Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

Pendahuluan
Delirium yang dikenal dengan keadaan kebingungan mental yang akut atau acute
confusional state merupakan sebuah gangguan yang umum, serius, tetapi secara potensial
dapat dicegah. Delirium merupakan sumber morbiditas dan mortalitas di antara pasien-pasien
geriatri yang dirawat. Hal ini penting karena pada pasien berusia di atas 65 tahun, kejadian
delirium menghabiskan 48% seluruh hari perawatan di rumah sakit. Insiden delirium juga
meningkat sejalan dengan pertambahan usia populasi.
Delirium adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset yang
akut dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi kognitif yang
mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain itu, delirium juga
mempengaruhi atensi dan beberapa pasien ada yang mengalami gangguan persepsi.
Pada pasien geriatri, delirium berhubungan dengan perpanjangan waktu tinggal di
rumah sakit, peningkatan mortalitas dan peningkatan beban biaya pengobatan. Delirium
biasanya bersifat reversible jika penyebab yang mendasarinya teridentifikasi. Sayangnya,
delirium terkadang tidak terdeteksi pada pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit,
walaupun prevalensinya sekitar 10-16%. Pasien geriatri juga menjadi rentan karena pada
beberapa kasus terdapat hendaya dalam fungsi kognitif dan angka kejadian delirium pada
populasi ini cukup tinggi. Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan tempat yang strategis
untuk mendeteksi gangguan delirium dan memulai penanganan klinis. Beberapa penelitian
mendapati prevalensi pasien IGD yang mengalami delirium berkisar antara 10-17%.1

DELIRIUM PADA GERIATRI

BAB II
Pembahasan
Gambaran Klinis
Secara global gejala delirium terdiri dari gejala psikiatrik umum berupa kelainan mood,
persepsi dan perilaku dangejala neurologik umum yang berupa tremor, asteriksis, nistagmus,
inkoordinasi dan inkontinensia

urin.2

Gejala dari delirium yang paling utama

adalah penurunan kesadaran. Anxietas, mengantuk, gangguan tidur, halusinasi, mengigau dan
kegelisahan

biasanya

mendahului

keadaan

delirium. Gejala-gejala

lainnya

berupa

ketidakmampuan penderita mengenali orang (disorientasi) dan berkomunikasi dengan baik,


bingung, panik, bicara komat-kamit dan inkoherensi.2,3
Selanjutnya gejala-gejala delirium menurut urutan kekhasannya adalah sebagai
berikut:2
1.

Gangguan kesadaran (clouding of conciousness)

2.

Gangguan persepsi (ilusi, halusinasi terutama halusinasi penglihatan).

3.

Gangguan orientasi, mula-mula disorientasi waktu.

4.

Gangguan proses pikir dan pembicaraan (gangguan konsentrasi, perseverasi, flight of


ideas, inkoherensi, delusi).

5.

Gangguan memori.

6.

Gangguan afek.

7.

Gangguan psikomotor.

8.

Disfungsi otonomik, sulit kontrol BAK.

9.

Gangguan siklus tidur bangun.


Delirium biasanya hilang bila penyakit fisik yang menyebabkannya sembuh, mungkin

sampai kira-kira 1 bulans esudahnya. Bila diakibatkan oleh proses yang langsung mengenai
otak maka proses penyembuhannya pun tergantung dari besar kecilnya kerusakan/lesi yang
ditinggalkan.2
Gejala delirium sangat beragam dan, walaupun tidak spesifik, sifatnya yang fluktuatif
sangat nyata dan merupakan indikator diagnostik yang sangat penting. Terdapat tiga bentuk
delirium yang telah diketahui, yaitu: tipe hiperaktif, hipoaktif, dan campuran.4
2

DELIRIUM PADA GERIATRI

Delirium hiperaktif. Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi.
Pada pasien terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan
tindakan dispruptif lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena pasien mungkin mencabut
selang infus atau kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur. Pasien delirium karena
intoksikasi, obat antikolinergik, dan alkohol withdrawal biasanya menunjukkan perilaku
tersebut.2,5
Delirium hipoaktif. Tipe hipoaktif seringkali tidak dikenali dan dihubungkan dengan
prognosis yang buruk secara keseluruhan. Tipe ini juga sering terjadi pada pasien yang
usianya cenderung lebih tua.
Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit dibedakan dengan
keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan dengan mudah dibangunkan dan dalam
berada dalam tingkat kesadaran yang normal. Rangsang yang kuat diperlukan untuk
membangunkan , biasanya bangun tidak komplet dan transient. Penyakit yang mendasari
adalah metabolit dan enchepalopati.2,5
Gangguan yang penting melibatkan suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan
menyeluruh yang mempengaruhi kesadaran, perhatian, memori dan kemampuan perencanaan
dan organisasi. Gangguan lain, misalnya pola tidur yang berubah, gangguan proses pikir,
afek, persepsi dan tingkat keaktifan, walaupun dipandang tidak bermakna mempunyai
kontribusi yang besar dalam mengidentifikasi dan menatalaksana delirium.
Tergantung dari gejala yang timbul, delirium dapat disalahartikan dengan gangguan
lain, misalnya demensia, gangguan mood dan psikosis fungsional. Diagnosis delirium pada
pasien demensia cukup sulit karena gejala delirium dan demensia yang saling tumpang tindih.
Suatu penelitian dilakukan untuk mengidentifikasikan gejala delirium yang khas pada pasien
demensia untuk membantu penegakan diagnosis delirium. Pasien demensia yang mengalami
delirium memperlihatkan lebih banyak agitasi psikomotor, disorientasi, dan pikiran yang
tidak terorganisasi.1
Secara klinis penegakkan diagnosis delirium dapat menggunakan DSM IV-TR. Ada
satu lagi alat bantu yang biasa digunakan di kalangan non-psikiater yaitu Confusion
Assesment Method (CAM).

DELIRIUM PADA GERIATRI

Gambar 1. Confusion Assasment Method

Kriteria Diagnostik Delirium DSM IV-TR


A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kewaspadaan terhadap lingkungan) dengan
penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan
perhatian
B. Perubahan kognisi (seperti kemunduran ingatan, disorientasi, gangguan berbahasa) atau
adanya gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke dalam pre-demensia,
demensia yang sudah ada atau demensia yang sedang muncul.
C. Gangguan berlangsung dalam waktu yang singkat (biasanya jam sampai beberapa hari)
dan cenderung untuk berfluktuasi selama berlangsungnya.
D. Adanya bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan penemuan pemeriksaan
laboratorium yang mengindikasikan bahwa gangguan ini merupakan konsekuensi
fisiologis dari kondisi medis umum.

Kriteria Diagnostik Delirium PPDGJ III

DELIRIUM PADA GERIATRI

Untuk memastikan diagnosis, maka gejala-gejala baik yang ringan atau yang berat haruslah
ada pada setiap kondisi dibawah ini, yaitu sesuai dengan pedoman diagnostik menurut
PPDGJ-III :6
1. Gangguan kesadaran dan perhatian :
a. Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma.
b. Menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan
dan mengalihkan perhatian.
2. Gangguan kognitif secara umum :
a. Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi (terutama halusinasi visual)
b. Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham yang
bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan
c. Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat jangka
panjang relatif masih utuh.
d. Disorientasi waktu, pada kasus yang berat terdapat disorientasi tempat dan
orang.
3. Gangguan psikomotor :
a. Hipoaktivitas atau hiperaktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga
dari satu ke yang lain.
b. Waktu bereaksi yang lebih panjang
c. Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang
d. Reaksi terperanjat meningkat
4. Gangguan siklus tidur-bangun :
a. Insomnia atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur sama sekali atau
terbaliknya siklus tidur-bangun (mengantuk pada siang hari).
b. Gejala yang memburuk pada malam hari
c. Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk yang dapat berlanjut menjadi
halusinasi setelah bangun tidur.
5. Gangguan emosional : misalnya depresi, ansietas atau takut, lekas marah, euforia,
apatis atau rasa kehilangan akal.
6. Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang timbul sepanjang hari, dan
keadan ini berlangsung kurang dari 6 bulan.

DELIRIUM PADA GERIATRI

Etiologi
Bila membicarakan etiologi delirium, maka faktor predisposisi dibedakan dengan faktor
presipitasi. Faktor predisposisi membuat seseorang lebih rentan mengalami delirium,
sedangkan faktor presipitasi merupakan faktor penyebab somatik delirium.
Saat ini beberapa penelitian prospektif telah menemukan beberapa faktor predisposisi
delirium pada geriatri yang potensial. Penelitian yang lebih baik bahkan mampu mendapatkan
faktor risiko yang mempengaruhi kejadian delirium. Selain pertambahan usia, adanya
penurunan fungsi kognitif sebelumnya merupakan faktor risiko yang sering didapatkan.
Lebih jauh lagi, delirium merupakan indikator pertama demensia pada populasi geriatri.
Angka kejadian delirium pada pasien demensia sendiri secara bermakna lebih tinggi dua
sampai lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi yang tidak demensia.
Faktor presipitasi yang telah ditemukan yang menurunkan ambang delirium pada usia
lanjut adalah pria, tekanan darah tinggi, penggunaan banyak obat terutama obat-obatan
antikolinergik, anestesi umum, dan penggunaan alkohol atau benzodiazepine. Lebih jauh lagi,
adanya peningkatan konsentrasi sodium di serum, penurunan fungsi fisik, dan penurunan
fungsi menghadapi stress juga diidentifikasi sebagai faktor risiko independen pada pasien
delirium. Penelitian lain mengatakan bahwa kombinasi faktor termasuk usia, kadar urea
darah, hipertensi, dan kebiasaan merokok merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya
delirium.1
Secara umum etiologi delirium adalah:2,5

Penyebab Intrakranial :
o Epilepsi dan keadaan paska kejang
o Trauma otak (terutama gegar otak)
o Infeksi
Meningitis
Ensefalitis
o Neoplasma
o Gangguan vaskular
Penyebab Ekstrakranial :
o Obat-obatan (meggunakan atau putus obat) dan racun
Obata
antikolinergik
Antikonvulsan
Obat antihipertensi
Obat antiparkinson
Obat antipsikosis

Glikosida jantung
Simetidin
Klonidin
Disulfiram
Insulin
Opiat
6

DELIRIUM PADA GERIATRI

o
o
o
o

Fensiklidin
Sedatif (termasuk
Fenitoin
alkohol) dan
Ranitidin
hipnotik

Steroid
Salisilat
Racun
Karbon monoksida
Logam berat dan racun industri lain
Disfungsi Endokrin (hipofungsi atau hiperfungsi)
Hipofisis
Pankreas
Adrenal
Paratiroid
Tiroid
Penyakit organ non endokrin
Hati
Ensefalopati hepatik
Ginjal dan saluran kemih
Ensefalopati uremikum
Paru
Narkosis karbon dioksida
Hipoksia
Sistem Kardiovaskular
Gagal jantung
Aritmia
Hipotensi
Penyakit Defisiensi
Tiamin, asam nikotinik, vit B12 atau asam folat
Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis
Ketidakseimbangan elektrolit dengan penybab apapun
Keadaan pascaoperatif
Trauma (kepala atau seluruh tubuh)

DELIRIUM PADA GERIATRI

Faktor Risiko dan Faktor Presipitasi


Walaupun terdapat banyak sekali faktor risiko yang mencerminkan karakteristik
perjalanan dari pasien, beberapa faktor dapat dimodifikasi untuk mencegah kejadian delirium.
Beberapa faktor risiko yang berasal dari diri pasien sendiri adalah usia, adanya defisit
kognitif yang sudah ada sebelumnya, penyakit medis yang berat, adanya riwayat delirium
sebelumnya dan kepribadian sebelum sakit. Pada beberapa operasi, misalnya operasi panggul,
delirium juga sering dialami oleh pasien sesudah operasi. Kondisi khusus, misalnya luka
bakar, AIDS, fraktur, hipoksemia, insufisiensi organ, infeksi, serta gangguan metabolik, juga
dapat merupakan faktor risiko terjadinya delirium
Pasien geriatri sangat erat dengan multipatologi organ, sehingga pada beberapa kasus
diperlukan medikasi dengan banyak obat. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya
delirium. Pemakaian obat-obatan memegang peranan penting terhadap terjadinya delirium.
Banyak obat yang dapat menyebabkan delirium, namun ada beberapa obat, misalnya
benzodiazepine, narkotik dan obat-obat dengan aktivitas antikolinergik, yang mempunyai
kecenderungan lebih untuk menyebabkan delirium. Banyak obat dan metabolitnya yang
secara tidak terduga menyebabkan delirium karena efek antikolinergiknya tidak diketahui.
Suatu penelitian mengidentifikasi efek antikolinergik yang dapat menyebabkan hendaya pada
memori dan atensi pada pasien geriatri. Kenyataan ini terjadi pada 10 sampai 25 obat yang
paling sering diresepkan kepada pasien geriatri, termasuk teofilin, digoxin dan warfarin. Oleh
karena itu, sangat penting upaya untuk meminimalkan penggunaan obat-obatan, mengurangi
dosis atau menghentikan penggunaan beberapa jenis obat yang secara klinis sering
menyebabkan delirium, terutama pada saat risiko tinggi misalnya periode perioperatif.
Lingkungan juga mempunyai peran dalam kejadian delirium pada individu.
Pengalaman sensorik yang ekstrem, kehilangan daya penglihatan dan pendengaran,
imobilitas, isolasi sosial dan stress merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kejadian delirium.1

DELIRIUM PADA GERIATRI

Diagnosis Banding
Pemeriksaan status mental berguna untuk mengetahui adanya gangguan kognitif dan
bagaimana perjalanan penyakitnya. Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan keadaan
klinis.6 Dari gejala khas diatas (onset yang cepat, perjalanan penyakitnya yang hilang timbul
sepanjang hari dan berlangsung kurang dari 6 bulan), riwayat penyakit fisik dan otak yang
mendasari (disfungsi otak) dan gambaran EEG berupa perlambatan aktivitas, maka diagnosis
delirium patut dipercaya dan ditegakkan.2,5
Delirium harus dibedakan dari penyakit atau sindrom mental organik lainnya yaitu
demensia, gangguan psikotik/skizofrenia, depresi dan keadaan putus zat dengan delirium. 2,3,5
Demensia. Demensia dibedakan dari delirium yaitu dari onsetnya yang perlahan-lahan,
lebih stabil dengan berjalannya waktu dan tidak berfluktuasi selama perjalanan sehari.1 Pada
demensia penyakitnya bersifat kronik progresif dan disertai gangguan fungsi luhur/fungsi
kortikal yang multipel berupa hendaya/deteorisasi fungsi intelaktual baik daya ingat atau
daya pikir sehingga kegiatan sehari-hari menjadi terganggu. Tidak terdapatnya gangguan
kesadaran juga membedakannya dari delirium. Gejala dan hendaya diatas harus sudah nyata
untuk sekurang-kurangnya 6 bulan. 4,6
Gangguan psikotik/skizofrenia. Pada skizofrenia gejala berupa halusinasi dan waham
biasanya lebih konstan dan terorganisasi dengan baik dibandingkan delirium. Juga, pada
pasien skizofrenik biasanya tidak mengalami perubahan dalam tingkat kesadaran atau
orientasinya. 2
Depresi. Pasien dengan gejala hipoaktif mungkin tampak agak mirip dengan pasien
yang depresi berat tetapi dapat dibedakan atas dasar EEG. Pada umumnya, pasien dengan
disfungsi kognitif yang berhubungan dengan depresi mempunyai gejala depresif yang
menonjol dan lebih konstan dibandingkan dengan pasien delerium dan cenderung mempunyai
riwayat episode depresif di masa lalu, pada pemeriksaan CT-Scan dan EEG normal. 2
Keadaan putus zat dengan delirium. Delirium tremens merupakan akibat dari putus
alkohol secara absolut atau relatif pada pengguna dengan ketergantungan alkohol yang
kronis. Keadaan ini disertai gaduh gelisah toksik yang berlangsung singkat tetapi
membahayakan jiwa penderita. Gejala prodromal berupa insomnia, gemetar dan ketakutan,
onset terjadi sesudah putus alkohol yang biasanya didahului oleh kejang. 4,6

DELIRIUM PADA GERIATRI

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan delirium tentunya tidak terpisah dari penyebabnya. Perlunya deteksi
dini terhadap delirium, meliputi gejala dan kriteria diagnosa delirium. Identifikasi penyakit
yang mendasari serta pengobatannya secara tepat perlu dilakukan. Pasien dengan gangguan
medis umum yang disertai dengan delirium akan menjalani masa tinggal rumah sakit yang
lebih lama daripada yang tidak mengalami delirium. Delirium sendiri dapat menimbulkan
komplikasi lain yang banyak terjadi pada pasien, misalnya geriatri seperti jatuh dan infeksi.
Pasien dengan delirium juga biasanya lebih membutuhkan perawatan di institusi.
Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila sumber deliriumnya
adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika agitasi yang berat tidak dapat
dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan karena benzodiazepin dapat menyebabkan
reaksi berkebalikan yang memperburuk delirium. Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh
benzodiazepin adalah sedasi yang berlebihan yang dapat menyulitkan penilaian status
kesadaran pasien itu sendiri.
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering dipakai pada
kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan karena profil efek sampingnya
yang lebih disukai dan dapat diberikan secara aman melalu jalur oral maupun parenteral.
Dosis yang biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0 mg per oral (PO) atau intra muscular maupun
intra vena (IM/IV); titrasi dapat dilakukan 2 sampai 5 mg tiap satu jam sampai total
kebutuhan sehari sebesar 10 mg terpenuhi. Setelah pasien lebih baik kesadarannya atau sudah
mampu menelan obat oral maka haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3
kali perhari sampai kondisi deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit
menyebabkan gejala ekstrapiramidal daripada penggunaan oral.
Antipsikotik yang lebih baru, misalnya risperidon, olanzapin dan quetiapin juga
membantu dalam penatalaksanaan delirium. Namun penelitian dan bukti yang mendukung
penggunaan antipsikotik atipikal pada delirium belum terbukti jelas sehingga obat-obat
tersebut tidak dapat digunakan sebagai terapi lini pertama. Akan tetapi, obatobatan ini
dihubungkan dengan lebih sedikitnya gangguan pergerakan akibat obat dibandingkan
penggunaan haloperidol. Oleh karena itu, antipsikotik atipikal mungkin merupakan obat
pilihan untuk pasien dengan penyakit Parkinson dan gangguan neuromuskular yang
berhubungan, serta pasien dengan riwayat adanya gejala ektrapiramidal pada penggunaan
antipsikotik lama.
10

DELIRIUM PADA GERIATRI

Dosis awal olanzapin adalah 5 mg per oral setiap hari, setelah satu minggu, dosis dapat
ditingkatkan menjadi 10 mg sehari dan dititrasi menjadi 20mg sehari. Quetiapin diberikan 25
mg per oral dua kali sehari yang dapat ditingkatkan menjadi 25-50mg per dosis tiap 2 sampai
3 hari sampai tercapai target 300-400 mg perhari yang terbagi dalam 2-3 dosis. Risperidon
diberikan 1-2 mg per oral pada malam hari dan secara gradual ditingkatkan 1 mg tiap 2-3
harus sampai dosis efektif tercapai (4-6 mg per oral). Quetiapin adalah obat antipsikotik baru
yang paling menimbulkan sedasi dan paling aplikatif dalam pengobatan delirium yang
agitasi.
Antipsikosis lebih jarang mempengaruhi fungsi kognitif pasien dibandingkan dengan
benzodiazepin.

Namun

demikian

golongan phenothiazin harus

dihindari pada

pasien

delirium, karena obat tersebut disertai dengan aktivitas kolinergik yang bermakna.2
Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan waktu paruh
pendek atau denganhidroksizin (Vistaril) dengan dosis 25 sampai 100 mg. Golongan
benzodiazepine dengan waktu paruh panjang (misalnya lorazepam) harus dihindari kecuali
digunakan sebagai pengobatan penyakit dasar (sebagai contoh pengobatan putus alkohol).2
Pasien yang mengalami sindroma putus zat alkohol atau hipnotik-sedatif lebih efektif
bila diobati denganLorazepam (Ativan) dengan dosis 1 sampai 2 mg peroral, intramuskular
atau intravena lambat dan diulang setelah 1 jam seperlunya. Obat ini juga digunakan untuk
pasien

agitasi

atau

gaduh

gelisah

bila

alergi/kontraindikasi

terhadap

antipsikosis. 2 Lorazepam bekerja lebih efektif sebagai anti ansietas dari pada sebagai anti
insomnia dan relatif aman untuk pasien-pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal. 7
Bila

delirium

ini

merupakan

akibat

dari

toksisitas

antikolinergik,

bisa

diberikan fisostigmin salisilat (Antilirium) dosis 1 sampai 2 mg intravena atau intramuskular


dengan pengulangan dosis setiap 15 sampai 30 menit.7

11

DELIRIUM PADA GERIATRI

Pencegahan
Delirium pada beberapa kasus mempunyai prognosis yang buruk sehingga jalan yang
terbaik adalah mencegah terjadinya delirium. Hal itulah yang membuat tatalaksana delirium
mulai berubah dari pengobatan menjadi pencegahan. Pencegahan dibagi menjadi dua, yaitu
pencegahan primer yang bertujuan untuk mencegah keberulangan delirium sedangkan
pencegahan sekunder bertujuan untuk mengurangi durasi dan keparahan delirium dan
mengoptimalkanfungsi sesudah kejadian. Hal ini dapat dilakukan melalui penanganan
proaktif oleh psikiater atau tim geriatri.
Beberapa strategi pencegahan primer delirium telah diteliti. Pada kebanyakan pasien
dilakukan penapisan faktor risiko delirium melalui penanganan proaktif psikiater dan tim
geriatri yang bekerjasama dalam menjalani perawatan rutin pasien rawat inap di bangsal.
Dalam kasus-kasus faktor risiko yang bisa diobati pasien menjalani penanganan klinik dan
psikososial atau profilaksis farmakologis.
Penelitian terhadap keefektifan penapisan dan penelitian yang proaktif, termasuk dalam
bidang penyakit dalam dan konsultasi geriatri serta pengobatan yang dianggap perlu oleh
bidang-bidang tersebut memberikan gambaran yang tidak konsisten dan seringkali tidak
mendapatkan kesimpulan berarti. Beberapa penelitian ada yang menyebutkan keefektifan
strategi tersebut dalam mengurangi angka kejadian, durasi maupun keparahan delirium,
namun penelitian lain tidak menemukan adanya efek yang menguntungkan. Suatu penelitian
yang melibatkan 120 orang pasien geriatri dengan fraktur panggul menunjukkan bahwa
intervensi standar, penelusuran kognitif secara sistematik, konsultasi dengan spesialis dan
penatalaksanaan nyeri yang terkontrol, tidak efektif dalam menurunkan insiden delirium,
walaupun keparahan dan durasi delirium dapat dikurangi.
Sebuah penelitian dengan kontrol mengemukakan data yang memberikan bukti bahwa
pendekatan intervensi multikomponen pada program penanganan geriatri efektif dalam
mencegah delirium pada pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit. Pencegahan tersebut
mencegah terjadinya delirium dan mengurangi total hari-hari delirium.

12

DELIRIUM PADA GERIATRI

Hal ini sangat efektif pada pasien yang memang mempunyai risiko mengalami
delirium. Ketika delirium sudah terjadi maka tidak akan ada perbedaan penanganan delirium
baik ditinjau dari keparahan penyakitnya atau kemungkinan berulangnya. Penemuan ini
sangat penting dampaknya pada penatalaksanaan delirium bahwa pencegahan yang awal
mungkin merupakan strategi yang paling efektif. Ketika delirium itu sudah terjadi maka
strategi penanganan akan kurang efektif dan kurang efisien.
Keefektifan profilaksis farmakologis telah dilakukan pada beberapa penelitian. Pada
suatu penelitian dengan 400 pasien fraktur panggul, insiden delirium tidak berkurang dengan
penatalaksanaan profilaksis 1 mg haloperidoldibandingkan dengan plasebo, walaupun durasi
dan keparahan delirium berkurang. Akan tetapi mungkin pemberian 1 mg haloperidol terlalu
rendah untuk mendapatkan efek profilaksis.1

Peranan Psikososial
Lingkungan di sekitar pasien memegang peranan yang sangat penting dalam proses
perbaikan kondisi delirium ataupun saat delirium sudah teratasi. Hal ini disebabkan pada saat
pasien pulang dari perawatan terkadang terdapat gejala sisa delirium sehingga keluarga dan
pengasuh memainkan peran penting dalam perawatan pasien terutama di rumah. Pengasuh
dan keluarga pasien dapat memberikan bantuan psikososial yang bersifat mendorong pasien
untuk dapat kembali kepada fungsi awal sebelum terjadinya delirium.
Untuk itulah anggota keluarga dan pengasuh pasien harus diberi penjelasan tentang
delirium sehingga dapat menghadapi pasien dengan baik. Terkadang informasi yang salah
tentang delirium dapat membuat keluarga atau pengasuh menjadi tidak sabar atau marah
terhadap pasien yang dapat mencetuskan distress pada pasien.
Berkaitan dengan pentingnya peranan keluarga dan pengasuh pasien dalam upaya
penatalaksanaan pasien delirium, suatu penelitian bahkan mengatakan bahwa delirium
sebaiknya ditangani di rumah dalam lingkungan keluarga di mana terdapat dukungan sosial
yang adekuat. Hal ini dapat dilaksanakan terutama bila penyakit medis yang menyertai tidak
memerlukan pelayanan medis di rumah sakit.

13

DELIRIUM PADA GERIATRI

Namun jika memang memerlukan perawatan maka penatalaksanaan transisi yang hatihati dan pendampingan pihak keluarga serta penjelasan yang jelas tentang apa yang terjadi
dapat meminimalkan peningkatan kebingungan yang biasanya terjadi pada perubahan
lingkungan.1
Beberapa penanganan secara psikososial dapat dilihat di bawah ini:1
a. Penyediaan bantuan suportif dan orientasi:
- Berkomunikasi secara jelas dan tegas; berikan pengulangan secara verbal tentang hari,
tanggal, lokasi dan identitas kunci orang-orang yang bermakna, misalnya anggota tim
medis dan saudara.
- Sediakan beberapa petanda seperti jam, kalender dan jadwal harian di dekat pasien.
- Bawalah barang-barang yang cukup akrab bagi pasien dari rumah untuk ditaruh di sekitar
pasien.
- Sediakan televisi dan radio untuk relaksasi dan membantu pasien untuk mempertahankan
kontak terhadap dunia luar.
- Libatkan keluarga dan pengasuh dalam meningkatkan perasaan aman dan orientasi pasien.
b. Penyediaan lingkungan yang tidak ambigu/tidak membingungkan:
- Sederhanakanlah ruang dengan memindahkan objek-objek yang tidak perlu untuk
mempertahankan ruang yang cukup luas di kamar tidur.
- Pertimbangkan untuk mengambil ruang yang tunggal untuk membantu istirahat dan
menghindari pengalaman sensori yang berlebihan.
- Hindari penggunaan istilah-istilah medis di tengahtengah keberadaan pasien karena hal itu
dapat menimbulkan paranoid.
- Gunakan penerangan yang adekuat, gunakan lampu antara 40-60 Watt untuk mengurangi
salah persepsi.
- Atur sumber suara (baik dari staf medis, paralatan, ataupun pengunjung), setara tidak lebih
dari 45 desibel di waktu siang dan 20 desibel di waktu malam.
- Jaga temperatur ruangan tetap di antara 21,1oC sampai 23,8oC.

14

DELIRIUM PADA GERIATRI

c. Pertahankan kemampuan pasien


- Identifikasi dan perbaiki kesalahan sensorik, jamin keberadaan kacamata, alat bantu dengar
atau gigi palsu untuk membantu pasien. Bila ada kesulitan dalam bahasa,
pertimbangkan jasa penerjemah.
- Berikan dukungan untuk perawatan mandiri dan partisipasi dalam pengobatan.
- Pengobatan dilakukan untuk memperoleh tidur yang tidak tertunda.
- Pertahankan akitivitas fisik: bagi pasien yang dapat bergerak lakukan jalan kaki tiga kali
dalam sehari, bagi yang tidak dapat berpindah tempat berikan pergerakan selama 15
menit tiga kali sehari.

15

DELIRIUM PADA GERIATRI

BAB III
Kesimpulan
Delirium merupakan suatu kondisi neuropsikiatrik yang seringkali dialami oleh pasien
geriatri. Gejala klinis yang utama adalah penurunan kesadaran yang disertai dengan adanya
suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan fluktuatif.
Hendaya bersifat menyeluruh, mempengaruhi kesadaran, perhatian, memori dan
kemampuan perencanaan dan organisasi.
Penanganan delirium melibatkan peran berbagai faktor termasuk pada deteksi dini
risiko delirium, penanganan kondisi delirium, dan pencegahan berulangnya delirium. Hal ini
melibatkan peranan psikiater dan konsultan geriatri yang bekerja secara interdisplin pada
pasien yang mengalami delirium.

16

DELIRIUM PADA GERIATRI

Daftar Pustaka
1. Andri, Damping CE. Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Geriatri. Maj
Kedokt Indon, Volum 57 no 7, Jakarta; 2007. h.227-32
2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Sinopsis Psikiatri (Edisi Bahasa Indonesia), Edisi
VII, Jilid I, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997: 505-514.
3. Kaplan HI, Sadock BJ: Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat (Edisi Bahasa Indonesia), Edisi
I, Widia Medika, Jakarta, 1998: 210-215.
4. Freter S, Rockwood K. Diagnosis and Prevention of Delirium in Eldery People. The
Canadian Alzheimer Disease Review, Canada; 2004. p.4-9
5. Mansjoer A, Triyanti K, dkk : Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid 1, Media
Aesculapius FKUI, Jakarta, 2001 : 189 191.
6. Maslim R: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III,
Jakarta, 2001: 27-28.
7. Maslim R: Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, Edisi III, Jakarta,
2001: 10-46

17

DELIRIUM PADA GERIATRI

Anda mungkin juga menyukai