Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

Hiperbilirubinemia ec Kolestasis

Oleh:
Baiq Jatna Atmawati
H1A008 037

Pembimbing
dr. I Wayan Sukardi, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK


DI SMF ANAK RSU MATARAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2014

0
PENDAHULUAN

Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang berarti kuning. Ikterus
adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang
menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi
darah. Untuk pendekatan terhadap pasien ikterus perlu ditinjau kembali patofisiologi terjadinya
peninggian bilirubin indirek atau direk.
Kolestasis adalah kondisi terhambatnya pembentukan atau aliran cairan empedu yang
secara klinis dapat ditandai dengan fatigue, pruritus, dan ikterus. Pada kolestasis intrahepatik,
didapatkan ciri klinis dan laboratorium sesuai dengan kolestasis, tanpa gambaran obstruksi
duktus koledokus pada pencitraan. Yang termasuk kolestasis intrahepatik antara lain hepatitis
kolestatik, hepatitis autoimun, penyakit hati karena alkohol, hepatitis imbas obat, sirosis bilier
primer, dan kolangitis sklerosa primer.
Pada banyak pasien ikterus dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium yang sederhana, diagnosis dapat ditegakkan.
Namun tidak jarang diagnosis pasti masih sukar ditetapkan, sehingga perlu difikirkan berbagai
pemeriksaan lanjutan. Diagnosis ikterus bedah atau obstruksi bilier umumnya dapat ditegakkan
dengan anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti serta tes laboratorium. Walaupun
demikian, sarana penunjang imaging yang non-invasif seperti ultrasonografi; CT Scan
abdomen dan pemeriksaan yang invasif seperti percutaneous transhepatic cholangiography
(PTC), endoscopic retrograde cholangio pancreatography (ERCP) sering diperlukan untuk
menentukan letak, kausa dan luas dari lesi obstruksinya. Dengan kemajuan yang pesat di
bidang endoskopi gastrointestinal maka ERCP dan PTC telah berkembang dari satu modalitas
dengan tujuan diagnosis menjadi tujuan terapi pada ikterus bedah.

1
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : An.A A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 2 bulan
Alamat : Sesait, Kayangan, KLU
No. MR : 543731

II. Keluhan Utama : Kuning


Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan RSUD KLU dengan hiperbilirubinemia susp obstruksi ductus biliaris.
Dikeluhkan kuning sejak lahir. Awal nya hanya di bagian mata lama-kelamaan kuning terjadi di
seluruh tubuh. Riwayat demam (-), muntah (-), kejang (-), batuk (-), pilek (-).
BAB (+) 5 kali, konsistensi lembek, ampas (+), warna putih seperti dempul, darah (-),
lendir (-). BAB seperti dempul dikeluhkan sejak pasien lahir. BAK (+), frekuensi 5 kali, warna
kuning jernih.
Sampai saat ini pasien tetap diberikan ASI, ibu memberikan ASI setiap 2-3 jam, selama 15-20
menit (sampai bayi tertidur).
Riwayat pengobatan : pasien dibawa ke RSUD KLU kemudian di rujuk ke RSUP NTB
Riwayat Kehamilan dan persalinan :
- Kehamilan yang pertama
- Ibu pasien rutin periksa kehamilan di bidan sebanyak lebih dari 4 kali
- Menderita penyakit berat selama hamil (-)
- Pasien lahir di RS tanjung ditolong bidan, lahir cukup bulan, langsung menangis, BBL
2.600 gram.
Riwayat penyakit dahulu : demam (-), kejang (-), diare (-)
Riwayat penyakit keluarga : ibu terdiagnosa menderita penyakit hepatitis B, yang diketahui
saat ibu akan melahirkan, kelainan darah (-), kencing manis (-).
Riwayat alergi : makanan (-), obat-obatan (-)
Riwayat nutrisi : sampai saat ini pasien diberikan ASI saja
Riwayat imunisasi : vaksinasi hepatitis, 1 kali, saat baru lahir

Riwayat keluarga

Pasien 2
VI. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : CM
Suhu : 36,3oC
HR : 120 x/menit
Respirasi : 40 x/menit
Tekanan darah : tidak dievaluasi

Status gizi :
BB : 4000 gram
PB : 54 cm
o BB/U : -2SD s/d 2 SD (gizi baik)
o PB/U : -2SD s/d 2 SD (normal)
o BB/PB : -2SD s/d 2 SD (normal)
Kesimpulan : gizi baik
4. Kepala
Bentuk kepala : normocefali (+), simetris, ubun ubun besar terpisah, teraba datar,
sutura normal.
Mata : Konjungtiva Anemis +/+, ikterik +/+, RP (+), Isokor, Edema palpebra
-/-, mata cowong -/-
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa bibir basah,
Telinga : Bentuk dan ukuran normal, otorhea (-)
Hidung : Rinorhea (+) cair, berwarna bening, hiperemis (-)
Tenggorokan : Otorhea (-), faring hipemis (-), tonsil eutrofi.
Leher : Pembesaran KGB (-)

5. Thorax :
Inspeksi : Retraksi subcostal (-), Bentuk dan ukuran normal, deformitas (-), iga gambang
(-), ikterus (+)

3
Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, trhill (-)
Perkusi :
pulmo : sonor
Auskultasi :
Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : S1S2, tunggal, reguler, murmur (-), galop (-)
9. Abdomen
Inspeksi : distensi (-), organomegali (+), ikterus (+)
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : massa (-), supel (+), hepar teraba 4 jari dibawah costae, tepi tajam, konsistensi
kenyal, permukaan rata, lien : teraba schufner 2
Perkusi : timpani (+)

13. Ekstremitas
Tungkai Atas Tungkai bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Akral hangat + + + +
Edema - - - -
Pucat + + + +
Hematom - - - -
Refleks + + + +
fisiologis
Refleks - - - -
patologis

VIII. Pemeriksaan Penunjang

4
Darah Lengkap 5 September 2014

Darah lengkap Tanggal 04-09- Tanggal 05-09-14


14
Hemoglobin 9,6 gr% 8,4 gr%
RBC 3,31. 10^6/ul 2,85 . 10^6/ul
Hematokrit 29,3 % 25.1 %
MCV 88,5 fl 88,1fl
MCH 29 pg 29,5 pg
MCHC 32,8 g/dl 33,5 g/dl
Leukosit 4,69 .10^3 /ul 12,24 .10^3 /ul
Trombosit 207.10^3 /ul 579.10^3 /ul

BT : 210
CT : 500
Urinalisis
BJ : 1.010 Glu :-
PH :5 Keton :-
Leu : +1 UBG :-
Nit :- Bil : +1
Protein :- Ery :-
Bilirubin total : 12,29 mg% Total protein : 6,0 gr%
Bilirubn direk : 9,17 mg% Albumin : 4,0 gr%
SGOT/AST : 91 U/L HBsAg : nonreaktif
SGPT /ALT : 132 U/L Anti Hbs : negatif
Alkali phospatase : 532 U/L
Golongan darah : A+
Pemeriksaan tinja
Makroskopis Eritrosit : -/lpb
Warna : hijau Amuba : -/lpb
Kosistensi : lembek Bakteri : +/lpb
Darah : - Telur cacing :
Lendir : - Askaris : -
Mikroskopik Anokilosi : -
Leukosit : 0-3/lpb Oxyrus : -
Epitel : 0-3/lpb

5
Tinja tiga porsi : warna seperti dempul
USG : (8 september 2014)
Liver : ukuran normal, echo normal, nodule (-)
GB : normal
Lien/Ren dx et sinistra : normal
Kesimpulan : tak tampak kelainan

IX. Diagnosis Kerja


Hiperbilirubinemia ec kolestasis
Anemia normokromik normositer derajat sedang
X. Rencana Terapi
Kaen 1B : asal netes
Transfusi PRC 50 cc
Vit K 2 mg (1 kali pemberian)
Prednison 3 x 1 tablet

6
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bilirubin
1. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi.Bilirubin berasal dari
katabolisme protein heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal
dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin, sitokrom,
katalase dan peroksidase. Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan bilirubin, transportasi
bilirubin, asupan bilirubin, konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin. Langkah oksidase
pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase
yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Biliverdin yang larut
dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin
bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.

Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan


ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat dengan albumin serum
ini tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang
terikat pada albumin bersifat nontoksik.
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin
akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran
yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik
lainnya. Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.

Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut
dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl
transferase (UDPG-T). Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus
empedu.Sedangkan satu molekul bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum
endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya. Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan
diekskresikan ke dalam kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan
melalui feces. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung
dapat diresorbsi, kecuali dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim
beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan
kembali ke hati untuk dikonjugasi disebut sirkulasi enterohepatik.
2.2.Ikterus
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang berarti kuning. Ikterus
adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang
menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi
darah atau diebut dengan hperbilirubinemia. Untuk pendekatan terhadap pasien ikterus perlu
ditinjau kembali patofisiologi terjadinya peninggian bilirubin indirek atau direk.
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar
bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L). Kadar bilirubin serum normal
adalah bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin : 0.3-1.9 mg/dL.

2.3 Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis atau kombinasi
keduanya. Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang
bulan, dan bayi yang mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena
peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih
sering terjadi pada bayi imatur. Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama
biasanya disebabkan karena peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis),
karena pada periode ini hepatic clearance jarang memproduksi bilirubin lebih dari 10 mg/dL.
Peningkatan penghancuran hemoglobin 1% akan meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat
Pada hiperbilirubinemia fisiologis bayi baru lahir, terjadi peningkatan bilirubin tidak
terkonjugasi >2 mg/dl pada minggu pertama kehidupan.
Kadar bilirubin tidak terkonjugasi itu biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dl
pada umur 3 hari dan akan mengalami penurunan. Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin
tidak terkonjugasi akan meningkat menjadi 10 sampai 12 mg/dl pada umur 5 hari. Dikatakan
hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah bayi lahir, peningkatan kadar
bilirubin serum >0,5 mg/dl setiap jam, ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan
atau 14 hari pada bayi kurang bulan, dan adanya penyakit lain yang mendasari (muntah, letargi,
penurunan berat badan yang berlebihan, apnu, asupan kurang)
Etiologi dan patogenesis
Penyebab yang sering:
Hiperbilirubinemia fisiologis
Inkompatibilitas golongan darah ABO
Breast Milk Jaundice
Inkompatibilitas golongan darah rhesus
Infeksi
Hematomasefal, hematoma subdural, excessive bruising
IDM (Infant of Diabetic Mother)
Polisitemia / hiperviskositas
Prematuritas/ BBLR
Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi asidosis, hipoglikemia
Lain-lain
Penyebab yang jarang:
Defisiensi G6PD (Glucose 6 Phosphat Dehydrogenase)
Defisiensi piruvat kinase
Sferositosis kongenital
Lucey Driscoll syndrome (ikterus neonatorum familial)
Hipotiroidism
Hemoglobinopathy
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi bilirubin Peningkatan sel darah merah
Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan resirkulasi melalui Peningkatan early bilirubin
enterohepatik shunt Peningkatan aktifitas -glukoronidase
Tidak adanya flora bakteri
Penurunan bilirubin clearance
Penurunan clearance dari plasma Pengeluaran mekonium yang terlambat
Penurunan metabolisme hepatik

Defisiensi protein karier


Penurunan aktifitas UDPGT

Klasifikasi berdasarkan anatomi


1. Fase Prahepatik
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan oleh hal-hal yang
dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).
a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat
badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang
matang, sedangkan sisanya 20-30% berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama
dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan
penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi ini
transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran
gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.

2. Fase Intrahepatik
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati yang
mengganggu proses pembuangan bilirubin
a. Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat,
namun tidak termasuk pengambilan albumin.
b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi
dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / 4 bilirubin konjugasi /
bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak larut dalam
air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik
seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus
dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem
bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat
hingga terbentuk bilirubin glukuronid /blirubin terkonjugasi / bilirubin direk.
3. Fase Pascahepatik
Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu
empedu atau tumor.
Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan
lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan
mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian
diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai
mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi
tetapi tidak bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap
khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Gangguan metabolisme
bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari keempat mekanisme ini : over produksi,
penurunan ambilan hepatik, penurunan konjugasi hepatik, penurunan eksresi bilirubin
ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik)
Klasifikasi
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah keadaan hiperbilirubin karena faktor fisiologis yang merupakan
gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir.
Ikterus fisiologis diantara
sebagai berikut:
Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
Kadar bilirubin indirect tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5
mg% untuk neonatus lebih bulan.
Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.
2. Ikterus Patologi
Ikterus patologi adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah
mencapai nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus jika tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis.
Adapun ikterus patologis menurut beberapa sumber adalah sebagai
berikut:
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg % atau > setiap 24 jam
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg % pada neonatus < bulan dan 12,5 % pada
neonatus cukup bulan
4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan
sepsis)
5) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia,
sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas
darah.

Klasifikasi hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek
- Over produksi
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah tua atau
yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin. Penghancuran eritrosit yang
menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan
autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar.
Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer bilirubin
berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel
hati. Akibatnya bilirubin indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut
dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi
pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatan peningkatan ekskresi dalam urine
feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin abnormal (cickle sel
anemia), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas
transfusi), dan malaria tropika berat.
Penyebab terering jaundice dini adalah inkompabilitas golongan darah fetus-ibu, dengan
akibat isoimunisasi. Imunisasi ibu terjadi jika eritrosit bocor dari fetus ke sirkulasi maternal.
Eritrosit membawa antigen yang berbeda yang dikenal sebagai benda asing oleh sistem imun
ibu yang membentuk antibodi untuk melawan nya (sensitisasi ibu). Antibodi ini (IgG) melewati
barier plasenta ke dalam sirkulasi fetal dan terikatk eritrosit fetal. Pada inkompatibilitas Rh,
sekuestrasi dan penghancuran eritroit yang berlapis antibodi mengambil tempat dalam sistem
retikuloendotelial fetus. Pada inkompabiitas ABO, hemolisis terjadi intravaskular, complement-
mediated dan biasanya tidak seberat pada Rh disease, (misal : Kell). Walaupun hemolisis
berkaitan dengan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi, fraksi bilirubin terkonjugasi
juga dapat meningkat.
Bayi baru lahir dengan inkompabilitas Rh, tampak pucat hepatosplenomegali dan cepat
menjadi jaundice pada umur beberapa jam. Hasil pemeriksaan laboratorium : anemia, uji
coombss test (+) dn peningkatan kadar bilirubin yang cepat.
Inkompabilitas ABO biasanya timbul pada kehamilan pertama. ABO haemolityc disease
terbatas pada bayi dengan golongan darah A atau B dan ibu memiliki golongan darah O. ABO
haemolityc disease jarang pada ibu dengan golongan darah A atau B. jaundice yang timbul
tidak secepat pada Rh disease, dan kadar bilirubin serum > 12 mg/dl pada umur 3 hari adalah
tipikal. Abnormalitas laboratorium termasuk retikulositosis (> 10 %) dan Coombss test
Coombss test yang (+) lemah, walaupun kadang-kadang negatif. Antibodi anti A dan B dapat
tampak pada serum sang bayi jika diperiksa pada umur beberapa hari sebelum antibodi ini
menghilang dengan cepat, sferositosis merupakan gambaran tersering yang ditemukan pada
sediaan apusan darah tepi dari inkompabilitas ABO.
- Penurunan ambilan hepatik
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya dari albumin
dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan seperti asam flavaspidat,
novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.
- Penurunan konjugasi hepatik
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase. Terjadi pada :
Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I, Sindroma Crigler, Najjar II.
Hiperbilirubinemia konjugasi/direk
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi bilirubin ke
dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan
ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan
masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia.
Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol,
leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat yg meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan
tumor hati multipel. Ikterus pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin
Johnson dan Rotor, ikterus pasca bedah.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total
maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering obstruksi
bilier ekstrahepatik adalah : Obstruksi saluran empedu didalam hepar, Sirosis hepatis, abses
hati, hepatokolangitis, tumor maligna primer dan sekunder. Obstruksi didalam lumen
sal.empedu : batu empedu, askaris. Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur
traumatik, tumor saluran empedu. Tekanan dari luar saluran empedu : Tumor caput pancreas,
tumor Ampula Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di lig.hepatoduodenale.

KOLESTASIS

1. Definisi
Kolestasis adalah hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus diekskresi hati,
yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar bilirubin direk dan penumpukan garam
empedu. Kadar bilirubin direk meningkat menjadi lebih dari 2 mg/dl dan komponen bilirubin
direk melebihi 20% kadar bilirubin total.
Kolestasis mengakibatkan kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam
jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari hepatosit sampai
tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi klinis didefinisikan sebagai
akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan
kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis adalah
terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier.
2. Etiologi dan Epidemiologi
Berdasarkan kekerapannya, etiologi kolestasis secara berturut-turut adalah hepatitis
neonatal idiopatik (35-40%), atresia bilier ekstrahepatik (25-30%), defisiensi alfa-1 antitripsin
(7-10%), sindrom kolestasis intrahepatik (5-6%), sepsis baterial, hepatitis akibat TORCH (3-
5%), kelainan endokrin (1%) dan galaktosemia (1%).
Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan laki-laki adalah 2 : l, sedangkan pada
hepatitis neonatal rasionya terbalik.
Kolestasis pada bayi terjadi pada 1:25000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis neonatal
1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi -1 antitripsin 1:20000. Rasio
atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1, sedang pada hepatitis neonatal,
rasionya terbalik.
Di Kings College Hospital England antara tahun 1970-1990, atresia bilier 377 (34,7%),
hepatitis neonatal 331 (30,5%), -1 antitripsin defisiensi 189 (17,4%), hepatitis lain 94 (8,7%),

sindroma Alagille 61 (5,6%), kista duktus koledokus 34 (3,1%).


Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari 19270
penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis. Neonatal hepatitis
(70,8%), atresia bilier (9,4%), kista duktus koledukus (5,2%), kista hati (1,04%), dan sindroma
inspissated-bile 1 (1,04%).

3. Klasifikasi
Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi kolestasis intrahepatal dan
ekstrahepatal :
1. Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu ekstrahepatik
Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan kelainan
nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya pembuntuan saluran empedu
ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik. Penyebab utama yang pernah
dilaporkan adalah proses imunologis, infeksi virus terutama CMV dan Reo virus tipe 3, asam
empedu yang toksik, iskemia dan kelainan genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir
dengan berat badan lahir, aktifitas dan minum normal.
Ikterus baru terlihat setelah berumur lebih dari 1 minggu. 10-20% penderita disertai
kelainan kongenital yang lain seperti asplenia, malrotasi dan gangguan kardiovaskuler. Deteksi
dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-
portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Pada
pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik disebabkan adanya proses
obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak
spesifik, kandung empedu yang normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran

empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresi bilier.


Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus dengan
proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam duktuli.
Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi langsung untuk
mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai.

2. Kolestasis intrahepatik
a. Saluran Empedu
Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan (b) Disgenesis
saluran empedu. Oleh karena secara embriologis saluran empedu intrahepatik (hepatoblas)
berbeda asalnya dari saluran empedu ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran empedu
dapat mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya saluran ekstrahepatik saja. Beberapa
kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai
saluran ekstrahepatik. Kelainan yang disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing
kolangitis, Caroli's disease mengenai kedua bagian saluran intra dan ekstra-hepatik. Karena
primer tidak menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi
hepatoseluler. Serum transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas normal. Serum
alkali fosfatase dan GGT akan meningkat. Apabila proses berlanjut terus dan mengenai saluran
empedu yang besar dapat timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali, dan tanda-tanda
hipertensi portal.
Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat neonatal
dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik. Dinamakan paucity apabila
didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract. Contoh dari sindromik adalah sindrom
Alagille, suatu kelainan autosomal dominan disebabkan haploinsufisiensi pada gene JAGGED.
Sindroma ini ditemukan pada tahun 1975 merupakan penyakit multi organ pada mata
(posterior embryotoxin), tulang belakang (butterfly vertebrae), kardiovaskuler (stenosis katup
pulmonal), dan muka yang spesifik (triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang
dalam, dan dagu yang sempit). Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai
gejala organ lain. Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis
neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang menyebabkan kerusakan pada

saluran empedu.
b. Kelainan hepatosit
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan dan aliran
empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam empedu yang sedikit, fungsi transport
masih prematur, dan kemampuan sintesa asam empedu yang rendah sehingga mudah terjadi
kolestasis. Infeksi merupakan penyebab utama yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada sepsis
misalnya kolestasis merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan
pada sepsis.
Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari neonatal hepatopati,

suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh kelainan genetik, endokrin, metabolik, dan

infeksi intra-uterin. Mempunyai gambaran histologis yang serupa yaitu adanya pembentukan

multinucleated giant cell dengan gangguan lobuler dan serbukan sel radang, disertai timbunan

trombus empedu pada hepatosit dan kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak

dipakai sebagai diagnosa akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit,

gangguan metabolik tidak dapat ditemukan.

A. Saluran empedu ekstrahepatik


Atresia bilier
Kista koledokus
Hipoplasia bilier
koledokolitiasis
kolangitis
B. Saluran empedu intrahepatik
Syndromic paucity (sindrom Alagille, mutasi pada JAGGED1)
Nonsyndromic paucity
Hipotiroidisme
Disgenesis duktu koledokus
fibrosis kongenita hepatik
Polycystic kidney disease
Caroli's disease
Kista hepatik
Fibrosis kistik
histiositiosis sell langerhans
Sindrom hiper IgM
C. Hepatocytes
Sepsis- yang berhubungan dengan kolestasis
hepatitis Neonatal
Infeksi virus
Hepatitis B
Cytomegalovirus (juga menginfeksi cholangiocytes)
Herpes viruses (simplex and HHV-6 and 8)
Adenovirus Enterovirus
Parovirus B19
Toxoplasmosis
Syphilis
Progressive familial intrahepatic cholestasis syndromes
PFIC-1: mutation in FIC1, ? aminophospholipid transporter
PFIC-1: mutation in BESP, the canalicular bile salt export pump
PFIC-1: mutation in MDR3, canalicular phospholipid flippase
Defek sintesis asam empedu
Urea cycle defects
Ormithine transcarbamylase deficiency
Carbomoyl phosphate synthetase deficiency
Tyrosinemia
Fatty acid oxidation disorders Mithocondrial enzymopathies
Peroxisomal disorders(zellweger syndrome)
Carbohydrate disorders
Galactosemia
Hereditary fructose intolerance
Glycogen storage disease
Lipid storage disorders
Niemann-Pick cell disease
Gaucher's disease Wolman's disease
1-Antitrypsin deficiency
Neonatal hemochromatosis
Total parenteral nutrition-associated cholestasis

4. PATOFISIOLOGI
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan
kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu,
kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin
terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang
bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah
sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan
basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler)
berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan
pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi
intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu. Salah satu contoh adalah
penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi (bilirubin indirek). Bilirubin
tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran
basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi
bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam empedu oleh transporter mrp2.
mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu.
Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam empedu oleh transporter lain,
yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi
dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi
(direk). Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan
iskemia menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran
empedu dan hiperbilirubinemi terkonyugasi.
Perubahan fungsi hati pada kolestasis
Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural:
A. Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari
hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan
lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu.
B. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan
gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan
terganggu.
C. Sintesis protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi serum

protein albumin-globulin akan menurun.


D. Metabolisme asam empedu dan kolesterol
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan
kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA
reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer sehingga
menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan
detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati menurun

karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.


E. Gangguan pada metabolisme logam
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun. Bila kadar
ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu

mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.


F. Metabolisme cysteinyl leukotrienes
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif dimetabolisir dan
dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya akan
meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis. Oleh karena

diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal.


G. Mekanisme kerusakan hati sekunder
Asam empedu
Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati
melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan kolesterol
dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan terganggu. Maka

fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na +, K+-ATPase, Mg++-ATPase, enzim-


enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-

bahan lain melalui membran juga terganggu. Sistim transport kalsium dalam hepatosit juga
terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan
cysteinyl leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam

empedu.
Proses imunologis
Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal
pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu sehingga
menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan

terjadi sirosis bilier.


5. Manifestasi Klinis
Tanpa memandang etiologinya, gejala klinis utama pada kolestasis bayi adalah ikterus,
tinja akholis, dan urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan muncul manifestasis klinis
lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran empedu dan bilirubin. Karena gangguan sekresi
asam empedu ke dalam lumen usus, timbul berbagai gejala akibat malabsorbsi lemak
(malnutrisi, retardasi pertumbuhan, diare/steatorea) dan vitamin yang larut dalam lemak (A:
kulit tebal; D: osteopenia; E: degenerasi neuromuskular; K: hipoprotrombinemia). Bila
berlanjut, kolestasis dapat menjadi sirosis bilier dan dapat terjadi gagal hati dengan berbagai
manifestasi klinisnya serta timbul hipersplenisme, asites, dan perdarahan varises akibat
hipertensi porta.
Dibawah ini bagan yang menunjukkan konsekuensi akibat terjadinya kolestasis

Diagnosa
Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara kolestasis
intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini obstruksi bilier
ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis intrahepatik seperti sepsis,
galaktosemia atau endrokinopati dapat diatasi dengan medikamentosa.
Anamnesis
- Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akolis (seperti dempul) yang
persisten harus dicurigai adanya penyakit hati dan saluran bilier.
Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur atau berat badan
lahir rendah. Sedang pada atresia bilier sering terjadi pada anak perempuan dengan berat
badan lahir normal, dan memberi gejala ikterus dan tinja akolis lebih awal.
- Sepsis diduga sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu yang demam atau
disertai tanda-tanda infeksi.
- Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kemungkinan besar merupakan suatu
kelainan genetik/metabolik (fibro-kistik atau defisiensi 1-antitripsin).
Pemeriksaan fisik
Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar bilirubin
sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna kehijauan bila kadar
bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin. Jaringan sklera mengandung
banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera
lebih sensitif.
Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah arkus kota pada
garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi yang tajam dan permukaan
noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang teraba pada epigastrium
mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan lobus kanan yang normal). Nyeri tekan
pada palpasi hati diperkirakan adanya distensi kapsul Glisson karena edema. Bila limpa
membesar, satu dari beberapa penyebab seperti hipertensi portal, penyakit storage, atau
keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa pembesaran organ lain dengan
gangguan fungsi hati yang minimal mungkin suatu fibrosis hepar kongenital. Perlu diperiksa
adanya penyakit ginjal polikistik. Asites menandakan adanya peningkatan tekanan vena portal
dan fungsi hati yang memburuk. Pada neonatus dengan infeksi kongenital, didapatkan
bersamaan dengan mikrosefali, korioretinitis, purpura, berat badan rendah, dan gangguan
organ lain.
Alagille mengemukakan 4 keadaan klinis yang dapat menjadi patokan untuk
membedakan antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan kriteria tersebut
kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis ekstrahepatik 82% dari 133
penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi gambaran histopatologi hati.

Data klinis Kolestasis Kolestasis Kemaknaan (P)


Ekstrahepatik Intrahepatik

Warna tinja selama dirawat


- Pucat 79% 26% 0.001
- Kuning 21% 74%
Berat lahir (gr) 3226 45* 2678 55* 0.001
Usia tinja akolik (hari) 16 1.5* 30 2* 0.001
Gambaran klinis hati
- Normal 13 47
- Hepatomegali**:
Konsistensi normal 12 35 0.001
Konsistensi padat 63 47
Konsistensi keras 24 6
Biopsi hati***
- Fibrosis porta 94% 47%
- Proliferasi duktuler 86% 30%
- Trombus 63% 1%
empedu

6. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin, darah tepi lengkap, uji fungsi hati
termasuk transaminase serum (SGOT, SGPT, GGT), alkali fosfatase, masa protrombin,
ureum, kreatinin, elektroforesis protein, dan bilirubin urin. Dari pemeriksaan tinja 3 porsi
dapat dibedakan kolestasis ekstrahepatik (selama beberapa hari ketiga porsi tinja tetap
dempul) dan intrahepatik (hasil berfluktuasi atau kuning terus menerus).
Pemeriksaan USG dapat melihat patensi duktus bilier, keadaan kandung empedu saat puasa
dan sesudah minum; serta dapat mendeteksi adanya kista duktus koledokus, batu kandung
empedu, dan tumor.
Pemeriksaan penunjang awal pada kolestasis intrahepatik adalah pemeriksaan serologis
TORCH, petanda hepatitis B (bayi dan ibu), kadar alfa-1 antitripsin dan fenotipnya, kultur
urin, urinalisis untuk reduksi substansi non-glukosa, gula darah, dan elektrolit. Bila terdapat
demam atau tanda-tanda infeksi lain dilakukan biakan darah

Darah
Panel hati (alanine transferase, aspartate transaminase, alkaline phosphatase, GGT, Bu, Bc)
Darah tepi
Faal hemotasis
1-Antitrypsin dan phenotype
Kadar asam amino
Kadar asan empedu
Kultur bakteri
RPR
Endokrin (indek tiroid)
Amonia Glukosa
Indeks zat besi
Hepatitis B surface antigen
IgM Total
Kultur virus
Urine
Zat-zat reduksi Asam organik
Succinylacetone
Metabolit asam empedu
Kultur bakteri
Kultur virus (CMV)
Tes keringat
Pencitraan
Ultrasound (patensi saluran empedu, tumor, kista, dan parenkim hati)
Biopsi hati
Evaluasi histologi
Mikroskop Elektron
Enzim dan analisa DNA
Kultur

7. Penatalaksanaan
Selama evaluasi dikerjakan, dapat diberikan:
Terapi medikamentosa yang bertujuan : Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh
hati terutama asam empedu (asam litokolat), dengan memberikan :
- Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi dua dosis, peroral. Fenobarbital merangsang enzim
glukuronil transferase (merangsang ekstresi bilirubin), enzim sitokrom P-450 (untuk
oksigenisasi toksin), enzim Na-K-ase (menginduksi aliran empedu).
- Kolestiramin. Dosis untuk neonatus 1 g/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal
pemberian susu/minum. Dosis bayi 250-750 mg/kgBB/hari. Dosis anak besar maksimal 16
gram/hari. (1 sachet = 4 gram). Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu
sekunder. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan asam ursodeoksikolat, 3-10
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, peroral.
Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang
hepatotoksik. Bila telah terjadi gagal hati akibat sirosis, maka penanganannya sesuai
dengan situasi dan kondisi.
Terapi nutrisi agar anak dapat tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin. Dilakukan:
- Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglicerides (MCT) untuk mengatasi
malabsorbsi lemak.
- Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak dengan memberikan tambahan:
o Vitamin A, 5.000-10.000 IU/hari
o Vitamin D3, (kalsitriol) 0.05-0.2 ug/kgBB/hari
o Vitamin E, 25 IU/kgBB/hari
o Vitamin Kl, (yang larut dalam air) 2,5-5 mg/hari
o Kalsium dan fosfor bila dianggap perlu

Terapi kausatif
Pada atresia bilier dilakukan intervensi bedah portoenterostomi terhadap atresia bilier yang
dapat dikoreksi yaitu tipe I dan II (belum terjadi fibrosis dan sirosis bilier). Adanya sirosis
bilier merupakan kontraindikasi pembedahan. Bila terdapat demam atau tanda-tanda infeksi
lain, segera berikan antibiotik spektrum luas. Terapi lain sesuai dengan penyebab kolestasis.
PEMBAHASAN

1. Ikterus
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang berarti kuning.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa)
yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam
sirkulasi darah atau disebut dengan hperbilirubinemia. Ikterus dibagi menjadi dua yaitu
ikterus fisiologis dan ikterus patologis. Pada pasien ini dicurigai mengalami ikterus
patologis disebabkan karena terjadi pada usia lebih dari 14 hari.
Ikterus ini juga dicurigai karena obstruksi seperti kolestasis, yang didukung dengan
adanya feses berwarna seperti dempul sejak lahir. Diduga adanya kelainan hepar didukung
dengan adanya tanda hepatomegali, dan adanya tanda kerusakan hepar yaitu peningkatan
kadar SGOT, SGPT dan alkali phospatase serta peningkatan bilirubin direk.
Hiperbilirubinema dibagi menjadi dua yaitu peningkatan bilirubin direk dan indirek.
Pada pasien didapatkan adanya peningkatan bilirubin direk atau terkonjugasi.
Hiperbilirubinema terkonjugasi disebaban karena Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik
yang disebut dengan kolestasis, keadaan ini akan menimbulkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total
maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik.
Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan
kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya pembuntuan saluran
empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik. Penyebab utama
yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis. Pada keadaan dimana aliran asam
empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonyugasi (direk).

2. BAB dempul
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan
kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu,
kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin
terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang
bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah
sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Kegagalan eksresi empedu ke dalam duodenum
mengakibatkan tinjaberwarna seperti dempul. Untuk membendakan antara kolestasis
intrahepatal dan ekstrahepatal adalah bisa dengan melihat warna tinja. kolestasis
ekstrahepatik (selama beberapa hari ketiga porsi tinja tetap dempul) dan intrahepatik (hasil
berfluktuasi atau kuning terus menerus), tetapi harus dipastikan dengan pemeriksaan
penunjang seperti USG.
Pada pasien didapatkan adanya BAB dempul sejak lahir, dan warna BAB ini
menetap sejak lahir sampai saat ini, tidak pernah ada perubahan warna tinja menjadi
kuning. Koletasis ekstrahepatal memberikan gambaran tinja akolik lebih awal
dibandingkan dengan kolestasis intrahepatal. Selain itu, pada kolestasis ekstrahepatal tinja
terjadi terus-menerus dan tidak pernah berubah warna menjadi kuning, berbeda dengan
kolestasis intrahepatal, tinja bisa berubah warna menjadi kuning.
Berdasarkan uraian tersebut maka pasien didiagnosa hiperbilirubinemia yang
dicurigai karena kolestasis ekstrahepatal. Tatalaksana yang diberikan adalah transfusi
darah, injeksi vit K dan pemberian prednison 3 x 1 tablet. Pemberian terapi vitamin K
didasarkan pada adanya defisiensi vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin K.
Secara umum kolestasis disebabkan lesi kongenital atau didapat yang merupakan
kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya pembuntuan saluran
empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik. Penyebab utama
yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis, infeksi virus terutama CMV dan Reo
virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan genetik. Berdasarkan
penjabaran tersebut maka ini lah yang menjadi landasan pemberian prednison (steroid)
pada pasien tersebut.
Pemberian transfusi dikarenakan pasien mengalami anemia normokromik
normositik derajat sedang, anemia bisa diakibatkan karena kondisi sejak lahir atau karena
perdarahan mikro.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kosim, Sholeh. 2008. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : Jakarta
2. Juffrie, dkk. 2010. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid I. Ikatan Dokter Anak
Indonesia : jakarta
3. Damanik, Sylviati M. Hiperbilirubinemia. Available from www.pediatrik.com
4. Porter ML, Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the term newborn. Am Fam
Physic. 2002; 65:599-606.
5. Subcommitte on Hyperbilirubinemia. Clinical practice 1. guidelines: management of
hyperbilirubinemia in the newborn or more weeks gestation. Pediatrics. 2004;114:297-
316.
6. Rohsiswatmo, Rinawati. Indikasi Terapi Sinar pada Bayi Menyusui yang Kuning.
Available from www.idai.com

Anda mungkin juga menyukai