Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Industri farmasi merupakan salah satu elemen yang berperan penting dalam mewujudkan
kesehatan nasional melalui aktivitasnya dalam bidang manufcturing obat. Tingginya kebutuhan
akan obat dalam dunia kesehatan dan vitalnya aktivitas obat mempengaruhi fungsi fisiologis
tubuh manusia melahirkan sebuah tuntutan terhadap industri farmasi agar mampu memproduksi
obat yang berkualitas. Oleh karena itu, semua industri farmasi harus benar-benar berupaya agar
dapat menghasilkan produk obat yang memenuhi standard kualitas yang dipersyaratkan.
Dalam era globlalisasi sekarang ini, industri farmasi dituntut untuk dapat bersaing dengan
industri farmasi baik dalam maupun luar negeri agar dapat memperebutkan pangsa pasar dan
memenuhi kebutuhan obat bagi masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan
pemenuhan kebutuhan obat yang bermutu bagi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut,
diperlukan pedoman bagi industri farmasi untuk dapat menghasilkan produk yang bermutu
yaitu dengan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). Pada tahun 2006, pemerintah telah
memperbarui CPOB ini, yang kemudian lebih dikenal dengan CPOB Terkini atau cGMP
(Current GMP).
Industri farmasi menurut Surat Keputusan Mentri Kesehatan No. 1799 / Menkes / XII /
2010 adalah Badan Usaha yang memiliki izin dari mentri kesehatan untuk melakukan kegiatan
pembuatan obat atau bahan obat. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam
menghasilkan obat yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemasan, produksi,
pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian, mutu sampai diperoleh untuk didistribusikan.
Dalam era perdagangan bebas dimana industri farmasi di Indonesia akan bersaing dengan
industri farmasi dari negara lain maka penerapan CPOB saja belum cukup maka dari itu

dituntut untuk memenuhi persyaratan yang berlaku

secara internasional, salah satunya dengan

mendapatkan sertifikat International Standard Operasional (ISO).


Masyarakat harus dilindungi dari peredaran obat dan obat tradisional yang tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan khasiat, oleh karena itulah Direktorat Bina
Produksi dan Distribusi Kefarmasian perlu melaksanakan pembinaan di bidang produksi
kefarmasian. Pembinaan industri farmasi Indonesia dilaksanakan mulai dari penerbitan izin
industri farmasi, pembinaan dalam proses produksi dan distribusi hingga kegiatan pelaporan
produksi dan pemantauan serta evaluasi kegiatan produksi dan distribusi.
CPOB adalah pedoman pembuatan obat bagi industri farmasi di Indonesia yang bertujuan
untuk memastikan agar sifat dan mutu obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan
mutu yang telah ditentukan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya.
Produksi obat yang baik adalah produksi yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan CPOB.
Menurut CPOB tidaklah cukup bila obat jadi hanya sekedar lulus dari serangkaian pengujian,
tetapi yang sangat penting adalah bahwa mutu harus dibentuk ke dalam produk tersebut. Mutu
obat dipengaruhi dari beberapa aspek, yaitu bahan awal, personalia, bangunan dan fasilitas,
peralatan, sanitasi dan higenis, inspeksi diri, pengawasan mutu, penanganan keluhan terhadap
obat, penarikan kembali obat, dan dokumentasi. Dengan kata lain melalui CPOB kualitas dari
obat tidak hanya ditentukan dari hasil akhir, tetapi juga dipengaruhi aspek-aspek lain yang
mempengaruhi produksi.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui peran farmasi di bidang industri farmasi.
2. Untuk mengetahui cara pembuatan obat yang baik.
C. Manfaat
Memperoleh wawasan dan pengetahuan yang lebih luas mengenai segala aspek dalam
industri farmasi sesuai dengan konsep pembutan obat yang baik ( CPOB ) pada industri
Farmasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Industri Farmasi
1. Pengertian Industri Farmasi
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 245/MenKes/SK/V/1990
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi.
Industri Farmasi adalah Industri Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi
dari obat jadi yaitu sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelediki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan
dan kontrasepsi. Sedangkan yang dimaksud dengan bahan baku obat adalah bahan
baik yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat yang digunakan dalam
pengolahan obat dengan standar mutu sebagai bahan farmasi.
2. Persyaratan Industri Farmasi
Perusahaan industri farmasi wajib memperoleh izin usaha industri farmasi, karena itu
industri tersebut wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan. Persyaratan industri farmasi tercantum dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan RI No. 245//Menkes/SK/V/1990 adalah sebagai berikut :
a. Industri farmasi merupakan suatu perusahaan umum, badan hukum berbentuk
Perseroan Terbatas atau Koperasi.
b. Memiliki rencana investasi.
c.

Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

d. Industri farmasi obat jadi dan bahan baku wajib memenuhi persyaratan CPOB
sesua dengan ketentuan SK Menteri Kesehatan No. 43/Menkes/SK/II/1988.
e. Industri farmasi obat jadi dan bahan baku, wajib mempekerjakan secara tetap
sekurang-kurangnya dua orang apoteker warga Negara Indonesia, masing-masing
sebagai penanggung jawab produksi dan penanggung jawab pengawasan mutu
sesuai dengan persyaratan CPOB.
f. Obat jadi yang diproduksi oleh industri farmasi hanya dapat diedarkan setelah
memperoleh izin edar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Izin Usaha Industri Farmasi
Izin usaha industri farmasi diberikan oleh Menteri Kesehatan dan wewenang
pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Izin
ini berlaku seterusnya selama industri tersebut berproduksi dengan perpanjangan izin
setiap 5 tahun, sedangkan untuk industri farmasi Penanaman Modal Asing (PMA) masa
berlakunya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing dan pelaksanaannya.
4. Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi
Pencabutan izin usaha industri farmasi dapat terjadi karena beberapa hal :
1. Melakukan pemindahtanganan hak milik izin usaha industri farmasi dan perluasan
tanpa memiliki izin.
2.

Tidak menyampaikan informasi mengenai perkembangan industri secara berturutturut tiga kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar.

3.

Melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis terlebih


dahulu.

4.

Dengan sengaja memproduksi obat jadi atau bahan baku obat yang tidak memenuhi
persyaratan dan ketentuan yang berlaku (obat palsu).

5. Tidak memenuhi ketentuan dalam izin usaha industri farmasi.

B. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)

CPOB merupakan suatu konsep dalam industri farmasi mengenai prosedur atau
langkah-langkah yang dilakukan dalam suatu industri farmasi untuk menjamin mutu obat
jadi, yang diproduksi dengan menerapkan Good Manufacturing Practices dalam seluruh
aspek dan rangkaian kegiatan produksi sehingga obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi
persyaratan mutu yang ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.
CPOB bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek
produksi dan pengendalian mutu (BPOM, 2006).
Aspek dalam CPOB 2006 meliputi :
1. Manajemen Mutu
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan
penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam izin edar (registrasi) dan
tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu
rendah atau tidak efektif. Manajemen mutu bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan
ini melalui suatu Kebijakan Mutu, yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari
semua jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para
distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan
diperlukan manajemen mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara
benar (BPOM, 2006).
Kebijakan mutu hendaklah disosialisasikan kepada semua karyawan dengan cara
yang efektif, tidak cukup dengan cara membagikan fotokopinya dan/atau menempelkan
pada dinding. Untuk melaksanakan Kebijakan Mutu dibutuhkan 2 unsur dasar yaitu :
a. Sistem mutu yang mengatur struktur organisasi, tanggung jawab dan kewajiban
semua sumber daya yang diperlukan, semua prosedur yang mengatur proses yang
ada.
b. Tindakan sistematis untuk melaksanakan system mutu, yang disebut dengan
pemastian mutu atau Quality Assurance (QA) (BPOM 2009).
2. Personalia

Suatu industri farmasi bertanggung jawab menyediakan personil yang sehat,


terkualifikasi dan dalam jumlah yang memadai agar proses produksi dapat berjalan
dengan baik. Semua personil harus memahami prinsip CPOB agar produk yang
dihasilkan bermutu (BPOM 2009).
Kesehatan personil hendaklah dilakukan pada saat perekrutan, sehingga dapat dipastikan
bahwa semua calon karyawan (mulai dari petugas kebersihan, pemasangan dan
perawatan peralatan, personil produksi dan pengawasan hingga personil tingkat
manajerial) memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik sehingga tidak akan
berdampak pada mutu produk yang dibuat. Disamping itu hendaklah dibuat dan
dilaksanakan program pemeriksaan kesehatan berkala yang mencakup pemeriksaan jenisjenis penyakit yang dapat berdampak pada mutu dan kemurnian produk akhir. Untuk
masing-masing karyawan hendaklah ada catatan tentang kesehatan mental dan fisiknya
(BPOM 2009).
Dalam kualifikasi dan pengalaman personil yang diperlukan untuk tiap posisi
hendaklah ditetapkan secara tertulis yang disimpan oleh bagian SDM, tapi juga dapat
ditampilkan pada Uraian Tugas masing-masing (BPOM 2009).
Jumlah personil yang memadai sangat mempengaruhi proses produksi.
Kekurangan jumlah personil cenderung mempengaruhi kualitas obat, karena tugas akan
dilakukan secara tergesa-gesa dengan segala akibatnya. Disamping itu, kekurangan
jumlah karyawan biasanya mengakibatkan kerja lembur sering dilakukan yang dapat
menimbulkan kelelahan fisik dan mental baik bagi operator ataupun supervisor atau
malahan bagi personil pada tingkat lebih atas yang melakukan evaluasi dan/atau
mengambil keputusan (BPOM 2009).
Kategori personil kunci bergantung pada kebijakan perusahaan/industri apakah
terbatas hanya pada Kepala Bagian Produksi, Kepala Bagian Pengawasan Mutu dan
Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Industri dapat menentukan posisi
lain yang lebih tinggi, sama atau lebih rendah dicakup dalam kategori personil kunci.
Yang harus dipertahankan adalah semua Kepala Bagian Produksi dan Kepala Bagian
Manajemen Mutu (Pemastian Mutu)/Kepala Bagian pengawasan Mutu harus independen
satu terhadap yang lain(BPOM 2009).

3. Bangunan dan Fasilitas

Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain, konstruksi,
letak yang memadai dan kondisi yang sesuai serta perawatan yang dilakukan dengan baik
untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus
dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil terjadinya resiko kekeliruan, pencemaran
silang dan kesalahan lain serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang
efektif untuk menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan
dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat. Rancang bangunan hendaklah dibuat
sehingga untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan daerah luar sarananya
dikelompokkan. Rancangan diatas perlu ditekankan agar tidak berdampak negatif
terhadap kegiatan produksi yang dilakukan di area dengan kelas kebersihan lebih tinggi
(BPOM 2009). Tata letak ruang hendaklah dikaji sejak tahap perencanaan konstruksi
bangunan demi keefektifan semua kegiatan, kelancaran arus kerja, komunikasi, dan
pengawasan serta untuk menghindari ketidakteraturan.
4. Peralatan
Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat,
ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat agar mutu obat terjamin
sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan untuk memudahkan pembersihan serta
perawatan (BPOM, 2006).
5. Sanitasi dan Hygiene
Tingkat sanitasi dan hygiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek
pembuatan obat. Ruang lingkup meliputi personalia, bangunan, peralatan, dan perlengkapan,
bahan produksi serta wadahnya, dan setiap hal yang dapat merupakan sumber pencemaran
produk. Sumber pencemaran hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan hygiene
yang menyeluruh serta terpadu. Sanitasi dan hygiene yang diatur dalam pedoman CPOB 2006
adalah terhadap personalia, bangunan, dan peralatan. Prosedur sanitasi dan hygiene hendaklah
divalidasi serta dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas prosedur dan selalu
memenuhi persyaratan.

6. Produksi

Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan
memenuhi ketentuan CPOB yang senantiasa dapat menjamin produk obat jadi dan memenuhi
ketentuan izin pembuatan serta izin edar (registrasi) sesuai dengan spesifikasinya (BPOM, 2006).
Selain itu, produksi baiknya dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten. Mutu suatu
obat tidak hanya ditentukan oleh hasil analisa terhadap produk akhir, melainkan juga oleh mutu
yang dibangun selama tahapan proses produksi sejak pemilihan bahan awal, penimbangan,
proses produksi, personalia, bangunan, peralatan, kebersihan dan hygiene sampai dengan
pengemasan.
Prinsip utama produksi adalah :
a. Adanya keseragaman atau homogenitas dari bets ke bets.
b. Proses produksi dan pengemasan senantiasa menghasilkan produk yang seidentik
mungkin (dalam batas syarat mutu) baik bagi bets yang sudah diproduksi maupun yang
akan diproduksi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam produksi antara lain:

a. Pengadaan Bahan Awal


Pengadaan bahan awal hendaklah hanya dari pemasok yang telah disetujui dan
memenuhi spesifikasi yang relevan. Semua penerimaan, pengeluaran dan jumlah bahan
tersisa hendaklah dicatat. Catatan hendaklah berisi keterangan mengenai pasokan, nomor
bets/lot, tanggal penerimaan, tanggal pelulusan, dan tanggal daluarsa (BPOM, 2006).
b. Pencegahan Pencemaran Silang
Tiap tahap proses, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap pencemaran
mikroba dan pencemaran lain. Resiko pencemaran silang ini dapat timbul akibat tidak
terkendalinya debu, uap, percikan atau organisme dari bahan atau produk yang sedang
diproses, dari sisa yang tertinggal pada alat dan pakaian kerja operator. Tingkat resiko
pencemaran ini tergantung dari jenis pencemar dan produk yang tercemar.
c. Penimbangan dan Penyerahan
Penimbangan dan penyerahan bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan
produk ruahan dianggap sebagai bagian dari siklus produksi dan memerlukan dokumentasi
yang lengkap. Hanya bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan yang

telah diluluskan oleh pengawasan mutu dan masih belum daluarsa yang boleh diserahkan
(BPOM, 2006).
d. Pengembalian
Semua bahan awal dan bahan pengemas yang dikembalikan ke gudang penyimpanan
hendaklah didokumentasikan dengan benar (BPOM, 2006).

e. Pengolahan
Semua bahan yang dipakai di dalam pengolahan hendaklah diperiksa sebelum dipakai.
Semua peralatan yang dipakai dalam pengolahan hendaklah diperiksa sebelum digunakan.
Peralatan hendaklah dinyatakan bersih secara tertulis sebelum digunakan. Semua kegiatan
pengolahan hendaklah dilaksanakan mengikusi prosedur yang tertulis. Tiap penyimpangan
hendaklah dilaporkan. Semua produk antara hendaklah diberi label yang benar dan
dikarantina sampai diluluskan oleh bagian pengawasan mutu (BPOM, 2006).
f. Kegiatan Pengemasan
Kegiatan pengemasan berfungsi mengemas produk ruahan menjadi produk jadi.
Pengemasan hendaklah dilaksanakan di bawah pengendalian yang ketat untuk menjaga
identitas, keutuhan dan mutu produk akhir yang dikemas. Semua kegiatan pengemasan
hendaklah dilaksanakan sesuai dengan instruksi yang diberikan dan menggunakan bahan
pengemas yang tercantum dalam prosedur pengemasan induk. Rincian pelaksanaan
pengemasan hendaklah dicatat dalam catatan pengemasan bets.
g. Pengawasan Selama Proses
Pengawasan selama proses hendaklah mencakup :
1) Semua parameter produk, volume atau jumlah isi produk diperiksa pada saat awal
dan selama proses pengolahan atau pengemasan.
2) Kemasan akhir diperiksa selama proses pengemasan dengan selang waktu yang
teratur untuk memastikan kesesuaiannya dengan spesifikasi dan memastikan
semua komponen sesuai dengan yang ditetapkan dalam prosedur pengemasan
induk.
h. Karantina Produk Jadi
Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum penyerahan ke
gudang dan siap untuk didistribusikan. Sebelum diluluskan untuk diserahkan ke gudang,

pengawasan yang ketat hendaklah dilaksanakan untuk memastikan produk dan catatan
pengolahan bets memenuhi semua spesifikasi yang ditentukan.
7. Pengawasan Mutu

Pengawasan mutu merupakan bagian yang essensial dari CPOB untuk memberikan
kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan
pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap
merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada
distribusi obat jadi. Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus
terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk. Ketidaktergantungan
pengawasan mutu dari produksi dianggap hal yang fundamental agar pengawasan mutu dapat
melakukan kegiatan dengan memuaskan (BPOM, 2006).
Pengawasan mutu hendaklah mencakup semua kegiatan analitik yang dilakukan di
laboratorium termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan pengujian bahan awal, produk antara,
produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini mencakup juga uji stabilitas, program pemantauan
lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal,
menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan, produk serta metode pengujiannya (BPOM,
2006).
Area laboratorium pengawasan mutu hendaklah terpisah dari area produksi. Selain itu
bagi suatu laboratorium untuk pengawasan selama proses mungkin lebih memudahkan apabila
letaknya di daerah tempat pembuatan atau pengemasan dimana dilakukan pengujian fisik seperti
penimbangan dan uji monitoring lainnya secara periodik.
Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian pengawasan mutu
hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah dilakukan sebelum bahan
digunakan dalam produksi dan produk disetujui sebelum didistribusikan. Personil pengawasan
mutu hendaklah memiliki akses ke area produksi untuk pengambilan sampel dan penyelidikan
yang diperlukan.
8. Inspeksi diri dan Audit Mutu
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan
pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB (BPOM, 2006).

Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen oleh orang yang kompeten yaitu
terkualifikasi dan mempunyai pengalaman yang memadai dalam melakukan inspeksi diri.
Inspeksi diri dapat dilakukan sendiri oleh pihak perusahaan dengan membentuk suatu tim atau
oleh konsultan yang independen dari luar perusahaan. Inspeksi diri hendaklah mencakup semua
bagian yaitu pemastian mutu, produksi, pengaweasan mutu, teknik dan gudang (termasuk gudang
obat jadi, Bahan baku, dan bahan pengemas) (BPOM, 2009).
Inspeksi diri dapat dilakukan oleh tiap bagian sesuai dengan kebutuhan pabrik namun
inspeksi diri yang dilakukan secara menyeluruh hendaklah dilaksanakan minimal satu kali dalam
setahun. Frekuensi inspeksi diri hendaklah tertulis dalam prosedur tetap inspeksi diri (BPOM,
2009).
9. Penanganan Keluhan terhadap Produk, Penarikan Produk dan Produk Kembalian
Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya
kerusakan obat dapat bersumber dari dalam maupun dari luar industri, dan memerlukan
penanganan dan pengkajian secara teliti (BPOM, 2009).
Keluhan/informasi yang bersumber dari dalam industri antara lain dapat dari bagian produksi,
bagian pengawasan mutu, bagian gudang dan bagian pemasaran, sementara dari luar industri
antara lain dapat berasal dari pasien, dokter, paramedis, klinik, rumah sakit, apotek, distributor,
dll (BPOM, 2009).
Penarikan kembali obat jadi dapat berupa penarikan kembali satu atau beberapa bets atau
seluruh obat jadi tertentu dari semua mata rantai distribusi. Penarikan kembali dilakukan apabila
ditemukan produk yang tidak memenuhi persyaratan mutu atau atas dasar pertimbangan adanya
efek samping yang tidak diperhitungkan yang merugikan kesehatan (BPOM, 2009).
Produk kembalian adalah obat jadi yang telah keluar dari industri dan beredar yang
kemudian dikembalikan ke industri karena adanya keluhan, mengenai kerusakan, kadaluarsa,
atau alasan lain misalnya mengenai kondisi obat, wadah atau kemasan sehingga menimbulkan
keraguan akan keamanan, identitas, mutu serta kesalahan administratif yang menyangkut jumlah
dan jenis (BPOM, 2009).
10. Dokumentasi

Dokumentasi pembuatan obat merupakan bagian dari sistem informasi manajemen dan
dokumentasi yang baik merupakan bagian yang sangat penting dari pemastian mutu (BPOM,
2006). Sistem dokumentasi yang dirancang/digunakan hendaklah mengutamakan tujuannya,
yaitu menentukan, memantau dan mencatat seluruh aspek produksi serta pengendalian dan
pengawasan mutu (BPOM, 2009).
Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian
tugas secara jelas dan rinci sehingga memperkecil resiko terjadinya kekeliruan yang biasanya
timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan (BPOM, 2006).

11. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak


Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan
dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau
pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dengan
penerima kontrak harus dibuat secara jelas untuk menentukan tanggung jawab dan kewajiban
masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets
produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian manajemen mutu
(pemastian mutu).
12. Kualifikasi dan Validasi
Validasi adalah tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa tiap bahan, proses,
prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan atau mekanisme yang digunakan dalam produksi
maupun pengawasan mutu akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan (CPOB, 2006).
CPOB mengisyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang diperlukan sebagai
bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan
terhadap fasilitas, peralatan dan proses yang dapat mempengaruhi mutu produk hendaklah
divalidasi. Pendekatan dengan kajian resiko hendaklah digunakan untuk menentukan ruang
lingkup dan cakupan validasi.
Seluruh kegiatan validasi hendaklah direncanakan. Unsur utama program validasi
hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasikan di dalam Rencana Induk Validasi (RIV)
atau dokumen setara. RIV hendaklah merupakan dokumen yang singkat, tepat dan jelas. RIV
hendaklah mencakup sekurang-kurangnya adalah kebijakan validasi, struktur organisasi kegiatan

validasi, ringkasan fasilitas, sistem, peralatan, proses yang akan divalidasi, format dokumen,
format protokol, laporan validasi, perencanaan dan jadwal pelaksanaan, pengendalian perubahan,
serta acuan dokumen yang digunakan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut yang tercantum dalam peraturan Mentri Kesehatan republic Indonesia
No.1799/MENKES/PER/XII/2010, industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki
ijin dari Mentri kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.
Industry farmasi memiliki fungsi pembuatan obat dan atau bahan obat, pendidikan dan
pelatian, serta penilitian dan pengembangan.

Industri farmasi yang memproduksi obat dapat mendistribusikan dan menyalurkan


hasil produksinya langsung kepada pedangan besar farmasi, apotik, instalasi farmasi
rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko obat sesuai dengan kententuan
perundang-undangan.

B. Saran
Dalam makalah yang telah kami susun masih banyak kekurangan, baik dari segi bahasa,
susunan maupun dari segi keterbatasan literatur. Oleh karena itu, pembaca di harapkan untuk
menambah dan melengkapi makalah ini supaya lebih mendalami pengetahuan tentang
Farmasi dalam bidang industri.

Anda mungkin juga menyukai