Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
BANDUNG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Labioschisis atau biasa disebut bibir sumbing adalah cacat bawaan yang
menjadi masalah tersendiri di kalangan masyarakat, terutama penduduk dengan status
sosial ekonomi yang lemah. Akibatnya operasi dilakukan terlambat dan malah
dibiarkan sampai dewasa.(3)
Bibir sumbing dengan atau tanpa celah pada langit-langit, merupakan kelainan
kongenital yang paling umum pada kepala dan leher di dunia. Penelitian epidemiologi
untuk pencegahan terjadinya bibir sumbing masih sedikit namun teknik bedah untuk
mengobatinya banyak dilakukan. (22)
Sumbing memiliki frekuensi yang berbeda-beda pada berbagai budaya dan ras
serta negara. Diperkirakan 45% dari populasi adalah non-Kaukasia. (22)Fogh Andersen
di Denmark melaporkan kasus bibir sumbing dan celah langit-langit 1,47/1000
kelahiran hidup. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent

di Amerika Serikat serta Wilson untuk daerah Inggris. Neel menemukan insiden
2,1/1000 penduduk di Jepang.(6)
Insiden bibir sumbing di Indonesia belum diketahui diketahui secara pasti, hanya
disebutkan terjadi satu kejadian setiap 1000 kelahiran.PKIRANRAKYAT Hidayat dan
kawan-kawan di propinsi Nusa Tenggara Timur antara April 1986 sampai
Nopember 1987 melakukan operasi pada 1004 kasus bibir sumbing atau celah langitlangit pada bayi, anak maupun dewasa di antara 3 juta penduduk. (12)
Etiologi bibir sumbing dan celah langit-langit adalah multifaktorial. Selain faktor
genetik juga terdapat faktor non genetik atau lingkungan. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya bibir sumbing dan celah langit-langit adalah usia ibu waktu
melahirkan, perkawinan antara penderita bibir sumbing, defisiensi Zn waktu hamil
dan defisiensi vitamin B6.(3),(22)
Bayi yang terlahir dengan labioschisis harus ditangani oleh klinisi dari multidisiplin
dengan pendekatan team-based, agar memungkinkan koordinasi efektif dari berbagai
aspek multidisiplin tersebut. Selain masalah rekonstruksi bibir yang sumbing, masih
ada masalah lain yang perlu dipertimbangkan yaitu masalah pendengaran, bicara,
gigi-geligi dan psikososial. Masalah-masalah ini sama pentingnya dengan
rekonstruksi anatomis, dan pada akhirnya hasil fungsional yang baik dari rekonstruksi
yang dikerjakan juga dipengaruhi oleh masalah-masalah tersebut. Dengan pendekatan
multidisipliner, tatalaksana yang komprehensif dapat diberikan, dan sebaiknya

kontinyu sejak bayi lahir sampai remaja. Diperlukan tenaga spesialis bidang
kesehatan anak, bedah plastik, THT, gigi ortodonti, serta terapis wicara, psikolog, ahli
nutrisi dan audiolog. (31)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bustami dan kawan-kawan diketahui
bahwa alasan terbanyak anak penderita labioschisis terlambat (berumur antara 5-15
tahun) untuk dioperasi adalah keadaan sosial ekonomi yang tidak memadai dan
pendidikan orang tua yang masih kurang.(3)
Penyelenggaraan upaya kesehatan gigi sebagai salah satu kegiatan pokok Puskesmas
juga dilaksanakan sesuai dengan pola pelayanan Puskesmas tersebut. (8)
Pelayanan kesehatan gigi dan mulut terutama ditujukan kepada golongan
rawan terhadap gangguan kesehatan gigi dan mulut yaitu: ibu hamil/menyusui, anak
pra sekolah dan anak sekolah dasar serta ditujukan pada keluarga dan masyarakat
berpenghasilan rendah di pedesaan dan perkotaan. (8)
Dengan penyelenggaraan upaya kesehatan gigi di Puskesmas ini diharapkan
tercapainya keadaan kesehatan gigi masyarakat yang layak (optimum). (8)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Istilah epidemiologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari:
Epi : atas, pada
Demos : rakyat
Logos : ilmu
Maka epidemiologi sebenarnya berarti: ilmu mengenai hal-hal yang terjadi
pada rakyat. Ruang lingkup epidemiologi yang semula mempelajari penyakit
menular lambat laun diperluas, sehingga epidemiologi menjadi ilmu yang
mempelajari factor-faktor yang menentukan frekuensi dan distribusi penyakit pada
rakyat. (11)
Definisi epidemiologi lainnya ialah ilmu yang mempelajari tentang sifat,
penyebab, pengendalian dan faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan
distribusi penyakit, kecacatan dan kematian dalam populasi manusia. Epidemiologi
juga meliputi pemberian ciri pada distribusi status kesehatan, penyakit atau kesehatan
masyarakat lainnya berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, geografi, agama, pendidikan,
pekerjaan, perilaku, waktu, tempat, orang dan sebagainya.(29)

Labioschisis atau cleft lip atau bibir sumbing adalah suatu kondisi dimana
terdapatnya celah pada bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini dapat
berupa takik kecil pada bahagian bibir yang berwarna samapai pada pemisahan
komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir ke hidung. Celah pada satu sisi
disebut labioschisis unilateral, dan jika celah terdapat pada kedua sisi disebut
labioschisis bilateral. (32)
Apabila coba kita campurkan kedua pengertian di atas maka epidemiologi
bibir sumbing ialah ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian dan
factor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit, kecacatan, dan
kematian akibat bibir sumbing dalam populasi manusia.
Pada epidemiologi terdapat sejumlah pertanyaan penting yang harus selalu
diingat, yaitu sebagai berikut :
- What : Apakah sebenarnya yang terjadi (atau kejadian apa)?
- Where : Di mana kasus bibir sumbing terjadi atau berlangsung? Lokasinya dimana?
- When : Kapan penyakit bibir sumbing tersebut terjadi? Apakah insidental, sepanjang
tahun, atau pada waktu-waktu tertentu?
- Who : Siapakah yang terkena kecelakaan tersebut? Bagaimana dengan umur dan
jenis kelaminnya? Apakah ia pejalan kaki, pengemudi atau penumpang
kendaraan?
- Why : Mengapa kasus vivir sumbing dapat terjadi ?

- How : Bagaimana cara menanggulangi penyakit bibir sumbing tersebut? Bagaimana


cara pencegahannya ? Dan lain sebagainya.
2.2 Bibir dan Langit-langit Sumbing Dari Segi Klinis
2.2.1 Etiologi
Penyebab terjadinya labioschisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan
ilmuwan berpendapat bahwa labioschisis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor
genetik dan factor-faktor lingkungan. Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa,
para peneliti melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat keluarga
labioschisis akan mengalami labioschisis. Kemungkinan seorang bayi dilahirkan
dengan labioschisis meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara
kandung) mempunyai riwayat labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan
narkotika, kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama
kehamilan, atau menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak
dengan labioschisis. (33)
Menurut Mansjoer dan kawan-kawan, hipotesis yang diajukan antara lain:(18)
Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal
kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi asam
folat, vitamin C, dan Zn)
Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal

Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia.


Faktor genetik
Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak
terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu
(prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali. (18)
Pada hewan percobaan vitamin A dikenal sebagai "teratogen universal". Namun
kemungkinan teratogenitas pada manusia yang mengkonsumsi suplemen vitamin A
masih kontroversi.(35)
Vitamin B-6 memiliki peran vital dalam metabolisme asam amino. Defisiensi
vitamin B-6 tunggal telah terbukti dapat menyebabkan langit-langit mulut sumbing
dan kelainan defek lahior lainnya pada tikus percobaan. Dan Miller (1972)
menunjukkan bahwa pemberian vitamin B-6 dapat mencegah terjadinya celah
orofasial. (35)
Salah satu penyebab terjadinya celah orofasial ialah heterogenitas, sebanyak
sekitar 20% menyertai sindrom yang disebabkan mutasi yang spesifik. Namun
juga terjadinya celah orofasil juga berhubungan dengan asam folat dan multivitamin
lainnya. Beberapa mungkin memiliki etiologi karena asam folat namun sebagian lagi
tidak, sehingga menyulitkan untuk mencari efeknya.(35)

2.2.2 Klasifikasi
Labioschisis diklasifikasikan berdasarkan lengkap/ tidaknya celah yang
terbentuk : (18), (34)
- Komplit
- Inkomplit
Dan berdasarkan lokasi/ jumlah kelainan : (32)
- Unilateral
- Bilateral
2.2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari kelainan labioschisis antara lain : (4), (28), (32)
- Masalah asupan makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioschisis.
Adanya labioschisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada
payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis mungkin
dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan
adalah reflex hisap dan reflek menelan pada bayi dengan labioschisis tidak sebaik

bayi normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat
menyusu. Memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu
proses menyusu bayi. Menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala juga daapt
membantu. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada
palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoschisis
biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot ini
dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labiopalatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan/ asupan makanan tertentu.
Gambar 2.1 Klasifikasi Labioschisis. (32)
- Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah tertentu
yang berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi
pada arean dari celah bibir yang terbentuk.
- Infeksi telinga
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga
karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol
pembukaan dan penutupan tuba eustachius.
- Gangguan berbicara

Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas


pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak
dapat menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan
kualitas nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun telah
dilakukan reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup
ruang/ rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya
normal. Penderita celah palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian karena palatum
lunak cenderung pendek dan kurang dapat bergerak sehingga selama berbicara udara
keluar dari hidung. (30) Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi
suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, dan ch", dan terapi bicara (speech therapy)
biasanya sangat membantu.
2.2.4 Penatalaksanaan
Idealnya,

anak

dengan

labioschisis

ditatalaksana

oleh

tim

labio-

palatoschisis yang terdiri dari spesialistik bedah, maksilofasial, terapis bicara dan
bahasa, dokter gigi, ortodonsi, psikoloog, dan perawat spesialis. Perawatan dan
dukungan pada bayi dan keluarganya diberikan sejak bayi tersebut lahir sampai
berhenti tumbuh pada usia kira-kira 18 tahun. Tindakan pembedahan dapat dilakukan
pada saat usia anak 3 bulan. (5)
Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis yaitu : (24)

1. Tahap sebelum operasi


Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi
menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat
badan yang dicapai dan usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule
of ten meliputi berat badan lebih dari 10 pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10
gr % dan usia lebih dari 10 minggu , jika bayi belum mencapai rule of ten ada
beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi
yang terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot
khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah
yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi tersedak atau terlalu
kecil sehingga
membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot dengan besar lubang khusus ini
tidak tersedia bayi cukup diberi minum dengan bantuan sendok secara perlahan dalam
posisi setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu melewati langitlangit yang terbelah.
Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester
khusus non alergenik untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh
akibat proses tumbuh kembang yang menyebabkan menonjolnya gusi kearah depan
(protrusio pre maxilla) akibat dorongan lidah pada prolabium , karena jika hal ini
terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan secara kosmetika

hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap
direkatkan sampai waktu operasi tiba. (24)
2. Tahap sewaktu operasi
Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan
adalah soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa
diputuskan oleh seorang ahli bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing
(labioplasty) adalah usia 3 bulan. Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir
dimulai pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut
maka pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi
pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna.
Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 20 bulan
mengingat

anak

aktif

bicara

usia

tahun

dan

sebelum

anak

masuk

sekolah.Palatoplasty dilakukan sedini mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mulai


bicara lengkap sehingga pusat bicara di otak belum membentuk cara bicara. Kalau
operasi dikerjakan terlambat, sering hasil operasi dalam hal kemampuan
mengeluarkan suara normal atau tidak sengau sulit dicapai. (19) Operasi yang
dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan speech teraphykarena
jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak
sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi
memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis)

kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat


usia 89 tahun bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi.(24)
Gambar 2.2 Reparasi labioschisis (labioplasti). (A and B) pemotongan sudut celah
pada bibir dan hidung. (C) bagian bawah nostril disatukan dengan sutura. (D) bagian
atas bibir disatukan, dan (E) jahitan memanjang sampai kebawah untuk menutup
celah secara keseluruhan. (33)
3. Tahap setelah operasi.
Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung
dari tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani
akan memberikan instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir
sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok atau
dot khusus untuk memberikan minum bayi. Banyaknya penderita bibir sumbing yang
datang ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi
hanya untuk keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai,
fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak
sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak banyak bermanfaat. (24)
Gambar 2.3 Sebelum dan sesudah tindakan operasi. (14)
Cara menyusui bagi ibu yang memiliki anak dengan bibir sumbing:
a. Memberi tahu ibu kepentingan ASI untuk bayinya,

b. Usaha untuk menutup celah atau sumbing bibir agar bayi dapat memegang puting
dan areola dalam mulutnya waktu menyusui (jari ibu atau plak gigi yg khusus
atau obturator), kadang-kadang payudara ibu menutup celah itu.
c. Memerah susu dan memberikan kepada anaknya menggunakan cangkir atau
sendok teh.(36)
2.2.5 Prognosis
Kelainan labioschisis merupakan kelainan bawaan yang dapat dimodifikasi/
disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini melakukan operasi saat
usia masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki penampilan wajah secara signifikan.
Dengan adanya teknik pembedahan yang makin berkembang, 80% anak dengan
labioschisis yang telah ditatalaksana mempunyai perkembangan kemampuan bicara
yang baik. Terapi bicara yang berkesinambungan menunjukkan hasil peningkatan
yang baik pada masalah-masalah berbicara pada anak labioschisis. (33)
2.3 Prevalensi Bibir dan Langit-Langit Sumbing
Bibir sumbing langit-langit (palatum) secara rutin terkait dengan lebih dari
200 sindrom / malformasi. Insidensinya bervariasi antar kelompok etnis sebagai
berikut: American Indian (3.6:10,000), Asia (3:1000), dan Amerika Afrika (0.3:1000).
(9)

Bibir sumbing dan / atau dengan langit-langit terbelah adalah kelainan bawaan
yang sering dilihat di seluruh dunia. Rata-rata, sekitar 1 dalam setiap 500-750
kelahiran hidup menghasilkan sumbing. Selain itu, di Amerika Serikat, prevalensi
untuk bibir sumbing dengan atau tanpa langit-langit terbelah adalah 2,2-11,7 per
10.000 kelahiran. Sumbing langit-langit saja menghasilkan tingkat prevalensi 5,5-6,6
per 10.000 kelahiran. (10) Bibir sumbing, langit-langit mulut, atau keduanya adalah
salah satu kelainan bawaan yang paling umum dan memiliki tingkat kelahiran
prevalensi berkisar dari 1 / 1000 sampai 2.69/1000 antara berbagai belahan dunia.(20)
Orang Afrika Atau Afrika Amerika
Satu per 2.500 Afrika Amerika dilahirkan dengan sumbing. (27) AfrikaAmerika memiliki tingkat prevalensi yang lebih rendah dari bibir dan/atau langitlangit sumbing bila dibandingkan dengan orang Kaukasia. Tingkat prevalensi sebesar
0,61 per 1.000 dan 1,05 per 1.000 kelahiran hidup masing-masing dilaporkan oleh
Croen, Shaw, Wasserman dan Tolarova (1998). (7) Di Malawi dilaporkan terdapat
tingkat prevalensi yang rendah untuk bibir sumbing dan / atau langit-langit, 0,7 per
1.000 kelahiran hidup.(23)
Amerika Latin Dan Penduduk Latin Asli
Amerika Latin berasal dari Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan,
dan Karibia. Prevalensi Amerika Latin lebih rendah daripada Kaukasia dan penduduk

asli Amerika, namun masih lebih tinggi daripada Afrika Amerika. (7)Orang latin
memiliki prevalensi sumbing sebesar 9,7 per 10.000 kelahiran hidup. (15) Dalam Sucre,
tingkat prevalensi bibir dan/atau langit-langit sumbing di Bolivia adalah 1,23 per
1.000 kelahiran hidup. (20)
Yordania
Al Omari et al. (2004) meneliti prevalensi sumbing selama periode sebelas
tahun di Yordania dan menemukan tingkat keseluruhan sebesar 1,39 per 1.000
kelahiran hidup untuk bibir dan/atau langit-langit sumbing .(1)
Gambar 2.4 Bibir dan/atau langit-langit sumbing di Eropa
Amerika Serikat
Hawaii adalah negara bagian Amerika Serikat yang memiliki populasi yang
sangat beragam yang terdiri dari 73% orang Asia dan Kepulauan Pasifik keturunan.
Forrester & Merz (2004) menemukan bahwa tingkat prevalensi bibir dan/atau langitlangit sumbing per 10.000 kelahiran hidup di Hawaii adalah: 10 pada orang Kaukasia,
16 pada orang-orang keturunan Asia Timur Jauh, 11 pada orang-orang keturunan
Kepulauan Pasifik, dan 14,5 pada orang keturunan Filipina.(10)
Gambar 2.5 Bibir dan/atau langit-langit sumbing di Amerika
Indonesia

Berdasarkan Pikiran Rakyat On Line tanggal 1 Juni 2009, disebutkan bahwa


jumlah penderita bibir sumbing atau celah bibir di Indonesia bertambah 3.000-6.000
orang setiap tahun atau satu bayi setiap 1.000 kelahiran adalah penderita bibir
sumbing.(25)
Berdasarkan data dari Yayasan Pembina Penderita Celah Bibir dan LangitLangit (YPPCBL) kepada Radar Bandung tahun 2008, bahwa sejak tahun 1979
sampai tahun 2008 operasi dan perawatan bibir sumbing mencapai 11.472 di seluruh
Indonesia atau 395 orang per tahun.RADARBANDUNG Sedangkan pada tahun 2009
Ketua Pengurus YPPCBL kepada harian Kompas menyatakan bahwa saat ini
diperkirakan jumlah penderita bertambah 6.000-7.000 kasus per tahun. Namun,
karena berbagai macam kendala, jumlah penderita yang bisa dioperasi jauh dari ideal.
Hanya 1.000-1.500 pasien per tahun yang mendapat kesempatan menjalani
operasi. (16)
Gambar 2.6 Bibir dan/atau langit-langit sumbing di Asia, Timuh Tengah, Australia
dan Oseania, Afrika
2.4 Pengaruh Lingkungan
Pengaruh lingkungan juga dapat menyebabkan, atau berinteraksi dengan
genetika untuk memproduksi, celah orofacial. Sebuah contoh bagaimana faktor
lingkungan dapat dihubungkan dengan genetika berasal dari penelitian tentang mutasi

pada gen PHF8 yang menyebabkan celah bibir / langit-langit. Ditemukan bahwa
PHF8 mengkodekan demethylase lisin histone, (17) dan terlibat dalam regulasi
epigenetik. Aktivitas katalitik PHF8 tergantung pada oksigen molekuler,(17) fakta yang
dianggap penting sehubungan dengan laporan mengenai kejadian peningkatan celah
bibir / langit-langit pada tikus yang telah terkena hipoksia dini selama
kehamilan. (21) Pada manusia, bibir sumbing janin dan kelainan bawaan lain juga telah
dihubungkan dengan hipoksia ibu, seperti yang disebabkan oleh misalnya ibu
merokok, (26) ibu penyalahgunaan alkohol atau beberapa bentuk pengobatan hipertensi
ibu (13) faktor lingkungan lain yang telah dipelajari meliputi: penyebab musiman
(seperti eksposur pestisida);. diet ibu dan asupan vitamin; retinoid - yang merupakan
anggota vitamin A keluarga; obat-obatan antikonvulsan, alkohol, penggunaan rokok;
senyawa nitrat, pelarut organik, paparan orangtua untuk memimpin, dan obat-obatan
terlarang (kokain, heroin, dll).
2.5 Pengaruh Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi memiliki variabel-variabel yang berkaitan dengan
kontribusi terhadap terjadinya bibir dan/atau langit-langit sumbing , seperti gizi,
merokok, alkohol,penyakit dan infeksi. Faktor-faktor tersebut cenderung telah diteliti
secara retrospektif pada beberapa negara di dunia dan studi tersebut sekarang
dilakukan secara prospektif di Denmark dan Norwegia yang berhubungan dengan
hasil reproduksi. Aspek lain dari gizi yang belum secara baik dipelajari adalah efek

dari obesitas / kelaparan dan hal tersebut mungkin berguna untuk studi di masa depan
untuk menilai tinggi dan berat badan untuk mendapatkan ukuran indeks massa tubuh
sehingga diperoleh kaitannya dengan celah orofacial.
Bukti untuk prevalensi celah orofasial yang lebih banyak terjadi pada
masyarakat kelas sosial ekonomi rendah masih samar-samar.
2.6 Aspek Psikologis Terhadap Individu Bibir Sumbing
Memiliki bibir dan/atau langit-langit sumbing mengakibatkan masalah
psikososial. Sebagian besar anak yang telah dioperasi celahnya dapat memiliki masa
anak-anak yang bahagia dan kehidupan sosial yang sehat. Namun, penting untuk
diingat bahwa pada remaja dengan bibir dan/atau langit-langit sumbingdapat
meningkatkan risiko adanya masalah psikososial khususnya yang berkaitan dengan
konsep diri, romantika, dan penampilan. Hal ini penting bagi orang tua untuk
menyadari permasalahan psikososial anak remaja mereka agar dapat menghadapi
masalahnya dan mengetahui di mana mencari bantuan tenaga profesional jika
masalah timbul.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa masalah komunikasi berhubungan dengan
bibir dan langit-langit sumbing yang tampak pada masa anak-anak. Penelitian
perkembangan

anak

pada

bibir

dan

langit-langit

sumbing pada

infant

dan toddler (anak baru bisa berdiri dan berjalan), atau sejak lahir sampai usia 3 tahun,

menyatakan bahwa bibir sumbing pada todler memiliki penundaan atau


keterlambatan perkembangan dalam daerah bahasa ekspresif pada usia 36 bulan.
Respon negatif dari orang lain, secara nyata atau hanya perasaan saja, dapat
mempengaruhi kesan terhadap diri sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa pilihan
untuk menarik secara individual mempengaruhi harga diri, kompentensi sosial, dan
penilaian terhadap daya tarik di masa depan. Daya tarik fisik menunjukkan peran
yang signifikan dalam kehidupan sosial seperti membangun hubungan kekerabatan
dalam setiap tahap kehidupan, sekolah, romantika, kerja dan lain-lain. Penerimaan
sosial seringkali tergantung pada fisik seseorang. Hubungan tersebut antara
kecantikan secara fisik dan penerimaan sosial merupakan hambatan pada orang
dengan bibir dan langit-langit sumbing dalam berkomunikasi. (2)
Sudah menjadi bukti bahwa terdapat keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki
orang dengan bibir dan langit-langit sumbing mengalami berbagai kesulitan. Oleh
karena itu, keterbatasan tersebut dibangun dalam banyak periode waktu karena
masalah psikologis yang dihadapi. Sebagai contoh, gangguan komunikasi pada
individu dengan bibir dan langit-langit sumbing tidak dihasilkan dari gangguan
bicaranya (fonasinya) namun dari masalah psikologis yang dapat mempengaruhi
keseluruhan perkembangan anak. Gangguan kecemasan dan depresi dilaporkan
mempunyai prevalensi dua kali lebih besar pada orang dewasa bibir dan langit-langit
sumbing dibandingkan kontrol normal. Kecemasan, depresi dan palpitasi dilaporkan
dua kali lebih sering pada orang bibir dan langit-langit sumbing dibandingkan dengan

kontrol, dan masalah psikologis ini memiliki hubungan yang kuat dengan hal-hal
menyangkut penampilan, pertumbuhan gigi, dialog, dan hasrat untuk pengobatan
lebih lanjut. Masalah psikologis yang didapat oleh anak dengan bibir dan langit-langit
sumbing tidak hanya terbatas pada anak/individualnya saja, tetapi juga pada orang
tuanya. Penelitian menunjukkan orang tuanya dapat mengalami krisis mental,
disebabkan latar belakang orang tuanya, juga stres ketika membawa anak dengan
bibir sumbing. (2)
2.7 Pencegahan
1. Menghindari merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terbaik yang
telah dipelajari untuk terjadinya celah orofacial. Ibu yang menggunakan tembakau
selama kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan resiko terjadinya
celah-celah orofacial. Mengingat frekuensi kebiasaan kalangan perempuan di
Amerika Serikat, merokok dapat menjelaskan sebanyak 20% dari celah orofacial
yang terjadi pada populasi negara itu. (35)
Lebih dari satu miliar orang merokok di seluruh dunia dan hampir tiga
perempatnya tinggal di negara berkembang, sering kali dengan adanya dukungan
public dan politik tingkat yang relatif rendah untuk upaya pengendalian tembakau.
(Aghi et al.,2002). Banyak laporan telah mendokumentasikan bahwa tingkat

prevalensi merokok pada kalangan perempuan berusia 15-25 tahun terus meningkat
secara global pada dekade terakhir (Windsor, 2002). Diperkirakan bahwa pada tahun
1995, 12-14 juta perempuan di seluruh dunia merokok selama kehamilan mereka dan,
ketika merokok secara pasif juga dicatat, 50 juta perempuan hamil, dari total 130 juta
terpapar asap tembakau selama kehamilan mereka (Windsor, 2002). (35)
2. Menghindari alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat mempengaruhi
tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing telah dijelaskan memiliki
hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus pada sindrom alkohol fetal
(fetal alcohol syndrome). Pada tinjauan yang dipresentasikan di Utah Amerika Serikat
pada acara pertemuan konsensus WHO (bulan Mei 2001), diketahui bahwa
interpretasi hubungan antara alkohol dan celah orofasial dirumitkan oleh bias yang
terjadi di masyarakat. Dalam banyak penelitian tentang merokok, alkohol
diketemukan juga sebagai pendamping, namun tidak ada hasil yang benar-benar
disebabkan murni karena alkohol. (35)
3. Memperbaiki Nutrisi Ibu
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan
sangat penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan struktur kraniofasial yang
normal dari fetus.

a. Asam Folat
Peran asupan folat pada ibu dalam kaitannya enan celah orofasial sulit untuk
ditentukan dalam studi kasus-kontrol manusia karena folat dari sumber makanan
memiliki bioavaibilitas yang luas dan suplemen asam folat biasanya diambil dengan
vitamin, mineral dan elemen-elemen lainnya yang juga mungkin memiliki efek
protektif terhadap terjadinya celah orofasial. Folat merupakan bentuk poliglutamat
alami dan asam folat ialah bentuk monoglutamat sintetis. Pemberian asam folat pada
ibu hamil sangat penting pada setiap tahap kehamilan sejak konsepsi sampai
persalinan. Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil kehamilan. Satu,
ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk mencegah anemia pada
kehamilan lanjut. Kedua, ialah dalam mencegah defek kongenital selama tumbuh
kembang embrionik. Telah disarankan bahwa suplemen asam folat pada ibu hamil
memiliki peran dalam mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti bibir
dan/atau langit-langit sumbing. (35)
b. Vitamin B-6
Vitamin B-6 diketahui dapat melindungi terhadap induksi terjadinya celah
orofasial secara laboratorium pada binatang oleh sifat teratogennya demikian juga
kortikosteroid, kelebihan vitamin A, dan siklofosfamid. Deoksipiridin, atau antagonis
vitamin B-6, diketahui menginduksi celah orofasial dan defisiensi vitamin B-6 sendiri
cukup untuk membuktikan terjadinya langit-langit mulut sumbing dan defek lahir

lainnya pada binatang percoban. Namun penelitian pada manusia masih kurang untuk
membuktikan peran vitamin B-6 dalam terjadinya vitamin B-6. (35)
c. Vitamin A
Asupan vitamn A yang kurang atau berlebih dikaitkan dengan peningkatan
resiko terjadinya celah orofasial dan kelainan kraniofasial lainnya. Hale adalah
peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi vitamin A pada ibu menyebabkan
defek pada mata, celah orofasial, dan defek kelahiran lainya pada babi. Penelitian
klinis manusia menyatakan bahwa paparan fetus terhadap retinoid dan diet tinggi
vitamin A jugadapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang gawat. Pada penelitian
prospektif lebih dari 22.000 kelahiran pada wanita di Amerika Serikat, kelainan
kraniofasial dan malformasi lainnya umum terjadi pada wanita yang mengkonsumsi
lebih dari 10.000 IU vitamin A pada masa perikonsepsional. (35)
4. Modifikasi Pekerjaan
Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyerankan bahwa ada
hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil (pegawai kesehatan,
industri reparasi, pegawai agrikulutur). Teratogenesis karenatrichloroethylene dan
tetrachloroethylene pada air yang diketahui berhubungan dengan pekerjaan bertani
mengindikasikan adanya peran dari pestisida, hal ini diketahui dari beberapa

penelitian. namun tidak semua.(35) Maka sebaiknya pada wanita hamil lebih baik
mengurangi jenis pekerjaan yang terkait.
Pekerjaan ayah dalam industri cetak, seperti pabrik cat, operator motor,
pemadam kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan resiko terjadinya
celah orofasial. (35)
5. Suplemen Nutrisi
Beberapa usaha telah dilakukan untuk merangsang percobaan pada manusia
untuk mengevaluasi suplementasi vitamin pada ibu selama kehamilan yang
dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan. Hal ini dimotivasi oleh hasil baik yang
dilakukan pada percobaan pada binatang. Usaha pertama dilakukan tahun 1958 di
Amerika Serikat namun penelitiannya kecil, metodenya sedikit dan tidak ada analisis
statistik yang dilaporkan. Penelitian lainnya dalam usaha memberikan suplemen
multivitamin dalam mencegah celah orofasial dilakukan di Eropa dan penelitinya
mengklaim bahwa hasil pemberian suplemen nutrisi adalah efektif, namun penelitian
tersebut memiliki data yang tidak mencukupi untuk mengevaluasi hasilnya.Salah satu
tantangan terbesar dalam penelitian pencegahan terjadinya celah orofasial adalah
mengikutsertakan banyak wanita dengan resiko tinggi pada masa produktifnya. (35)

BAB III
KESIMPULAN
Bibir sumbing merupakan penyakit cacat bawaan. Penyebabnya terjadinya
bibir sumbing ialah multifaktorial, seperti genetik, nutrisi, lingkungan, bahkan sosial
ekonomi. Jumlah penderita bibir sumbing di Indonesia bertambah 3.000-6.000 setiap
tahun atau 1 bayi setiap 1.000 kelahiran. Namun, jumlah total penderita bibir sumbing
di Indonesia belum diketahui secara pasti. Penderita bibir sumbing dapat diperbaiki
dengan jalan operasi, namun memerlukan biaya yang besar, sedangkan kesempatan
penderita yang menjalani operasi setiap tahunnya hanya sekitar 1.500 orang, angka
ini masih jauh dari idealnya sehingga tindakan-tindakan pencegahan sebaiknya lebih
diutamakan.

Anda mungkin juga menyukai