Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

ANESTESI SPINAL PADA OPERASI OPEN


REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF)
REFRAKTUR FEMUR
Disusun untuk Memenuhi Syarat
Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter
di RSUD Tidar Kota Magelang

Diajukan Kepada :
dr. Budi Aviantoro, Sp.An
Disusun Oleh
Shaina Metadilla Putri
(20080310030)
SMF BAGIAN ILMU ANESTESI
RSUD TIDAR KOTA MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014

HALAMAN PENGESAHAN
Disusun untuk Mengikuti Ujian Stase Ilmu Anastesi
di RSUD Tidar Kota Magelang

Disusun Oleh:
Shaina Metadilla Putri
2008.031.0030
Telah dipresentasikan pada tanggal

April 2014

dan telah disetujui oleh :


Pembimbing Klinik,

dr. Budi Aviantoro, Sp.An

BAGIAN ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

LAPORAN KASUS ILMU ANESTESI


I.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. Achmadi

Umur

: 53 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Pedagang

Agama

: Islam

Alamat

: Plembangan RT 2 RW 2 Banyuwangi, Bandongan

Tanggal operasi

: 29 Maret 2014

Diagnosis Masuk

: Refraktur femur dextra

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Kaki kanan bengkak dan sulit digerakkan.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan kaki kanannya bengkak dan sulit
digerakkan sejak 3 bulan yang lalu. Pasien pernah mengalami KLL 3
bulan yang lalu dan mengalami patah tulang paha kanan. Pasien sudah
pernah menjalani operasi pemasangan plate post KLL 3 bulan yang lalu
tetapi pasien tidak rutin kontrol dan hanya sekali kontrol ke RS. Beberapa
hari yang lalu pasien menggunakan kedua kakinya untuk menapak ke
lantai dan terpeleset saat hendak wudhu. Setelah kejadian itu beberapa
luka jahitan pada paha kanan terlepas sehingga tampak daging yang
menonjol ke luar. Sejak saat itu pasien mengeluh kaki kanan menjadi sulit
digerakkan dan bengkak.
c. Riwayat penyakit dahulu
- KLL 3 bulan yang lalu
- Riwayat hipertensi (-)
3

- Riwayat diabetes mellitus (-)


- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat alergi obat (-)
- Riwaayat operasi sebelumnya saat 3 bulan yang lalu
d. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama. Riwayat asma,
hipertensi, DM, penyakit jantung disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umun : Cukup
Kesadaran
: Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Vital Sign
: Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi
: 88 x/menit
Suhu
: 36,50 C
RR
: 16x/menit
BB
: 50 kg
Kepala
: Normochepal, vulnus (-)
Wajah
: pucat (-)
Mata
: Conjungtiva Anemis -/-, Sklera ikterik -/pupil isokor 2 mm, reflek cahaya langsung (+/+)
Hidung
: Sekret -/-, Nafas Cuping Hidung -/Leher
: Limfonodi tak teraba, JVP tidak meningkat
Thorak
: Simetris, Retraksi -/-, Ketinggalan gerak -/Cor
: S1S2 reguler, Bising jantung (-)
Pulmo
: Suara dasar vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
: Bising usus normal, supel, timpani, nyeri tekan (-),
Ekstremitas

:Akral Hangat, CRT < 2 detik, edema tungkai (+/-), ROM


terbatas (+/-), nyeri (+/-), varises (-/-), regio femur dextra
tampak eritema dan oedema, turgor kulit baik.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1) Darah Rutin
-

WBC : 8,6

N: 4,8-10.8

RBC

N: 4,2-5,4

HGB : 11,8

N: 12-16

HCT

: 36,1

N: 37-47

MCV : 84,0

N: 79-99

MCH : 27,4

N: 27-31

MCHC: 32,7

N: 33-37

: 4,3

PLT

: 590

N:150-450

2) Gula Darah Sewaktu : 87 mg/dL


3) Fungsi Ginjal
Ureum

: 21,2 mg/dl

Creatinin

: 0,77 mg/dl

4) Fungsi Hati
SGOT

: 21,5 U/L

SGPT

: 9,4 U/l

HbsAg

: Negatif

5) Ro Thorax
-

Kesan : Cord an Pulmo dbn

V. DIAGNOSIS
a. Diagnosis Preoperatif : Refraktur Femur Dextra
b. Status operatif
:
-Teknik
: spinal anastesi; obat induksi: bupivacaine (Decain Spinal),
Morfin
-ASA : 1 (Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain
penyakit yang akan dioperasi)
c. Vital Sign
:
Tekanan Darah : 130/80 mmHg Nadi: 88 x/menit
Suhu
: 36,5 0C
RR : 16x/menit
VI. TINDAKAN ANESTESI
a. Keadaan Pre Operatif:
Pasien menjalani program puasa 6 jam sebelum operasi dimulai. Ketika
sudah ada di ruang operasi dilakukan penggukuran vital sign dan
didapatkan hasil TD 130/80, nadi 88x / menit, dan didapatkan SPO2 =
97%
b. Jenis Anestesi:
Spinal anastesi, spontan respirasi dengan O2 untuk maintenance
c.

Anestesi yang diberikan:


Induksi anestesi ( jam 09.20 )
Untuk induksi digunakan bupivacaine 3 cc (Decain Spinal) dicampur
dengan Morfin 0,2 cc sebagai analgesik narkotik.
5

Teknik analgesia spinal yang dilakukan :


1. Sebelum dilakukan induksi terlebih dahulu dilakukan loading cairan
dengan menggunakan RL sebanyak 1000 cc. Setelah tensimeter
terpasang dan dimonitor pasien diposisikan duduk di meja operasi.
Pasien diminta menegakkan badannya dan menunduk maksimal agar
prosesus spinosus mudah teraba.
2. Tempat tusukan disterilkan dengan semprotan betadine
3. Setelah itu menentukan tempat yang akan dilakukan penusukan
kemudian menyuntikkan jarum lumbal no.27, pada bidang median
dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horizontal kearah cranial
pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal
menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang terakhir ditembus
adalah duramater-subarachnoid.
4. Setelah itu stylet jarum spinal dicabut dan setelah cairan likuor
serebrospinalis sudah menetes keluar, campuran decain spinal-morfina
dimasukkan menggunakan spuit yang dipasang pada jarum spinal, spuit
diaspirasi untuk memastikan LCS telah keluar kemudian obat anastesi
disuntikkan secara perlahan-lahan. Setelah obat anastesi masuk, jarum
spunal dicabut kemudian pasien dibaringkan.
5. Pasien siap dioperasi bila telah merasa kakinya berat dan tidak bisa
digerakkan.

Maintenance
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi
dikontrol setiap 15 menit. Pengontrolan dilakukan pada nadi dan saturasi
berkisar antara 72 88 x/mnt & 97 100%, tekanan darah berkisar
antara 106-120/ 86-75. Infus RL diberikan pada penderita sebagai cairan
rumatan. Diberika inhalasi O2 agar pasien merasa nyaman. Dilakukan
pemberian

obat-obat

maintenace

selama

operasi

yaitu

piralen

(antiemetik), ketamin 25 cc, dan orasic.


Keadaan Post Operasi

Operasi selesai dalam waktu 60 menit (pkl. 11.00). Pasien dalam keadaan
stabil saat operasi selesai. TD 117/74, nadi 88x/menit, SPO2 = 100.
Catatan anestesi selama proses pembedahan
Parameter

Keterangan

Obat

cairan

yang
dipantau
SpO2
09.20

100

Mulai induksi

Decain Spinal, RL
morfin

09.30

97

Mulai operasi

Sedacum,
ketesse,
granon

09.45

99

10.00

100
10.15 79

98

10.30 77

100

10.45 88

99

11.00

RL

RL

Operasi Selesai

Recovery :
Pasien dipindahkan ke ruang recovery dan diobservasi Aldrette score-nya.
Bila pasien tenang dan Aldrette Score 8 tanpa nilai 0, pasien dapat
dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrette Score pasien = 8 dengan
perincian :
1. Pernafasan
Bernafas dalam dan teratur bernilai 2
2. Kesadaran
Kesadaran bernilai 2 yaitu pasien sadar penuh dan orientasi baik
3. Sirkulasi
7

Sirkulasi bernilai 2 berarti tekanan darah 20 % dari tekanan darah pre


anestesi
4. Motorik
Aktivitas bernilai 1 yaitu ektremitas atas dapat digerakkan dengan bebas.
5. Warna Kulit
Warna kulit cerah bernilai 2
Program post operasi:
Setelah pasien pulih dengan Aldrette Score 8, pasien dipindahkan ke bangsal
instruksi lanjutan di bangsal:
1. Awasi Vital Sign, kesadaran, perdarahan
2. IVFD RL 20 tts/menit
3. Posisi tiduran dengan bantal selama 24 jam
4. Kaki dapat digerakkan minum bertahap
5. Pemberian analgesik : Ketorolac
6. Pemberian antiemetik: vometraz
7. Terapi lain sesuai dokter bedah
PEMBAHASAN
SPINAL ANESTESI
A. Pengertian Nyeri
Nyeri menurut International Association for Study of Pain (IASP) adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait

dengan

kerusakan

jaringan

actual

maupun

potensial,

atau

menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.


B. Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon
hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri
disebut juga nosiseptor, secara anatomis nosiseptor ada yang bermielien dan
ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya,
8

nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada


kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral,
karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki
sensasi yang berbeda.
Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
1. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeri dihilangkan.
2. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam
meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf,
otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya
komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit
dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini
meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan
sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif
terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.
C. Perjalanan nyeri
1. Gerbang spinalis
Impuls dari suatu rangsangan nyeri pada daerah perifer dihantarkan
oleh serabut saraf C tidak bermielin atau serabut saraf A bermielin, dan
tersambung pertama kali pada medulla spinalis di substansia gelatinosa
kornu dorsalis. Jika rangsangan tiba-tiba dan secara tidak disadari
berjalanan melalui sambungan atau gerbang yang diperantarai oleh

neurotransmitter peptide substansi P, dan berjalanan ke atas medulla


menuju ke otak, sepanjang traktus spinotalalamikus. Rangsangan juga
dapat memulai reflex spinalis jenis penarikan diri yang menimbulkan
kontraksi otot. Maka spasme dapat menyertai nyeri. Jika rangsangan
menyakitkan telah diketahui sebelumnya aliran rangsangan melalui
gerbang, dan reflex penarikan diri mungkin dapat dihambat dengan sinyal
retrograde yang bermula pada mesensefalon atau pada korteks serebri.
Rangsangan balasan perifer, seperti mengusap-usap daerah yang terkena
juga menutup gerbang oleh rangsangan yang dihantarkan ke medulla
spinalis dari serabut A.
2. Medula
Jika impuls nyeri berjalan melalui gerbang, maka rangsangan itu
dihantarkan ke medulla spinalis dan medulla oblongata. Di medulla
oblongata rangsangan secara reflektif memulai suatu fenomena otonom
yang berkaitan dengan nyeri melalui pusat medula, seperti menarik
nafas;peningkatan respirasi dan denyut jantung; ketidakteraturan denyut
jantung dan muntah.
3. Sistem pengaktifan retikular (RAS)
Adalah jaringan difus serabut saraf dan sinaps yang menerima,
mengubah, dan menyalurkan kembali pesan rangsangan nyeri. Hasilnya
memulai, memperkuat dan menghambat fenomena reflex penarikan diri
sebagai mekanisme perlindungan diri dan gerakan menjauhi sumber nyeri.
Impuls yang menyebar dari RAS menyebakan pelepasan analgetik alami
yaitu enkefalin, endorphin dari pusatnya yaitu korteks serebri, hipotalamus
dan daerah lain sistem saraf pusat serta galndula hipofisis. Hormonhormon seperi kortisol juga dilepaskan untuk mengawali tanggapan stress
metabolik terhadap nyeri. RAS dapat dibandingkan dengan suatu pusat
informasi dengan sistem komputer yang rumit, yang menerima, memilah
dan mengatur kembali penjalaran informasi untuk berespon.
4. Talamus dan korteks diam

10

Jika impuls nyeri sampai pada sistem ini, nyeri secara kasar ditafsirkan
pada

bagian

otak

ini.

Impuls

kemudian

berjalan

ke

korteks

somatosensorikdiam, tempat impuls itu dinilai, ditentukan tempatnya


dan disimpan dalam ingatan.
5. Sistem limbik
Di area ini tanggapan emosi segera terhadap nyeri timbul.
6. Korteks frontalis
Area ini akan menafsirkan impuls tersebut sebagai nyeri dan secara
sadar mengawali pemilahan emosi dan tanggapan fisik untuk melawan
penyebabnya.
D. Spinal Anestesi
1. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Halhal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang
digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan
intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia
pasien, obesitas,kehamilan,dan penyebaran obat.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis
dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan
tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa
getar (vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan
adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai,
pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang
pertamakaliakanpulih.
Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung
lambat. Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid
melalui aliran darah vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah
bening. Lamanya anestesi tergantung dari kecepatan obat meninggalkan
cairan serebrospinal.
2. Indikasi

11

Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan


tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada
keadaan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan
fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan bedah anak. Anestesi spinal pada
bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.
3. Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan
pungsi lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan
peningkatan tekanan intracranial. Kontraindikasi relatf meliputi neuropati,
prior spine surgery, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan preoperasi
golongan AINS, heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil,
serta a resistant surgeon.
Persiapan pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya
scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah
penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial
(PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
4. Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi
umum, tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal
memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran
16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain,
tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal
mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi
spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka
akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil
(hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama
(isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
Pada suhu 37C cairan serebrospinal memiliki berat jenis.
12

Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan
duk steril juga harus disiapkan. Jarum spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal,
yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (QuinckeBabcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil
(whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri
kepala pasca penyuntikan spinal.
5. Teknik Anestesi Spinal
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antaralain:
Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan
posisi termudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja
operasi dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang
di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring dengan salah
satu sisi tubuh berada dimeja operasi. Posisi permukaan jarum spinal
ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebrat lumbalis (interlumbal).
Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.
Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang
medial dengan sudut 10-30 terhadap bidang horizontal ke arah cranial.
Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum,

ligamentum

flavum,

lapisan

duramater,

dan

lapisan

subaraknoid. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.


Sunyang tikkan obat anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang
subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat ditambahkan
vasokonstriktor seperti adrenalin.
6. Komplikasi
Komplikasi mungkin terjadi adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan,
nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera pembuluh
darah dan saraf, serta anestesi spinal total.
E. Obat-Obat Spinal Anestesi
1. Bupivakain
Bupivakain (marcaine) adalah derivate-butil yang k.l 3 kali lebih kuat dan
bersifat long-action (5-8jam). Obat ini terutama digunakan untuk anestesi
daerah luas (larutan 0,25-0,5%) dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000.
derajat relaksasinya terhadap otot tergantung pada kadarnya. PP-nya sebesar
82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini dimetabolisasi menjadi pipekololsilidin
13

(PPX). Ekskresinya melalui kemih 5% dalam keadaan utuh, sebagian kecil


sebagai PPX dab sisanya metabolit-metabolit lain. Plasma-t1/2-nya 1,5-5,5
jam.
Bupivakain disebut juga obat golonngan amida yang digunakan pada anestesi
spinal. Obat ini menghasilkan blokade saraf sensorik dan motorik.
Bupivakain mempunyai efek penurunan tekanan arteri rerata lebih sedikit
dibanding dengan menggunakan lidokain.
2. Morfin
Morfin memiliki efek terapeutik, akan tetapi juga memiliki efek terhadap
sistem saraf pusat ( otak dan medula spinalis ), terhadap saluran pencernaan,
serta sistem lainnya. Efek terhadap SSP meliputi analgesik, sedasi, perubahan
sifat, depresi pernapasan, mual dan muntah, pruritus, serta perubahan ukuran
pupil. Morfin juga berpengaruh terhadap sekresi lambung, motilitas usus,
serta memiliki efek terhadap endokrin, saluran kencing, sistem saraf autonom.
Morfin memiliki efek yang menyerupai opioid endogen, dengan cara bekerja
sebagai agonis pada reseptor 1 dan2.dan dipertimbangkan sebagai agonis
standar terhadap agonis lainnya.
VIII. KESIMPULAN
Pada kasus ini pasien dianestesi menggunakan anestesi spinal dikarenakan
tindakan pembedahan yang akan dilakukan adalah pada bagian femur dan
merupakan salah satu indikasi dilakukan anestesi spinal. Selain itu anestesi
spinal merupakan salah satu pilihan teknik anestesi yang cukup aman.
Pemahaman

tentang

mekanisme

homeostasis

yang

bertujuan untuk

mengontrol tekanan darah dan denyut jantung penting untuk

merawat

perubahan kadiovaskuler terkait dengan bupivakain sebagai obat yang


digunakan pada anestesis spinal.

14

DAFTAR PUSTAKA
Boulton Thomas dan Blogg Colin E. 1994. Anestesiologi. EGC : Jakarta.
Gunawan Sulistia G, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FK
UI:Jakarta.
Guyton dan Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. EGC:Jakarta.
Latief A.S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2. Bagian
anestesiologi dan terapi intensif FKUI: Jakarta.
Neal M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima.
Erlangga:Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai