MATA KULIAH
DEGRADASI DAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Disusun Oleh :
Vera Dwi Agustina
NIM: 14/375750/PMU/08461
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Wibisono (2005) menyatakan bahwa peranan laut nasional bagi bangsa
perubahan dalam tatanan lingkungan sehingga tidak sama lagi dengan bentuk
asalnya, sebagai akibat masuk dan atau dimasukkannya suatu zat atau benda asing
ke dalam tatanan lingkungan. Perubahan ini memberikan pengaruh (dampak)
buruk terhadap organisme yang telah ada dan hidup baik dalam tatanan tersebut.
Pada tingkat lanjut, perubahan ini juga dapat membunuh bahkan menghapuskan
satu atau lebih organisme (Palar, 2008).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 19 Tahun 1999, pencemaran
laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya menjadi turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya
(Pramudianto, 1999).
Banyak aktivitas manusia yang berada di daratan maupun di laut yang
dapat menyebabkan pencemaran. Sumber pencemaran di laut dapat dibagi dalam
5 golongan, yaitu :1). pembuangan kotoran dan sampah dari kota Industri, serta
penggunaan pestisida dibidang pertanian; 2). pengotoran yang berasal dari kapalkapal laut; 3). kegiatan penggalian kekayaan mineral dasar laut; 4). pembuangan
bahan-bahan radio aktif dalam kegiatan penggunaan tenaga nuklir dalam rangka
perdamaian; dan 5). penggunaan laut untuk tujuan militer (Hasyim, 1979).
Bahan-bahan pencemar yang dibuang ke laut diklasifikasikan atas
senyawa konservatif (senyawa yang sukar terurai) dan senyawa non konservatif
(senyawa yang mudah terurai di perairan). Polutan yang masuk ke perairan laut
seringkali mengandung senyawa konservatif dan non-konservatif, misalnya
polutan minyak.
Minyak merupakan salah satu polutan yang berpotensi mencemari laut.
Pencemaran minyak di laut semakin banyak terjadi seiring dengan semakin
meningkatnya permintaan minyak untuk dunia industri yang kemudian harus
diangkut dari sumbernya yang cukup jauh, meningkatnya jumlah anjungananjungan pengeboran minyak lepas pantai dan juga semakin meningkatnya
kepadatan transportasi laut.
Lalu lintas kapal tanker serta kegiatan eksplorasi dan produksi minyak di
lepas pantai telah menjadikan kawasan-kawasan tertentu di perairan Indonesia
seperti Selat Malaka, Selat Lombok dan Selat Makasar potensial terhadap
pencemaran tumpahan minyak.
Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat
Malaka. Oleh karena letaknya yang berdekatan dengan Selat Malaka sebagai jalur
pelayaran dunia, menyebabkan Kota Dumai yang berada di pesisir Selat Rupat
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kemajuan kegiatan-kegiatan
perindustrian, perdagangan, pertanian, pelayaran dan lainnya di sekitar Selat
Rupat khususnya pesisir Kota Dumai secara langsung akan mengakibatkan
timbulnya tekanan terhadap sistem lingkungan di Selat Rupat. Akibatnya terjadi
penurunan kualitas perairan, karena masukan limbah yang terus bertambah.
Secara geografis Selat Rupat terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan
Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Selat ini memiliki panjang
72.4 km dan lebar (dari garis Pantai Dumai hingga pantai Pulau Rupat) 3.8 8.0
km. Selat Rupat dapat dilayari oleh berbagai kapal-kapal berbobot besar, termasuk
kapal tanker. Selat ini berpotensi penting sebagai pelabuhan utama yang mampu
menunjang perekonomian Propinsi Riau. Berbagai aktivitas transportasi,
penyimpanan, pengolahan dan distribusi minyak maupun kegiatan industri di
pesisir Pantai Dumai menyebabkan perairan Selat Rupat rawan terhadap
pencemaran minyak. Posisi Selat Rupat yang semi tertutup berpotensi bagi
polutan minyak untuk terakumulasi di perairan yang dapat menimbulkan
kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove.
1.2.
Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai
BAB II
ISI
Pada saat terjadi pencemaran minyak, polutan ini akan pecah dan
menyebar ke lingkungan laut selama beberapa waktu. Penghamburan ini adalah
hasil dari sejumlah proses kimia dan fisik yang menyebabkan berubahnya
komposisi minyak. Proses tersebut dinamakan pelapukan (weathering). Cara
dimana lapisan minyak pecah dan menyebar sangat tergantung pada ketahanan
(persisten) minyak tersebut. Produk ringan seperti kerosin cenderung terevaporasi,
tersebar dengan cepat dan akan hilang secara alami (IPIECA, 2001).
Adapun karakteristik fisik minyak yang mempengaruhi prilaku minyak
di laut adalah densitas, viskositas, titik ubah (pour point) dan kelarutan air.
Densitas ditunjukan dari nilai specific gravity dan American Petroleum Institute
(API) gravity. API gravity dinyatakan dalam angka 10 pada air murni 10C.
Minyak mentah mempunyai specific gravity pada kisaran 0,79-1,00. Viskositas
mempengaruhi penyebaran minyak di air, jika viskositas rendah berarti mudah
mengalir. Titik ubah diartikan sebagai tingkatan suhu yang dapat mengubah
minyak menjadi memadat atau berhenti mengalir. Titik ubah minyak mentah
berkisar 57C hingga 32C. Kelarutan minyak dalam air adalah rendah sekitar 30
mg/L dan tergantung kepada komposisi kimia dan suhu (BP Migas, 2002).
Ketika minyak masuk ke lingkungan laut, maka minyak tersebut dengan
segera akan
(evaporation),
polimerasi
(polymerization),
emulsifikasi
lemak
menurun
fotosintesis akan terhalang pada zona euphotik, sehingga rantai makanan akan
terputus. Lapisan minyak juga menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan
mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya perairan tidak mampu lagi untuk
mendukung kehidupan laut yang aerob (IPIECA, 2001).
Menurut Darmono (2001), komponen hidrokarbon aromatis dari minyak
bumi seperti senyawa benzen dan toluen merupakan senyawa toksik yang
langsung membunuh biota perairan saat terjadinya pencemaran minyak di
perairan. Senyawa ini pada konsentrasi tertentu, dapat mematikan organisme laut
yang
mampu
melarikan diri dengan cepat. Efek sub-letal dari minyak bumi adalah dapat
mengganggu
kerang dan remis, secara rutin menyaring sejumlah besar air laut untuk
mengekstrak makanan. Hewan tersebut akan mengakumulasi komponen minyak
sehingga keberadaan minyak dalam tubuh organisme dapat menyebabkan hewan
tersebut menjadi tidak layak dikonsumsi, karena adanya rasa atau aroma minyak
dan dapat menggangu kesehatan yang mengkonsumsi.
Secara fisik, pencemaran minyak akan terlihat jelas pada lingkungan laut
seperti pantai menjadi kotor akibat permukaan airlaut
minyak atau karena gumpalan di permukaan airlaut. Secara kimia, minyak bumi
mengandung senyawa aromatik hidrokarbon yang bersifat toksik dan dapat
mematikan organisme laut. Secara biologi, adanya pencemaran minyak dapat
mengganggu kehidupan organisme termasuk ikan. Pengaruh spesifik dampak dari
pencemaran minyak terhadap lingkungan perairan laut dan pantai tergantung
pada jumlah
(Syakti, 2004).
Pencemaran minyak perairan Selat Rupat berasal dari dua sumber utama,
yaitu aktivitas industri di daratan dan aktivitas transportasi di pelabuhan.
Aktivitas Industri
Kota Dumai merupakan wilayah operasi dua perusahaan minyak terbesar
Minyak dari daratan masuk (input) ke perairan Selat Rupat dari aktivitas
industri baik secara langsung maupun tidak langsung. Aktivitas industri di pesisir
pantai Dumai langsung mengalirkan effluent ke laut melalui saluran outlet,
sedangkan aktivitas lain yang ada di daratan mengalirkan effluentnya ke sungai
dan melalui muara sungai masuk ke laut. Input polutan dari pelabuhan dan
transportasi kapal dapat diketahui dari konsentrasi minyak terukur di pelabuhan.
Industri migas di pesisir Pantai Dumai merupakan sumber utama minyak yang
langsung masuk ke Selat Rupat setelah melalui proses pengolahan.
Jika dibandingkan dengan bakumutu (PerMenLH No.04 Tahun 2007)
konsentrasi minyak di effluent, yang terukur dari tahun 2002 hingga 2007 telah
melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan, dengan debit tertinggi terjadi
pada tahun 2001, yaitu 906 492 m3/bulan.
kapal yang produktif. Pelabuhan Dumai yang berada di area Selat Rupat dapat
menampung kapal (kapal ferry, cargo dan tanker) dengan berbagai ukuran. Data
menunjukkan kunjungan kapal setiap tahunnya (2002-2008) berkisar 4089 7332
kali dengan jumlah penumpang berkisar 731.188 hingga 1.012.529 orang
(ADPEL, 2009).
Ada dua jenis pelabuhan yang ada di Dumai yakni pelabuhan migas dan
pelabuhan umum. Hasil penelitian Nedi (2010), menunjukkan adanya fluktuasi
konsentrasi minyak di Pelabuhan Dumai pada berbagai waktu dan lokasi,
konsentrasi minyak yang tinggi terdapat di pelabuhan migas dengan konsentrasi
rata-rata adalah 5.7 ppm, sedangkan di pelabuhan umum adalah 5.9 ppm. Jika
dibandingkan dengan bakumutu (KepMenLH No.51 Tahun 2004 Lampiran I),
konsentrasi minyak di kedua pelabuhan tersebut telah melampaui nilai ambang
batas yang telah ditetapkan. Berdasarkan konsentrasi minyak tersebut terlihat
bahwa aktivitas pelabuhan Dumai baik pelabuhan umum dan pelabuhan migas
merupakan salah satu sumber polutan minyak utama di perairan Selat Rupat.
Secara lebih rinci Nedi (2010) mencatat rata-rata konsentrasi minyak pada
air permukaan di pelabuhan migas adalah adalah 5.5 ppm dan di sedimen adalah
0.178, sedangkan di pelabuhan umum konsentrasi rata-rata minyak di air adalah
5.3 ppm dan di sedimen adalah 0.163 ppm. Berdasarkan hal itu, maka konsentrasi
minyak pada air permukaan di pelabuhan adalah 30.9-34.3 kali konsentrasi
minyak di sedimennya. Menurut Lee et al. (2005), konsentrasi minyak terlarut di
perairan lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi minyak pada sedimen,
dikarenakan umumnya sedimentasi hanya terjadi pada minyak yang memiliki
berat jenis lebih besar dari pada air.
Aktivitas lain
Berbagai aktivitas lainnya yang ada di daratan mengalirkan effluentnya ke
sungai dan melalui muara sungai masuk ke laut. Sungai-sungai yang ada di Kota
Dumai umumnya merupakan sungai abadi yaitu sungai yang airnya dapat
mengalir sepanjang tahun. Ada lima sungai yang mengalir dari daratan dan
bermuara ke Selat Rupat, sungai-sungai tersebut adalah Sungai Buluhala, Sungai
Mampu, Sungai Mesjid, Sungai Dumai dan Sungai Pelintung.
Berdasarkan hasil penelitian Nedi (2010), konsentrasi minyak terbanyak
terdapat pada air muara Sungai Dumai berkisar 2.9-3.5 ppm dan pada sedimen
berkisar 0.028-0.081 ppm dan di muara Sungai Mesjid konsentrasi minyak di air
permukaan berkisar 3.4-3.9 ppm dan pada sedimen berkisar 0.052-0.117 ppm.
Pada umumnya rata-rata konsentrasi minyak pada air dan sedimen muara Sungai
Mesjid lebih tinggi daripada Sungai Dumai. Kedua sungai tersebut memberikan
kontribusi besar terhadap input polutan minyak di perairan Selat Rupat dan
berpotensi besar terhadap pencemaran minyak di Selat Rupat. Berdasarkan
bakumutu, konsentrasi minyak pada air kedua sungai tersebut telah melampaui
nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Pada muara Sungai Mesjid selama
empat periode (2006-2009), rata-rata konsentrasi minyak dalam air permukaan
adalah sekitar 50 kali konsentrasi minyak pada sedimen, sedangkan di muara
Posisi Selat Rupat yang semi tertutup dengan kondisi pasang-surut semidiurnal menyebabkan terjadinya akumulasi minyak di perairan yang dapat
menimbulkan kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove. Minyak yang
memiliki molekul resisten berpotensi untuk terakumulasi dan dapat menyebabkan
kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove. Polutan minyak masuk ke
ekosistem mangrovepada saat air pasang, dan saat air surut minyak akan terjebak
dan menempel pada akar mangrovedan permukaan sedimen. Minyak yang
terjebak pada ekosistem mangrovesulit untuk dibersihkan. Kontaminasi minyak
pada ekosistem mangrovedapat menutup akar nafas sehingga menyebabkan
rontoknya daun. Lapisan minyak akan menutupi seluruh sistem perakaran
mangroveyang mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada lentisel akar nafas,
sehingga pertukaran gas O2 dan CO2 akan terputus. Apabila hal ini terus berlanjut
dapat mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove. Oleh sebab itu, untuk
mengatasi resiko kerusakan lingkungan terhadap minyak perlu dilakukan
pengendalian pencemaran minyak di perairan.
Kondisi hidrooseanografi (arus, gelombang dan pasang-surut) perairan
sangat menentukan dalam penentuan aspek peralatan yang digunakan sebagai
teknologi
pengendalian.
Beberapa
mekanisme
umum
penanggulangan
Secara Kimiawi
Proses emulsifikasi minyak di dalam air dapat dipercepat dengan cairan
kimiawi yang disebut dengan dispersan. Cairan ini disemprotkan ke oil
Bioaugmentasi,
2).
Biostimulasi,
dengan
merangsang
pertumbuhan
dan
alga
biru.
Pertumbuhan
sel
mikroorganisme
untuk
minyak dan berkurangnya substrat maka populasi bakteri pengurai minyak ini
jumlahnya berkurang hingga hilang (Sin et al., 2001). Sehingga teknik
bioremediasi dapat menjadi alternatif yang digunakan dalam pengendalian
pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. Selain itu, para produsen minyak
dan gas harus memiliki protap (prosedur tetap) dan fasilitas penanggulangan
pencemaranminyak yang cukup memadai untuk digunakan dalam pengendalian
pencemaran minyak dan penanggulangan bencana pencemaran minyak yang
terjadi di luar lingkungan pelabuhan (ADPEL, 2009).
BAB III
PENUTUP
Perairan Selat Rupat berada antara di pesisir Kota Dumai dan Pulau Rupat,
Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Selat ini merupakan perairan semi tertutup
dengan tipe pasang surut semi-diurnal. Adanya aktivitas industri seperti
pengolahan minyak di pesisir pantai Dumai dan padatnya aktivitas transportasi di
pelabuhan Dumai diyakini sebagai sumber utama pencemaran minyak di perairan
Selat Rupat. Aktivitas industri di pesisir pantai Dumai langsung mengalirkan
effluent ke laut melalui saluran outlet, sedangkan aktivitas lain yang ada di daratan
mengalirkan effluentnya ke sungai dan melalui muara sungai kemudian masuk ke
laut. Sifat perairan selat Rupat yang semi tertutup membuat polutan minyak yang
berasal dari daratan dan transportasi laut di Selat Rupat hanya mengalami
pergerakan bolak-balik tanpa mampu keluar mencapai laut lepas (Selat Malaka).
Pada saat air surut (enam jam pertama) arus yang berasal dari arah timur
(Perairan Bengkalis) bergerak ke arah barat sehingga polutan minyak yang berasal
dari daratan (industri) dan pelabuhan yang ada di Selat Rupat akan ikut bergerak
mengikuti gerakan arus dan menyebar ke wilayah perairan di sekitarnya.
Sebaliknya, pada enam jam
Malaka) saat air pasang bergerak masuk ke Selat Rupat sehingga polutan minyak
yang telah menyebar sebelumnya ke arah barat akan kembali bergerak mengikuti
arah arus menuju timur.
Pencemaran minyak yang terjadi di perairan Selat Rupat memberikan
dampak yang berbeda-beda pada kawasan di sekitar perairan. Kepekaan yang
berbeda tersebut, digolongkan menjadi yakni kawasan yang sangat peka, kawasan
peka dan kurang peka. Kawasan yang sangat peka merupakan kawasan yang
sangat mudah rusak apabila tercemar oleh minyak dengan intensitas yang rendah,
yang tergolong dalam kawasan ini adalah Lubuk Gaung. Kawasan peka
merupakan kawasan mudah rusak apabila tercemar oleh minyak, yang tergolong
dalam
apabila tercemar oleh minyak, yang tergolong kawasan ini adalah Pelintung.
Beberapa alternatif yang dapat ditawarkan dalam mengatasi pencemaran minyak
diantaranya yakni dengan penanggulangan secara mekanik menggunakan alat
yang mengumpulkan tumpahan minyak; secara kimiawi dengan menggunakan
dispersan; dan secara biologis dengan menggunakan bakteri atau dikenal dengan
teknik bioremediasi.
DAFTAR PUSTAKA