Asuhan Kebidanan Patologis
Asuhan Kebidanan Patologis
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Patologi merupakan cabang bidang kedokteran yang berkaitan
dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan
fungsi atau keadaan bagian tubuh. Bidang patologi terdiri atas patologi
anatomi dan patologi klinik. Ahli patologi anatomi membuat kajian dengan
mengkaji organ sedangkan ahli patologi klinik mengakaji perubahan
patologi klinik mengkaji perubahan pada fungsi yang nyata pada fisiologi
tubuh Patologi kehamilan adalah penyulit atau gangguan atau komplikasi
yang menyertai ibu saat hamil (Sijiatini, Mufdlilah, dan Hidayat, 2009).
Anemia oleh orang awam dikenal sebagai kurang darah. Anemia
adalah suatu penyakit di mana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang
dari normal.
Wiknjosasto (2005 dalam Rukiyah, 2010) mengatakan bahwa
hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang berlebihan pada ibu
hamil,
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi atau berakhirnya
kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia luar (viable), tanpa
mempersoalkan penyebabnya dengan berat badan <500 gram atau mur
kehamilan <20 minggu (Fadlun dan Achmad, 2011).
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar rongga
rahim (kavum uteri).
Mola haditidosa adalah suatu kehamilan di mana hasil konsepsi tidak
berkembang menjadi embrio, tetapi terjadi proliferasi dari vili koriales
disertai dengan degenerasi hidropik (Fadlun dan Achmad, 2011)
Badan
kesehatan
dunia
(World
Health
Organization/WHO)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
Anemia
defisiensi
besi
pada
kehamilan
hipervolemia,
2.1.4
sel otak, kematian janin, abortus, cacat bawaan, Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR), anemia pada bayi yang dilahirkan, lahir
prematur,pendarahan, dan rentan infeksi.
2.2 Hiperemisis Gravidarum (HEG)
2.2.1 Definisi
Wiknjosasto (2005 dalam Rukiyah, 2010) mengatakan bahwa
hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang berlebihan
pada ibu hamil, seorang ibu menderita hiperemesis gravidarum jika
seorang ibu memuntahkan segala yang di makan dan di minumnya
hingga berat badan ibu sangat turun, turgor kulit kurang diurese
kurang dan timbul aseton adalah air kencing.
Hiperemesis gravidarum juga dapat di artikan keluhan mual
muntah yang di kategorikan berat jika ibu hamil selalu muntah setiap
kali minum ataupun makan. Akibatnya, tubuh sangat lemas, muka
pucat, dan frekuensi buang air kecil menurun drastis, aktifitas seharihari menjadi terganggu dan keadaan umum menurun. Meski begitu,
tidak sedikit ibu hamil yang masih mengalami mual muntah sampai
trismester ke tiga ( Cunningham, 2005 dalam Rukiyah, 2010).
Hiperemis gravidarum adalah gejala mual dan muntah yang
berlebihan pada ibu hamil. Istilah hiperemis gravidarum dengan
gangguan metabolik yang bermakna karena mual dan muntah.
Penderita hiperemis gravidarum biasanya dirawat di rumah sakit.
Etiologinga belum pasti, diduga ada hubungannya dengan paritas,
hormonal, neurologis, metabolik, stres psikologis, keracunan, dan tipe
kepribadian (Fadlun dan Achmad, 2011).
Hiperemis gravidarum adalah mual muntah berlebihan
sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari dan keadaan umum
menjadi buruk. Mual dan muntah merupakan gangguan yang paling
sering ditemui pada kehamilan trimester I, kurang lebih 6 minggu
setelah haid terakhir selama 10 minggu. Sekitar 60-80% multigravida
mengalami mual muntah, namun gejala ini terjadi lebih berta hanya
pada 1 di antara 1.000 kehamilan (Mitiyani, 2011).
Etiologi
Etiologi hiperemis gravidarum belum diketahui secara pasti,
namun dipengaruhi oleh berbagai factor berikut ini (Rukiyah dan
Lia,2010). :
a. Faktor predisposisi seperti primigravida, molahidatosa, dan
kehamilan ganda.
b. Faktor organic seperti alergi masuknya vilikhorialis dalam
sirkulasi, perubahan metabolic akibat kehamilan, dan resistensi ibu
yang menurun.
c. Alergi, sebagai salah satu respon dari jaringan ibu terhadap anak
juga di seut sebagai salah satu faktor organik (Wiknjosasto ,2005)
d. Faktor psikologi
Faktor ini memegang peranan penting pada penyakit ini.Rumah
tangga yang retak, kehilangan pekerjaan, takut terhadap kehamilan
dan persalinan, takut terhadap tanggungan sebagai ibu, dapat
menyebabkan konflik mental yang dapat memperberat mual dan
muntah sebagai ekspresi tidak sadar terhadap keengganan menjadi
hamil atau sebagai pelarian kesukaran hidup.
e. Faktor adaptasi dan hormonal, pada wanita hamil yang kekurangan
darah lebih sering terjadi hiperemis gravidarum dapat di masukan
dalam ruang lingkup faktor adaptasi adalah wanita hamil dengan
anemia. Wanita primigravida dan over distensi rahim pada hamil
ganda dan hamil mola hidatidosa, jumlah hormon yang di
keluarkan terlalu tinggi dan menyebabkan terjadinya hiperemis
gravidarum (Manuaba, 1998). Peningkatan hormon esterogen dan
hormon chorionic gonadotropin (HCG). Pada kehamilan di nilai
terjadi perubahan juga pada sistem endokrinologi, terutama untuk
hormon esterogen dan HCG yang di nilai mengalami peningkatan.
Sejalan dengan yang di ungkapkan pada poin pertama bahwa pada
Manifestasi Klinis
Penyakit hiperemis gravidarum dibagi dalam beberapa tingkat
berdasarkan berat ringannya gejala yaitu sebagai berikut (Fadlun dan
Achmad, 2011):
1. Tingkat 1.
Gejala: lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, nyeri
epigastrium, nadi meningkat, turgor kulit berkurang, tekanan darah
sistolik menurun, lidah kering, dan mata cekung.
2. Tingkat 2.
Gejala: apatis, nadi cepat dan kecil, lidah kering dan kotor, mata
sedikit ikterik, kadang suhu sedikit meningkat, oliguria, serta
aseton tercium dalam hawa pernapasan.
3. Tingkat 3.
Keadaan umum lebih lemah lagi, muntah-muntah berhenti,
kesadaran menurun dari somnolen sampai koma, nadi lebih cepat,
tekanan darah lebih turun, komplikasi fatal ensefalopati wernicke,
2.2.4
2.2.5
muda
dengan
penyakit
pielonefritis,
hepatitis,
Penatalaksanaan
Bila pencegahan tidak berhasil, maka diperlukan pengobatan
dengan tahapan sebagai berikut (Mitayani, 2011):
1) Ibu diisolasi dalam kamar yang tenang dan cerah dengan
pertukaran cahaya yang baik. Kalori deberikan secara parental
dengan glukosa 5% dalam cairan fisiologis sebanyak 2-3 liter
sehari.
2) Deuresis selalu dikontrol untuk keseimbangan cairan.
3) Bila selama 24 jam ibu tidak muntah, coba berikan makan dan
minum sedikit demi sedikit.
4) Sedatif yang diberikan adalah fenobarbital.
5) Pada keadaan yang lebih berat, berikan antiemetik seperti
metoklopramid, disiklomin hidroklorida, atau klopromazin.
6) Berikan terapi psikologis yang meyakinkan ibu bahwa penyakitnya
bisa disembuhkan serta menghilangkan perasaan takut akan
kehamilan dan konflik yang melatarbelakangi hiperemesis.
Pemberian obat-obatan yaitu dengan obat sedatif, antihistamin,
serta vitamin B1 dan B6 sampai antiemetik. Penderita diisolasi sampai
muntah berhenti dan penderita mau makan. Berikan terapi psikologis,
hilangnya rasa takut karena kehamilan, kurangi pekerjaan, serta
hilangkan masalah dan konflik. Berikan cairan cukup elektrolit,
karbohidrat, dan protein dengan glukosa 5% dalam cairan garam
fisiologis sebanyak 2-3 liter sehari. Bila perlu, dapat ditambah kalium
dan vitamin. Penghentian kehamilan dapat dilakukan bila keadaan
memburuk (Fadlun dan Achmad, 2011).
meningkatkan
pertumbuhan
dan
perbaikan
sel
sintesa
untuk
pembentukan
sel
darah
merah
(Admin,2007).
3) Antihistaminika juga di anjurkan pada keadaan lebih berat di
berikan
antimimetik
seperti
disklomin
hidrokhloride,
yang
positif
dalam
mengatasi
permasalah
2.2.7
Patologis
Menurut Prawirohardjo (2005, Rukiyah dan Lia,2010) bedah
mayar dapa mayat wanita yang meninggal karena hiperemis
gravidarum menunjukan kelainan-kelainan pada berbagai alat dalam
tubuh, yang juga dapat di temukan pada malnutrisi oleh beberapa
macam sebab adalah :
a. Pada hati tampak degenerasi lemak tanpa nekrosis yang terletak
sentrilobuler kelainan ini nampaknya tidak menyebabkan kematian
yang di anggap sebagai akibat muntah yang terus menerus. Tetapi
separuh penderita yang meninggal karena hiperemis gravidarum
menunjukan gambaran mikroskopik hati yang normal.
b. Pada jantung menjadi tampak lebih kecil daripada biasanya dan
beratnya atrofi dan sejalan dengan lamanya penyakit, kadangkadang di temukan perdarahan sub-endokardial.
c. Di otak dapat di temukan ensefalopati wernicke yaitu dilatasi
kapiler dan perdarahan kecil kecil di daerah korpora mamilaria
ventrikel ke tiga dan ke empat.
d. Ginjal tampak pucat dan degenerasi lemak dapat di temukan pada
2.2.8
tubuli kontorti.
Patofisiologi
Ada yang menyatakan bahwa, perasaan mual adalah akibat
dari meningkatnya kadar estrogen, oleh karena keluhan ini terjadi
pengosongan
lambung.Penyesuaian
terjadi
pada
Khlorida
air
kemih.Selain
itu
dehidrasi
menyebabkan
2.3.1
Definisi
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi atau berakhirnya
kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia luar (viable), tanpa
mempersoalkan penyebabnya dengan berat badan <500 gram atau mur
kehamilan <20 minggu (Fadlun dan Achmad, 2011).
Abortus adalah berakhirnya kehamilan dengan pengeluaran
hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan dengan
usia gestasi kurang dari 20 minggu dan berat janin kurang dari 500
gram (Murray, 2002 dalam Mitayani, 2011).
Abortus didefinisikan sebagai keluarnya hasil konsepsi
sebelum mampu hidup diluar kandungan dengan berat badan <1000 gr
atau umur kehamilan kurang dari 28 minggu (Manuaba, 1998:214
dalam Rukiyah dan Lia, 2010).
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibatakibat tertentu) atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu
atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di luar kandungan
(Sarwono, 2006 dalam Rukiyah dan Lia, 2010).
Abortus atau kekguguran adalah terhentinya kehamilan
sebelum janin dapat bertahan hidup, yaitu sebelum kehamilan berusia
22 minggu atau berat janin belum mencapai 500 gr.
Abortus biasanya ditandai dengan terjadinya pendarahan pada
wanita yang hamil, dengan adanya peralatan USG, sekarang dapat
diketahui abortus dapat dibedakan menjadi dua jenis, yang pertama
adalah abortus karena kegagalan perkembangan janin dimanan
gambaran USG menunjukkan kantong kehamilan yang kosong,
sedangkan jenis, sedangkan yang ke dua adalah abortus karena
kematian janin, dimana janin tidak menunjukkan tanda-tanda
kehidupan seperti denyut jantunga atau pergerakan yang sesuai
2.3.2
Etiologi
Etiologi ynag menyebabkan terjadinya abortus adalah sebagai berikut
(Mitayani, 2011).
1) Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi: kelainan kromosom,
lingkungan nidasi kurang sempurna, dan pengaruh luar.
2) Infeksi akut, pneumonia, pielitis, demam tifoid, toksoplasmosis,
dan HIV.
3) Abnormalitas traktur genitalis, serviks inkompeten, dilatasi serviks
berlebihan, robekan serviks, dan retroversio uterus.
4) Kelainan plasenta.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan abotus antara lain
(Rukiyah dan Lia, 2010).
a. Faktor janin, faktor janin penyebab keguguran adalah kelainan
genetik, dan ini terjadi pada 50%-60% kasus keguguran, faktor
kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah
gangguan pertumbuhan zigot, embrio, janin atau placenta,
kelainan tersebut biasanya menyebabkan abotus pada trimester
pertama, yakni: a. Kelainan telur, telur kosong, kerusakan embrio,
atau kelainan kromosom, (Monosomi, trisomi, atau poliploidi), b.
Embrio dalam kelainan lokal, c. Abnormalitas pembentukan
plasenta (hipoplasi topoblas).
b. Faktor ibu : a. Kelainan endokrin (hormonal ) misalnya
kekurangan
tiroid,
kencing
manis;
b.
Faktor
kekebalam
progesteron;
c.hipoteroidisme,
hipoprolaktinemia,
( Rukiyah, 2010)
i. Faktor infeksi, infeksi termasuk infeksi yang disebabkan oleh
TORC (Toksoplasma Rubella, Cytomegalovisus,) dan Malaria.
Infeksi intrauterin sering dihubungkan dengan abortus spontan
berulang. Organisme organisme yang sering diduga sebagai
penyebab antara lain Chlamidea, Urea plasma, mikoplasma,
citomegalovirus, listeria monocitoggenes dan toksoplasma gondii.
j. Faktor imunologi terdapat antibodi kardiolipid yang
mengakibatkan pembekuan darah dibelakang ari-ari sehingga
menyebabkan kematian janin karena kurangnya aliran darah dari
ari-ari tersebut. Faktor imunologis yang terbukti signifikant dapat
menyebabkan abortus spontan yang berulang.
k. Penyakit penyakit kronis yang melemahkan keadaan ibu,
misalnya
penyakit
tubesculosis
atau
krsinomatosis
jarang
atau
theraupeticus).
Abortus
ini
sengaja
2.4.2
Etiologi
Sebagian besar penyebab tidak banyak diketahui, kemungkinan
faktor yang memegang peranan adalah sebagai berikut (Mutiyani,
2011):
1) Faktor dalam lumen tuba: endosalfingitis, hipoplasia lumen tuba.
2) Faktor dinding lumen tuba: endometriosis tuba, diventrikel tuba
kongenital.
3) Faktor diluar dinding lumen tuba: perlengketan pada tuba, tumor.
4) Faktor lain: migrasi luar ovum, fertilasi in vitro.
2.4.3
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada klien dengan kehamilan ektopik adalah
sebagai berikut (Mitayani, 2011):
1) Gambaran klinis kehamilan tuba belum terganggu tidak khas. Pada
umumnya ibu menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda dan
mungkin merasa nyeri sedikit diperut bagian bawah yang tidak
seberapa dihiraukan. Pada pemeriksaan vaginal, uterus membesar
dan lembek, walaupun mungkin besarnya tidak sesuai dengan usia
kehamilan. Tuba yang mengandung hasil konsepsi karena
lembeknya sukar diraba pada pemeriksaan bimanual.
2) Gejala kehamilan tuba terganggu sangat berbeda-beda dari
perdarahan banyak yang tiba-tiba dirongga perut samapai terdapat
gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat diagnosisnya.
3) Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik
terganggu. Pada ruptur tuba nyeri perut bagian bawah terjadi secara
tiba-tiba dan intensitas yang kuat disertai dengan perdarahan yang
menyebabkan ibu pingsan dan masuk kedalam syok.
4) Perdarahan pervaginam merupakan salah satu tanda penting yang
kedua pada kehamilan ektopik terganggu (KET). Hal ini
menunjukkan kematian janin,
dinding tuba.
6. Aburtus provokatus dengan infeksi. Makin sering dilakukan
abortus provokatus makin tinggi kemungkinan terjadi salpingitis.
7. Adhesi peritubal yang terjadi setelah infeksi seperti apendisitis
atau endometritis. Tuba dapat tertekuk atau menyempit.
8. Pernah menderita kehamilan ektopik sebelumnya.
Kerusakan truba lebih lanjut disebabkan oleh pertumbuhan
invasif jaringan trofoblas. Oleh karena trofoblas menginvasi
(hour-glass uterus).
3. Kehamilan Ovarial
Kehamilan ovarial ditegakkan atas dasar kriteria Spiegelberg, yaitu
sebagi berikut:
1) Tuba pada sisi kehamilan harus normal.
2) Kantung janin harus terletak dalam ovarium.
3) Jantung janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum
ovari proprium.
4) Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding
kantung janin. Pada kenyataannya kriteria ini sulit dipenuhi,
karena umumnya telah terjadi kerusakan jaringan ovarium,
pertumbuhan
trofoblas
yang
luas,
dan
perdarahan
kuldosintesis
sangat
membantu
dalam
Penatalaksanaan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah
laparatomi. Dalam tindakan demikian, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu sebagai berikut:
1) Kondisi ibu pada saat itu.
2) Keinginan ibu untuk mempertahankan fungsi reproduksinya.
3) Lokasi kehamilan ektopik.
4) Kondisi anatomis organ pelvis.
5) Kemampuan teknik bedah mikro dokter.
6) Kemampuan tekhnologi fertilasi vitro setempat.
Hasil pertimbangan ini yang menentukan apakah perlu
dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba atau dapat dapat
dilakukan pembedahan konservatif. Apabila kondisi ibu buruk,
misalnya dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi.
Pada kasus kehamilan ektopik di parsampularis tuba yang belum
pecah biasanya ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk
Manifestasi klinis
Gejala awal tidak beda dengan kehamilan biasa, yaitu mual,
muntah, pusing, dan lain-lain, hanya saja derajat keluhannya sering
lebih hebat. Selanjutnya perkembangan lebih pesat sehingga pada
umumnya besar uterus lebih besar dari umur kehamilan. Tanda pasti
kehamilan seperti ballotement dan denyut jantung janin tidak
ditemukan (Fadlun dan Achmad, 2011).
Perdarahan merupakan gejala utama, oleh karena itu,
umumnya penderita mengalami anemia. USG sangat membantu dalam
diagnosis.
Gambaran klinik yang biasanya timbul pada klien dengan
minggu
Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan mola adalah evakuasi dan evaluasi
(Fadlun dan Achmad, 2011):
1. Setelah diagnosis ditegakkan, harus segera dilakukan vakum kuret.
2. Pemeriksaan tindak lanjut setelah kuretase perlu dilakukan
mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah molahiatidosa.
Kadar HCG dipantau hingga minimal 1 tahun pasca-kuretase. Kadar
yang menetap atau meninggi setelah 8 minggu pasca-kuretase
menunjukkan masih terdapat trofoblas aktif.
3. Penundaan kehamilan sampai 6 bulan setelah kadar -HCG normal.
4. Mola hidatidosa dengan risiko tinggi harus diberikan kemoterapi.