Anda di halaman 1dari 39

Majalah Kedokteran Tropis Indonesia Volume 14, Nomor 2, Juli

2003

Perkembangan Terkini Penatalaksanaan


Karsinoma Nasofaring

Widodo Ario Kentjono


Lab / SMF Ilmu PenyakitTHT
Fakultas Kedokteran Universitas Airlannga - RSUD Dr. Soetomo,Surabaya

ABSTRAK
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang
tersering diketemukan di daerah kepala dan leher. Kebanyakan penderita
KNF datang berobat di klinik sudah stadium lanjut. Terapi yang diberikan
umumnya berupa radiasi (radioterapi) sebagai treatment of choice. Terapi
KNF dengan radioterapi konvensional seperti ini seringkali hasilnya kurang
memuaskan. Kegagalan radioterapi konvensional (2 dimensional radiation
therapy / 2 DRT) dalam memberantas (eradikasi) sel kanker di nasofaring
maupun anak sebarnya di kelenjar leher (loco-regional failure) cukup
tinggi, mencapai angka 40%-80%. Selain itu, pasca radioterapi seringkali
dijumpai metastasis jauh (15%-57%). Angka rekurensi tumor setelah 5
tahun mendapat radioterapi dilaporkan sekitar 19%-56%. Disamping angka
kegagalan kontrol loko-regional yang tinggi dan systemic failure,
radioterapi tidak dapat digunakan untuk membunuh sel-sel ganas yang
tersebar diberbagai organ tubuh. Oleh karena hasil radioterapi pada KNF
khususnya stadium lanjut (III, IV) yang masih kurang memuaskan, para ahli
berupaya mencari cara untuk meningkatkan kontrol lokoregional dan
1

sistemik, sekaligus meningkatkan longterm cure rates atau survival rate.


Akhir-akhir ini dilaporkan beberapa cara meningkatkan kontrol tumor pada
KNF yaitu teknik pemberian radioterapi yang dipercepat (accelerated
fractionation radiotherapy), stereotactic radiotherapy / surgery,
brakhiterapi, radioterapi dengan menggunakan teknik baru yaitu 3
dimensional radiotherapy (3 DRT) atau intensity modulated radiation
therapy (IMRT) dan kombinasi radioterapi dengan kemoterapi (radiokemoterapi). Perkembangan terakhir yang menarik yaitu dilakukannya
pembedahan (nasofaringektomi) untuk mengeluarkan tumor rekuren kecil
di nasofaring dan tumor metastasis di leher (RND).
Kata kunci: karsinoma nasofaring, radio-kemoterapi, 3 DRT /IMRT
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan tumor ganas
terbanyak di daerah kepala dan leher. Penelitian di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya selama periode tahun 1996-2000 oleh Reksoprawiro (2001),
didapatkan 887 penderita KNF (41,90%) dari 2119 penderita tumor ganas
kepala-leher. Setelah KNF (peringkat pertama) disusul kemudian tumor
ganas laring (11,94%), rongga hidung (11,51%), rongga mulut (10,52%),
tonsil (7,74%), tiroid (5,80%), sinus maksilaris (4,95%), parotis (2,31%),
telinga/mastoid (1,42%), esofagus (0,85%), hipofaring (0,75%) dan
mandibula (0,75%). Kekerapan KNF di Taiwan sekitar 5% diantara kanker
yang ada diseluruh tubuh (Lin, 1999). Penderita KNF kebanyakan (60%95%) datang berobat sudah stadium lanjut (III-IV). Terapi yang diberikan
umumnya berupa radiasi (radioterapi) sebagai treatment of choice. Terapi
KNF dengan radioterapi konvensional seperti ini seringkali hasilnya kurang
memuaskan (Ho, 1980; Sham, 1989; Bailet, 1992; Neel, 1993).
Permasalahan tentang hasil terapi KNF yang mengecewakan sebenarnya
sudah pernah dikemukakan oleh Scanlon pada tahun 1958 yang
mengatakan :
"Always a challenging problem, both from the diagnostic and therapeutic
2

standpoint, malignant lesions of the nasopharynx are perhaps the most


commonly misdiagnosed, most poorly understood, and most pessimistically
regarded of all tumours of the upper part of the respiratory tract" (dikutip
oleh Neel, 1993) Sampai sekarang, KNF masih merupakan masalah
kesehatan yang besar di China Selatan, Hongkong, Taiwan dan negaranegara di Asia Tenggara umumnya (Chan, 2003).
Radioterapi sebagai gold standard untuk KNF sudah dimulai sejak
lama (sekitar tahun 1930-an). Hasil radioterapi untuk KNF dini sebenarnya
cukup baik, respon lengkap sekitar 80%-100%. Sedangkan untuk KNF
stadium lanjut loko-regional, respon radioterapi menurun tajam dengan
angka ketahanan hidup 5 tahun yang kurang dari 40% (Tan et al, 1997;
Prasad, 2000). Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan
(overall response rate / ORR) sebesar 25%-65%. Kegagalan radioterapi
konvensional (2 dimensional radiation therapy / 2 DRT) dalam
memberantas (eradikasi) sel kanker di nasofaring maupun anak sebarnya
di kelenjar leher (loco-regional failure) mencapai angka 40%-80%. Selain
itu, pasca radioterapi cukup sering dijumpai metastasis jauh (15%-57%).
Menurut Wee et al (1997) pasca radioterapi pada KNF dengan T1
diketemukan metastasis jauh sebesar 31%, T2 : 34%, T3 : 38% dan T4
sebesar 60%. Bila berdasarkan ukuran besarnya di leher maka pasca
radioterapi penderita KNF dengan N0 diketemukan metastasis jauh
sebesar 16%, N1 28%, N2 37% dan N3 sebesar 57%. Angka rekurensi tumor
setelah 5 tahun mendapat radioterapi dilaporkan masih cukup tinggi yaitu
19%-56% (To et al, 2002). Disamping angka kegagalan kontrol loko-regional
yang tinggi dan systemic failure, radioterapi tidak dapat digunakan untuk
membunuh sel-sel ganas yang tersebar diberbagai organ tubuh. Oleh
karena hasil radioterapi pada KNF khususnya stadium lanjut (III, IV) yang
masih kurang memuaskan, para ahli berupaya mencari cara untuk
meningkatkan kontrol lokoregional dan sistemik, sekaligus meningkatkan
longterm cure rates atau survival rate.
Akhir-akhir ini dilaporkan beberapa cara meningkatkan kontrol
tumor pada KNF yaitu accelerated fractionation radiotherapy, stereotactic
3

radiotherapy/surgery, brakhiterapi, 3 dimensional radiotherapy (3 DRT),


intensity modulated radiation therapy (IMRT) dan kombinasi kemoterapi
dengan radioterapi (kemo-radioterapi). Perkembangan terakhir yang
menarik yaitu dilakukannya pembedahan (nasofaringektomi) untuk
mengeluarkan tumor rekuren kecil di nasofaring dan tumor metastasis di
leher (RND).
KARAKTERISTIK KNF
Dibandingkan keganasan di daerah kepala dan leher umumnya,
KNF mempunyai ciri atau karakteristik yang berbeda. KNF banyak
diketemukan pada ras Mongoloid. Kejadian KNF ada hubungannya dengan
kebiasaan mengkonsumsi makanan tertentu (salted fish), tetapi tidak ada
kaitan jelas dengan kebiasaan minum alkohol dan merokok. Tumor primer
lebih sulit dilihat secara avue dan seringkali gejalanya minimal atau
asymptomatic. Adanya peran virus Epstein Barr dalam karsinogenesis
menyebabkan gambaran histopatologi KNF (WHO tipe 1, 2 dan 3) berbeda
dengan gambaran karsinoma sel skuamosa yang seringkali dijumpai pada
keganasan didaerah kepala dan leher. KNF lebih radiosensitif dan
kemosensitif. Insiden metastasis regional dan sistemik pada KNF lebih
tinggi. Sekitar 50%-70% penderita KNF saat pertamakali datang berobat
diketemukan pembesaran kelenjar getah bening di leher, sepertiga
diantaranya bilateral (Fong, 1997). Menurut Ali dan Al Syarraf (1999), 80%90% penderita KNF disertai dengan limfadenopati servikal. Sebagian besar
(60%-95%) penderita KNF datang berobat di klinik sudah stadium lanjut
lokal (locoregionally advanced) atau stadium III-IV menurut UICC 1997.
Metastasis jauh diketemukan pada 35% penderita KNF pasca radioterapi
dengan median interval 9 bulan setelah diagnosis ditegakkan (Wee et al,
1997). Hasil penelitian di HongKong menemukan metastatic rate sekitar
15%-57%. Angka - angka ini lebih kecil dari kenyataan sebenarnya, oleh
karena kebanyakan metastasis jauh tidak terdeteksi. Dari 3 seri publikasi
berdasarkan hasil otopsi penderita KNF yang meninggal, diketemukan
4

insiden metastasis jauh sebesar 87%. Penderita dengan N3, 40% sudah
mengalami metastasis jauh yang asymptomatic. Sebagian besar (78%) dari
metastasis jauh ditegakkan setelah 18 bulan munculnya gejala pertama.
Fakta ini menunjukkan bahwa KNF sebenarnya merupakan penyakit
sistemik. Oleh karena itu, terapi KNF harus ditujukan untuk mematikan
tumor loko-regional dan mikrometastasis (Tan et al, 1997).
RADIOTERAPI KNF
Radioterapi sampai sekarang masih merupakan terapi pilihan
utama untuk penderita KNF (Hsu, 1982, Chew, 1987; Sham, 1990; Susworo,
1990; Fu, 1993; Hussey, 1993; Suhartati, 1999). Radioterapi sebagai terapi
utama untuk KNF yang belum ada metastasis jauh. Radiasi yang diberikan
diharapkan dapat memperbaiki kuaiitas hidup dan memperpanjang
kelangsungan hidup penderita: KNF termasuk dalam golongan penyakit
kanker yang dapat disembuhkan dengan penyinaran (radiocurable),
terutama bila masih dini (stadium I, II). Pertimbangan pemilihan radiasi
sebagai pengobatan pilihan utama untuk KNF terutama didasarkan fakta
bahwa secara histopatologis kebanyakan (75%-95%) KNF dari jenis
karsinoma undifferensiated (WHO tipe 3) dan karsinoma non keratinisasi
(WHO tipe 2) yang sangat radiosensitif (Shanmugaratnam, 1988). Alasan
lainnya adalah faktor anatami nasofaring yang terletak didasar tengkorak
dengan banyak organ vital menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif
untuk memperoleh daerah bebas tumor (free margin) sangat sulit
dikerjakan (Bailet, 1992; Neel, 1993). Radiasi eksterna (teleterapi) pada
KNF stadium loko-regional harus diberikan dengan dosis yang cukup tinggi
(sekitar 7000 cGy), ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan daerah
perluasan maupun metastasisnya di kelenjar getah bening leher.
Radioterapi dikatakan berhasil bila tercapai eradiasi semua sel kanker yang
viable (Djakaria, 1989; Hussey, 1993).
a.

Radiasi eksterna
5

Sejak diketemukannya Cobalt 60, radioterapi KNF menggunakan


60
60
Telecobalt (Djakaria, 1989; Fu, 1991). Pesawat Cobalt mempakan
suatu isotop buatan yang memancarkan radiasi sinar g (gama) dengan
harga yang relatif murah. Pesawat ini memiliki enersi sebesar 1,17 dan
1,33 Mega Elektron Volt (MEV) dan sering digunakan untuk terapi
(radioterapi) kanker yang terletak dipermukaan tubuh antara lain
payudara, ekstremitas dan kepala-leher (Cameron, 1994). Penggunaan
Telecobalt sering menimbulkan berbagai komplikasi terutama
kerusakan kulit dan jaringan normal di jalur lintasannya. Selain untuk
60
teletherapy, bahan radioaktif Cobalt digunakan sebagai pengganti
60
jarum radium yang mahal harganya. Pada saat ini Cobalt yang
mempunyai enersi equivalen dengan sinar X 3 mV digunakan untuk
60
radiasi interna (brachytherapy). Selain Co , sumber radiasi dapat
192
137
dan Cessium . Pemberian brakhiterapi
berasal dari Irridium
dimaksudkan untuk optimalisasi dosis sebagai kompensasi untuk
menambah kekurangan dosis pada tumor primer di nasofaring serta
menghindari terlalu banyaknya jaringan sehat yang terikena radiasi,
atau sebagai booster pada tumor residu dan kasus rekuren. Besarnya
dosis radiasi interna sekitar 700 - 3000 cGy yang dibagi dalam
beberapa fraksi pemberian. Untuk mengurangi bahaya paparan
radioaktif saat pemasangan jarum, brakhiterapi dilakukan dengan
metode Remote After Loading System (RALS). Perkembangan dibidang
radiasi eksterna semakin pesat (setelah PDII) yaitu sejak diciptakannya
pesawat radioterapi modern dengan enersi lebih tinggi yang disebut
Linier Accelerator (Linac). Pesawat ini mempunyai kemampuan
menghasilkan sinar foton (sinar X) dan elektron. Radioterapi KNF
menggunakan pesawat Linac dengan tenaga 4 atau 10 MegaVolt
dipandang lebih baik karena mempunyai daya tembus tinggi,
memberikan batas tepi lapangan radiasi yang amat tegas dan daya
hambur yang minimal sehingga tanpa atau sedikit sekali menimbulkan
kelainan kulit (Susworo, 1990). Perkembangan radioterapi semakin
baik lagi dengan ketemukannya CT scan. Dibandingkan sebelumnya,
6

hasil radioterapi dengan bantuan CT scan jelas lebih baik karena lokasi
dan perluasan tumor akan tampak dalam 2 dimensi sehingga
radioterapi yang diberikan lebih terarah. Terapi radiasi dengan
bantuan CT scan (2 dimensi) ini disebut 2 dimensional radiation
therapy (2 DRT).
b. Dosis radiasi
Dosis radiasi yang dibutuhkan untuk eradikasi tumor tergantung
dari banyaknya sel kanker (besarnya tumor). Tumor dengan diameter
10
3 cm (10 sel) membutuhkan dosis radiasi yang lebih banyak
9
dibandingkan tumor yang diameteraya 1 cm (10 sel). Atas dasar
pertimbangan ini maka untuk KNF stadium loko-regional lanjut
diberikan radiasi dengan dosis yang lebih besar daripada KNF stadium
dini. Secara konvensional untuk KNF stadium dini (T1, T2) diberikan
radiasi dengan dosis 200 - 220 cGy per fraksi, diberikan 5 kali dalam
seminggu tanpa istirahat sampai mencapai dosis total 6000 - 7000
cGy dalam 6 minggu. Sedangkan untuk KNF dengan ukuran tumor
yang lebih besar (T3 dan T4) diberikan dosis total radiasi pada tumor
primer di nasofaring yang lebih tinggi yaitu 7000 - 7500 cGy (Bedwinek,
1980). Bila tidak didapatkan metastasis di KGB leher (N0) diberikan
radiasi profilaktik dengan dosis sekitar 4000 - 5000 cGy dalam empat
atau empat setengah minggu, sedangkan bila ada pembesaran KGB
di leher diberikan radiasi yang dosisnya sama dengan tumor
primeraya (6000-7500 cGy). Setelah menjalani radiasi eksternal dosis
total, dilakukan evaluasi dengan CT scan. Bila masih didapatkan
residu tumor di nasofaring saja, penderita di istirahatkan sekitar 1-2
minggu kemudian diberikan radiasi tambahan dengan area diperkecil
hanya pada tumornya saja sebesar 1000 -1500 cGy sehingga mencapai
dosis total sebesar 7500-8000 cGy (Djakaria, 1989; Sham, 1989; Wang,
1989; Susworo, 1990; Fu 1991), atau brakhiterapi dengan fraksi 3 x (2
x 300) cGy yang diberikan pagi dan sore dengan jarak 6 jam.
7

c. Respon tumor terhadap radiasi


Respon tumor terhadap radioterapi yang diberikan bervariasi, ratarata respon secara keseluruhan (overall response rate / ORR) sekitar
25% - 65%. Respon KNF terhadap radioterapi yang berupa respon
lengkap (RL) dilaporkan sebesar 43% - 65%, respon sebagian (RS) 24% 30%, tak ada respon (TR) 3,5% - 20% dan tumor makin progresif (P)
sebesar 0 - 15% (Ho, 1980; Sham, 1989; Bailet, 1992; Neel, 1993).
Respon radioterapi untuk KNF stadium dini sangat baik yaitu complete
local clearence (RL) untuk T1 sebesar 96% dan T2 sebesar 88% (Ali
dan Al Sarraf, 1999). Pada KNF stadium lanjut, kegagalan
radioterapi dalam memberantas sel kanker secara lokal maupun regional
(loco-regional failure) sangat tinggi yaitu sekitar 40% - 80% (Sham,
1989; Sarraf, 1990; Ali dan Al Sarraf, 1999). Lin (1999) berdasarkan
penelitiannya di Hongkong mendapatkan 7 (70%) diantara 10 penderita
KNF stadium lanjut, tidak dapat disembuhkan dengan pemberian
radioterapi konvensional dosis tinggi (7000-7400 cGy). Penelitian
Affandi (1992) di RS Hasan Sadikin Bandung (Indonesia)
mendapatkan hasil radioterapi pada KNF sebagai berikut: 1) untuk
tumor primer (T) diperoleh RL sebesar 65,9%, RS 30,6%, TR 3,5% dan P
sebesar 0%. Sedangkan 2) untuk tumor metastasisnya di leher (N)
diperoleh hasil RL sebesar 75%, RS 25% dan TR maupun P sebesar
0%. Sedangkan Diran (1992) berdasarican penelitiannya di RSUD Dr
Soetomo Surabaya selama periode 1988 - 1989, mendapatkan hasil RL
sebesar 43%, RS 24%, TR 33% dan P sebesar 0%. Menurut Sham (1989)
dan Ali (1999) kegagalan radioterapi dalam membunuh sel kanker
baik yang ada di nasofaring maupun metastasisnya di leher
(locoregional failure) pada KNF stadium lanjut sekitar 50% - 80%.

d. Ketahanan hidup
8

Angka ketahanan hidup 5 tahun (5 yar) pasca radioterapi


konvensional untuk KNF stadium dini (I, II) cukup tinggi yaitu 76%
(Hoppe, 1976). Sedangkan untuk KNF stadium lanjut loko-regional,
kurang dari 40% (Tan et al, 1997; Prasad, 2000). Berdasarkan laporan
dari 7 peneliti (1980-1988) melibatkan 5497 penderita KNF (semua
stadium) yang mendapat radioterapi, didapatkan angka ketahanan
hidup 5 tahun sekitar 32% - 62% (dikutip Ali dan Al Syarraf, 1999). Hasil
radioterapi KNF akan buruk bila tumor primernya besar, infiltratif atau
ulseratif, perluasan ke intra kranial, tumor leher yang besar dan
metastase jauh. Dari 1555 penderita KNF yang mendapat radioterapi,
Hsu (1982) di Cina mendapatkan angka ketahanan hidup 5 tahun untuk
T1 sebesar 73%, T2 : 60%, T3 : 41% dan T4 : 15%; sedangkan angka
ketahanan hidup 5 tahun untuk N0 sebesar 61%, N1 : 48%, N2 : 36%
dan N3 : 12%. Dilaporkan juga angka ketahanan hidup untuk 1, 2, 5
dan 10 tahun sebesar 82,7%, 67,4%, 47,8% dan 39,8%. Angka
ketahanan hidup 5 tahun rerata untuk KNF berkisar antara 24% - 58%.
(Baker, 1980; Hsu, 1982; Fu, 1991;Maale, 1996). Penelitian KNF di
Indonesia yang dilakukan oleh Soetjipto (1989) di RSCM Jakarta,
mendapatkan separoh (50%) dari penderita KNF stadium lanjut yang
ditelitinya meninggal dalam tahun pertama setelah terapi radiasi.
Sedangkan Susworo (1990) yang meneliti hasil pengobatan radiasi pada
KNF selama 1 tahun di tempat yang sama mendapatkan angka
ketahanan hidup 1 tahun untuk stadium I sebesar 100%, stadium II :
86,73%, stadium III : 71,67% dan stadium IV : 41,60%.
Chew (1987) mendapatkan angka rerata ketahanan hidup 5 tahun
pada KNF yang mendapat terapi radiasi megavoltage berkisar antara
30 - 40%. Sedangkan Bailet (1992) mendapatkan angka ketahanan
hidup 5, 10 dan 15 tahun sebesar 58%, 47% dan 41%.

e. Metastasis jauh
9

Metastasis jauh merupakan indikator prognosis buruk, angka


bertahan hidup 1 tahun hanya sekitar 0 - 25%. Qin (1988) dan
Wolden (2001) berdasarkan penelitiannya mengatakan, kematian
penderita KNF terutama disebabkan oleh metastasis jauh yaitu sebesar
70%. Insiden metastasis jauh mempunyai korelasi yang bermakna
dengan besarnya tumor primer di nasofaring dan tumor metastasis di
leher. Metastasis jauh dapat terjadi sebelum dan setelah radioterapi.
Metastatic rate KNF sekitar 15% - 57%. Metastasis jauh diketemukan
pada 35% penderita pasca radioterapi dengan median interval
sekitar 0,9 tahun sejak diagnosis ditegakkan. Pasca radioterapi KNF
dengan T1 diketemukan metastasis jauh sebesar 31%, T2 : 34%, T3 : 38%
dan T4 sebesar 60%. Bila berdasarkan ukuran besarnya di leher maka
pasca radioterapi penderita KNF dengan N0 diketemukan metastasis
jauh sebesar 16%, N1 28%, N2 37% dan N3 sebesar 57% (Wee et al,
1997). Dari 3 seri publikasi berdasarkan hasil otopsi penderita KNF yang
meninggal, diketemukan insiden metastasis jauh sebesar 87%. Penderita
dengan N3, 40% sudah mengalami metastasis jauh yang asymptomatic.
Sebagian besar (78%) dari metastasis jauh ditegakkan setelah 18 bulan
munculnya gejala pertama (Tan et al, 1997). Menurut Brennan (2003),
radioterapi tidak dapat mencegah metastasis jauh.
Metastasis jauh biasanya didahului oleh kekambuhan di
nasofaring atau di leher. Huang (1996) berdasarkan penelitian di
Chang Gung Memorial Hospital, Kaohsiung (China) melaporkan
sebanyak 126 (20,03%) penderita diantara 629 penderita KNF yang
ditelitinya didapatkan metastasis jauh. Metastasis jauh tersering ke
tulang (75%), disusul kemudian ke paru (46%), hati (38%), kelenjar
getah bening retroperitoneal (10%). Sering terjadi metastasis multiple
organ yaitu sekitar 57%. Sebagian besar (95%) metastasis jauh
diketemukan pada 3 tahun pertama setelah terapi radiasi, tahun
pertama sebesar 52%, tahun kedua 23% dan tahun ketiga 23%.
Metastasis ke tulang dilaporkan median survival rate sebesar 11,2
10

bulan, metastasis paru 16,3 bulan sedang metastasis ke hati hanya 3,2
bulan.
Lokasi tumor metastasis di leher berhubungan secara bermakna
dengan survival. Penderita KNF dengan metastasis tumor di leher
bilateral mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan metastasis
unilateral (Baker, 1982). Sedangkan metastasis di kelenjar leher bagian
bawah (supra klavikular) biasanya prognosis lebih buruk dibandingkan
metastasis tumor yang terletak di leher bagian atas (Koukourakis,
1996).
f.

Kekambuhan tumor
Angka rekurensi tumor setelah 5 tahun mendapat radioterapi
sekitar 19% - 56% (To et al, 2002). Beberapa peneliti melaporkan
angka kekambuhan tumor pasca radioterapi konvensional sekitar 50%.
Rekurensi dapat terjadi di nasofaring, kelenjar leher atau keduanya.
Kemungkinan kambuh akan besar bila dosis tumor kurang dari 6000 6500 cGy yang diberikan dalam enam sampai enam setengah minggu
(Pang, 1965). Menurut Wang (1966) dosis optimal adalah 7000 cGy
yang diberikan dalam 7 minggu. Menurut Bedwinek (1983), bila tidak
dijumpai pembesaran KGB leher (N0), biasanya tidak menunjukkan
kekambuhan setelah radioterapi. Kelenjar getah bening leher dengan
ukuran kurang dari 3 cm mempunyai kemungkinan kambuh sebesar
4,3%, sedangkan bila ukurannya lebih dari 3 cm tetapi kurang dari 6
cm kemungkinan kambuh menjadi 35,1%. Kelenjar getah bening
dengan ukuran lebih dari 6 cm kemungkinan kambuh sebesar 55,5%.
Tumor kambuh biasanya lebih resisten. Median survival setelah
kambuhnya tumor primer di nasofaring sekitar 10 minggu (Sham,
1989). Sedangkan Wen yang dikutip oleh Neel (1993) mendapatkan
angka bertahan hidup 10 tahun sebesar 30,5% pada pengobatan
radiasi yang pertama kali, dan hanya 11,5% bila diberikan radiasi ulang
setelah mengalami kekambuhan.
11

PERKEMBANGAN TERKINI PENATALAKSANAAN KNF


Untuk mengobati penderita KNF sampai sekarang masih banyak
rumah sakit yang menggunakan pesawat teletherapy bertenaga tinggi yaitu
60
Telecobalt (Cobalt ) dan Linac (4 MV, 6 MV, 10 MV). Hanya sejumlah kecil
penderita (sangat selektif, atau untuk tujuan penelitian) mendapat terapi
tambahan berupa kemoterapi. Secara umum, pengobatan KNF dengan cam
seperti ini (radioterapi konvensional saja) hasilnya kurang memuaskan (buruk).
Ini ditunjukkan dari angka rerata respon tumor terhadap radiasi (ORR) yang
tidak terlalu tinggi yaitu sekitar 25%-65%, kegagalan kendali lokoregional (loco-regional failure) mencapai 40%-80%, metastasis jauh pasca
radioterapi sebesar 15%-57% dan angka ketahanan hidup 5 tahun yang
kurang dari 40%.
Sejak beberapa dekade terakhir ini telah terjadi kemajuan pesat di
berbagai bidang, termasuk bidang teknologi radiologi. Saat ini, penanganan
kanker di beberapa negara maju telah mulai menggunakan berbagai
peralatan, metode dan alat bantu radiasi yang mutakhir antara lain pesawat
dengan sumber radiasi berupa heavy particle (misalnya proton, neutron,
phimeson), pesawat Linac generasi baru, peralatan semi computerized,
multi leaf colimator dan peralatan penunjangnya berupa mould room,
simulator dan 3-D computerized treatment planning system
(Weichselbaum, 1983; Parsons, 1984; Hussey, 1993; Santos, 1995).
Perkembangan paling akhir yaitu diketemukannya teknologi radioterapi baru
yang disebut intensity modulated radiation therapy (Teo, 2003).
Perkembangan pesat juga terjadi di bidang kemoterapi kanker. Beberapa
obat sitostatika (terutama Cisplatin ) dilaporkan sangat efektif untuk terapi
adjuvan pada kanker kepala dan leher, termasuk KNF.
Akan dikemukakan perkembangan terkini penatalaksaan KNF, meliputi
berbagai upaya yang dilakukan para ahli untuk memperoleh hasil terapi yang
lebih baik. Seiring dengan kemajuan dibidang IPTEKDOK akhir-akhir ini, yang

12

didukung laporan hasil penelitian dari para ahli, saat ini telah
diketemukan beberapa cara meningkatkan tumour control pada
penderita KNF, yaitu: (Teo, 2003; Lee, 2003)
1. Radioterapi (2 DRT) dengan teknik pemberian radiasi yang dipercepat
(accelerated fr act ionation radiotherapy)
2. Dose escalation (mis. stereotactic radiotherapy boost,
intracavitary brachytherapy)
3. 3-dimensional radiation therapy (3 DRT) atau yang paling mutakhir
dengan Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT)
4. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi (2 DRT / 3 DRT/ IMRT)
5. Pembedahan tumor rekuren
1. Accelerated radiotherapy
Beberapa penelitian menunjukkan adanya percepatan sel
tumor dalam melakukan repopulasi setelah pemberian sejumlah
tertentu radiasi atau kemoterapi (Hussey, 1993). Fenomena ini
menunjukkan akibat yang timbul bila terjadi perpanjangan waktu
total radiasi, khususnya untuk sel tumor dengan aktifitas proliferasi
yang tinggi. Repopulasi kanker pasca radioterapi merupakan problem
serius dan tanda kurang baik karena menunjukkan pertumbuhan
kanker yang progresif. Demikian juga untuk tumor yang kambuh
(rekuren), karena biasanya respons terhadap radiasi lebih rendah
dibandingkan sebelum tumor tersebut mendapat pengobatan radiasi.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa repopulasi kanker
dapat dicegah atau diatasi dengan pemberian radioterapi yang lebih
agresif yang disebut accelerated fractionated radiotherapy. Radiasi
dengan cara ini diberikan dengan dosis 300 cGy atau lebih per fraksi, 5
kali / minggu sehingga didapat hari pengobatan yang singkat (3-4
minggu). Teknik lainnya yaitu accelarated hyperfractionated
radiotherapy. Disini diberikan radiasi dosis 160-180 cGy per fraksi, 2
kali sehari sehingga hari pengobatan menjadi lebih pendek lagi.
13

2.
14

Meskipun teknik ini cukup efektif mencegah repopulasi tumor,


dilaporkan terjadinya peningkatan efek samping radiasi (Wang, 1989;
Hussey, 1993; Teo, 1996). Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa respon tumor yang diperoleh pada radiasi yang dipercepat
(accelerated radiotherapy) lebih tinggi dibandingkan radioterapi
konvensional. Menurut Ali dan Al Sarraf (1999), Teo (2003) dan Lee
(2003) pemberian radioterapi (2 DRT) dengan cara accelerated
radiotherapy atau accelarated hyperfractionated radiotherapy dapat
meningkatkan kendali lokal (tumour control) pada penderita KNF.
Pemberian radioterapi dengan teknik dipercepat yang
dikombinasi dengan kemoterapi dilaporkan dapat meningkatkan
respon sel tumor terhadap radiasi. Dragovic (1995) di Henry Fort
Hospital Detroit, melakukan pemberian accelerated radiotherapy yang
2
dikombinasi dengan kemoterapi (Cisplatin 60 mg / m dilanjutkan infiis
2
5-FU 750 mg / m per hari sesuai skedul) pada 34 kasus kanker kepalaleher (4 kasus diantaranya KNF) stadium lanjut. Sebanyak 27 kasus
(82%) didapatkan respons lengkap, acturial regional control pada 3
tahun didapatkan angka sebesar 73% tetapi acturial 3 year survival
probability hanya 38%.
Abithol (1997) di Sylvester Cancer Center Miami (1988-1995)
memberikan hyperfractionated radiotherapy yang dikombinasi dengan
5-FU, Cisplatin dan Mitomycin-C pada 70 kasus kanker kepala-leher
(12 kasus diantaranya adalah KNF) stadium lanjut lokal. Pada evaluasi
dengan median 41 bulan didapatkan locoregional control rate sebesar
68%.
Wolden et al (2001) berdasarkan hasil penelitiannya pada KNF
stadium lanjut mengatakan, radioterapi dipercepat yang diberikan
bersamaan dengan kemoterapi (accelerated concomitant boost
radiotherapy and chemotherapy) menggunakan cisplatin based
chemotherapy didapatkan kontrol loko-regional dan survival yang
lebih tinggi dibandingkan radioterapi standar saja.
Dose escalation

KNF termasuk tumor yang sangat radiosensitif dan biasanya memberi


gambaran jelas perluasan tumor primernya (CT scan). Pemberian
stereotactic radiotherapy boost dapat meningkatkan kontrol lokal,
misalnya untuk tumor di sinus kavernosus atau dasar tengkorak yang
biasanya sulit diatasi dengan radiasi eksterna konvensional. Pemberian
radioterapi dengan cara ini efektif dan sangat akurat karena dibantu
CT scan dan komputer canggih. Pemberian brakhiterapi intrakaviter
sangat baik untuk tumor yang letaknya disekitar nasofaring, dibagian
posterior kavum nasi dan dekat fisura pterigopalatina. Dengan cara ini
dapat diberikan radiasi pengion dosis tinggi, langsung pada tumor kecil
di nasofaring. Menurut Fong (1997) dan Teo (2003), brakhiterapi
terutama di indikasikan untuk non bulky primary recurrence (rT1, rT2).
Sejak tahun 1995, brakhiterapi intrakaviter diberikan dengan metode
high dose rate (HDR) afterloaded technique menggunakan cuff
endotracheal tubes (Fong, 1997). Pemberian radiasi dosis tinggi
dengan akurasi tinggi yang diberikan secara lokal langsung di (dekat)
tumornya, dilaporkan dapat meningkatkan kontrol lokal (Fong, 1997;
Tsao, 1997; Teo. 2003).
3.

3D Conformal Radiotherapy (3 DCRT) dan Intensity Modulated


Radiotherapy (IMRT)
Dengan diketemukannya CT scan generasi baru (tahun 1990-an)
yang dapat menunjukkan perluasan tumor secara teliti dalam 3
dimensi, alat ini digunakan dalam perencanan radioterapi yang disebut
3 Dimensional computerized treatment planning system. Pemberian
radioterapi pada KNF stadium dini dengan menggunakan 3
Dimensional Conformal Radiotherapy (3 DCRT) di HongKong
didapatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 80% (Chan, 2003).
Teo (2003) berdasarkan penelitiannya di kota yang sama (HongKong)
melaporkan, KNF dini (T1) yang di terapi dengan stereotactic

15

radiosurgery (SRS) diperoleh hasil yang sangat baik yaitu response rate
sebesar 96%. Disimpulkan, SRS secara signifikan dapat meningkatkan
kontrol lokal dibandingkan radioterapi konvensional. Kontrol lokal
dengan menggunakan 3 DRT lebih baik daripada 2 DRT (Teo, 2003).
Perkembangan terakhir dalam penatalaksanaan KNF yaitu pemberian
radioterapi yang disebut sebagat Intensity Modulated Radiotherapy
(IMRT). Menurut Teo (2003) radioterapi KNF dengan IMRT
memberikan hasil kontrol lokal yang lebih baik daripada 3 DCRT.
Sedangkan kontrol lokal menggunakan 3 DCRT lebih baik daripada 2
Dimensional Radiotherapy (2 DRT).
Pada 10th ASEAN ORL Head & Neck Surgery Congress di Brunei
Darussalam, Teo (2003) mengusulkan terapi KNF sebagai berikut:
a. T1, T2a, N0 diberikan IMRT brakhiterapi intrakaviter
b. T1, T2a, N1-N3 diberikan kemoterapi - IMRT (dilanjutkan dengan
kemoterapi adjuvan) brakhiterapi intrakaviter
c. T2b, T3, T4, N0-N3 diberikan kemoterapi-IMRT (dilanjutkan
dengan kemoterapi adjuvan) Stereotactic Radiosurgery /
Stereotactic RT boost.
4.

16

Kombinasi kemoterapi dengan radioterapi


Respons tumor terhadap radiasi umumnya meningkat bila
dikombinasi dengan kemoterapi seperti Cisplatin, 5-FU, Hydroxyurea
dan Mytomkin C (Zidan, 1986; Choksi, 1988; Isobe, 1988; Isobe,
1998; Al Sarraf, 1998; Rodriques, 1998; Hasbini, 1999). Respon
tumor terhadap kemoterapi kombinasi (multiple agents) lebih tinggi
daripada kemoterapi tunggal (single agent). Meskipun response rate
dilaporkan lebih meningkat, efek samping akibat pemberian multi
modalitas terapi kanker ini juga semakin berat (Hasbini, 1999).
Indikasi pemberian kemoterapi pada karsinoma nasofaring antara
lain stadium lanjut lokoregional, disertai atau dicurigai adanya
metastasis jauh, tumor persisten dan rekuren. Kemoterapi
biasanya diberikan pada kasus rekuren atau yang telah mengalami

metastasis jauh sebagai alteraatif terapi terakhir yang sudah diakui


sebagai indikasi standar.
Banyak macam regimen kemoterapi yang dapat digunakan untuk
mengobati tumor ganas didaerah kepala leher. Obat anti kanker yang
paling sering digunakan dan diteliti adalah kombinasi Cisplatin dan 5Fluorouracil. Pemberian kedua obat ini bersamaan denga radioterapi
pada KNF loko-regional lanjut didapatkan overall response rate
yang tinggi yaitu 80% - 93%, dan RL 54%, bahkan pada stadium
metastasis didapatkan ORR sebesar 30 - 35%. Kemoterapi
neoadjuvan (induksi) pada kasus keganasan kepala dan leher yang
baru dengan menggunakan kombinasi Cisplatin dan 5-FU
didapatkan average overall response 85% dan CR 35%, sedangkan
kombinasi Carboplatin dan 5-FU didapatkan 79% dan 28% (Forastiere,
1994). Meskipun response rate sedikit lebih rendah (tidak signifikan),
Carboplatin mempunyai beberapa kelebihan yaitu tidak perlu harus
masuk rumah sakit, mual-muntah derajat ringan dan efek samping
terhadap ginjal lebih kecil. Akhir-akhir ini di produksi obat sitostatika
baru seperti Paclitacel, Gemcitabine, Taxotere, Xeloda, Oxaliplatin
dan lainnya. Kombinasi beberapa obat sitostatika baru ini dengan
Cisplatin dilaporkan hasil yang lebih baik dan efek samping yang lebih
sedikit.
Beberapa sitostatika telah mendapat rekomendasi dari FDA
(Amerika) untuk digunakan pada keganasan didaerah kepala dan
leher termasuk karsinoma nasofaring yaitu Cisplatin, Carboplatin,
Methotrexate,
5-Fluorouracil,
Bleomycin,
Hydroxyurea,
Doxorubicin, Cyclophosphamide, Docetaxel, Mitomycin-C,
Vincristine dan Paclitaxel (Fisher et al, 1997).
Berikut ini beberapa contoh regimen kemoterapi (cisplatin base
chemotherapy) yang dapat digunakan untuk keganasan didaerah
kepala leher : ( Fisher et al, 1997)
a.

Bleomycin / Methotrexate / Cisplatin (BMC)


17

Bleomycin 10 units, IM, hari ke 1,8 dan 15.


MTX 40 mg/m2, IM, hari ke 1 dan 15.
Cisplatin 50 mg/m2 intravenous pada hari ke 4.
Diulang tiap 21 hari.
b. Cisplatin / Mcthotrexate / Blcoraycin / Vincristine (CMBV)
Cisplatin SO mg/m2, IV, hari ke 4.
MTX40 mg/m2, IV, hari 1 dan 15.
Bleomycin 10 units, IV hari ke 1, 6 dan 15.
Vincristine 2 mg, IV, hari 1, 8 dan 15.
Diulang tiap 3 minggu.
c. Carboplatine / Fluorouracil
Carboplatin 300 mg/m2, IV, hari ke 1.
5-Fluorouracil 1000 mg/m2/hari, diberikan melalui infus kontinu
sampai 96 jam
Diulang tiap 28 hari.
d. Cisplatin / Fluorouracil
Cisplatin 100 mg/m2, IV, hari ke 1.
5-FIuorouracil 1000 mg/m2 /hari, diberikan melalui infus kontinu
sampai 96 jam.
Diulang tiap 3 minggu.
e. Cisplatin / Fluorouracil / Bleomycin / Mcthotrexate (CFBM)
Cisplatin 80 mg/m2 yang diberikan melalui infus kontinu pada
hari ke 1. 5-Fluorouracil 1000 mg/m2 /hari, diberikan melalui
infus kontinu sampai 96 jam.
Bleomycyn 15 unit, IV, hari ke 1.
MTX 100 mg/m2, IV, diberikan pada hari ke 16.
Leucovorin 15 mg peroral tiap 6 jam yang diberikan scbanyak 6
kali, dimulai 24 jam setelah pemberian MTX.
Diulang tiap 3-4 minggu.
f. Cisplatin / Bleomycin / Fluorouracil (PBF) Cisplatin 100 mg/m2,
IV, hari ke 1.
Bleomycin 15 unit bolus IV hari ke 1, dan 16 unit/m2/hari melalui
18

infus kontinu yang diberikan pada hari ke 1 sampai hari ke 5.


5-Fluorouracil 650 mg/m2/hari, diberikan melalui infus kontinu
hari ke 1-5. Diberikan sebanyak 3 siklus dengan interval 1 bulan.
g. Paclitaxel / Cisplatin
Paclitaxel 200 mg/m2, diberikan IV lebih dari 3 jam pada hari ke
1.
Cisplatin 75 atau 100 mg/m2, diberikan IV lebih dari 1 jam pada
hari ke 1.
Untuk mencegah kemungkinan terjadinya neutropenia dan
neurotoksik, diberikan G-CSF 5 mg/kg, subkutan pada hari ke 4
sampai 12.
Diulang tiap 3 minggu.
h. Cisplatin / Fluorouracil / Lcucovorin (PFL)
Cispiatin 25 mg/m2/hari, IV kontinus, hari ke 1 sampai 5.
5-Fluorouracil 800 mg/m2/hari, IV kontinus, hari ke 2 - 6.
Leucovorin 500 mg/m2/hari, IV kontinus, hari ke 1 - 6.
Diulang tiap 28hari
i. Vinorelibine / Cisplatin
Cisplatin 80 mg/m2, IV, hari ke 1.
Vinorelbine 25 mg/m2, IV, hari ke 1 dan hari ke 8.
Cisplatin diberikan dalam waktu lebih dari 90 menit. Sebelum
penyuntikan Cisplatin dilakukan prehydration, posthydration dan
pemberian antiemetik.
j. Simultaneous Fluorouracil / Cisplatin / Radiation
5-FIuorouracil 1000 rag/m2/hari, diberikan melalui infus selama
96 jam.
Cisplatin 75 mg/m2, IV hari 1. Bersamaan dengan radiasi
sebanyak 3000 cGy dibagi dalam 15 fraksi antara hari 1 dan 19
sebagai bagian dari regimen ini
Diulang setiap 4 sampai 6 minggu.
Regimen kemoterapi lainnya adalah kombinasi Gemcitabine/Cisplatin.
Gemcitabine 800 mg/m2 diberikan hari 1, 8 dan 15. Sedangkan Cisplatin 50
19

mg/m2. diberikan hari 1 dan 8. Diulang tiap 28 hari (Hitt et al, 1998; Yeo
et al, 1998).
Pengobatan dengan cara memberikan kombinasi kemoterapi dan
radioterapi disebut integrated chemo-radio therapy. Berdasarkan saat
pemberiannya, kemoterapi adjuvan pada kanker dibagi menjadi a)
kemoterapi neoadjuvan atau induksi (neoadjuvant or induction
chemotherapy), b) kemoterapi konkuren atau konkomitan (concurrent,
simultaneous or concomitant chemoradiotherapy), dan c) kemoterapi
adjuvan (post definitive chemotherapy).
Menurut Aganvala (1999) semua kemoterapi yang diberikan untuk
menangani tumor lokoregional merupakan terapi adjuvan.
1.

20

Kemoterapi neoadjuvan
Kemoterapi neoadjuvan (induksi) pada KNF dimaksudkan untuk
mengurangi besarnya tumor sebelum radioterapi. Pemberian
kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed
tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor
masih optimal. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini
diharapkan dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal
mungkin. Beberapa studi pemberian kemoterapi neoadjuvan pada KNF
stadium lokoregional lanjut diperoleh hasil berupa objective response
rates (ORR) yang cukup tinggi. Kerugian kemoterapi neoadjuvan pada
KNF antara lain tumor dapat terus tumbuh makin membesar bila tidak
responsif terhadap kemoterapi yang diberikan, status performance
menurun akibat timbulnya efek samping (toksisitas) yang berat dan
tertundanya jadwal radioterapi. Pemberian kemoterapi adjuvan di
laporkan dapat meningkatkan respons rate, tetapi seringkali dijumpai efek
toksik (toksisitas) yang biasanya berat.
Dimery et al (1993) meneliti 47 penderita KNF (T1-4, N2-3, M0)
dengan memberikan kemoterapi neoadjuvan 3 siklus (5-FU 1000 mg /
m2 / hari melalui infus kontinyu hari ke 1-5) plus Cisplatin (100 mg /
m2 melalui infus kontinyu hari ke 1) dilanjutkan dengan radioterapi

konvensional. Didapatkan hasil berupa response rate untuk


kemoterapi sebesar 93,2% (RL: 20,5%; RS 72,7%). Respon lengkap
keseluruhan setelah radioterapi sebesar 86%. Angka ketahanan hidup
2, 4 dan 6 tahun sebesar 80%, 71,6% dan 67,4%. Failure rate 27%.
Xerostomia 100%, fibrosis kulit ringan 52% dan trismus 27%.
Disimpulkan, kemoteterapi induksi dengan cisplatin dan 5-FU
dilanjutkan dengan radioterapi dapat meningkatkkan kontrol lokal,
efek samping sering terjadi tetapi masih well tolerated.
International Nasopharynx Cancer Study Group (1996) melakukan
penelitian randomized comparative trial (Nopember 1989 - Oktober
1993) pada 339 penderita KNF stadium lokoregional lanjut. Kelompok I
(171 penderita) diberi kemoterapi neoadjuvan (Bleomycin 15 mg/body, IV,
hari ke 1 atau 12 mg/m2, IV kontinu/24 jam pada hari ke 1-5, Epirubicin 70
2
2
mg/m , IV, hari ke 1 dan Cisplatin 100 mg/m , IV, lebih dari 1 jam pada hari
ke 1) dan radioterapi. Kelompok II (168 penderita) diberi radioterapi saja.
Pemberian kemoterapi diulang tiap 3 minggu sebanyak 3 kali. Radioterapi
diberikan dengan dosis 2 Gy/hari, 5 hari per minggu, selama 6,6-7,5 minggu
dengan perincian: 65-70 Gy ditujukan pada tumor primer di nasofaring, 65
Gy pada tumor leher yang tampak dan 50 Gy pada daerah leher sekitarnya
serta kelenjar getah bening didaerah supraklavikular. Setelah pemberian
kemoterapi (171 penderita) didapatkan hasil CR 46,8% dan PR 43,9%
(response rate: 90,6%). Setelah selesai pengobatan pada kelompok I (171
penderita) didapatkan CR sebesar 55,0%, sedangkan pada kelompok II (168
penderita) didapatkan CR 33,9% (p<0,01). Median follow up selama 49
bulan (range 23-70 bulan) didapatkan disease free survival 4 tahun
kelompok I : 42 %, kelompok II: 29% (p< 0.01). Overall survival 4 tahun
untuk kelompok I : 50% dan kelompok II : 42% (p>0.01). Sekitar 55%
penderita dijumpai efek samping yang berat (mual, muntah dan
leukopeni) sehingga tidak dapat melanjutkan program terapi yang telah
dijadwal sebelumnya.
Hasil pengobatan dengan kemoterapi neoadjuvan yang kurang
memuaskan juga dilaporkan oleh Prasad (2003) berdasarkan penelitian
21

yang dilakukan di University of Malaya Medical Centre (UMMC) terhadap


86 penderita KNF stadium lokoregional lanjut. Didapatkan 46 penderita
(56,8%) meninggal, dengan 5
year overall survival sebesar 40%.
Overall response rate 87,6%, 10 penderita tak memberi respon terhadap
kemoterapi dan meninggal. Sebanyak 40 penderita (46,51%) mengalami
kekambuhan tumor, dengan perincian 24 penderita (60%) rekuren di
nasofaring atau leher, sedangkan 16 penderita (40%) lainnya dijumpai
metastasis jauh. Diantara 40 penderita yang mengalami kekambuhan tumor
pasca kemoterapi neoadjuvan, sebanyak 36 penderita (90%)
meninggal dengan median survival hanya 22 bulan (range 9-61 bulan).
th
Pada diskusi panel para pakar THT di Brunei Darussalam (10 ASEAN ORL
Head & Neck Surgery Congress), Prasad (2003) dan Lee (2003)
mengatakan pemberian kemoterapi neoadjuvan memang dapat
meningkatkan tumour control, tetapi tidak memberi keuntungan
survival secara signifikan, malahan timbul efek toksik yang berat
2. Kemo-radioterapi konkuren
Kemo-radioterapi konkuren (konkomitan) adalah pemberian
kemoterapi secara bersamaan dengan radioterapi. Dengan cara
ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap
kemoterapi dan mengubah sel kanker yang resisten menjadi lebih
sensitif terhadap radioterapi. Keuntungan kemoradioterapi konkuren
yang lain adalah keduanya bekerja sinergistik yaku mencegah resistensi,
membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat
recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. Kelemahan cara ini
adalah meningkatnya efek samping antara lain mukositis, leukopeni
dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan
penundaan sementara radioterapi. Toksisitas dapat begitu besar
sehingga berakibat fatal. Untuk mengurangi efek samping tersebut,
diberikan kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah
dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker
terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan
22

adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15% 47% (Khandekar, 1992). Cisplatin merusak DNA secara langsung (infra
strand cross link). Cisplatin bekerja sinergistik dengan radioterapi melalui
kemampuannya menghambat DNA repair pada sel kanker yang
menerima dosis sub lethal dari radiasi. Sedangkan 5-FU berikatan
dengan thymidine synthese sehingga menghambat sintesa DNA. Obat
ini sinergistik dalam membunuh sel kanker. Untuk meningkatkan
response rate, banyak peneliti memberikan kombinasi beberapa
sitostatika (multi drug) dengan dosis maksimal secara
berkesinambungan dengan radiasi. Tujuan yang hendak dicapai
sepenuhnya untuk mematikan tumor lokoregional maupun
metastasis sistemik. Efek samping dari multimodalitas terapi ini tentu
saja lebih hebat dari pada monomodalitas.
Kebanyakan peneliti mendapatkan hasil berupa peningkatan
kontrol tumor pada pengobatan KNF dengan kemo-radioterapi
konkuren (Zidan, 1986; Chatani, 1986; Souhami, 1988; Denic, 1996;
Yen, 1997; Al Syaraf, 1998; Isobe, 1998; Hasbini, 1999).
Zidan (1986) meneliti 15 penderita KNF stadium lanjut yang diberi
radioterapi (6000-7500 cGy) yang dikombinasi dengan kemoterapi
BMC yaitu Bleomycin (10 unit intramuskuler pada hari ke 1, 8 dan 15),
Methotrexate (40 mg/m2, IM, hari 1 dan 5) dan Cisplatin (50 mg/m2
per infus pada hari ke-4) yang di ulang tiap 21 hari. Didapatkan respons
lengkap (RL) sebesar 87%. Disimpulkan bahwa cara pengobatan
seperti ini sangat efektif untuk KNF.
Chatani (1986) berdasarkan penelitiannya mengatakan bahwa
pemberian terapi radiasi yang dikombinasi dengan kemoterapi pada KNF
stadium IV temyata sangat bermanfaat dalam mengurangi resiko metastasis
jauh (p<0.05). Kelompok yang mendapat terapi radiasi saja didapatkan
metastasis yang lebih tinggi (35%) dibandingkan kelompok yang mendapat
kombinasi terapi radiasi dan kemoterapi (14%).
Souhami (1988) berdasarkan penelitiannya pada penderita
KNF menyimpulkan bahwa meskipun kombinasi radioterapi (6000-7000
23

cGy) dan kemoterapi (Mitomycin C 10 mg/m2, 5-FU 750 mg/m2 dan MTX
30 mg/m2) dapat meningkatkan kontrol lokal, namun survival rate tidak
meningkat.
Denic (1996) berdasarkan hasil penelitiannya, mengusulkan 2
cara penatalaksanaan penderita karsinoma nasofaring stadium III dan IV
yaitu:
Cara 1 : Diberikan radioterapi dosis 7000 cGy dalam 35 fraksi
pemberian, selama 7 minggu. Selama terapi radiasi diberikan
Cisplatin 100 mg/m2 pada hari ke 1,22, dan 43. Setelah itu
diberikan kemoterapi sebanyak 3 siklus dengan interval 3
minggu terdiri dari Cisplatin 60 mg/m2 intravenous pada hari
ke 1, dan 5-Fluorouracil 1000 mg/m2/hari yang diberikan
perinfus secara intravena selama 4 hari (hari 1-4). Dilaporkan
hasil: 2 YSR sebesar 80%.
Cara 2 :
Diberikan Cisplatin 100 mg/m2, IV, hari ke 1. Lima (5)Fluorouracil 650 mg, IV kontinu pada hari ke 1-5. Bleomycin 15
mg, IV hari ke 1, dan 16 mg/m2 yang diberikan melalui
intravenous (IV) secara kontinu pada hari 1-5. Setelah
pemberian kemoterapi sebanyak 2 siklus, diberikan radioterapi
dosis 3500 cGy. Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian siklus
kemoterapi yang ketiga, kemudian radioterapi lagi dengan dosis
3500 cGy. Interval tiap siklus adalah 4 minggu. Dilaporkan hasil
sebagai berikut: Response Rate 83% (CR10%, PR 73%), setelah
pengobatan lengkap didapatkan No Evidence of Disease (NED)
sebesar 50%.
Yen (1997) di Taiwan berdasarkan penelitiannya mengatakan
bahwa pengobatan KNF stadium lanjut dengan menggunakan kombinasi
kemoterapi dan radioterapi dapat meningkatkan angka bertahan hidup 5
tahun dari sekitar 32% -56% menjadi 71%.
Al Sarraf (1998) di Amerika yang melakukan penelitian pada 147
pasien KNF stadium lanjut, sebanyak 69 pasien diberikan radioterapi saja dan
78 pasien lainnya diberikan chemoradiotherapy. Radioterapi diberikan
24

pada kedua kelompok dengan dosis total 70 Gy, sedangkan kelompok


chemoradiotherapy diberikan Cisplatin 100 mg/m2 pada hari 1, 22 dan 43
selama radiasi dan pasca radiasi diberikan Cisplatin 80 mg/m2 pada hari ke
satu dan Fluorouracil 1000 mg/m2/hari pada hari ke 1-4 yang diberikan tiap
4 minggu sampai 3 seri. Three year progressoin free survival rate pada
kelompok radioterapi didapatkan angka sebesar 24%, sedangkan kelompok
kemoradioterapi 69%. Jumlah penderita yang bertahan hidup 3 tahun
untuk kelompok radioterapl sebesar 47%, sedang kelompok
kemoradtoterapi sebesar 78%.
Isobe (1998) di Departemen Radiologi Chiba University Hospital
dan Keio University Hospital (Jepang) periode tahun 1980 - 1993. Dari
129 kasus KNF stadium lanjut yang ditelitinya, sebanyak 44 pasien
mendapat radioterapi dan Cisplatin (cis-diamino dichloro platinum /
CDDP) atau Carboplatin sebagai based chemotherapy, 58 pasien
mendapat radioterapi dan Adriamycin (ADM) dan / atau 5Fluorouracil sebagai based chemotherapy, dan 27 pasien lainnya
hanya mendapat radioterapi saja. Radioterapi diberikan pada regio
nasofaring dengan dosis 64 Gy sedangkan pada tumor metastasis di
leher diberikan dosis 64 Gy. Diperoleh hasil angka ketahanan hidup 5
tahun untuk kelompok Rx+CDDP sebesar 61%, kelompok Rx+ADM / 5FU 47%, sedangkan kelompok radioterapi saja sebesar 42%. Insidens
kumulatif kontrol lokal (local control) pada kelompok Rx+CDDP
sebesar 77%, Rx+ADM/5-FU 49%, sedang kelompok radiasi saja 53%.
Insiden metastasis untuk kelompok Rx+CDDP didapatkan angka
sebesar 54%, Rx+ADM/5-FU 24% dan radioterapi hanya 22%.
Disimpulkan pemberian CDDP dapat meningkatkan kontrol lokoregional secara bermakna, tetapi tidak dapat mencegah metastasis
jauh.
Al Sarraf et al (1998) melakukan studi random untuk mengetahui
overall survival setelah mendapat kemo-radioterapi konkuren
(Cisplatin 100 mg / m2 pada hari ke 1,22 dan 43 selama radioterapi)
dibandingkan dengan radioterapi konvensional saja (180-200 cGy /
25

hari per fraksi, sebanyak 35-39 fraksi sampai dosis total 7000 cGy).
Pada kelompok kemo-radioterapi konkuren didapatkan 3 year overall
survival yang lebih tinggi yaitu sebesar 76 %. Sembilan belas
penderita diantara 78 penderita KNF yang diteliti tidak dapat
melanjutkan program terapi selanjutnya. Empat puluh tiga penderita
(55%) dijumpai toksisitas grade III dan 20,5% grade IV.
Hasbini (1999) di Perancis yang melakukan penelitian pada KNF
rekuren dan metastasis karsinoma tanpa diferensiasi dengan
memberikan regimen FMEP yaitu 5 FU dosis 800 mg/m2/hari per infus
hari ke 1-4 yang di kombinasi dengan Epirubicin 70 mg/m2, Mitomycin
10 mg/m2 dan Cisplatin 100 mg/m2 pada hari 1 yang di ulang tiap 4
minggu sampai 6 siklus. Dari 44 pasien yang diteliti didapatkan
sebanyak 23 pasien (52%) menunjukkan respons yang terdiri dari
respons lengkap 6 kasus (13%) dan respons sebagian 17 kasus (38%).
Evaluasi yang dilakukan pada median 87 bulan (range 71-100 bulan)
didapatkan 5 pasien tetap hidup dengan respons lengkap. Meskipun
diperoleh hasil yang cukup baik, namun diketemukan efek samping
yang tinggi yaitu neutropenia derajat 3-4 sebanyak 89%, febrile
neutropenia 36%, trombositopenia 61%, anemia derajat 3 sebanyak
78% dan mukositis 32%. Diantara 4 pasien (9%) yang meninggal, 3
pasien dihubungkan dengan terjadinya neutropeni dan 1 pasien karena
efek toksik pada jantung.
Kuratomi (1999) di Jepang memberikan FAR (5 FU, vitamin A
dan radioterapi) yang dikombinasi dengan Cisplatin dan Peplomycin pada
penderita KNF. Didapatkan peningkatan respon tumor, tetapi angka
ketahanan hidup secara seluruhan (overall survival rates) tidak
meningkat.
Srimuninnimit di Thailand melakukan penelitian yang
hasilnya dipresentasikan pada Oncology Regional Medical Conference
di Singapore tahun 2000.
Sebanyak 8 penderita KNF diberi
Gemcitabine (Gemzar) 1250 mg/m2, hari ke 1 dan 8 yang
dikombinasi dengan Cisplatin 80 mg/m2 pada hari ke 1 (diulang tiap 3
26

minggu, sebanyak 6 siklus). Didapatkan respon parsial (PR) sebesar


100 %.
Ngan et al di Hongkong (Cina) melakukan penelitian yang
hasilnya dipresentasikan pada Oncology Regional Medical Conference
di Kinibalu tahun 2001.
Sebanyak 23 penderita karsinoma
nasofaring dengan metastasis atau KNF yang kambuh (recurrence) diberi
Gemcitabine 1000 mg/m2 pada hari ke 1, 8 dan 15 yang dikombinasi
dengan Cisplatin S0 mg/m2 pada hari ke 1 dan 8 (diulang tiap 4
minggu, sebanyak 3 siklus). Didapatkan overall response rate sebesar
74% dengan perincian CR 21,74%, PR 52,17% dan NR 26,1%. Angka
ketahanan hidup 1 tahun secara keseluruhan 60% dan progression free
survival 36%.
Prasad (2003) di Malaysia melaporkan hasil studi dari 19
penderita KNF yang diberi Cisplatin dosis rendah (10 mg/m2/hari ) hari
ke 1-5; dan 5-FU 500 mg/m2/hari untuk 5 hari selama minggu
pertama dan kelima dari radioterapi. Diperoleh hasil 3 year overall
survival 89,5%. Sebanyak 55% penderita didapatkan efek toksik yang
berat yaitu leukopeni grade III dan mukositis.
th
Pada diskusi panel para pakar THT di Brunei Darussalam (10 ASEAN
ORL Head & Neck Surgery Congress), Teo (2003) mengatakan kemoradioterapi konkuren untuk pengobatan KNF stadium Ioko-regional
lanjut diperoleh hasil yang cukup baik, oleh karena dapat menurunkan
insiden metastasis jauh sehingga survival meningkat. Chan (2003)
ditempat yang sama mengatakan, kemo-radioterapi konkuren
secara signifikan meningkatkan kendali lokal (tumour control) dan
survival penderita KNF stadium lanjut Ioko-regional, tetapi memang
sering terjadi efek toksik yang biasanya berat. Kesimpulan ini disetujui oleh
Prasad (2003).
3. Kemoterapi adjuvant
Kemoterapi yang diberikan pasca terapi defmitif terutama dimaksudkan
untuk meningkatkan kontrol lokoregional, memberantas tumor residu
27

dan eradikasi metastasis jauh. Kerugian cara ini, kondisi umum yang
sudah menurun dan vascular bed yang buruk menyebabkan obat
tidak dapat maksimal mencapai daerah tumor (Needleman, 1982;
Tobias, 1992; Vokes, 1993).
Sugiarto (1994) berdasarkan penelitian pada 31 pasien KNF di RS Adi
Husada Surabaya mengatakan, kelompok yang mendapat radioterapi
dosis 6000-7000 cGy (13 pasien) didapatkan respon lengkap 61% dan
respons sebagian 39%. Sedangkan kelompok lainnya (18 pasien) yang
mendapat kemoterapi adjuvan (MTX 50 mg dan 5-FU 500 mg per infus
hari 1 - 4, diulang tiap 4 minggu sampai 6 seri) didapatkan RL sebesar
82% dan RS sebesar 18%.
Al Sarraf et al (1998) melakukan studi fase II secara random untuk
mengetahui overall survival setelah mendapat kemoterapi adjuvan.
Diberikan 3 siklus 5-FU (1000 mg / m2 hari ke 1-4 ) dikombinasi
dengan Cisplatin (100 mg / m2 pada hari ke 5) setelah menjalani
radioterapi radikal konvensional (70 Gy, 2 Gy / hari, 5 hari / minggu,
selama lebih dari 7 minggu). Dari 72 penderita KNF loko-regional
yang ikut penelitian ini, sebanyak 56 penderita dapat dievaluasi sampai
minimal 3 tahun. Didapatkan 17 penderita meninggal dunia. Five year
overall survival sebesar 78%. Dijumpai toksisitas grade II: 48% dan
grade III hanya 5%. Tidak dijumpai toksisitas grade IV.
Prasad (2003) mengatakan, kemoterapi adjuvan secara nyata
meningkatkan longterm overall survival, toksisitas yang terjadi masih
tolerable. Pemberian kemoterapi adjuvan merupakan pilihan terbaik
untuk terapi KNF loko-regional lanjut.
"The Head and Neck Intergroup Trial INT 00999" di Amerika
melakukan penelitian dengan cara memberikan kemo-radioterapi
dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvan pada penderita KNF.
Sebanyak 193 penderita diberi radioterapi standar (1,8 - 2 Gy / hari
per fraksi, 5 hari seminggu, total dose 70 Gy). Sekelompok penderita
secara random diberikan Cisplatin 100 mg / m2 pada hari ke 1, 22 dan
43 selama radioterapi, dilanjutkan dengan 3 siklus kemoterapi
28

adjuvan menggunakan Cisplatin 80 mg / m2 pada hari ke 1, dan 5-FU


1000 mg / m2 diberikan secara infus kontinu hari ke 1-4 tiap 4 minggu.
Dari 185 penderita yang dapat dievaluasi didapatkan 3 year survival
untuk kelompok yang mendapat radioterapi sebesar 47%, sedangkan
kelompok yang mendapat kemo-radioterapi yang dilanjutkan
dengan kemoterapi adjuvan sebesar 76% (p<0.001).
Disimpulkan, pemberian kemo-radioterapi konkuren yang kemudian
dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvan dapat meningkatkan survival
secara bermagna. Cara pengobatan KNF seperti ini disarankan untuk
digunakan sebagai terapi standar KNF (Agarwala, 1999).
Protokol penatalaksanaan KNF
Protokol penanganan KNF yang diajukan oleh Brennan (2003) sebagai
berikut:
Stadium I

Stadium Il :

Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring


dan radiasi profilaktik di daerah leher
1. Kemo-radioterapi, atau
2. Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring
dan radiasi profilaktik di leher

Stadium III:

1. Kemo-radioterapi, atau
2. Radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi
ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan kelenjar
leher bilateral (bila ada)
3. Diseksi leher mungkin dapat dikerjakan misalnya pada
tumor leher persisten atau rekuren asalkan tumor
primer di nasofaring sudah terkontrol.

Stadium IV :

1. Kemo-radioterapi, atau
2. Radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi
ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan kelenjar

29

leher bilateral (klinis positip)


3. Diseksi leher dapat dikerjakan bila tumor leher persisten
atau rekuren asalkan tumor primer di nasofaring sudah
terkontrol.
4. Kemoterapi untuk KNF stadium IV C
th

Pada diskusi panel para pakar THT-KL di Brunei Darussalam (10


ASEAN ORL Head & Neck Surgery Congress) terjadi perdebatan seru
mengenai cara terbaik menangani KNF loko-regional lanjut Menurut
Chan (2003) dari HongKong, yang terbaik adalah kemo-radioterapi
konkuren. Menurut Prasad ((2003) dari Malaysia yang terbaik adalah
radioterapi yang dilanjutkan dengan kemoterapi adiuvan. Sedangkan
menurut Lee (2003) dan Teo (2003) dari HongKong yang terbaik adalah
kemo-radioterapi konkuren yang kemudian dilanjutkan dengan
kemoterapi adjuvan. Mengenai kemoterapi yang digunakan telah
disepakati sebaiknya menggunakan kombinasi Cisplatin dan 5Fluorouracil. Dianjurkan radioterapi menggunakan pesawat radioterapi
generasi paling baru. Menurut Teo (2003) radioterapi KNF yang paling baik
dengan IMRT, disusul kemudian 3 DRT lalu 2 DRT.
Pembedahan

Beberapa peneliti melaporkan melakukan nasofaringektomi pada


penderita KNF. To et al (2002) melakukan nasofaringektomi pada 31 kasus
KNF rekuren dengan perincian T1 : 7 penderita, T2 : 13 penderita, T3 : 2
penderita dan T4: 9 penderita. Didapatkan 2.4 year disease free survival
rate sebesar 58%. Beberapa peneliti lain mendapatkan 5 year disease free
survival rate sekitar 42%-44% (dikutip To et al, 2002)
Menurut Wei (2003) nasofaringektomi terutama di indikasikan
untuk KNF stadium dini yang persisten atau mengalami kekambuhan
(rekuren) setelah menjalani radioterapi dosis lengkap. Untuk menangani
30

tumor kecil di nasofaring, Wei (2003) melakukan pemasangan (implant)


radioactive gold grains langsung di tumornya melalui pendekatan palatum
(split palate approach). Dari 109 penderita yang dilakukan penanganan
seperti ini didapatkan 5-year acturial local control sebesar 85% untuk
tumor persisten, dan 63% untuk tumor rekuren. Bila tumor rekuren di
nasofaring meluas keparanasopharyngeal space atau bila pemasangan gold
grains sulit dilakukan, maka sebaiknya dilakukan operasi. Sejak tahun 19892002, dilakukan nasofaringektomi dengan pendekatan antero-laterai
(maxillary swing approach) terhadap 109 penderita. Curative resection
didapatkan pada 75% penderita. Dengan median follow up 34 bulan,
didapatkan 5-year acturial local control sebesar 62%, dan 5-year survival
rate sebesar 49%. Komplikasi yang sering dijumpai yaitu trismus (80%) dan
fistula palatum (25%). Dikatakan, nasofaringektomi dengan pendekatan
anterolateral secara teknis tidak terlalu sulit dan morbiditas akibat operasi
masih dapat diterima (acceptable).
Akhir-akhir ini mulai dikembangkan pengangkatan tumor
nasofaring dengan menggunakan skalpel dan diatermi melalui
pendekatan endoskopik. Kelemahan nasofaringektomi endoskopik antara
lain visual field yang sempit, sulit mengatasi perdarahan profus dan sulit
memperoleh daerah bebas tumor (free margin) terutama dibagian lateral
(oleh karena dekat A. Karotis Interna). Untuk meningkatkan keamanan dari
nasofaringektomi,
pembedahan
sebaiknya
dilakukan
dengan
menggunakan image guidance system atau teknologi stereotactic
navigation guidance (To et al, 2002). Pembedahan berupa diseksi leher
radikal (RND) dapat dilakukan bila dijumpai tumor persisten atau rekurensi di
kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor primer di nasofaring sudah
terkontrol (Brennen, 2002). Menurut Chew (1997) survival penderita yang
dilakukan RND lebih tinggi (40%-80%) daripada penderita yang tidak
dilakukan RND (19%-28%).

RINGKASAN
31

Hasil radioterapi KNF secara konvensional (2 DRT) belum


memuaskan, ditandai dengan kegagalan kendali lokal yang tinggi, insiden
metastasis jauh pasca radioterapi yang juga tinggi dan survival yang
rendah. Telah diketemukan beberapa cara meningkatkan tumour control
dan survival penderita KNF loko-regional lanjut yaitu memberikan
radioterapi yang dipercepat (accelerated fractionation radiotherapy),
meningkatkan dosis radiasi secara lokal dengan cara stereotactic
radiotherapy / surgery atau brakhi terapi intrakaviter (high dose rate
afterloaded technique menggunakan cuff endotracheal tubes), radiasi
dengan 3 dimensional radiotherapy (3 DRT) atau lebih baik lagi (mutakhir)
dengan intensity modulated radiation therapy (IMRT) dan kombinasi
radioterapi dengan kemoterapi (integrated chemo-radio-therapy).
Integrated chemo-radiotherapy yang diberikan dapat berupa
kemo-radioterapi konkuren yang kemudian dilanjutkan dengan
kemoterapi adjuvan, atau radioterapi yang kemudian dilanjutkan dengan
kemoterapi adjuvan. Meskipun beberapa sitostatika generasi baru (Paclitaxel,
Gemcitabine) dilaporkan hasil berupa overall response rate yang lebih tinggi,
para ahli masih sering menggunakan cisplatin based chemotherapy terutama
kombinasi Cisplatin dan 5-Fluorouracil untuk mengobati penderita KNF
stadium loko-regional lanjut.
Nasofaringektomi dan RND merupakan salah satu alternatif
menangani tumor persisten atau rekuren di nasofaring atau kelenjar leher,
selain re-radiasi brakhiterapi atau kemo-radioterapi. Hasil operasi
nasofaringektomi dengan pendekatan anterolateral (maxillary swing
approach) dilaporkan cukup baik. Akhir-akhir ini dikembangkan
nasofaringektomi endoskopik. Operasi nasofaringektomi atau anterior skull
base surgery lainnya akan semakin (relatif) aman apabila menggunakan
image guidance system.

DAFTAR PUSTAKA
32

1.

2.

3.

4.

5.

6.
7.

8.

9.

Abithol A A, Sridhar KS, Lewin AA, Schwade JG, Raub W, Wolfson A,


Angulo AD, Goodwin WJ, Markoe AM, 1995. Hyperfractionated
Radiation Therapy and 5-Fluorouracil, Cisplatin, and Mitomycin C (
Granulocyte-Colony Stimulating Factor) in the Treatment of Patients
with Locally Advanced Head and Neck Carcinoma. American Cancer
Society, 266 275
Affandi Y, 1992. Evaluasi Hasil Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring di
Lab/UPF THT FK UNPAD/RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung (periode 1 Jan.
1986 sampai dengan 31 Des. 1989). ORLI, vol. 23, No.3, 113-124
Agarwala SS, 1999. Adjuvant Chemotherapy in Head and Neck Cancer,
Hematology / oncology Clinics of North America, Vol: 13. No. 4
(Augustus)
Al Sarraf M, Pajak TF, Cooper YS, Mahiuddin M, 1990. Chemoradiotherapy in patient with Locally Advanced Nasopharyngeal
Carcinoma: A Radiation Therapy Oncology Group Study. Journ. of Clin.
Oncology. Vol 8, 1342-1350
Al Sarraf M, leBlanc M, Giri PG, Fu KK, Cooper J, Forastiere AA, Adams G,
Schuller DE, Ensley JF, 1998. Chemoradiotherapy versus radiotherapy
in patients with advanced nasopharyngeal cancer: phase III randomized
intergroup study 0099. J Clin Oncol, Apr; 16(4) : 1310-1317
Ali Haythem and Al Sarraf, 1999. Nasopharyngeal carcinoma.
Hematology/Oncol-ogy clinics of North America, Vol. 13, No. 4, August
Bailet JW, Mark Rj, Abemayor E, Lee SP, Tran LM, Juillard G, Ward
PH., 1992. Nasopharyngeal Carcinoma: Treatment Result with Primary
Radiation therapy. Laryngoscope 102:965-972
Bedwinek JM, Perez CA, Keys DJ, 1980. Analysis of Failures after
definitive irradiation for Epidermoid Carcinoma of the Nasopharynx.
Cancer, 45 : 2725-2729
Brennan B, 2003. "Guidelines for investigations and management of
nasoparyngeal carcinoma", a publication from The United Kingdom
Childrens Cancer Study Group. http:/www.ukccsg.org/
33

10. Chan A TC, 2003. Advances in multimodality management in


th
nasopharyngeal carcinoma. Presented in : 10 ASEAN ORL Head &
Neck Surgery Congress, Brunei Darussalam, 2003, abstract
11. Chew CT, 1987. Nasopharynx (the postnasal space). In (ScottBrown's). Otolaryn-gology. Butterworth, 5th Ed., Vol.4 Rhinology, 312330
12. Chew CT, Kaur A, 1997. Surgery of NPC. In: Nasopharyngeal
carcinoma. Edited by : Chong VFH, Tsao SY. Singapore: Loi Printing Pte
Ltd, 139-149
13. Choksi AJ, Hong WK, Dimery IW, Guillamondegui OM, Byers RM., 1988.
Continuous Cisplatin (24-Hours) and 5-Fluouracil (120-Hours) Infusion
in Recurrent Head and Neck Squamous Cell Carcinoma. Cancer
61:909-912
14. Denic S, 1996. Nasopharyngeal cancer. In: (Kirkwood JM, Lotze MT,
Yasko J M, Eds) Currrent cancer therapeutic. Second edition, Churchill
Livingstone, 137-139
15. Dimery IW, Peters LJ, Goepfert H, Morrison WH, Byers RM, Guillary C,
Me Carty K, Weber RS, Hong WK, 1993. Effectiveness of combined
induction chemotherapy and radiotherapy in advanced
nasopharyngeal carcinoma. Jour. Of Clin. Oncol. Vol 11, Nmo 10 (Oct),
1919-1928
16. Djakaria M, 1985. Radioterapi pada beberapa jenis Tumor Leher dan
Kepala. Dalam : Kumpulan naskah ilmiah Konas PABTI II. Jakarta, 131143
17. Dragovic J, Doyle TJ, Tilchen EJ, Nichols RD, Benninger MS, Caltson ER,
Boyd SB, Jacobsen GR, 1995. Accelerated fractionation radiotherapy
and concomitant chemotherapy in patients with stage IV inoperable
head and neck cancer. Cancer, Nov. Vol 76 No 9: 1655-1661
18. Fisher D, Knobf TM, Durivage HJ, 1997. Head and neck squamous cell
carcinoma. Dalam : The cancer chemotherapy handbook. Fifth Ed St
Louis Baltimore Boston: Mosby, 344-347
19. Forastiere AA, 1994. Overviuw of Platinum Chemotherapy in Head and
34

20.

21.

22.
23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

Neck Cancer. Seminar in Oncology. Vol 21, No 5, Suppl 12 (October),


20 27
Fong KW, 1997. Brachytherapy of NPC. In: Nasopharyngeal carcinoma.
Edited by: Chong VFH, Tsao SY. Singapore: Loi Printing Pte Ltd, 103113
Fu KK, 1991. Treatment of Tumors of the Nasopharynx. Radiation
Therapy. In: (Stites DP, Terr AI, Parsiow TG, eds). Basic and Clinical
Immunology. New Jersey: A Lange Medical Book, 649-661
Fu KK, 1998. Combined radiotherapy and chemotherapy for
nasopharyngeal carcinoma. Semin Radiat Oncol, Oct;8(4): 247-53
Hasbini A, Mahjoubi R, Fandi A, Chouaki N, Tamma A, Lianes P, CortesFunes H, Alonso S, Armand JP, Cvotkovic E, Raymond E, 1999. Phase II
trial combining mitomycin with 5-fluouracil, epimbicin, and cisplatin in
recurrent and metastatic undifferentiated carcinoma of
nasopharyngeal type. Ann Oncol, Apr ; 10(4) : 421-5
Ho JHC, Lau WH, Fong M, Chan, 1980. Treatment of Nasopharyngeal
Carcinoma: Current Status. In (Prasad U, Ablashi PH, Pearson GR.,
Eds.). Nasopharyngeal Carcinoma. Kuala Lumpur: University Malaya
Press, 389 -395
Hsu MM, Huang SC, Lynn TC, Hsieh T, Tu SM, 1982. The survival of
patients with Nasopharyngeal Carcinoma. Otolaryngol Head and Neck
Surg., 90:289-295
Hitt R, Castellano D, Hidalgo M, et al, 1998. Phase II Trial of Cisplatin
and Gemcitabine in Advanced Squamous Cell Care, of Head and Neck.
Ann Oncol : 9, 1347 -1349
Huang C J, Leung S W, Lian SI, Wang CJ, Fang FM, Ho YH, 1996.
Patterns of distant metastases in nasopharyngeal carcinoma.
Kaohsiung J Med Set 12:229-234
Hussey DH, 1993. Principles of Radiation Oncology. In : (Bailey BJ.,
Eds.). Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia: JB
Lippincott Co., 1040
International Nasopharynnx Cancer Study Group, 1996. Preliminary Result
35

30.

31.
32.

33.

34.

35.
36.

37.

38.
36

of a Randomized Trial Comparing Neoadjuvant Chemotherapy


(cisplatinum, epirubicin, bleomycin) plus Radiotherapy vs. Radiotherapy
Alone in stage IV (=N2, M)) UndifFerentiated Nasopharyngeal Carcinoma.
A positive effect on progression free survival. Int. J. Radiation Oncology:
Biol. Phys. 35: 463 469
Isobe K, Ito H, Shigematsu N, Kawada T, Yasuda S, Hara R, Machida N,
Takano H, Uchida Y, Uno T, Kitahara H, Kubo A, 1998. Advanced
nasopharyngeal carcinoma treated with chemotherapy and
radiotherapy: distant metastasis and local recurrence. Int J Oncol,
May; 12(5) : 1183-7
Khandekar JD, 1992. Chemotherapy of Head and Neck Cancer.
Koukourakis MI, Whitehouse RM, Giatromanolaki A, Saunders M,
Kaklamanis L, 1996. Predicting distant failure in Nasopharyngeal
Cancer. Laryngosc. 106 (6): 765-771
Kuratomi Y, Kumamoto Y, Yamashita H, Yamamoto T, Inokuchi A,
Tomita K, Masuda A, Uehara S, Ohmagari J, Jingu K, Komiyama S,
1999. Comparison of survival rates of patients with nasopharyngeal
carcinoma treated with radiotherapy, 5-FU and vitamin A ("FAR"
therapy) vs FAR therapy plus adjunctive cisplatin and peplomycin
chemotherapy. Eur Arch Otorhinolaryngol, 256 Suppl 1 : S60-3
Lee A W M, 2003. Review of the current AJCC / UICC staging system
th
for nasopharyngeal carcinoma. Presented in: 10 ASEAN ORL Head &
Neck Surgery Congress, Brunei Darussalam, 2003, abstract
Lilly Medical Information Service, 2002. Gemcitabine - Use in Head and
Neck Cancer. Medmail Oncology, May, Vol 1, Issue 1 - 3
Lin JC, Jan JS, Hsu CY, 1997. Pilot study of concurrent chemotherapy
and radiotheray for stage IV nasopharyngeal cancer. Am. J. Clin.
Oncol,. Febr 20:1,6-10
Lin JC, Jan JS, 1999. Locally advanced Nasopharyngeal cancer: longterm outcomes of radiation therapy. Radiation Oncology, vol 211, No
2,513 518
Neel III HB, Slavit DH, 1993. Nasopharyngeal Cancer. In (Bailey BJ, ed).

39.

40.
41.

42.

43.

44.

45.
46.
47.

48.

49.

Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia: Lippincott Co, 12571273


Needleman SW, 1982. Basic Principles of Chemotherapy in The
Treatment of Metastatic Head and Neck Cancer. Ann Otol 1982 ; 91:
145-149
Ngan, 2001. Gemcitabine-use in head and neck cancer. Dalam : Lilly
medical information service, 1-9
Prasad U, 2000. Current status of combination chemotherapy and
radiotherapy in the treatment of advanced nasopharyngeal
carcinoma. Medical Progress, April, 7-10
Prasad U, Wahid MI, Jalaludi MA, Abdullah BJJ, Paramsothy M, Abdul
Kareem S, 2003. Adjuvant chemotherapy for loco-regionally advanced
th
nasopharyngeal carcinoma. Presented in : 10 ASEAN ORL Head &
Neck Surgery Congress, Brunei Darussalam, 2003, abstract
Qin D, Hu Y, Yan J, 1988. Analysis of 1379 Patients with
Nasopharyngeal Carcinoma treated by Radiation. Cancer 61:11171124
Rodriquez GA, Calvo BE, Soria CP, Rodriquez GJR, Rodriquez SCA,
Gonzales G, Solbes SR,Soler RJJ, 1998. Radiotherapy alone versus neoadjuvant chemotherapy and irradiation in the treatment of carcinoma
of the nasopharynx. Acta Otorrinolaringol Esp, Oct; 49(7): 548-53
Sham JST, 1989. Nasopharyngeal Carcinoma : Pattern of Tumor
Regression After Radiotherapy. Cancer 65 :216-220
Sham JST, 1990. Nasopharyngeal Carcinoma : Pattern of Tumor
Regression After Radiotherapy. Cancer 65 :216-220
Soetjipto D., 1989. Karsinoma Nasofaring. Dalam: (Nurbaiti I, Munir M,
Damayanti S, eds). Tumor Telinga Hidung dan Tenggorok. Diagnosis
dan Penatalaksanaan. Jakarta: FKUI, 71-84
Stanley RE and Fong KW, 1997. Clinical presentation & diagnosis of
NPC. In : Nasopharyngeal carcinoma. Edited by: Chong VFH, Tsao SY.
Singapore: Loi Printing Pte Ltd, 29-41
Susworo, 1990. Kombinasi Radiasi Eksterna dan Intrakaviter (alternatif
37

50.

51.

52.
53.
54.
55.

56.
57.

58.

59.

60.

38

pengobatan Karsinoma Nasofaring yang Responsif terhadap Radiasi).


Disertasi, FKUI Jakarta
Suhartati G, 1999. Terapi radiasi dalam penanganan penyakit
keganasan. Kursus penyegaran ke-V & lokakarya Pencegahan dan
deteksi dini penyakit keganasan. FKUI Jakarta, 19-29
Shanmugaratnam K, 1988. Nasopharyngeal Carcinoma : Epidemiologi and
Aetiology. In (Bambang SS, Hoedijono R, Sugondo T., eds.) Kumpulan
Naskah Seminar Kanker Nasofaring. Semarang: Wonodri offset, 11-15
Souhami L, Rabinowits M, 1988. Combined treatment in carcinoma of the
nasopharynx. Laryngoscope 98 : 881-883
Srimuninnimit, 2000. Gemcitabine-use in head and neck cancer. Dalam: Lilly
medical information service, 1-9
Tandiari R, 1989. Perkembangan Mutakhir di Bidang Radiologi segi
Radioterapi. Majalah Kedokteran Indonesia, 39 : 350-354
Tan EH, Soh LT, Ang PT, 1997. Chemotherapy of NPC. In :
Nasopharyngeal carcinoma. Edited by: Chong VFH, Tsao SY. Singapore:
Loi Printing Pte Ltd, 128137
Tobias JS, 1992. Current Role of Chemotherapy in Head and Neck
Cancer. Practical Therapeutics. Drug 43 (3), 333 343
To EWH, Lai ECH, Cheng JHH, Pang PCW, William MD, Tco PML, 2002.
Nasopharyngectomy for recurrent Nasopharyngeal carcinoma. A
review of 31 patients and prognostic factors. Laryngoscope 112 : Oct,
1877-1881
Vokes EE, 1993. Principle of chemotherapy in threating head and neck
cancer. In : Bailey head and neck surgery. Philadelphia: JB lkippincott
Co, 1029-1039
Wang CC, 1989. Accelerated Hyperfractionation Radiation Therapy for
Carcinoma of the Nasopharynx. Technique and Results. Cancer 63 :
2461-2467
Wee JTS, Khoo Tan HS, Chua ET, Chua EJ, 1997. Radiotherapy of NPC. In :
Nasopharyngeal carcinoma. Edited by : Chong VFH, Tsao SY. Singapore :
Loi Printing Pte Ltd, 90-102

61. Wei WI, Antony PW, Yuen WK, Ho, 1995. Surgical aspects of
nasopharyngeal carcinoma. Dalam : (Berkel HJ, Kresno SB dkk, eds).
Jakarta International Cancer Conference, Jakarta: PT Gaya Baru, 130135
62. Wei WI, 2003. Salvage of recurrent nasopharyngeal carcinomasth
contributions from the surgeon. Presented in : 10 ASEAN ORL Head
& Neck Surgery Congress, Brunei Darussalam, 2003, abstract
63. Wei WI, 2003. Maxillary swing approach for central skull base
th
pathologies - Indications and limitation. Presented in : 10 ASEAN ORL
Head & Neck Surgery Congress, Brunei Darussalam, 2003, abstract
64. Wolden SL, Zelefsky M J, Kraus DH, Rozenzweig KE, Chong LM, Shaha
AR, Zhang H, Harrison LB, Shah JP, Pfister DG. Accelerated
concomitant boost radiotherapy and chemotherapy for advanced
nasopharyngeal carcinoma. Journ. Of Clin. Oncol., Vol 19, No.4
(Febr15), 2001:1105-1110
65. Yeo W, Leung TWT, Chan ATC, Chiu SKW, Yu P, Mok TSK, Johnson PJ,
1998. A phase II study of combination Paclitaxel and Carboplatin in
advanced nasopharyngeal carcinoma. European Journ. Of Cancer. Vol
34, No. 13,2027-2031
66. Zidan J, Kuten A. Cohen Y, Robinson E, 1986. Multidrug chemotherapy
using Bleomycin, Methotrexate and Cisplatin combined with radical
radiotherapy in advanced head and neck cancer. Cancer 59:24-26

39

Anda mungkin juga menyukai