Anda di halaman 1dari 21

Tugas Individu

MATA KULIAH
DEGRADASI DAN KESEHATAN LINGKUNGAN

PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN SELAT RUPAT


KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU

Disusun Oleh :
Vera Dwi Agustina
NIM: 14/375750/PMU/08461

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sudarmaji, M. Eng.Sc

MAGISTER PENGELOLAAN LINGKUNGAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Wibisono (2005) menyatakan bahwa peranan laut nasional bagi bangsa

Indonesia berdasarkan dari hasil dari seminar laut nasional yakni:


a. Sebagai media komunikasi dan transportasi;
b. Sebagai sumber mineral dan hasil-hasil tambangnya;
c. Sebagai sumberdaya hayati laut yang dapat menghasilkan sumber protein
konsumtif di samping protein hewani yang berasal dari ternak potong dan
protein nabati;
d. Sebagai media pertahanan dan keamanan nasional;
e. Sebagai media olahraga dan sarana pariwisata yang mampu menghasilkan
devisa negara; dan
f. Sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Namun, disisi lain laut merupakan bank sampah yang dapat menyebabkan
pencemaran. Laut berinteraksi dengan lingkungan daratan melalui muara sungai,
di mana buangan limbah dari daratan melalui sungai akan bermuara ke laut. Selain
itu, air laut juga sebagai tempat penerimaan polutan (bahan pencemar) yang jatuh
dari atmosfir. Limbah tersebut kemudian masuk ke dalam ekosistem perairan
pantai dan laut. Sebagian polutan akan larut dalam air, sebagian lagi tenggelam ke
dasar dan terkonsentrasi ke sedimen, dan tidak jarang pula masuk ke dalam
jaringan tubuh organisme laut.
Menurut Clark (2001), dampak dari pencemaran laut dapat memberikan
pengaruh yang membahayakan terhadap kehidupan biota, sumberdaya ekosistem
laut, kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut.
Pencemaran itu sendiri adalah suatu perubahan dari kondisi awal ke
kondisi yang lebih buruk sebagai akibat masukan dari bahan-bahan pencemar atau
polutan. Suatu lingkungan dikatakan tercemar apabila telah terjadi perubahan-

perubahan dalam tatanan lingkungan sehingga tidak sama lagi dengan bentuk
asalnya, sebagai akibat masuk dan atau dimasukkannya suatu zat atau benda asing
ke dalam tatanan lingkungan. Perubahan ini memberikan pengaruh (dampak)
buruk terhadap organisme yang telah ada dan hidup baik dalam tatanan tersebut.
Pada tingkat lanjut, perubahan ini juga dapat membunuh bahkan menghapuskan
satu atau lebih organisme (Palar, 2008).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 19 Tahun 1999, pencemaran
laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya menjadi turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya
(Pramudianto, 1999).
Banyak aktivitas manusia yang berada di daratan maupun di laut yang
dapat menyebabkan pencemaran. Sumber pencemaran di laut dapat dibagi dalam
5 golongan, yaitu :1). pembuangan kotoran dan sampah dari kota Industri, serta
penggunaan pestisida dibidang pertanian; 2). pengotoran yang berasal dari kapalkapal laut; 3). kegiatan penggalian kekayaan mineral dasar laut; 4). pembuangan
bahan-bahan radio aktif dalam kegiatan penggunaan tenaga nuklir dalam rangka
perdamaian; dan 5). penggunaan laut untuk tujuan militer (Hasyim, 1979).
Bahan-bahan pencemar yang dibuang ke laut diklasifikasikan atas
senyawa konservatif (senyawa yang sukar terurai) dan senyawa non konservatif
(senyawa yang mudah terurai di perairan). Polutan yang masuk ke perairan laut
seringkali mengandung senyawa konservatif dan non-konservatif, misalnya
polutan minyak.
Minyak merupakan salah satu polutan yang berpotensi mencemari laut.
Pencemaran minyak di laut semakin banyak terjadi seiring dengan semakin
meningkatnya permintaan minyak untuk dunia industri yang kemudian harus
diangkut dari sumbernya yang cukup jauh, meningkatnya jumlah anjungananjungan pengeboran minyak lepas pantai dan juga semakin meningkatnya
kepadatan transportasi laut.

Lalu lintas kapal tanker serta kegiatan eksplorasi dan produksi minyak di
lepas pantai telah menjadikan kawasan-kawasan tertentu di perairan Indonesia
seperti Selat Malaka, Selat Lombok dan Selat Makasar potensial terhadap
pencemaran tumpahan minyak.
Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat
Malaka. Oleh karena letaknya yang berdekatan dengan Selat Malaka sebagai jalur
pelayaran dunia, menyebabkan Kota Dumai yang berada di pesisir Selat Rupat
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kemajuan kegiatan-kegiatan
perindustrian, perdagangan, pertanian, pelayaran dan lainnya di sekitar Selat
Rupat khususnya pesisir Kota Dumai secara langsung akan mengakibatkan
timbulnya tekanan terhadap sistem lingkungan di Selat Rupat. Akibatnya terjadi
penurunan kualitas perairan, karena masukan limbah yang terus bertambah.
Secara geografis Selat Rupat terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan
Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Selat ini memiliki panjang
72.4 km dan lebar (dari garis Pantai Dumai hingga pantai Pulau Rupat) 3.8 8.0
km. Selat Rupat dapat dilayari oleh berbagai kapal-kapal berbobot besar, termasuk
kapal tanker. Selat ini berpotensi penting sebagai pelabuhan utama yang mampu
menunjang perekonomian Propinsi Riau. Berbagai aktivitas transportasi,
penyimpanan, pengolahan dan distribusi minyak maupun kegiatan industri di
pesisir Pantai Dumai menyebabkan perairan Selat Rupat rawan terhadap
pencemaran minyak. Posisi Selat Rupat yang semi tertutup berpotensi bagi
polutan minyak untuk terakumulasi di perairan yang dapat menimbulkan
kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove.
1.2.

Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai

sumber pencemaran minyak di perairan Selat Rupat, dampak yang ditimbulkan


dan alternatif dalam menangani pencemaran tersebut.

BAB II
ISI

2.1. Tinjauan Pustaka


2.1.1. Pencemaran Minyak
Tumpahan minyak di laut berasal dari sumber yang beragam, tidak
hanya berasal dari kapal tanker namun juga kerusakan peralatan atau platform
minyak. Input polutan minyak terbesar berasal dari pengoperasian kapal tanker.
Hal ini dikarenakan produksi minyak bumi di dunia diperkirakan sebanyak tiga
miliar ton per tahunnya dan setengahnya dikirimkan melalui transportasi laut
dengan memanfaatkan kapal tanker (Hartanto, 2008). Selanjutnya Pertamina
(2002), menambahkan pencemaran minyak di laut dapat berasal dari:
a. Ladang minyak bawah laut
b. Docking (perbaikan/perawatan kapal)
c. Operasi kapal tanker
d. Terminal bongkar muat tengah laut
e. Scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk dijadikan besi tua)
f. Tangki ballast dan tangki bahan bakar
g. Kecelakaan kapal tanker (kandas, ledakan, kebakaran, tabrakan dan
kebocoran lambung)
h. Tangki ballast dan tangki bahan bakar
i. Tempat pembersihan (dari limbah pembuangan reinery).
Penyebaran minyak yang masuk ke perairan tergantung pada jumlah,
karakteristik dan tipe minyak, kondisi cuaca, gelombang dan arus. Polutan yang
berasal dari minyak bumi (petroleum hydrocarbon) telah memperoleh perhatian
yang sangat besar secara internasional, politik dan keilmuan apabila mencemari
perairan. Hal ini disebabkan karena pengaruh

minyak terhadap ekosistem

perairan mampu menurunkan kualitas air laut (Mukhtasor, 2007).

Pada saat terjadi pencemaran minyak, polutan ini akan pecah dan
menyebar ke lingkungan laut selama beberapa waktu. Penghamburan ini adalah
hasil dari sejumlah proses kimia dan fisik yang menyebabkan berubahnya
komposisi minyak. Proses tersebut dinamakan pelapukan (weathering). Cara
dimana lapisan minyak pecah dan menyebar sangat tergantung pada ketahanan
(persisten) minyak tersebut. Produk ringan seperti kerosin cenderung terevaporasi,
tersebar dengan cepat dan akan hilang secara alami (IPIECA, 2001).
Adapun karakteristik fisik minyak yang mempengaruhi prilaku minyak
di laut adalah densitas, viskositas, titik ubah (pour point) dan kelarutan air.
Densitas ditunjukan dari nilai specific gravity dan American Petroleum Institute
(API) gravity. API gravity dinyatakan dalam angka 10 pada air murni 10C.
Minyak mentah mempunyai specific gravity pada kisaran 0,79-1,00. Viskositas
mempengaruhi penyebaran minyak di air, jika viskositas rendah berarti mudah
mengalir. Titik ubah diartikan sebagai tingkatan suhu yang dapat mengubah
minyak menjadi memadat atau berhenti mengalir. Titik ubah minyak mentah
berkisar 57C hingga 32C. Kelarutan minyak dalam air adalah rendah sekitar 30
mg/L dan tergantung kepada komposisi kimia dan suhu (BP Migas, 2002).
Ketika minyak masuk ke lingkungan laut, maka minyak tersebut dengan
segera akan

mengalami perubahan secara fisik dan kimia. Diantara proses

tersebut adalah membentuk lapisan (slick formation), menyebar (dissolution),


menguap

(evaporation),

polimerasi

(emulsification), emulsi air dalam minyak

(polymerization),

emulsifikasi

(water in oil emulsions), emulsi

minyak dalam air (oil in water emulsions), fotooksida, biodegradasi mikorba,


sedimentasi, dicerna oleh planton dan bentukan gumpalan (Mukhtasor, 2007).
Hampir semua tumpahan minyak di lingkungan laut dapat dengan segera
membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan. Hal ini dikarenakan minyak
tersebut digerakkan oleh pergerakan angin, gelombang dan arus, selain gaya
gravitasi dan tegangan permukaan. Beberapa hidrokarbon minyak bersifat mudah
menguap, dan cepat menguap. Proses penyebaran minyak akan menyebarkan
lapisan menjadi tipis serta tingkat penguapan meningkat. Hilangnya sebagian
material yang mudah menguap tersebut membuat minyak lebih padat/ berat dan

membuatnya tenggelam. Komponen hidrokarbon yang terlarut dalam air laut,


akan membuat lapisan lebih tebal dan melekat, dan turbulensi air akan
menyebabkan emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Ketika semua
terjadi, reaksi fotokimia dapat mengubah karakter minyak dan akan terjadi
biodegradasi oleh mikroba yang akan mengurangi jumlah minyak.Proses
pembentukan lapisan minyak yang begitu cepat, ditambah dengan penguapan
komponen dan penyebaran komponen hidrokarbon akan mengurangi volume
tumpahan sebanyak 50% selama beberapa hari sejak pertama kali minyak tersebut
tumpah. Produk kilang minyak, seperti gasolin atau kerosin hampir semua lenyap,
sebaliknya minyak mentah dengan viskositas yang tinggi hanya mengalami
pengurangan kurang dari 25%.
2.1.2. Dampak Pencemaran Minyak
Sumadhiharga (1995) membagi dampak kerusakan yang disebabkan oleh
pencemaran minyak di laut menjadi dua tipe jangka waktu yaitu dampak jangka
pendek dan dampak jangka panjang.
Dampak jangka pendek dari pencemaran minyak antara lain kerusakan
membran sel biota laut akibat penetrasi molekul-molekul hidrokarbon minyak
sehingga keluarnya cairan sel dari biota laut, munculnya aroma dan bau minyak
pada berbagai jenis udang dan ikan sehingga menyebabkan turunnya mutu dari
biota tersebut, kematian pada ikan yang disebabkan oleh minimnya oksigen pada
lingkungan tersebut, keracunan karbon dioksida, dan keracunan langsung oleh
bahan berbahaya. Dampak jangka panjang dari pencemaran minyak akan sangat
terasa bagi biota laut yang masih muda. Minyak di dalam laut dapat termakan
oleh biota-biota laut pada saat sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan
bersamaan dengan kotoran sedang sebagian lagi dapat terakumulasi dalam
senyawa

lemak

dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari

organisme ke organisme lain melalui rantai makanan. Dampak kerusakan secara


langsung dari tumpahan minyak terjadi di lingkungan laut terutama pada

tempat rekreasi, pemukiman nelayan serta wilayah tambak di pesisir pantai


(Misran, 2002).
Pencemaran minyak berpengaruh besar terhadap ekosistem laut, penetrasi
cahaya matahari akan

menurun

akibat tertutup lapisan minyak. Proses

fotosintesis akan terhalang pada zona euphotik, sehingga rantai makanan akan
terputus. Lapisan minyak juga menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan
mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya perairan tidak mampu lagi untuk
mendukung kehidupan laut yang aerob (IPIECA, 2001).
Menurut Darmono (2001), komponen hidrokarbon aromatis dari minyak
bumi seperti senyawa benzen dan toluen merupakan senyawa toksik yang
langsung membunuh biota perairan saat terjadinya pencemaran minyak di
perairan. Senyawa ini pada konsentrasi tertentu, dapat mematikan organisme laut
yang

hidupnya menetap seperti kerang, larva ikan karena tidak

mampu

melarikan diri dengan cepat. Efek sub-letal dari minyak bumi adalah dapat
mengganggu

kemampuan organisme laut untuk

berproduksi, tumbuh dan

mencari makan karena terjadinya perpanjangan paparan konsentrasi minyak.


Hewan yang

hidup menetap di perairan dangkal misalnya dari jenis

kerang dan remis, secara rutin menyaring sejumlah besar air laut untuk
mengekstrak makanan. Hewan tersebut akan mengakumulasi komponen minyak
sehingga keberadaan minyak dalam tubuh organisme dapat menyebabkan hewan
tersebut menjadi tidak layak dikonsumsi, karena adanya rasa atau aroma minyak
dan dapat menggangu kesehatan yang mengkonsumsi.
Secara fisik, pencemaran minyak akan terlihat jelas pada lingkungan laut
seperti pantai menjadi kotor akibat permukaan airlaut

tertutup oleh lapisan

minyak atau karena gumpalan di permukaan airlaut. Secara kimia, minyak bumi
mengandung senyawa aromatik hidrokarbon yang bersifat toksik dan dapat
mematikan organisme laut. Secara biologi, adanya pencemaran minyak dapat
mengganggu kehidupan organisme termasuk ikan. Pengaruh spesifik dampak dari
pencemaran minyak terhadap lingkungan perairan laut dan pantai tergantung
pada jumlah
(Syakti, 2004).

minyak yang mencemari, lokasi kejadian, dan waktu kejadian

Menurut Supriharyono (2000), tingkat kerusakan akibat pencemaran


minyak bergantung pada jumlah dan konsentrasi minyak di perairan, jenis dan
sifat kimia minyak yang mencemari serta kepekaan ekosistem terhadap dampak
pencemaran minyak tersebut. Pencemaran minyak di laut dapat menyebabkan
dampak yang lebih luas karena terbawa arus dan gelombang laut.
Pencemaran minyak, secara langsung dapat mengganggu keadaan
lingkungan laut pada tempat-tempat rekreasi di pantai. Juga dapat mengganggu
pemukiman penduduk sepanjang pantai serta menggangu peternakan/binatang
piaraan penduduk sepanjang pantai. Secara tidak langsung, pencemaran laut
akibat minyak mentah dengan susunannya yang kompleks dapat membinasakan
kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut. Ikan yang hidup
di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang bermigrasi ke
daerah lain. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi
sinar matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam. Pohon-pohon
mangrove yang masih muda (berumur 4-5 tahun) juga musnah akibat pencemaran
minyak.
2.2. Pembahasan

Gambar 1. Peta Selat Rupat

Sumber : Indonesia Tourism (2014)

Pencemaran minyak perairan Selat Rupat berasal dari dua sumber utama,
yaitu aktivitas industri di daratan dan aktivitas transportasi di pelabuhan.

Aktivitas Industri
Kota Dumai merupakan wilayah operasi dua perusahaan minyak terbesar

(PT.CPI dan Pertamina UP II Dumai) yang mengeksploitasi minyak mentah dari


berbagai sumur minyak di Propinsi Riau dan mengolahnya menjadi produk bahan
bakar minyak (BBM). Sehingga adanya industri pengolahan minyak, transportasi
dan distribusi minyak serta input minyak dari muara sungai mengakibatkan Selat
Rupat rawan terhadap pencemaran minyak.
Posisi Selat Rupat yang semi tertutup ini memberikan peluang yang besar
terhadap polutan minyak untuk terakumulasi di perairan. Perairan Selat Rupat
merupakan perairan yang semi-diurnal dengan arus pasang-surut setiap selang
waktu enam jam sekali. Menurut Nontji (2007), tipe pasang-surut tersebut
termasuk ke dalam tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda. Pada
umumnya polutan minyak yang berasal dari daratan dan transportasi laut di Selat
Rupat hanya mengalami pergerakan bolak-balik tanpa mampu keluar mencapai
laut lepas (Selat Malaka). Oleh sebab itu, untuk jenis minyak yang sukar terurai
(resisten) potensi akumulasi dapat terjadi di perairan.
Hasil studi yang dilakukan oleh Pertamina & PPLH UNRI (2002),
menunjukkan bahwa gerakan polutan minyak yang masuk ke Selat Rupat
hanya mengalami pergerakan bolak-balik tanpa mampu keluar mencapai laut
lepas (Selat Malaka). Pada saat surut (enam jam pertama) arus yang berasal dari
arah timur (Perairan Bengkalis) bergerak ke arah barat sehingga polutan minyak
yang berasal dari daratan (industri) dan pelabuhan yang ada di Selat Rupat akan
ikut bergerak mengikuti gerakan arus dan menyebar ke wilayah perairan di
sekitarnya. Sebaliknya, pada enam jam kedua arus yang berasal dari arah utara
(Selat Malaka) saat air pasang bergerak masuk ke Selat Rupat sehingga polutan
minyak yang telah menyebar sebelumnya ke arah barat akan kembali bergerak
mengikuti arah arus menuju timur. Kecepatan arus sangat mempengaruhi gerakan
minyak tersebut.

Minyak dari daratan masuk (input) ke perairan Selat Rupat dari aktivitas
industri baik secara langsung maupun tidak langsung. Aktivitas industri di pesisir
pantai Dumai langsung mengalirkan effluent ke laut melalui saluran outlet,
sedangkan aktivitas lain yang ada di daratan mengalirkan effluentnya ke sungai
dan melalui muara sungai masuk ke laut. Input polutan dari pelabuhan dan
transportasi kapal dapat diketahui dari konsentrasi minyak terukur di pelabuhan.
Industri migas di pesisir Pantai Dumai merupakan sumber utama minyak yang
langsung masuk ke Selat Rupat setelah melalui proses pengolahan.
Jika dibandingkan dengan bakumutu (PerMenLH No.04 Tahun 2007)
konsentrasi minyak di effluent, yang terukur dari tahun 2002 hingga 2007 telah
melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan, dengan debit tertinggi terjadi
pada tahun 2001, yaitu 906 492 m3/bulan.

Aktivitas Transportasi di Pelabuhan


Selat Rupat, merupakan jalur transportasi strategis dan rute alternatif

kapal yang produktif. Pelabuhan Dumai yang berada di area Selat Rupat dapat
menampung kapal (kapal ferry, cargo dan tanker) dengan berbagai ukuran. Data
menunjukkan kunjungan kapal setiap tahunnya (2002-2008) berkisar 4089 7332
kali dengan jumlah penumpang berkisar 731.188 hingga 1.012.529 orang
(ADPEL, 2009).
Ada dua jenis pelabuhan yang ada di Dumai yakni pelabuhan migas dan
pelabuhan umum. Hasil penelitian Nedi (2010), menunjukkan adanya fluktuasi
konsentrasi minyak di Pelabuhan Dumai pada berbagai waktu dan lokasi,
konsentrasi minyak yang tinggi terdapat di pelabuhan migas dengan konsentrasi
rata-rata adalah 5.7 ppm, sedangkan di pelabuhan umum adalah 5.9 ppm. Jika
dibandingkan dengan bakumutu (KepMenLH No.51 Tahun 2004 Lampiran I),
konsentrasi minyak di kedua pelabuhan tersebut telah melampaui nilai ambang
batas yang telah ditetapkan. Berdasarkan konsentrasi minyak tersebut terlihat
bahwa aktivitas pelabuhan Dumai baik pelabuhan umum dan pelabuhan migas
merupakan salah satu sumber polutan minyak utama di perairan Selat Rupat.

Secara lebih rinci Nedi (2010) mencatat rata-rata konsentrasi minyak pada
air permukaan di pelabuhan migas adalah adalah 5.5 ppm dan di sedimen adalah
0.178, sedangkan di pelabuhan umum konsentrasi rata-rata minyak di air adalah
5.3 ppm dan di sedimen adalah 0.163 ppm. Berdasarkan hal itu, maka konsentrasi
minyak pada air permukaan di pelabuhan adalah 30.9-34.3 kali konsentrasi
minyak di sedimennya. Menurut Lee et al. (2005), konsentrasi minyak terlarut di
perairan lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi minyak pada sedimen,
dikarenakan umumnya sedimentasi hanya terjadi pada minyak yang memiliki
berat jenis lebih besar dari pada air.

Aktivitas lain
Berbagai aktivitas lainnya yang ada di daratan mengalirkan effluentnya ke

sungai dan melalui muara sungai masuk ke laut. Sungai-sungai yang ada di Kota
Dumai umumnya merupakan sungai abadi yaitu sungai yang airnya dapat
mengalir sepanjang tahun. Ada lima sungai yang mengalir dari daratan dan
bermuara ke Selat Rupat, sungai-sungai tersebut adalah Sungai Buluhala, Sungai
Mampu, Sungai Mesjid, Sungai Dumai dan Sungai Pelintung.
Berdasarkan hasil penelitian Nedi (2010), konsentrasi minyak terbanyak
terdapat pada air muara Sungai Dumai berkisar 2.9-3.5 ppm dan pada sedimen
berkisar 0.028-0.081 ppm dan di muara Sungai Mesjid konsentrasi minyak di air
permukaan berkisar 3.4-3.9 ppm dan pada sedimen berkisar 0.052-0.117 ppm.
Pada umumnya rata-rata konsentrasi minyak pada air dan sedimen muara Sungai
Mesjid lebih tinggi daripada Sungai Dumai. Kedua sungai tersebut memberikan
kontribusi besar terhadap input polutan minyak di perairan Selat Rupat dan
berpotensi besar terhadap pencemaran minyak di Selat Rupat. Berdasarkan
bakumutu, konsentrasi minyak pada air kedua sungai tersebut telah melampaui
nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Pada muara Sungai Mesjid selama
empat periode (2006-2009), rata-rata konsentrasi minyak dalam air permukaan
adalah sekitar 50 kali konsentrasi minyak pada sedimen, sedangkan di muara

Sungai Dumai konsentrasi minyak pada air permukaan mencapai 69 kali


konsentrasi minyak dalam sedimennya.
Input minyak dari muara sungai tidak seperti halnya input effluent
industri, karena penyebaran dan kelarutan minyak tidak sama di berbagai
kedalaman sungai hingga sedimen dasar perairan. Menurut Lee et al. (2005),
sedimentasi minyak hanya terjadi pada minyak yang memiliki berat jenis lebih
besar dari pada air atau pada saat minyak mengikat lebih banyak sedimen
sehingga menjadi lebih padat, berat dari air yang akhirnya tenggelam dan
bergabung dengan sedimen.
Menurut Clark (2001), konsentrasi minyak yang tinggi di perairan akan
menyebabkan tingginya pemakaian oksigen terlarut untuk proses penguraian
(degradasi) sehingga konsentrasi oksigen terlarut menurun. Konsentrasi minyak
yang tinggi membutuhkan oksigen yang banyak untuk menguraikannya sehingga
konsentrasi oksigen terlarut di perairan menjadi rendah.
Komponen hidrokarbon aromatis dari minyak bumi (benzena dan toluene)
merupakan senyawa toksik yang mampu membunuh biota perairan saat terjadinya
pencemaran minyak di perairan (Darmono, 2001). Berdasarkan hasil paparan di
atas kondisi Selat Rupat telah tercemar oleh minyak yang tentunya berpengaruh
buruk terhadap ekosistem perairan.
Adanya lapisan minyak di perairan menyebabkan penetrasi cahaya
matahari akan menurun. Proses fotosintesis akan terhalang pada zona euphotik,
sehingga rantai makanan akan terputus. Lapisan minyak juga menghalangi
pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya
perairan tidak mampu lagi untuk mendukung kehidupan laut yang aerob (IPIECA,
2001).
Pencemaran minyak secara langsung dapat mengganggu lingkungan laut
di lokasi pantai. Secara tidak langsung, pencemaran minyak dapat membinasakan
kekayaan laut dan mengganggu produktifitas di dasar laut. Ikan yang hidup di
kitarnya akan tercemar, mati dan banyak pula yang bermigrasi ke daerah lain.
Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi sinar matahari
masuk sampai ke lapisan air dimana ikan hidup (Chahaya, 2003).

Kawasan Selat Rupat memiliki kepekaan yang berbeda terhadap polutan


minyak sesuai karakteristik lingkungan di wilayah tersebut. Berdasarkan tingkat
kepekaannya, wilayah termasuk kategori sangat peka adalah wilayah dengan
sumberdaya pesisir yang mudah rusak akibat tercemar minyak dengan intensitas
yang sedikit dimana wilayah ini memiliki sumberdaya alam dengan produktivitas
yang tinggi dan memiliki kontribusi besar terhadap ekosistem dan masyarakat di
sekitarnya. Lokasi yang tercakup dalam wilayah ini adalah wilayah Lubuk Gaung.
Wilayah peka adalah wilayah yang memiliki sumberdaya yang mudah rusak dan
memerlukan waktu yang lama untuk memperbaharuinya. Wilayah yang termasuk
peka adalah wilayah Pulau Ketam. Wilayah yang kurang peka adalah wilayah
yang dicirikan oleh tipe penutupan non mangrove dan pemukiman. Lokasi yang
termasuk dalam kategori kurang peka adalah wilayah Pelintung yang dicirikan
oleh penutupan belukar, vegetasi non mangrove serta pemukiman (Nedi, 2010).
Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda akan memberikan
respon yang berbeda terhadap polutan minyak. Wilayah yang sangat peka akan
memberikan respon negatif yang dapat membahayakan ekosistem di sekitarnya
walaupun konsentrasi minyaknya relatif rendah. Sebaliknya, wilayah yang kurang
peka akan memberikan respon yang tidak membahayakan saat polutan minyak
memasuki wilayah tersebut.
Menurut NOAA (2002), kepekaan suatu perairan ditentukan oleh garis
pantai (termasuk tipe sedimen, gelombang dan arus laut dan kemiringan pantai),
sumberdaya biologi (terutama vegetasi yang tumbuh di sekitar pantai) dan
pemanfaatan wilayah pesisir dan laut (daerah pelabuhan, pemukinan nelayan,
pariwisata dan lain-lain). Berdasarkan garis pantai, Lubuk Gaung, Pesisir Rupat
Barat dan Selatan memiliki pantai yang landai dengan kemiringan <3 %,
gelombang laut dengan morfologi pantai yang terlindung, memiliki tipe substrat
dasar yang didominasi oleh sedimen pasir berlumpur sehingga memiliki kepekaan
yang sangat tinggi. Sedimen sangat rentan terhadap minyak karena bersifat
impermiabel, minyak dapat berpenetrasi dan terkubur ke dalam sedimen, sehingga
saat terjadi pencemaran minyak sangat sulit memulihkannya.

Posisi Selat Rupat yang semi tertutup dengan kondisi pasang-surut semidiurnal menyebabkan terjadinya akumulasi minyak di perairan yang dapat
menimbulkan kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove. Minyak yang
memiliki molekul resisten berpotensi untuk terakumulasi dan dapat menyebabkan
kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove. Polutan minyak masuk ke
ekosistem mangrovepada saat air pasang, dan saat air surut minyak akan terjebak
dan menempel pada akar mangrovedan permukaan sedimen. Minyak yang
terjebak pada ekosistem mangrovesulit untuk dibersihkan. Kontaminasi minyak
pada ekosistem mangrovedapat menutup akar nafas sehingga menyebabkan
rontoknya daun. Lapisan minyak akan menutupi seluruh sistem perakaran
mangroveyang mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada lentisel akar nafas,
sehingga pertukaran gas O2 dan CO2 akan terputus. Apabila hal ini terus berlanjut
dapat mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove. Oleh sebab itu, untuk
mengatasi resiko kerusakan lingkungan terhadap minyak perlu dilakukan
pengendalian pencemaran minyak di perairan.
Kondisi hidrooseanografi (arus, gelombang dan pasang-surut) perairan
sangat menentukan dalam penentuan aspek peralatan yang digunakan sebagai
teknologi

pengendalian.

Beberapa

mekanisme

umum

penanggulangan

pencemaran laut akibat tumpahan minyak antara lain:


1. Secara Mekanik
Pada cara ini digunakan alat yang berfungsi mengumpulkan tumpahan
minyak (boom, skimmer, sponge), sehingga tumpahan minyak terlokalisir
dalam suatu daerah yang sempit. Pegumpulan tumpahan minyak juga
dapat dilakukan dengan menggunakan pompa Hidrostal yang bekerja
secara hidrolik. Namun, upaya ini terhitung sulit dan mahal meskipun
disebut sebagai pemecahan ideal terutama untuk mereduksi minyak pada
area sensitif, seperti pantai dan daerah yang sulit dibersihkan dan pada saat
awal tumpahan.
2.

Secara Kimiawi
Proses emulsifikasi minyak di dalam air dapat dipercepat dengan cairan
kimiawi yang disebut dengan dispersan. Cairan ini disemprotkan ke oil

slick dari permukaan laut. Namun, penggunaan dispersan dapat berakibat


buruk yakni mengancam biota laut dan tidak terlalu signifikan dalam
manfaatnya.
3. Secara Biologis
Penanggulangan dengan menggunakan bakteri pemakan minyak yang
disebut dengan teknik bioremediasi. Ada dua pendekatan yang dapat
digunakandalam bioremediasi tumpahan minyak: 1).

Bioaugmentasi,

mikroorganisme ditambahkan untuk melengkapi mikroba yang sudah ada


di peraian agar dapat lebih cepat menguraikan minyak yang ada di
perairan;

2).

Biostimulasi,

dengan

merangsang

pertumbuhan

mikroorganisme pengurai minyak dengan cara menambahkan nutrien yang


dibutuhkan untuk pertumbuhannya (Venosa dan Zhu, 2003).
Pengendalian pencemaran minyak dengan teknologi bioremediasi lebih
ramah terhadap lingkungandibandingkan oilboom dan dispersant. Wilayah rawa
danpantai dengan vegetasi hutan mangrovesecara ekonomismemerlukan prioritas
utama untuk dilindungi namunberdasarkan pertimbangan ekologi penggunaan
dispersantdapat menyebabkan kerusakan ekosistem (IPIECA, 2001).
Bioremediasi merupakan cara penanggulangan minyak yang paling
aman bagi lingkungan (Munawar et al., 2007). Bioremediasi menggunakan
mikroorganisme pengurai minyak banyak terdapat di lingkungan seperti
sianobakteria

dan

alga

biru.

Pertumbuhan

sel

mikroorganisme

untuk

mendegredasi minyak tergantung pada suplai oksigen yang mencukupi dan


nitrogen sebagai sumber

nutrien. Seiring dengan berkurangnya konsentrasi

minyak dan berkurangnya substrat maka populasi bakteri pengurai minyak ini
jumlahnya berkurang hingga hilang (Sin et al., 2001). Sehingga teknik
bioremediasi dapat menjadi alternatif yang digunakan dalam pengendalian
pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. Selain itu, para produsen minyak
dan gas harus memiliki protap (prosedur tetap) dan fasilitas penanggulangan
pencemaranminyak yang cukup memadai untuk digunakan dalam pengendalian
pencemaran minyak dan penanggulangan bencana pencemaran minyak yang
terjadi di luar lingkungan pelabuhan (ADPEL, 2009).

BAB III
PENUTUP
Perairan Selat Rupat berada antara di pesisir Kota Dumai dan Pulau Rupat,
Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Selat ini merupakan perairan semi tertutup
dengan tipe pasang surut semi-diurnal. Adanya aktivitas industri seperti
pengolahan minyak di pesisir pantai Dumai dan padatnya aktivitas transportasi di
pelabuhan Dumai diyakini sebagai sumber utama pencemaran minyak di perairan
Selat Rupat. Aktivitas industri di pesisir pantai Dumai langsung mengalirkan
effluent ke laut melalui saluran outlet, sedangkan aktivitas lain yang ada di daratan
mengalirkan effluentnya ke sungai dan melalui muara sungai kemudian masuk ke
laut. Sifat perairan selat Rupat yang semi tertutup membuat polutan minyak yang
berasal dari daratan dan transportasi laut di Selat Rupat hanya mengalami
pergerakan bolak-balik tanpa mampu keluar mencapai laut lepas (Selat Malaka).
Pada saat air surut (enam jam pertama) arus yang berasal dari arah timur
(Perairan Bengkalis) bergerak ke arah barat sehingga polutan minyak yang berasal
dari daratan (industri) dan pelabuhan yang ada di Selat Rupat akan ikut bergerak
mengikuti gerakan arus dan menyebar ke wilayah perairan di sekitarnya.
Sebaliknya, pada enam jam

kedua arus yang berasal dari arah utara (Selat

Malaka) saat air pasang bergerak masuk ke Selat Rupat sehingga polutan minyak
yang telah menyebar sebelumnya ke arah barat akan kembali bergerak mengikuti
arah arus menuju timur.
Pencemaran minyak yang terjadi di perairan Selat Rupat memberikan
dampak yang berbeda-beda pada kawasan di sekitar perairan. Kepekaan yang
berbeda tersebut, digolongkan menjadi yakni kawasan yang sangat peka, kawasan
peka dan kurang peka. Kawasan yang sangat peka merupakan kawasan yang
sangat mudah rusak apabila tercemar oleh minyak dengan intensitas yang rendah,
yang tergolong dalam kawasan ini adalah Lubuk Gaung. Kawasan peka
merupakan kawasan mudah rusak apabila tercemar oleh minyak, yang tergolong
dalam

kawasan ini adalah Pulau Ketam. Kawasan

kurang peka merupakan

kawasan yang memberikan respon tidak membahayakan bagi ekosistemnya

apabila tercemar oleh minyak, yang tergolong kawasan ini adalah Pelintung.
Beberapa alternatif yang dapat ditawarkan dalam mengatasi pencemaran minyak
diantaranya yakni dengan penanggulangan secara mekanik menggunakan alat
yang mengumpulkan tumpahan minyak; secara kimiawi dengan menggunakan
dispersan; dan secara biologis dengan menggunakan bakteri atau dikenal dengan
teknik bioremediasi.

DAFTAR PUSTAKA

ADPEL. Administrator Pelayaran Dumai. 2009. Jumlah Kunjungan Kapal di


Pelabuhan Dumai. ADPEL Pelabuhan Kelas I Dumai. Dumai.
BP MIGAS. Badan Pelaksana Kegiatan Minyak dan Gas Bumi. 2002. Buku Pintar
BP MIGAS. Jakarta.
Chahaya, I. 2003. Ikan sebagai Alat Monitor Pencemaran. Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Clark, R. B. 2001. Marine Pollution. Oxford University Press. United Kingdom.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungannya dengan
Toksikologi Senyawa Logam. UI-Press. Jakarta.
Hartanto, Benny. 2008. Oil Spill (Tumpahan Minyak) Di Laut dan Beberapa
Kasus di Indonesia. Bahari Jogja. Yogyakarta.
IPIECA. International Petroleum Industry Environment Conservation Association.
2001. Dispertant and Their Role in Oil Spill Response. Report Series Vol.
VIII. London.
Lee, LC., Hsieh TM and Fang DM. 2005. Aliphatic and Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons in Sediments Kaohsiun Harbour and Adjacent Cost
Taiwan. Enviromental Monitoring and Assessment (2005) 100: 217-234.
Springer. New York.
Misran. 2002. Aplikasi Teknologi Berbasiskan Membran dalam Bidang
Bioteknologi Kelautan Pengendalian Pencemaran. Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Edisi I. Pradnya Paramita.
Jakarta.
Munawar., Estuningsih S.P., Yudono B., Said M. dan Salni. 2007. Studi
Penggunaan Bakteri Petrofilik dalam Proses Bioremediasi Hidrokarbon
Minyak Bumi di Wilayah Sumatera Bagian Selatan. Universitas
Sriwijaya.
Nedi S. 2010. Model Pengendalian Pencemaran Minyak di Selat Rupat. Riau.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Edisi Revisi. Djambatan. Jakarta.

NOAA. National Oceanic and Atmospheric Administration. 2002. Oil Spills in


Mangroves: Planning amd Response Considerations. Lousiana. US
Departement of Commerce.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Laut. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007 Tentang Baku Mutu
Air Laut (Lampiran I dan III). Sekretariat Kementrian Lingkungan
Hidup. Jakarta.
Pertamina. 2002. Basic Safety Trainning, Diklat Khusus Dit. PKK Pertamina.
Pertamina. Jakarta.
Pertamina dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau. 2002.
Sedimentasi dan Dispersi Limbah Cair Pertamina Dumai. Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau. Pekanbaru.
Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.
Pramudianto, Bambang. 1999. Sosialisasi Peraturan Pemerintah No.19 Tahun
1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut.
Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas
Lingkungan Pesisir dan Laut. Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan
ITB. Bandung.
Shin SW., Pardue HJ., Jackson AW and Choi JS. 2001. Nutrient Enhanced
Biodegradation of Crude Oil in Tropical Salt Marshes. Water, Air and
Soil Pollution. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Sumardhiharga, K. 1995. Zat-zat yang Menyebabkan Pencemaran di Laut. Jurnal
Pusat Studi Lingkungan Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia:
Lingkungan dan Pembangunan 15 (4): 376-387.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Syakti, AD. 2004. Hidrokarbon Minyak Bumi di Perairan Laut. Bogor. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.
Venosa AD and Zhu X. 2003. Biodegradation of Crude Oil Contaminating Marine
Shorelines and Freshwater Wetlands. Spill Science and Technology
Bulletin 8 (2): 163-178.
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Gramedia Widiasarana
Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai