Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tunisia merupakan negara yang dipimpin oleh pemimpin yang otoriter dan diktator.
Sistem partai-lah yang menjadikan negara-negara Arab mayoritas adalah negara otoriter.
Sistem partai di negara-negara Arab mayoritas adalah partai authoritarian(seperti di Mesir,
Suriah, Tunisia, dan Libya) atau partai monarki (seperti Arab Saudi, Moroko, Yordania dan
negara teluk lainnya)1. Meskpiun sama-sama diktataor, Negara yang memiliki sistem monarki
relatif stabil daripada yang otoriter. Pemimpin dari negara monarki merupakan raja atau
pangeran yang memiliki legitimasi di mata rakyat. Sedangkan pemimpin dari negara otoriter
tidak memiliki legitimasi dari mata rakyat karena pemimpin tersebut bukanlah seorang
bangsawan2. Hal tersebut membuat negara authoritarian rentan akan revolusi dan konflik
antara masyarakat dengan pemerintahan.
Peristiwa pembakaran diri pada 17 Desember 2012, yang dilakukan oleh Mohamed
Bouazizi3, menjadi pemicu terjadinya revolusi di Tunisia. Dengan cepat media menyebarkan
peristiwa tersebut mealui media sosial online (Facebok dan Twitter), dan juga menyiarkannya
di Al-Jazeera TV. Akibatnya masyarakat Tunisia turun ke jalan melakukan aksi protes
membuat suasana di Tunisia sangat mencekam. Tercatat lebih dari 100 nyawa telah hilang
dalam aksi protes tersebut4.

Aksi protes tersebut menyebar luas melalui media, dan

disaksikan oleh masyarakat luas terutama di negara-negara Arab seperti Suriah, Libya dan
1 Jason Wiliam Boose. Democratization and Civil Society: Libya, Tunisia, and the Arab Spring.
International Journal of Social Science and Humanity. Vol.2 Hal. 3, Sumber:
http://www.ijssh.org/papers/116-CH317.pdf
2 Ibid,
3 Mohamed Bouazizi merupakan sarjana dari salah satu Universitas di Tunisia. Namun kurangnya
lapangan perkerjaan di Tunisia memaksanya untuk menjadi tukang sayur dan buah-buahan.
Pembakaran diri dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintahan setelah polisi menangkapnya
karena telah berdagang tanpa izin. Sumber: http://www.nytimes.com/2012/01/21/world/africa/selfimmolation-on-the-rise-in-the-arab-world.html diakses pada 23 Desember.
4 http://www.kpax.com/news/protesters-march-in-tunis-amid-arab-league-fears/
1

Mesir. Kemudian Mesir, Libya, dan Suriah mengalami protes besar-besaran seperti yang
dialami Tunisia. Fenomena yang langka terjadi di Timur Tengah ini kemudian disebut Arab
Spring.
Meskipun memakan banyak korabn, aksi protes di Tunisia berhasil menggulingkan
pemerintahan otoriter yang dipimpin oleh Presiden Ben Ali. Kemudian pemerintahan transisi
mengambil alih pemerintahan dan segera melakukan pemilihan umum serta membeebaskan
para tahanan politik5. Dengan begitu dimulailah proses transisi demokrasi di Tunisia.
Transisi berfokus kepada pemulihan ekonomi di Tunisia dan meningkatkan lapangan
pekerjaan di Tunisia.
Banyak para analis yang berargumen bahwa transisi demokrasi di Tunisia menjadikan
Indonesia sebagai model dan contoh. Indonesia pernah mengalami hal yang sama seperti
Tunisia, dimana masyarkat Indonesia terkekang oleh kediktatoran pemerintah orde baru yang
dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pada tahun 1998, terjadi aksi protes besar-besaran di
Indonesia yang mengakibatkan tergulingnya presiden Soeharto. Peristiwa ini sama halnya
seperti yang terjadi kepada Presiden Ben Ali. Dan kini , Indonesia menjadi negara mayoritas
Islam namun sistem demokrasi berjalan dengan stabil.
Berdasarkan penjelasan diatas, Penulis akan melakukan penelitian dengan judul:
Respon Indonesia sebagai model dalam demokratisasi Tunisia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, maka permasalahan mendasar yang akan dibahas
adalah:
1. Bagaimana respon Indonesia terhadap demokratisasi Tunisia?
2. Dan respon apa yang seharusnya dilakukan Indonesia terhadap demokratisasi Tunisia?
Makalah ini terdiri dari 4 Bab: Bab I adalah pendahuluan, Bab II tinjauan pustaka,
kemudian Bab III adalah pembahasan, dan Bab IV adalah kesimpulan.

C.

Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua konsep yaitu, konsep Liberal

Internationalism, konsep Cosmopolitan Democracy, dan Role Theory. Konsep Liberal


Internationalism merupakan konsep yang mengharuskan negara melakukan intervensi ke
5 Hannibal Travis. Wargaming the Arab Spring: Predictly Likely Outcomes and Planning U.N. Responses.
Cornell
International
Law
Journal.
Vol.
46.
Hal.
91
Sumber:
http://www.lawschool.cornell.edu/research/ILJ/upload/Travis-final.pdf Diakses pada 27 Desember

negara merdeka lainnya demi kebebesan negara tersebut. Intervensi tersebut bisa berbentuk
militer maupun bantuan luar negeri. Namun para ahli Liberal Internasionalism, seperti
Michael Walzer dan John Rawls, setuju bahwa intervensi dengan instrument militer
merupakan cara paling terkahir dan terburuk. Mereka setuju bahwa cara yang terbaik dan
utama adalah intervensi dengan men-transformasi demokrasi dari negara tersebut6.
Konsep cosmopolitan democracy, merupakan konsep yang lahir akibat globalisasi yang
melanda dunia saaat ini. Globalisasi tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi, keuangan,
teknologi dan media saja tetapi juga berdampak pada sistem politik internasional.
Cosmopolitan democracy berupaya untuk mengglobalkan demokrasi ke setiap negara-negara
di dunia sehingga terciptalah Global Governance. Ide dasar dari Cosmopolitan democracy
adalah mengglobalkan demokrasi, tetapi di waktu yang sama cosmopolitan democracy juga
berupaya mendemokratisasi globalisasi7.
Kemudian, konsep ketiga adalah yang disebut role theory. Konsep ini merupakan alat
analisa untuk menganalisa kebijakan luar negeri suatu negara. Konsep ini berargumen bahwa
suatu negara, baik besar maupun kecil, memiliki orientasi dalam kebijakan luar negeri
mereka sehingga mereka akan berusaha mengambil suatu peran untuk mencapai tujuannya 8.
Contoh, banyak analisa yang menganggap bahwa AS pada tahun 1960-an memiliki peran
isebagai polisi dunia. Dan para analisa juga melihat peran Uni Soviet sebagai pembela
regional di kawasan eropa timur9.
Holsti kembali menjelakan bahwa sebagian besar negara akan mengambil peran
sebagai pembela regional atau mediator. Namun holsti kembali menjelaskan bahwa bayak
peran lain yang bisa diambil oleh suatu negara seperti: benteng revolusi (pembebas),
pemimpin regional, pelindung regional, bebas aktif, pendukung pembebasan, agen anti
6 Bertrand Bardie, Schlosser&Morlino, Liberalism in International Relations.. Los Angeles: International
Encyclopedia
of
Political
Science.
2011.
Hal.1438
Sumber:
http://www.stefanorecchia.net/1/137/resources/publication_1040_1.pdf diakses pada 31 Desember

7 Daniele Archibugi. Cosmopolitan Democracy and its Critis: A Review. European Journal of International
Relations.2010.
vol.10(3)
Hal.
438.
Sumber:
http://www.danielearchibugi.org/downloads/papers/CD_and_critics_A_review.pdf diakses pada 31 Desember

8 K.J. Holsti. Politik Internasional: Kerangka untuk analisis. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Diterjemahkan oleh M. Tahir Azhary S.H. Hal.129.
9 Ibid, Hal, 129.
3

imperialis,

pembela

kepercayaan,

mediator-pemersatu,

kolaborator

subsistem

regional,pembangun, jembatan, sekutu yang setia, merdeka, teladan, pembangunan dalam


negeri, dan konsepsi peran lain10. Ketiga konsep diatas penulis gunakakn untuk menganalisa
respon serta respon yang seharusnya Indonesia lakukan dalam demokratisasi Tunisia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian mengenai Indonesia sebagai model demokratisasi Tunisia bukan hal yang baru.
Seperti yang dilakukan oleh Dr.Giora Eliraz 11 dengan judul The Indonesian Model. Ia
berpendapat bahwa Indonesia memapu menjadi sebuah model bagi Mesir dan terutama
Tunisia dalam upaya demokratisasi negara mereka. Penerapan sistem pemerintahan
demokrasi di negara Islam sulit dilakukan sehingga mayoritas negara islam terutama di
kawasan timur tengah menganut sistem pemerintahan yang authoritarian seperti Mesir dan
Tunisia. Namun Indonesia sebagai peyandang status negara mayoritas Islam terbesar di
dunia, sukses menggabungkan konsep Islam dengan sistem demokrasi.
Namun ia beranggapan bahwa Model seperti Indonesia cukup sulit dilakukan di Mesir
daripada di Tunisia. Partai-partai politik di Indonesia tidak hanya terdiri dari partai Islam saja
(PKS,PAN,PKB,PPP), tetapi ada juga partai yang sekuler (PDI-P, Demokrat, Golkar).
Kondisi seperti itu sulit dilakukan di Mesir dimana Ikhwanul Muslimin menjadi sangat
dominan. Karenanya model Indonesia ini lebih tepat dan bisa dicapai oleh Tunisia daripada di
Mesir.
Partai berbasis Islam, Ennahdha berhasil memenangkan pemilu di Tunisia pasca Arab
Spring. Meskipun partai Islam yang berhasil memenangkan pemilu tersebut, namun terdapat
kesepakatan antara Ennahdha dengan pemimpin oposisi yang berbasis partai sekuler.
Kesepakatan berisi mengenai pembuatan rancangan pemerintahan baru yang lebih demokratis
10 Ibid, hal 129-132.
11 Dr.Giora Eliraz, adalah peneliti di Harry S. Truman Institute di Hebrew University of Jerusalem.
4

dan independen. Giora mengatakan bahwa adanya pemilu serta kesepakatan antara partai
islam dengan partai sekuler merupakan cerminan yang terjadi di sistem pemilu Indonesia12.
Tunisia bisa menjadikan Indonesia sebagai model, dan Tunisia bisa mendapatkan pelajaran
dari Indonesia dalam upaya memabangun demokrasi di negara mereka. Masyarakat muslim
Indonesia sangat plural dan diperkuat dengan adanya organisasi Islam yang mengurus
mengenai kehidupan bermasyarakat. Kemudian Indonesia merupakan negara yang mampu
mengantisipasi terorisme yang mengatasnamakan Islam di negaranya sendiri bahkan
internasional. Dan Tunisia harus mengambil pelajaran tersebut dari Indonesia.
Michael Buehler13, menjelaskan alasan mengapa hubungan Islam dan demokrasi dapat
terjalin dengan baik adalah karena Islam sudah melekat dalam kehidupan masyarakat di
Indonesia. Kemudian pasca reformasi 1998, dimulai transfomrasi sistem pemilu dan sistem
partai di Indonesia sehingga partai berbasis Islam mulai bebas bergerak dalam politik
Indonesia. Dan didukung dengan institusi negara yang juga banyak bernilai Islam membuat
terjalinnya hubungan baik antara Islam dan Demokrasi di Indonesia. Sistem yang dimiliki
oleh Indonesia bisa dijadikan model oleh Tunisia dengan melakukan hal yang sama pula
sehingga terjalin pula hubungan baik antara Demokasi dan Islam di Tunisia.
Rahim14, dalam penelitiannya yang berjudul Towards a Post-Islamist Secular Democracy in
the Muslim World, menjelaskan bahwa negara islam sering diwarnai dengan pemerintahan
yang gagal, dan represi politik, dan ekonomi yang lemah. Ini disebabkan sistem Negara Islam
yang menjadikan Islam sebagai alat politik untuk mencapai self interest dari kalangan elit
saja (Ruling Family). Kemudian muncullah Indonesia, Turki dan Indonesia yang merupakan
negara mayoritas muslim yang mampu memberikan model negara Islam baru yang berbeda
dengan sebelumnya. Indonesia, Turki, dan Malaysia menunjukkan model negara islam baru
dimana Demokasi dan Islam mampu bersanding dan berjalan dengan baik. Dalam model
12 Giora Eliraz. The Indonesian Model. The Jerusalem Report. 2014. Edisi 7 April 2014, Hal. 8
Sumber: http://truman.huji.ac.il/.upload/JrepApril7-08-09.pdf
13 Michael Buehler. Islam and Democracy in Indonesia. Insight Turkey.vol 11. 2009. Hal.51-63
Sumber: http://www.columbia.edu/cu/weai/pdf/Insight_Turkey_2009_4_Michael_Buehler.pdf
14 Lily Zubaidah Rahim. Towards a Post- Islamist Secular Democracy in the Muslim World. New South
Wales.The University of Sydney. 2006. Hal. 15 Sumber:
http://sydney.edu.au/arts/government_international_relations/downloads/documents/1_3_Rahim _Papers.pdf

tersebut, partai berbasis Islam bekerja sama dengan partai berbasis sekuler demi menciptakan
good governance. Dan Tunisia seharusnya bisa menggunakan model yang sama, mengingat
Tunisia merupakan negara mayoritas Islam dan Islam sudah melekat pula di masyarakat
Tunisia sama seperti di Indonesia.
Para penelilti diatas menjelaskan bahwa Indonesia telah memberikan model baru bagi negaranegara Islam di Arab pasca Arab Spring , karena Indonesia mampu menghubungkan Islam
dengan demokrasi. Selama ini negara Islam di Arab merupakan negara authoritarian dimana
praktik demokrasi sangatlah sedkit, bahkan hampir tidak ada. Indonesia telah dianggap
sebagai model transisi di Tunisia, lalu bagaimana respon yang seharusnya Indonesia berikan?

BAB III
PEMBAHASAN

A. Respon Indonesia
Bali Democracy Forum merupakan forum internasional yang berdiri pada tahun 2008,
yang diinisiasi-kan oleh Indonesia, dan merupakan acara tahunan yang diselenggarakan di
Bali. Forum ini dibuat untuk menyampaikan gagasan serta pandangan mengenai demokrasi.
Negara yang mengikuti forum tersebut tidak harus negara demokrasi, forum ini terbuka untuk
negara mana saja dan terutama negara-negara Asia-Pasifik. tetapi Indonesia juga
mengundang negara-negara atau organisasi internasional lain untuk menjadi peninjau15.
Fokus BDF adalah bagaimana peserta forum BDF dapat memahami nilai-nilai
prinsip-prinsip, dan pelaksanaan demokrasi. Dan di setiap pertemuannya, tema BDF berbedabeda. Pada pertemuan BDF ke-lima tahun 2012, yang diadakan di Nusa Dua, Indonesia
memilih tema Memajukan Prinsip-Prinsip Demokrasi dalam Tataran Global.

Forum

demokrasi sudah jelas harus demokrasi, karenan dalam forum tersebut, setiap ucapan dan
pendapat sangat dihargai, meskipun itu dari negara non-demokrasi sekalipun.

15 Kemenlu RI. Tabloid Diplomasi: Diplomasi 2012, kedepankan prinsip keamanan, kepentingan, dan
kemitraan
bersama.
Edisi
15
Januari-14
Februari
2013.
Hal.8Sumber:
http://www.tabloiddiplomasi.org/pdf/2013/Tabloid%20Diplomasi%20JANUARI%202013.pdf

Dalam BDF kali ini, Indonesia mengundang Mesir dan Tunisia, negara yang sedang
mengalami transisi demokrasi pasca Arab Spring. BDF dapat membantu dalam proses transisi
bagi Mesir dan Tunisia karena dalam BDF terdapat pandangan demokrasi dari negara-negara
yang berbeda. Misalkan pandangan demokrasi dalam perspektif dan budaya timur (diwakili
oleh Jepang dan China), demokrasi dalam perspektif Barat (diwakili oleh Australia dan AS),
demokrasi dalam pandangan nilai-nilai Islam (diwakili oleh Afghanistan). Dengan beragam
pandangan

serta

model

demokrasi

yang

berbeda, Tunisia

dapat

memilih

serta

mengkombinasikan perspektif demokrasi tersebut yang kemudian diterapkan dalam sistem


pemerintahan Tunisia.

B. Analisa
Pasca reformasi 1998 Indonesia merupakan contoh negara demokratis yang diakui
oleh dunia16. Indonesia juga mampu mengadopsi nilai-nilai demokrasi di barat namun tidak
melepaskan unsur-unsur agama. Banyaknya pernyataan dari para negarawan serta dunia
mengenai Indonesia, membuat Indonesia yakin dan merasa bahwa Indonesia memiliki suatu
peran yang penting dalam penegakkan demokrasi di dunia.
Dalam tema BDF ke-v, Indonesia berusaha untuk mengajak dunia Internasional untuk
memikirkan tentang masalah global seperti Global Governance. Ini menunjukkan Indonesia
merasa berperan dalam penegakkan demokrasi di dunia internasional, Indonesia ingin konsep
Cosmopolitan Democracy tercapai. Penulis dapat menggunakan role theory dalam
menganalisa kebijakan Indonesia dalam inisiatifnya untuk membuat forum Bali Democracy
Forum. Peran Indonesia yang selalu diutarakan sampai saat ini adalah peran bebas-aktif.
Dimana Indonesia menyatakan tidak mendukung blok mana-pun dan mendukung
kemerdekaan suatu negara, serta membangun hubungan diplomatik dengan negara lain
sebanya mungkin.
Namun dalam analisa pembuatan BDF, penulis berargumen bahwa Indonesia juga
memiliki peran sebagai Mediator-Pemersatu, dan juga peran sebagai Pembangun. Indonesia
berusaha menujukkan perannya sebagai mediator dan pemersatu mengenai perspektif
demokrasi yang berbeda dengan membuat forum BDF. Tetapi Indonesia juga memiliki peran
16 Ibid, Hal. 8
7

sebagai pembangun. Holsti menjelaskan17, peran pembangun adalah suatu bentuk dan konsep
dari suatu negara untuk membantu negara-negara yang sedang berkembang atau membangun
negaranya. Dalam konteks BDF, negara yang sedang berkembang adalah negara yang sedang
membangun demokrasi di negaranya, dalam hal ini adalah Tunisia.
Namun penulis tidak melihat adanya kebijakan nyata dari Indonesia, yang dianggap sebagai
negara demokratis, membuat kebijakan khusus untuk membantu Tunisia dalam transisi
demokrasinya. Jika memang Indonesia ingin perannya sebagai negara mediator, dan negara
pembangun diakui oleh dunia, seharusnya Indonesia membantu proses transisi di negaranegara Arab pasca peristiwa Arab Spring. Dalam BDF, Indonesia ingin mendapatkan
pengakuan dari negara-negara besar sehingga Indonesia lebih berfokus kepada negara-negara
besar, bukan negara kecil seperti Tunisia.
Langkah lainnya adalah melakukan intervensi ke negara-negara Arab pasca Arab
Spring terutama Tunisia. Konsep Liberal Internasional memperbolehkan negara untuk
melakukan intervensi demi pembangunan serta mewujudkan tegaknya kebebasan di suatu
negara. Dalam konteks ini, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dalam berpendapat,
yaitu demokrasi. Liberal Internasional menambahkan bahwa intervensi harus berupa bantuan
apa saja kecuali militer. Karena intervensi militer hanya akan menambahkan penderitaan
negara tersebut, dan penegakkan demokrasi akan berjalan lambat 18 . berdasarkan teori
tersebut maka Indonesia dapat melakukan intervensi ke Tunisia dalam rangka membangun
serta menegakkan demokrasi di Tunisia.
Langkah ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Indonesia namun tidak kepada Tunisia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menginisiasikan dibentuknya Institute for Peace and
Democracy, sebuah organisasi yang mendapatkan mandat dari pemerintah Indonesia untuk
mendukung serta membangun praktik demokrasi di negara lain 19. Institute for Peace and
Democracy (IPD), merupakan organisasi yang berakar dari adanya BDF, dengan kata lain
17K.J. Holsti. Politik Internasional: Kerangka untuk analisis. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Diterjemahkan oleh M. Tahir Azhary S.H. Hal.131.
18 Bertrand Bardie, Schlosser&Morlino, Liberalism in International Relations.. Los Angeles:
International Encyclopedia of Political Science. 2011.
19 Institute for Democracy and Peace, Sumber: http://www.ipd.or.id/about-ipd/who-we-are diakses
pada 2 Januari 2015
8

tujuan IDP ini adalah untuk merealisasikan apa yang dibahas dan dirancang dalam BDF.
Sampai saat ini, IPD sudah melakukan pertemuan dengan delegasi-delegasi dari beberapa
negara dalam upaya IPD untuk membantu transisi negara tersebut. Negara-negara tersebut
adalah Fiji, Myanmar, dan Mesir. Indonesia belum melakukan bantuan tersebut kepada
Tunisia.
Pandangan dunia kepada Indonesia sebagai model demokratisasi Tunisia seharusnya menjadi
peluang dan kesempatan bagi Indonesia untuk menigkatkan citra Indonesia di kancah politik
Global. Memang Indonesia sendiri belum sepenuhnya menjalankan demokasi dengan baik.
Tetapi Indonesia memiliki kesamaan dan kemiripan dengan Tunisia. Baik dari sistem partai
politik dan juga kehidupan masyarakat yang dimana nilai-nilai Islam sudah melekat di
kehidupan masyarakatnya. Seharusnya model Indonesia bisa diterapkan pula di Tunisia.
Tunisia sendiri sebenarnya sudah mulai menggunakan model Indonesia dalam transisi
demokrasi mereka. Seperti adanya kesepakatan antara partai islamis, Ennahdha dengan partai
sekuler, General Labor Party,

untuk menciptakan Good Governance di Tunisia20.

kesepakatan ini merupakan ceminan yang terjadi di Indonesia. Dan seharusnya Indonesia
turut membantu dalam proses ini. Seharusnya Indonesia menggunakan IDP untuk membantu
transisi Tunisia agar tercapai pembangunan demokrasi di Tunisia. dengan begitu, Indonesia
dapat menunjukkan konsistennya dalam menjalankan perannya sebagai negara bebas-aktf,
negara mediator-pemersatu, dan negara pembangun demokrasi.

20 Giora Eliraz. The Indonesian Model. The Jerusalem Report. 2014. Edisi 7 April 2014, Hal. 8
9

BAB IV
KESIMPULAN

Aksi protes yang dilakukan oleh seorang tukang sayur dan buah-buahan, Mohamed Bouazizi,
dengan membakar dirinya sendiri, memberikan dampak yang sangat besar bagi negara-negara
Arab, khsusunya Tunisia. aksi protes tersebut menyebar luas melalu media sosial (seperti
Facebook, Twitter, dan Youtube) dan memicu aksi protes di negara-negara lainnya seperti
Libya, Mesir, dan Suriah. Ini merupakan fenomena yang langka terjadi di negara-negara
Arab. Karena sebelumnya tidak pernah terjadi aksi protes besar-besaran yang dilakukan
secara bersamaan seperti itu. Kemudian, fenomena ini disebut sebagai Arab Spring.
Tunisia merupakan negara yang berhasil menggulingkan pemimpin otoriternya, Ben
Ali. Aksi protes tersebut sukses meskipun menelan banyak korban, dan kemudian
pemerintahan transisi mengambil alih kekuasaan dan kemudian membangun pemerntahan
yang baru dengan sistem yang demokratis. Untuk itu dibutuhkan sebuah model negara
demokrasi yang bisa dijadikan contoh oleh Tunisia dalam membangun negara Tunisia yang
demokratis.
Beberapa peneliti menganggap bahwa Indonesia merupakan model yang tepat bagi
transisi Tunisia. hal ini dikarenakan Tunisia dan Indonesia pernah mengalami hal yang sama,
pada tahun 1998 masyarakat Indonesia melakukan aksi protes untuk menurunkan presiden
10

otoriter-nya, Soeharto. Kemudian Indonesai dan Tunisia merupakan negara yang mayoritas
Islam dan memiliki sistem kepartaian yang sama. Seharusnya Tunisia dapat menggunakan
model demokrasi di Indonesia.
Namun, Indonesia tidak merespon hal tersebut dengan baik. Indonesia hanya
mengundang Tunisia dalam pertemuan BDF tetapi tidak memasukan Tunisia dalam program
kerja IDP, hanya Myanmar, Fiji, dan Mesir yang dimasukkan dalam daftar. Seharusnya
Indonesia turut memasukkan Tunisia dalam daftar tersebut. Dengan begitu Indonesia dapat
meningkatkan citra dan pengakuan dari dunia bahwa Indonesia adalah negara pembangun
demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA
Wiliam Boose, Jason. Democratization and Civil Society: Libya, Tunisia, and the Arab
Spring. International Journal of Social Science and Humanity. Vol.2.
Travis, Hannibal. Wargaming the Arab Spring: Predictly Likely Outcomes and Planning
U.N. Responses. Cornell International Law Journal. Vol. 46.
Bardie,Bertrand.Schlosser&Morlino. 2011. Liberalism in International Relations. Los
Angeles: International Encyclopedia of Political Science.
Archibugi, Daniele. 2010. Cosmopolitan Democracy and its Critis: A Review. European
Journal of International Relations. vol.10(3)
Holsti, K.J.1988. Politik Internasional: Kerangka untuk analisis. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Diterjemahkan oleh M. Tahir Azhary S.H.
Eliraz, Giora. 2014. The Indonesian Model. The Jerusalem Report. Edisi 7 April 2014, Hal. 8
Buehler, Michael. 2009. Islam and Democracy in Indonesia. Insight Turkey.vol 11.

11

Zubaidah Rahim Lily.2006. Towards a Post- Islamist Secular Democracy in the Muslim
World. New South Wales.The University of Sydney.
Kemenlu RI. 2012. Tabloid Diplomasi: Diplomasi 2012, kedepankan prinsip keamanan,
kepentingan, dan kemitraan bersama. Edisi 15 Januari-14 Februari 2013.
Institute for Democracy and Peace, Sumber: http://www.ipd.or.id/about-ipd/who-we-are

12

Anda mungkin juga menyukai