Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah memeriksa variasi morfologi tumbuhan porang (Amorphophallus muelleri
Blume.) yang tumbuh di Desa Klangon, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun, serta membandingkan kadar
glukomanan dan kadar kalsium oksalat pada umbinya. Pengambilan data dilakukan melalui jelajah seluruh area
hutan berdasarkan peta dari KPH Saradan. Deskripsi habitat dan morfologi tanaman porang diamati dan
dikelompokkan. Masing-masing kelompok diambil tiga tanaman pada lokasi yang memiliki karakter yang sama dan
telah mencapai umur antara dua sampai tiga tahun, dengan tinggi tanaman minimal 90 cm. Pengukuran kadar
glukomanan dilakukan dengan metode IPA (Ohashi, 2000) sementara itu kadar oksalat porang ditentukan dengan
metode pengabuan (Sudarmadji dkk., 1997). Keragaman varian porang ditentukan melalui karakter warna dan
corak tangkai daun, dan analisis klaster (Minitab v.14). Data yang diperoleh dari analisis kadar glukomanan dan
kalsium oksalat diuji dengan uji F dan uji lanjut BNJ ( 0,05). Terdapat tiga varian porang yang ditemukan di area
penelitian ini, yaitu Porang Varian A memiliki tangkai daun hijau tua dengan corak putih bergaris rapat; kadar
glukomanannya tertinggi (18,33%), dan kadar kalsium oksalatnya 0,13%. Porang Varian B memiliki tangkai daun
hijau muda dengan corak putih belah ketupat yang merapat pada bagian ujung; kadar glukomanannya terendah
(7,48%) dengan kadar kalsium oksalat terendah (0,12%). Porang Varian C memiliki tangkai daun berwarna hijau
tua dengan corak putih belah ketupat yang merata pada semua bagian; kadar glukomanannya 11,18% dengan
kadar kalsium oksalatnya tertinggi (0,15%). Indeks similaritas Varian A dan Varian B sebesar 99,64% yang
berjarak dengan Varian C dengan indeks silmilaritas 98,16.
Kata kunci: glukomanan, kalsium oksalat, Madiun, porang, varian
PENDAHULUAN
Porang (Amorphophallus muelleri Blume.) merupakan jenis tanaman umbi yang mempunyai
potensi dan prospek untuk dikembangkan di Indonesia. Selain mudah didapatkan juga mampu
menghasilkan karbohidrat yang cukup tinggi berupa glukomanan (Heyne, 1987; Lahiya, 1993 ; Jansen et
al.,1996 dalam Sumarwoto, 2004). Porang merupakan tumbuhan asli daerah tropis yang memiliki tinggi
100-250 cm. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan perenial. Hasil utamanya berupa umbi yang banyak
dimanfaatkan karena mengandung zat glukomanan yang cukup tinggi (Prihatyanto, 2007). Selain untuk
makanan, glukomanan juga dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan industri, laboratorium
kimia, dan obat-obatan (Lahiya, 1993 dalam Sumarwoto, 2004). Namun pada umbi tersebut didapatkan
kristal kalsium oksalat yang menurunkan nilai manfaatnya karena membuat gatal dan menyebabkan rasa
panas di mulut. Dalam jumlah yang cukup tinggi, kristal kalsium oksalat menyebabkan abrasi mekanik
pada saluran pencernaan dan tubulus yang halus di dalam ginjal. Secara kimia, kristal ini menyerap cairan
kalsium yang penting untuk fungsi saraf dan serat-serat otot. Pada kasus yang ekstrim, penyerapan
kalsium ini menyebabkan hypocalcemia dan kelumpuhan yang berakibat kematian (Brown, 2000).
Salah satu kawasan utama budidaya porang di Jawa Timur adalah Desa Klangon, Kecamatan
Saradan, Kabupaten Madiun. Hutan Desa Klangon merupakan hutan produksi milik Perhutani yang
diijinkan untuk digarap oleh masyarakat. Hutan tersebut didominasi oleh pohon jati dan sengon. Tanaman
porang tumbuh dengan baik di bawah naungan pohon-pohon tersebut (Harsianto, 2007).
Hobir dan Meynarti (1996) melaporkan bahwa terdapat empat variasi morfologi porang dari
Madiun. Keempat varian tersebut perlu dikaji keberadaannya di lapangan melalui karakterisasi morfologi
dan kondisi populasi aslinya. Terdapat kemungkinan umbi dari keempat varian tersebut memiliki
perbedaan kadar glukomanan dan kalsium oksalat, sehingga diharapkan dapat diperoleh informasi tentang
varian porang yang umbinya mengandung kadar glukomanan tertinggi dan kalsium oksalat terendah.
Informasi ini akan mendasari penelitian lebih lanjut tentang pengelolaan potensi dan pemanfaatan porang
di Madiun.
METODOLOGI
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara menjelajahi seluruh area hutan Desa Klangon
Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun yang ditumbuhi porang berdasarkan peta dari Kesatuan
Pemangku Hutan (KPH) Saradan. Tanaman porang dipilih melalui pengamatan perbedaan morfologi pola
tangkai daun, jumlah dan besar bubil serta bentuk daun. Selanjutnya diambil masing-masing tiga tanaman
pada lokasi yang memiliki karakter yang sama. Sampel adalah tanaman porang yang telah mencapai umur
antara dua sampai tiga tahun, dengan tinggi tanaman minimal 90 cm. Informasi ini didasarkan pada
keterangan petani porang di Desa Klangon, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun. Pada masingmasing tumbuhan kemudian diamati karakter morfologinya dan didokumentasikan.
Karakterisasi
Karakterisasi merupakan tahapan yang dilakukan setelah pengambilan sampel. Proses
karakterisasi memiliki bagian yang besar dalam penelitian ini. Tahapan ini dilakukan dengan melakukan
pengamatan morfologi tumbuhan porang yang ditemukan. Tumbuhan sampel dideskripsikan bentuk
morfologinya meliputi habitus, umbi, tangkai daun, bulbil, daun dan percabangan serta bunganya. Data
karakter morfologi tanaman selanjutnya dimasukkan ke dalam tabel determinasi.
Pengukuran Kadar Glukomanan (Whistler and Richards, 1970)
Pengukuran kadar glukomanan umbi porang dilakukan dengan melumatkan daging umbi porang
dengan menggunakan penumbuk mortar. Lumatan umbi ditimbang sebanyak 6 g kemudian dilarutkan
dalam 600 ml air bersuhu 75-78oC. Pada lumatan umbi tersebut kemudian ditambahkan garam aluminium
sulfat sebanyak 0,6 g kemudian diaduk selama 35 menit sampai satu jam. Larutan yang diperoleh disaring
menggunakan kain saring. Filtrat yang diperoleh dicampur dengan isopropil alkohol dengan
perbandingan 1:1 kemudian diaduk untuk menggumpalkan glukomanan. Glukomanan yang digumpalkan
berbentuk seperti jeli berwarna putih bersih. Setelah dipisahkan seluruhnya, glukomanan kemudian
dikeringkan sampai berat konstan. Glukomanan yang sudah kering berbentuk lembaran tipis berwarna
abu-abu coklat ditimbang untuk diketahui beratnya, dan dihitung dengan menggunakan rumus:
Kadar glukomanan = berat endapan (g) x 100%
6 gram
Pengukuran Kadar Kalsium Oksalat (Sudarmadji, 1997)
Pada pengukuran kadar oksalat porang, daging umbi porang dilumatkan dan ditimbang 5-20 g.
Sampel diletakkan pada cawan pengabuan dan diabukan sampai berbentuk abu warna putih. Sementara
itu, dibuat larutan CaCl2 0,5% dengan melarutkan beberapa tetes indikator methyl red ke dalam 50 ml
CaCl2 0,5% sampai berbentuk warna merah. Sampel kemudian ditambah dengan beberapa tetes NH4OH
(1:4) sampai terjadi perubahan warna menjadi kuning. Sementara itu, abu sampel dilarutkan dengan 5-12
tetes HCl pekat sampai terlarut kemudian diencerkan dengan aquades sampai volume 25 ml. Larutan abuHCl tersebut kemudian ditambahkan ke dalam larutan warna kuning tersebut sambil dipanaskan dan
diaduk, lalu ditambahkan tetesan NH4OH sampai terbentuk endapan kalsium oksalat, dan dilakukan
berulang sampai terbentuk endapan yang sempurna. Setelah itu, endapan yang terbentuk disaring dengan
menggunakan kertas saring yang telah diketahui massanya, sambil dilakukan pencucian sampai filtrat
mempunyai pH netral. Endapan dan kertas saring dioven sampai berat konstan, dikeringkan dan
ditimbang. Kadar oksalat dihitung dengan rumus:
Kadar oksalat = berat awal-berat akhir x BM oksalat x 100%
berat awal
BM kalsium oksalat
Analisis Data
Penentuan adanya variasi porang dilakukan dengan analisis klaster menggunakan software
Minitab 14. Data yang diperoleh dari analisis kadar glukomanan dan kalsium oksalat diuji dengan
ANOVA. Apabila pada uji ANOVA didapatkan adanya beda nyata, maka dilakukan uji lanjutan
menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (Uji BNT).
Varian A: merupakan porang populasi A dengan tangkai daun memiliki warna hijau tua dengan corak
putih bergaris rapat
Varian B: merupakan porang populasi B dengan tangkai daun memiliki warna hijau muda dengan corak
putih berbentuk belah ketupat dimana pola bagian pangkal bawah lebih jarang dari bagian
atas (merapat pada bagian ujung)
Varian C: merupakan porang populasi C dengan tangkai daun memiliki warna hijau tua dengan corak
putih berbentuk belah ketupat yang merata pada semua bagian
(a)
(b)
(c)
Gambar1. Varian Tanaman Porang (a) Varian A,
(b) Varian B, (c) Varian C
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hobir dan Meynarti (1996) yang menyebutkan
bahwa di lokasi Madiun terdapat 4 varian porang, yaitu:
1. Porang dengan tangkai daun berwarna hijau muda, bercak putih besar dan garis sedikit
2. Porang dengan tangkai daun berwarna hijau tua, bercak putih besar dan garis sedikit
3. Porang dengan tangkai daun berwarna hijau tua, bercak putih besar dan garis banyak
4. Porang dengan tangkai daun berwarna hijau kehitaman, bercak putih besar dan garis sedikit
Tabel 1. Perbandingan karakter porang di Desa Klangon
V Kar
a akte
r r
i Por
a ang
n
Ver
si
Pen
eliti
an
ini
A Tan
gka
i
dau
n
ber
war
Versi
Hobir
Tangk
ai
daun
berwar
na
hijau
tua,
na
hija
u
tua,
pol
a
ber
upa
gari
sgari
s
rap
at
B Tan
gka
i
dau
n
ber
war
na
hija
u
mu
da,
pol
a
ber
ben
tuk
bela
h
ket
upa
t,
bag
ian
pan
gka
l
baw
ah
lebi
h
jara
ng
C Tan
gka
i
dau
n
bercak
putih
besar
dan
garis
banya
k
Tangk
ai
daun
berwar
na
hijau
muda,
bercak
putih
besar
dan
garis
sedikit
Tangk
ai
daun
berwar
na
ber
war
na
hija
u
tua,
pol
a
ber
ben
tuk
bela
h
ket
upa
t,
pad
a
sem
ua
bag
ian
rap
at
-
hijau
tua,
bercak
putih
besar
dan
garis
sedikit
Tangk
ai
daun
berwar
na
hijau
kehita
man,
bercak
putih
besar
dan
garis
sedikit
Kedua penelitian ini dilakukan pada jenis tanaman yang sama dan dengan acuan yang sama pula,
yaitu corak pada tangkai daun. Terjadinya perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian Hobir dan
Meynarti, (pada penelitian ini ditemukan 3 varian sementara pada Hobir dan Meynarti ditemukan 4
varian) dimungkinkan karena lokasi pengamatan yang dilakukan oleh Hobir dan Meynarti lebih luas
daripada lokasi pengamatan dalam penelitian ini. Pada penelitian tersebut, lokasi pengamatan yang
dilakukan oleh Hobir dan Meynarti adalah Kecamatan Saradan secara keseluruhan, dimana salah satu
desa di Kecamatan Saradan tersebut adalah Desa Klangon. Selain itu, perbedaan juga dimungkinkan
terjadi karena dalam proses penelitiannya. Hobir dan Meynarti mengumpulkan berbagai populasi porang
dari berbagai lokasi di hutan Saradan. Dari setiap populasi tersebut selanjutnya diambil bahan tanaman
(propagul) untuk kemudian ditanam di Bogor. Sementara penelitian ini dilakukan pada habitat aslinya di
lapang dengan obyek pengamatan adalah porang dewasa.
Analisis Klaster untuk Membuktikan Adanya Variasi pada Porang
Dari sembilan spesies porang yang dipergunakan dalam penelitian ini, masing-masing spesies
memperlihatkan karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, meskipun terdapat variasi
karakter dari masing-masing jenis porang yang diuji, terdapat pula kesamaan karakter diantar porang
tersebut. Kesamaan karakter yang dimiliki oleh beberapa spesies yang diuji dapat menunjukkan
kedekatan dalam hubungan kekerabatan yang dimiliki oleh varian porang tersebut. Adanya variasi dan
kesamaan pada porang yang ditemukan di desa Klangon, Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun
ditunjukkan dengan anlisis klaster menggunakan program Minitab 14. Variasi tersebut ditampilkan
dalam output analisis klaster dalam format dendogram (Gambar 2). Minitab menampilkan output analisis
klaster dalam windows session dan windows graph. Dendogram dalam Gambar 2 merupakan bentuk
grafik dalam windows Session.
Tabel 2. Perbedaan letak taksa pada pengamatan morfologi dan analisa klaster
No.
Pengamatan
Morfologi
Varian
Anggota
Varian
A
A1
A2
A3
B
B1
B2
B3
C
C1
C2
C3
Analisis Klaster
Klaster
II
Anggota
Klaster
B3
A2
A3
B1
B2
A1
C1
C2
C3
Secara umum,
penentuan
varian
2
I
porang secara numerik
(analisis
klaster)
memberikan hasil yang
3
III
sama dengan hasil
pengamatan morfologi.
Namun
demikian,
terdapat karakter yang
didapatkan dari tabel determinasi yang tidak relevan dengan penentuan varian dan menyebabkan
terjadinya perbedaan antara penentuan varian melalui analisis klaster dengan penentuan varian melalui
pengamatan morfologi.
Kadar Glukomanan Varian Porang
Glukomanan yang diperoleh dari ketiga varian tersebut berwarna putih pekat dan kental. Pada
penelitian ini, dilakukan analisis glukomanan dari umbi basah porang dan tidak dilakukan dari umbi
keringnya.
20
18,33
15
11,18
10
7,48
5
0
A
Gambar 3. Kadar rata-rata senyawa glukomanan pada varian porang yang ditemukan di Desa Klangon
(dalam%)
Ketiga varian porang yang dianalisis menunjukkan kadar glukomanan yang berbeda (Gambar 3).
Porang varian A memiliki kadar glukomanan mencapai 19,67% pada A1, 17,33% pada A2 dan 18% pada
A3 atau dengan kadar glukomanan rata-rata 18,33%. Kadar glukomanan porang varian B dengan kadar
terendah 5,33 % pada B1, 11,33% pada B2 dan 5,77% pada B3 atau dengan kadar glukomanan rata-rata
7,48%. Sementara varian C memiliki kadar glukomanan 9,33% pada C1, 10,87% pada C2 dan 13,33%
pada C3 atau dengan kadar glukomanan rata-rata 11,18%. Dengan demikian, diketahui bahwa porang
varian A memiliki kadar glukomanan tertinggi yaitu dengan kadar rata-rata 18,33% dan varian A1 dengan
kadar tertinggi yaitu 19,67%. Sementara porang dengan kadar glukomanan terendah adalah porang varian
B kadar glukomanan rata-rata 7,48% dan varian B1 dengan kadar terendah yaitu 5,33%.
Umbi porang yang dianalisis memiliki kadar glukomanan yang relatif rendah (rata-rata 12,335).
Rendahnya kadar glukomanan dalam penelitian ini kemungkinan disebabkan karena analisis dilakukan
dari umbi basah porang. Firdaus (1972) menjelaskan bahwa umbi kering porang akan menghasilkan
glukomanan yang lebih banyak daripada umbi basahnya. Hal ini disebabkan karena kadar air dari umbi
yang dikeringkan lebih sedikit daripada kadar air pada umbi basah. Jadi kadar glukomanan akan turun
seiring dengan tingginya kadar air. Penyebab utamanya karena adanya kadar air yang tinggi akan
memungkinkan aktivitas dari enzim yang terdapat pada umbi bertambah sehingga mengakibatkan
glukomanan yang terurai lebih banyak. Menurut Johnson (2006), porang mengandung 3,58 %
glukomanan dalam bentuk umbi basah serta 64,98 % dalam bentuk tepung. Tepung porang kasar yang
dikeringkan mengandung 4960% glukomanan sebagai polisakarida utama, 10-30% pati, 2-5% serat, 514% protein kasar, 3-5% gula reduksi dan 3.4-5.3% abu dan vitamin juga lemak yang rendah.
Tinggi rendahnya kadar glukomanan ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain umur
tanaman, lama waktu setelah panen (Outsuki, 1968; Irawati, 1985; Syaefullah, 1990 dalam Sumarwoto,
2004), kadar kapur dalam tanah, ukuran bulbil (Sumarwoto, 2004) dan perlakuan pasca panen (Suhirman
et al., 1995 dalam Sumarwoto, 2004). Pada penelitian ini, tidak dilakukan analisis terhadap perbedaan
kadar glukomanan antar varian porang yang disebabkan adanya perbedaan faktor-faktor tersebut. Oleh
karenanya, tanaman yang dijadikan sebagai sampel adalah tanaman yang memiliki kisaran yang sama,
dari segi faktor tersebut.
Kadar Kalsium Oksalat Varian Porang
0,2
0,151
0,15
0,1263
0,115
0,1
0,05
0
A
Gambar 4. Kadar senyawa kalsium oksalat rata-rata pada varian porang (dalam%)
Terdapat perbedaan kadar kalsium oksalat pada masing-masing sampel yang dianalisis (Gambar
4). Kadar kalsium oksalat terendah dimiliki oleh porang varian A dan B masing-masing pada A1 dan B3
dengan kadar 0,069%. Porang varian A memiliki kadar kalsium oksalat masing-masing 0, 069% pada A1,
0,172% pada A2 dan 0,138% pada A3, atau dengan kadar kalsium oksalat rata-rata sebesar 0,1263%.
Porang varian B memiliki kadar kalsium oksalat masing-masing 0,138% pada B1, 0,138% pada B2 dan
0,069% pada B3, atau dengan kadar kalsium oksalat rata-rata sebesar 0,115%. Sementara porang varian C
memiliki kadar kalsium oksalat tertinggi, yaitu mencapai 0,229% pada C1, 0,138% pada C2 dan 0,086%
pada C3 atau dengan kadar kalsium oksalat rata-rata sebesar 0,151%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa porang varian B merupakan varian yang paling aman
dikonsumsi karena memiliki kandungan kalsium oksalat yang paling rendah (0,115%). Namun demikian,
varian B memiliki kadar glukomanan terendah pula diantara varian yang lain (7,48%). Sementara porang
varian C cenderung kurang bagus dikonsumsi karena kadar kalsium oksalatnya merupakan yang tertinggi
diantara varian yang lain (0,151%), meskipun kadar glukomanannya bukan yang terendah diantara varian
yang lain (11,18%).
Uji ANOVA
KESIMPULAN
Terdapat tiga varian porang yang ditemukan di area penelitian ini, yaitu Porang Varian A
memiliki tangkai daun hijau tua dengan corak putih bergaris rapat; kadar glukomanannya tertinggi
(18,33%), dan kadar kalsium oksalatnya 0,13%. Porang Varian B memiliki tangkai daun hijau muda
dengan corak putih belah ketupat yang merapat pada bagian ujung; kadar glukomanannya terendah
(7,48%) dengan kadar kalsium oksalat terendah (0,12%). Porang Varian C memiliki tangkai daun
berwarna hijau tua dengan corak putih belah ketupat yang merata pada semua bagian; kadar
glukomanannya 11,18% dengan kadar kalsium oksalatnya tertinggi (0,15%). Indeks similaritas Varian A
dan Varian B sebesar 99,64% yang berjarak dengan Varian C dengan indeks silmilaritas 98,16.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Brown. D, (2000), Aroids: Plants of the Arum Family. Second Edition, Timber Press, Portland
Oregon
[2] Firdaus. A, (1972), Pengaruh Pengeringan dan Lama Penyimpanan pada Umbi Amorphophallus
Terhadap Kadar Mannan, Departemen Perindustrian Akademi Kimia Analisis, Bogor.
[3] Harsianto. A, (2007), Porang Sebagai Komoditas Unggulan dan Pelestari Hutan, http://www.
madiunkab.go.id/detail.php?id=93.
[4] Hobir dan Meynarti, (1996), Karakterisasi dan Dokumentasi Tanaman Iles-iles
(Amorphophallus spp.), Laporan Bagian Proyek Penelitian Tanaman dan Obat, Cimangga.
[5] Johnson. A, (2006), Konjac-An Introduction, http://www.konjac.info.
[6] Prihatyanto. T, (2007), Budidaya Belimbing dan Porang untuk Meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan, http://www.dephut.go.id.
[7] Sudarmadji. S. B. Haryono dan Suhardi, (1997), Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Hasil
Pertanian edisi IV, Liberti, Yogyakarta.
[8] Sumarwoto, (2004), Pengaruh Pemberian Kapur dan Ukuran Bulbil Terhadap Pertumbuhan Iles-iles
(Amorphophallus muelleri Blume) pada Tanah Ber-Al Tinggi, Jurnal Ilmu Pertanian-Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.
[9] Whistler. R. L. and Richards. E.L, (1970), Hemicelluloses, dalam Pigman, W.D. The carbohydrates,
Chemistry and Biochemistry, 2nd ed. Vol. 2, Academic Press. New York.