Anda di halaman 1dari 40

CASE

TB - HIV
PEMBIMBING
dr. Sukaenah, Sp.P

DISUSUN OLEH

Ni Kadek Sri Rahayu Wijayanti


030.10.204

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 5 januari 2015 14 MARET 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING


LAPORAN KASUS
TB - HIV
Presentasi Kasus
Diajukan kepada SMF Penyakit Dalam RSUD Budhi Asih Untuk Memenuhi
Persyaratan Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik SMF Penyakit Dalam
Periode 5 Januari 2015 14 Maret 2015

Oleh:
Ni Kadek Sri Rahayu Wijayanti
NIM : 03010204

Pembimbing
dr. Sukaenah, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM RSUD BUDHI ASIH


FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
JAKARTA

DAFTAR ISI

Halaman judul....................................................................................................

Lembar persetujuan pembimbing ......................................................................

Daftar isi ...........................................................................................................

BAB I

STATUS PASIEN ...............................................................................

Identitas..............................................................................................

II

Anamnesis..........................................................................................

III

Anamnesis sistem ..............................................................................

IV

Pemeriksaan fisik ..............................................................................

Pemeriksaan penunjang .....................................................................

10

VI

Follow up...........................................................................................

13

VII

Ringkasan...........................................................................................

15

VIII Masalah dan pengkajian masalah ......................................................

16

IX

Prognosis ...........................................................................................

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................

19

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................

43

BAB I
STATUS PASIEN
I.

II.

IDENTITAS
- Nama
- Jenis kelamin
- Tanggal lahir
- Usia
- Alamat
- Pendidikan terakhir
- Pekerjaan
- Status perkawinan
- Agama
- Warga Negara
- Tanggal Masuk
- Jam masuk
- Masuk karena

: Ny. H
: Perempuan
: 16 Oktober 1993
: 21 tahun
: Jalan Talang, kel.Pondok BambuDuren Sawit
: SMA
: Pramuniaga
: Belum Kawin
: Islam
: Indonesia
: Sabtu, 10 Januari 2014
: 00.55 WIB
: Sesak Nafas sejak 1 minggu yang lalu

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan keluarga pasien pada
tanggal 14 Januari 2015 pukul 15.00 WIB di lantai 5 barat kamar 506 RSUD
Budhi Asih
KELUHAN UTAMA
Sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit, sesak
saat menarik nafas dan tidak diperberat dengan aktivitas.
a. KELUHAN TAMBAHAN
Batuk berdahak yang dirasakan sejak 3 bulan, penurunan berat badan
secara drastis, tidak dapat tidur, demam saat malam hari disertai keringat
dingin dan adanya keputihan 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.
b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
OS mengeluh sesak nafas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Sesak nafas dirasakan saat menarik nafas dan tidak diperberat
dengan adanya aktivitas. Os mengeluh tidak dapat tidur saat malam hari
karena sesak menjadi semakin berat. OS juga mengeluhkan batuk yang
tidak berdahak sebelumnya namun lama-kelamaan batuk menjadi
berdahak selama 3 bulan terakhir. Batuk berdahak tidak dapat dikeluarkan

dahaknya. Pada 14 Januari 2015 OS mengeluh batuk berdahak disertai


dengan bercak darah, keluhan tersebut baru dirasakan sekarang. Tiga bulan
terakhir OS mengeluhkan badannya semakin lemah, sehingga OS berhenti
bekerja dan mengeluhkan adanya penurunan berat badan yang drastis
sebanyak 16 kg. Sejak 2 bulan sebelumnya OS juga mengeluhkan adanya
demam yang naik turun, dimana demam menngkat saat malam hari dan
menurun saat pagi hari. Demam ini disertai dengan keringat pada malam
hari. Sebulan terakhir OS merasakan keputihan yang berwarna putih
kekuningan. Keputihan timbul setelah OS mencoba berobat alternatif (dua
bulan setelah batuk pertama muncul). Dengan berobat alternatif OS merasa
tidak ada perubahan. Dua minggu terakhir OS mengeluh nyeri saat
menelan dan terdapat sariawan dibibir yang mengganggu, namun saat
anamnesis dilakukan, OS mengeluh sariawan berkurang. OS mengaku
pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangannya.

c. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat penyakit dengan keluhan sama
Riwayat operasi
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat alergi makanan dan/atau obat-obatan
Riwayat asma
Riwayat penyakit jantung
Riwayat keganasan

: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal

d. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat alergi makanan dan/atau obat-obatan
Riwayat asma
Riwayat penyakit jantung
Riwayat keganasan

: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal

e. RIWAYAT KEBIASAAN
OS mengaku rajin mengkonsumsi buah dan sayur setiap hari, konsumsi
air putih 2liter per hari, namun OS jarang berolahraga.
Riwayat merokok
: (-)
Riwayat minum alkohol
: (-)

Riwayat minum kopi


Riwayat obat-obatan terlarang
Riwayat seks bebas

: (-)
: (-)
: (+)

f. RIWAYAT PENGOBATAN
OS mengaku tidak mengkonsumsi obat-obatan berkala maupun obat
yang harus diminum setiap hari.
g. RIWAYAT OBGYN
OS mengaku tidak pernah mengalami masalah obstetric maupun
ginekologi
h. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
OS bekerja sebagai pramuniaga disebuah restoran
i. RIWAYAT LINGKUNGAN
Tempat tinggal berada di sebuah gang, letak satu rumah dengan rumah
yang lain berdekatan. OS mengaku tetangga memelihara unggas
dimana kotoran unggasnya jatuh kerumah OS. Rumah dibersihkan
setiap hari dan memiliki ventilasi yang cukup.

III. ANAMNESIS SISTEM


Kulit

: tidak ada keluhan

Kepala

: tidak ada keluhan

Mata

: tidak ada keluhan

Telinga

: tidak ada keluhan

Hidung

: tidak ada keluhan

Mulut

: terasa kering, sariawan (stomatitis aftosa)

Tenggorokan

: batuk berdahak

Leher

: tidak ada keluhan

Dada (jantung/paru-paru)

: sesak saar inspirasi

Abdomen (lambung/usus)

: tidak ada keluhan

Saluran kemih / alat kelamin : keputihan (fluor albus)


Saraf dan otot

: tidak ada keluhan

Ekstremitas

: tidak ada keluhan

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum

Tampak sakit sedang


6

Kesadaran

Compos mentis

Berat badan

46 kg

Tinggi badan

165 cm

BMI

16.8

Status gizi

Gizi kurang

Tanda vital

Tekanan darah: 110/70 mmHg


Nadi: 124 x/menit
Respirasi: 32 x/menit
Suhu: 36,4 C

Status mental

Tingkah laku

: Normoaktif

Alam perasaan

: Normal

Proses pikir

: Realistis

STATUS GENERALIS
1. Kulit:
Warna

: sawo matang, agak kering, tidak pucat, tidak ikterik, tidak


sianosis, tidak ada ruam

dan tidak terdapat hipopigmentasi

namun terdapat hiperpigmentasi pada ekstremitas kanan dan


kiri
Lesi

: tidak terdapat lesi primer seperti makula, papul vesikuler,


pustul maupun lesi sekunder seperti jaringan parut atau keloid
pada bagian tubuh yang lain.

2.

Rambut

: rambut hitam kering, tersebar merata, mudah dicabut

Turgor

: sedikit menurun

Suhu raba

: hangat

Mata
Bentuk

: cekung, kedudukan bola mata simetris

Palpebra

: normal, tidak ptosis, tidak lagoftalmus, tidak edema, tidak


ada perdarahan tidak blefaritis, tidak xanthelasma.

Gerakan

: normal, tidak terdapat strabismus, nistagmus

Konjungtiva

: anemis +/+

Sklera

: tidak ikterik

Pupil

: bulat isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya langsung +/+


refleks cahaya tidak langsung +/+

Eksoftalmus

: tidak ditemukan

Endoftalmus : tidak ditemukan


3.

Telinga
Inspeksi

: Normotia, tidak hiperemis, tidak mikrotia, tidak cauliflower


ear, liang telinga lapang, serumen +/+, sekret -/-.

Palpasi
4.

: Nyeri tarik tragus -/-, nyeri tekan tragus -/-

Hidung
Bagian luar

: normal, tidak ada deformitas, tidak ada nafas cuping hidung,


tidak sianosis,

Septum

: di tengah, simetris

Mukosa hidung: tidak hiperemis, konka nasalis eutrofi


Cavum nasi

5.

: tidak ada perdarahan, tidak kotor, tidak ada sekret

Mulut dan tenggorokan


Bibir

: normal, tidak pucat, tidak sianosis, kering

Gigi-geligi

: oral hygiene buruk

Mukosa mulut : berbau busuk, stomatitis aftosa (+)


Lidah

: normoglosia, tidak pelo, kotor terdapat bercak keputihan


merata

Tonsil

: ukuran T1/T1, tenang, tidak hiperemis, kripta melebar, tidak


ada detritus

Faring
6.

: tidak hiperemis, arcus faring simetris, uvula di tengah

Leher
Bendungan

: tidak ada bendungan vena

Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan, simetris


Trakea
7.

: di tengah

Kelenjar getah bening


8

8.

Leher

: tidak terdapat pembesaran di KGB leher

Aksila

: tidak terdapat pembesaran di KGB aksila

Thorax
Paru-paru
Inspeksi

: simetris, tidak ada hemithorax yang tertinggal

Palpasi

: gerak simetris, vocal fremitus simetris kedua lapang paru

Perkusi

: sonor pada kedua lapang paru.

Auskultasi

: suara napas vesikuler +/+, ronkhi +/-, wheezing -/-

Jantung
Inspkesi

: tidak tampak pulsasi ictus cordis

Palpasi

: terdapat pulsasi ictus cordis pada ICS IV, 1 cm medial linea


midklavikularis sinistra

Perkusi
Batas jantung kanan

: ICS III - V , linea sternalis dextra

Batas jantung kiri

: ICS VI , 2-3 cm dari linea midklavikularis


sinistra

Batas atas jantung


Auskultasi

9.

: ICS III linea sternalis sinistra

: bunyi jantung I II normal, regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi

the flanks, tidak smiling umbilicus


Palpasi
: teraba supel, hepar dan lien tidak

: abdomen cekung, tidak ada sagging of

teraba, nyeri tekan

(-) pada epigastrium , nyeri lepas

(-), ballottement (-)


Perkusi

: timpani pada keempat kuadran

abdomen, nyeri ketok CVA (-)


: bising usus positif 3x/menit

Auskultasi

10. Ekstremitas
9

Tidak tampak deformitas, akral teraba hangat pada keempat ekstremitas,


edema di ekstremitas (-), sianosis (-)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Hasil Lab tanggal 09 Januari 2015 saat pasien dirawat di IGD
JENIS PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
GDS

HASIL
8.9
4.4
10.2*
32*
309
73.0
23.2
32.0
16.7
86

SATUAN

NILAI NORMAL

ribu/l
juta/l
g/dL
%
ribu/l
fL
Pg
g/dL
%
mg/dL

3.6 11
3.8 5.2
11.7 15.5
35 47
150 440
80 100
26 34
32 36
< 14
< 110

Hasil Lab tanggal 10 Januari 2015 saat pasien diruangan


JENIS PEMERIKSAAN
MIKROBIOLOGI
SEDIAAN GO
Epitel
PMN
Blastospora
Pseudohifa
Gram Positif Kokus
Gram Negatif Kokus
Gram Positif Batang
Gram Negatif Batang
Diplokokus Intra Sel
Diplokokus Ekstra Sel
SEDIAAN GRAM
Epitel
PMN
Blastospora
Pseudohifa
Clue cells
Gram Positif Kokus

HASIL

SATUAN

NILAI NORMAL

2-4
4-6
Negatif
Negatif
Positif*
Negatif
Negatif
Positif*
Negatif
Negatif

0-30
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

2-4
4-6
Negatif
Negatif
Negatif
Positif*

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

10

Gram Negatif Kokus


Gram Positif Batang
Gram Negatif Batang
Gram Negatif Diplokokus
Intra Sel
Gram Negatif Diplokokus
Ekstra Sel
SEDIAAN JAMUR KOH
Pseudohifa
Spora
Blastospora
Hifa Panjang
Hifa Pendek
Spora Berkelompok

Negatif
Positif*
Negatif
Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Negatif

Negatif

Negatif
Positif*
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

GINJAL
Ureum
Kreatinin

11* mg/dL
0.53 mg/dL

13-43
<1.1

ELEKTROLIT
Natrium(Na)
Kalium(K)
Klorida(Cl)

131* mmol/L
3.9 mmol/L
92* mmol/L

135-155
3.6-5.5
98-109

Hasil Lab tanggal 11 Januari 2015 saat pasien diruangan


JENIS PEMERIKSAAN
URINALISIS
Urine lengkap
Warna
Kejernihan
Glukosa
Bilirubin
Keton
pH
Berat Jenis
Albumin Urine
Urobilinogen
Nitrit
Darah
Esterase Lekosit
Sedimen Urine :
Leukosit
Eritrosit
Epitel
Silinder

HASIL

SATUAN

NILAI NORMAL

Kuning
Jernih
Negatif
Negatif
Negatif
7.0
1.020
Negatif
1.0 E.U./dL
Negatif
Negatif
Negatif

Kuning
Jernih
Negatif
Negatif
Negatif
4.6-8
1.005-1.030
Negatif
0.1-1
Negatif
Negatif
Negatif

0-1
0-1
Positif
Negatif

<5
<2
Positif
Negatif

11

Kristal
Bakteri
Jamur
B-HCG Urine Rapid

IMUNOSEROLOGI
Anti HIV
Screening/Rapid test

Negatif
Negatif
Negatif
Bahan
belum

Negatif
Negatif
Negatif

Reaktif

Non reaktif

Hasil Lab tanggal 14 Januari 2015 saat pasien dirawat di ruangan


JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
KIMIA KLINIK
ANALISA GAS DARAH
PH
7.49*
pCO2
26* mmHg
PO2
198* mmHg
Bikarbonat (HCO3)
20* mmol/L
Total CO2
21* mmol/L
Saturasi O2
100 %
Kelebihan Basa (BE)
-1.8 mEq/L

NILAI NORMAL
7.35 - 7.45
35 - 45
80 - 100
21 28
23 27
95 100
-2.5 2.5

RONTGEN THORAX

Pada foto didapatkan hasil bercak kesuraman pada apeks kanan atas
dan apeks lobus media. Pada paru kanan didapatkan sudut costo frenicus yang
menumpul. Cor dalam batas normal.
VI.

FOLLOW UP
12

10/01/2015
S
: Sesak saat menarik nafas, batuk (+), lemas (+), demam malam hari
O

(+), BAB dan BAK normal


: TD: 150/100 mmHg, Suhu: 36oc, RR: 28x/mnt, N: 100x/mnt. CA +/+

A
P

rh +/: TB paru
:-

12/01/2015
S
: sesak saat menarik nafas, BB turun, batuk berdahak, demam malam
O
A
P

hari (+), susah tidur


: TD: 120/70 mmHg, Suhu: 35,7oc, RR: 16x/mnt, N: 80x/mnt. CA +/+
rh +/: TB paru, CAP, HIV
: - RD : NaCl ( 2:1 ) + lasal 2cc / 8 jam
- Inj. Cefoperazone 2x1gr
- BK III 3x1

13/01/2015
S
: batuk berdahak, susah tidur, demam (+)
O
: TD: 130/80 mmHg, Suhu: 36,7oc, RR: 20x/mnt, N: 84x/mnt
A
: TB paru, CAP, HIV
P
: - RD : NaCl (2:1) + lasal 2cc/ 8 jam
- Inj. Cefoperazone 2x1
- BK III 3x1
- Ambroxol syr 3x1
- Epysan syr 3x1
- INH 1 x 300
- Etambutol 2 x 500
- Alprazolam 1 x 0,25
- Rifampicin 1 x 300
14/01/2015
S
: batuk berdahak, sesak (+), demam perbaikan
O
: TD: 110/70 mmHg, Suhu: 36,4oc, RR: 32x/mnt, N: 124x/mnt
A
: TB paru, CAP, HIV
P
: - RD : NaCl (2:1) + lasal 2cc/ 8 jam
- Inj. Cefoperazone 2x1
- BK III 3x1
- Ambroxol syr 3x1
- Epysan syr x1
- INH 1 x 300
- Etambutol 2 x 500
- Rifampicin 1 x 300
VII. RINGKASAN

13

Datang seorang wanita berusia 21 tahun ke UGD RSUD Budhi Asih


dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. OS
juga mengeluhkan batuk yan tidak berdahak sebelumnya namun lama-kelamaan
batuk menjadi berdahak selama 3 bulan terakhir terkadang disertai dengan
bercak darah. OS mengeluhkan adanya penurunan berat badan yang drastis
sebanyak 16 kg. Sejak 2 bulan sebelumnya OS juga mengeluhkan adanya
demam yang naik turun, disertai dengan keringat dingin. Sebulan terakhir OS
merasakan keputihan yang berwarna putih kekuningan. Dua minggu terakhir OS
mengeluh nyeri saat menelan dan terdapat sariawan dibibir yang mengganggu.
OS mengaku pernah berhubungan seksual.
Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan tampak sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis, GCS 15(E4 V5 M6). TD 110/70, HR: 124x/menit,
RR 32x/ menit. Conjungtiva anemis +/+, mulut kering, hiperpigmentasi pada
kaki kanan dan kiri, terdapat ronkhi pada paru kanan dan perut cekung.
Dari hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan Hemoglobin 10.2, sediaan
jamur KOH spora positif, pH 7.49, pCO2 26, pO2 198, HCO3 20, Total CO2
21, dan pemeriksaan anti HIV rapid test ditemukan hasil reaktif.

VIII. MASALAH DAN PENGKAJIAN MASALAH


Masalah yang didapat pada kasus ini antara lain:
1. TB PARU
Pada pasien yang dicurigai TB harus terdapat gejala respiratorik dan gejala
sistemik. Adapun gejala respiratorik didapatkan gsesak nafas sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit disertai dengan batuk berdahak 3 bulan
terakhir dan pada saat dilakukan anamnesis OS mengaku batuk nya disertai
bercak darah. Sedangkan gejala sistemik terdapat demam yang naik turun
sejak 2 bulan terakhir yang disertai demam pada malam hari dan penurunan
berat badan drastis sebanyak 16kg selama 3 bulan terakhir.
Pemeriksaan fisik didapatkan suara nafas amforik +/- dan terdapat
ronkhi pada paru kanan. Pemeriksaan penunjang didapatkan hasil rontgen
adanya bercak kesuraman pada apeks paru kanan atas. Pemeriksaan yang

14

menjadi dasar diagnosis TB yang harus dilakukan adalah pemeriksaan


BTA.
2. HIV
Menurut anamnesis didapatkan badan yang melemah, penurunan berat
badan yang drastis sebanyak 16kg selama 3 bulan terakhir dan pasien gizi
buruk, demam berkepanjangan.
Pemeriksaan fisik didapatkan adanya hiperpigmentasi pada ekstremitas
bawah pasien, turgor kulit yang menurun, stomatitis aftosa, bercak
keputihan pada lidah, mata cekung. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan hasil anti HIV reaktif. Perlu pemeriksaan tambahan yaitu, CD4.
3. CAP
CAP atau community acquired pneumonia merupakan perdangan pada
salah satu atau kedua paru yang lebih tepatnya pada alveoli. Pada
anamnesis menunjukan adanya batuk dan sesak yang terjadi saat menarik
nafas, lemas, adanya demam menunjukan gejala pneumonia. Pemeriksaan
fisik menunjukan ronkhi positif pada paru kanan. Pemeriksaan rontgen
thorax menunjukan adanya bercak kesuraman pada lobus media dekstra.
4. SUSPECT EFUSI PLEURA MINIMAL
Efusi pleura sendiri merupakan pengumpulan cairan abnormal dan
berlebihan didalam rongga pleura. Pada pasien mengeluhkan adanya sesak
nafas yang terjadi sejak 1 minggu yang lalu. Dengan pemeriksaan fisik
didapatkan respiratory rate 32x/menit. Pemeriksaan rontgen menunjukan
adanya efusi pleura minimal pada paru dekstra.
5. GIZI KURANG
Pasien mengeluhkan adanya nafsu makan yang menurun dan
penurunan berat badan secara drastis, dan berdasarkan hal tersebut maka BMI
pasien menjadi 16,8 yang termasuk dalam gizi kurang.
6. FLOUR ALBUS
Pasien mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari daerah kemaluan
berwarna putih kekuningan. Tidak dilakukan pemeriksaan fisik pada genitalia
pasien, namu pada pemeriksaan penunjang didapatkan spora yang positif.

15

IX.

PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam


Ad fungsionam : dubia ad malam
Pada prognosis ad vitam adalah bonam dikarenakan follow up karena
progresifitas penyakit yang berjalan secara cepat. Ad sanationam dubia ad
malam dikarenakan pengobatan yang membutuhkan waktu lama selama 6 bulan
dan pengobatan seumur hidup dan perlu adanya sanitasi lingkungan yang baik
pada pasien. Ad fungsionam dubia ad malam karena penyakit ini dapat
menyebar ke segala organ.

16

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.

TUBERKULOSIS
A. Definisi
Tuberkulosis

adalah

penyakit

yang

disebabkan

oleh

infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex. Tuberkulosis paru adalah penyakit


radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang
disebabkan oleh M.tuberculosis
B. Etiologi
TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
complex. Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh Robert
Koch pada tahun 1882. Mycobacterium tuberculosis adalah kuman penyebab
TB yang berbentuk batang ramping lurus atau sedikit bengkok dengan kedua
ujungnya membulat. Koloninya yang kering dengan permukaan berbentuk
bunga kol dan berwarna kuning tumbuh secara lambat walaupun dalam
kondisi optimal. Diketahui bahwa pH optimal untuk pertumbuhannya adalah
antara 6,8-8,0. Untuk memelihara virulensinya harus dipertahankan kondisi
pertumbuhannya pada pH 6,8.
M. tuberculosis tipe humanus dan bovines adalah mikobakterium yang
paling banyak menimbulkan penyakit TB pada manusia. Basil tersebut
berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada
suhu 80 C dan 20 menit pada suhu 60C), dan mudah mati apabila terkena
sinar ultraviolet (sinar matahari). Basil tuberkulosis tahan hidup berbulanbulan pada suhu kamar dan dalam ruangan yang lembab.

17

C. Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang
disebut sarang primer atau afek primer disebit sebagai fokus Ghon.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian di mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan terlihat
peradangan pembuluh limfe menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran limfonodi di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut:
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali,
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain
c.

sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus),


Menyebar dengan cara:
1) Perkontinuatum
Salah satu contoh adalah epitutuberkulosis, yaitu suatu
kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus
yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus
yang

atelektasis

tersebut,

yang

dikenal

sebagai

epitutuberkulosis
2) Penyebaran secara bronkogen
Penyebaran secara bronkogen berlangsung baik di paru
bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah
dan virulensi kuman. Ada beberapa kuman yang menetap
sebagai persisten atau dormant, sehingga daya tahan
tubuh tidak

dapat menghentikan perkembangbiakan

kuman, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi


penderita TB dalam beberapa bulan. Bila tidak terdapat
imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan

18

keadaan cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB,


Typhobacillosis landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan TB pada organ lain, misalnya tulang, ginjal,
anak ginjal, genitalia dan sebagainya.
2.

Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Kuman yang persisten pada TB primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa (tuberkulosis
post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi
mencapai 90%. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi, alkohol, peyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB
sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas
paru (bagian apical-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya
adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. TB
pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua. Patogenesis dan manifestasi patologi TB paru
merupakan hasil respon imun seluler (cell mediated immunity) dan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen kuman TB.
Perjalanan infeksi TB terjadi melalui 5 tahap, yaitu:
Tahap 1: dimulai dari masuknya kuman TB ke alveoli. Kuman akan
difagositosis

oleh

makrofag

alveolar

dan

umumnya

dapat

dihancurkan. Bila daya bunuh makrofag rendah, kuman TB akan


berproliferasi dalam sitoplasma dan menyebabkan lisis makrofag.
Pada umumnya pada tahap ini tidak terjadi pertumbuhan kuman.
Tahap 2: tahap simbiosis, kuman tumbuh secara logaritmik dalam
non-activated macrophage yang gagal mendestruksi kuman TB
hingga makofag hancur dan kuman TB difagositosis oleh makrofag
lain yang masuk ke tempat radang karena faktor kemotaksis
komponen komplemen C5a dan monocyte chemoatractant protein
(MPC-1). Lama kelamaan makin banyak makrofag dan kuman TB
yang berkumpul di tempat lesi.
Tahap 3: terjadi nekrosis kaseosa, jumlah kuman TB menetap karena
pertumbuhannya dihambat oleh respon
tuberculin-like

antigen.

Pada

tahap

imun tubuh terhadap


ini,

delayed

type

of

19

hypersensitivity (DTH) merupakan respon imun utama yang mampu


menghancurkan makrofag yang berisi kuman. Respon ini terbentuk 48 minggu dari saat infeksi. Dalam solid caseous center yang
terbentuk, kuman ekstraseluler tidak dapat tumbuh, dikelilingi nonactivated makrofag dan partly activated macrofag. Pertumbuhan
kuman TB secara logaritmik terhenti, namun respon imun DTH ini
menyebabkan

perluasan

caseous

necrosis

tapi

tidak

dapat

berkembang biak karena keadaan anoksia, penurunan pH dan adanya


inhibitory fatty acid. Pada keadaan dorman ini metabolism kuman
minimal sehingga tidak sensitif terhadap terapi. Caseous necrosis ini
merupakan reaksi DTH yang berasal dari limfosit T, khususnya T
sitotoksik (Tc), yang melibatkan clotting factor, sitokin TNF-alfa,
antigen reaktif, nitrogen intermediate, kompleks antigen antibody,
komplemen dan produk-produk yang dilepaskan kuman yang mati.
Pada reaksi inflamasi, endotel vaskuler menjadi aktif menghasilkan
molekul-molekul adesi (ICAM-1, ELAM-1, VCAM-1), MHC klas I
dan II. Endotel yang aktif mampu mempresentasikan antigen
tuberkulin pada sel Tc sehingga menyebabkan jejas pada endotel dan
memicu kaskade koagulasi. Trombosis lokal menyebabkan iskemia
dan nekrosis dekat jaringan.
Tahap 4: respon imun cell mediated immunity (CMI) memegang
peran utama dimana CMI akan mengaktifkan makrofag sehingga
mampu memfagositosis dan menghancurkan kuman. Activated
macrophage menyelimuti tepi caseous necrosis untuk mencegah
terlepasnya kuman. Pada keadaan dimana CMI lemah, kemampuan
makrofag untuk menghancurkan kuman hilang sehingga kuman dapat
berkembang biak di dalamnya dan seanjutnya akan dihancurkan oleh
respon imun DTH, sehingga caseous necrosis makin luas. Kuman TB
yang terlepas akan masuk ke dalam kelenjar limfe trakheobronkial
dan menyebar ke organ lain.
Tahap 5: terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama
kalinya terjadi multiplikasi kuman TB ekstraseluler yang dapat
mencapai jumlah besar. Respon imun CMI sering tidak mampu
mengendalikannya. Dengan progresivitas penyakit terjadi perlunakan
20

caseous necrosis, membentuk kavitas dan erosi dinding bronkus.


Perlunakan ini disebabkan oleh enzim hidrolisis dan respon DTH
terhadap tuberkuloprotein, menyebabkan makrofag tidak dapat hidup
dan merupakan media pertumbuhan yang baik bagi kuman. Kuman
TB masuk ke dalam cabang-cabang bronkus, menyebar ke bagian
paru lain dan jaringan sekitarnya.
D. Diagnosis
Diagnosis pada TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan
pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pemeriksaan
kultur bakteriologi, pemeriksaan sputum BTA, radiologi dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
1. Gejala Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
lokal dan sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala
lokal adalah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
a. Gejala respiratori :
1) Batuk 2 minggu
2) Hemoptisis
3) Dyspneu
4) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam
2) Gejala sistemik lain ; malaise, keringat malam, anoreksia,
dan berat badan menurun.
c. Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada
meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Pada pleuritis TB
terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung dengan
organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior (S1 dan S2) serta daerah apeks lobus inferior (S6).
21

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas


bronchial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-anda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
3. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, LCS, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsi.
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:
a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian, bila
1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif bila 3 kali negatif
BTA negatif
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis
dibaca dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUATLD). Skala IUATLD:
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(3+).
4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi
yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-scan. Pada pemeriksaan
foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
adalah:
a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah.
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
c. Bayangan bercak milier.
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
a. Fibrotik.
b. Kalsifikasi.
c. Schwarte atau penebalan pleura

22

5. Pemeriksaan Penunjang Lain


a. Analisis cairan pleura.
b. Pemeriksaan histopatologi jaringan.
c. Pemeriksaan darah

Gambar 1. Alur Diagnosis TB paru

E. Penatalaksanaan
Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama
rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada
akhir pengobatan intensif .
Sedangkan kategori penggunaan OAT di Indonesia, adalah
sebagai berikut.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), diberikan untuk pasien dengan
kriteria:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

23

c.

Pasien TB ekstra paru

2. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3), diberikan untuk pasien BTA


positif yang telah diobati sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
II.

HIV/ AIDS
A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus dengan
materi

genetik

asam

ribonukleat

(RNA).

Retrovirus

mempunyai

kemampuan yang unik untuk mentransfer informasi genetik mereka dari


RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse
transcriptase, setelah masuk ke tubuh hospes. Virus ini menyerang dan
merusak sel- sel limfosit T-helper (CD4+) sehingga sistem imun penderita
turun dan rentan terhadap berbagai infeksi dan keganasan.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan
sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari
infeksi HIV.
B. Patogenesis
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang
memiliki reseptor membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+). Glikoprotein
envelope virus, yakni gp120 akan berikatan dengan permukaan sel limfosit
CD4+, sehingga gp41 dapat memperantarai fusi membran virus ke
membran sel. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+, RNA virus
masuk ke bagian tengah sitoplasma CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas,
terjadi transkripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai tunggal
RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. cDNA kemudian
bermigrasi ke dalam nukleus CD4+ dan berintegrasi dengan DNA dibantu
enzim HIV integrase. Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan
suatu provirus dan memicu transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian
ditranslasikan menjadi protein struktural dan enzim virus. RNA genom
24

virus kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan bergabung dengan


protein inti. Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein virus
menjadi segmen- segmen kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen
virus akan dibungkus oleh sebagian membran sel yang terinfeksi. Virus
yang baru terbentuk (virion) kemudian dilepaskan dan menyerang sel-sel
rentan seperti sel CD4+ lainnya, monosit, makrofag, sel NK (natural
killer), sel endotel, sel epitel, sel dendritik (pada mukosa tubuh manusia),
sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia, dan berbagai jaringan tubuh.
Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama
respon imun, terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga
mengeluarkan faktor pertumbuhan sel B untuk menghasilkan antibodi dan
mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk meningkatkan aktivitas sel T
sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel CD4+ berfungsi
sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag, monosit, dan sel
Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-helper oleh HIV menyebabkan
penurunan sekresi antibodi dan gangguan pada sel-sel imun lainnya.
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari
600 sampai 1200/ l darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar
limfosit CD4+ turun di bawah kadar normal untuk orang tersebut. Jumlah
sel kemudian meningkat tetapi kadarnya sedikit di bawah normal. Seiring
dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+ secara perlahan, berkorelasi
dengan perjalanan klinis penyakit. Gejala-gejala imunosupresi tampak pada
kadar CD4+ di bawah 300 sel/l. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari
200/l mengalami imunosupresi yang berat dan risiko tinggi terjangkit
keganasan dan infeksi oportunistik.
C. Penularan HIV/ AIDS
Penularan AIDS terjadi melalui :
1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual);
2. Penerimaan darah dan produk darah;
3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma;
4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan).
Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih
besar bila terdapat penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka
atau ulserasi pada alat kelamin. HIV telah diisolasi dari darah, sperma, air
liur, air mata, air susu ibu, dan air seni, tapi yang terbukti berperan dalam
25

penularan hanyalah darah dan sperma. Hingga saat ini juga tidak terdapat
bukti bahwa AIDS dapat ditularkan melalui udara, minuman, makanan,
kolam renang atau kontak biasa (casual) dalam keluarga, sekolah atau
tempat kerja. Juga peranan serangga dalam penularan AIDS tidak dapat
dibuktikan.
D. Diagnosis
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
HIV. Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) yang
bereaksi terhadap antibodi dalam serum. Apabila hasil ELISA positif,
dikonfirmasi dengan tes kedua yang lebih spesifik, yaitu Western blot. Bila
hasilnya juga positif, dilakukan tes ulang karena uji ini dapat memberikan
hasil positif-palsu atau negatif-palsu. Bila hasilnya tetap positif, pasien
dikatakan seropositif HIV. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan klinis dan
imunologik lain untuk mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha
untuk mengendalikan infeksi.
WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk menentukan
prognosis), berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai berikut
Tabel 1. WHO clinical staging system for HIV infection and
related disease in adult (15 years or older)
Tahap 1 :
- Asimptomatik
- Limfadenopati menyeluruh
Performance scale 1 : asimtomatik, aktifitas normal
Tahap 2:
-Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya
- Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral, infeksi jamur di kuku)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Angular cheilitis
- seboroik dermatitis
- Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis bakterial)
Dan/ atau Performance scale 2: simptomatik, aktivitas normal
Tahap 3:

- Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya


- Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
26

- Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan


- Candidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- TB paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis)
Dan/atau Performance scale 3: bedrest < 50% dlm sehari 1 bulan terakhir
Tahap 4:

- HIV wasting syndrome (penurunan bb > 10%, diare>1n bl atau lemah lesu dan
demam > 1 bln)

- Pneumonisitis carina pneumonia


- Toxoplasmosis otak
- Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan
- Kriptokokosis, ekstra paru
- TB ekstra paru
- Penyakit disebabkan oleh CMV
- Kandidiasis
- Mikobakteriosis atipikal
- Lymphoma
- Kaposi sarcoma
- HIV encephalopati
- Infeksi virus herpes lebih dari 1 bulan
- Leukoensefalopati multifokal yang progresif
- Infeksi jamur endemik yang menyebar
Dan/atau Performance scale 4 : bedrest >50% dlm sehari 1 bulan terakhir

E. Terapi Anti Retrovirus (ART)


Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong suatu
revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum mampu
menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping
dan resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan penurunan angka
mortalitas dan morbiditas akibat HIV/AIDS.
Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit, yang
dapat dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum. Terdapat tiga

27

jenis antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yang


dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy), golongan dan
dosis
Golongan Obat

Dosis

Nukleoside Reverse Transcriptase


Inhibitor (NsRTI)

Abakavir (ABC)

300mg 2x/hari atau 400mg 1x/hari

Didanosin (ddI)

250mg 1x/hari (bb<60kg)

Lamivudine (3TC)

150mg 2x/hari atau 300mg 1x/hari

Stavudin (d4T)

40mg 2x/hari (30mg 2x/hari bila bb<60kg)

Zidovudin (ZDV)

300mg 2x/hari

Nukleotide Reverse Transcriptase


Inhibitor (NRTI)

TDF

300mg 1x/hari

Non-NukleosideReverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Efavirenz (EFV)

600mg 1x/hari

Nevirapine (NVP)

200mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian


200mg 2x/hari

Protease Inhibitor (PI)

Indinavir/ritonavir
(IDV/r)

800mg/100mg 2x/hari

Lopinavir/ritonavir
(LPV/r)

400mg/100mg 2x/hari

Nelfinavir (NFV)

1250mg 2x/hari

Saquinavir/ritonavir
(SQV/r)

1000mg/ 100mg 2x/hari atau 1600mg/


200mg 1x/hari

Ritonavir (RTV/r)

Kapsul 100mg, larutan oral 400mg/5ml

Paduan Lini Pertama

28

Yakni suatu kombinasi obat yang digunakan pasien yang belum pernah
mendapatkan ARV sebelumnya, umumnya lini pertama yang diberikan
terdiri dari 2 NRTI dan 1 NNRTI. Ada 4 paduan Utama untuk lini pertama :
AZT-3TC-NVP
AZT-3TC-EFV
D4T-3TC-NVP
D4T-3TC-EFV
3TC selalu digunakan dan dimasukkan ke dalam 4 regimen (selalu
dicantumkan di tengah). Obat yang pertama adalah AZT atau D4T (tidak
boleh diberikan bersamaan). Obat yang terakhir NPV atau EFV (tidak boleh
diberikan bersamaan).
III. TUBERKULOSIS HIV (TB-HIV)
A. Hubungan TB dan HIV
Ketika infeksi HIV berlanjut dan imunitas menurun, pasien menjadi rentan
terhadap berbagai infeksi. Beberapa di antaranya adalah TB, pneumonia,
infeksi jamur di kulit dan orofaring, serta herpes zoster. Infeksi tersebut
dapat terjadi pada berbagai tahap infeksi HIV dan imunosupresi. Faktor
yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/ AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang
terinfeksi TB menjadi sakit TB. Menurut WHO, infeksi HIV terbukti
merupakan faktor yang memudahkan terjadinya proses pada orang yang
transmisi
telah terinfeksi TB, meningkatkan risiko TB laten menjadi
TB aktif
dan
Diagnosis
tepat
dan cepat
kekambuhan, menyulitkan diagnosis, dan memperburuk stigma.
TB juga
Pengobatan tepat
Jumlah kasus TB BTA +
dan HIV.
lengkap
Risiko
TB bila
meningkatkan morbiditas
danmenjadi
mortalitas
pada pasien pengidap
Faktor lingkungan:
Ventilasi
Kepadatan
Dalam ruangan
Faktor perilaku

Kondisi
kesehatan
mendukung

dengan HIV:
5-10% setiap
tahun
> 30% lifetime

HIV (+)

TERPAJAN
Konsentrasi Kuman
Lama Kontak

INFEKS
transmisi
I

SEMBUH

TB

MATI

10%
Malnutrisi
Penyakit DM,
imunosupresan

Keterlambatan diagnosis
dan pengobatan
29
Tatalaksana tak memadai
Kondisi kesehatan

Gambar 2. Faktor Risiko Kejadian TB


B. Patogenesis
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M. tuberculosis,
organisme disajikan kepada makrofag melalui ingesti dimana setelah
diproses, antigen mikobakteri disajikan ke sel-T. Sel CD4 mengeluarkan
limfokin yang meningkatkan kapasitas makrofag untuk menelan dan
membunuh mikobakteri. Pada sebagian besar orang terjadi infeksi dan TB
tidak berkembang, meski sejumlah basil tetap dorman tubuh. Hanya 10%
dari kasus yang berkembang menjadi TB klinis, segera setelah infeksi
primer atau bertahun-tahun kemudian sebagai reaktivasi TB. Hal ini
memungkinkan terjadinya kerusakan pada fungsi dari sel T dan makrofag.
Deplesi dan disfungsi sel CD4 yang progresif, ditambah dengan
adanya kerusakan pada fungsi makrofag dan monosit, membentuk ciri
infeksi HIV. Disfungsi ini pada odha (orang dengan HIV dan AIDS) sebagai
predisposisi terjadinya infeksi TB baik primer maupun reaktivasi. Bukti
epidemiologis menunjukkan bahwa infeksi HIV

meningkatkan risiko

reaktivasi laten TB dan juga risiko penyakit progresif dari infeksi baru.
C. Diagnosis
Tuberkulosis pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran
klinis yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan
karena rendahnya reaksi imunologik penderita AIDS. Seperti diketahui
30

manifestasi klinis TB sebenarnya merupakan reaksi imunologik terhadap


Mycobacterium tuberculosis. Banyak ditemukan diagnosis TB pada pasien
HIV berbeda dengan diagnosis TB pada umumnya, dimana gejala TB pada
pasien HIV tidaklah spesifik. TB ekstra paru lebih sering ditemukan pada
pasien dengan HIV dibandingkan pasien tanpa HIV sehingga bila
ditemukan TB ekstraparu harus dipikirkan kemungkinan adanya HIV. TB
ekstraparu yang sering ditemukan adalah limfadenopati pada leher,
abdomen atau aksila; efusi pleura; efusi pericardial; efusi peritoneal;
meningitis dan Tb mediastinum. Deteksi dini HIV pada pasien TB juga
harus dilaksanakan dengan baik dan telah diatur dalam International
Standards for Tuberculosis Care (ISTC) yaitu : Uji HIV dan konseling
harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita atau yang
diduga menderita TB.
Ketika infeksi HIV berlanjut, limfosit T CD4+ mengalami
penurunan baik dalam jumlah maupun fungsinya. Sel ini memerankan
peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap M. tuberculosis. Dengan
demikian, kemampuan sistem imunitas menurun dalam mencegah
pertumbuhan dan penyebaran lokal bakteri tersebut.
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diketahui dalam diagnosis
pada pasien TB dengan HIV:
i.
Gambaran klinis TB paru, gambaran klinis TB paru secara
umum diawali dengan batuk lebih dari 2-3 minggu, sedangkan
TB pada pasien HIV/AIDS batuk bukan merupakan gejala
umum. Pada TB dengan HIV demam dan penurunan berat
ii.

badan merupakan gejala yang penting.


Sputum BTA, karena sulitnya diagnosis TB paru pada pasien
HIV secara klinis dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering
ditemuakan BTA negatif, maka diperlukan pemeriksaan kultur
BTA. Pemeriksaan biakan sputum merupakan baku emas untuk
mendiagnosis TB paru. Pada ODHA dengan gejala klinis TB
paru yang hasil pemeriksaan mikroskopik dahak BTA nya
negatif, pemeriksaan biakan dahak sangat dianjurkan karena hal
ini dapat membantu diagnosis TB paru. Selain itu, pemeriksaan
biakan dan resistensi juga dilakukan untuk mengetahui adanya
MDR-TB, dimana pasien HIV merupakan salah satu faktor

31

risiko MDR-TB. Dalam rangka memperbaiki tata laksana


pasien TB-HIV, akhir-akhir ini telah ditemukan alat penunjang
TB secara tepat yakni kultur resistensi BTA dengan Genexpert,
namun alat tersebut belum ada disetiap layanan kesehatan,
iii.

hanya ada pada sentral layana yang direkomendasi.


Foto thoraks, gambaran foto thoraks bervariasi dalam hal lokasi
maupun bentuknya. Umumnya gambaran foto thoraks pada TB
terdapat di apeks, namun pada TB-HIV bukan diapeks terutama
pada HIV lanjut. Pada HIV yang masih awal gambaran foto
thoraks dapat sama pada gambaran foto thoraks pada umunya,
namun pada HIV lanjut gambaran foto thoraks sangat tidak
spesifik. Pada pasien TB-HIV tidak jarang ditemukan gambaran

iv.

TB milier.
Pemeriksaan Tes Mantoux. Pemeriksaan tes mantoux dapat
membantu pada suspek TB dengan BTA negatif dan foto
thoraks yang tidak khas dan gambaran klinis yang kurang
menunjang. Pada pasien suspek TB pada umumnya, tes
mantoux dinyatakan positif apabila diameter >= 10mm, namun
pada pasien dengan HIV positif diameter > 5 mm sudah dapat

v.

dinyatakan positif.
Gambaran klinis

TB

ekstraparu.

TB

ekstraparu

perlu

diwaspadai pada odha karena kejadiannya lebih sering


dibandingkan pada TB dengan HIV negatif. Diagnosis pasti dari
TB ekstraparu sangat kompleks dan sulit terutama di daerah
dengan fasilitas yang terbatas. Berdasarkan ISTC, diagnosis TB
ekstraparu dapat dilakukan dengan mengambil lesi dan
pemeriksaan patologi untuk menemukan BTA dari jaringan
apabila memungkinkan. Namun, apabila lesi sulit didapat,
diagnosis TB ekstraparu dapat ditegakkan dengan dugaan klinis
yang menunjang. Adanya TB ekstraparu pada pasien HIV
vi.

merupakan tanda bahwa penyakitnya sudah lanjut.


Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV
positif. Pemberian antibiotic pada pasien suspek TB paru
sebagai alat bantu diagnosis TB paru tidak direkomendasikan
lagi karena dapat menyebabkan diagnosis TB terlambat dengan

32

konsekuensi pengobatan juga terlambat sehingga meningkatkan


risiko kematian. Penggunaan antibiotik kuinolon sebagai terapi
infeksi sekunder pada TB dengan HIV positif harus dihindari
sebab golongan antibiotik ini respons terhadap mikobakterium
TB sehingga dikhawatirkan menghilangkan gejala sementara.
Disamping itu dikhawatirkan timbulnya resistensi, sementara
antibiotic golongan kuinolon dicadangkan sebagai OAT lini
kedua.
D. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, prinsip pengobatan TB dengan HIV/AIDS sama dengan
pengobatan tanpa HIV/AIDS. Namun, pengobatan pasien dengan koinfeksi
TB-HIV lebih sulit daripada TB pada pasien tanpa HIV. Pasien TB-HIV
memiliki sistem imunitas yang rendah dan sering ditemukan adanya infeksi
hepatitis dan lainnya, maka saat pengobatan sering timbul efek samping dan
interaksi obat sehingga memperburuk kondisi pasien serta obat-obat harus
dihentikan atau dikurangi dosisnya. Kondisi tersebut menyebabkan
pengobatan menjadi lebih panjang serta kepatuhan pasien sering terganggu.
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat
dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat 2. Prinsip
pengobatan pasien TB-HIV adalah adalah dengan mendahulukan pengobatan
TB. Pengobatan ARV (Antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis
HIV dengan standar WHO

Pengobatan OAT pada TB-HIV:


- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya
karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik
sekali pakai yang steril.
- Desensitasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena
mengakibatkan toksik yang serius pada hati.
- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan respon
untuk pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat,
juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien

33

HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan


derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima sub
optimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum.
Interaksi obat TB dengan ARV:
- Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT.
- Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan
nukleotida, kecuali Didanosin (ddl) yang harus diberikan selang 1 jam
dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida.
- Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan
nonnukleotida dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan
bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar
nelfinavir sampai 82%.
- Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan
pemberian ARV dalam 8 minggu tanpa mempertimbangkan kadar
CD4.
- Pertimbangan pemberian ARV segera setelah diagnosis TB ialah
bahwa angka kematian pada pasien TB-HIV terjadi umumnya pada 2
bulan pertama pada pemberian OAT. Meskipun demikian pemberian
secara bersamaan membuat pasien menelan obat dalam jumlah yang
banyak sehingga dapat terjadi ketidakpatuhan, komplikasi, efek
samping, interaksi obat dan Immune Reconstitution Inflamatory
Syndrome (IRIS); Sindrome Pemulihan Kekebalan (SPK) atau dikenal
dengan Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome atau IRIS
adalah fenomena imunologi berupa perburukan klinis serta timbulnya
gejala infeksi oportunistik akibat pemulihan imun yang berlebihan
pada saat ODHA mengalami penurunan jumlah virus HIV setelah
pemberian ARV, contoh tersering dari manifestasi IRIS adalah herpes
zoster atau TB yang terjadi.
- Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksasol
dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT.
WHO menetapkan pentingnya strategi sebelum pemberian
ART, strategi ini dinamakan Three Is yakni :
1) Intensified Tuberculosis Case Finding, yaitu mendeteksi secara aktif
kemungkinan adanya infeksi TB pada pasien HIV.
34

2) Isoniazid Preventive Therapy, yaitu memberikan INH pada pasien


HIV(+) dengan TB (-)untuk pencegahan infeksi TB (di Indonesia
belum diimplementasikan)
3) Infection Control, yaitu mengontrol dan mengendalikan infeksi TB
di Fasyankes /Fasilitas pelayanan kesehatan
Standar Untuk Penanganan TB Dengan Infeksi HIV (International
Standard For Tuberculosis Care )
Standar 14
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua
pasien yang menderita atau yang diduga menderita TB. Pemeriksaan
ini merupakan bagian penting dari manajemen rutin bagi semua pasien
di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam populasi
umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan
HIV dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Karena
terdapat hubungan yang erat antara TB dan infeksi HIV, pada daerah
dengan prevalensi HIV yang tinggi pendekatan yang terintegrasi
direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua
infeksi.

Standar 15
Semua.pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya
dievaluasi untuk menentukan perlu/ tidaknya pengobatan ARV
diberikan selama pengobatan TB. Perencanaan yang tepat untuk
mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang
memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan TB
tidak boleh ditunda. Pasien TB dan infeksi HIV juga seharusnya diberi
kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.
Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan
seksama, tidak menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai infeksi

35

TB laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan. (belum diterapkan di


indonesia, walaupun Indonesia adalah negara endemik TB)
Prinsip tatalaksana koinfeksi TB-HIV, berdasarkan rekomendasi
dalam guidelines WHO.
1.

Pemberian terapi ARV pada semua pasien HIV dengan TB aktif


tanpa melihat nilai CD4.

2.

OAT diberikan terlebih dahulu, diiukuti dengan pemberian


terapi ARV sesegera mungkin (dalam 2-8 minggu pemberian
OAT)

3.

Efavirenz

(EFV)

merupakan

golongan

NNRTI

yang

direkomendasikan dalam pemberian terapi ARV pada pasien


dalam

terapi

OAT. Efavirenz

direkomendasikan

karena

mempunyai interaksi dengan rifampisin yang lebih ringan


dibandingkan Nevirapin.
Mengingat terkadang sulit mendiagnosis TB pada HIV, terapi
empiris sebaiknya diinisiasi pada HIV dimana dicurigai TB sampai
semua hasil pemeriksaan TB (sputum, kultur, dan pemeriksaan lain)
lengkap. Setelah didiagnosis atau dicurigai TB aktif, OAT harus
diberikan segera. Directly Observed Treatment Short-course (DOTS)
direkomendasikan pada semua pasien TB-HIV. Semua pasien yang
mendapat INH harus mendapatkan suplementasi piridoksin/vitamin B6
25-50 mg/kgBB/hari untuk mencegah neuropati perifer.
Tatalaksana TB Ekstra Paru pada pasien HIV
I.

Secara Umum
-

Pasien Tb ekstraparu regimen 6-9 bulan direkomendasikan.

Untuk TB pada Sistem saraf pusat (tuberkuloma atau


meningitis) dan TB tulang dan sendi direkomendasikan 9-14
bulan terapi.

II.

TB pada Otak

36

Untuk meningitis TB diberikan 2RHZE/7-12RH dan


dexamethason untuk mengurangi inflamasi di otak (tidak untuk
HIV positif).

Indikasi pemberian kortikosteroid untuk meningitis TB :


peningkatan tekanan intrakranial, edema serebri, defisit
neurologis fokal, hidrosefalus, infark dan adanya meningitis
basalis.

Bila terdapat putus obat diberikan OAT kategori 2 yakni


2RHZES/7-12RH lalu nilai respon secara klinis

Efek Samping, Interaksi Obat dan Penanganannya


Tanda Gejala
Anoreksia, mual dan nyeri

Penanganan
Telan obat setelah makan. Jika paduan obat ART

perut

mengandung AZT, jelaskan kepada pasien bahwa


ini biasanya akan hilang sendiri. Atasi keluhan ini
simtomatis. Tablet INH dapat diberikan malam

Nyeri sendi
Rasa kesemutan

sebelum tidur.
Beri analgetik, misalnya aspirin atau parasetamol.
Efek ini oleh karena INH diberi bersama ddI atau
D4T. Berikan tambahan vitamin B6 (piridoksin)
100mg/hari.

Jika

tidak

berhasil,

gunakan

Kencing warna kemerahan

amitriptilin atau dirujuk.


Jelaskan karena pengaruh

Sakit kepala

berbahaya.
Beri analgetik, periksa tanda meningitis. Bila

obat

dan

tidak

terdapat pengobatan ZDV atau EFV jelaskan


bahwa hal ini biasa terjadi dan akan hilang, jika
Diare

>2 mg, rujuk.


Beri oralit dan tatalaksana untuk diare, yakinkan
kalau karena obat, akan membaik dalam bbrp

Kelelahan

minggu.
Pikirkan anemia, terutama oleh karena ZDV.
Periksa HB, kelelahan biasa terjadi 4-6 minggu
setelah penggunaan ZDV, jika > 4-6 minggu

Tegang, mimpi buruk

dirujuk.
Mungkin

disebabkan

oleh

EFV,

lakukan

konseling dan dukungan, dapat hilang < 3


minggu. Rujuk pasien apabila ada gangguan

37

mood atau psikosis, masa sulit awal atasi dengan


Kuku kebiruan/kehitaman
Perubahan dalam distribusi

amitriptilin pada malam hari.


Yakinkan pasien sebagai akibat pengobatan ZDV.
Diskusikan dengan pasien, sebagai efek samping

lemak
Gatal atau kemerahan pada

D4T.
Jika menyeluruh atau mengelupas, stop obat TB

kulit

dan ART, rujuk pasien. Jika dalam pengobatan


NVP periksa dan teliti : apakah lesinya kering
(kemungkinan alergi) atau basah (kemungkinan

Gangguan

pendengaran

steven Johnson syndrome ), minta pendapat ahli.


Hentikan streptomisin, rujuk ke unit DOTS.

atau keseimbangan
Ikterus

Lakukan pemeriksaan fungsi hati, hentikan OAT

Ikterus dan nyeri perut

dan ART, minta pendapat ahli.


Hentikan OAT dan ART, periksa fungsi hati,
nyeri perut dapat dikarenakan pankreatitis yang
disebabkan oleh ddI atau D4T.
Periksa penyebab muntah, lakukan pemeriksaan

Muntah berulang

fungsi hati, jika terjadi hepatotoksik hentikan


Penglihatan berkurang
Demam

OAT dan ART, rujuk pasien.


Hentikan EMB, minta pendapat ahli/rujuk.
Periksa penyebab demam dapat disebabkan oleh
efek samping obat, infeksi oportunistik, infeksi
baru atau IRIS, beri parasetamol dan minta
pendapat ahli.
Ukur kadar HB singkirkan infeksi oportunistik,

Pucat,anemia
Batuk

atau

bernafas
Limfadenopati

kesulitan

pasien dirujuk dan stop ZDV/diganti D4T.


Kemungkinan IRIS atau infeksi oportunistik,
minta pendapat ahli.
Kemungkinan IRIS atau infeksi oportunistik,
minta pendapat ahli.

III. KESIMPULAN
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia, maupun di Indonesia. Munculnya pandemi HIV/ AIDS menambah
permasalahan TB.
HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit TB. Sedangkan TB juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien
pengidap HIV. Kombinasi TB dengan HIV/AIDS merupakan kombinasi yang
38

mematikan. TB pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran klinis
yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Maka diagnosis yang tepat sangat
diperlukan.
Penatalaksanaan pasien TB dengan HIV/AIDS pada dasarnya sama dengan
pasien TB tanpa HIV/ AIDS, namun harus memperhatikan beberapa faktor, di
antaranya reaksi obat (alergi, efek samping dan interaksi) OAT maupun ARV.

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Tuberculosis control 2012: epidemiology, strategy,
financing. WHO/HTM/TB/2012.6. Geneva, Switzerland: WHO; 2012.

2. Isbaniyah, F. dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.


Jakarta: PDPI; 2011.

3. Aditama, T.Y, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes


RI; 2011.

4. Djoerban, Z. Samsuridjal, D. HIV/ AIDS di Indonesia, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: FKUI; 2009.

39

5. Bhatia, R.S.. HIV and Tuberculosis: The Ominous Connection. IJCP. 2001; 2 (4): 2569.

6. KEMENTERIAN KESEHATAN RI (2011). Rencana Aksi Nasional TB-HIV


7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Pengendalian Tuberkulosis 20112014. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian


Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011.
Hudoyo, A. dkk. Diagnosis TB-Paru pada Pasien dengan HIV/ AIDS. 2008; JTI 4(2): 15.
Djojodibroto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.
Crofton, J., Horne, N., Miller, F. Tuberkulosis Klinis 2nd ed. Jakarta: Widya Medika;
2002.
Misnadiarly. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium Atipik.
Jakarta: Dian Rakyat; 2006.
Alsagaff, H. Abdul M. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press; 2009.
Hasan, H. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press; 2010
Amin, Z. Asril B. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
FKUI; 2009.
Simbolon, E. Pola Kelainan Kulit pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara; 2011. Diakses dari:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21448.
Lan, V.M. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat
(AIDS). Dalam: Hartanto,H. (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Vol I. Ed.6. Jakarta:EGC; 2006. p. 224-245.
Murtiastutik, D. AIDS. Dalam: Barakbah, J. (eds). Buku Ajar Infeksi Menular Seksual.
Ed.2. Surabaya: Airlangga University Press; 2008.p. 211-220.
WHO.
TB/
HIV:
A
Clinical
Manual;
2004.
Diakses
dari:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf.
Syam, A.F. dkk. Tatalaksana HIV/AIDS : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran.
Jakarta: Kemenkes RI Konsorsium Upaya Kesehatan; 2011.

40

Anda mungkin juga menyukai