Anda di halaman 1dari 21

SUBDURAL HEMATOM

I.

PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur dibawah
45 tahun (usia produktif), dan menjadi penyebab kematian pada lebih dari 70 kasus. Pada
kasus-kasus cedera kepala yang datang ke rumah sakit sebagian berlanjut menjadi
hematom. Frekuensi hematoma ini terdapat pada 75% kasus yang datang sadar dan
berakhir dengan kematian.1
Beberapa artikel menunjukkan bahwa peningkatan outcome yang baik terjadi pada
penderita hematom subdural akut berusia muda. Pada penderita yang berusia <40 tahun
rata-rata angka kematiannya 20%, usia 40-80 tahun rata-rata angka kematian 65%, dan usia
>80 tahun rata-rata angka kematian 88%.1
Secara klasik kita kenal pembagian cedera kepala yaitu komosio, kontusio dan
laserasio serebri. Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa
kelainan Patologis Anatomis. Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak,
sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater. Waktu mulai
cedera sampai dilakukan operasi mempengaruhi prognosis. Telah dilaporkan bahwa SDH
akut yang dioperasi < 4jam setelah cedera, memiliki rata-rata angka kematian 30%, dan >
4jam memiliki rata-rata angka kematian 90%.1
Perdarahan subdural secara umum dibagi menjadi bentuk akut, subakut dan kronis.
Perdarahan subdural akut (PSD akut) merupakan salah satu penyakit bedah saraf yang
mempunyai mortalitas relatif tinggi apakah penderita dioperasi atau tidak. Oleh karena itu
perdarahan subdural perlu mendapat perhatian baik didalam pengetahuan patofisiologinya
maupun di dalam penguasaan tindakan menanggulanginya.2

II.

ANATOMI DAN FISIOLOGI


ANATOMI LAPISAN OTAK
Otak dibungkus oleh mesodermal, meninges,. Lapisan luarnya adalah pachymeninx atau
duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea dan piamater.4
1. Duramater

Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periosteum). Kedua
lapisan dura yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat dimana
keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar
sinus venosus terletak diantara lapisan-lapisan dural), dan dimana lapisan dalam
membentuk sekat diantara bagian-bagian otak.4
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke
dalam tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis. Septa kuat
yang berasal darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di antara kedua
hemisphererium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista
galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis
interna,tempat dimana duramater bersatu dengan tentorim cerebelli yang meluas ke
dua sisi. Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa
sehingga masing-masing hemispareum aman pada ruang sendirinya. Tentorium
cerebelli terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa
cranii superior. Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os ocipitalis dan
pinggir atas os petrosusdan procesus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan
lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran
vena besar, sinus dura mater, tebenam dalam dua lamina dura.4
Pada pemisahan dua lapisan duramater ini, diantaranya terdapat sinus
duramatis yang berisi darah vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima darah
dari drainase vena pada otak dan mengalir menuju vena jugularis interna. Dinding
dari sinus-sinus ini dibatasi oleh endothelium. Sinus pada calvaria yanitu sinus
sagitalis superior. Sinus sagitalis inferior, sinus transversusdan sinus sigmoidea.
Sinus pada basis cranii antara lain: sinus occipitalis, sinus sphenoparietal, sinus
cavernosus, sinus petrosus.4
Pada lapisan duramater ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh darah
yang berasal dari ateri carotis intena, A.maxillaris, A.pharingeus ascendens,
A.ocipiltalits dan A.vertebralis. Dari sudut klinis yang terpenting adalah

A.meningea media (cabang dari A.maxillaris) karena arteri umumnya sering pecah
pada keadaan trauma capitis.4
Pada duramater terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik, dan peka terhadap
regangan sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung saraf ini dapat menimbulkan
sakit kepala yang hebat.4
2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi
spatium

subarachnoideum

yang

menjadi

liquor

cerebrospinalis,

cavum

subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa


yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang
saling berhubungan.4
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam
sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi
arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis
superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki
circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia villi tersebut menyusup ke
dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam vena diploe. 4
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang
secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun
rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak.
Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut
struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan
cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.4
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas
subarachnoid di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini
bersinambung dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak
pada aspek ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di
bawah cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis.
Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna
supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara

peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis


dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii).4
3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus, fissure dan sekitar pembuluh
darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di
abwah corpus callosum. Di tempat ini piamater membentuk tela choroidea dari
ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluhpembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikelventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan
membentuk tela choroidea di tempat itu.4
FISIOLOGI TEKANAN INTRAKRANIAL
Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam rongga kranial dan
biasanya diukur sebagai tekanan dalam ventrikel lateral otak (Joanna Beeckler, 2006).
Menurut Morton, et.al tahun 2005, tekanan intrakranial normal adalah 0-15 mmHg. Nilai
diatas 15 mmHg dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau peningkatan tekanan
intrakranial. Tekanan intrakranial dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu otak (sekitar 80% dari
volume total), cairan serebrospinal (sekitar 10%) dan darah (sekitar 10%) (Joanna
Beeckler, 2006). MonroKellie doktrin menjelaskan tentang kemampuan regulasi otak
yang berdasarkan volume yang tetap (Morton, et.al, 2005). Selama total volume
intrakranial sama, maka TIK akan konstan. Peningkatan volume salah satu faktor harus
diikuti kompensasi dengan penurunan faktor lainnya supaya volume tetap konstan.
Perubahan salah satu volume tanpa diikuti respon kompensasi dari faktor yang lain akan
menimbulkan perubahan TIK (Morton, et.al, 2005). Beberapa mekanisme kompensasi
yang mungkin antara lain cairan serebrospinal diabsorpsi dengan lebih cepat atau arteri
serebral berkonstriksi menurunkan aliran darah otak (Joanna Beeckler, 2006).6
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah
sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler
mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep
sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa

volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin MonroKellie.6
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800 ml/menit atau 16% dari
cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup . Aliran darah otak
(ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml/100 gram jaringan otak
per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usianya. ADO dapat menurun
50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO
akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO
tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan
tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan
untuk meningkatkan ADO.6
Salah satu hal yang penting dalam TIK adalah tekanan perfusi serebral/cerebral
perfusion pressure (CPP). CPP adalah jumlah aliran darah dari sirkulasi sistemik yang
diperlukan untuk memberi oksigen dan glukosa yang adekuat untuk metabolisme otak
(Black&Hawks, 2005).
Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi, yaitu kemampuan organ
mempertahankan aliran darah meskipun terjadi perubahan sirkulasi arteri dan tekanan
perfusi (Morton, et.al, 2005). Autoregulasi menjamin aliran darah yang konstan melalui
pembuluh darah serebral diatas rentang tekanan perfusi dengan mengubah diameter
pembuluh darah dalam merespon perubahan tekanan arteri. Pada pasien dengan gangguan
autoregulasi, beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti
batuk, suctioning, dapat meningkatkan aliran darah otak sehingga juga meningkatkan
tekanan TIK.6
Peningkatan Intrakranial
Jika massa intrakranial membesar, beberapa kompensasi dapat terjadi:6

kompensasi awal adalah pemindahan cairan serebrospinal ke kanal spinal.


Kemampuan otak beradaptasi terhadap meningkatnya tekanan tanpa peningkatan
TIK dinamakan compliance. Perpindahan cairan serebrospinal keluar dari kranial
adalah mekanisme kompensasi pertama dan utama, tapi lengkung kranial dapat
mengakomodasi peningkatan volume intrakranial hanya pada satu titik.

Ketikacompliance otak berlebihan, TIK meningkat, timbul gejala klinis, dan usaha
kompensasi lain untuk mengurangi tekananpun dimulai (Black&Hawks, 2005).

Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah dalam otak. Ketika volume
darah diturunkan sampai 40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika 60% darah
otak hilang, gambaran EEG mulai berubah. Kompensasi ini mengubah metabolisme
otak, sering mengarah pada hipoksia jaringan otak dan iskemia (Black&Hawks,
2005).

Kompensasi tahap akhir dan paling berbahaya adalah pemindahan jaringan otak
melintasi tentorium dibawah falx serebri, atau melalui foramen magnum ke dalam
kanal spinal. Proses ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan kematian dari
kompresi batang otak. Otak disokong dalam berbagai kompartemen intrakranial.
Kompartemen supratentorial berisi semua jaringan otak mulai dari atas otak tengah
ke bawah. Bagian ini terbagi dua, kiri dan kanan yang dipisahkan oleh falx serebri.
Supratentorial dan infratentorial (berisi batang otak dan serebellum) oleh tentorium
serebri. Otak dapat bergerak dalam semua kompartemen itu. Tekanan yang
meningkat pada satu kompartemen akan mempengaruhi area sekeliling yang
tekanannya lebih rendah (Black&Hawks, 2005).

Autoregulasi juga bentuk kompensasi berupa perubahan diameter pembuluh darah


intrakranial dalam mepertahankan aliran darah selama perubahan tekanan perfusi
serebral. Autoregulasi hilang dengan meningkatnya TIK. Peningkatan volume otak
sedikit saja dapat menyebabkan kenaikan TIK yang drastis dan memerlukan waktu
yang lebih lama untuk kembali ke batas normal (Black&Hawks, 2005). 6

Manifestasi klinik dari peningkatan TIK disebabkan oleh tarikan pembuluh darah dari
jaringan yang merenggang dan karena tekanan pada duramater yang sensitif dan berbagai
struktur dalam otak. Indikasi peningkatan TIK berhubungan dengan lokasi dan penyebab
naiknya tekanan dan kecepatan serta perluasannya. Manifestasi klinis dari peningkatan TIK
meliputi beberapa perubahan dalam kesadaran seperti kelelahan, iritabel, confusion,
penurunan GCS, perubahan dalam berbicara, reaktifias pupil, kemampuan sensorik/motorik
dan ritme/denyut jantung. Sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur sering terjadi.
Papiledema juga tanda terjadinya peningkatan TIK. Cushing triad yaitu peningkatan tekanan
sistolik, baradikardi dan melebarnya tekanan pulsasi adalah respon lanjutan dan

menunjukkan peningkatan TIK yang berat dengan hilangnya aoturegulasi (Black&Hawks,


2005).6
PERDARAHAN SUBDURAL
A. DEFINISI
Perdarahan subdural, lebih lazim dengan sebutan subdural hematoma (SDH). Diartikan
sebagai penumpukan darah di antara dura dan arachnoid.3
B. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia belum ada catatan nasional mengenai morbiditas dan mortalitas
perdarahan subdural. Di Amerika Serikat frekwensinya berbanding lurus terhadap
kejadian cedera kepala (blunt head injuries). Perdarahanterjadi dari lesi intracranial,
kira-kira sepertiga dari kejadian cedera kepala berat. Pada suatu penelitian mengenai
perdarahan subdural kronis ditemukan 1 kasus setiap 10.000 penduduk.2
Pada penderita penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit
(diameter < 1 cm), prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78% dari
penderitapenderita perdarahan subdural kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation)
mempunyai prognosa baik dan mendapatkan penyembuhan sempurna. Perdarahan
subdural akut yang sederhana (simple SDH) ini mempunyai angka mortalitas kurang
lebih 20%. Perdarahan subdural akut yang kompleks (complicated SDH) biasanya
mengenai parenkim otak, misalnya kontusio atau laserasi dari serebral hemisfer
disertai dengan volume hematoma yang banyak. Pada penderitapenderita ini
mortalitas melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan volume subdural
hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal yang paling penting untuk
meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio parenkim otak.2
Angka mortalitas pada penderita penderita dengan perdarahan subdural yang
luas dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak, menjadi lebih
kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian. Walaupun
demikian bila lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah selalu berakhir dengan
kematian.2
Epidemiologi dari perdarahan subdural akut (PSD akut) serupa dengan lesi-lesi
massa intrakranial traumatik (traumatic intracranial mass lesions) lainnya. Penderita
kebanyakan adalah lakilaki dan kebanyakan umurnya lebih tua dari penderita

penderita cedera kepala lainnya lainnya. Penyebab yang predominan pada umumnya
ialah kecelakaan kenderaan bermotor, jatuh dan perkelahian, merupakan penyebab
terbanyak, sebagian kecil disebabkan kecelakaan olahraga dan kecelakaan industri.
Genarelli dan Thibault serta Seelig dkk melaporkan bahwa pada penderitapenderita
cedera kepala berat tanpa lesi massa (mass lesion) 89% disebabkan kecelakaan
kenderaan bermotor, dan 24% dari kasus perdarahan subdural akut disebabkan
kecelakaan kenderaan bermotor. Penderita epilepsy memiliki faktor resiko yang
meningkat untuk mendapat perdarahan subdural akut dan lesi intrakranial lainnya.
Zwimpfer dkk melaporkan bahwa 3.8% dari penderita perdarahan intrakranial
mendapat kecelakaan selama serangan epilepsi dan 85% dari perdarahan intrakranial
ini adalah perdarahan subdural atau perdarahan epidural. Seelig dkk mencatat bahwa
penderita-penderita perdarahan subdural akut sebanyak 22% dari 366 penderita cedera
kepala berat.2
C. ETIOLOGI
Hematoma subdural biasanya diakibatkan oleh trauma kepala yang berat yang
mengakibatkan robekan pada arteri korteks, pelebaran vena, atau sinus venosus. Selain
itu hematoma subdural ini dapat juga terjadi akibat trauma kepala yang sangat ringan
terutama pada orang yang telah lanjut usia. Hal ini disebabkan karena bridging
vein pada orang tua sudah rapuh dan telah mengalami atrofi otak (penyusutan),
sehingga jarak antara dura denganbridging vein jauh. Jika terjadi trauma
kecenderungan untuk robek lebih besar akibat sering mengalami tarikan yang lebih
besar. Penyebab hematoma subdural bisa juga diakibatkan oleh koagulopati,
trombositopenia dan pecahnya aneurisma intrakranial. Selain itu hematoma subdural
juga dapat diakibatkan oleh komplikasi dari prosedur medis seperti anastesi spinal,
epidural dan subarachnoidea. Pada sekitar 25% kasus beberapa kejadian hematoma
subdural tidak diketahui sebabnya atau berlangsung secara spontan.
Berikut adalah faktor resiko terjadinya hematoma subdural:

Pengobatan dengan antikoagulan (blood thinners, meliputi aspirin)


Telah dilaporkan resiko yang nyata penggunaan antikoagulan dengan perdarahan
intrakranial mencapai 0,3% sampai 1,0% per tahun dan angka kematian yang terkait
adalah sekitar 60%. Risiko terjadinya hematoma subdural dengan penggunaan

antikoagulan mencapai 4-15 kali lipat. Berdasarkan pada penelitian retrospektif


pada 123 pasien (dengan usia rata-rata 74 + 5 ditemukan bahwa 76% (93 pasien)
hematoma subdural, 78 pasien menjalani terapi dengan aspirin dan 15 pasien
dengan warfarin.

Penyalahgunaan alkohol dalam waktu yang lama


Akohol mendapat perhatian khusus karena kecenderungan untuk terjatuh, selain itu
ada kemungkinan penyakit yang mendasari yaitu penyakit hati yang mengakibatkan
koagulopati dan trombositopenia sekunder.

Jatuh yang berulang-ulang

Trauma kepala berulang

Usia sangat muda atau sangat tua

D. KLASIFIKASI
Berdasarkan waktu perkembangan lesi ini hingga memberikan gejala klinis,
dibedakan atas: 3
1) Akut, gejala timbul dalam waktu 3 hari pertama setelah cedera. Pada
gambaran CT scan, terdapat daerah hiperdens berbentuk bulan sabit. Jika
penderita anemis berat atau tedapat CSS yang mengencerkan darah didaerah
subdural, gambaran tersebut bisa isodens atau bahkan hipodens.
2) Subakut, gejala timbul antara hari keempat sampai hari keduapuluh.
Gambaran CT scan berupa campuran hiper, iso, dan hypodens.
3) Kronis , jika gejala timbul setelah 3 minggu. Sering timbul pada usia lanjut,
dimana terdapat atropi otak sehingga jarak permukaan korteks dan sinus
vena semakin jauh dan rentan terhadap goncangan. Kadang-kadang
benturan ringan pada kepala sudah dapat menimbulkan SDH kronis.
Beberapa predisposisi seperti alkoholisme, epilepsi, gagal ginjal terminal
dan koagulopati akan mempermuah terjadinya SDH kronis. SDH kronis
dapat terus berkembang karena terjadi perdarahan ulang (rebleeding) dan
tekanan osmotik yang lebih tinggi dalam cairan SDH kronis sebagai akibat
darah yang lisis, akan menarik cairan ke dalam SDH. Perdarahan ulang
tersebut cenderung tidak akan berhenti karena tingginya kadar fibrinolitik

dalam cairan subdural hematoma. Hal-hal ini akan menyebabkan SDH akan
terus berkembang. Kadang-kadang kompensasi otak yang atrofi cukup baik
sehingga hanya memberikan gejala sakit kepala.
E. PATOFISIOLOGI
Trauma pada otak terjadi akibat pergerakan pada kepala yang melampaui batas
elastisitas dari struktur intrakranial, akibat trauma tersebut tergantung dari macam
pergerakannya :3
Kepala yang bergerak mengenai obyek yang diam, biasanya terjadi trauma
minor, contre coup
white matter injury disebut akonal injuri difus
Kepala diam dikenai objek bergerak, lesi coup (langsung)
Kepala bergerak mengenai objek yang bergerak, terjadi trauma coup dengan
atau tanpa diffuse axonal atau countre coup
Mekanisme dari kerusakan otak pada trauma terdiri dari :

Mechanical injury dari neuron/ akson

Perdarahan intracranial

Edema

Iskemia yang disebabkan oleh pembengkakan otak atau penekanan massa.

Subdural hematom dapat disebabkan oleh suatu mekanisme cedera akselerasideselerasi (akselerasi : kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior, dan
deselerasi : kepala dari anterior ke posterior) akibat adanya perbedaan relatif arah
gerakan antara otak terhadap fenomena yang didasari oleh keadaan otak dapat
bergerak bebas dalam batas-batas tertentu di dalam rongga tengkorak dan pada saat
mulai pergerakan (sesaat mulai akselerasi) otak tertinggal dibelakang gerakan
tengkorak untuk beberapa waktu yang singkat. Akibatnya otak akan relatif bergeser
terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cedera pada
permukaannya terutama pada vena-vena penggantung (bridging veins). 3
Mekanisme ini juga sering dihubungkan dengan kontusio, edema otak,
dan diffuse axonal injury. Pembuluh darah yang ruptur sering pada vena-vena
penghubung antara permukaan korteks sampai sinus duramatris.Suatu pembuluh

darah kortikal dapat terganggu akibat laserasi langsung. Pada hematoma subdural
akut ruptur arteri kortikal mungkin berhubungan dengan cedera ringan, dan tak ada
kontusio. 3
Penyebab tersering yang dijumpai sehari-hari adalah trauma otak traumatika.
Pada kasus-kasus cedera kepala berat 44% nya mempunyai tekanan intrakranial >
20 mmHg dan 82% mempunyai tekanan > 10 mmHg. Tingginya tekanan
intrakranial mempunyai korelasi dengan prognosis penderita yang buruk (normal
tekanan intrakranial 10-15 mmHg). Peningkatan tekanan intrakranial yang lebih
dari 10 mmHg dikategorikan sebagai keadaan yang patologis (hipertensi
intrakranial), yang berpotensi merusak otak serta berakibat fatal. Secara garis besar
kerusakan otak akibat tekanan tinggi intrakranial (TIK) terjadi melalui dua
mekanisme, yang pertama adalah sebagai akibat gangguan aliran darah serebral dan
kedua adalah sebagai akibat dari proses mekanis pergeseran otak yang kemudian
menimbulkan distorsi dan herniasi otak. Sebab umum tingginya tekanan
intrakranial antara lain : lesi massa (hematom, neoplasma, abses, edema fokal),
sumbatan saluran liquor, obstruksi sinus vena yang besar, edema otak difus dan
adapula yang idiopatik seperti pada pseudotumor serebri.3
Adanya suatu massa yang berkembang membesar (hematom, abses atau
pembengkakan

otak)

di

semua

lokasi

dalam

kavitas

intrakranial

(epidural/subdural/intraserebral, supra/infratentorial) biasanya akan menyebabkan


pergeseran dan distorsi otak, yang bersamaan dengan peningkatan tekanan
intrakranial. Makin lebar/deviasi pergeseran otak akan menimbulkan peningkatan
tekanan intrakranial yang relatif lebih tinggi terhadap distorsi otak yang
ditimbulkannya. 3
Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang
menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater
atau karena robeknya arachnoidea. 3
F. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Semua cedera kepala harus dievaluasi secara tepat oleh dokter khususnya bila ada
kehilangan kesadaran dan harus mengetahui :

Bagaimana terjadinya cedera

Gejala apa yang timbul

Apakah telah mengalami cedera kepala sebelumnya, bila cedera berulang merupakan gangguan
yang serius.

Apakah mempunyai masalah medis lain

Menggunakan obat apa saja

Apakah orang tersebut peminum alkohol atau pegguna obat

Apakah ada gejala cedera yang lain (sakit leher, sesak nafas, dan lain-lain)
Diagnosis hematom subdural dapat ditegakkan dengan pemeriksaan angiografi
serebral,scan computer, tomografi otak dan MRI berupa tampilan lesi bikonkaf
seperti bulan sabit di permukaan otak. MRI cenderung lebih bermakna dalam
membedakan hematom subdural berdasarkan akut-kronisnya. Sebagian besar
hematom berlokasi disekitar konveksitas supratentorial, dan ada yang beberapa
terletak di fossa posterior dan falks. Kedua lokasi terakhir sering terjadi pada anak.
Penegakan diagnosis hematoma subdural secara definitif dengan menggunakan
neuroimaging otak baik dengan menggunakan Computed Tomography (CT) atau
magnetic resonance imaging (MRI). Pada pemeriksaan CT scan (akurasi diagnostic
perdarahan > 90%). Hematom subdural klasik akan memberikan gambaran yang
berbentuk bulan sabit (crescent) selebar konveksitas otak. CT scan lebih akurat
dibanding klinis, EEG atau angiografi. Angiografi perlu dilakukan bila ada oklusi
pembuluh darah, fistula karotika kavernosus, aneurisma, atau spasme arteri. Pada
hasil foto CT perdarahan pada otak setelah 3 minggu (hematoma subdural kronis)
muncul sebagai lesi hipodens (yaitu memiliki densitas yang sama dengan otak).
Densitas darah pada hematoma subdural bervariasi tergantung pada usia
hematomnya. Hematom subdural dengan densitas hiperdens ditemukan pada fase
akut (yaitu 1 minggu), isodens ditemukan pada fase subakut (yaitu 2 sampai 3
minggu), dan hipodens ditemukan pada fase kronis (yaitu 3 sampai 4 minggu).
Pada hematoma subdural akut CT scan akan memperlihatkan karakteristik
hematoma yang hiperdens, yang berbentuk konkaf pada otak dengan kompresi ke
otakan distorsi ventrikel lateral (gambar ) lebih dari 80% pasien dengan hematoma

subdural akut juga mengalami fraktur kubah kepala atau pada basis kepala, yang
dapat terlihat pada CT scan bagian bone windows.
Pada MRI umumnya konfigurasi hematoma subdural berbentuk kresentris
(bulan sabit) namun perlu diingat bahwa hematoma subdural yang kronik dapat
memberikan gambaran berbentuk bikonveks yang serupa dengan gambaran
hematoma epidural. Hematoma subdural hiperakut (yang terdiri dari campuran oksi
Hb dan deoksi Hb) akan menampilkan gambaran hipo/isointens pada campuran
oksi Hb dan deoksi Hb) akan menampilkan gambaran hipo/isointens pada T1 dan
hiperintens T2. Hematom subdural akut terdiri dari deoksi Hb dalam sel darah
merah yang intak yang memberi gambaran hipo/isointens pada T1 dan hipointens
T2. Hematoma subdural sub akut (dalam deoksi Hb intraseluler telah dioksidasi
menjadi met Hb) akan memberi sinyal hiperintens T1 dan hipointens T2. Pada
hematoma subdural kronik (telah terjadi lisis sel darah merah dan menghasilkan
met Hb bebas) akan memberi sinyal hiperintens T1 dan T2.
Menurut salah satu penelitian, densitas hematoma subdural bervariasi setelah 1
bulan. Hematoma dengan densitas isodens sulit untuk dideteksi pada CT Scan dan
dapat dideteksi dengan adanya efek massa yang berakibat pada midline shift dan
penumpukan di sulkus. Pencitraan untuk mendeteksi densitas hematom yang
isodens adalah dengan menggunakan MRI. MRI akan menunjukkan hematom
dengan densitas isodens sebagai lesi hiperdens.
Hematoma subdural akut atau subakut merupakan suatu keadaan gawat darurat,
tujuan dari pengobatan termasuk life saving, kontrol pada gejala-gejala,
memperkecil atau pencegahan gangguan otak permanen/lebih lanjut. Penilaian life
saving termasuk usaha-usaha pada breathingdan circulation (primary survey sesuai
dengan ATLS)
Hematoma subdural akut.
a) Konservatif
ada penderita hematoma subdural dengan volume kecil dapat dikelola
secara konservatif. Sebagian penderita ini mengalami pemulihan yang baik
dan sebagian lagi dilakukan operasi evakuasi hematom beberapa hari
kemudian.

Hematoma subdural akut yang minimal (< 5 mm) ketebalan hematomnya


pada CT scan tanpa efek massa yang mempengaruhi midline shift atau
tanda-tanda neurologis, dapat dikuti secara klinis. Resolusi hematom dapat
didokumentasikan dengan gambaran serial, sebab pada hematoma subdural
akut yang diobati secara konservatif dapat berkembang menjadi hematom
kronis.
Pengobatan medis yang darurat disebabkan oleh herniasi transtentorial
dengan :

Pemberian manitol, merupakan resusitasi awal pada pasien cedera


kepala yang disertai dengan hipotensi. Dosis manitol 0,25-0,5
gr/kgBB dalam 10-20 menit diberikan bolus. Biasanya pemberian
dilakukan setiap 6 jam. Selain itu, diindikasikan pula jika terdapat
tanda-tanda herniasi transtentorial atau adanya perburukan keadaan
neurologis yang tidak disebabkan oleh keadaan sistemik seperti
hipovolemia. Pemberian diuretik ini digunakan untuk mengurangi
pembengkakan.Penggunaannya secara rutin masih controversial.

Pemberian obat-obatan anti kejang, untuk mengurangi resiko kejang.


60% penderita yang mengalami kejang dini, kejang awal terjadi
dalam 24 jam pertama dan lebih kurang setengahnya terjadi dalam
jam pertama setelah cedera kepala. Duapertiga keseluruhan
penderita akan mengalami kejang lebih dari satu kali, dan 10% akan
mengalami status epileptikus. Obat-obat anti kejang seperti Fenitoin.
Dosis oral : 300-600 mg/hari (dewasa), 4-7 mg/kgBB/hari (anak),
Phenobarbital. Dosis : 30-250 mg/hari (dewasa), 2-6 mg/kgBB/hari
(anak), Diazepam. Dosis : 0,2 mg/kgBB/IV (dewasa), 0,2-0,5
mg/kgBB/kali pemberian (anak). Maksimal 5 mg untuk anak
dibawah 5 tahun dan 10 mg untuk anak di atas 5 tahun,
Carbamazepin. Dosis oral : 600-2000 mg/hari (dewasa), 20-30
mg/kgBB (anak), Asam valproat. Dosis : 600-3000 mg/hari
(dewasa), 15-60 mg/kgBB/hari (anak).

Penggunaan antibiotik pada pasien cedera kepala mencakup dua


tujuan yaitu untuk pengobatan terhadap infeksi (ampisilin,
kloramfenikol, sefotaksim, gentamisin, kanamisin, metronidazole,
seftriakson, seftazidim dll) dan profilaksis (sefazolin, klindamisin,
vancomisin.

Pemberian

transfusi

dengan Fres

Frozen

Plasma (FFP)

dan

trombosit dengan mempertahankanprothrombin time diantara ratarata normal dan nilai trombosit > 100.000/L

Pemberian kortikosteroid, terutama methylprednisolon, sedang


diteliti lebih lanjut.Penggunan kortikosteroid pada cedera kepala
adalah untuk mengurangi inflamasi dan pembengkakan otak.

Penatalaksanaan hematoma subdural dengan pengobatan tergantung


pada tipe dari hematoma subdural tersebut, dan seberapa besar
kerusakan yang terjadi pada otak. Diuretik dan kortikosteroid dapat
digunakan untuk mengurangi edema. Pengobatan antikonvulsan
seperti fenitoin, dapat digunakan untuk mengontrol dan mencegah
terjadinya kejang.

b) Pembedahan
Hematoma subdural yang akut dan kronik, jika memberikan gejalagejala yang berat dan progresif maka perlu dioperasi. Pada CT scan pasien
dengan hematoma subdural dengan ketebalan lesi > 10 mm ataumidlineshift >

mm

maka

harus

dievakuasi

dengan

pembedahan,tanpa

memperhatikan GCS pasien. Semua pasien dengan hematoma subdural akut


dengan koma maka Tekanan intrakranialnya harus diawasi.
Pasien dengan status koma dengan ketebalan lesi hematom subdural
< 10 mm dan midline shift < 5 mm harus dievakuasi dengan pembedahan
jika GCS menurun diantara waktu trauma dan masuk di rumah sakit dengan
2 atau lebih poin dan atau pasien yang menunjukkan asimetris dan atau
pupil dilatasi dan atau tekanan intrakranial melebihi 20 mm Hg.
Pada pasien dengan hematoma subdural akut dan berindikasi untuk
dilakukan pembedahan, maka evakuasi dengan pembedahan harus

dilakukan sesegera mungkin. Jika terdapat indikasi evakuasi pembedahan


pada pasien hematoma subdural akut yang koma, maka harus dilakukan
dengan menggunakan kraniotomi dengan atau tanpa bone flap removal dan
duraplasti.
Evakuasi secara bedah merupakan pengobatan definitif dan tak boleh
terlambat,

karena

menimbulkan

resiko

berupa

iskemia

otak

dan

hiperventilasi. Pembedahan pada hematoma subdural akut dengan


kraniotomi yang cukup luas untuk mengurangi penekanan pada otak
(dekompresi), menghentikan perdarahan aktif subdural, dan evakuasi darah
intraparenkimal.
Setelah evakuasi hematom pada hematoma subdural akut, pemberian
obat ditujukan untuk pengontrolan terhadap tekanan intrakranial (TIK) dan
mempertahankan tekanan perfusi serebral di atas 60-70 mmHg. Parameter
ini dipertahankan selama periode perioperatif. Bila dalam 24 jam ditemukan
terjadinya suatu hematoma subdural akut berulang atau ada suatu
peningkatan tekanan intrakranial dilakukan follow up dengan pemeriksaan
CT scan ulang segera untuk melihat lesi intrakranial atau reakumulasi
hematoma subdural. Pemeriksaan pembekuan trombosit darah setelah
tindakan operasi diikuti untuk mengoreksi jika ada suatu resiko perdarahan
tambahan.
Hematoma Subdural kronis
Pembedahan
Smelly

dan

kawan-kawan

menemukan twist-drill

trephination (TDT) dengan kateter CORDIS menjadi penatalaksanaan yang


utama pada burr-hole craniotomy (BHC) dengan sistem drainase tertutup.
Pada

penelitian

mereka

18%

(6/33)

pasien

yang

memakai

TDT membutuhkan ulang intervensi bedah sebagai perbandingan dengan


33% (11/33) pada yang memakai BHC; 6% pasien lainnya dengan BHC
mendapatkan operasi sebagai tiga kali. Angka mortalitas total adalah 6%
pada pasien yang dengan TDT dibandingkan 9% pada pasien dengan BHC.

Kraniotomi dipersiapkan untuk pasien dengan akumulasi hematoma ulang


atau residu hematom untuk melindungi ekspansi ulang terhadap otak.
Setelah tindakan operasi, dapat terjadi hematom subdural yang
bersifat recurrent atau residual, yang jika memberikan gejala, maka
kemungkinan dapat dilakukan pembedahan kembali. Satu dari tiga pasien
yang mengalami cedera kepala berat mengalami kejang post trauma. Wound
infection dan kebocoran cairan serebrospinal dapat terjadi setelah tindakan
kraniotomi. Meningitis dan abses serebral dapat terjadi akibat prosedur
intrakranial.
Pengobatan.
Penatalaksanaan dengan pengobatan merupakan salah satu
pilihan untuk pasien dengan gejala neurologi yang ringan, seperti hanya
sakit kepala tanpa gejala-gejala neurologi yang lain, tanpa defisit neurologi
fokal atau gangguan memori. Terapi konservatif terdiri dari pasien
observasi, diberikan steroid atau manitol, dan CT scan serial. Pada pasien
hematoma subdural kronik dengan penatalaksanaan berupa pengobatan
harus tinggal di rumah sakit 4 sampai 22 minggu. Penatalaksanaan dengan
pengobatan tidak selamanya digunakan dengan luas karena pasien pada
umumnya membaik setelah penatalaksanaan dengan bedah dan hanya
membutuhkan waktu rawat inap yang singkat (sekitar 4 minggu).
Inzelberg dan

kawan-kawan

melaporkan

kesuksesan

penatalaksanaan hematoma subdural tanpa pembedahan pada pasien


hemodialysis yang kontraindikasi terhadap tindakan pembedahan. Pada
pasien yang mendapat terapi maintenance antikoagulan karena adanya
bekuan darah, menunjukkan gejala hemiparesis dan afasia. CT scan pada
otak memperlihatkan hematoma subdural dengan out midline shift. Dosis
dexamethasone dimulai pada 16mg/dl secara parenteral selama 2 minggu.
Pengobatan dengan steroid diberika secara bertahap selama berbulan-bulan
dan mengikuti perkembangan CT scan hingga tidak memperlihatkan adanya
cairan subdural.

Pemberian dexamethasone sebanyak 4 mg dilakukan setiap 8


jam, baik secara oral maupun intravena; istirahat dalam keadaan tidur; jika
memungkinkan diet oral (atau melaluinasogastric tube) atau reposisi cairan,
bergantung pada level kesadaran. Omeprazole (20 mg per hari) dan
profilaksis tromboflebitis bersamaan dengan enoxaparin (20-40 mg/hari)
secara subkutan dan atau peralatan kompresi pneumatic tungkai bawah.
Pasien dengan status neurologi diperiksa setiap hari dan mengevaluasi ulang
efektivitas kortikoterapi setelah 48-72 jam. Pada pasien yang tidak
mengalami perbaikan Markwalder Grading Score (MGS) direncanakan
untuk melakukan tindakan pembedahan. Istirahat diikuti dengan mobilisasi
bertahap atau pergantian dan dexametahson diturunkan secara perlahanlahan (diturunkan 1 mg per hari di setiap 3 hari) hingga sembuh sempurna.
Evaluasi klinis dan radiologi dilakukan setelah 6 minggu (di poliklinik) dan
hingga stabil secara radiologi dan klinis.
Mekanisme kerja dari steroid dalam hal resorspsi masih belum
jelas dan pada beberapa contoh kasus menunjukkan resolusi spontan
hematom. Akan tetapi kecepatan resolusi gejala pada tersebut (dalam 5 hari)
dan dexametason menjamin aksi stabilisasi membran. (non operatif
treatment).
Observasi
Pada beberapa pasien dengan hematoma subdural akut akan
berubah secara spontan. Faktor yang mempengaruhi resolusi spontan dari
hematom adalah densitas cairan yang rendah pada CT scan, hematoma
subdural kronik yang berukuran kecil, dilatasi ventrikel sebagai kebalikan
dari kompresi. Pasien dengan hematoma subdural kronik berukuran kecil
yang asimtomatik dapat diikuti perkembangannya dengan CT scan serial.
Parlato dan kawan-kawan melaporkan pada 5 pasien yang telah didiagnosis
dengan hematoma subdural kronik dan diamati dengan CT scan serial.
Semua pasien hematomnya mengalami resolusi spontan tanpa pengobatan
dan pembedahan. Pasien-pasien ini, rata-rata berumur 73 tahun, dengan

gejala sakit kepala dan gangguan kognisi ringan. CT scan memperlihatkan


hematoma subdural dengan out a midline brain shift. Kelima hematom
pasien tersebut mengalami resolusi dalam waktu 6 minggu dengan
mengikuti perkembangannya.
G. KOMPLIKASI
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :5
o Hemiparese/hemiplegia.
o Disfasia/afasia
o Epilepsi.
o Hidrosepalus.
o Subdural empiema
Sedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :
1.

Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%

2.

Pada subdural hematom kronis :


Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.

H. PROGNOSIS
Prognosis hematoma subdural bergantung pada tipe dan lokasi trauma kepala,
ukuran hematom, dan seberapa cepat terapi diberikan. Hematoma subdural
mempunyai angka kematian dan trauma yang tinggi. Hematoma subdural akut dan
kronik mempunyai prognosis yang bagus pada kebanyakan kasus setelah drainase
hematom. Waktu rehabilitasi kadang-kadang dibutuhkan untuk mengembalikan
fungsi hidup seperti semula.
Angka mortalitas akibat hematom subdural mencapai 30%. Instrument prediksi
yang digunakan di rumah sakit pada pasien tua dengan hematoma subdural meliputi
level kesadaran dengan Glasgow Coma Scale < 7, umur > 80, pembentukan
hematom berdurasi akut, dan kraniotomi. Adanya tanda-tanda neurologi fokal
dan midline shift pada pencitraan berkaitan dengan peningkatan mortalitas di rumah
sakit. Hematom subdural yang isodens pada CT scan dipertimbangkan faktor
prognosis yang positif sedangkan jika ditemukan hipodens pada CT scan

merupakan faktor prognosis negative. Isodens mengindikasikan bahwa hematoma


subdural berdurasi pendek. Oleh karena iu otak harus lebih siap untuk buka
drainase dari hematom.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Asep Usmanto. Refarat Subdural Hematoma Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Prognosis pada Subdural Hematoma Akut. [online]. 2004 [cited 7 Desember 2011];
Available From URL: http://eprints.undip.ac.id/12370/1/2004PPDS3600.pdf

2.

Artikel

3.

Iskandar Japardi. Patologi dan Fisiologi Cedera Kepala. Dalam: Japardi, Iskandar DR.dr.
SpBs. Cedera Kepala. Jakarta: PT BHUANA ILMU POPULER; 2004. h. 14-27.

4.

Snell, Richard S. Kepala dan Leher. Dalam : dr. Huriawati Hartanto, dr. Enny Listiawati,
dr. Y. Joko Suyono, dr. Susilawati, dr. Tiara Mahatmi Nisa, dr. John Prawira, dr. Rini
Cendika, editor: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC.h.
750-754

5.

Herausgegeben von R.Putz and R. Pabst,Sobotta Atlas Der Anatomie In Einem Band 22nd
2007. Hal 136,311,312,332,349,346,357,647

6.

Sunardi,Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial, Valsava Maneuver & Pengikatan.


[online]

________

[cited

28

Desember

2011];

Avaialble

From

URL :http:nardinurses.files.wordpress.com/2008/01/manajemen-tik.pdf
7.

R.Sjamsuhidayat,Wim de Jong. Trauma dan Bencana. Dalam: R.Sjamsuhidayat, Warko


Karnadiharja, Thaddeneus O.H.Prasetyono, Reno Rudiman,editor: Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi 3. Jakarta: EGC:2010. h.121-154

Anda mungkin juga menyukai