TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.4
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.4
2. 1. 4. Gambaran histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular
bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan
infiltrasi sel sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.4
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus
menerus/ persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan
yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal.4
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : 4
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa,
serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass)
serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
tuberkulin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang
banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.4
2. 1. 5. Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu : 4
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak
dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh
karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena
gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah,
gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul
intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama
pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen
dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan
sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan
gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan.
10
2.Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue).5
3.Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
11
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri. 4
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.4
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai
baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge
Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.4
2. 1. 7. Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.6
2. Medikamentosa
12
untuk
menghindari
terjadinya
rhinitis
medikamentosa.
Preparat
kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase
lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
13
14
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
2.2 Sinusitis
2.2.1 Definisi dan klasifikasi 5,6,7
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi
atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari
keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis).
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun
kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulanbulan
bahkan
bertahun-tahun).
Bila
mengenai
beberapa
sinus
disebut
(penyebabnya
kelainan
gigi),
yang
sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan
molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus
influenza, Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhati.
15
16
polyps,
tumor, trauma,
scar,
anatomic
varian,
dan
nasal
17
18
dibedakan dengan infeksi saluran nafas atas karena virus, sehingga durasi gejala
menjadi penting dalam diagnosis. Pasien dengan gejala diatas selama lebih dari 7
hari mengarahkan diagnosis ke arah sinusitis. Sinusitis maksilaris akut biasanya
menyusul infeksi saluran napas atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda
asing, dan deviasi septum nasi merupakan faktor-faktor predisposisi lokal yang
paling sering ditemukan. Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam,
malaise, dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian
analgetik biasa seperti aspirin. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah
kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih
dirasakan di dahi dan depan telinga. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa
nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada
palpasi dan perkusi. Selama berlangsungnya sinusitis
maksilaris
akut,
19
Gejala minor
Sakit kepala
Batuk
Demam
Rasa lelah
Kongesti nasal
Halitosis
Obstruksi nasal
Nyeri gigi
20
2. Pencitraan
Dengan foto kepala posisi Waters, PA, dan lateral, akan terlihat perselubungan
atau penebalan mukosa atau air-fluid level pada sinus yang sakit. CT Scan adalah
pemeriksaan pencitraan terbaik dalam kasus sinusitis.
3. Kultur
Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme
penyebab, maka kultur dianjurkan. Bahan kultur dapat diambil dari
meatus medius, meatus superior, atau aspirasi sinus.
4. Rontgen gigi
Dilakukan untuk mengetahui apakah sudah timbul abses atau belum.
2.2.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan
pembedahan (operasi). Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis
akut, yaitu:
1. Antibiotik. Berikan golongan penisilin selama 10-14 hari meskipun gejala
klinik sinusitis akut telah hilang.
2. Dekongestan lokal. Berupa obat tetes hidung untuk memperlancar drainase
hidung.
3. Analgetik untuk menghilangkan rasa sakit.
4. Irigasi Antrum. Indikasinya adalah apabila terapi diatas gagal dan ostium sinus
sedemikian edematosa sehingga terbentuk abses sejati. Irigasi antrum maksilaris
dilakukan dengan mengalirkan larutan salin hangat melalui fossa incisivus ke
dalam antrum maksilaris. Cairan ini kemudian akan mendorong pus untuk keluar
melalui ostium normal.
5. Menghilangkan faktor predisposisi dan kausanya jika diakibatkan oleh gigi
21
22