Hak Dan Kewajiban Dokter Dan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan
Hak Dan Kewajiban Dokter Dan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan
Di bidang kesehatan hak dan kewajiban pun menjadi hal yang sangat penting
dan mutlak untuk dilaksanakan. Mengingat kelalaian untuk memenuhi hak dan
kewajiban akan menimbulkan akibat yang tidak kecil, yakni berupa tuntutan
ganti kerugian ataupun dapat diduga melakukan tidak pidana yang diancam
dengan sanksi pidana seperti hukuman mati, penjara maupun denda bahkan
sanksi pencabutan hak-hak yang melekat pada setiap individu tersebut.
Dalam pelayanan kesehatan yang di dalamnya terkandung hubungan hukum
antara dokter dan pasien dalam perjanjian terapeutik secara otomatis timbul hak
dan kewajiban dokter dan pasien sebagai akibat hukum dari adanya hubungan
hukum pelayanan kesehatan tersebut.
Ditinjau dari sudut pandang sosiologi hukum, maka dokter yang melakukan
hubungan medis atau transaksi terapeutik terhadap pasien, masing-masing
mempunyai kedudukan dan peranan. Kedudukan merupakan wadah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, sedangkan peranan tidak lain merupakan pelaksanaan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak tersebut.[5] Dengan
demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa, hak merupakan
kewenangan dokter dan pasien untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan
kewajiban tidak lain merupakan beban atau tugas yang harus dilaksanakan,
sehingga hak dan kewajiban merupakan pasangan, oleh karena di mana ada hak,
disitulah ada kewajiban dan begitu sebaliknya.
Untuk mengetahui lebih mendalam apa sajakah yang menjadi hak dan kewajiban
dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan, maka berikut ini akan
dikemukakan beberapa hak dan kewajiban dokter dan pasien secara parsial, baik
yang bersumber dari hubungan hukum maupun undang-undang.
Berkaitan dengan hal di atas, Alexandra Indriyanti Dewi[6] mengemukakan
beberapa hak dan kewajiban dokter dalam pelayanan kesehatan. Adapun hakhak dokter yang dimaksud berupa :
(a) Hak untuk melakukan praktik kedokteran setelah memperoleh surat izin
dokter dan surat izin praktik;
(b) Hak untuk memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasiennya
tentang penyakitnya;
(c)
(d) Hak untuk menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan
etika, hukum, agama dan hati nuraninya;
(e) Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasiennya, jika menurut
penilaiannya kerja sama dengan pasiennya tidak ada gunanya lagi kecuali dalam
keadaan darurat;
(f)
(g) Hak untuk memperoleh ketenteraman bekerja dengan jaminan yang layak
di dalam memberikan kenyamanan dan suasana kerja yang baik;
(h)
(i)
(j)
Ditinjau dari segi profesionalisme, secara normatif dokter mempunyai kewajibankewajiban profesionalisme yang harus diamalkan dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang meliputi :[11]
Kewajiban mempertahankan dan meningkatkan kompetensi profesionalnya
(Commitment to professional competence);
Kewajiban untuk berkata dan berlaku jujur kepada pasien (Commitment to
honesty with patient);
Kewajiban melindungi kerahasiaan pasien (Commitment to patient
confidentially);
Kewajiban untuk memelihara hubungan dan komunikasi yang sepantasnya
dengan pasien (Commitment to maintaining appropriate relations with patient);
Kewajiban untuk meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien (Commitment
to improving quality of care);
Kewajiban meningkatkan jangkauan pelayanan pasien (Commitment to
improving acces to care);
Kewajiban menyesuaikan distribusi pelayanan dalam hal keterbatasan fasilitas
(Commitment to adjust distribution of finite resources);
(b) Ikut serta dalam memberikan pertolongan kedokteran dalam segala bentuk
tanpa kebebasan profesi;
(c) Menerima uang lain selain dari imbalan yang layak sesuai dengan jasanya
meskipun dengan pengetahuan pasien.
Selain hak dan kewajiban dokter sebagaimana dipaparkan di atas, dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan juga timbul hak dan kewajiban pasien,
baik karena perjanjian terapeutik maupun secara tegas dalam undang-undang.
Menurut Alexandra Indriyanti Dewi,[14] kedudukan pasien sebagai pihak
penerima jasa medis dalam pelayanan kesehatan secara umum mempunyai hakhak sebagai berikut :
(1) Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara
wajar;
(2) Memperoleh pelayanan kedokteran dan keperawatan secara manusiawi
sesuai dengan standar profesi baik kedokteran maupun keperawatan;
(3) Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan;
(4) Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran dan keperawatan yang
akan diikutinya;
(5) Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kesehatan dan
kedokteran;
(6) Dirujuk kepada dokter spesialis bilamana diperlukan;
(7) Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi;
(8) Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit;
(9) Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasehat rohani dan
memperoleh perincian pembiayaan.
Berkaitan dengan hak pasien dalam pelayanan kesehatan ini, Soerjono Seokanto
mengatakan bahwa :
Secara umum hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan meliputi antara lain :
a.
b.
Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan
merawatnya;
c.
d.
e.
f.
b.
c.
d.
e.
(h)
(i)
Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasehat atau rohaniawan dan
lain-lainnya yang diperlukan selama perawatan di rumah sakit;
(j)
Hak untuk memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap,
obat, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen, ultrasonografi, CT-scan,
biaya kamar bedah, kamar bersalin, imbalan jasa dokter dan lain-lain.
Di samping hak-hak pasien sebagaimana dikemukakan di atas, dalam pelayanan
kesehatan pasien juga mempunyai beberapa kewajiban yang harus
dilaksanakan. Menurut Alexandra Indriyanti Dewi,[16] dikatakan bahwa pasien
dalam pelayanan kesehatan mempunyai kewajiban sebagai berikut :
(1) Kewajiban untuk memeriksakan diri sedini mungkin kepada dokter;
(2) Kewajiban memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang
penyakitnya;
3.
4.
[1] Seodikno Mertokusumo, 1986. Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, hal. 39.
[2] Nila Ismani, 2001. Dasar-dasar Etika Keperawatan, Widya Medika, Jakarta, hal.
20.
[3] Seodikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 38-39.
[4] Seodikno Mertokusumo, Ibid., hal. 40
[5]
Deddy Rasyid, 2000. Perbuatan Malpraktik Dokter dalam Perspektif
Hukum Pidana di Indonesia, Sebuah Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 28.
[6]
Alexandra Indriyanti Dewi, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka
Book Publisher, Yogyakarta, hal. 144-148.
[7] Veronica Komalawati, 1989. Hukum dan Etika Dalam Parktik Kedokteran, PT
Pustaka Sina Harapan, Jakarta, hal. 99.
[8] Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., hal. 138-143.
[9] Danny Wiradharma, 1996. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa
Aksara, Jakarta, hal. 74.
[10] Menurut Leenen, bahwa apa yang dikenal dalam dunia kedokteran sebagai
Lege Artis pada hakekatnya adalah suatu tindakan yang dilakukan sesuai
dengan standar profesi medik yang pada dasarnya terdiri dari beberapa unsur
yaitu : (1) bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama; (2) sesuai dengan ukuran
medis; (3) sesuai dengan kemampuan rata-rata/sebanding dengan dokter dalam
kategori keahlian medik yang sama; (4) dalam keadaan yang sebanding; dan (5)
dengan sarana dan upaya yang sebanding wajar dengan tujuan konkrit medik
tersebut.
[11] Hendrojono Soewono, Op. Cit., hal. 25-26.
[12] Hermein Hadiati Koeswadji, Op. Cit,. Hal. 148-149.
[13] Fred Amin, 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya,
Jakarta, hal. 57. Lihat pula Sutrisno, 1992. Medical Malpractice, Bunga Rampai
Tentang Medical Malpractice, Mahkamah Agung RI, Jakarta, hal. 7.
[14] Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., hal. 158-159.
[15] Anny Isfandyarie, Op. Cit., hal. 98-102.
[16] Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., hal. 158.
[17] Bahder Johan Nasution, Op. Cit., hal. 34.