Daftar Isi
........
BAB I
: Pendahuluan
BAB II
: Laporan Kasus
BAB III
........
: Pembahasan ..................
A. Identitas Pasien .
B. Identifikasi Masalah............................................
F. Diagnosis
....
G.Patofisiologi ..
H. Penatalaksanaan
....
10
....
11
J.Komplikasi ...
12
BAB IV
13
BAB V
: Kesimpulan
...
23
.................
24
I. Prognosis
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
Diskusi kasus pertama Modul Organ Gerontologi Medik berjudul Tn. Hadi 69
tahun dengan keluhan tidak bisa kencing, perut kembung, kepala pening terbagi menjadi
dua sesi. Sesi pertama dilaksanakan pada hari Selasa, 11 Juni 2013 pukul 08.00-10.00
WIB diketuai oleh Ryan Fernandi dan sekretaris Nanda Soraya, serta tutor Prof. dr.
Suharko Karsan, Sp. S, Sp. Kj, bertempat di ruang 206 lantai 2 Fakultas Kedokteran
Trisakti. Lalu dilanjutkan dengan diskusi sesi kedua yang jatuh pada hari Rabu, 12 Juni
2013 pukul 10.00-12.00 WIB dengan diketuai oleh Malvin Christo dan sekretaris Nanda
Soraya, serta tutor Prof. dr. Suharko Karsan, Sp. S, Sp. Kj, bertempat di ruang 206 lantai
2 Fakultas Kedokteran Trisakti.
Berikut merupakan soal serta pembahasan yang mencakup : anamnesis,
pemeriksaan fisik, diagnosis, penatalaksanaan, hingga kepada prognosis pasien tersebut
dijabarkan secara sistematis.
BAB II
LAPORAN KASUS
SESI I
Tn. Hadi 69 tahun datang di UGD, dimana anda bertugas dengan keluhan, baru
datang dari Jogja dengan keret api, semalam hingga kini, tidak bisa kencing, perut
kembung, kepala pening.
SESI II
Pada pemeriksaan didapatkan :
-
Pasien sadar, gizi cukup, konjungtiva agak anemis, nadi : 80/m, pernafasan :
20/m, tensi : 150/90
Abdomen : agak membuncit, teraba tumor diatas simfesis hingga pusat fluktuatif
(+), redup, ballotemen (+), bising usus (+)
Pemeriksaan LAB :
-
HB
:9%
Psa
Ureum : 50%
: 10 ng/ml
Sfinkter baik
Darah (-)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Alamat
:
Tn. Hadi
69 tahun
Laki-laki
-
Pekerjaan
Status Pernikahan
Identifikasi masalah
BPH
batu saluran di saluran kemih
(vesicolithiasis, uretrolithiasis)
urethritis
striktur urethra
musculus detrusor spastic
parkinson
Perut kembung
Kepala pening
Konjungtiva agak anemis
Ballotement (+)
Pretibial oedem
Tanda vital
Hasil
pemeriksaan
Nilai normal
Interpretasi
Keterangan
TD
Hipertensi
150/90 mmHg
120/80 mmHg
Meningkat
80x/menit
60-100x/menit
Normal
Normal
20x/menit
16-20x/menit
Normal
Normal
Nadi
pernafasan
grade I
Status Lokalis
Kepala
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
Sfinkter baik
Darah (-)
Berdasarkan
status
lokalis
yang
didapat,
maka
kelompok
kami
dengan kereta api) sehingga menghambat aliran darah balik menuju jantung, maka terjadi
pembendungan pada daerah ekstremitas bawah umumnya dan pada pasien ini didapatkan
pada daerah pretibial. Berdasarkan pemeriksaan colok dubur, didapatkan pembesaran
prostat (Hiperplasia Prostat Benigna/ BPH) tapi belum mengarah pada keganasan.
3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan :
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
Interpretasi
laboratorium
Hb
9 g/dl
13 18 g/dl
Leukosit
6000/ul
5000 10000 / ul
PSA (prostate
spesific
antigent)
Ureum
10 ng/ml
50 %
15 40 mg %
3.6 DIAGNOSIS
Berdasarkan anamnesis, anamnesis tambahan yang dilakukan, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang, maka kelompok kami mendiagnosis Tn. Hadi menderita :
1. Hiperplasia Prostat Benigna.
Diagnosis kerja ini ditegakkan berdasarkan keluhan utama Tn. Hadi tidak dapat
berkemih, pada pemeriksaan colok dubur teraba prostat membesar simetris,
kenyal, permukaan licin.
2. Anemia.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan konjuntiva agak anemis dan
pemeriksaan laboratorium HB 9g%
3. Hipertensi Grade 1
Pada pemeriksaan fisik, tensi Tn. Hadi 150/90. Menurut JNC VII tekanan darah
Tn. Hadi termasuk hipertensi Grade I
3.7 PATOFISIOLOGI
Pasien Tn. Hadi,
69 Tahun (lansia)
Benign Prostatic
Hyperplasia
(BPH)
Pemeriksaan
Fisik :
Abdomen agak
membuncit
Redup
Ballotement (+)
Vesika urinaria
Obstruksi
penuh
(retensi urin)
Traktus Urinarius
(Leher vesika
Retensi garam,
Menekan vena
disekitarnya
Terjadi peningkatan
Tekanan
intratubular diikuti
hidrostatik
Pretibial Udem
intravena >>
Gangguantekanan
fungsi
peningkatan
Filtrasi menurun
hidrostatikginjal
glomeruli
Kepala
Hipertensi
pening
Ureum
>>
urinaria)
Kurang tidur
Mabuk
perjalanan
Stress
tidak
8 BAK
bisa
Anemia
3.8 PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa
Kateterisasi pertama kali dilakukan pada saat pasien datang agar dapat
mengurangi keluhan utama pasien yaitu kesulitan bak dan diharapkan dapat
yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Pada tunggu dan
awasi ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan
mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya seperti :
o jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah
makan malam untuk mengurangi nokturia
o kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
buli-buli (kopi atau cokelat)
o batasi
penggunaan
obat-obat
influenza
yang
mengandung
Medikamentosa
Doksazosin 1 4 mg 1x/hari
Dipilih obat doksazosin dari golongan antagonis 1-adrenergik postsinaptik
untuk menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi
tonus leher buli-buli dan uretra dan juga dapat menurunkan keadaan hipertensi
pada pasien.Pemberian obat dapat mencapai masa awitan setelah pemberian
sekitar 2-4 minggu .
3.9 PROGNOSIS
Ad Vitam
terutama pada fungsi ginjal pasien, mengingat ditemukannya peningkatan ureum pada
pasien serta ditemukan adanya hipertensi pada pasien sendiri.
Ad Sanationam
pasien, mengingat usia pasien yang sudah lanjut dan adanya perubahan anatomis pada
prostat pasien sendiri
10
3.10 KOMPLIKASI
Terjadinya komplikasi pada pasien BPH sangat jarang pada umumnya. Bila
komplikasi terjadi, terdapat obstruksi saluran kemih sehingga akan mengganggu dari
aliran urin itu sendiri. Komplikasi yang akan terjadi adalah :
1. Adanya sumbatan total pada uretra (terjadi pada retensi urin akut) yang
mengakibatkan ketidakmampuan total pada pasien untuk berkemih. Perlu
dilakukan kateterisasi untuk mendrainase urin dalam vesika urinaria.
2. Dalam jangka panjang, sumbatan sebagian pada aliran urin dari vesika
urinaria sendiri (terjadi pada retensi urin kronik) sehingga terdapat sisa
urin dalam vesika urinaria (post void residual urine) yang bila dibiarkan
mengakibatkan terjadinya kerusakan ginjal.
3. Dapat terjadi infeksi saluran kemih pada pasien. Namun bila terjadi
berulang-ulang dapat mengakibatkan adanya inflamasi jangka panjang
atau infeksi pada prostat (prostatitis).
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 PENGERTIAN
11
12
Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatus zone
13
Teori growth factors. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah
pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF)
dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi
transforming
growth
factor-b
(TGF-b),
akan
menyebabkan
terjadinya
Ketidakseimbangan endokrin.
Gejala Iritatif :
o sering miksi (frekuensi sering)
o terbangun untuk BAK pada malam hari (Nokruria)
o perasaan ingin BAK yang mendesak (urgensi)
o nyeri pada saat miksi (disuria)
Gejala obstruktif :
o pancaran melemah
o rasa tidak puas setelah BAK
o kalau mau miksi menunggu lama (Hesitancy)
o harus mengedan (straining)
o kencing terputus-putus ( intermittency)
14
DHT
hiperplasia prostat
Penyempitan lumen uretra posterior
Tekanan intravesikal
Resistensi pada leher buli-buli
otot detrusor menebal
Fase kompensasi
Detrusor melemah
Dekompensasi detrusor
Tidak mampu berkontraksi
Retensi urin
Hidronefrosis
Disfungsi sel kemih bag. Atas
G3 ekskresi urin
15
Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urine
lebih dari
sampai muara ureter. TURP masih dapat dilakukan akan tetapi bila
diperkirakan reseksi tidak selesai dalam satu jam maka sebaiknya
dilakukan operasi terbuka.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total. Penonjolan > 3 cm ke dalam rektum
prostat menonjol melewati muara ureter.
4.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
16
2. Pemeriksaan Radiologis
kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS,
pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi
bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi
yang lain.
Medikamentosa
Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seorang pasien
memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berarti pasien perlu mendapatkan
terapi medikamentosa atau terapi lain.Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha
untuk: (1) mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau (2)
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang digunakan adalah:
1. Antagonis adrenergik reseptor yang dapat berupa:
a. preparat non selektif: fenoksibenzamin
b. preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin
c. preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan tamsulosin
2. Inhibitor 5 redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride
Antagonis reseptor adrenergik-
Pengobatan dengan antagonis adrenergik bertujuan menghambat kontraksi otot polos
prostat
sehingga
mengurangi
resistensi
tonus
leher
buli-buli
dan
uretra.
Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik- non selektif yang pertama kali
diketahui mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi.
Namun obat ini menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di antaranya
adalah hipotensi postural dan menyebabkan penyulit lain pada sistem kardiovaskuler.
Beberapa golongan obat antagonis adrenergik 1 yang selektif mempunyai durasi obat
yang pendek (short acting) diantaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari,
dan long acting yaitu, terazosin dan doksazosin yang cukup diberikan sekali sehari. Ratarata obat golongan ini mampu memperbaiki skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6
poin skor IPSS dan Qmax hingga 15-30% dibandingkan dengan sebelum terapi.
Golongan obat ini dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti
terjadinya intoleransi dan takhipilaksis sampai pemberian 6- 12 bulan. Dibandingkan
dengan inhibitor 5 reduktase, golongan antagonis adrenergik- lebih efektif dalam
18
memperbaiki gejala miksi yang ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju
pancaran urine. Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik-
dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian antagonis
adrenergik- saja. Doksazosin dan terazosin dapat memperbaiki gejala BPH dan
menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi.
Inhibitor 5 -redukstase
Finasteride adalah obat inhibitor 5- reduktase pertama yang dipakai untuk mengobati
BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT)
dari testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 -redukstase di dalam sel-sel prostat.
Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan ukuran prostat
hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan
meningkatkan pancaran urine. Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan.
Pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun mampu menurunkan volume prostat,
meningkatkan pancaran urine, menurunkan kejadian retensi urine akut, dan menekan
kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%. Finasteride digunakan bila volume
prostat >40 cm3. Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride, di antaranya
dapat terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-bercak
kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari harga
yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat.
Terapi intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan prostat atau
pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif. Termasuk ablasi jaringan prostat adalah:
pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser prostatektomi. Sedangkan teknik
instrumentasi alternatif adalah interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi
balon, dan stent uretra.
Pembedahan
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, diantaranya
adalah: (1) retensi urine karena BPO, (2) infeksi saluran kemih berulang karena BPO, (3)
hematuria makroskopik karena BPE, (4) batu buli-buli karena BPO, (5) gagal ginjal yang
disebabkan oleh BPO, dan (6) divertikulum bulibuli yang cukup besar karena BPO.
19
20
4.9 KOMPLIKASI
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
Inkontinensia Paradoks
Hematuria
Sistitis
Pielonefritis
Refluks Vesiko-Ureter
Hidroureter
Hidronefrosis
Gagal Ginjal
21
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis yang didapat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
yang sudah dilakukan maka diagnosis yang ditegakan adalah hiperplasia prostat benigna,
anemia, dan hipertensi grade I. Maka penatalaksanaan awal yang dilakukan adalah
kateterisasi pasien yang selanjutnya diikuti dengan non-medikamentosa yaitu merawat
inap
pasien,
mengedukasi
dan
merujuknya
ke
spesialis
urologi,
sedangkan
22
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. McConnell. Guidelines for diagnosis and management of BPH.
http://www.urohealth.org/bph/specialist/future/c hp43.asp
2. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Konsensus sementara benign prostatic hyperplasia
di Indonesia, 2000
3. ( http : // www.medicastore.com / penyakit/ 557/ pembesaran-prostat-jinak-BPHBenign-Prostatic-Hyperplasia-html )
4. Silbernargl S, Lang F. Teks & Atlas Bewarna Patofisiologi. Jakarta : EGC, 2006.
5. Nafrialdi. Antihipertensi. In: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, editors.
Farmakologi dan Terapi 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.p.354-7.
6. European Association of Urology. European Urology
(2009)
: Benign
Prostatic
Hyperplasia
and
Its
Supplements
Aetiologies.
Available
at : http://www.urosource.com/fileadmin/European_Urology/european_urology/B
riganti%20PF.pdf. Accessed On : June 13th, 2013.
23