi yang nyata pada fisiologi
tubuh Patologi kehamilan adalah penyulit atau gangguan atau komplikasi
yang menyertai ibu saat hamil (Sijiatini, Mufdlilah, dan Hidayat, 2009).
Anemia oleh orang awam dikenal sebagai kurang darah. Anemia
adalah suatu penyakit di mana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang
dari normal.
Wiknjosasto (2005 dalam Rukiyah, 2010) mengatakan bahwa
hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang berlebihan pada ibu
hamil,
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi atau berakhirnya
kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia luar (viable), tanpa
mempersoalkan penyebabnya dengan berat badan <500 gram atau mur
kehamilan <20 minggu (Fadlun dan Achmad, 2011).
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar rongga
rahim (kavum uteri).
Mola haditidosa adalah suatu kehamilan di mana hasil konsepsi tidak
berkembang menjadi embrio, tetapi terjadi proliferasi dari vili koriales
disertai dengan degenerasi hidropik (Fadlun dan Achmad, 2011)
Badan

kesehatan

dunia

(World

Health

Organization/WHO)

melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi


sekitar 35-75% serta semakin meningkat seiring dengan pertambah usia
kehamilan. Menurut WHO 40% kematian ibu dinegara berkembang
berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan anemia pada

kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut. (Rukiyah


dan Lia, 2010).
Insiden dari hiperemis gravidarum adalah 0,5-10/1.000 kehamilan.
Kemungkinan terjadinya penyekit ini adalah tinggi pada orang kulit putih
(16/1.000 kelahiran) dan rendah pada orang kulit hitam (7/1.000 kelahiran).
Penyakit ini rata-rata muncul pada usia kehamilan 8-12 minggu (Fadlun dan
Achmad, 2011).
Sampai saat ini janin yang terkecil yang dilaporkan dapat hidup
diluar kandungan, mempunyai berat badan 297 gr dalam lahir, akan tetapi,
karena janin yang dilahirkan dengan berat badan dibawah suatu kehamilan
(ole akibat-akibat tertentu) pada waktu sebelum kehamilan tersebut berusia
22 minggu atau buah kehamilan belum mampu hidup di luarkandungan
(Ilmu Kebidanan, 2006 dalam Rukiyah dan Lia, 2010).
Kehamilan ektopik merupakan penyebab utama yang keempat dari
seluruh mortalitas ibu dan penyebab yang paling lazim dari mortalitas ibu
dalam trimester pertama. Lebih dari 95% kehamilan ektopik tumbuh di
berbagai anatomi pada tuba fallopi, termasuk bagian interstisial 1%, istmus
5%, ampularis 85%, dan ifundubularis 9%. Tempat implantasi lain yang
lebih jarang adalah serviks, ovarium, sampai peritoneum (Fadlun dan
Achmad, 2011).
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa mampu dan mengetahui komplikasi dan penyulit yang
menyertai kehamilan.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan penyulit-penyulit dalam kehamilan.
3. mampu menanggulangi secara dini komplikasi dari kehamilan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia Kehamilan


2.1.1 Definisi
Anemia oleh orang awam dikenal sebagai kurang darah.
Anemia adalah suatu penyakit di mana kadar hemoglobin (Hb) dalam
darah kurang dari normal. Anemia berbeda dengan tekanan darah
rendah. Tekanan darah rendah adalah kurangnya kemampuan otot
jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh sehingga
menyebabkan kurangnya aliran darah yang samapai ke otak dan
bagian tubuh lainnya (Fadlun dan Achmad, 2011).
Anemia kehamilan yaitu ibu hamil dengan kadar Hb<11g%
pada trimester I dan III atau Hb < 10,5g% pada trimester II. Gejala
yang mungkin timbul pada anemia adalah keluhan lemah, pucat, dan
mudah pingsan, walaupun tekanan darah masih dalam batas normal.
Secara klinik dapat dilihat tubuh yang malnutrisi dan pucat (Fadlun
dan Achmad, 2011).
Anemia merupakan suatu keadaan adanya penurunan kadar
hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit di bawah nilai nirmal.
Pada penderita anemia, lebih sering di sebut kurang darah, kadar sel
darah merah (hemoglobin/Hg) di bawah nilai nirmal. Penyebabnya
bisa karena kurangnya zah gizi untuk pembentukan darah, misalnya
zat besi, asam folat dan vitamin B12. Tetapi yang sering terjadi adalah
anemia karena kekurangan zat besi. (Rukiyah dan Lia, 2010).
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar
haemoglobin dibawah 10,5 sampai dengan 11,0 g/dl (Laros, dalam
Tarwoto 2007).

Sebagian besar anemia di Indonesia penyebabnya adalah


kekurangan zat besi. Zat besi adalah salah satu unsur gizi yang
merupakan komponen pembentuk Hb atau sel darah merah. Oleh
karena itu disebut Anemia Gizi Besi.
2.1.2

Etiologi
Anemia

defisiensi

besi

pada

kehamilan

hipervolemia,

menyebebkan terjadinya pengenceran darah, pertambahan darah tidak


sebanding dengan pertambahan plasma, kurangnya zat besi dalam
makanan, kebutuhan zat besi meningkat. (Rukiyah dan Lia, 2010).
Anemia gizi bezi dapat terjadi karena hal-hal berikut ini
(Fadlun dan Achmad, 2011).
1. Kandungan zat besi dari makanan yang dikonsumsi tidak
mencukupi kebutuhan.
a. Makanan yang kaya akan kandungan zat besi adalah makanan
yang berasal dari hewani (seperti: ikan, daging, hati, ayam).
b. Makanan nabati (dari tumbuh-tumbuhan) misalnya sayuran
hijau tua, yang walaupun kaya akan zat besi, namun hanya
sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus.
2. Meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi.
a. Pada masa pertumbuhan seperti anak-anak dan remaja,
kebutuhan tubuh akan zat besi meningkat tajam.
b. Pada masa hamil kebutuhan zat besi meningkat karena zat besi
diperlukan untuk pertumbuhan janin, serta untuk kebutuhan ibu
sendiri.
c. Pada penderita penyakit menahun seperti TBC.
3. Meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh.
a. Perdarahan atau kehilangan darah dapat menyebabkan anemia.
Hal ini terjadi pada pasien dengan penyakit berikut ini.
b. Kecacingan (terutama cacing tambang). Infeksi cacing tambang
menyebabkan perdarahan pada dinding usus, meskipun sedikit
tetapi terjadi terus-menerus yang mengakibatkan hilangnya
darah atau zat besi.
c. Malaria pada penderita anemia gizi besi dapat memperberat
keadaan anemianya.

d. Kehilangan darah waktu haid berarti mengeluarkan zat besi


2.1.3

yang ada dalam darah.


Manifestasi Klinis
Gejala- gejala dapat berupa kepala pusing, palpitasi,
berkunang-kunang, perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem
neurumuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia, dan pembesaran kelenjar
limpa. Bila kadar Hb< 7gr/dl maka gejala-gejala dan tanda-tanda
anemia akan jelas. (Rukiyah dan Lia, 2010).

2.1.4

Dampak Anemia Kehamilan


Beberapa dampak anemia pada kehamilan adalah sebagai berikut
(Fadlun dan Achmad, 2011):
1. Abortus, lahir prematur, lamanya waktu partus karena kurang daya
dorong rahim, pendarahan postpartum, rentan infeksi , rawan
dekonpensasi kordis pada penderita dengan Hb kurang dari 4g%.
2. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok bahkan kematian
ibu saat persalinan, meskipun tidak disertai pendarahan.
3. Kematian bayi dalam kandungan, kematiann bayi pada usia sangat
muda, serta cacat bawaan.
Menurut Rukiyah dan Lia (2010) Anemia pada ibu hamil bukan
tanpa resiko menurut penelitian, tingginya angka kematian ibu
berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga menyebabkan rendahnya
kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak cukup mendapat
pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi
komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian
maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah dan
angka kematian perinatal meningkat. Perdarahan antepartum dan
postpartum lebih sering di jumpai pada wanita yang anemis dan lebih
sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat
mentolerir kehilangan darah.
Dampak anemia pada kehamilan, bervariasi dari keluhan yang
sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan
atau (abortus, partus immatur atau prematur), gangguan roses
kehamilah (inertia, atonia, partus lama, perdarahan atonis), gangguan
pada masa infas ( subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan
stres, kurang produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin

(abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian perinatal, dll).


2.1.5

(Rukiyah dan Lia, 2010).


Pencegahan dan Terapi Anemia
Menurut Fadlun dan Achmad (2011) pencegahan dan terapi
anemia adalah:
1. Meningkatkan menkonsumsi makanan bergizi.
Makan makanan yang banyak mengandung zat besi besi
dari bahan makanan hewani (daging, ikan, ayam, hati, telur) dan
bahan makanan nabati (sayur bewarna hijau tua, kacang-kacangan,
tempe). Makan sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak
mengandung vitamin C (daun katuk, daun singkong, bayam,
jambu, tomat, jeruk, dan nanas) sangat bermanfaat untuk
meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus.
2. Menambah pemasukan zat besi kedalam tubuh dengan minum
Tablet Tambah Darah (TTD)
3. Mengobati penyakit yang menyebabkan atau memperberat anemia

seperti: kecacingan, malaria, dan penyakit TBC.


4. Tablet Tambah Darah
Tablet tambah darah adalah tablet besi folat yang setiap
tablet mengandung 200 mg Ferro Sulfat atau 60 mg besi elemental
dan 0,25 mg asam folat. Wanita mengalami menstruasi sehingga
memerlukan zat besi untuk mengganti darah yang hilang. Wanita
yang sedang hamil atau menyusui , kebutuhan zat besinya sangat
tinggi sehingga perlu dipersiapkan sedini mungkin semenjak
remaja. Minumlah 1 tablet setiap hari selam haid. Untuk ibu hamil,
minumlah 1 tablet tambah darah setiap hari paling sedikit selama
90 nhari masa kehamilan dan 40 hari setelah melahirkan.
5. Zat Besi (Fe)
Zat besi merupakan mineral mikro yang npaling banyak
terdapat dalam tubuh manusia, yaitu sebanyak 3-5 gram. Pada
tubuh, zat besi merupakan bagian dari hemoblobin yang berfungsi
sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh.
Dengan berkurangnya Fe, sintesis hemoglobin berkurang dan
akhirnya kadar haemoglobin akan menurun.
Beberapa akibat dari kekurangan zat besi pada kehamilan
adalah hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun

sel otak, kematian janin, abortus, cacat bawaan, Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR), anemia pada bayi yang dilahirkan, lahir
prematur,pendarahan, dan rentan infeksi.
2.2 Hiperemisis Gravidarum (HEG)
2.2.1 Definisi
Wiknjosasto (2005 dalam Rukiyah, 2010) mengatakan bahwa
hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang berlebihan
pada ibu hamil, seorang ibu menderita hiperemesis gravidarum jika
seorang ibu memuntahkan segala yang di makan dan di minumnya
hingga berat badan ibu sangat turun, turgor kulit kurang diurese
kurang dan timbul aseton adalah air kencing.
Hiperemesis gravidarum juga dapat di artikan keluhan mual
muntah yang di kategorikan berat jika ibu hamil selalu muntah setiap
kali minum ataupun makan. Akibatnya, tubuh sangat lemas, muka
pucat, dan frekuensi buang air kecil menurun drastis, aktifitas seharihari menjadi terganggu dan keadaan umum menurun. Meski begitu,
tidak sedikit ibu hamil yang masih mengalami mual muntah sampai
trismester ke tiga ( Cunningham, 2005 dalam Rukiyah, 2010).
Hiperemis gravidarum adalah gejala mual dan muntah yang
berlebihan pada ibu hamil. Istilah hiperemis gravidarum dengan
gangguan metabolik yang bermakna karena mual dan muntah.
Penderita hiperemis gravidarum biasanya dirawat di rumah sakit.
Etiologinga belum pasti, diduga ada hubungannya dengan paritas,
hormonal, neurologis, metabolik, stres psikologis, keracunan, dan tipe
kepribadian (Fadlun dan Achmad, 2011).
Hiperemis gravidarum adalah mual muntah berlebihan
sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari dan keadaan umum
menjadi buruk. Mual dan muntah merupakan gangguan yang paling
sering ditemui pada kehamilan trimester I, kurang lebih 6 minggu
setelah haid terakhir selama 10 minggu. Sekitar 60-80% multigravida
mengalami mual muntah, namun gejala ini terjadi lebih berta hanya
pada 1 di antara 1.000 kehamilan (Mitiyani, 2011).

Hiperemis gravidarum sering disertai dengan dehidrasi


(kehilangan BB 5%), gangguan elektrolit, dan ketosis. Sebaiknya
penyebab dari mual muntah segera dievaluasi. Kemungkinan
penyebabnya mual muntah dalam kehamilan adalah hiperteriodism,
mola hidatidosa, dan hepatitis (Fadlun dan Achmad, 2011).
2.2.2

Etiologi
Etiologi hiperemis gravidarum belum diketahui secara pasti,
namun dipengaruhi oleh berbagai factor berikut ini (Rukiyah dan
Lia,2010). :
a. Faktor predisposisi seperti primigravida, molahidatosa, dan
kehamilan ganda.
b. Faktor organic seperti alergi masuknya vilikhorialis dalam
sirkulasi, perubahan metabolic akibat kehamilan, dan resistensi ibu
yang menurun.
c. Alergi, sebagai salah satu respon dari jaringan ibu terhadap anak
juga di seut sebagai salah satu faktor organik (Wiknjosasto ,2005)
d. Faktor psikologi
Faktor ini memegang peranan penting pada penyakit ini.Rumah
tangga yang retak, kehilangan pekerjaan, takut terhadap kehamilan
dan persalinan, takut terhadap tanggungan sebagai ibu, dapat
menyebabkan konflik mental yang dapat memperberat mual dan
muntah sebagai ekspresi tidak sadar terhadap keengganan menjadi
hamil atau sebagai pelarian kesukaran hidup.
e. Faktor adaptasi dan hormonal, pada wanita hamil yang kekurangan
darah lebih sering terjadi hiperemis gravidarum dapat di masukan
dalam ruang lingkup faktor adaptasi adalah wanita hamil dengan
anemia. Wanita primigravida dan over distensi rahim pada hamil
ganda dan hamil mola hidatidosa, jumlah hormon yang di
keluarkan terlalu tinggi dan menyebabkan terjadinya hiperemis
gravidarum (Manuaba, 1998). Peningkatan hormon esterogen dan
hormon chorionic gonadotropin (HCG). Pada kehamilan di nilai
terjadi perubahan juga pada sistem endokrinologi, terutama untuk
hormon esterogen dan HCG yang di nilai mengalami peningkatan.
Sejalan dengan yang di ungkapkan pada poin pertama bahwa pada

kehamilan molahidatidosa dan kahamilan ganda, memang terjadi


pembentukan hormon yang berlebihan. ( Cunningham, 2005)
2.2.3

Manifestasi Klinis
Penyakit hiperemis gravidarum dibagi dalam beberapa tingkat
berdasarkan berat ringannya gejala yaitu sebagai berikut (Fadlun dan

Achmad, 2011):
1. Tingkat 1.
Gejala: lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, nyeri
epigastrium, nadi meningkat, turgor kulit berkurang, tekanan darah
sistolik menurun, lidah kering, dan mata cekung.
2. Tingkat 2.
Gejala: apatis, nadi cepat dan kecil, lidah kering dan kotor, mata
sedikit ikterik, kadang suhu sedikit meningkat, oliguria, serta
aseton tercium dalam hawa pernapasan.
3. Tingkat 3.
Keadaan umum lebih lemah lagi, muntah-muntah berhenti,
kesadaran menurun dari somnolen sampai koma, nadi lebih cepat,
tekanan darah lebih turun, komplikasi fatal ensefalopati wernicke,
2.2.4

nistagmus, diplopia, perubahan mental, dan ikterik.


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penyakit
hiperemis gravidarum adalah sebagai berikut (Fadlun dan Achmad,
2011):
1. Analisis urine, kultur urine, menilai peningkatan endapan spesifik,
2.
3.
4.
5.
6.

infeksi atau bilirubinuria, HCG urine atau darah.


Darah rutin.
Na, Cl, K, Glukosa, kreatinin, dan asam urat.
Fungsi hati (SGOT, SGPT, alkaline fosfatase).
Pemeriksaan tiroid (tiroksin dan TSH).
USG untuk menyingkirkan kemungkinan mola.
Jika kondisinya berat dan/lama, hati-hati, harus dapat
menyingkirkan kelainan patologis (apendisitis akut, obstruksi
saluran pencernaan, penyakit hepar, kandung kemih, pankreas,

2.2.5

hiatus hernia, ISK, dan lesi intrakranial).


Diagnosis
Umumnya tidak sukar untuk menegakan diagnosa hiperemis
gravidarum. Harus di tentukan adanya kehamilah muda dengan mual

dan muntah yang terus menerus, sehingga berpengaruh terhadap


keadaan umum dan juga dapat menyebabkan kekurangan makan yang
dapat mempengaruhi perkembangan jaring sehingga pengobatan perlu
segera di berikan. Juga bisa di lihat dari hasil pemeriksaan
laboratorium, yang menunjukan adanya bendan keton dalam urin
(Wiknjosasto ,2005). Namun harus di pikirkan juga kemungkinan
kehamilan

muda

dengan

penyakit

pielonefritis,

hepatitis,

ulkusventrikuli dan tumor serebri yang bisa memberikan gejala


muntah. Cunningham (2005 dalam Rukiyah dan Lia, 2010)
2.2.6

Penatalaksanaan
Bila pencegahan tidak berhasil, maka diperlukan pengobatan
dengan tahapan sebagai berikut (Mitayani, 2011):
1) Ibu diisolasi dalam kamar yang tenang dan cerah dengan
pertukaran cahaya yang baik. Kalori deberikan secara parental
dengan glukosa 5% dalam cairan fisiologis sebanyak 2-3 liter
sehari.
2) Deuresis selalu dikontrol untuk keseimbangan cairan.
3) Bila selama 24 jam ibu tidak muntah, coba berikan makan dan
minum sedikit demi sedikit.
4) Sedatif yang diberikan adalah fenobarbital.
5) Pada keadaan yang lebih berat, berikan antiemetik seperti
metoklopramid, disiklomin hidroklorida, atau klopromazin.
6) Berikan terapi psikologis yang meyakinkan ibu bahwa penyakitnya
bisa disembuhkan serta menghilangkan perasaan takut akan
kehamilan dan konflik yang melatarbelakangi hiperemesis.
Pemberian obat-obatan yaitu dengan obat sedatif, antihistamin,
serta vitamin B1 dan B6 sampai antiemetik. Penderita diisolasi sampai
muntah berhenti dan penderita mau makan. Berikan terapi psikologis,
hilangnya rasa takut karena kehamilan, kurangi pekerjaan, serta
hilangkan masalah dan konflik. Berikan cairan cukup elektrolit,
karbohidrat, dan protein dengan glukosa 5% dalam cairan garam
fisiologis sebanyak 2-3 liter sehari. Bila perlu, dapat ditambah kalium
dan vitamin. Penghentian kehamilan dapat dilakukan bila keadaan
memburuk (Fadlun dan Achmad, 2011).

Penatalaksanaan pada ibu dengan hiperemis gravidarum di


mulai dengan (Rukiyah dan Lia, 2010):
1. Pencegahan
Pencegahan terhadap hiperemesis gravidarum diperlukan
dengan jalan memberikan penerapan tentang kehamilan dan
persalinan sebagai suatu proses yang fisiologis. Hal itu dapat
dilakukan dengan cara :
1) Memberikan keyakinan bahwa mual dan muntah merupakan
gejala yang fisiologik pada kehamilan muda dan akan hilang
setelah kehamilan berumur 4 bulan.
2) Ibu dianjurkan untuk mengubah pola makan sehari-hari dengan
makanan dalam jumlah kecil tetapi sering.
3) Waktu bangun pagi jangan segera turun dari tempat tidur, tetapi
dianjurkan untuk makan roti kering arau biskuit dengan teh
hangat
4) Hindari makanan yang berminyak dan berbau lemak
5) Makan makanan dan minuman yang disajikan jangan terlalu
panas atau terlalu dingin
6) Usahakan defekasi teratur.
2. Terapi obat-obatan
Apabila dengan cara diatas keluhan dan gejala tidak
berkurang maka diperlukan pengobatan.
1) Sedativa yang sering diberikan adalah phenobarbital
2) Vitamin yang sering dianjurkan adalah vitamin B1 dan B2 yang
berfungsi untuk mempertahankan kesehatan saraf, jantung, otot
serta

meningkatkan

pertumbuhan

dan

perbaikan

sel

(Admin,2007) dan B6 berfungsi menurunkan keluhan atau


gangguan mual dan muntah bagi ibu hamil dan juga membantu
dalam

sintesa

untuk

pembentukan

sel

darah

merah

(Admin,2007).
3) Antihistaminika juga di anjurkan pada keadaan lebih berat di
berikan

antimimetik

seperti

disklomin

hidrokhloride,

dramamine, avomine (wikndjosastro, 2005)


3. Isolasi
Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, tetapi
cerah dan peredaran udara baik. Jangan terlalu banyak tamu, kalau
perlu hanya perawat dan dokter saja yang boleh masuk. Catat

cairan yang keluar dan masuk. Kadang-kadang isolasi dapat


mengurangi atau menghilangkan gejala ini tanpa pengobatan
4. Terapi psikologi
Perlu di yakinkan kepada penderita bahwa penyakit dapat
di sembuhkan, hilangkan rasa takut oleh karena kehamilan,
kurangi pekerjaan serta menghilangkan masalah dan konflik, yang
kiranya dapat menjadi latar belakang penyakit ini (wikndjosastro,
2005).
Bantuan

yang

positif

dalam

mengatasi

permasalah

psikologis dan sosial di nilai cukup signifikan memberikan


kemajuan keadaan umum (Admin,2008).
5. Diet
Ciri khas diet hiperemesis adalah penekanan karbohidrat
kompleks terutama pada pagi hari , serta menghindari makanan
yang berlemak dan goreng-gorengan untuk menekan rasa mual
dan muntah, sebaiknya di beri jarak dalam pemberian makan dan
minum. Diet pada hiperemesis bertujuan untuk mengganti
persediaan glikogen tubuh dan mengontrol asidosis secara
berangsur memberikan makanan berenergi dan zat gizi yang
cukup. (Dinar, 2008).
Diet hiperemesis gravidarum memiliki beberapa syarat, di
antaranya adalah karbohidrat tinggi, yaitu 75- 80 % dari
kebutuhan energi total, lemak rendah, yaitu <10% dari kebutuhan
energi total, protein sedang, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi
total, makanan di berikan dalam bentuk kering, pemberian cairan
di sesuaikan dengan keadaan pasien, yaitu 7-10 gelas/ hari,
makanan mudah di cerna, tidak merangsang saluran pencernaan
dan diberikan sering dalam porsi kecil, bila makan pagi dan sulit
diterima, pemberian di optimalkan pada makan malam dan
selingan malam, makanan secara berangsur di tingkatkan dalam
porsi dan nilai gizi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan gizi
pasien ( Dinar,2008).
Ada tiga macam diet pada hiperemesis gravidarum, yaitu:
1) Diet hiperemesis I diberikan pada hiperemesis tingkat III.

Makanan hanya berupa rod kering dan buah-buahan. Cairan


tidak diberikan bersama makanan tetapi 1 2 jam sesudahnya.
Makanan ini kurang dalam semua zat zat gizi, kecuali vitamin
C, karena itu hanya diberikan selama beberapa hari.
2) Diet hiperemesis II diberikan bila rasa mual dan muntah
berkurang.
Secara berangsur mulai diberikan makanan yang bernilai
gizi linggi. Minuman tidak diberikan bersama makanan
.Makanan ini rendah dalam semua zat-zal gizi kecuali vitamin A
dan D.
3) Diet hiperemesis III diberikan kepada penderita dengan
hiperemesis ringan.
Menurut kesanggupan penderita minuman boleh diberikan
bersama makanan.Makanan ini cukup dalam semua zat gizi
kecuali Kalsium.
4) Makan yang anjurkan untuk hiperemesis I,II,III adalah roti
panggang, biskuit, crackers, buah segar dan sari buah, minuman
botol ringan, sirup, kaldu tak berlemak, teh dan kopi encer.
Sedangkan makanan yang tidak di anjurkan adalah makanan
yang umumnya merangsang saluran pencernaan dan berbumbu
tajam. Bahan makanan yang mengandung alkohol, kopi yang
mengandung zat tambahan (pengawet, pewarna dan penyedap
rasa) juga tidak di anjurkan (Dinar,2008).
5) Diet pada ibu yang mengalami hiperemesis terkadang melihat
kondisi si ibu dan tingkatan hiperemesisnya, konsep saat ini
yang di anjurkan pada ibu adalah makanlah apa yang ibu suka,
bukan makan sedikit-sedikit tai sering juga, jangan paksakan ibu
memakan apa yang saat ini membuat mual karena diet tersebut
tidak akan berhasil maka akan memperparah kondisinya.
6. Cairan parenteral ( jika ibu di rawat di rumah sakit dan atas
insruksi dokter)
Berikan cairan parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat
dan protein dengan glokose 5% dalam cairan fisiologis sebanyak
2-3 liter sehari. Bila perlu dapat di tambah kalium dan vitamin,
khususnya vitamin B kompleks dan vitamin C dan bila ada

kekurangan protein, dapat di berikan pula asam amino secara


intravena. Di buat daftar kontrol cairan yang masuk dan yang di
keluarkan. Air kencing perlu di periksa sehari-hari terdahap
protein, aseton, khloridadan bilirubin. Suhu dan nadi di periksa
setiap 4 jam dan tekanan darah 3 kali sehari. Di lakukan
pemeriksaan hematokrit pada permulaan dan seterusnya menurut
keperluan. Bila selama 24 jam penderita tidak muntah dan
keadaan umum bertambah baik dapat di coba untuk di berikan
minuman, dan lambat laun minuman dapat di tambah dengan
makanan yang tidak cair. Dengan penanganan di atas, pada
umumnya gejala-gejala akan berkurang dan keadaan akan
bertambah baik.
7. Penghentian kehamilan
Pada sebagian kecil kasus keadaan tidak menjadi baik,
baahkan mundur. Usahakan mengadakan pemeriksaan medik dan
psikiatrik jika memburuk. Delirium, kebutaan, takikardi, ikterus,
anuria dan perdarahan merupakan manifestasi komplikasi organik.
Dalam keadaan demikian perlu di pertimbangkan untuk mengahiri
kehamilan. Keputusan untuk melakukan abortus terapeutik sering
sulit di ambil, oleh karena di satu pihak tidak boleh di lakukan
terlalau cepat, tetapi di lain pihak tidak boleh menunggu sampai
terjadi gejala irreversibel pada organ vital ( wiknjosastro, 2005).
Pada beberapa keadaan hiperemesis gravidarum yang sudah
cukup parah dan di nilai bisa mengancam kesejakteraan ibu dan
janin maka dapat di pertimbangkan pengakhiran kehamilan
(Fraser, 2003. Henderson dan McDonald, 2004., Cunningham,
2005).
8. Komplikasi
Dampak yang di timbulkan dapat terjadi pada ibu dan janin,
seprti ibu akan kekurangan nutrisi dan cairan sehingga keadaan
fisik ibu menjadi lemahdan lelah dapat pula mengakibatkan
gangguan asam basa, pneumini aspirasi, robekan mukosa pada
hubungan gastroesofagi yang menyebabkan peredaran ruptur
esofagus, kerusakan hepar dan kerusakan ginjal, ini akan

memberikan pengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan


janin karena nutrisi yang tidak terpenuhi atau tidak sesuai dengan
kehamilan, yang mengakibatkan peredaran darah janin berkurang
(Setiawa, 2007). Pada bayi, jika hiperemesis ini terjadi hanya di
awal kehamilan tidak berdampak terlalu serius, tapi jika
sepanjang kehamilan si ibu menderita hiperemesis gravidarum,
maka kemungkinan bayinya BBLR, IUGR, prematur hingga
terjadi abortus (Wiknjosastro, 2005).

2.2.7

Patologis
Menurut Prawirohardjo (2005, Rukiyah dan Lia,2010) bedah
mayar dapa mayat wanita yang meninggal karena hiperemis
gravidarum menunjukan kelainan-kelainan pada berbagai alat dalam
tubuh, yang juga dapat di temukan pada malnutrisi oleh beberapa
macam sebab adalah :
a. Pada hati tampak degenerasi lemak tanpa nekrosis yang terletak
sentrilobuler kelainan ini nampaknya tidak menyebabkan kematian
yang di anggap sebagai akibat muntah yang terus menerus. Tetapi
separuh penderita yang meninggal karena hiperemis gravidarum
menunjukan gambaran mikroskopik hati yang normal.
b. Pada jantung menjadi tampak lebih kecil daripada biasanya dan
beratnya atrofi dan sejalan dengan lamanya penyakit, kadangkadang di temukan perdarahan sub-endokardial.
c. Di otak dapat di temukan ensefalopati wernicke yaitu dilatasi
kapiler dan perdarahan kecil kecil di daerah korpora mamilaria
ventrikel ke tiga dan ke empat.
d. Ginjal tampak pucat dan degenerasi lemak dapat di temukan pada

2.2.8

tubuli kontorti.
Patofisiologi
Ada yang menyatakan bahwa, perasaan mual adalah akibat
dari meningkatnya kadar estrogen, oleh karena keluhan ini terjadi

pada trimester pertama. Pengaruh psikologik hormon estrogen ini


tidak jelas, mungkin berasal dari sistem saraf pusat atau akibat
berkurangnya

pengosongan

lambung.Penyesuaian

terjadi

pada

kebanyakan wanita hamil, meskipun demikian mual dan muntah dapat


berlangsung berbulan-bulan. Wiknjosasto (2005 dalam Rukiyah,
2010).
Hiperemesis garavidarum yang merupakan komplikasi mual
dan muntah pada hamil muda, bila terjadi terus-menerus dapat
menyebabkan dehidrasi dan tidak seimbangnya elektrolit dengan
alkalosis hipokloremik. Belum jelas mengapa gejala ini hanya terjadi
pada sebagian kecil wanita, tetapi faktor psikologik merupakan faktor
utama, disamping faktor hormonal. Yang jelas wanita yang sebelum
kehamilan sudah menderita lambung spastik dengan gejala tak suka
makan dan mual, akan mengalami emesis gravidarum yang berat.
Wiknjosasto (2005 dalam Rukiyah, 2010).
Hiperemesis gravidarum ini dapat mengakibatkan cadangan
karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena
oksidasi lemak yang tak sempurna, terjadilah ketosis dengan
tertimbunnya asam aseton-asetik, asam hidroksi butirik dan aseton
dalam darah.Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan
karena muntah menyebabkan dehidrasi, sehmgga cairan ekstraselurer
dan plasma berkurang. Natrium dan Khlorida darah turun, demikian
pula

Khlorida

air

kemih.Selain

itu

dehidrasi

menyebabkan

hemokonsentrasi, sehingga aliran darah ke jaringan berkurang.Hal ini


menyebabkan jumlah zat makanan dan oksigen ke jaringan berkurang
pula dan tertimbunlah zat metabolik yang toksik.Kekurangan Kalium
sebagai akibat dari muntah dan bertambahnya ekskresi lewat ginjal,
bertambahnya frekuensi muntah-muntah yang lebih banyak, dapat
merusak hati dan terjadilah lingkaran setan yang sulit dipatahkan.
Wiknjosasto (2005 dalam Rukiyah, 2010).
2.3 Abortus

2.3.1

Definisi
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi atau berakhirnya
kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia luar (viable), tanpa
mempersoalkan penyebabnya dengan berat badan <500 gram atau mur
kehamilan <20 minggu (Fadlun dan Achmad, 2011).
Abortus adalah berakhirnya kehamilan dengan pengeluaran
hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan dengan
usia gestasi kurang dari 20 minggu dan berat janin kurang dari 500
gram (Murray, 2002 dalam Mitayani, 2011).
Abortus didefinisikan sebagai keluarnya hasil konsepsi
sebelum mampu hidup diluar kandungan dengan berat badan <1000 gr
atau umur kehamilan kurang dari 28 minggu (Manuaba, 1998:214
dalam Rukiyah dan Lia, 2010).
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibatakibat tertentu) atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu
atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di luar kandungan
(Sarwono, 2006 dalam Rukiyah dan Lia, 2010).
Abortus atau kekguguran adalah terhentinya kehamilan
sebelum janin dapat bertahan hidup, yaitu sebelum kehamilan berusia
22 minggu atau berat janin belum mencapai 500 gr.
Abortus biasanya ditandai dengan terjadinya pendarahan pada
wanita yang hamil, dengan adanya peralatan USG, sekarang dapat
diketahui abortus dapat dibedakan menjadi dua jenis, yang pertama
adalah abortus karena kegagalan perkembangan janin dimanan
gambaran USG menunjukkan kantong kehamilan yang kosong,
sedangkan jenis, sedangkan yang ke dua adalah abortus karena
kematian janin, dimana janin tidak menunjukkan tanda-tanda
kehidupan seperti denyut jantunga atau pergerakan yang sesuai

dengan usia kehamilan (obstertic patologi FK UNPAD dalam Rukiyah


dan Lia,2010).

2.3.2

Etiologi
Etiologi ynag menyebabkan terjadinya abortus adalah sebagai berikut
(Mitayani, 2011).
1) Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi: kelainan kromosom,
lingkungan nidasi kurang sempurna, dan pengaruh luar.
2) Infeksi akut, pneumonia, pielitis, demam tifoid, toksoplasmosis,
dan HIV.
3) Abnormalitas traktur genitalis, serviks inkompeten, dilatasi serviks
berlebihan, robekan serviks, dan retroversio uterus.
4) Kelainan plasenta.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan abotus antara lain
(Rukiyah dan Lia, 2010).
a. Faktor janin, faktor janin penyebab keguguran adalah kelainan
genetik, dan ini terjadi pada 50%-60% kasus keguguran, faktor
kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah
gangguan pertumbuhan zigot, embrio, janin atau placenta,
kelainan tersebut biasanya menyebabkan abotus pada trimester
pertama, yakni: a. Kelainan telur, telur kosong, kerusakan embrio,
atau kelainan kromosom, (Monosomi, trisomi, atau poliploidi), b.
Embrio dalam kelainan lokal, c. Abnormalitas pembentukan
plasenta (hipoplasi topoblas).
b. Faktor ibu : a. Kelainan endokrin (hormonal ) misalnya
kekurangan

tiroid,

kencing

manis;

b.

Faktor

kekebalam

(imunologi) misalnya pada penyakit lupus, anti pospolipid


sindrom; c. Imfeksi, diduga akibat beberapa virus seperti cacar air,
campak jerman, toksoplasma herpes, kiamidia;d. Kelemahan otot
leher rahim; e. Kelaina bentuk rahim
c. Faktor bapak : kelainan kromosom dan inveksi spermadiduga
dapat menyebabkan abortus.
d. Faktor genetik 9,10, sekitar 5 % abortus terjadi karena faktor
genetik. Paling sering ditemukannya kromosom trisomi dengan

trisomi 16. Penyebab paling sering manimbulkan abortus spontan


adalah abnormalitas kromosom pada janin.
e. Faktor anatomi kongenital dan didapat pernah dilaporkan timbul
pada 10-15% wanita dengan abortus aspontan dengan rekuren: lesi
anatomi koengenital yaitu kelainan duktus mullerian (uterus
bersepta).
f. Pemeriksaan yang dpat dianjurkan kepada pasien ini adalah
pemeriksaan USG dan HSG.
g. Faktor endokrin: a. Faktor endokrin berpotensi menyebabkan
aborsi pada sekitar 10-20% kasus; b. Insufisiensi fase luteal
( fungsi corpus luteum yang anormal dengan tidak cukupnya
produksi

progesteron;

c.hipoteroidisme,

hipoprolaktinemia,

diabetes dan sindrom polikistik ovarium merupakan faktor


h.

kontribusi pada keguguran.


Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidisme,
disbetes militu dan defisiensi progesteron. Hipotiroideisme
tampaknya tidak berkaitan dengan kenaikan insiden abortus

( Rukiyah, 2010)
i. Faktor infeksi, infeksi termasuk infeksi yang disebabkan oleh
TORC (Toksoplasma Rubella, Cytomegalovisus,) dan Malaria.
Infeksi intrauterin sering dihubungkan dengan abortus spontan
berulang. Organisme organisme yang sering diduga sebagai
penyebab antara lain Chlamidea, Urea plasma, mikoplasma,
citomegalovirus, listeria monocitoggenes dan toksoplasma gondii.
j. Faktor imunologi terdapat antibodi kardiolipid yang
mengakibatkan pembekuan darah dibelakang ari-ari sehingga
menyebabkan kematian janin karena kurangnya aliran darah dari
ari-ari tersebut. Faktor imunologis yang terbukti signifikant dapat
menyebabkan abortus spontan yang berulang.
k. Penyakit penyakit kronis yang melemahkan keadaan ibu,
misalnya

penyakit

tubesculosis

atau

krsinomatosis

jarang

menyebabkan abortus; sebaliknya pasien penyakit tersebut sering


2.3.3

meninggal tanpa melahirkan.


Manifestasi Klinis

Diduga abortus apabila seorang wanita dalam masa reproduksi


mengeluh tentang perdarahan per vaginam setelah mengalami haid
yang terlambat juga sering terdapat rasa mulas dan keluhan nyeri pada
2.3.4

perut begian bawah.


Klasifikasi
Abortus dapat diklasifikasikan berdasarkan kejadian dan
gambaran klinis (Fadlun dan Achmad, 2011).
1. Berdasarkan kejadiannya.
1) Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa
intervensi medis maupun mekanis, atau terjadi tanpa ada unsur
tindakan dari luar dan dengan kekuatan sendiri.
2) Abortus buatan/ abortus provokatus (disengaja, digugurkan),
dibagi menjadi berikut ini.
a) Abortus buatan menurut indikasi medis (abortus provokatus
artifisialis

atau

theraupeticus).

Abortus

ini

sengaja

dilakukan sehingga kehamilan dapat diakhiri. Upaya


menghilangkan hasil konsepsi dilakukan atas indikasi untuk
menyelamatkan jiwa ibu, misalnya: penyakit jantung,
hipertensi esensial, dan karsinoma serviks. Keputusan ini
ditentukan oleh tim ahli yang terdiri atas dokter ahli
kebidanan, penyakit dalam, dan psikiatri atau psikolog.
b) Abortus buatan kriminal (abortus provokatus criminalis)
adalah pengguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah
atau oleh orang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum.
2. Berdasarkan gambaran klinis
1) Abortus iminens (keguguran mengancam)
Abortus ini baru mengancam dan masih ada harapan
untuk mempertahankannya. Ostium uteri tertutup, uterus sesuai
umur kehamilan. Didiagnosa bila seorang wanita hamil <20
minggu mengeluarkan darah sedikit per vaginam. Perdarahan
dapat berlanjut beberapa hari atau dapat berulang. Dapat
disertai rasa nyeri perut bawah atau punggung bawah.
2) Abortus insipiens (keguguran berlangsung)

Abortus ini sedang berlangsung dan tidak dapat


dicegah lagi. Ostium terbuka, teraba ketuban, dan berlangsung
hanya beberapa jam saja. Abortus insipiens didiagnosis apabila
pada wanita hamil ditemukan perdarahan banyak, kadangkadang keluar gumpalan darah yang disertai nyeri karena
kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya dilatasi serviks
sehingga jari pemeriksa dapat masuk dan ketuban dapat teraba.
Kadang-kadang perdarahan dapat menyebabkan kematian bagi
ibu dan jaringan yang tertinggal dapat menyebabkan infeksi,
oleh karena itu, evakuasi harus segera dilakukan. Janin
biasanya sudah mati dan mempertahankan kehamilan pada
keadaan ini merupakan kontraindikasi.
3) Abortus inkompletus (keguguran tidak lengkap)
Abortus inkomplet didiagnosis apabila sebagian dari
hasil konsepsi telah lahir atau teraba pada vagina, tetapi
sebagian tertinggal (biasanya jaringan plasenta) masih
tertinggal di dalam rahim. Perdarahan terus berlangsung
banyak, dan membahayakan ibu. Serviks sering tetap terbuka
karena masih ada benda di dalam rahim yang dianggap sebagai
benda asing (corpus alienum). Oleh karena itu, uterus akan
berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi
sehingga ibu merasakan nyeri.
4) Abortus kompletus (keguguran lengkap)
Seluruh bayi telah dilahirkan dengan lengkap, ostium
tertutup, uterus lebih kecil dari umur kehamilan atau ostium
terbuka, dan kavum uteri kosong. Pada abortus ini, perdarahan
segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan selambatlambatnya perdarahan berhenti sama sekali karena karena
dalam masa ini luka rahim telah sembuh. Serviks juga dengan
segera menutup kembali.
5) Abortus tertunda (missed abortion)
Keadaan dimana janin telah mati sebelum minggu ke20, tetapi tertanam di dalam rahim selama beberapa minggu (8
minggu atau lebih) setelah janin mati. Saat terjadi kematian

janin kadang-kadang ada perdarahan per vagina sedikit


sehingga menimbulkan gambaran abortus iminens. Selanjutnya
rahim tidak membesar bahkan mengecil karena aborsinair
ketuban dan maserasi janin.
6) Abortus habitualis (keguguran berulang)
Abortus yang telah berulang dan berturut-turut terjadi,
sekurang-kurangnya 3 kali berturut-turut. Kejadiannya jauh
2.3.5

lebih sedikit dari pada abortus spontan (kurang dari 1%).


Penatalaksanaan
Ibu hamil sebaiknya segera menemui dokter apabila
perdarahan terjadi selama kehamilan. Ibu harus istirahat total dan
dianjurkan untuk re;aksasi. Terapi intervena atau tranfusi darah dapat
dilakukan bila diperlukan. Pada kasus aborsi inkomplit di usahakan
untuk mengosongkan uterus melalui pembedahan. Begitu juga dengan
kasus missed abortion jika janin tidak keluar spontan. Jiak
penyebabnya adalah infeksi, evakuasi isi uterus sebaiknya ditunda

sampai dapat penyebab yang pasti untuk memulai terapi antibiotik.


2.4 Kehamilan Ektopik
2.4.1 Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar
rongga rahim (kavum uteri). Istilah ektopik berasal dari bahasa
inggris, yaitu ectopic , dengan akar kata dari bahasa yunani, topos
yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan sebagai
berada diluar tempat yang mestinya. Walaupun diartikan sebagai
kehamilan di luar rongga rahim, kehamilan di dalam rahim yang
bukan pada tempat seharusnya, juga dimasukkan dalam kriteria
kehamilan ektopik, misalnya kehamilan yang terjadi pada kornu uteri.
Hal ini yang membedakannya dengan istilah kehamilan ekstrauterina.
Etiologi kehamilan ektopik biasanya disebabkan oleh terjadinya
hambatan pada perjalanan sel telur, dari indung telur (ovarium) ke
rahim (uterus). Pada kasus yang jarang, kehamilan ektopik disebabkan
oleh terjadinya perpindahan sel telur dari indung telur sisi yang satu,
masuk kesaluran telur sisi seberangnya (Fadlun dan Achmad, 2011).

Kehamilan ektopik adalah setiap implantasi yang telah di


buahi diluar cavum uterus. Implantasi dapat terjadi di tuba falopi,
ovarium, serviks, dan abdomen. Namun, kejadian kehamilan ektopik
yang terbanyak adalah di tuba falopi (Murria, 2002 dalam Mutiyani).

2.4.2

Etiologi
Sebagian besar penyebab tidak banyak diketahui, kemungkinan
faktor yang memegang peranan adalah sebagai berikut (Mutiyani,
2011):
1) Faktor dalam lumen tuba: endosalfingitis, hipoplasia lumen tuba.
2) Faktor dinding lumen tuba: endometriosis tuba, diventrikel tuba
kongenital.
3) Faktor diluar dinding lumen tuba: perlengketan pada tuba, tumor.
4) Faktor lain: migrasi luar ovum, fertilasi in vitro.

2.4.3

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada klien dengan kehamilan ektopik adalah
sebagai berikut (Mitayani, 2011):
1) Gambaran klinis kehamilan tuba belum terganggu tidak khas. Pada
umumnya ibu menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda dan
mungkin merasa nyeri sedikit diperut bagian bawah yang tidak
seberapa dihiraukan. Pada pemeriksaan vaginal, uterus membesar
dan lembek, walaupun mungkin besarnya tidak sesuai dengan usia
kehamilan. Tuba yang mengandung hasil konsepsi karena
lembeknya sukar diraba pada pemeriksaan bimanual.
2) Gejala kehamilan tuba terganggu sangat berbeda-beda dari
perdarahan banyak yang tiba-tiba dirongga perut samapai terdapat
gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat diagnosisnya.
3) Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik
terganggu. Pada ruptur tuba nyeri perut bagian bawah terjadi secara
tiba-tiba dan intensitas yang kuat disertai dengan perdarahan yang
menyebabkan ibu pingsan dan masuk kedalam syok.
4) Perdarahan pervaginam merupakan salah satu tanda penting yang
kedua pada kehamilan ektopik terganggu (KET). Hal ini
menunjukkan kematian janin,

5) Amenore juga merupakan tanda yang penting pada kehamilan


ektopik. Lamanya amenore bergantung pada kehidupan janin,
sehingga dapat bervariasi.
Gejala yang timbul pada kehamilan ektopik adalah sebagai
berikut (Fadlun dan Achmad, 2011):
1) Kehamilan ektopik yang belum terganggu.
Sama seperti hamil muda, namun disertai perdarahan
bercak berulang. Tanda tidak umum adanya massa lunak di
adneksa dan nyeri goyang pada porsio.

2) Kehamilan ektopik terganggu (KET)


Ditemui kondisi gawat darurat dan abdominal akut seperti
pucat/anemis, kesadaran menurun, syok, perut kembung, nyeri
2.4.4

perut bagian bawah dan nyeri goyang pada porsio.


Patofisiolgi
Ovum yang telah dibuahi berimplantasi di tempat lain selain di
endometrium kavum uteri. Prinsip patofisiologi: gangguan/interferensi
mekanik terhadap ovum yang telah dibuahi dalam perjalanannya
menuju kavum uteri. Kejadian ini sering terjadi pada hal-hal berikut
ini (Fadlun dan Achmad, 2011):
1. Kelainan tuba atau adanya riwayat penyakit tuba (misalnya:
2.
3.
4.
5.

salpingitis), menyebabkan oklusi atau kerusakan silia tuba.


Riwayat operasi tuba, sterilisasi, dan sebagainya.
Riwayat penyakit radang panggul lainnya.
Penggunaan IUD yang mencegah terjadinya implantasi intrauterin.
Ovulasi yang multipel akibat induksi obat-obatan, usaha fertilisasi
in vitro, dan sebagainya. Isi konsepsi yang berimplantasi
melakukan penetrasi terhadap lamina propria dan pers muskularis

dinding tuba.
6. Aburtus provokatus dengan infeksi. Makin sering dilakukan
abortus provokatus makin tinggi kemungkinan terjadi salpingitis.
7. Adhesi peritubal yang terjadi setelah infeksi seperti apendisitis
atau endometritis. Tuba dapat tertekuk atau menyempit.
8. Pernah menderita kehamilan ektopik sebelumnya.
Kerusakan truba lebih lanjut disebabkan oleh pertumbuhan
invasif jaringan trofoblas. Oleh karena trofoblas menginvasi

pembuluh darah dinding tuba, maka terjadi hubungan sirkulasi yang


memungkinkan jaringan konsepsi bertrumbuh. Pada suatu saat,
kebutuhan embrio di dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh
suplai darah dari vaskularisasi tuba tersebut (Fadlun dan Achmad,
2011).
Kadang-kadang nidasi juga terjadi di fimbria. Dari bentuk di
atas secara sekunder dapat terjadi kehamilan tuba abdominal, tuba
ovarial, atau kehamilan dalam ligamentum latum. Kehamilan paling
sering terjadi dalam ampula tuba. Implantasi telur dapat bersifat
kolumnar yaitu impantasi pada puncak lipatan selaput tuba dan telur
terletak dalam lipatan selaput lendir. Bila kehamilan pecah, akan
pecah ke dalam lumen tuba (abortus tuba) (Fadlun dan Achmad,
2011).
Telur juga dapat menembus

epitel dan berimplantasi

interkolumnar, terletak dalam lipatan selaput lendir, yaitu telur


masuk ke dalam lapisan otot tuba karena tuba tidak mempunyai
desidua. Bila kehamilan pecah, hasil konsepsi akan masuk ke dalam
rongga peritoneum (ruptur tuba). Walaupun kehamilan terjadi di luar
rahim, rahim juga akan ikut membesar karena hipertrofi dari ototototnya yang disebabkan oleh pengaruh hormon-horman yang
dihasilkan trofoblas, begitu pula endometriumnya berubah menjadi
desidua vera (Fadlun dan Achmad, 2011).
Beberapa kemungkinan tempat terjadinya implantasi adalah di
tuba fallopi (paling sering, 90-95%, dengan 70-80% di ampulla),
serviks, ovarium, abdomen, dan sebagainya. Kejadian implantasi
patologis paling sering terjadi di dinding lumen tuba krena tuba
merupakan jalur utama perjalanan ovum (Fadlun dan Achmad,
2011).
2.4.5

Jenis Kehamilan Ektopik


Menurut Fadlun dan Achmad (2011), jenis kehamilan ektopik adalah:
1. Kehamilan Tuba

Menurut tempat nidasinya, dibedakan menjadi berikut ini.


1. Kehamilan ampulla (terjadi dalam ampula tuba)
2. Kehamilan istmus (terjadi dalam istmus tuba)
3. Kehamilan interstisial(terjadi dalam pars instisialis tuba)
Kehamilan tuba tidak dapat mencapai cukup bulan, biasanya
berakhir pada minggu ke-6-12, keadaan yang paling sering antara
minggu ke-6-8. Berakhirnya kehamilan tuba ada 2 cara, yaitu
abortus tuba dan ruptur tuba.
1) Abortus tuba
Telur yang terus membesar menembus endosalping
(selaput lendir tuba), masuk ke lumen dan dikeluarkan di daerah
infudibulum. Hal ini terutama terjadi jika telur berimplantasi di
daerah ampulla tuba. Di sini biasanya telur tertanam kolumnar
karena lipatan-lipatan selaput lendir tinggi dan banyak, selain itu
rongga tuba agak besar sehingga telur mudah tumbuh ke arah
rongga tuba dan lebih mudah menembus desista kapsularis yang
tipis dari lapisan otot tuba.
2) Ruptur tuba
Terutama terjadi jika telur beimplantasi di istimus. Pada
peristiwa ini, lipatan-lipatan selaput lendir tidak seberapa, jadi
besar kemungkinan terjadi implantasi interkolumnar. Trofoblas
cepat sampai ke lapisan otot dan kemungkinan pertumbuhan ke
arah tuba sempit. Oleh karena itu, telur menembus dinding tuba
ke arah rongga perut atau peritonium.
2. Kehamilan servikal
Kehamilan servikal jarang terjadi. Pada implantasi di serviks,
dapat terjadi perdrahan tanpa disertai nyeri, dan kemungkinan
terjadinya abortus spontan sangat besar. Jika kehamilan tumbuh
sampai besar, perdarahan/ruptur yang terjadi sangat berat sehingga
sering diperlukan tindakan histerektomi total.
Kriteria kehamilan servikal menurut rubin (1911) adalah
sebagai berikut:
1) Kelenjar serviks harus ditemukan di seberung tempat
implantasi plasenta.

2) Tempat implantasi plasenta harus berada di bawah arteri uterina


atau peritoneum viserale uterus.
3) Janin tidak boleh terdapat di daerah korpus uterus.
4) Implantasi plasenta di serviks harus kuat.
Kriteria menurut rubin sulit diterapkan secara klinis karena
memerlukan histerektomi total untuk memastikannya. Kriteria
klinis menurut Paalman & McElin (1959) untuk kehamilan servikal
lebih dapat diterapkan secara klinis, yaitu sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)

Ostium uteri internum tertutup.


Ostium uteri eksternum terbuka sebagian.
Hasil konsepsi terletak di dalam endoserviks
Perdarahan uterus setelah fase amenorea, tanpa disertai nyeri.
Serviks lunak, membesar, dapat lebih besar daripada fundus

(hour-glass uterus).
3. Kehamilan Ovarial
Kehamilan ovarial ditegakkan atas dasar kriteria Spiegelberg, yaitu
sebagi berikut:
1) Tuba pada sisi kehamilan harus normal.
2) Kantung janin harus terletak dalam ovarium.
3) Jantung janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum
ovari proprium.
4) Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding
kantung janin. Pada kenyataannya kriteria ini sulit dipenuhi,
karena umumnya telah terjadi kerusakan jaringan ovarium,
pertumbuhan

trofoblas

yang

luas,

dan

perdarahan

menyebabkan topografi kabur sehingga pengenalan implantasi


permukaan ovum sukar ditentukan secara pasti.
4. Kehamilan interstisial
Implantasi telur biasanya terjadi dalam pars institialis tuba.
Miometrium memiliki lapisan yang lebih tebal sehingga ruptur
terjadi lebih lambat kira-kira terjadi pada bulan ke 3 atau 4. Apabila
terjadi ruptur, maka akan terjadi perdarahan yang hebat karena
tempat ini banyak terdapat pembuluh darah sehingga dalam waktu
yang singkat dapat terjadi kematian.
5. Kehamilan abdominal
Kehamilan abdominal terbagi atas dua, yaitu sebagai berikut:

1. Kehamilan abdominal primer: terjadi bila telur dari awal


mengadakan implantasi dalam rongga perut.
2. Kehamilan abdominal sekunder: berasal kehamilan tuba dan
setelah ruptur mengalami kehamilan abdominal.
6. Kehamilan ektopik terganggu(KET)
Kehamilan ektopik terjadi bila telur yang dibuahi
berimplentasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri.
Sebesar 90% kehamilan ektopik terjadi di tuba. Kehamilan ektopik
dapat mengalami abortus atau ruptur apabila massa kehamilan
berkembang melebihi kapasitas ruang implantasi dan peristiwa ini
disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu. Sebagian besar
penyebabnya belum diketahui.
Pemeriksaan

kuldosintesis

sangat

membantu

dalam

menegakkan diagnosis KET. Setelah didiagnosis ditegakkan, segera


lakukan persiapan untuk tindakan operatif gawat darurat.
2.4.6

Penatalaksanaan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah
laparatomi. Dalam tindakan demikian, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu sebagai berikut:
1) Kondisi ibu pada saat itu.
2) Keinginan ibu untuk mempertahankan fungsi reproduksinya.
3) Lokasi kehamilan ektopik.
4) Kondisi anatomis organ pelvis.
5) Kemampuan teknik bedah mikro dokter.
6) Kemampuan tekhnologi fertilasi vitro setempat.
Hasil pertimbangan ini yang menentukan apakah perlu
dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba atau dapat dapat
dilakukan pembedahan konservatif. Apabila kondisi ibu buruk,
misalnya dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi.
Pada kasus kehamilan ektopik di parsampularis tuba yang belum
pecah biasanya ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk

menghindari tindakan pembedahan.


2.5 Mola Hidatidosa
2.5.1 Definisi

Mola haditidosa adalah suatu kehamilan di mana hasil konsepsi


tidak berkembang menjadi embrio, tetapi terjadi proliferasi dari vili
koriales disertai dengan degenerasi hidropik (Fadlun dan Achmad, 2011)
2.5.2

Manifestasi klinis
Gejala awal tidak beda dengan kehamilan biasa, yaitu mual,
muntah, pusing, dan lain-lain, hanya saja derajat keluhannya sering
lebih hebat. Selanjutnya perkembangan lebih pesat sehingga pada
umumnya besar uterus lebih besar dari umur kehamilan. Tanda pasti
kehamilan seperti ballotement dan denyut jantung janin tidak
ditemukan (Fadlun dan Achmad, 2011).
Perdarahan merupakan gejala utama, oleh karena itu,
umumnya penderita mengalami anemia. USG sangat membantu dalam
diagnosis.
Gambaran klinik yang biasanya timbul pada klien dengan

mola hidatidosa adalah:


1. Amenore dan tanda-tanda kehamilan
2. Perdarahan pervaginam berulang. Darah cenderung berwarna
coklat. Pada keadaan lanjut kadang keluar kadang keluar
gelembung mola.
3. Pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan
4. Tidak terabanya bagian janin ada palpasi dan tidak terdengarnya JJ
sekalipun uterus sudah membesar setinggi pusat atau lebih.
Preeklampsia atau eklampsia yang terjadi sebelum kehamilan 24
2.5.3

minggu
Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan mola adalah evakuasi dan evaluasi
(Fadlun dan Achmad, 2011):
1. Setelah diagnosis ditegakkan, harus segera dilakukan vakum kuret.
2. Pemeriksaan tindak lanjut setelah kuretase perlu dilakukan
mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah molahiatidosa.
Kadar HCG dipantau hingga minimal 1 tahun pasca-kuretase. Kadar
yang menetap atau meninggi setelah 8 minggu pasca-kuretase
menunjukkan masih terdapat trofoblas aktif.
3. Penundaan kehamilan sampai 6 bulan setelah kadar -HCG normal.
4. Mola hidatidosa dengan risiko tinggi harus diberikan kemoterapi.

Anda mungkin juga menyukai