I.
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur dibawah
45 tahun (usia produktif), dan menjadi penyebab kematian pada lebih dari 70 kasus. Pada
kasus-kasus cedera kepala yang datang ke rumah sakit sebagian berlanjut menjadi
hematom. Frekuensi hematoma ini terdapat pada 75% kasus yang datang sadar dan
berakhir dengan kematian.1
Beberapa artikel menunjukkan bahwa peningkatan outcome yang baik terjadi pada
penderita hematom subdural akut berusia muda. Pada penderita yang berusia <40 tahun
rata-rata angka kematiannya 20%, usia 40-80 tahun rata-rata angka kematian 65%, dan usia
>80 tahun rata-rata angka kematian 88%.1
Secara klasik kita kenal pembagian cedera kepala yaitu komosio, kontusio dan
laserasio serebri. Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa
kelainan Patologis Anatomis. Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak,
sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater. Waktu mulai
cedera sampai dilakukan operasi mempengaruhi prognosis. Telah dilaporkan bahwa SDH
akut yang dioperasi < 4jam setelah cedera, memiliki rata-rata angka kematian 30%, dan >
4jam memiliki rata-rata angka kematian 90%.1
Perdarahan subdural secara umum dibagi menjadi bentuk akut, subakut dan kronis.
Perdarahan subdural akut (PSD akut) merupakan salah satu penyakit bedah saraf yang
mempunyai mortalitas relatif tinggi apakah penderita dioperasi atau tidak. Oleh karena itu
perdarahan subdural perlu mendapat perhatian baik didalam pengetahuan patofisiologinya
maupun di dalam penguasaan tindakan menanggulanginya.2
II.
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periosteum). Kedua
lapisan dura yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat dimana
keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar
sinus venosus terletak diantara lapisan-lapisan dural), dan dimana lapisan dalam
membentuk sekat diantara bagian-bagian otak.4
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke
dalam tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis. Septa kuat
yang berasal darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di antara kedua
hemisphererium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista
galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis
interna,tempat dimana duramater bersatu dengan tentorim cerebelli yang meluas ke
dua sisi. Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa
sehingga masing-masing hemispareum aman pada ruang sendirinya. Tentorium
cerebelli terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa
cranii superior. Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os ocipitalis dan
pinggir atas os petrosusdan procesus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan
lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran
vena besar, sinus dura mater, tebenam dalam dua lamina dura.4
Pada pemisahan dua lapisan duramater ini, diantaranya terdapat sinus
duramatis yang berisi darah vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima darah
dari drainase vena pada otak dan mengalir menuju vena jugularis interna. Dinding
dari sinus-sinus ini dibatasi oleh endothelium. Sinus pada calvaria yanitu sinus
sagitalis superior. Sinus sagitalis inferior, sinus transversusdan sinus sigmoidea.
Sinus pada basis cranii antara lain: sinus occipitalis, sinus sphenoparietal, sinus
cavernosus, sinus petrosus.4
Pada lapisan duramater ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh darah
yang berasal dari ateri carotis intena, A.maxillaris, A.pharingeus ascendens,
A.ocipiltalits dan A.vertebralis. Dari sudut klinis yang terpenting adalah
A.meningea media (cabang dari A.maxillaris) karena arteri umumnya sering pecah
pada keadaan trauma capitis.4
Pada duramater terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik, dan peka terhadap
regangan sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung saraf ini dapat menimbulkan
sakit kepala yang hebat.4
2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi
spatium
subarachnoideum
yang
menjadi
liquor
cerebrospinalis,
cavum
volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin MonroKellie.6
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800 ml/menit atau 16% dari
cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup . Aliran darah otak
(ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml/100 gram jaringan otak
per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usianya. ADO dapat menurun
50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO
akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO
tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan
tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan
untuk meningkatkan ADO.6
Salah satu hal yang penting dalam TIK adalah tekanan perfusi serebral/cerebral
perfusion pressure (CPP). CPP adalah jumlah aliran darah dari sirkulasi sistemik yang
diperlukan untuk memberi oksigen dan glukosa yang adekuat untuk metabolisme otak
(Black&Hawks, 2005).
Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi, yaitu kemampuan organ
mempertahankan aliran darah meskipun terjadi perubahan sirkulasi arteri dan tekanan
perfusi (Morton, et.al, 2005). Autoregulasi menjamin aliran darah yang konstan melalui
pembuluh darah serebral diatas rentang tekanan perfusi dengan mengubah diameter
pembuluh darah dalam merespon perubahan tekanan arteri. Pada pasien dengan gangguan
autoregulasi, beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti
batuk, suctioning, dapat meningkatkan aliran darah otak sehingga juga meningkatkan
tekanan TIK.6
Peningkatan Intrakranial
Jika massa intrakranial membesar, beberapa kompensasi dapat terjadi:6
Ketikacompliance otak berlebihan, TIK meningkat, timbul gejala klinis, dan usaha
kompensasi lain untuk mengurangi tekananpun dimulai (Black&Hawks, 2005).
Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah dalam otak. Ketika volume
darah diturunkan sampai 40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika 60% darah
otak hilang, gambaran EEG mulai berubah. Kompensasi ini mengubah metabolisme
otak, sering mengarah pada hipoksia jaringan otak dan iskemia (Black&Hawks,
2005).
Kompensasi tahap akhir dan paling berbahaya adalah pemindahan jaringan otak
melintasi tentorium dibawah falx serebri, atau melalui foramen magnum ke dalam
kanal spinal. Proses ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan kematian dari
kompresi batang otak. Otak disokong dalam berbagai kompartemen intrakranial.
Kompartemen supratentorial berisi semua jaringan otak mulai dari atas otak tengah
ke bawah. Bagian ini terbagi dua, kiri dan kanan yang dipisahkan oleh falx serebri.
Supratentorial dan infratentorial (berisi batang otak dan serebellum) oleh tentorium
serebri. Otak dapat bergerak dalam semua kompartemen itu. Tekanan yang
meningkat pada satu kompartemen akan mempengaruhi area sekeliling yang
tekanannya lebih rendah (Black&Hawks, 2005).
Manifestasi klinik dari peningkatan TIK disebabkan oleh tarikan pembuluh darah dari
jaringan yang merenggang dan karena tekanan pada duramater yang sensitif dan berbagai
struktur dalam otak. Indikasi peningkatan TIK berhubungan dengan lokasi dan penyebab
naiknya tekanan dan kecepatan serta perluasannya. Manifestasi klinis dari peningkatan TIK
meliputi beberapa perubahan dalam kesadaran seperti kelelahan, iritabel, confusion,
penurunan GCS, perubahan dalam berbicara, reaktifias pupil, kemampuan sensorik/motorik
dan ritme/denyut jantung. Sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur sering terjadi.
Papiledema juga tanda terjadinya peningkatan TIK. Cushing triad yaitu peningkatan tekanan
sistolik, baradikardi dan melebarnya tekanan pulsasi adalah respon lanjutan dan
penderita cedera kepala lainnya lainnya. Penyebab yang predominan pada umumnya
ialah kecelakaan kenderaan bermotor, jatuh dan perkelahian, merupakan penyebab
terbanyak, sebagian kecil disebabkan kecelakaan olahraga dan kecelakaan industri.
Genarelli dan Thibault serta Seelig dkk melaporkan bahwa pada penderitapenderita
cedera kepala berat tanpa lesi massa (mass lesion) 89% disebabkan kecelakaan
kenderaan bermotor, dan 24% dari kasus perdarahan subdural akut disebabkan
kecelakaan kenderaan bermotor. Penderita epilepsy memiliki faktor resiko yang
meningkat untuk mendapat perdarahan subdural akut dan lesi intrakranial lainnya.
Zwimpfer dkk melaporkan bahwa 3.8% dari penderita perdarahan intrakranial
mendapat kecelakaan selama serangan epilepsi dan 85% dari perdarahan intrakranial
ini adalah perdarahan subdural atau perdarahan epidural. Seelig dkk mencatat bahwa
penderita-penderita perdarahan subdural akut sebanyak 22% dari 366 penderita cedera
kepala berat.2
C. ETIOLOGI
Hematoma subdural biasanya diakibatkan oleh trauma kepala yang berat yang
mengakibatkan robekan pada arteri korteks, pelebaran vena, atau sinus venosus. Selain
itu hematoma subdural ini dapat juga terjadi akibat trauma kepala yang sangat ringan
terutama pada orang yang telah lanjut usia. Hal ini disebabkan karena bridging
vein pada orang tua sudah rapuh dan telah mengalami atrofi otak (penyusutan),
sehingga jarak antara dura denganbridging vein jauh. Jika terjadi trauma
kecenderungan untuk robek lebih besar akibat sering mengalami tarikan yang lebih
besar. Penyebab hematoma subdural bisa juga diakibatkan oleh koagulopati,
trombositopenia dan pecahnya aneurisma intrakranial. Selain itu hematoma subdural
juga dapat diakibatkan oleh komplikasi dari prosedur medis seperti anastesi spinal,
epidural dan subarachnoidea. Pada sekitar 25% kasus beberapa kejadian hematoma
subdural tidak diketahui sebabnya atau berlangsung secara spontan.
Berikut adalah faktor resiko terjadinya hematoma subdural:
D. KLASIFIKASI
Berdasarkan waktu perkembangan lesi ini hingga memberikan gejala klinis,
dibedakan atas: 3
1) Akut, gejala timbul dalam waktu 3 hari pertama setelah cedera. Pada
gambaran CT scan, terdapat daerah hiperdens berbentuk bulan sabit. Jika
penderita anemis berat atau tedapat CSS yang mengencerkan darah didaerah
subdural, gambaran tersebut bisa isodens atau bahkan hipodens.
2) Subakut, gejala timbul antara hari keempat sampai hari keduapuluh.
Gambaran CT scan berupa campuran hiper, iso, dan hypodens.
3) Kronis , jika gejala timbul setelah 3 minggu. Sering timbul pada usia lanjut,
dimana terdapat atropi otak sehingga jarak permukaan korteks dan sinus
vena semakin jauh dan rentan terhadap goncangan. Kadang-kadang
benturan ringan pada kepala sudah dapat menimbulkan SDH kronis.
Beberapa predisposisi seperti alkoholisme, epilepsi, gagal ginjal terminal
dan koagulopati akan mempermuah terjadinya SDH kronis. SDH kronis
dapat terus berkembang karena terjadi perdarahan ulang (rebleeding) dan
tekanan osmotik yang lebih tinggi dalam cairan SDH kronis sebagai akibat
darah yang lisis, akan menarik cairan ke dalam SDH. Perdarahan ulang
tersebut cenderung tidak akan berhenti karena tingginya kadar fibrinolitik
dalam cairan subdural hematoma. Hal-hal ini akan menyebabkan SDH akan
terus berkembang. Kadang-kadang kompensasi otak yang atrofi cukup baik
sehingga hanya memberikan gejala sakit kepala.
E. PATOFISIOLOGI
Trauma pada otak terjadi akibat pergerakan pada kepala yang melampaui batas
elastisitas dari struktur intrakranial, akibat trauma tersebut tergantung dari macam
pergerakannya :3
Kepala yang bergerak mengenai obyek yang diam, biasanya terjadi trauma
minor, contre coup
white matter injury disebut akonal injuri difus
Kepala diam dikenai objek bergerak, lesi coup (langsung)
Kepala bergerak mengenai objek yang bergerak, terjadi trauma coup dengan
atau tanpa diffuse axonal atau countre coup
Mekanisme dari kerusakan otak pada trauma terdiri dari :
Perdarahan intracranial
Edema
Subdural hematom dapat disebabkan oleh suatu mekanisme cedera akselerasideselerasi (akselerasi : kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior, dan
deselerasi : kepala dari anterior ke posterior) akibat adanya perbedaan relatif arah
gerakan antara otak terhadap fenomena yang didasari oleh keadaan otak dapat
bergerak bebas dalam batas-batas tertentu di dalam rongga tengkorak dan pada saat
mulai pergerakan (sesaat mulai akselerasi) otak tertinggal dibelakang gerakan
tengkorak untuk beberapa waktu yang singkat. Akibatnya otak akan relatif bergeser
terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cedera pada
permukaannya terutama pada vena-vena penggantung (bridging veins). 3
Mekanisme ini juga sering dihubungkan dengan kontusio, edema otak,
dan diffuse axonal injury. Pembuluh darah yang ruptur sering pada vena-vena
penghubung antara permukaan korteks sampai sinus duramatris.Suatu pembuluh
darah kortikal dapat terganggu akibat laserasi langsung. Pada hematoma subdural
akut ruptur arteri kortikal mungkin berhubungan dengan cedera ringan, dan tak ada
kontusio. 3
Penyebab tersering yang dijumpai sehari-hari adalah trauma otak traumatika.
Pada kasus-kasus cedera kepala berat 44% nya mempunyai tekanan intrakranial >
20 mmHg dan 82% mempunyai tekanan > 10 mmHg. Tingginya tekanan
intrakranial mempunyai korelasi dengan prognosis penderita yang buruk (normal
tekanan intrakranial 10-15 mmHg). Peningkatan tekanan intrakranial yang lebih
dari 10 mmHg dikategorikan sebagai keadaan yang patologis (hipertensi
intrakranial), yang berpotensi merusak otak serta berakibat fatal. Secara garis besar
kerusakan otak akibat tekanan tinggi intrakranial (TIK) terjadi melalui dua
mekanisme, yang pertama adalah sebagai akibat gangguan aliran darah serebral dan
kedua adalah sebagai akibat dari proses mekanis pergeseran otak yang kemudian
menimbulkan distorsi dan herniasi otak. Sebab umum tingginya tekanan
intrakranial antara lain : lesi massa (hematom, neoplasma, abses, edema fokal),
sumbatan saluran liquor, obstruksi sinus vena yang besar, edema otak difus dan
adapula yang idiopatik seperti pada pseudotumor serebri.3
Adanya suatu massa yang berkembang membesar (hematom, abses atau
pembengkakan
otak)
di
semua
lokasi
dalam
kavitas
intrakranial
Apakah telah mengalami cedera kepala sebelumnya, bila cedera berulang merupakan gangguan
yang serius.
Apakah ada gejala cedera yang lain (sakit leher, sesak nafas, dan lain-lain)
Diagnosis hematom subdural dapat ditegakkan dengan pemeriksaan angiografi
serebral,scan computer, tomografi otak dan MRI berupa tampilan lesi bikonkaf
seperti bulan sabit di permukaan otak. MRI cenderung lebih bermakna dalam
membedakan hematom subdural berdasarkan akut-kronisnya. Sebagian besar
hematom berlokasi disekitar konveksitas supratentorial, dan ada yang beberapa
terletak di fossa posterior dan falks. Kedua lokasi terakhir sering terjadi pada anak.
Penegakan diagnosis hematoma subdural secara definitif dengan menggunakan
neuroimaging otak baik dengan menggunakan Computed Tomography (CT) atau
magnetic resonance imaging (MRI). Pada pemeriksaan CT scan (akurasi diagnostic
perdarahan > 90%). Hematom subdural klasik akan memberikan gambaran yang
berbentuk bulan sabit (crescent) selebar konveksitas otak. CT scan lebih akurat
dibanding klinis, EEG atau angiografi. Angiografi perlu dilakukan bila ada oklusi
pembuluh darah, fistula karotika kavernosus, aneurisma, atau spasme arteri. Pada
hasil foto CT perdarahan pada otak setelah 3 minggu (hematoma subdural kronis)
muncul sebagai lesi hipodens (yaitu memiliki densitas yang sama dengan otak).
Densitas darah pada hematoma subdural bervariasi tergantung pada usia
hematomnya. Hematom subdural dengan densitas hiperdens ditemukan pada fase
akut (yaitu 1 minggu), isodens ditemukan pada fase subakut (yaitu 2 sampai 3
minggu), dan hipodens ditemukan pada fase kronis (yaitu 3 sampai 4 minggu).
Pada hematoma subdural akut CT scan akan memperlihatkan karakteristik
hematoma yang hiperdens, yang berbentuk konkaf pada otak dengan kompresi ke
otakan distorsi ventrikel lateral (gambar ) lebih dari 80% pasien dengan hematoma
subdural akut juga mengalami fraktur kubah kepala atau pada basis kepala, yang
dapat terlihat pada CT scan bagian bone windows.
Pada MRI umumnya konfigurasi hematoma subdural berbentuk kresentris
(bulan sabit) namun perlu diingat bahwa hematoma subdural yang kronik dapat
memberikan gambaran berbentuk bikonveks yang serupa dengan gambaran
hematoma epidural. Hematoma subdural hiperakut (yang terdiri dari campuran oksi
Hb dan deoksi Hb) akan menampilkan gambaran hipo/isointens pada campuran
oksi Hb dan deoksi Hb) akan menampilkan gambaran hipo/isointens pada T1 dan
hiperintens T2. Hematom subdural akut terdiri dari deoksi Hb dalam sel darah
merah yang intak yang memberi gambaran hipo/isointens pada T1 dan hipointens
T2. Hematoma subdural sub akut (dalam deoksi Hb intraseluler telah dioksidasi
menjadi met Hb) akan memberi sinyal hiperintens T1 dan hipointens T2. Pada
hematoma subdural kronik (telah terjadi lisis sel darah merah dan menghasilkan
met Hb bebas) akan memberi sinyal hiperintens T1 dan T2.
Menurut salah satu penelitian, densitas hematoma subdural bervariasi setelah 1
bulan. Hematoma dengan densitas isodens sulit untuk dideteksi pada CT Scan dan
dapat dideteksi dengan adanya efek massa yang berakibat pada midline shift dan
penumpukan di sulkus. Pencitraan untuk mendeteksi densitas hematom yang
isodens adalah dengan menggunakan MRI. MRI akan menunjukkan hematom
dengan densitas isodens sebagai lesi hiperdens.
Hematoma subdural akut atau subakut merupakan suatu keadaan gawat darurat,
tujuan dari pengobatan termasuk life saving, kontrol pada gejala-gejala,
memperkecil atau pencegahan gangguan otak permanen/lebih lanjut. Penilaian life
saving termasuk usaha-usaha pada breathingdan circulation (primary survey sesuai
dengan ATLS)
Hematoma subdural akut.
a) Konservatif
ada penderita hematoma subdural dengan volume kecil dapat dikelola
secara konservatif. Sebagian penderita ini mengalami pemulihan yang baik
dan sebagian lagi dilakukan operasi evakuasi hematom beberapa hari
kemudian.
Pemberian
transfusi
dengan Fres
Frozen
Plasma (FFP)
dan
trombosit dengan mempertahankanprothrombin time diantara ratarata normal dan nilai trombosit > 100.000/L
b) Pembedahan
Hematoma subdural yang akut dan kronik, jika memberikan gejalagejala yang berat dan progresif maka perlu dioperasi. Pada CT scan pasien
dengan hematoma subdural dengan ketebalan lesi > 10 mm ataumidlineshift >
mm
maka
harus
dievakuasi
dengan
pembedahan,tanpa
karena
menimbulkan
resiko
berupa
iskemia
otak
dan
dan
kawan-kawan
menemukan twist-drill
penelitian
mereka
18%
(6/33)
pasien
yang
memakai
kawan-kawan
melaporkan
kesuksesan
2.
H. PROGNOSIS
Prognosis hematoma subdural bergantung pada tipe dan lokasi trauma kepala,
ukuran hematom, dan seberapa cepat terapi diberikan. Hematoma subdural
mempunyai angka kematian dan trauma yang tinggi. Hematoma subdural akut dan
kronik mempunyai prognosis yang bagus pada kebanyakan kasus setelah drainase
hematom. Waktu rehabilitasi kadang-kadang dibutuhkan untuk mengembalikan
fungsi hidup seperti semula.
Angka mortalitas akibat hematom subdural mencapai 30%. Instrument prediksi
yang digunakan di rumah sakit pada pasien tua dengan hematoma subdural meliputi
level kesadaran dengan Glasgow Coma Scale < 7, umur > 80, pembentukan
hematom berdurasi akut, dan kraniotomi. Adanya tanda-tanda neurologi fokal
dan midline shift pada pencitraan berkaitan dengan peningkatan mortalitas di rumah
sakit. Hematom subdural yang isodens pada CT scan dipertimbangkan faktor
prognosis yang positif sedangkan jika ditemukan hipodens pada CT scan
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Artikel
3.
Iskandar Japardi. Patologi dan Fisiologi Cedera Kepala. Dalam: Japardi, Iskandar DR.dr.
SpBs. Cedera Kepala. Jakarta: PT BHUANA ILMU POPULER; 2004. h. 14-27.
4.
Snell, Richard S. Kepala dan Leher. Dalam : dr. Huriawati Hartanto, dr. Enny Listiawati,
dr. Y. Joko Suyono, dr. Susilawati, dr. Tiara Mahatmi Nisa, dr. John Prawira, dr. Rini
Cendika, editor: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC.h.
750-754
5.
Herausgegeben von R.Putz and R. Pabst,Sobotta Atlas Der Anatomie In Einem Band 22nd
2007. Hal 136,311,312,332,349,346,357,647
6.
________
[cited
28
Desember
2011];
Avaialble
From
URL :http:nardinurses.files.wordpress.com/2008/01/manajemen-tik.pdf
7.