Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Mata merupakan salah satu indera yang penting dari lima macam panca
indera. Permasalahan dari mata bermacam-macam dimulai dari kelainan kongenital
pada mata, infeksi/peradangan pada mata hingga terjadinya kebutaan .Salah satu
bagian mata yang cukup berperan penting adalah kornea.
Kornea adalah bagian anterior mata yang merupakan salah satu media refraksi
yang berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya
yang dilalui retina. Kornea terdiri atas 5 lapis yaitu epitel, membran bowman, stroma,
membran descemet, dan endotel.Endotel lebih penting daripada epitel dalam
mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat
daripada cedera pada epitel.Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea
dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera pada epitel hanya menyebabkan
edema lokal sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu
telah beregenerasi.
Dalam keadaan normal, kornea adalah tranparan.Transparansi kornea ini
disebabkan oleh tidak adanya pembuluh darah dan jaringan kornea yang strukturnya
seragam, serta berfungsinya mekanisme pompa oleh endotel.
Epitel yang terdapat pada kornea ini adalah sawar yang efisien terhadap
masuknya mikroorganisme ke dalam kornea. Infiltrasi sel radang pada kornea akan
menyebabkan keratitis, hal ini mengakibatkan kornea menjadi keruh. Kekeruhan ini
akan menimbulkan gejala mata merah dan tajam penglihatan yang menurun. Keratitis
dapat diakibatkan oleh beberapa factor seperti infeksi, mata kering, ataupun
konjungtivitis kronis.
Insideni tahunan dari keratitis di negara maju telah meningkat karena angka
penggunaan lensa kontak yang tinggi yaitu 2-11 per 100.000orang pertahun.

Keratitis adalah permasalahan mata yang cukup sering dijumpai mengingat


lapisan kornea merupakan lapisan yang berhubungan langsung dengan lingkungan
luar sehingga rentan terjadinya trauma ataupun infeksi. Hampir seluruh kasus
keratitis akan mengganggu kemampuan penglihatan seseorang. Karena itu penting
sebagai dokter umum untuk dapat mengenali dan menanggulangi kasus keratitis
(sejauh kemampuan dokter umum) yang terjadi di masyarakat baik sebagai dokter
keluarga ataupun dokter yang bekerja di strata pelayanan primer.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Kornea

Kornea adalah jaringan transparan avaskuler sebagai membran pelindung yang


dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54
mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi dan diameternya sekitar 11 12 mm
(horizontal) dan 10 11 mm (vertikal). Indeks refraksi kornea 1.376.Tetapi dalam
mengkalibrasi keratometer untuk menghitung kombinasi kekuatan optik lengkung
kornea anterior dan posterior digunakan indeks refraksi 1.3375. Kornea asferis,
walaupun jari-jari lengkung kornea sering didapatkan sebagai cermin cembung
sferosilindris membentuk tengah permukaan anterior kornea, yang disebut kornea
gap.
Rata-rata jari-jari tengah kornea 7-8 mm (6.7-9.4 mm). kornea berkontribusi
43.25 dioptri (74%) dari total 58.60 dioptri mata orang normal. Kornea juga
menyebabkan astigmatisme pada sistem optikal.
Kornea merupakan jaringan transparan yang bentuknya hampir sebagai
lingkaran dan sedikit lebih lebar pada daerah trasversal (12 mm) dari pada arah
vertikal dan mengisi bola mata di bagian depan. Kornea memiliki kemampuan
refraksi yang sangat kuat, yang menyuplai 2/3 atau sekitar 70% pembiasan
sinar.Karena kornea tidak memiliki pembuluh darah, maka kornea akan berwarna
jernih dan memiliki permukaan yang licin dan mengkilat. Bila terjadi perubahan,
walaupun kecil pada permukaan kornea, akan mengakibatkan gangguan pembiasan
sinar dan menyebabkan turunnya tajam penglihatan secara nyata.

Gambar 2.1 kornea pada penampang bola mata


Kornea sangat sensitif karena terdapat banyak serabut sensorik.Saraf sensorik ini
berasal dari nervus cilliaris longus yang berasal dari nervus nasosiliaris yang
merupakan cabang saraf oftalmikus dari nervus trigeminus.Kornea dalam bahasa latin
cornum artinya seperti tanduk merupakan selaput bening mata dengan ketebalan
kornea dibagian sentral hanya 0,5 mm, yang terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan
epitel, lapisan Bowman, stroma, membran descemet, dan lapisan endotel.

1. Epitel
Bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris, terdiri dari sel epitel squamos
yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari
total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan
dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depannya

melalui

desmosom

dan

makula

okluden;

ikatan

ini

menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal
menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan
akan

mengakibatkan erosi rekuren.

Sedangkan

epitel berasal dari

ektoderem

permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi.


4

2. Membran bowman
Membran ini merupakan lapisan yang transparan, homogeny, aseluler, dengan tebal
antara 8-12 milimikron. Strukturnya hamper sama dengan stroma, bila terjadi
kerusakan maka lapisan ini tidak mengadakan regenerasi. Sifat lain yang penting dari
lapisan ini adalah tahan terhadap ruda paksa dari luar, tekanan maupun infeksi.
Lapisan ini terdiri dari bahan kolagen yang tampaknya sukar lepas dari stroma.
Dibawah electron mikroskop tampak serabut-serabut yang bentuknya sama, berjalan
sejajar dengan permukaan.
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea, terdiri dari serabut-serabut
kolagen yang disebut lamellae dan sel-sel stroma. Sel ini mempunya tebal antara 1,3
2,5 mU, berjalan sejajar terhadap permukaan. Terdapat 100-200 lamellae dimana satu
dengan yang lainnya membentuk sudut.
Stroma terdiri dari dari 2 type, yaitu sel wesidering dan keratosit (corneal puacle).
Keratosit berbentuk pipih dan tidak rata, terletak diantara didalam lamellae
merupakan modifikasi dari fibroblast. Sedangakan sel wasidering hanya sedikit
jumlahnya dan merupakan suatu tipe dari lokosit sel reticule endothelial.
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang
dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis, jernih, tipis dan kuat yang tampak
amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur
hidup dan mempunyai tebal 5-10 mU, amat elastic dan dianggap sebagai tonsil sekresi
dari endotel. Membrane ini mudah lepas dari stroma, tetapi tahan terhadap ruda paksa
maupun keadaan patologi lain yang dapat ditembus oleh pembuluh darah maupun sel.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal antara
20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari kornea ini
dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena
5

tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel


yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak
pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang
tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan
(edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi.
Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan
membrane semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada
kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan
kekeruhan pada kornea.

2.2 Gambar Lapisan Kornea

LIMBUS
Adalah daerah peralihan antara kornea, konjungtiva dan sclera. Lebarnya kira-kira
1mm, mempunyai banyak pembuluh darah dan saluran yang normal tidak terdapat pada
kornea. Selain itu struktur histologinya juga berbeda dengan kornea, limbus mempunyai 2
lapisan saja yaitu epitel dan stroma.
Membran dari Bowman sudah berhenti pada tepi limbus sedangkan membrane dari
descemet dan endotel melanjutkan diri menjadi trabekular meshwork. Epitel limbus ini lebih
tebal disbanding dengan epitel kornea, terdiri dari 10 lapis sel dan berjalan diantara papil-pail
dari sclera dan sebagian melanjutkan diri menjadi epitel konjungtiva. Papil-papil inilah yang
banyak mengandung pembuluh darah dan lymphe.
Elemen-elemen nutrisi masuk ke dalam rongga kornea yang avaskuler dari limbus
yang kaya pembuluh darah juga dari aquous humor dalam kamera anterior dan oksigen dari
luar.

2.2.

Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi
relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel
dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel
jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel
berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang
akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air
mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang
mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan
membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
7

Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut air
sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan
membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti
bakteri, virus, amuba, dan jamur.
Kornea menerima suplai sensoris dari70-80 berkas saraf yang bersal dari Nervus
Ciliaris, cabang dari Nervus Trigeminus (N.V). segera setelah memasuki pertengahan
stroma melalui limbus, berkas saraf ini tidak dibungkus myelin sheet dan bercabangcabang. Serabut serabut saraf ini membentuk plexus yang terdapat dibawah dari
Bowman, selanjutnya berjalan kedepan menuju kornea bagian sentral dan berakhir
sebagai akhiran saraf bebas yang terdapat diantara sel epitel.
Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata.
Setiap kerusakan pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis
ultraviolet) mengekspose ujung saraf sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens
disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan bola mata involunter. Trias yang
terdiri atas penutupan mata involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora)
dan nyeri selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera kornea.
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan

yang

bradittrofik,

metabolismenya

lambat

dimana

ini

berarti

penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)


diperoleh dari 3 sumber, yaitu
a.

Difusi dari kapiler kapiler disekitarnya

b.

Difusi dari humor aquous

c.

Difusi dari film air mata


Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan
membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan
pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air
mata juga melindungi mata dari infeksi.

2.3. Kelainan Kornea


Gangguan bentuk, adanya sel radang pada kornea serta kekeruhan pada kronea sangat
mempengaruhi fungsi dari kornea sebagai jendela masuknya cahaya untuk dibiaskan
dan diteruskan ke retina dalam proses penglihatan.
Kelainan-kelainan yang terjadi pada kornea antara lain :
1. Kelainan Kongenital
a. Epibulbar Dermoid
Klinis yang ditemukan pada kelainan ini adalah adanya tumor bulat padat
seringkali didaerah limbus, tergantung besar kecilnya tumor tersebut.
Penderita akan merasa terganggu dengan penglihatannya terutama akibat
astigmatisme yang mungkin terjadi. Penatalaksanaan pada tumor ini dapat
dilakukan ekstirpasi tetapi seringkali meninggalkan cacat kekeruhan
kornea
b. Sklerokornea
Klinis yang tampak pada penderita ini adalah kekeruhan massive
membrane (Gambaran : seperti sklera) yang menuutpi sebagian kornea
perifer atau bias juga menutupi seluruh kornea (total sklero kornea) dapat
mengenai satu atau kedua mata. Kelainan ini tidak didapatkan tanda-tanda
keradangan dan seringkali disertai gambaran vaskularisasi. Penatalaksanaa
dengan tindakan keratoplasty dapat memberikan hasil yang baik.
c. Megalokornea
Kornea berukuran 13mm dan bukan disebabkan glaucoma akut
Klinis : kornea tampak jernih, sering didapat bilateral

d. Mikrokornea
Kornea berukuran < 10mm dan apabila seluruh bola mata tampak kecil
disebut microphthalami
Sering didapat bersamaan adanya katarak congenital nystagmus dan lainlain.
2. Peradangan : radang pada kornea apapun penyebabnya disebut keratitis
3. Degenerasi
Seperti kelainan pada organ tuuh yang lain, maka kornea juga dapat
mengalami suatu kelainan degenerasi. Degenarasi sebenarnya adalah
perubahan dari kornea yang menggambarkan reaksi jaringan akibat suatu
9

proses penyakit ketuaan . Yang termasuk kelainan degenerasi pada kornea


yaitu :
a. Keratokonus adalah degenerasi dari kornea anterior dimana diturunkan
secara autosomal resesif.
b. Arkus Senike adalah degenerasi dari kornea bagian perifer yang bersifat
bilateral, dapat terjadi pada semua umur tetapi lebih sering pada orang tua
4. Distrofi
Meruapakan kelainan herediter yang jarang didapatkan. Terdapat penimbunan
suatu zat tertentu disertai perubahan susunan kornea yang normal. Selalu
mengenai kedua mata
Distrofi kornea sering diklasifikasikan berdasarkan anatomi dari kornea :
a. Distrofi Meesman Cogan pada epitel
b. Distrofi reis buckler pada membrane Bowman
c. Distrofi Granuler Maculer pada stroma
d. Distrofi fuch pada endothel
Klinis tampak bercak-bercak putih yang bervariasi dalam ukuran dan
ketebalannya pada epitel sampai endotel

5. Kelainan akibat penyakit lain :


a. Gangguan metabolisme : - Gout Keratopathy
- Wilson hepatolenticular
- degenerasi, dll
b. Kelainan imunologi :
- Vernalis
- Phlyctenulosis
- Penolakan graft kornea
c. Kelainan neurologi : keratitis neurotropik
d. Kelainan nutrisi : Defisiensi vitamin A
e. Kelainan kulit :
- Rosacea
- Psoriasis
f. Toksis obat-obat : obat-obatan anestesi local, dll
6.

Trauma : trauma bahan kimia dan mekanis

2.4. Keratitis
2.5.1. Definisi
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh
bakteri, virus dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe
kornea yang terkena seperti keratitis superficialis dan profunda, atau
10

berdasarkan penyebabnya yaitu antara lain keratitis keracunan obat, keratitis


reaksi alergi, reaksi kekebalan dan reaksi konjungtivitis menahun.
Keratitis ditandai dengan adanya infiltrat pada kornea berupa bercak
dengan batas tak jelas baik epitel atau sub-epitel kornea. Akhiran saraf pada
permukaan kornea menyebabkan rasa nyeri, yang diteruskan ke iris akibat
adanya phenomena refleks sehingga menyebabkan pembuluh darah iris
vasodilatasi disertai spasme dari iris. Hal ini menyebabkan rasa nyeri menjadi
lebih hebat terutama bila penderita terkena rangsangan cahaya, akibatnya
penderita takut kena sinar (photopobia) dan berusaha menutup mata dengan
palpebra. Bila keadaan ini berlanjut akan menyebabkan spasme palpebra
(bleparospasme). Rangsangan nyeri juga menyebabkan reflek keluarnya air
mata berlebihan (ephipora).

2.5.2. Patofisiologi
Kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak
vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang
terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru
kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan
tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari selsel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang
mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna
kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin,
kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada
kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan
fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra
(terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.
Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan
fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan

11

fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh


iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada
keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga
merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia
umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata kecuali
pada ulkus bakteri purulen. Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata
dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan
penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat.

2.5.3. Tanda dan gejala


Gejala umum adalah :

Keluar air mata yang berlebihan

Nyeri

Penglihatan kabur

Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)

Mata merah

Sensitif terhadap cahaya.

2.5.4. Klasifikasi
Keratitis dapat dibagi berdasarkan Bentuk Infiltratnya:
1. Punctata
: bentuk seperti bintik-bintik kecil yang menyebar.
2. Filamentous : bentuk seperti benang tipis.
3. Numularis
: bentuk seperti bentukan uang logam (coin lession).
4. Dendiritika : bentuk seperti cabang-cabang pohon.
5. Disformik
: bentuk seperti cakram di dalam jaringan kornea.

12

Keratitis dibagi berdasarkan lapisan kornea yang terkena, yaitu:


A. Keratitis Superfisialis, yaitu bila mengenai lapisan epitel atau
Bowman.
Bentuk-bentuk keratitis superfisialis antara lain :
1. Keratitis Pungtata Superfisialis
a. Definisi
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi virus antara
lain virus herpes simpleks, herpes zoster, dan vaksinia.
Keratitis punctata superfisialis memberikan gambaran
seperti infiltrat titik-titik halus pada kornea. Jika diwarnai
dengan flouresin memberikan hasil (+) berwarna hijau saat
disinari dengan lampu biru.

Gambar : Keratitis punctata superfisialis


b. Etiologi
Belum ditemukan organisme penyebabnya, namun dicurigai
virus. Pada satu kasus berhasil diisolasi virus varicella-zoster dari
kerokan kornea. Penyebab lainnya dapat terjadi pada moluskulum
kontangiosum, acne roasea, blefaritis, keratitis neuroparalitik,
trachoma, trauma radiasi, lagoftalmos, keracunan obat seperti
neomisin, tobramisin dan bahan pengawet lainnya.
c. Manifestasi klinis
Pasien mengeluh sakit, silau, mata merah dan rasa kelilipan.
Lesi punctata pada kornea dapat dimana saja, tapi biasanya pada
daerah sentral. Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik-titik
halus berwarna abu-abu jika di tes flouresin akan memberikan hasil
(+)
13

d. Terapi
Pasien diberi air mata buatan, tobramisin (antibiotik) tetes mata,
dan Midriatikum dan sikloplegik.
2. Keratitis Flikten
a. Definisi
Benjolan berwarna putih kekuningan berdiameter 2-3 mm
pada limbus, dapat berjumlah 1 atau lebih. Pada flikten terjadi
penimbunan sel limfoid, dan ditemukan sel eosinofil serta
mempunyai kecenderungan untuk menyerang kornea. Pada kasus
rekuren penyakit ini timbul pada anak-anak yang mengalami
kurang gizi dan menderita TBC sistemik.
b. Manifestasi Klinik
Terdapat hifema konjungtiva, dan memberi kesan kurangnya
air mata (dry eyes syndrome). Secara subyektif, terdapat benjolan
putih kemerahan di pinggiran mata yang hitam. Apabila jaringan
kornea terkena, maka mata berair, silau dan dapt disertai rasa
sakit dan penglihatan kabur. Secara obyektif, terdapat benjolan
putih kekuningan pada daerah limbus yang dikelilingi daerah
konjungtiva yang hiperemik. Gambaran yang khas adalah
terbentuknya papula atau pustula pada kornea dan konjungtiva
karena penyakit ini biasanya disebut kerato-konjungtivitis flikten.
c. Terapi
Terapi dapat dengan tetes mata steroid akan memberikan
hasil yang memuaskan. Steroid oral tidak dianjurkan apalagi bila
terdapat penyakit TBC yang mendasari.
3. Keratitis Sika
a. Definisi
Keratitis Sika adalah keratitis yang pada dasarnya diakibatkan
oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimal dan atau sel goblet, yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan :

Defisiensi kelenjar air mata : terjadi pada sindrom syogren,


sindrom Riley Day, tumor kelenjar air mata, obat-obat diuretik,
penggunaan atropin lama, usia lanjut.

Defisiensi komponen lemak dari air mata : misalnya pada


blefaritis menahun, pembedahan kelopak mata

14

Defisiensi komponen musin : terjadi pada sidrom steven

johnson, truma kimia, defisiensi vitamin A serta penyakit yang


mengakibatkan cacat konjungtiva

Penguapan air mata yang berlebihan : terjadi pada keratitis


karena lagoftalmus, hidup dilingkungan yang panas dan kering
misalnya di gurun pasir
Akibat parut pada kornea atau rusaknya mikrovili kornea misalnya pasca
trauma kimia

Gambar: Keratitis Sika

c. Manifestasi klinik
Secara subyektif : bila belum ada kerusakan kornea maka keluhan
penderita adalah mata ngeres, pedih, kering dan rasa seperti ada pasir
(ngeres), keluhan-keluhan yang lazim disebut sindrom dry eye. Apabila
terjadi kerusakan kornea keluhan-keluhan ditambah dengan silau, sakit,
berair dan kabur.
Secara obyektif : pada tingkat dry-eye, kejernihan permukaan
konjungtiva dan kornea hilang, tes schirmer berkurang, tear film kornea
mudah pecah, tear break up time berkurang, sukar menggerakkan
kelopak mata.
d. Terapi
Apabila yang kurang adalah komponen air dari air mata, diberikan
air mata tiruan (artificial tear), sedangkan bila komponen lemaknya
yang berkurang maka diberikan lensa kontak.
4. Keratitis Lepra
a. Definisi
Keratitis lepra atau Morbus hansen atau penyakit lepra menyerang
dan menimbulkan kerusakan pada kornea melalui 4 cara :

15

a.

Gangguan trofik pada kornea yang disebabkan kerusakan syaraf

b.

oleh mikobakterium lepra.


Terjadinya ektropion dan lagoftalmus serta

c.

sehingga menyebabkan exposure keratitis.


Pada daerah yang endemik, sering disertai adanya penyakit

d.

trakoma yang menyebabkan entropion dan trikiasis.


Apabila terjadi denervasi(hambatan) kelenjar lakrimal, akan

anestesi kornea

menyebabkan dry eyes sindrome.


Perubahan yang terjadi akibat serangan mikobakterium lepra adalah
membesar dan membengkaknya syaraf kornea disertai bintil-bintil dalam
benang (bead on string).
b. Manifestasi klinik
Secara subyektif :
Biasanya penderita datang bukan karena keluhan keratitisnya melainkan
oleh adanyapembengkakan yang kemerahan pada palpebra serta tandatanda lain pada bagian tubuh di luar mata.
Secara obyektif :
Terdapat keratitis avaskuler berupa lesi pungtata berwarna putih seperti
kapur yang secara perlahan batasnya akan mengabur dan sekelilingnya
menjadi seperti berkabut.
Lesi ini akan menyatu dengan lesi di sebeblahnya dan menyebabkan
kekeruhan subepitelial seperti nebula. Dalam nebula ini terdapat sebaran
seperti deposit kalsium dan sering disertai destruksi membran bowman.
Pada fase lanjut terjadi neovaskularisasi superfisial yang disebut pannus
lepromatosa.
c. Diagnosis
Pembengkakan saraf kornea disertai bead on string adalah khas
untuk keratitis lepra.
d. Terapi
Terdapat mikobakterium lepra diberikan dapsone dan rifampisin.
Apabila terdapat deformitas pelpebra yang akan mengakibatkan
kerusakan kornea dilakukan koreksi pembedahan.
16

.
5. Keratits Nummularis
a. Definisi
Keratitis nummularis adalah bentuk keratitis yang ditandai
dengan infiltrat bundar (nummus=keping uang logam) berkelompok
dan tepinya berbatas tegas. Keratitis ini berjalan lambat, sering kali
unilateral dan pada umumnya didapatkan pada petani yang bekerja
disawah. Nama lain dari keratitis nummularis adalah Keratitis
Sawahica atau Keratitis Punctata Tropica.

GambaGambar : keratitis nummularis

b. Etiologi
Diduga virus
c. Manifestasi Klinik
Infiltrat multipel dan bundar yang terdapat di lapisan kornea
bagian superfisial biasanya tidak menyebabkan ulserasi.
Secara subyektif : keluhan utama adalah silau (fotofobia)
Secara obyektif : mata yang terserang tampak merah karena
injeksi siliar, disertai lakrimasi.
d. Terapi
Pemberian kortikosteroid lokal memberikan hasil yang baik
yaitu hilangnya tanda-tanda radang dan lakrimasi tetapi penyerapam
infiltrat terjadi dalam waktu yang lama, dapat 1 hingga 2 tahun.
B. Keratitis Profunda/Interstisialis, yaitu apabila mengenai lapisan
stroma.
Bentuk-bentuk keratitis profunda/interstisialis antara lain adalah:

17

1. Keratitis Interstisial Luetik atau keratitis Sifilis Kongenital.


a. Definisi
Merupakan manifestasi lanjut (late manifestation) dari
sifilis kongenital. Didapatkan pada anak berusia 5-15 tahun.
Keratitis Interstisial Luetik adalah suatu reaksi imunologik
terdapat treponema palidum karena kuman ini tidak dijumpai di
kornea pada fase akut. Peradangan berupa edema, infiltrat
limfosit, dan vaskularisasi pada stroma. Proses peradangan
kornea ini dapat sembuh sendiri.
b. Manifestasi Klinik
Secara subyektif : keluhan sakit, silau, kabur pada fase

akut
Secara obyektif : keratitis intertisial ini merupakan
bagian dari trias hutcinson yaitu : keratitis intertisial,
gangguan pendengaran sampai tuli dan kelainan pada

gigi seri atas (Hutchinsons teeth).


Pada fase akut infiltrat stroma berupa bercak-bercak yang
dapat mengenai seluruh kornea dan menyebabkan kekeruhan seperti
kaca susu. Pembuluh darah dari a.siliaris anterior memasuki stroma
pada seluruh kuadran dengan arah radial menuju kebagian sentral
kornea yang keruh. Tepi kornea merah sedang dibagian tengahnya
merah keabu-abuan, gambaran ini disebut bercak salmon.
Dalam beberapa minggu proses peradangan akan menjadi
tenang, kornea berangsur-angsur menjadi bening kembali, pembuluh
darah yang masuk ke dalam stroma menjadi kecil dan kosong
(ghost-vessel). Gejala iritasi menghilang dan tajam penglihatan
membaik.

A
B
Gambar: A. Kertitis interstisialis luetik, B.Ghost Vessel

c. Diagnosis
18

Berdasarkan adanya trias hutchinson ditambah kelainankelainan fisik lain seperti pangkal hidung yang mendatar (saddle
nose), penonjolan os frontal (prominent frontal eminence). Reaksi
serologis yang positif mendukung diagnosis.
d. Terapi
Proses peradangan pada kornea pada dasarnya akan sembuh
sendiri. Pengobatan mata ditujukan pada uveitis yang dapat
menyebabkan perlekatan iris dengan pemberian tetes mata
kortikosteroid dan sulfas atropin atau skopolamin.

2. Keratitis Sklerotikans.
a. Definisi
Merupakan suatu keadaan peradangan sklera dan kornea
biasanya unilateral disertai dengan infiltrasi sel radang menahun
pada bagian sklera dan kornea.

Gambar : sklerotikans

b.

Manifestasi Klinis
Keratitis ini akan memberi gejala berupa kekeruhan
kornea lokal berbentuk segitiga dengan puncak menuju ke arah
kornea bagian sentral. Penderita mengeluh sakit atau nyeri,
fotofobia tetapi tidak ada sekret. Secara objektif kekeruhan
kornea terlokalisasi dan berbatas tegas, unilateral, kornea
terlihat putih menyerupai sklera.

c. Terapi
Tidak ada pengobatan yang spesifik. Pemberian
kortikosteroid dan antiradang non steroid ditujukan terhadap
skleritisnya. Apabila terdapat iritis dapat diberikan atropin.
19

Keratitis dapat dibagi berdasarkan Organisme Penyebabnya :


a. Keratitis Bakterial
Lebih dari 90% inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri.
Sejumlah bakteri yang dapat menginfeksi kornea yaitu Staphylococcus
epidermis,

Staphylococcus

aureus,

Streptococcus

pnemoniae,

koliformis, pseudomonas dan haemophilus. Kebanyakan bakteri tidak


dapat menetrasi kornea sepanjang epitel kornea masih intak. Hanya
bakteri gonococci dan difteri yang dapat menetrasi epitel korea yang
intak.
Gejala gejalanya antara lain yaitu nyeri, fotofobia, visus lemah,
lakrimasi dan sekret purulen. Sekret purulen khas untuk keratitis bakteri
sedangkan keratitis virus mempunyak sekret yang berair.
Terapi konservatif pada keratitis bakteri adalah antibiotik topikal
(ofloxacin dan polymixin) yang berspektrum luas untuk bakteri gram
positif dan bakteri gram negative sampai hasil kultur pathogen dan
resistensi diketahui. Bakteri dapat diterapi pertama kalinya dengan tetes
mata ataupun salep. Terapi pembedahan berupa keratoplasti emergency
dilakukan jika terdapat descematocel atau ulkus kornea yang perforasi.
b. Keratitis Viral
1) Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis akibat infeksi herpes simpleks terdapat dalam
berbagai bentuk seperti : keratitis pungtata superfilis, keratitis
dendritic, keratitis profunda. Keratitis dendritic yang disebakan oleh
virus akan memberikan gambaran spesifik berupa infiltrate pada
kornea dengan bentuk seperti ranting pohon yang bercabang-cabang
dengan memberikan uji fluorescein positif nyata pada tempat
percabangan. Sensibilitas kornea nyata menurun diakibatkan karena
ujung saraf ikut terkena infeksi virus herpes simpleks. Infeksi ini
biasanya bersifat reinfeksi endogen. Infeksi primer berjalan tanpa
gejala klinis atau sub klinis. Virus pada infeksi primer masuk
20

melalui akson saraf menuju ganglion dan menetap menjadi laten.


Bila penderita mengalamin penurunan daya tahan tubuh seperti
demam maka akan terjadi rekurensi.
Gejala keratitis virus herpes simpleks sangat nyeri, fotopobia,
lakrimasi dan edema palpebral. Bentuk keratitis virus herpes
simpleks dibedakan berdasarkan lokasi lesi pada lapisan kornea.
Keratitis dendritic mempunyai khas lesi epitel yang bercabang,
sensitifitas kornea menurun dan dapat berkembang menjadi keratitis
stromal. Keratitis stromal ini mempunyai epitel yang intak, pada
pemerikasaan slitlamp menunjukkan infiltrate kornea disirformis
sentral. Sedangkan keratitis endothelium terjadi karena virus herpes
simpleks

terdapat

pada

humor

aquos

yang

menyebabkan

pembengkakan sel endotel. Dan sindrom nekrosis retinal akut


mengenai bola mata bagian posterior yang terlibat pada pasien
imunokompromis (AIDS).
Pengobatan

dapat

diberikan

virustatika

seperti

IDU

trifluoritimidin dan asiklovir. Pemberian streroid pada penderita


herpes sangat berbahaya, karena gejala akan sangat berkurang akan
tetapi proses berjalan trus karena daya tahan tubuh yang berkurang.
2) Keratitis Herpes Zoster
Keratitis herpes zoster merupakan manifestasi infeksi virus
herpes zoster pada cabang pertama saraf trigeminus, termasuk
puncak hidung dan demikian pula dengan kornea atau konjungtiva.
Bila terjadi kelainan saraf trigeminus ini, maka akan memberikan
keluhan pada daerah yang dipersarafinya dan pada herpes zoster
akan mengakibatkan terdapatkan vesikel pada kulit. Pada mata akan
terasa sakit dengan perasaan yang berkurang (anastesia dolorosa).
Pengobatan adalah simtomatik seperti pemberian analgetika,
vitamin dan antibiotik topical atau umum untuk mencegah infeksi
sekunder.
3) Keratitis Jamur

21

Pathogen yang lebih sering adalah Aspergilus dan Candida


albicans. Mekanisme yang sering adalah trauma terkena bahan bahan organic yang mengandung jamur seperti ranting pohon.
Pasien pada umumnya mengeluhkan gejala yang sedikit. Pada
inspeksi didapatkan mata merah, ulkus yang berbatas tegas dan
dapat meluas menjadi ulkus kornea serpiginuous. Pada pemeriksaan
slitlamp menunjukkan infiltrate stroma yang berwarna putih
keabuan, khusuhnya jika penyebabnya adalah candida albicans. Lesi
lesi yang lebih kecil berkelompok mengililingi lesi yang besar
membentuk lesi satelit. Indentifikasi mikrobiologi jamur sulit dan
memakan waktu. Pengobatan konservatif berupa anti nikotik topikal
seperti natamycin, nystatin dan amphoterisin B, sedangkan tindakan
pembedahan berupa keratoplasti jika dengan pengobatan konservatif
gagal dan keadaan makin memburuk dalam perawatan.
4) Keratitis Akantamoeba
Gejalanya berupa pasien mengeluh nyeri, fotopobia dan
lakrimasi. Pasien sering mempunyai riwayat beberapa minggu atau
bulan tidak berhasil dengan pengobatan antibiotik. Dari inspeksi
menunjukkan mata merah unilateral biasanya tidak mempunyai
secret. Infeksi dapat membentuk infiltrat pada sub epitel,
opasasifikasi disiformis intrasstromal pada kornea atau abses kornea
yang membentuk cincin.
Amoeba air tawar ini menyebabkan keratitis infeksi. Infeksi
ini menjadi lebih sering terjadi seiring dengan peningkatan
penggunaan lensa kontak lunak. Terjadi keratitis yang nyeri dengan
tonjolan saraf kornea. Amoeba dapat diisolasi dari kornea (dari lensa
kontak) dengan kerokan dan dikultur dalam media khusus yang
dipenuhi dengan Escherichia coli.

2.5.5 Diagnosis
Anamnesa :
22

Pasien datang dengan keluhan Epifora, blefarospasme, dan fotofobia.


Kadang disertai dengan penuran visus
Pemeriksaan fisik (mata dilihat dari luar) :
Hiperemi perikorneal(PCVI)
Kornea keruh atau terdapat bercak-bercak inflitrat dengan slit lamp.
Pemeriksaan penunjang
a. Tes Flouresin :
FL test positif
: Keratitis Epithelial
FL test negatif
: Keratitis Sub Epithelial
b. Tes Sensitibilitas
Positf
: Hampir semua keratitis
Negatif
: Keratitis Herpes Simpleks
2.5.6 Penatalaksaan
Penatalaksaan pada keratitis tergantung pada penyebab keratitis itu sendiri.
1. Terapi Kausatif :
Antibiotik (salep, tetes mata, tablet)
Antivirus (salep, tablet)
Anti jamur
2. Terapi suportif :
Bebat mata yang berguna untuk mencegah infeksi sekunder, mengurangi rasa
sakit, mempercepat penyembuhan.
3. Terapi Simptomatik :
Kalau perlu Midriatikum untuk mengurangi spasme silier sehingga rasa nyeri
berkurang

2.5.7 Prognosa
Dengan pengobatan yang adekuat keratitis akan sembuh tanpa bekas, tetapi
dapat pula meninggalkan jaringan parut pada kornea terutama bila infiltrate mengenai
stroma kornea. Sikatrik, jaringan parut pada kornea yang mengakibatkan permukaan
kornea irreguler sehingga memberikan uji plasido positif, dan terdapat beberapa
bentuk, antara lain :
a. Nebula

: jaringan sikatrik tipis, tampak dengan pemeriksaan


lampu celah (slit lamp).
b. Makula
: lebih tebal, tampak dengan pemeriksaan lampu senter.
c. Lekoma
: jaringan sikatrik tebal dan tampak bila dilihat dengan
mata biasa
d. Staphyloma : kekeruhan seluruh kornea disertai penonjolan kornea.
23

2.5.8

Komplikasi
Tanpa pengobatan yang baik keratitis selanjutnya akan menjadi ulkus
kornea, ulkus kornea yang sering disertai hipopion akan masuk lebih dalam
merusak lapisan descemet yang utuh karena lapisan ini kuat dan akibat adanya
tekanan bola mata maka terbentuk descematocele yang selanjutnya akan
mengalami perforasi sampai terjadi endophtalmitis, panophtalmitis dan berakhir
dengan ptisis bulbi (bola mata mengecil).

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama
: Ny. SM
Umur
: 38 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Pekerja Swasta
Alamat
: Jalan Jaksa Agung Suprapto, Gresik.
Tanggal Pemeriksaan
: 4 Februari 2015
3.2 Anamnesa
3.2.1 Keluhan Utama
Mata kanan dan kiri nyeri
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Mata kanan dam kiri terasa nyeri sejak 4 hari yang lalu disertai dengan mata
kabur
24

Mata kanan dan kiri pada mulanya berwarna merah, gatal, sering mengeluarkan
air mata berlebih, silau jika terkena sinar matahari dan terasa mengganjal sejak
2 minggu yang lalu.
2 minggu yang lalu berobat ke bidan dan diberikan obat tetes cendo xitrol
4.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
4.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan di keluarganya ( anak ) mengalami sakit yang sama
sebelumnya dengan keluhan mata merah dan gatal.

4.2.5 Riwayat Pengobatan


- 2 minggu yang lalu pasien mengatakan menggunakan obat cendo xitrol pada
mata kanan dan kiri
4.3 Pemeriksaan Fisik
4.3.1 Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran
: Compos Mentis; GCS 4,5,6.
4.3.2 Status Lokalis
Mata Kanan(OD)
Mata Kiri(OS)

Flouresin test (+)


Mata Kanan

Pemeriksaan

Mata Kiri

6/6,6

Visus

6/7,5

Koreksi

Tidak dilakukan

Tonometri(TIO)

Tidak dilakukan

Sentral, Normal

Kedudukan

Sentral, Normal

Ke segala arah

Pergerakan

Ke segala arah

Hiperemi (-)
Edema (-)
Blefarospasme (+)

Palpebra superior

Hiperemi (-)
Edema (-)
Blefarospasme (+)

Hiperemi (-)
Edema (-)

Palpebra Inferior

Hiperemi (-)
Edema (-)
25

Hiperemi (-)

Konjungtiva Palpebra

Hiperemi (-)

Hiperemi (-)
Sekret (-)

Kunjungtiva Bulbi

Hiperemi (-)
Sekret (-)

Hiperemi(-)

Kunjungtiva Fornik

Hiperemi(-)

Putih

Sklera

Putih

Terdapat banyak sel infiltrat


berbentuk bulatan-bulatan

Kornea

berbentuk seperti koin

tidak terdapat gambaran


infiltrar

Dalam, jernih

Bilik Mata Depan

Dalam, jernih

Reguler

Iris

Reguler

Bulat, letak di pusat,


Refleks cahaya (+)

Pupil

Bulat, letak di pusat, Refleks


cahaya (+)

Tidak dilakukan

Lensa

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Funduskopi

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Refleks Fundus

Tidak dilakukan

(+)

Tes Flouresin

(+)

4.4 Resume
Seorang perempuan usia 38 tahun datang ke poli mata pada tanggal 4 februari 2015
Mata kanan dam kiri terasa nyeri sejak 4 hari yang lalu disertai dengan mata kabur.
Mata kanan dan kiri pada mulanya berwarna merah, gatal, sering mengeluarkan air
mata berlebih, silau jika terkena sinar matahari dan terasa mengganjal sejak 2 minggu
yang lalu dan diberikan obat tetes cendo xitrol. Keluarga pasien ada yang menderita
sakit dengan kelhan yag sama.

Pemeriksaan fisik didapatkan pada mata kanan dan kiri:


Visus
: kanan 6/6,6 dan kiri 6/7,5
Palpebra superior
: Blefarospasme (+)
Kunjungtiva
: PCVI(-)
Kornea
: terdapat bintik-bintik infiltrat dengan flouresin (+)
26

4.5 Diagnosis Banding


Uveitis
4.6 Diagnosis
ODS Keratitis punctata superficial
4.7 Planning
4.7.1 Terapi
- Lfx eye drop setiap jam x 1 tetes ODS
- Cenfresh eye drop setiap jam x 1 tetes ODS
4.7.2 Monitoring
Kontrol kembali ke poli mata setelah 1 minggu pemberian obat.
4.7.3 Edukasi
- Kompres air hangat jika bengkak
- Memberitahu pesien untuk menggunakan helm saat mengendarai
-

sepedamotor atau mengunakan kacamata hitam


Membiasakan untuk segera cuci tangan setelah menyentuh mata

27

DAFTAR PUSTAKA

Biswell R. Cornea. In: Vaughan D, Asbury T, Riordon-Eva P. General Ophthalmology. 15th


edition. Connecticut ; Appleton & Lange; 1999. p. 119-41
Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. h. 1-13
Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2011. H. 149
Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. 2nd edition.
Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 115-60
Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D. Manual of Ocular
Diagnosis and Theraphy. 5th edition. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins;
2002. p. 67-129
Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya Medika Jakarta,
2009

28

Anda mungkin juga menyukai