UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2013
A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan data terakhir dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik Thalasemia. Dari 250 juta, 8090 juta di antaranya membawa genetik Thalasemia Beta.
Sementara itu di Indonesia Jumlah penderita Thalasemia hingga tahun 2009 naik
menjadi 8, 3 persen dari 3.653 penderita yang tercatat pada tahun 2006. Hampir 90% para
penderita penyakit genetik sintesis Hemoglobin (Hb) ini berasal dari kalangan masyarakat
miskin.
Kejadian thalasemia sampai saat ini tidak bisa terkontrol terkait faktor genetik sebagai
batu sandungan dan belum maksimalnya tindakan screening untuk thalasemia khususnya di
Indonesia(1).
Thalasemia pertama kali ditemukan pada tahun 1925 ketika Dr. Thomas B. Cooley
mendeskripsikan 5 anak anak dengan anemia berat, splenomegali, dan biasanya ditemukan
abnormal pada tulang yang disebut kelainan eritroblastik atau anemia Mediterania karena
sirkulasi sel darah merah dan nukleasi. Pada tahun 1932 Whipple dan Bradford menciptakan
istilah thalasemia dari bahasa yunani yaitu thalassa, yang artinya laut (laut tengah) untuk
mendeskripsikan ini. Beberapa waktu kemudian, anemia mikrositik ringan dideskripsikan pada
keluarga pasien anemia Cooley, dan segera menyadari bahwa kelainan ini disebabkan oleh gen
abnormal heterozigot. Ketika homozigot, dihasilkan anemia Cooley yang berat(2).
Hal.01.
B. TUJUAN PENULISAN
Referat ini bertujuan menggali lebih lanjut dan membahas tentang penyakit thalassemia,
sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan tentang penanganan dan cara mendiagnosis.
Hal.02.
B. EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit ini mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak Benua (sub-continent)
India dan Burma, serta di daerah sepanjang garis antara Cina bagian selatan, Thailand,
semenanjung Malaysia, kepulauan Pasifik dan Indonesia. Daerah-daerah tersebut lazim disebut
sebagai daerah sabuk thalassemia (1).
Sekitar 1.5% (80 90 juta) populasi dunia adalah karier thalassemia . 50% dari total karier
thalassemia berada di Asia Tenggara. Sementara di negara maju (Eropa dan Amerika) terdapat
sekitar 13% karier thalassemia . Berdasarkan jumlah karrier thalassemia , diestimasikan sekitar
60,000 bayi lahir dengan thalassemia setiap tahunnya (8).
250 juta penduduk dunia merupakan karier thalassemia +, dengan lokasi terbanyak di India,
Asia Tenggara, dan Afrika. Sedangkan thalassemia 0, terdapat 26 juta karier terhadap penyakit ini
(8)
.
Di Indonesia, thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak ditemukan.
Terdapat 8 provinsi dengan prevalensi thalassemia yang tinggi, antara lain Provinsi Nanggroe Aceh
Hal.03.
Hal.04.
(9, 10)
Terdapat 3 jenis Hb yang disintesis selama periode hidup manusia. Hb embrionik, merupakan
kombinasi antara rantai globin-, -, -, dan - (22; 22; 22). Hb embrionik disintesis sejak awal
masa kehamilan hingga usia 8 minggu masa gestasi. Hb Fetal (HbF), merupakan kombinasi antara
rantai globin- dan - (22). Kadar HbF dominan saat masa gestasi, disintesis sejak awal
kehamilan hingga bayi berusia 30 minggu. Hb Adult (HbA), merupakan kombinasi antara rantai
globin-, -, dan - (22; 22). HbA disintesis sejak usia 8 minggu masa gestasi, sedang HbA 2
(22) sejak 28 minggu masa gestasi (7, 11).
Hal.05.
Pada penderita thalassemia-, dapat terjadi reduksi total (thalassemia- 0) atau parsial
(thalassemia-+) dari rantai globin-. Penurunan produksi rantai globin- disebabkan oleh mutasi
Hal.06.
THALASSEMIA, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya
(4, 13)
berkurang menyebabkan formasi HbA inadekuat, kadar MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration) rendah, dan eritrosit yang mikrositik hipokromik. Gangguan keseimbangan rantai
globin dicirikan dengan peningkatan jumlah rantai- globin secara relatif terhadap rantai- globin.
Akibatnya, terdapat rantai- yang tidak berpasangan yang kemudian membentuk agregat dan
mengendap di sitoplasma eritrosit. Endapan (badan inklusi) kemudian bereaksi dengan membran
sel eritrosit sehingga memprovokasi hemolisis ekstravaskular di hati dan limpa. Gangguan
keseimbangan rantai globin pada thalassemia- juga menyebabkan inefektifitas eritropoiesis, yaitu
destruksi parsial progenitor erithroid. Efek lain dari inefektrifitas eritropoiesis adalah peningkatan
penyerapan besi yang kemudian menumpuk di dalam organ tubuh seperti hati dan jantung (13).
Sebagian besar jenis thalassemia- disebabkan oleh delesi satu atau lebih gen globin-.
Severitas thalassemia- bergantung pada jumlah gen yang mengalami delesi. Sebagai contoh, delesi
sebuah gen globin- berhubungan dengan silent karier thalassemia-. Sebaliknya, delesi keempat
gen globin- berkaitan dengan kematian fetus in utero, oleh karena darah fetus tidak memiliki
kapasitas transport O2 sama sekali. Delesi ketiga gen globin- menyebabkan produksi rantai- dan
- meningkat secara relatif. Peningkatan ini kemudian membentuk kompleks tetramer 4 (HbH) dan
4 (Hb Barts) yang relatif stabil, sehingga anemia hemolitik dan inefektifitas eritropoiesis lebih
minimal dibandingkan thalassemia-. HbH dan Hb Bart memiliki afinitas yang yang tinggi
terhadap O2 (13).
Hal.07.
MANIFESTASI KLINIS
Thalassemia- mayor (00; 0+) pertama kali dideskripsikan oleh Thomas Cooley pada
tahun 1925. Pada awal masa kehidupan, penderita thalassemia- mayor belum menunjukkan
manifestasi khas thalassemia karena fungsi HbA masih digantikan oleh HbF. Ekspansi sum-sum
tulang erithroid menyebabkan perubahan formasi tulang, khususnya pada tulang wajah dan
tengkorak. Perubahan ini dapat dilihat dari penonjolan berlebih os frontal, pertumbuhan berlebih os
maxilla, dan adanya maloklusi. Hal inilah yang mendasari perubahan wajah penderita thalassemia
yang menyerupai wajah tupai. Fusi prematur epifisis tulang mengakibatkan pemendekan tungkai
serta fraktur kompresi pada vertebrae (6, 12).
Eritropoiesis ekstramedular pada thalassemia- mayor menyebabkan penurunan massa
tulang sehingga tulang terkait rentan mengalami fraktur, kompresi sum-sum tulang jika terjadi di
vertebra, dan pembesaran ginjal oleh karena peningkatan produksi hormon eritropoietin. Osteopeni
dan osteoporosis dapat ditemukan pada penderita thalassemia- mayor, meskipun penderita rutin
transfusi darah dan menggunakan kelasi besi. Hal ini mungkin disebabkan oleh hipogonadisme dan
peningkatan resorbsi tulang akibat defisiensi vitamin D (12).
Hepatosplenomegali umum ditemukan pada penderita thalassemia- mayor. Pembesaran
organ terkait disebabkan oleh peningkatan hemolisis ekstravaskular. Hemolisis yang terjadi terusmenerus menyebabkan formasi batu empedu bilirubin. Peningkatan beban kerja limpa
menyebabkan splenomegali dan pada titik tertentu dapat terjadi laserasi bahkan ruptur limpa yang
kemudian mengakibatkan disfungsi imun. Kerusakan sel kuppfer dan hepatosit akibat peningkatan
beban kerja hati merupakan mekanisme yang mendasari proses fibrosis dan penyakit hati stadium
terminal lainnya. Kelainan jantung ekstensif dapat disebabkan oleh anemia kronis dan
hemosiderosis jantung (12).
Penderita thalassemia- mayor juga rentan terhadap kerusakan, oleh karena kelenjar
endokrin sebagaimana halnya hati dan jantung, kaya akan reseptor transferrin. Kelainan endokrin
Hal.08.
THALASSEMIA, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya
Hal.09.
Hal.010.
Pada penderita thalassemia- intermedia lebih cenderung terjadi komplikasi venosa. Sedangkan
thalassemia- mayor lebih umum mengalami komplikasi arterial. Peningkatan resiko komplikasi
tromboemboli juga sering ditemukan pada thalassemia- intermedia dibandingkan dengan
thalassemia- mayor (12).
Penumpukan besi dapat ditemukan pada thalassemia- intermedia walaupun tidak seberat
thalassemia- mayor. Akumulasi besi yang terjadi sebagian besar berasal dari peningkatan absorpsi
besi melalui sistem pencernaan jika penderita tidak rutin menjalani transfusi. Intoksikasi jantung
(gagal jantung kongestif, kelainan katup, dan hipertensi pulmonal) mungkin terjadi pada penderita
thalassemia- intermedia oleh karena hemosiderosis jantung (12).
Abnormalitas skeletal dan osteoporosis dapat terjadi, sama halnya dengan ulkus kaki,
hipogonadisme, hipotiroidisme, dan diabetes. Resiko kelainan endokrin berbanding lurus terhadap
severitas anemia dan kadar besi dalam tubuh. Pseudoxanthoma elastin lebih serig ditemukan pada
thalassemia- intermedia dibandingkan thalassemia- mayor (12).
Hampir semua penderita thalassemia- minor (0) asimptomatik, meskipun ditemukan
Complete Blood Count (CBC) yang abnormal. Sering terjadi misdiagnosis penderita thalassemia-
minor dengan anemia defisiensi besi. Pada penderita thalassemia- minor yang sedang hamil,
biasanya mengeluhkan anemia ringan yang berulang sehingga membutuhkan transfusi (12, 15).
Penderita thalassemia-1 (--/) dan -2 (-/) asimptomatik. Pada thalassemia-2 nilai
laboratorium dalam rentang normal (CBC, apusan darah tepi, dan Elektroforesis Hb) sedangkan
thalassemia- 1 mirip dengan thalassemia- minor terkait temuan laboratorium (6, 12, 15).
THALASSEMIA, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya
Hal.011.
DIAGNOSIS
Diagnosis thalassemia dilakukan berdasarkan temuan klinis atau tanda dan gejala yang
ditunjukkan oleh pasien, temuan pemeriksaan laboratorium, dan riwayat keluarga. Pemeriksaan
laboratorium berperan penting dalam diagnosis pasti thalassemia dan berperan sebagai acuan untuk
melakukan konseling genetik. Pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi thalassemia antara
lain CBC, elektroforesis Hb dengan kuantitas HbA2 & HbF, dan kadar ferritin. Pemeriksaan CBC
dapat mengidentifikasi kadar Hb, ukuran & kromasitas eritrosit, dll sesuai karakteristik
thallassemia. Elektroforesis Hb merupakan uji laborat untuk mengidentifikasi jenis dan jumlah Hb
yang disintesis oleh individual tersebut. Pemeriksaan elektroforesis Hb juga dapat mengidentifikasi
adanya jenis Hb yang abnormal (HbE) dan penyakit Hb lainnya (Hb sabit). Thalassemia minor
seringkali sulit dibedakan dengan anemia defisiensi besi, sehingga dibutuhkan uji laboratorium
untuk mengetahui kadar ferritin dalam tubuh. Pada etnik tertentu, dimana angka kekambuhan
thalassemia tinggi, direkomendasikan untuk melakukan skrining. Terkadang uji DNA dibutuhkan
untuk konfirmasi pasti diagnosis thalassemia dan determinasi jenis thalassemia yang diderita (3, 12).
Thalassemia dapat didiagnosis sewaktu periode prenatal (diagnosis prenatal) dengan
menggunakan teknik Chorion Villus Sampling (CVS) dan amniosintesis. CVS dapat dilakukan
lebih awal daripada amniosintesis, yaitu pada usia kehamilan 10 minggu. Sedangkan amniosintesis
baru dapat dilakukan saat usia kehamilan 15 hingga 22 minggu. Prosedur CVS yaitu dengan
mengambil sebagian kecil jaringan plasenta yang dibentuk oleh fetus, kemudian dilakukan uji
genetik. CVS memiliki resiko keguguran yang lebih tinggi daripada amniosintesis (12).
Preimplantation Genetic Diagnosis (PGD) merupakan prosedur diagnostik yang tergolong
baru. Teknik ini menggunakan sel embrionik hasil fertilisasi in vitro. Sel kemudian dilakukan uji
genetik untuk melihat adanya potensi terhadap penyakit hemoglobinopati yang diturunkan. Jika
Hal.012.
DIAGNOSIS BANDING
Diferensial diagnosis thalassemia ringan adalah anemia defisiensi besi. Jika dibandingkan
dengan penderita anemia defisiensi besi, temuan laborat thalassemia minor antara lain nilai MCV
(Mean Corpuscular Volume) rendah, normal hitung jumlah eritrosit, dan apusan darah tepi yang
lebih abnormal pada anemia ringan. Diferensial diagnosis thalassemia berat adalah kelainan
hemoglobinopati lainnya, seperti penyakit sel sabit, unstable Hb, Pancellular, Sulfhemoglobin,
Erythroleukemia, anemia hemolitik, dll (3, 12).
G.
Hal.013.
FOLLOW-UP
Evaluasi penderita thalassemia dilakukan seumur hidupnya. Hal ini disebabkan baik terapi
maupun progresifitas penyakit berpotensi menimbulkan komplikasi. Bentuk pencegahan yang
dapat dilakukan untuk mencegah lahirnya anak dengan thalassemia antara lain konseling genetik
dan melakukan diagnosis prenatal. Komplikasi yang mungkin timbul selama perjalanan penyakit
thalassemia antara lain (3):
- Hemolisis kronis
- Kerentanan terhadap infeksi
- Infeksi post-transfusi
- Perburukan anemia selama infeksi
- Jaundice
- Ulkus Kaki
- kolelithiasis (batu empedu)
- Fraktur patologis
- Failure to thrieve
- Perlambatan pubertas
- Siderosis hepatik
- Anemia hemolitik
- Splenomegali
- Kelainan Jantung
- Krisis aplastik & megaloplastik
I.
TERAPI
Kunci utama manajemen thalassemia- mayor adalah transfusi rutin, khususnya pada
dekade pertama kehidupan. Transfusi rutin akan memperbaiki hepatosplenomegali, abnormalitas
skeletal, dan mencegah dilatasi jantung. Resiko infeksi melalui transfusi saat ini sangat kecil.
Walaupun demikian, dengan melakukan transfusi rutin maka seorang memiliki resiko terinfeksi
Hal.014.
.
Akumulasi besi pada penderita thalassemi disebabkan oleh peningkatan absorpsi besi dan
transfusi rutin. Besi merupakan mineral yang hanya sebagian kecil diekskresikan, sehingga
berpotensi untuk terakumulasi pada organ-organ dengan respetor transferrin yang melimpah.
Standar baku pengukuran kadar besi di hati adalahh dengan melakukan biopsi hati, lalu
pengukuran besi melalui absorpsi spektrofotometri atomik. MRI juga dapat digunakan untuk
mengukur kadar besi dalam hati. Penumpukan besi pada organ terkait berhubungan dengan
gangguan multiorgan. Untuk meminimalisir penumpukan besi dalam tubuh, dapat dilakukan
dengan flebotomi dan penggunaan kelator besi. Pada penderita thalassemia, flebotomi tidak
direkomendasikan. Sehingga, untuk menurunkan kadar besi tubuh penderita menggunakan agen
kelator besi. Deferiprone (Ferriprox) merupakan agen kelator besi pertama dalam sediaan oral.
Obat ini diberikan sebanyak 3 kali sehari (75mg/Kg/hari). Studi menunjukkan Ferriprox memiliki
efektifitas yang sama dengan deferoxamine (agen kelator perenteral) dalam mereduksi akumulasi
besi (12).
Meskipun rutin melakukan transfusi dan menggunakan kalsium, vitamin D, serta kelasi
besi, penderita thalassemia- mayor akan tetap mengalami reduksi densitas tulang. Hingga saat ini
belum ada manajemen yang efektif yang dapat menekan laju resorbsi tulang (12).
Transplantasi sel hematopoiesis merupakan satu-satunya terapi kuratif untuk penyakit
hemoglobinopati. Sebelum mendapat terapi ini, pasien diklasifikasikan berdasarkan kepatuhan
THALASSEMIA, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Kota Yogya
Hal.015.
thalassemia- (12).
PROGNOSIS
Prognosis thalassemia sangat bergantung pada jenis thalassemia yang diderita. Pada
penderita thalassemia mayor, rerata rentang hidup sekitar 17 tahun, dan beberapa mencapai 20
tahunan. Penggunaan terapi kelasi besi yang rutin dapat memperpanjang hidup penderita. Lain
halnya dengan thalassemia minor yang memiliki rentang hidup sama seperti mereka yang tidak
menderita thalassemi (3).
Hal.016.
Thalassemia merupakan kelompok heterogen anemia hemolitik herediter yang ditandai oleh
penurunan kecepatan sintesis satu atau lebih rantai polipeptida hemoglobin. Thalassemia
diklasifikasikan menurut rantai yang terkena yaitu jenis alfa (), beta (), dan delta ().
Manifestasi klinis Thalassemia sangat heterogen, sesuai dengan jenis thalassemia yang diderita.
Beberapa tanda dan gejala yang sering ditemukan pada pasien thalassemia antara lain anemia,
abnormalitas skeletal, hepatosplenomegali, dan hiperpigmentasi kulit.
Modalitas terapi thalassemia bervariasi, namun satu-satunya terapi yang memiliki nilai kuratif
adalah transplantasi sel hematopoiesis. Transfusi darah rutin, penggunaan kelasi besi, suplementasi
antioksidan dan vitamin D dapat membantu memperlambat komplikasi. Splenektomi
dipertimbangkan jika kebutuhan transfusi eritrosit melebihi 50% selama lebih dari setahun.
Prognosis thalassemia sangat bergantung pada jenis thalassemia yang diderita. Pada penderita
thalassemia mayor, rerata rentang hidup sekitar 17 tahun. Lain halnya dengan thalassemia minor
yang memiliki rentang hidup sama seperti mereka yang tidak menderita thalassemi.
Hal.017.
1. Ruswandi.
(5
maret
2009).
Jumlah
penderita
thalasemia
naik
8,3%.
Kompas.com
http://kesehatan.kompas.com/read/2009/03/05/21122544/Jumlah.Penderita.Thalassemia.Naik.8.3.P
ersen..
2. Rudolph C. D, Rudolph A. M, Hostetter M. K, Lister G and Siegel N. J. (2002).
Rudolphs Pediatrics. part 19 blood and blood-forming tissues. 19.4.7 Thallasemia. 21st Edition.
McGraw-hill company: North America
3. Hassan R dan Alatas H. (2002). Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak. bagian 19 Hematologi hal.
419-450 ,Bagian ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
4. Atmakusumah, T.D. Pencegahan Thalassemia: Hasil Kajian HTA, 2009. Diakses dari
http://buk.depkes.go.id/index.php?
option=com_docman&task=doc_download&gid=281&Itemid=142. Diakses tanggal 21 Oktober
2012
5. Cohen, B.J. (2003). Medical Terminology: an illustrated guide 4th ed. Lippincot Williams &
Wilkins. United States. p. 226
6. Dambro, R.M. (2006). Griffiths: 5-Minutes Clinical Consult. Lippincot Williams & Wilkins.
United States. p. 1104-1105
7. Debaun, M.R., Vinchinsky, E. (2007). Thalassemia Syndrome. Dalam Kliegman, M.R. Nelson:
Textbook of Pediatrics. Philadelphia. p. 2033-2034
8. Dorland. (1998). Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 25. Alih bahasa. dr. Poppy Kumala, dr.
Sugiarto Komala, dr. Alexander H. Santoso, dr. Johannes Rubijanto Sulaiman, dr. Yuliasari Rienita.
EGC. Jakarta. p. 1087
9. Dunphy, C.H. (2012). Molecular Pathology of Hematolymphoid Diseases. Springer. London. p.
473
10. Fauci, S.A., Braunwald, E., Isselbacher, J.K., Martin, B.J. (2008). Disorder of Hemoglobin.
Dalam Powers, C.A (Eds). Harrisons Internal Medicine. 17th ed. McGraw-Hill. United States.
Hal.018.
dari
http://www.ppid.depkes.go.id/index.php?
option=com_docman&task=doc_download&gid=53&Itemid=87. Diakses tanggal 21 Oktober 2012
18. Zhang, D., Cheng, L. (2008). Molecular Genetic Pathology. Humana Press. USA.
.
Hal.019.