Solusi Pelayanan Komunikasi Yang Baik Antar Pasien
Solusi Pelayanan Komunikasi Yang Baik Antar Pasien
18 Mei 2009
Surabaya, eHealth. Di era globalisasi saat ini, keterbukaan komunikasi sangatlah dibutuhkan
oleh dunia medis untuk mengatasi kesalahpahaman antara pasien dengan tim medis yang
merawatnya. Untuk itu, dalam rangka HUT yang ke-32 serta menyukseskan program 100 hari
kerja Gubernur Jawa Timur, Rumah Sakit Jiwa Menur
mengadakan workshop dengan tema Membangun
Komunikasi Dokter dengan Pasien Yang Efektif, hari
Senin (18/5).
Workshop yang diselenggarakan di Hotel Inna Simpang
ini dihadiri oleh 57 peserta dari perwakilan dokter
Rumah Sakit dan Puskesmas. Hadir juga perwakilan dari
Gubernur Jatim H. Soekarwo yang diwakili oleh Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi Jatim dr. Pawik Supriyadi,
SpJP, dan juga hadir Direktur RS Jiwa Menur dr. Hendro
Riyanto, SpKJ, MM.
Ketua Pelaksana dr. Yulius Efendi, SpKJ mengatakan, saat ini banyak kasus yang menimpa
dokter karena kurangnya komunikasi antara pasien dan dokter. Selama ini perhatian terhadap
urusan konseling antara pasien dan keluarganya dengan dokter yang merawatnya masih
terabaikan, sehingga komunikasi antara pasien seringkali tidak menemui titik temu, ujar dr.
Yulius kepada Tim eHealth.
Lebih lanjut, dokter yang juga salah satu narasumber dalam workshop ini dengan materi
Pengenalan Karakter Pasien atau Keluarga Secara Cepat mengungkapkan, komunikasi
merupakan kunci utama dalam melakukan pengobatan yang baik dan benar. Karena yang kita
obati itu manusia, untuk itu yang kita sentuh adalah hatinya (Pasien, Red) terlebih dahulu. Maka
disiplin berkomunikasi merupakan modal khusus untuk menyentuh mereka, tuturnya.
Direktur RS Jiwa Menur dr. Hendro Riyanto, SpKJ, MM dalam sambutannya mengatakan bahwa
di Rumah Sakit yang beralamat di Jl. Menur No. 120 ini kerapkali terjadi kesalahpahaman antara
pasien dengan dokter yang menanganinya yang disebabkan karena miss communication. Untuk
urusan medis, kita (RSJ Menur, Red) sudah ahlinya, namun tidak cukup dengan hanya itu saja.
Ternyata komunikasi merupakan faktor yang membentuk image terhadap Rumah Sakit. Entah itu
baik ataupun jelek. Untuk itu kami mengadakan workshop ini untuk membentuk terapi
komunikasi, ujar dr. Hendro.
Komunikasi, lanjut dr. Hendro, sebagai pembentukan citra yang lebih baik. Saat ini ternyata citra
yang dimiliki oleh RS masih jauh dari harapan masyarakat. Namun saat ditelisik lebih jauh,
ternyata kuncinya terdapat pada komunikasi yang kurang baik antara pasien dengan dokternya.
Dicontohkan ketika pasien datang dalam keadaan yang kalut karena keluarganya mengalami
sakit, tetapi dengan terbatasnya tenaga medis yang dimiliki oleh RS sehingga pasien tersebut
tidak segera ditangani karena mendahulukan pasien lainnya yang lebih membutuhkan. Dari sini
pasti mereka marah dan menganggap RS jelek dan sebagainya.
Jika komunikasi yang sudah dilakukan belum dianggap baik untuk saat ini, maka kami akan
terus belajar menjalin komunikasi yang efektif antara pasien dengan pihak kami, tukasnya.
Dalam workshop ini juga dibahas mengenai fungsi pendengaran sebagai salah satu unsur dalam
komunikasi yang disampaikan oleh dr. AAA. Mas Ranidewi, Sp THT, MARS serta dr. Rusdi M,
SpKJ yang menyampaikan pengenalan arti dan syarat-syarat komunikasi kesehatan dan
pengenalan faktor penunjang atau hambatan komunikasi kesehatan. (Ima)
Reporter : Imroatul Afifah
Merasa ada jalinan dengan dokter giginya dan mengetahui bahwa ia memperoleh
perhatian penuh dari sang dokter
Mengetahui bahwa sang dokter dapat fokus pada setiap tindakan pengobatan dan
interaksinya.
Merasa rileks dan bebas dari kekhawatiran pada suasana ruang praktek.
dokter umumnya menerima jawaban ya atau anggukan sebagai penerimaan pada rekomendasi
dan idenya.
Lebih lagi ketika sang dokter kemudian mengetahui bahwa pasiennya tidak mengikuti
rekomendasinya, dia lalu kecewa, curiga, merasa disalah mengertikan, menjadi otoriter dan
akhirnya hangus (burnout).
Tehnik Komunikasi Efektif
Untuk meningkatkan efektifitas komunikasi antar pribadi (interpersonal
communication) antara dokter dan pasien , inisiatif harus diambil oleh dokter gigi karena
menurut para ahli, dokterlah yang dituntut untuk menciptakan suasana yang medukung. Akan
tetapi seperti juga disebutkan sebelumnya, waktu kerja dokter sangat sempit dengan pekerjaaan
yang banyak, sehingga tehnik yang dapat diterapkan harus bersifat sederhana, mudah digunakan
dan efektif.
Terdapat banyak cara untuk dapat melakukan komunikasi secara efektif. Tetapi dari
sekian banyak cara, terdapat cara yang bisa dianggap mudah untuk menciptakan komunikasi
yang efektif yaiu dari teori yang dibuat oleh DeVito. Untuk dapat menciptakan komunikasi
antara persona, terdapat syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Positiveness (sikap positif)
Empathy (merasakan perasaan orang lain)
Supportiveness (sikap mendukung)
Equality (keseimbangan antar pelaku komunikasi)
Openess (sikap dan keinginan untuk terbuka)
Dalam tindakan praktisnya, kondisi komunikasi antara dokter gigi dengan pasiennya
diharapkan terjadi seperti berikut:
Positiveness
Dokter diharapkan mau menunjukkan sikap positif pada pesan yang disampaikan oleh pasien
(keluhan, usulan, pendapat, pertanyaan). Tidak boleh seorang dokter selalu menyanggah apapun
yang sampaikan pasiennya, sesederhana bahkan seaneh apapun pesan yang disampaikan, (karena
mungkin menurut pasien, pesan itu merupakan gagasan hebat). Dengan demikian pasien akan
lebih berani menyampaikan pesannya, bukan kemudian menyimpannya dalam hati dan
menyampaikannya, bahkan mengadukan pada orang lain.
Empathy
Dari pengalaman sendiri dan hasil pengamatan serta cerita-cerita para pasien, diketahui bahwa
hampir semua pasien yang harus ditangani/ diobati oleh dokter memiliki rasa takut yang besar.
Yang terutama adalah ketakutan pada rasa sakit yang ditimbulkan oleh alat-alat yang digunakan.
Rasa takut itu sudah muncul hanya dengan melihat alat-alat yang sudah siap di meja sebelah
kursi, bahkan jika alat itu tidak menimbulkan kesakitan (cermin, misalnya). Seorang dokter gigi
diharapkan menyadari dan peduli pada perasaan ini (empati) dan menunjukkan pada pasien
bahwa ia perduli. Kejujuran seorang dokter yang mengatakan Anda akan merasakan sakit
sebentar justru akan menenangkan pasien karena pasien merasa tidak sendirian dalam
merasakan sakit. Ada orang lain yang perduli.
Supportiveness
Ketika seorang pasien nampak ragu untuk memutuskan sebuah pilihan tindakan, dokter
diharapkan memberikan dukungan agar keraguan itu berkurang atau bahkan hilang, sehingga si
pasien menjadi percaya diri dan berani saat memilih keputusan itu. Walaupun akibat keputusan
itu akan menimbulkan derita, dengan dukungan dokter, derita akan dianggap konsekuensi oleh
pasien, bukan resiko (posisi sebagai korban). Akan lebih baik jika dokter mencontohkan
(walaupun hanya karangan) bahwa dia juga akan mengambil keputusan yang sama dengan
pasien jika dia memiliki masalah seperti itu.
Equality
Yang dimaksud dengan kesamaan/ kesetaraan adalah bahwa diantara dokter gigi dan
pasien tidak boleh ada kedudukan yang sangat berbeda seperti misalnya dokter yang menguasai
semua keadaan dan pasien yang tidak berdaya. Walaupun dalam relasi ini dokter diakui lebih
tahu dan lebih bisa, dia tidak boleh lalu memperlakukan pasiennya hanya sebagai objek yang
bodoh dan tidak boleh berpendapat atau bahkan bertanya. Lebih lagi pasien tidak boleh
diperlakukan sebagai benda mati yang tidak pernah ditanyai kabar atau kesiapannya menjalani
pemeriksaan/ penanganan/ pengobatan. Jika memungkinkan, pasien sebaiknya merasa bahwa
dokter giginya adalah teman, bukan orang asing yang tidak boleh ditanyai apapun.
Openess
So, the question remains, How can you develop such a healthy dentist-patient relationship?
The key word is trust. Trust is what a good dentist-patient relationship is built on. The best way
to establish trust between you and your dentist is to have good communications.
Dengan menciptakan suasana yang santai (dengan musik instrumental lembut di latar
belakang) di ruang praktek, keakraban dapat dibangun dan diharapkan pasien mau
menyampaikan apa yang dikhawatirkannya, tindakan apa yang sebenarnya diinginkan dilakukan
oleh dokternya. Sebaliknya adalah bahwa dokter diharapkan juga lebih bersedia bercerita tentang
apa yang sedang dilakukannya saat demi saat. Jika perlu, dokter dapat mengatakan kesulitan
yang dihadapinya saat menangani masalah pasien, masalah yang bakal dihadapi pasien, dan
sebagainya. Dengan keterbukaan komunikasi ini maka akan terbangun kepercayaan (trust) dari
pasien pada dokternya. Para pengamat mengatakan:
Salah satu elemen yang akan membawa hubungan ini adalah komunikasi yang baik. Dengan
menempatkan penanganan pasien lebih dulu, dokter gigi akan memeriksa si pasien,
mendiskusikan semua opsi yang berhubungan dengan perawatan, membuat rekomendasi
perawatan dan menjelaskan hasil yang berhubungan dengan penanganan yang potensial. Di lain
pihak, si pasien, ingin mungkin ingin mengetahui tentang penanganan padanya dan akibat
perawatan jangka panjang atau jangka pendek, berapa biaya yang harus dikeluarkan, apa yang
akan atau tidak akan tercakup dalam perawatan gigi dan setiap tanggung jawab pembayaran yang
harus ditanggung pasien.
Lebih Mudah Dikatakan Daripada Dilakukan
Kebiasaan umum yang sudah berjalan lama sekali memang sulit diubah. Hubungan
dokter dengan pasien seolah memang ditakdirkan seperti itu. Garis antara dokter sebagai
penentu, pengambil keputusan, dan pasien sebagai objek penderita digambar dengan sangat
tebal, hampir menyerupai dinding yang tidak bisa dirobohkan. Nyaris tidak pernah terjadi
komunikasi yang sesungguhnya. Yang ada hanyalah kalimat pendek, atau bahkan hanya kata
yang dianggap perlu saja. Masing-masing memperlakukan lawannya sebagai mahluk asing
(bahkan dalam topik seminar ini kata
dengan diganti menjadi versus yang artinya lawan).
Namun seperti sudah disampaikan pada awal tulisan, buruknya kualitas komunikasi
antara dokter dan pasien tidak bisa lagi dibiarkan atau tidak diperdulikan oleh dokter gigi yang
diharapkan dapat mengambil inisiatif sebagai pihak yang berkompeten dalam hubungan dokter
dengan pasien. Ini berarti bahwa dokter yang harus belajar lebih dahulu untuk mampu
berkomunikasi secara efektif, sesibuk apapun sang dokter dalam menjalankan profesinya.
How to Start?
Suasana
Hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan mulai memperhatikan suasana ruang
praktek. Selama ini ruang praktek dokter gigi (menurut pengalaman) sangat bernuansa gigi
dengan gambar model gigi dalam berbagai bentuk,dan biasanya model gigi yang buruk. Dalam
ruang praktek tidak ada benda lain yang kecuali peralatan yang siap digunakan untuk
menangani pasien. Dan biasanya sepi, tanpa musik! Suasana ini selalu menumbuhkan suasana
menegangkan untuk pasien. Bukan hanya pada anak kecil.
Gantilah suasana ini dengan mulai menambahkan dekorasi lain, seperti misalnya lukisan
berwarna cerah. Sementara gambar gigi bisa ditempatkan di tempat lain dan hanya digunakan
jika memang perlu diperlihatkan sebagai contoh pada pasien. Kemudian hadirkanlah musik
lembut hanya sebagai latar belakang. Instrumental akan lebih baik sehingga tidak mengganggu
obrolan antara dokter dan pasiennya.
Sambutan
Walaupun sekedar basa basi, sapalah pasien layaknya seorang tamu yang berkunjung ke
rumah (memang tidak perlu disuguhi minum atau penganan kerena malah merepotkan kerja
dokter). Tanyailah pasien sedikit tentang hal lain sebelum mulai pada pembicaraan inti. Topiknya
bisa apapun, karena memang peran komunikasi pembukaan ini lebih untuk mencairkan suasana
kaku. Tunjukkan kepedulian pada diri pasien, bukan hanya pada giginya. Cobalah untuk
merasakan kekhawatiran yang ada dalam diri pasien saat pertama bertemu.
Berbicaralah
Hal paling menegangkan, yang pada pasien dewasa biasanya mampu disembunyikan,
adalah saat duduk di kursi periksa, dengan benda-benda tajam di dekatnya. Dan pada saat itu
biasanya dokter tidak langsung mendekati tapi membiarkannya dulu karena ia harus menyiapkan
hal lain. Ketegangan meningkat karena pasien tidak pernah mengetahui apa yang sedang
dilakukan dokternya dan apa yang akan terjadi selanjutnya (sepertinya lebih menegangkan
dibanding nonton film horor, karena ini kejadian betulan!)
Pada saat seperti inilah komunikasi sudah harus dimulai dengan dokter sebagai inisiator.
Katakan pada pasien apa yang sedang dilakukan dokter dan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sesederhana apapun penjelasannya (walaupun misalnya sekedar mengatakan: Kotoran yang
nyelip di gigi seperti ini memang sulit dibersikan dengan
sikat gigi. Saya harus membersihkannya supaya tidak menghalangi perawatan. Ini
penting karena pasien tidak pernah mengerti, walaupun sudah sikat gigi, dokter selalu uga
mencungkili sesuatu di gigi depan, padahal yang bermasalah adalah gigi
geraham!).
Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh dokter tentu saja bahasa umum yang dikenal pasien. Bukan
bahasa medis yang makin membuat pasien merasa bodoh dan tidak berdaya serta tambah
ketakutan. Akan sangat baik sekali kalau dokter juga belajar bercanda. Bukan mengumpulkan
cerita lucu, dan bukan mengorbankan pasien untuk ditertawai. Atau jika pasien kebetulan
menawarkan sebuah canda, tanggapilan dengan seimbang. Jika belum mungkin juga, sang dokter
perlu bercermin dan melihat apakah memiliki wajah ramah (garis bibir tengah lebih rendah atau
sama dengan garis bibir pinggir). Kalau belum, berlatihlah! Akan baik juga kalau dokter
berpenampilan modis dan tidak kaku (model kacamata, misalnya).
Terus terang
Jika dokter menemukan bahwa ada masalah besar pada gigi pasien dan perlu perawatan
khusus berbiaya tinggi, katakan langsung pada pasien dengan menggunakan kalimat yang tidak
menimbulkan ketakutan (pasien memang gampang takut). Sertakan alternatif jika langkah
pertama sulit dan biaya tidak terjangkau.Jika memungkinkan, bantulah pasien menemukan jalan
keluarnya, misalnya dengan membuatkan surat keterangan atau rekomendasi yang bisa
digunakan pasien.
View
clicks
Persoalan utama dalam kasus sengketa medik kurang baiknya hubungan yang terjadi antara
dokter dan pasien. Hubungan dokter pasien sesungguhnya merupakan hubungan unik yang
dikenal dengan sebutan kontrak terapeutik.
Anggota Perhimpunan Ahli penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dr Khie Chen mengemukakan
dalam acara seminar sehari yang mengangkat tema malpraktik di Gedung Aula Fakultas FKUI,
kemarin.
Dia menjelaskan terjadinya sengketa medik lebih sering disebabkan kesenjangan persepsi antara
dokter dan pasien. Di satu sisi pasien dan keluarga merasa kurang puas dengan proses atau hasil
pengobatan yang dilakukan, sedangkan di sisi lain dokter dan rumah sakit merasa sudah
melakukan pengobatan secara optimal.
Dalam hubungan dokter-pasien, masyarakat menaruh harapan bahwa dokter akan menolongnya,
melakukan upaya pengobatan yang terbaik dan memberikan hasil akhir berupa kesembuhan. Bila
ternyata hasil pengobatan tidak sesuai dengan yang diharapkan, sebagian masyarakat
menganggap kesalahan ada di pihak dokter dan menjadi tanggung jawab dokter, tuturnya.
Terlepas dari ada atau tidaknya kelalaian yang dilakukan dokter, lanjutnya, dokter sebagai
seorang yang lebih tahu mengenai masalah medik bertugas melakukan diagnosis serta memberi
saran untuk melakukan pengobatan yang terbaik. Keputusan untuk melaksanakan atau menolak
saran dokter tetap berada di pihak pasien. Pasien dan keluarga bahkan berhak meminta pendapat
dokter lain (second opinion) dan bila perlu meminta dokter lain untuk merawatnya.
Dokter juga harus menghormati setiap keputusan pasien dan bila mungkin memberikan alternatif
lain serta pertimbangan resiko jika alternatif tersebut dilaksanakan. Jadi peran dokter di sini
bukan sebagai orang yang diberi tanggung jawab untuk menghadapi persoalan yang dihadapi
pasien, dengan semua keputusan dan tanggung jawab ada di pundak dokter, tetapi lebih sebagai
seorang yang mendampingi pasien dalam menghadapi masalah medik atau penyakit. Istilahnya
hubungan kemitraan, paparnya.
Masalah yang sering muncul kurangnnya pengetahuan masyarakat mengenai cara kerja dokter.
Masyarakat masih sering menganggap seorang dokter tahu segala jenis penyakit dan apa yang
dilakukan dokter selalu benar. Padahal dokter khususnya terkait bidang penyakit dalam yang
digelutinya bekerja dari luar sehingga tidak dapat melihat langsung apa yang sebenarnya terjadi
di dalam tubuh pasien.
Dokter bekerja mengumpulkan data dari gejala dan tanda dan jika diperlukan meminta bantuan
dari pemeriksaan laboratorium, rontgen atau pemeriksaan lain untuk selanjutnya menganalisis
hasilnya dan membuat kesimpulan. Walaupun gejala dan tanda dari suatu penyakit seringkali
mirip dan hampir sama, dokter harus dapat menganalisis, membuat keputusan dan memberikan
pengobatan berdasarkan kemungkinan atau probabilitas yang paling mendekati, urainya.
Meskipun pada sebagian besar kasus masalah pasien dapat diatasi namun sangat mungkin terjadi
ketidaktepatan dalam pembuatan diagnosis. Dokter biasanya selalu melakukan evaluasi terhadap
perkembangan kondisi pasien dan hasil pengobatan yang dilakukan dan jika perlu merubah
diagnosis dan pengobatan berdasarkan perkembangan selama perawatan.
Memang tidak mudah untuk mengobati pasien sebab manusia adalah makhluk hidup yang sering
sulit diprediksi. Suatu penyakit bisa menampilkan gejala yang hampir sama satu dengan yang
lain. Pada satu pasien dapat saja tampil beberapa penyakit atau kelainan sekaligus dan ini tidak
jarang mengaburkan diagnosis sehingga menyebabkan terjadinya ketidaktepatan dalam
pengobatan, terangnya.
Ia mengingatkan dalam hal pengobatan atau pun tindakan medis yang dilakukan, misalnya
pemberian obat atau tindakan bedah, harus disadari selalu ada baik dan buruknya atau ada
keuntungan dan komplikasinya. Respon pengobatan antara seseorang dengan orang lain pun
dapat berbeda, tergantung pada banyak hal seperti kondisi pasien, penyakitnya, obat yang
diberikan dan sebagainya.
Dalam sengketa medik akibat hasil pengobatan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, perlu
diteliti dan dibuktikan bahwa hasil yang tidak diharapkan tersebut memang akibat kelalaian dan
bukan sebagai akibat komplikasi penyakit atau pun efek samping yang terjadi selama
pengobatan. Perlu juga dinilai apakah hal tersebut dapat diprediksi atau diantisipasi sebelumnya,
ujarnya.
Komunikasi merupakan kunci dalam membuka hubungan yang baik dan profesional antara
dokter dengan pasien, meskipun dalam prakteknya masih sulit dilakukan. Ia mengakui
komunikasi dokter-pasien adalah hal yang penting dan harus terus dipelajari, dilatih dan
diterapkan oleh para dokter.
Ada pun masalah dan kendala yang kerap menghambat komunikasi antara dokter-pasien
umumnya menyangkut keterbatasan waktu baik dari pihak dokter maupun keluarga pasien
sehingga sulit menyediakan waktu untuk bertemu. Kalaupun terjadi pertemuan, biasanya tidak
efektif sebab komunikasi yang terjalin hanya bersifat satu arah. Dokter merasa keluarga pasien
sudah paham tapi sesungguhnya apa yang disampaikannya tidak dimengerti.
Keluarga juga sering tidak siap ketika akan bertemu dokter. Karenanya sebaiknya keluarga sudah
mempersiapkan dan mencatat hal-hal apa yang akan ditanyakan bila bertemu dokter, terutama
mengenai penyakit, diagnosis, keuntungan dan efek samping pengobatan, pesannya.
Kondisi masyarakat yang masih dalam keluarga besar, dalam pandangannya, menyebabkan
keterangan sering diberikan kepada anggota keluarga yang berbeda-beda. Misalnya, dia
mencontohkan, satu kali penjelasan kepada suami di waktu lain kepada anggota keluarga
lainnya. Akibatnya, persepsi dan penjelasan yang diberikan tidak mencapai hasil yang
diharapkan.
dirasakan bahwa berkomunikasi secara langsung lebih memiliki nilai tinggi dalam hal
obyektifitas serta rasa kemanusiaannya. Sehingga masih akan tetap dibutuhkan. Maka oleh
karena itu banyak pihak yang menilai kwalitas layanan seorang dokter, salah satu indikatornya
adalah dari cara dokter itu berkomunikasi dengan pengguna jasanya. Namun pada kenyataannya
tidak semua dokter bisa berkomunikasi sesuai harapan pasien. Ada berbagai macam kendala
yang para dokter hadapi ketika mereka berkomunikasi dengan pasiennya. Dilihat dari hambatanhambatan tersebut didapatkan intinya terdiri dari 3 unsur utama, yakni waktu yang tersedia untuk
menjalankan suatu komunikasi, gaya berkomunikasi dan isi komunikasi atau pembicaraan
tersebut.
Menilai dari cara berkomunikasi seorang dokter, baik secara verbal atau pun diiringi dengan
bahasa tubuh, setidaknya dapat digolongkan dalam 4 tipe;
1. Dokter yang tidak memiliki waktu dan tidak memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi dengan baik. Menghadapi dokter semacam ini yang paling
sulit. Jangankan menjelaskan keadaan penyakit kepada seorang pasien,
untuk bertutur sapa dengan sesama dokter pun mereka terasa mempunyai
hambatan. Biasanya dokter tipe ini tidak memiliki banyak pasien, kecuali ia
berkemampuan lebih dan masih langka kehadirannya di suatu komunitas
tertentu.
2. Dokter yang bisa berkomunikasi tapi tidak cukup memiliki waktu. Kelompok
dokter ini biasanya sangat sibuk, baik oleh karena pasiennya yang banyak
ataupun tugas pekerjaan di luar keprofesiannya menuntut mereka untuk
menggunakan waktu seefektif mungkin. Tidak semua pasien puas dengan
gaya dokter jenis ini. Boleh jadi kemampuannya dalam menyembuhkan
pasien terkenal hebat, tapi mungkin saja sebagian pasien merasa kecewa
karena tidak ada kesempatan untuk menanyakan sesuatu atau merasa tidak
mendapat sentuhan optimal di saat sang dokter menjalankan pemeriksaan
fisik. Kebanyakan dokter di Indonesia menjalankan prakteknya tidak
membatasi jumlah pasien. Sedangkan di luar negeri, seorang dokter dalam
menjalankan tugasnya di praktek atau poliklinik rawat jalan, waktu menjadi
patokan utama. Sehingga jika waktu untuk seorang pasien (biasanya 20 30
menit) belum selesai, si dokter meminta pertanyaan lagi dari si pasien
menyangkut hal-hal yang belum jelas. Dengan demikian kwalitas layanan
terhadap seorang pasien memang terjaga betul.
3. Dokter dengan gaya berkomunikasi formal. Dimana pasien semata-mata
menjadi obyek dari interaksi yang dibangun. Penuh dengan bahasa serta
istilah medis, cenderung arus komunikasi satu arah, mendominasi
pembicaraan dan terkadang bahkan ada kesan memarahi dalam memberikan
nasehat ke pasien. Biasanya untuk golongan pasien yang tidak kritis, jenis
dokter ini masih bisa diterima dengan baik. Cukup sudah dengan diberitahu
sakitnya, diberi obat dan syukur-syukur sembuh, pasien sudah puas. Sekali
pun mungkin saja ada rasa tertekan atau takut menghadapi dokternya.
4. Dokter yang memiliki waktu dan kemampuan berkomunikasi yang baik.
Dokter jenis ini berusaha membina hubungan dengan pasiennya secara lebih
terbuka, tidak selamanya formal, berempati, menjelaskan dengan bahasa
yang mudah dimengerti pasien serta lebih memberikan waktu kepada pasien
untuk mengungkapkan sesuatu. Dokter type ini biasanya memiliki
kemampuan bersosialisasi lebih tebal dibanding yang lain. Memang dokter
yang sejenis ini yang ideal dan banyak disenangi pasien. Tapi golongan ini
masih bisa dibedakan lagi antara yang bergaya terlampau bersahabat hingga
cenderung membuat mereka kurang teliti serta dalam memberikan
penjelasan kurang mengedepankan sisi ilmiahnya, namun ada yang mampu
Pelantikan ini dilakukan setelah Maret 2010 dia terpilih sebagai ketua dalam
Musyawarah Cabang (Muscab) IDI Medan. Dosen Universitas Sumatera Utara (USU)
ini dilantik berdasarkan surat keputusan Pengurus Besar IDI Pusat
No:452/PB/A.4/06/2010 tentang Pengesahan Susunan Personalia Pengurus IDI
Cabang Medan Periode 2010-2013. IDI Medan mendukung peningkatan
profesionalisme dokter untuk menghindari malpraktik. Namun, IDI Medan juga
berharap agar masyarakat jangan terlalu cepat menghakimi dokter atas dugaan
malpraktik.
Syah Mirsya mengakui, ada beberapa masalah yang harus dibenahi untuk kebaikan
IDI dan profesi dokter ke depan. Salah satu di antaranya adalah peningkatan
profesionalisme dokter yang bertujuan meminimalkan malpraktik. Syah Mirsya
sendiri menilai, pemahaman masyarakat akan malpraktik masih rancu. Masyarakat
masih tidak mampu membedakan mana malpraktik, komplikasi dan efek samping
dalam sebuah tindakan medis. Selama ini,yang terjadi terlalu cepat tenaga medis
dijustifikasi, ujarnya. Syah Mirsya menjelaskan, suatu tindakan malpraktik
diputuskan saat ada ketetapan hukum.
Dia tidak memungkiri ada juga dokter yang melakukan malpraktik karena
menjalankan tugas tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP).Jika hal seperti
ini terjadi dan terbukti secara hukum, dokter tersebut akan ditindak tegas. Namun,
itulah sayangnya, sering kali masyarakat keburu menjustifikasi. Kami memahami
kekecewaan pasien pasti ada.Ketika dalam kondisi sakit,sembuh tidak secepat yang
diharapkan,jelasnya. Dia menuturkan, sering kali pasien yang datang ke dokter
langsung menginginkan hasil tanpa serangkaian pemeriksaan lengkap.Padahal,jika
hendak memastikan penyakit, dokter harus melalui serangkaian wawancara dan uji
laboratorium yang benar utuk kemudian mengambil kesimpulan.
Ketua I IDI Medan Ramlan Sitompul juga berharap agar masyarakat jangan terlalu
cepat menghakimi dokter soal malpraktik.Penghakiman ini kerap membunuh
karakter seorang dokter sehingga tidak nyaman lagi ketika melakukan tindakan
medis. Bahkan, tutur Ramlan, di Jakarta ada sebuah kasus, di mana seorang dokter
sampai bertanya ke tiap pasien yang akan berobat,apakah mengenal pekerja media
atau pengacara.Itu karena ketidaknyamanan dokter, tegasnya. Ramlan
menegaskan, tidak satupun dokter yang berniat merusak profesinya sendiri, karena
mereka juga hidup dari profesi itu.
Selain masalah profesionalisme menurut Dolpin, IDI juga diharapkan bisa
meningkatkan kesejahteraan dokter. Ketua IDI Sumut Henry Salim Siregar berharap
IDI Medan menjadi barometer penting bagi IDI daerah lainnya di Sumatera Utara.
IDI juga diharapkan mampu melindungi anggotanya dari segala persoalan.