MONOGRAF 2 UNSRI 9sept08
MONOGRAF 2 UNSRI 9sept08
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Urtikaria dan angioedema
1.1.1 Sejarah
Sejarah urtikaria dan angioedema, dijelaskan secara rinci oleh Juhlin (2000).1 Deskripsi
paling awal dari penyakit yang sekarang dikenal sebagai urtikaria ditemukan dalam The
Yellow Emperors Inner Classic, Huang Di nei Jing, ditulis antara 1000- 200 BC, dan
dinamai Feng Yin Zheng. Hipokrates yang hidup 460 377 BC, menamai urtikaria knidosis,
berasal dari kata latin knido yang berarti nettle (lebah). Plinius (32 79 AD) mengenalkan
istilah uredo yang berarti burning. Nama yang sama digunakan pula oleh Carl von Linne
untuk red, evanescent itching eruption. Dalam abad ke-10, Ali ibnu Al-Abba menamai
penyakit tersebut essera, berasal dari bahasa Parsi yang berarti elevation. Nama tersebut
selama beberapa ratus tahun digunakan di Arab dan Eropa. Zedler dalam bukunya Grosses
vollstandige Universallexikon, 1734 1740 mengganti nama uredo menjadi urticatio. Kata
urtikaria pertama kali diperkenalkan oleh William Cullen pada 1769 dalam bukunya
Synopsia Nosalogiae Methodica. Selanjutnya istilah urtikaria digunakan hingga saat ini.
1.1.2 Epidemiologi
Kisaran 15% - 25% populasi pernah mengalami paling sedikit 1 kali episode urtikaria
dalam hidupnya, dan diperkirakan 25% dari populasi tersebut adalah UK. 2 Insiden
UK dalam populasi diperkirakan sebesar 0.1% - 3%,3 dan prevalen UK sebesar 0.6%
dilaporkan oleh Gaig et al. (2006)4 pada penelitian epidemiologi di Spanyol. Penelitian
selama ini menunjukkan 30 50% UK adalah UO, dan sisanya sebesar 50% didiagnosis
sebagai UKI.
2
Data Unit Rawat Jalan Poliklinik IKKK RSUP MH Palembang, tahun 2001 - 2005,
menunjukkan peningkatan berbagai tipe urtikaria, yaitu sebanyak 96 orang pada tahun 2001,
113 orang pada tahun 2002, 162 orang pada tahun 2003, 349 orang pada tahun 2004, dan 364
orang pada tahun 2005. Data tersebut tidak menjelaskan secara rinci berapa besar kasus
urtikaria akut dan urtikaria kronik.5
1.1.3 Definisi
Urtikaria ialah kelompok penyakit yang ditandai oleh pembengkakan (edema) sementara
kulit, mulut, dan genitalia akibat keluarnya plasma dari pembuluh darah kecil ke dalam
jaringan ikat sekitarnya. Pembengkakan dermis superfisial disebut wheal/ weal/ urtika. Urtika
biasanya gatal dan bagian tengah awalnya pucat karena edema intens, selanjutnya menjadi
plakat superfisial berwarna merah jambu yang dalam beberapa jam (sampai 24 jam) akan
mengalami resolusi tanpa meninggalkan bekas. Tampak ruam kemerahan di sekitar urtika
akibat reflek akson. Pembengkakan dermis lebih dalam, jaringan subkutan dan submukosa
dinamai angioedema. Angioedema umumnya lebih terasa sakit daripada gatal, dan bertahan
lebih lama dibandingkan urtika. Urtika dan angioedema sering timbul bersamaan (Grattan,
Sabroe, Greaves 2002).6
1.1.4 Klasifikasi.
Klasifikasi klinis urtikaria pada Tabel 1. membedakan 4 kelompok besar urtikaria,
ordinary urticaria, urtikaria fisik, urtikaria kontak, dan urtikaria vaskulitis. Zuberbier,
Maurer (2005)7 menggunakan istilah spontaneous urticaria untuk ordinary urticaria.
3
Tabel 1.1 Klasifikasi klinis urtikaria dengan/tanpa angioedema.8
____________________________________________
Ordinary urticaria
Urtikaria akut (berlangsung kurang dari 6 minggu)
Urtikaria kronik (tiap hari/ minimal 2 hari/minggu berlangsung 6 minggu atau lebih)
Urtikaria episodik/ intermiten
Urtikaria fisik (timbul akibat stimulus fisik)
Urtikaria akuagenik
Urtikaria kolinergik
Urtikaria dingin
Urtikaria delayed pressure
Dermografisme
Urtikaria localized heat
Urtikaria solaris
Angioedema vibratory
Urtikaria kontak (diinduksi oleh kontak bahan kimia/biologis pada kulit)
Urtikaria vaskulitis (terdapat vaskulitis pada pemeriksaan biopsi kulit).
______________________________________________________________________
Sumber: GRATTAN C, POWELL S, AND HUMPHREYS F. Management and
diagnostic guidelines for urticaria and angio-oedema. Brit J Dermatol 2001; 144: 708714.
4
Tabel 1.2 Klasifikasi etiologis urtikaria dan angioedema.8
__________________________________________________________________
Idiopatik
Imunologik
Autoimun (otoantibodi terhadap FcRI atau IgE pada urtikaria otoimun)
IgE-dependent (reaksi hipersensitivitas tipe I)
Komplek imun (urtikaria vaskulitis, serum sickness)
Complement-dependent (defisiensi inhibitor C1 esterase)
Non-imunologik
Direct mast cell releasing agents (opiat, media kontras)
Aspirin, nonsteroidal anti-inflammatories (metabolisme as. Arakidonat) dan
pseudoalergen dalam diet
Angiotensin-converting enzyme inhibitors (peningkatan bradikinin)
___________________________________________________________________
Sumber: Grattan, Powell, Humphreys (2001), dalam Brit J Dermatol 144:708-714
1.1.5 Patofisiologi
Pelepasan histamin akibat degranulasi mastosit oleh berbagai stimulus menyebabkan
timbul weal dan angioedema. Mediator proinflamasi, sitokin (di antaranya tumor necrosis
factor / TNF) dan protease dilepas mastosit pada saat degranulasi. Histamin adalah mediator
preformed terpenting, sedangkan mediator newly synthesized, lekotriens (LTC4, D4 dan E3),
prostaglandin D2, dan platelet-activating factor (PAF) berperan pada proses peradangan
susulan. Reaktivitas imunologis sel endotel terhadap TNF meningkatkan respon radang
dengan meng up-regulate molekul adesi vaskuler. Sel basofil yang bermigrasi ke dalam lesi
akan memperpanjang durasi lesi urtika.
Pada UO, pelepasan histamin terjadi akibat ikatan otoantibodi fungsional (IgG) pada
rantai reseptor IgE berafinitas tinggi atau terhadap molekul IgE pada permukaan mastosit
kulit dan sel basofil.9,10
5
1.1.6 Gambaran klinis urtikaria
1.1.6.1 Urtikaria Fisik
Urtikaria fisik adalah urtikaria di mana weal timbul pada kulit yang mendapat stimulus
fisik.11-13 Urtikaria fisik dapat terjadi bersamaan dengan urtikaria kronik (UK), terutama
dermografisme dan delayed pressure urticaria,14 sehingga perlu dilakukan tes manual untuk
menentukan apakah urtikaria fisik tersebut merupakan penyebab dominan terjadinya urtikaria
(Tabel 3.).
Tabel 1.3 Gambaran klinis dan prosedur diagnostik urtikaria fisik
Tipe Urtikaria
Dermografisme
simtomatik
Rentang usia
pasien (tahun)
20 50
Urtikaria dingin
10 40
Urtikaria
tekanan
20 50
Urtikaria solar
20 50
Urtikaria
kolinergik
10 - 50
Gambaran klinis
utama
Weal linear,gatal,
dikelilingi flare merah
muda pada lokasi
garukan.
swelling pucat atau
merah, gatal, pada
lokasi kontak dengan
benda atau cairan
dingin.
swelling besar,
merah, gatal atau
sakit pada lokasi
tekanan, bertahan
24 jam.
Angioedema
(+)
Tes Diagnostik
(-)
(+)
(-)
(+)
6
pada paha selama 20 menit, dalam 4 6 jam setelah beban diangkat akan timbul palpable
swelling.15
1.1.6.2 Urtikaria vaskulitis
Morfologi weal pada urtikaria vaskulitis sering menyerupai weal pada UK, dan petunjuk
klinis yang dapat membantu di antaranya adalah lama lesi individual yang bertahan > 24 jam
(Tabel 4.). Konfirmasi diagnosis dengan biopsi kulit perlu dilakukan, selain untuk
menentukan ada/tidaknya penyebab sistemik (lupus eritematosus sistemik, penyakit jaringan
ikat lain), serta pengobatan yang sesuai dengan penyebab.16
Tabel 1.4 Temuan yang mengarah ke urtikaria vaskulitis.17
Gambaran yang mengarah ke urtikaria vasculitis
Klinik
Durasi weals > 24 jam, lebih sakit daripada gatal
Residual purpura, bruising, atau perubahan pigmentasi
Keluhan sistemik menonjol (demam, nefritis, artralgia)
Respon terhadap antihistamin sangat kurang
Laboratorik
Laju endap darah meninggi dan konsentrasi acute phase
proteins meningkat
Histopatologik
Pembengkakan dan kerusakan sel endotel venular
Invasi lekosit ke dalam endotel venular
Ekstravasasi eritrosit
Leucocytoclasia (neutrophil nuclear dust)
Deposit fibrin
7
Etiologi UK di antaranya proses otoimunitas (urtikaria otoimun/ UO), pseudoallergic,
infection-related, dan sisanya tidak dapat di identifikasi sehingga dinamai urtikaria kronik
idiopatik (UKI).
Gambaran klinis UKI dan UO umumnya tidak berbeda. Urtikaria kronik dapat
menyebabkan penurunan pada kualitas hidup pasien, mempengaruhi hubungan seksual, dan
interaksi sosial. Keluhan gatal cenderung lebih parah pada malam hari dan mengganggu
tidur. Sebagian pasien UKI disertai penyakit tiroid otoimun (Hashimotos thyroiditis and
Graves disease), dengan peningkatan insidens otoantibodi terhadap thyroglobulin and
microsomal-derived antigen, terutama pada wanita. Infeksi Helicobacter pylori berperan
tidak langsung dalam etiologi UKI dengan menurunkan immune tolerance dan menginduksi
pembentukan otoantibodi. Infestasi parasit intestinal jarang sebagai penyebab UK. Tidak
terdapat hubungan pasti antara infeksi gigi, kandidiasis gastrointestinal, dan keganasan
dengan UK. Alergi makanan lebih banyak menyebabkan urtikaria akut, sedangkan zat aditif
dalam makanan lebih banyak pada UK.
1.1.7 Gambaran histologis
Gambaran histopatologis UKI dan UO adalah infiltrat perivaskuler non-necrotizing sel
limfosit T CD4+, berupa campuran sel Th1 dan Th2, sel basofil, monosit, sel PMN, dan sel
eosinofil.18 Infiltrat campuran tersebut sama dengan allergic late-phase response. Infiltrat
campuran terutama khas pada tipe urtikaria refrakter seperti urtikaria otoimun.
1.2 Urtikaria Otoimun.
Sejak 20 tahun terakhir, penyebab kasus UKI yang sebelumnya tidak diketahui, ternyata
sebagian merupakan urtikaria yang disebabkan oleh proses otoimunitas.19 Terdapat faktor
dalam serum yang dapat menimbulkan reaksi weal and flare apabila serum otolog
8
disuntikkan intradermal.20 Faktor dalam serum yang pertama ditemukan adalah otoantobodi
(IgG) anti-IgE yang dapat melepaskan histamin dari sel basofil orang normal dan reaksi weal
and flare pada penderita sendiri.21 Selanjutnya ditemukan metode pemeriksaan Histamine
release assay untuk menilai histamine releasing activity (fungsionalitas) anti-IgE, serta
pemeriksaan ASST.22 Penelitian berikut, menemukan faktor dalam serum yang kedua yaitu
otoantibodi (IgG) anti-FcRI fungsional.23
Eksistensi/ adanya UO dipertegas dengan adanya anti-FcRI (25-30%) dan anti-IgE ( 510%) melalui pemeriksaan imunoblot.24 Niimi et al. (1996)25 membuktikan anti-FcRI dapat
mengaktifkan mastosit kulit dan melepaskan histamin, dan Tong et al. (1997)26 mengenalkan
pula pemeriksaan HRA dengan teknik enzyme immunoassay selain pemeriksaan
immunoblotting. Otoantibodi anti-FcRI pada urtikaria otoimun terutama adalah subtipe
IgG1 dan IgG3 yang dapat mengaktifkan komplemen (Fiebiger et al. 1998). 27 Penelitian
berikutnya membuktikan bahwa degranulasi mastosit oleh otoantibodi pada UO memerlukan
ikatan otoantibodi dengan FcRI dan aktivasi rangkaian komplemen jalur klasik. 28,29
Komponen komplemen yang berperan dalam meningkatkan aktivasi adalah C5a yang
berinteraksi dengan reseptor C5a (CD88) pada mastosit kulit.27 Interaksi otoantibodi antiFcRI atau anti-IgE dengan FcRI atau IgE pada permukaan mastosit dan sel basofil,
dengan/tanpa interaksi C5a dengan CD88, tidak menyebabkan sel tersebut mengalami lisis
akibat proses sitotoksis, karena tidak ada data yang menunjang sitotoksisitas mastosit oleh
C5b678poly C9-terminal complex,28 selain itu, mastosit memiliki kemampuan proliferatif, 30
dan kadar mediator yang dilepaskan mastosit tidak cukup tinggi untuk mencapai efek toksis
terhadap mastosit; sedangkan sel basofil terhindar dari proses sitotoksisitas karena pengaruh
interleukin-3 (IL-3) dan leukotrien-D4 (LTD4).31
9
Pada beberapa kasus UKI, terdapat anti-FcRI yang tidak dapat memicu pelepasan
histamin dari mastosit dan sel basofil (anti-FcRI non-fungsional). Anti-FcRI tersebut
kemungkinan bersifat bi specific, yaitu akan berikatan silang dengan high affinity FcRI
(regulator positif) dan low affinity FcRIIB (regulator negatif) pada permukaan sel, sehingga
menyebabkan ko-agregasi FcRI dan FcRIIB. Koagregasi tersebut mengakibatkan inhibisi
pelepasan histamin dari mastosit dan sel basofil.32,33 Selain itu, terdapat IRp60 (CD300a)
yang merupakan molekul inhibitor fungsional yang terdapat pula pada permukaan mastosit.
Ikatan silang molekul IRp60 dengan komplek imun akan menghambat degranulasi mastosit
melalui IgE.34
Selain otoantibodi yang telah dijelaskan di atas, masih terdapat histamine releasing
factors lain dalam serum pasien UKI yang memiliki histamine releasing activity atau
fungsional, yaitu non-IgG mast cell-specific histamine releasing factor.35 Faktor tersebut
hanya dapat memicu mastosit degranulasi melepaskan histamin, dan tidak dapat memicu sel
basofil. Serum pasien yang mengandung faktor tersebut, akan menyebabkan pemeriksaan in
vivo ASST positif, sedangkan pemeriksaan in vitro HRA negatif karena asai tersebut
menggunakan sel basofil donor sehat.35,36 Pada pasien UKI non-otoimun, degranulasi
mastosit dan kelainan urtika diduga karena terdapat gangguan pada p21 Ras signalling
pathway dalam sel mononuklear,37 atau faktor lain dalam serum yang belum dapat di
identifikasi.38
10
Gambar 1.2 Prevalen histamine releasing and non-releasing factors pasien UKI.
Sumber: Sabroe, Greaves (2006).38 Chronic Idiopathic urticaria with functional
autoantibodies: 12 years on. Brit J dermatol., 154, pp. 813-819
Terdapat penurunan jumlah sel basofil darah pada pasien UKI, yang dibuktikan dengan
pengecatan metachromatic granule dan flow cytometric double staining.39,40 Penurunan sel
basofil darah dibuktikan lebih lanjut dengan metode pengecatan toluidine blue menggunakan
bilik hitung improved Neubauer.41,42 Abnormalitas dalam jumlah, struktur atau fungsi sel
basofil atau mastosit pada pasien dengan urtikaria kronik mungkin tidak bergantung pada
keberadaan anti-FcRI. Penelitian Luquin, Kaplan, Ferrer (2005) 43 mendapatkan sel basofil
pasien urtikaria kronik otoimun dan non-otoimun bersifat hipo-responsif terhadap stimulasi
anti-IgE dan C5a, tetapi menariknya justru hiper-responsif terhadap stimulus sera yang
berasal dari pasien urtikaria kronik lain dan bahkan dari serum orang normal. Penelitian di
atas menunjukkan bahwa sel basofil pasien urtikaria kronik secara fungsional berperilaku
11
abnormal, yaitu hipo-responsif terhadap beberapa stimulus tetapi hiper-responsif terhadap
sesuatu yang terdapat dalam serum pasien dan orang normal. Hal tersebut menunjukkan
adanya perubahan basophil FcRI signaling pada pasien urtikaria kronik, yang ditandai
dengan peningkatan Src homology 2 (SH2) domain inositol 5-phosphatase (SHIP-1) dan
SHIP-2 yang berfungsi sebagai negative regulator bagi sinyal yang melewati
FcRI, atau
defisiensi Syk kinase yang berfungsi sebagai positive regulator dari pen-sinyalan melalui
FcRI.
Penelitian lain, mendapatkan peningkatan level marka aktivasi sel basofil (CD63, CD69
and CD203) pada pasien urtikaria kronik, dibandingkan dengan penderita alergi. Deteksi
marka aktivasi sel basofil tersebut dapat digunakan sebagai sarana diagnostik urtikaria
otoimun, selain pemeriksaan ASST dan HRA. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk
mengetahui abnormalitas humoral (otoantibodi fungsional) atau selular (fungsi dan jumlah
sel basofil) atau keduanya yang menyebabkan urtikaria.36
Histamin, sebagai mediator penting pada urtikaria telah lama diketahui. Degranulasi
mastosit yang diikuti dengan pelepasan histamin berperan sentral bagi timbulnya urtika dan
angioedema.44,45 Pada UKI, mastosit lebih mudah melepaskan mediator, terbukti dari
kecenderungan timbulnya urtika oleh suntikan intradermal kodein, dan peningkatan
pelepasan
histamin
akibat
stimulus
nonimunologik
(senyawa
48/80).
Penyebab
meningkatnya releasability (pelepasan mediator dari mastosit dan sel basofil akibat berbagai
stimulus) pada UKI belum jelas.46-48 Penurunan releasabilitas sel basofil pada UKI dapat
terjadi akibat stimulus yang berlangsung lama sehingga terjadi keadaan desensitisasi.49
Kasus UKI dengan otoantibodi fungsional memiliki asosiasi kuat dengan HLA-DR4 dan
HLA-DQ8. Hal tersebut menunjang konsep urtikaria otoimun.50,51 Infeksi Helicobacter pylori
12
memicu pembentukan anti-FcRI non-histamine releasing autoantibodies, dan penyebaran
epitop H. pylori akan menghasilkan anti-FcRI histamine releasing autoantibodies.32 Faktor
polimorfisme HLA dapat berpengaruh pula pada kejadian UO untuk tiap daerah atau etnis
tertentu.
1.2.1 Bukti yang menunjang UKI yang memiliki otoantibodi anti-FcRI fungsional adalah
penyakit otoimun.
A. Bukti tidak langsung (indirect/supporting evidence):
1.
2.
3.
4.
13
berafinitas tinggi (disingkat: FcRIa) pada urtikaria otoimun tidak berbeda dengan
otoantibodi alami yang didapati pada subyek normal. Pada keadaan normal, otoantibodi
alami tersebut berfungsi dalam mekanisme pertahanan awal terhadap pathogen, terdapat
sepanjang hidup, dan umumnya tidak menimbulkan penyakit otoimun. Otoantibodi tersebut
dapat berubah menjadi patogenik bila terjadi ketidak-seimbangan antara jumlah molekul
FcRI, FcRIa occupancy (seberapa banyak FcRIa yang terikat oleh ligand alaminya IgE
dan FcRI yang tidak terikat) dan anti-FcRIa alami bebas dan terikat. Gangguan pada
receptorligand equilibrium tersebut bertanggung jawab dalam terjadinya manifestasi
urtikaria otoimun.
2. Interaksi faktor genetik dan infeksi Helicobacter pylori. Tubuh membentuk antibodi
terhadap lipoprotein20 (lpp20) yang mirip dengan komponen tubuh. Akibatnya tubuh
membentuk otoantibodi terhadap komponen tubuh yang menyerupai lpp20 (molecular
mimicry).54 Peneliti lain, menunjukkan bahwa faktor etiologik Helicobacter pylori berperan
tidak langsung pada urtikaria otoimun. Stimulasi imunologik oleh infeksi kronik
Helicobacter pylori, melalui pengaruh mediator yang dilepaskan (IL-8, PAF, dan leukotrien
B4, C4), menyebabkan peningkatan sensitivitas pembuluh darah kulit, dan peneliti lainnya
menyatakan tidak ada kaitan antara UKI dan Helicobacter pylori.55
3. Keterkaitan UO dengan penyakit tiroiditis otoimun.56,57
4. Terdapat defek intrisik sel basofil dan mastosit (jumlah sel, struktur, dan fungsi). Penelitian
menunjukkan adanya peningkatan protein SHIP 1 dan SHIP 2 (berfungsi sebagai negative
regulator of signaling pathway through FcRI) atau penurunan Syk kinase (berfungsi sebagai
positive regulator of signaling pathway through FcRI).36
14
1.2.3 Diagnosis UO
1.2.3.1 Histamine Release Assay (HRA)
Pemeriksaan in vitro histamine release assay (HRA) pada UK sampai saat ini masih
merupakan gold standard untuk mendeteksi otoantibodi fungsional di dalam serum pasien
UK,58,59 karena pemeriksaan in vitro lainnya, seperti imunoblot, dan flow cytometry tidak
dapat membedakan apakah otoantibodi tersebut fungsional atau tidak. Pemeriksaan HRA
sulit distandardisasi karena memerlukan sel basofil segar donor sehat, dan memerlukan
waktu lama untuk memperoleh hasil.6
Beberapa metode asai pelepasan histamin yang pernah digunakan di antaranya adalah
metode automated fluorometric assay, radioenzymatic assay, radioimmuno assay,
fluorescent assay, dan competitive direct-ELISA.60 Pada penelitian ini, peneliti memakai
metode competitive direct ELISA dengan kit ELISA dari Neogens Corporation, USA.61
Pemeriksaan HRA umumnya menggunakan sel basofil orang sehat sebagai pilihan utama
yang akan diinkubasi dengan serum pasien. Prosedur pemisahan basofil mengikuti metode
isolasi lekosit (suspensi terdiri atas campuran sel darah putih) dan bukan metode pemurnian
sel basofil (hanya terdiri atas sel basofil).62-64 Purifikasi sel basofil diperlukan pada penelitian
fungsional sel basofil (sel lain mensekresi mediator yang sama, atau sel lain memproduksi
IL-3 yang mempengaruhi aktivitas sel basofil), dan pada penelitian intracellular signaling
events sel basofil.31 Pemeriksaan tidak menggunakan mastosit kulit karena sel tersebut ber
lokasi dalam jaringan sehingga sukar mengisolasinya. 60 Selain itu, pelepasan histamin dari sel
basofil akibat stimulasi anti-FcRI dan/atau anti-IgE fungsional tidak berbeda dari yang
dilepaskan mastosit pada pemeriksaan HRA.25,65
15
1.2.3.1.1 Prinsip asai Neogens Histamine ELISA test kit.
Kit ELISA merupakan ELISA kompetitif langsung dalam format sumuran mikro
(microwell) yang memungkinkan pemeriksa mendapatkan konsentrasi histamin secara tepat
dalam nanogram per mililiter. Tipe ELISA ini sering digunakan mendeteksi small analyte
antigen yang hanya terdiri atas epitop tunggal.
Sumuran mikro kit ELISA telah dilapisi (pre-coated) dengan antibodi monoklonal spesifk
terhadap histamin yang merupakan analit ber epitop tunggal.
Sampel uji dan/ atau larutan standar (free analyte) ditambahkan pertama kali ke lempengan
mikro berlapis antibodi. Selanjutnya, ditambahkan konjugat enzim (analyte yang diikatkan
dengan enzim pendeteksi) dan campuran diinkubasi pada suhu ruangan selama 45 menit di atas
micro shaker. Selama inkubasi, histamin bebas dalam sampel atau standar, berkompetisi
dengan konjugat enzim untuk mengikat bagian F(ab) antibodi monoklonal pada lempengan.
Lempengan kemudian dicuci, membuang semua material yang tak terikat (bebas). Konjugat
enzim yang terikat dideteksi dengan penambahan substrat yang sesuai dengan enzim dalam
konjugat. Reaksi antara enzim dan substrat akan menghasilkan warna, umumnya optimal pada
30 menit. Pembacaan dilakukan dengan microELISA reader yang diset pada panjang
gelombang yang sesuai.
Intensitas warna yang dihasilkan berbanding terbalik secara proporsional dengan kadar
histamin dalam sampel atau standar (terjadi akibat kompetisi antara analyte bebas dalam
sampel uji dan konjugat enzim untuk mengikat antibodi pada lempengan mikro), yang berarti
makin tinggi kadar histamin, makin kecil sinyal warna yang dihasilkan.
Hasil tes kuantitatif diperoleh dengan mengukur dan membandingkan pembacaan absorben
pada sumuran sampel dengan kurva baku (menggunakan model log-logit curve fitting).
16
Sampel uji yang digunakan untuk pemeriksaan ELISA terlebih dahulu harus diproses agar
cocok/ dapat digunakan dalam pemeriksaan menggunakan kit ELISA.
Terdapat beberapa tahapan pemeriksaan HRA, yaitu pemisahan serum pasien, pemisahan
serum donor sehat, pemisahan lekosit donor sehat, inkubasi serum dalam suspensi lekosit
sampai diperoleh supernatan mengandung histamin yang siap diperiksa dengan ELISA,
pemeriksaan ELISA, pembuatan kurva baku dan persamaan linear, dan penghitungan kadar
dan persentase pelepasan histamin.
1.2.3.1.2 Pemisahan serum pasien urtikaria dan serum donor sehat.
Proses pemisahan serum untuk tes ELISA, sama seperti proses pemisahan serum untuk
pemeriksaan ASST. Darah vena dari fossa antecubiti ditampung dalam gelas steril tanpa
clotting accelerator (Vacutainer) didiamkan dalam posisi tegak pada suhu ruangan selama 30
menit. Selanjutnya serum diperoleh dengan sentrifugasi pada 2500 rpm selama 30 menit.
Serum untuk pemeriksaan HRA disimpan pada 200 C, sebelum digunakan.
1.2.3.1.3 Pemisahan lekosit donor sehat, inkubasi, dan penghitungan pelepasan histamin.
Terdapat berbagai variasi pemisahan lekosit, inkubasi dan penghitungan pelepasan
histamin yang dipakai peneliti sebelumnya, sebagaimana ditampilkan pada rangkuman
berikut.
Grattan et al. (1997).40 Lekosit yang dipersiapkan dicuci 2 x dalam bufer asai tanpa
kalsium dan magnesium (10 mM HEPES, 137 mM NaCl, 2.7 mM KCl, 0.4 mM
NaH2PO4, 0.03% HSA dan 5 mM glucose, pH 7.4). Suspensi lekosit selanjutnya
diresuspensi dalam bufer asai mengandung 2 mM kalsium dan 1 mM magnesium,
dihangatkan pada 370C selama 5 menit; dan 50 L aliquots ditambahkan ke dalam
tabung polipropilen (in duplo) yang mengandung serum sehingga volume final 100
17
L. Setelah inkubasi pada 370C selama 40 menit, reaksi diakhiri dengan pendinginan
di atas es dan penambahan 800 L bufer dingin tanpa HSA. Pelet sel diperoleh
dengan sentrifugasi pada 500 g selama 5 menit pada 40C dan supernatan dibuang.
Pelet sel kemudian diresuspensi dalam bufer asai, dan 100 L of 3 M asam perklorat
ditambahkan ke pelet sel dan sampel supernatan sampai konsentrasi akhir 0.3 M.
Tong et al. (1997).26 Leukosit diperoleh melalui dextran sedimentation (0.6% dextran,
0.6% glucose, 0.02 mol/L ethylenediaminetetraacetic acid). Lapisan yang
mengandung sel basofil dicuci 2 x dengan N-2-hydroxyethylpiperazine-N-2ethanesulfonic acidbuffered saline dan 0.3% human serum albumin (HBS-HSA),
dan sel selanjutnya diresuspensi dalam HBS-HSA yang mengandung 2 mmol/L
MgCl2 dan 2 mmol/L CaCl2. Limapuluh mikroliter serum atau bufer diinkubasi dalam
50 l suspensi lekosit (2 105 cells/ml) selama 40 menit pada 37 C. Setelah
inkubasi, supernatan dipisahkan dengan sentrifugasi pada 700 g selama 5 menit pada
4 C, dan ditentukan pelepasan histamin yang terjadi. Dua aliquots sel dididihkan
untuk menentukan kandungan histamin total sel basofil.
Sabroe et al. (1999).41 Darah heparin sebanyak 30 mL dari pasien urtikaria kronik
dan kontrol sehat dicampur dengan 10 mL 1% methyl cellulose dalam 0.9% salin,
diamkan selama 30 menit sampai terbentuk sedimen. Lekosit diperoleh dari
supernatan dengan sentrifugasi, dicuci 2 x dalam bufer asai tanpa kalsium dan
magnesium, dan dilanjutkan dengan resuspensi dalam bufer asai mengandung 2
mmol/L Ca++ dan 1 mmol/L Mg++. Sel ditambahkan ke dalam tabung (in duplo)
mengandung serum dan kontrol 0.9% salin sampai volume menjadi 0.1 mL,
diinkubasi selama 40 menit pada 37 C, dan reaksi selanjutnya dihentikan dengan
18
pendinginan di atas es, penambahan 0.8 mL bufer asai dingin, dan pemisahan sel
dengan sentrifugasi pada 500 g selama 5 menit. Histamin dalam supernatan dan
residual histamine dalam pelet sel diukur, setelah dilakukan presipitasi protein dengan
asam perklorat.
Kikuchi, Kaplan (2002).29 Limabelas mililiter whole blood dicampur dengan 1.5 mL
0.2 mol/L 10% EDTA dan dengan 3.0 mL 3% dextran - 3% glucose - 0.15 mol/L
NaCl. Campuran didiamkan 90 menit sampai terbentuk sedimen, supernatan dibuang,
dan cel ditampung ke dalam tabung konikal, untuk dicuci 3 x dengan HBSS-HSA
(HBSS, 4 mM/L HEPES, dan 0.3% HSA). Sel selanjutnya diresuspensi dalam HBSSHSA mengandung 2 mM/L CaCl2 dan 1 mM/L MgCl2, dan konsentrasi lekosit
disesuaikan kembali ke konsentrasi asal darah. Tujuhpuluhlima mikroliter serum, dan
bufer diinkubasi dengan 75 L suspensi lekosit selama 40 menit pada 37C. Setelah
inkubasi, supernatan dipisahkan dengan sentrifugasi pada 3000 rpm selama 5 menit
pada 4C, dan dilakukan pemeriksaan pelepasan histamin. Dua aliquots sel
dididihkan untuk penentuan histamin total.
Claveau et al. (1996).59 Pelet kaya lekosit (mengandung sel basofil) diperoleh setelah
sedimentasi whole blood dengan Dekstran 6%. Setelah pencucian, sel diresuspensi
dalam 50 L bufer dingin mengandung Ca. dan Mg. pada konsentrasi final 2 x 10 6
sel/mL, dan ditambahkan ke dalam 100 mL PBS, atau dipanaskan, dilanjutkan dengan
inkubasi selama 20 menit pada 37 C. Reaksi dihentikan dengan pendinginan.
Supernatan bebas sel diperiksa kadar histaminnya.
( A B ) 100
T
19
A = serum-induced HR
B = buffer induced HR
T = histamin total sel basofil.
San Diego (2006).66 1) Limabelas mL darah vena dicampur 0.6 mL 15% dekstran
dan 0.6 mL 0.25 M EDTA dalam 0.9% salin pada suhu kamar. 2) Tabung pada sudut
300 diamkan 10 30 menit dan dilanjutkan pada posisi tegak selama 15 30 menit,
pada suhu kamar. 3) Pindahkan supernatan (kaya lekosit) dalam tabung sentrifus lain,
4) sentrifus pada 300 g selama 5 10 menit pada suhu kamar. 5) Buang supernatan,
dan Pelet sel diresuspensi dalam 1 ml bufer PBS bebas protein. 6) Tambahkan 14 ml
lysing solution dalam 1 ml suspensi sel, inkubasi selama 3 5 menit pada suhu
ruangan untuk melisiskan eritrosit; atau tambahkan 9 mL H20 selama 10 detik,
dilanjutkan dengan penambahan 10xPBS. 7) Sentrifus pada 300 g selama 5 menit
pada suhu ruangan. 8) Buang supernatan, dan pelet sel diresuspensi dengan 5 mL PBS
dingin. 9) Sentrifus pada 300 g selama 5 menit pada 2 - 8C. 10) Buang supernatan,
dan pelet diresuspensi dalam 1 mL PBS mengandung protein (Bovine Serum Albumin,
BSA) suspensi lekosit. Erythrocyte lysing solution
Solution: NH4Cl 89.9 g; KHCO3 10.0 g; tetrasodium EDTA 370.0 mg; larutkan
20
dalam 1 liter H2O. Sesuaikan pH menjadi 7.3 dan simpan dalam tabung tertutup pada
4C. Working Solution: Tambahkan 5 mL Lysing Stock Solution pada 45 mL H2O,
campur, dan simpan pada suhu ruangan paling lama 1 minggu.
repeated inversion. 5)
21
volume menjadi 15 mL. Setelah sentrifugasi pada 400 - 450 g selama 15 menit,
supernatan dibuang dan pelet sel diresuspensi menjadi 2 mL.
22
Wedi et al. (2000).70 Duaratus L whole blood (diencerkan 1:7 dalam bufer HR)
diinkubasi dengan 100 L sera (diencerkan 1:2, 1:5, dan 1:10) selama 30 menit pada
37C. Histamin total diperoleh dengan melisiskan sel dengan metode repeated
freezing and thawing. Setelah inkubasi, supernatan dipisah dengan sentrifugasi pada
900 g selama 5 menit pada 4C. Pelepasan histamin (dalam persen) dihitung
menggunakan formula: ([Stimulated HR Spontaneous HR] 100) Total HR.
Luquin, Kaplan, Ferrer (2005).43 Sepuluh mililiter whole blood ditampung dalam
tabung berlapis EDTA, kemudian dicampur dengan 2 mL larutan 3% dekstran - 3%
glucose - 0.15M salin, diamkan selama 90 menit. Buang supernatan, dan sel dicuci
dengan HBSS-HSA pH 7.4 (NaCl, KCl, HEPES 10mM, HSA, Glucose, NaH 2PO4,
double distilled water). Sel diresuspensi dalam HBSS-HSA mengandung 2 mM
CaCl2 dan 1mM MgCl2. Jumlah sel basofil disesuaikan menjadi 1 x 10 4/mL. Suspensi
sel diinkubasi dalam serum dan/ atau bufer selama 30 menit pada 37 0C, dilanjutkan
dengan sentrifugasi pada 1000 g selama 10 menit pada 4 0C, dan periksa pelepasan
histamin. Dua aliquots sel dididihkan untuk penentuan histamin total. Penghitungan
pelepasan histamin (mean SD) menggunakan formula:
( Sample Basal )
100 .
(Total Basal )
Histamin
spontan kurang dari 5% histamin total. Nilai %HR sebesar 2 SD dari mean dianggap
positif.
Ying et al. (2002).71 Limabelas mililiter whole blood dicampur dengan 1.5 mL 0.2
mol/L 10% EDTA dan dengan 3.0 mL larutan 3% dextran - 3% glucose - 0.15mol/L
NaCl. Diamkan selama 90 menit, supernatan dibuang, dan sel dicuci 3 x dengan
Hank's balanced salt solutionhuman serum albumin (HBS-HSA), 4 mM/L HEPES,
dan 0.3% HSA. Sel diresuspensi dalam HBS-HSA mengandung 2 mM/L CaCl 2 dan 1
23
mM/L MgCl2. Konsentrasi lekosit kemudian dikembalikan ke konsentrasi asli dalam
darah.
1.2.3.1.4 Penghitungan.
1. Penghitungan persentase ikatan maksimal (%B/B0) tiap histamin baku:
(absorben histamin kadar tertentu / absorben histamin kadar 0) x 100.
Contoh:
OD histamin baku (0 ng/ml) = 2.186 = B0 %B0/B0 = (2.186/2.186) x 100 = 100
OD histamin baku (2.5 ng/ml) = 1.498 = %B %B1/B0 = (1.498/2.186) x 100 = 69
2. Transformasikan nilai %B/B0 ke dalam fungsi logit, menggunakan formula:
Logit = ln(%B/B0/(100 - %B/B0)).
Contoh: untuk %B/B0 = 69 logit = ln(69/31) = 0.800
3. Buat kurva baku (dengan memplot nilai logit pada sumbu y, terhadap log dari
konsentrasi baku pada sumbu x), dan persamaan linear.
4. Kurva baku digunakan menghitung konsentrasi tiap sampel, dengan membandingkan
nilai logit tiap sampel terhadap konsentrasi histamin baku yang sesuai.
1.2.3.2 Autologous Serum Skin Test (ASST).
Tes kulit in vivo menggunakan serum otolog, diperkenalkan pertama kali oleh Grattan et
al.1991.22 Tes tersebut selanjutnya dikenal sebagai autologous serum skin test (ASST).41
Seperti halnya pemeriksaan in vitro HRA, hasil pemeriksaan ASST (+) menunjukkan adanya
aktivitas pelepas histamin di dalam tubuh pasien UK. Autologous serum skin test telah
terbukti sebagai tes saring yang berharga untuk UO.41
Sampai saat ini, ASST dianggap hanya sebagai tes saring diagnosis UO karena dapat
terjadi reaksi false positive/ negative, sehingga apabila terjadi ASST positif sedangkan HRA
24
negatif, maka ASST dianggap false positive.72,73 Di lain pihak, peneliti lain berpendapat
bahwa HRA memberi hasil lebih bervariasi dan lebih rendah sensitivitasnya dibandingkan
ASST dalam mendeteksi pasien yang memiliki histamine releasing factor di dalam
darahnya .74 Peneliti lain beranggapan bahwa bila terjadi ASST (+) dan HRA (-), maka hal
tersebut justru menunjukkan kelebihan ASST dalam mendeteksi non-Ig mast cell-specifik
serum histamine releasing factor yang hanya dapat memicu mastosit melepas histamin.36
Reaksi false positive ASST dapat terjadi karena terbentuk bradikinin (dihasilkan waktu
darah dibekukan), atau penguraian C5a oleh protease/ elastase yang dihasilkan oleh lekosit
polimorfonuklear selama pemrosesan serum, tanpa diawali complement cascade,29 nonantibody mast cell specific histamine releasing factor,75 terdapat natural autoantibody,76 atau
terdapat antibodi heterofil (faktor rematoid, anti-mouse antibody, otoantibodi pada pasien
dengan penyakit otoimun, dan pasien yang mendapat terapi biologics, mendapat intravenous
immunoglobulin/IVIG, dan vaksinasi pasif.77 Sebaliknya, reaksi false negative dapat terjadi
karena degradasi otoantibodi dalam serum, atau karena ASST dilakukan pada kulit yang baru
sembuh dari urtika.
Pasien dermografisme tidak memiliki otoantibodi fungsional, tetapi manipulasi kulit
dengan tujuan mengetahui ketebalan kulit sebelum tes dan suntikan itu sendiri, keduanya
dapat menyebabkan respon weal and flare, apapun jenis substansi yang disuntikkan. Respon
yang terjadi dapat disalah artikan sebagai true positive apabila respon oleh salin tidak
diperhitungkan. Sebaliknya, ASST yang true positive dapat dianggap negatif karena adanya
dermografisme.41 Demikian pula, variasi dalam hal kedalaman dan volume substansi yang
disuntikkan, dapat pula menyebabkan kesalahan penilaian hasil ASST.
25
Sampai saat ini dalam kepustakaan belum ada metode dan interpretasi hasil pemeriksaan
ASST yang standar, sehingga sensitivitas dan spesifisitas yang dihasilkan berbagai peneliti
sangat bervariasi.
1.2.3.2.1 Beberapa variasi teknik pemeriksaan in vivo ASST di antaranya.
1. Grattan, et al. 1997.40 Limapuluh L serum otolog segar dan larutan salin steril
disuntikkan secara intradermal pada kulit lengan bawah volar berjarak minimal 2 cm,
setelah bebas antihistamin selama 48 jam. Tes dianggap positif apabila diameter weal
serum 2 mm dari diameter larutan salin pada pembacaan 30 menit. Penelitian ini
melibatkan 25 pasien UKI.
2. Sabroe, Grattan, Francis et al. 1999. 41 Peneliti menjelaskan prosedur ASST mulai
dengan pengambilan darah vena, tes intradermal, formula pengukuran parameter, dan
kriteria tes positif.
Darah vena yang diperoleh, ditampung dalam tabung gelas tanpa clotting
accelerator, didiamkan pada suhu ruangan selama 30 menit sampai terbentuk
bekuan. Pemisahan serum dilakukan dengan sentrifugasi pada 500 g selama 15
menit. Serum yang diperoleh, dibagi dalam 2 aliquots untuk pemeriksaan ASST dan
HRA.
Serum otolog segar, histamin (10 g/mL), dan larutan salin (0.9%) steril (masingmasing 50 L) secara terpisah (3 5 cm) disuntikkan pada bagian volar lengan
bawah (bebas lesi minimal 24 jam terahir). Respon weal and flare dibaca dan diukur
pada 30 menit (bila perlu pada 60 menit).
26
Formula pengukuran diameter weal, luas flare, warna weal, dan volume weal. Luas
d1 d 2
; volume weal dikalkulasikan berdasarkan luas flare x separuh
4
flare:
27
yang menghasilkan Sn dan Sp terbaik dipakai sebagai kriteria positivitas ASST.
Pemilihan waktu pembacaan 30 menit, mencerminkan waktu timbulnya respon weal
dan flare akibat pelepasan awal histamin dari mastosit, dan bukan akibat mediator
inflamasi lain yang dilepaskan mastosit atau sel sel basofil yang datang kemudian.
Peneliti tidak memilih kombinasi parameter perbedaan diameter weal akibat serumdiameter weal akibat salin dan parameter luas flare, karena parameter luas flare
menghasilkan nilai false positive yang cukup besar pada orang normal.
3. Fagiolo et al. (2000).75 Serum diperoleh dari darah vena yang telah didiamkan selama
30 menit pada suhu kamar, dilanjutkan dengan sentrifugasi pada 350 g selama 15
menit. Prosedur ASST dilakukan dengan menyuntikkan 50 L serum otolog segar
atau serum yang heat-decomplemented/ sepharose-protein G-adsorbed, larutan
histamine 1% (sebagai kontrol positif), dan 50 L larutan salin/ larutan salin yang
dinkubasi dengan sepharose-protein G secara intradermal pada bagian volar lengan
bawah. Pembacaan dilakukan pada 30 menit. Diameter weal diukur berdasarkan
diameter terbesar (D1) dan diameter tegak lurus terhadap diameter terbesar (D2), yaitu:
(D1 + D2)/2. Mean diameter weal and flare akibat serum 5 mm dianggap positif.
Penelitian dilakukan terhadap 15 pasien UKI.
4. Asero et al. 2004.74 Peneliti menyuntikkan 0.05 ml serum otolog segar steril, dan 0.05
ml larutan salin steril sebagai kontrol negatif, secara intradermal. Mean diameter
weal akibat serum > 25 mm pada pembacaan 20 menit dianggap positif, dengan
syarat tidak terjadi reaksi weal and flare pada suntikan larutan salin (karena apabila
positif, terjadi akibat dermografisme). Pada anak, mean diameter > 15 mm dianggap
positif. Penelitian merupakan laporan kasus pada seorang anak usia 6 tahun dengan
28
riwayat urikaria dan angioedema berulang ( Asero et al., 2003), dan 38 pasien
urtikaria akut akibat alergi obat.
5. Goryachkina, Nenasheva, Borzova. 2004.78 Peneliti menentukan positivitas ASST
berdasarkan parameter diameter weal pada pembacaan 30 menit. Reaksi ASST
dianggap positif bila selisih diameter weal akibat serum dan salin pada 30 menit 2
mm, dan timbul flare pada lokasi suntikan serum. Peneliti mendapatkan sensitivitas
sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 48.9%. Penelitian melibatkan 70 pasien UK.
6. Tedeschi et al. 2006.79 Peneliti melakukan pemeriksaan ASST dengan cara
menyuntikkan 0.05 ml serum otolog segar
weight/volume NaCl) sebagai kontrol negatif secara intradermal, dan larutan histamin
10 g/ml sebagai kontrol positif dengan tes tusuk (skin prick test). Pembacaan
dilakukan pada 30 menit. Sampel penelitian adalah 45 pasien UK, dan kriteria
positivitas ASST mengikuti metode Sabroe et al., 1999.
7. Altman, 2003.80 Peneliti menyuntikkan 50 L serum otolog, larutan salin 0.9%
sebagai kontrol negatif, dan histamin (10 g/ml) sebagai kontrol positif. Tes dianggap
positif apabila diameter weal akibat serum adalah dari separuh diameter weal akibat
histamin pada pembacaan 30 menit.
8. Grattan et al. 2000.52 Lima puluh mikroliter aliquots serum otolog, larutan salin dan
histamin (10 g/mL histamine base dalam larutan salin) disuntikkan secara
intradermal pada lengan bawah bebas urtika. Tes ASST positif apabila timbul weal
berwarna pink dengan diameter 1.5 mm dari weal akibat larutan salin pada
pembacaan 30 menit.
29
9. Platzer, Grattan, Poulsen, Skov. 2005.81 Prosedur pemisahan serum mengikuti
metode Sabroe et al., 1999. Limapuluh 50 L serum otolog dan 50 L larutan salin
steril disuntikkan secara intradermal pada bagian volar lengan bawah bebas lesi
urtika minimal 24 jam, masing-masing berjarak 3 cm. Tes dianggap positif apabila
respon akibat serum berwarna pink dan diameternya 1.5 mm dari diameter weal
akibat larutan salin, pada pembacaan 30 menit. Sampel penelitian adalah 28 pasien
UK.
10. Brunetti et al. 2004.82 Prosedur ASST dilakukan saat urtikaria sedang aktif.
Limapuluh mikroliter serum otolog, histamin (10 g/mL dalam salin; sebagai kontrol
positif) dan 0.9% larutan salin
disuntikkan ke dalam dermis lengan bawah bagian volar (bebas dari spontaneous
weal). Dua diameter orthogonal weal diukur 30 menit setelah penyuntikan. Kriteria
positivitas ASST mengikuti metode Sabroe et al. (1999). Apabila kontrol positif tidak
timbul, maka prosedur ASST harus diulang dalam 24 jam. Sensitivitas dan spesifisitas
yang diperoleh adalah 78% dan 85%, dan positive predictive value (PPV) serta
negative predictive value (NPV) masing-masing 74% dan 88%. Sampel penelitian
yang dilibatkan adalah 52 anak (rerata usia: 7.8 tahun).
11. ODonnell et al. 1998; ODonnell et al. 1999.50,83 Peneliti menjelaskan proses
pemisahan serum dari darah vena dengan mendiamkan darah selama 20 menit pada
suhu ruangan, selanjutnya disentrifus pada 1050 g selama 15 menit. Antihistamin
sudah dihentikan minimal 48 jam sebelum prosedur ASST. Prosedur ASST dilakukan
sebagai berikut. Limapuluh L serum otolog tanpa pengenceran, larutan salin steril
(kontrol negatif), dan histamin (10g/ml dalam larutan salin, sebagai kontrol positif)
30
disuntikkan ( masing- masing berjarak 5 cm) secara intradermal pada bagian volar
lengan bawah. Dua diameter orthogonal dari weal yang timbul segera diukur (pada 0
menit) dan 30 menit setelah suntikan. Reaksi ASST positif apabila timbul weal and
flare response akibat serum dengan mean weal diameter 2 mm dari diameter papel
akibat larutan salin.
12. Sabroe, Greaves (2006).38 Lima puluh mikroliter (0.05 mL) serum yang diperoleh
dari pasien sewaktu penyakit sedang aktif, disuntikkan intradermal pada permukaan
fleksor lengan bawah bebas lesi. Larutan salin 0.9% (kontrol negatif) dan histamin
10 g/mL (kontrol positif) disuntikkan intradermal dengan jarak antar suntikan 5 cm.
Respon positif, pada pembacaan 30 menit, adalah weal berwarna merah, dengan
diameter minimal 1.5 mm lebih besar daripada diameter weal akibat salin.
Sensitivitas dan spesifisitas yang diperoleh adalah kisaran 80%, dengan menggunakan
pemeriksaan in vitro HRA sebagai baku emas.
13. Toubi et al. 2004.84 Seratus mikro liter (0.1 ml) serum otolog steril disuntikkan
intradermal. Larutan salin sebagai kontrol negatif dan histamin (1 mg/mL) sebagai
kontrol positif. Respon yang timbul dibaca pada 30 menit sampai 60 menit.
Kriteria ASST positif sebagai berikut.
0 : diameter weal and flare serum = kontrol negatif;
+1 : diameter weal serum 1.5 mm lebih besar dari kontrol negatif, dan
diameter flare serum = 15 mm;
+2 : diameter weal serum 35 mm lebih besar dari kontrol negatif, dan
diameter flare serum >15 mm;
31
+3 : diameter weal serum 610 mm lebih besar dari kontrol negatif. Penelitian adalah
studi kohort yang melibatkan 139 pasien UK.
14. Hide et al. 1993.85 Limapuluh mikroliter serum otolog dan phosphate buffer saline
(PBS) disuntikkan intradermal pada lengan bawah volar. Volume weal serum (mm3)
dan weal PBS dibaca pada 60 menit Respon positif bila selisih volume serum dan
PBS > 9 mm3. Jumlah sampel yang digunakan adalah 28 pasien UKI.
15. Grattan Clive (RM1) clive.grattan@nnuh.nhs.uk, pada diskusi pakar UO melalui
media elektronik pada 24 Desember 2004 mengemukakan: I measure the weal
diameter at both sites after 30 min and subtract the saline result (non-inflammatory
oedema from the injection fluid) from the serum result (which may contain
inflammatory oedema due to vasopermeability in addition to the injection fluid). The
autologous serum skin test response is regarded as positive if the serum weal
diameter exceeds the saline weal diameter by at least 1.5 mm.
1.2.4 Penatalaksanaan urtikaria otoimun.
Pasien UO awalnya diobati seperti halnya pasien UKI tanpa otoantibodi, yaitu
menggunakan antihistamin H1 non-sedatif dengan dosis sesuai dengan anjuran pabrik. Waktu
pemberian antihistamin masing-masing pasien bersifat individualistik, artinya pemberian
diberikan pada saat gejala mencapai maksimal. Kadangkala perlu ditambahkan antihistamin
H1 sedatif, bila gatal maksimum waktu malam. Terapi farmakologis harus disertai dengan
terapi non-farmakologis yaitu mengindari faktor pencetus dan pemicu, dan nasehat kebiasaan
hidup (life style), meliputi menghindari kelelahan berlebih, pakaian ketat, kebiasaan minum
alkohol, menghindari obat anti-radang non-steroid dan aspirin, kodein dan morfin, dan
inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) bila terdapat angioedema. Pengobatan di atas
32
seringkali mengalami kegagalan, sehingga perlu diberikan antihistamin non-sedatif dengan
dosis di atas dosis yang disarankan pabrik. Obat yang disarankan adalah feksofenadin 160
mg/hari pada pagi hari, dan bila diperlukan, dapat ditambah antihistamin H 1 sedatif malam
hari. Tidak jarang, pasien yang telah terkontrol baik dengan pengobatan di atas, mengalami
kekambuhan akibat (paling sering) faktor pribadi, pekerjaan, atau faktor ekonomi, atau akibat
faktor pencetus/pemicu yang dijelaskan di atas. Kekambuhan tersebut, terbaik dikontrol
dengan pemberian steroid oral jangka pendek, yaitu prednisolon 30 mg/hari selama 5 hari,
selanjutnya diturunkan dalam 5 6 hari. Umumnya pengobatan tersebut efektif, dan pasien
dapat melanjutkan antihistamin secara reguler.
Sebagian pasien tidak responsif dengan pengobatan di atas. Pasien dengan gangguan
kualitas hidup parah dan pengobatan konservatif gagal, dipertimbangkan untuk diobati
dengan pemberian imunomodulator. Siklosporin oral merupakan imunomodulator pertama
yang dianjurkan. Dosis 2.5 5 mg/kg/hari meredakan keluhan gatal dalam beberapa hari, dan
efektif menekan pembentukan urtika. Pemberian siklosporin dilanjutkan sampai 3 4 bulan
bersamaan dengan pemberian antihistamin. Pada penghentian siklosporin, 30% pasien tetap
dalam keadaan remisi, 30% pasien kambuh tetapi dapat diatasi dengan antihistamin dosis
konvensional, dan sisanya terjadi kekambuhan yang memerlukan pemberian ulang
siklosporin. Siklosporin diberikan pada pasien yang tidak mengalami gangguan ginjal,
hipertensi, dan kelainan lipid serum. Obat tidak cocok untuk pasien dengan riwayat
keganasan atau pre-cancer. Sebagai pengganti siklosporin, imunomodulator lain yang
disarankan berturut-turut adalah pemberian imunoglobulin intravena dengan dosis 0.4
g/kg/hari selama 5 hari, plasmaferesis, dan metotreksat.
1.3 Uji diagnostik
33
Konsep dasar uji diagnostik ialah untuk mengetahui kehandalan suatu tes baru terhadap
baku emas dalam mendiagnosis penyakit. Tes diagnostik, seperti halnya studi observasional,
terdiri dari variabel prediktor (instrumen tes yang diuji), skala dikotom ( +/-), kategorik (+1,
+2, +3,+4), atau kontinyu (mg/dl); dan variabel outcome, berskala dikotom: ada/tidaknya
penyakit yang ditentukan baku emas (selalu + pada orang yang sakit, dan negatif pada yang
sehat).
Uji diagnostik dengan variabel prediktor berskala dikotom/ binomial, dilakukan
menggunakan Tabel 2 x 2, sedangkan uji diagnostik dengan variabel prediktor berskala
kategotik dan/ atau kontinu dilakukan dengan menggunakan bantuan kurva ROC (Receiver
Operating Characteristic) untuk menentukan nilai cut-off (nilai batas antara sakit dan tidak
sakit). Kurva ROC memperlihatkan hubungan antara sensitivitas (diplot pada sumbu Y) dan
1-spesifisitas (diplot pada sumbu X), dan dikerjakan dengan program SPSS 13 atau MedCalc.
Tabel 1.5 Tabel 2 x 2 untuk uji diagnostik dengan variabel prediktor berskala
dikotom.
Baku emas
Penyakit
+
True positive
(TP)
False positive
(FP)
Type I error,
P-value
a+b
a
c
b
d
c+d
False
negative
(FN)
Type II error
a+c
Sn
True negative
(TN)
+
Tes
TP
(TP FN )
Sn
+LR = (1 Sp)
b+d
Sp
=
TN
(TN FP)
-LR =
(1 Sn)
Sp
Total
+PV
=
TP
(TP FP)
-PV
=
TN
(TN FN )
a+b+c+d
Accuracy:
(TP TN )
(TP TN FP FN )
34
Keterangan:
True positive (TP): sel di mana hasil baku emas dan tes adalah positif
True negative (TN): sel di mana hasil baku emas dan tes adalah negatif
False negative (FN): sel di mana hasil baku emas positif dan tes negatif : type II error
False positive (FP): sel di mana hasil baku emas negatif dan tes positif: type I error
Positive Predictive Value (+PV): seberapa besar orang dengan tes positif akan
mendapat penyakit
Negative predictive Value (-PV): seberapa besar orang dengan tes negatif tidak akan
mendapat penyakit
Accuracy: berapa besar proporsi semua hasil tes yang memberikan hasil yang tepat.
Positive Likelihood ratio (+LR):
35
Berdasarkan hal tersebut di atas, sangat diperlukan sarana diagnostik alternatif UO yang
mudah, cepat dan praktis, cukup akurat, dan sekaligus murah terutama untuk negara
berkembang seperti Indonesia.
Pemeriksaan in vivo ASST, seperti halnya pemeriksaan in vitro HRA, bertujuan
mendeteksi adanya otoantibodi fungsional dalam serum pasien UKI. Uji kulit ini merupakan
uji klinis prediktif yang dapat dipercaya dan merupakan uji klinis in vivo terbaik saat ini
untuk mendeteksi aktivitas pelepas histamin yang terdapat dalam serum otolog terhadap
mastosit kulit.41
Keuntungan utama dari tes kulit ini yaitu derajat kepraktisannya yang tinggi, sehingga
dapat dilaksanakan di samping tempat tidur penderita, dan dengan biaya yang relatif murah
sehingga amat tepat untuk dipakai di negara sedang berkembang seperti Indonesia.
Kelemahan pemeriksaan ASST, adalah belum ada metode/ teknik yang baku, 86 masingmasing peneliti menggunakan teknik yang berbeda dalam menilai positivitas ASST. Sebagai
akibatnya, penelitian yang dilakukan selama ini, menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas
ASST bervariasi antara peneliti yang satu dan peneliti yang lain. 72,74 Sebagai contoh,
Goryachkina, Nenasheva, Borzova. 2004,78 menggunakan kriteria positivitas ASST
berdasarkan perbedaan diameter weal oleh serum dan edema oleh NaCl (salin) 2 mm pada
pembacaan 30 menit, memperoleh sensitivitas (Sn) yang tinggi (90%) dan spesifisitas (Sp)
yang rendah (48.9%); sebaliknya Sabroe,Grattan, Francis et al. 1999, 41 dengan menggunakan
kombinasi 3 parameter yaitu parameter perbedaan diameter weal oleh serum dan edema oleh
salin ( 1.5 mm) dan kesamaan warna weal oleh serum dan oleh histamin (merah) pada
pembacaan 30 menit, menghasilkan Sn 65%, dan Sp 81%. Peneliti lain menentukan kriteria
positivitas ASST berdasarkan perbedaan volume weal dari serum dan volume weal dari salin
36
(> 9 mm3) pada pembacaan 60 menit, 85 dan Altman, 2003,80 menilai ASST positif bila
diameter weal akibat serum diameter weal akibat histamin pada pembacaan 30 menit.
Permasalahan tersebut di atas mendorong peneliti untuk mengembangkan suatu sarana
diagnostik ASST yang baru, yang merupakan modifikasi dari ASST lama. Pengalaman di
klinik dengan menggunakan ASST yang baru ini memberi kesan bahwa sarana diagnostik ini
memberikan hasil yang lebih baik dari pada ASST lama dari peneliti sebelumnya.
Hasil penelitian pendahuluan yang kemudian dilakukan peneliti dengan menggunakan
sarana diagnostik ASST yang diberi nama ASST baru terhadap 34 pasien UKI yang dipilih
secara purposif, menunjukkan bahwa sarana diagnostik yang baru ini lebih baik daripada
beberapa teknik ASST yang sudah ada.
1.6 Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka perumusan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1.6.1 Seberapa besar keandalan ASST baru tersebut
1.6.2 Bagaimana hubungan antara derajat keparahan klinis UKI dan ASST baru ?
1.7 Tujuan Penelitian
1.7.1 Tujuan umum
Mengembangkan ASST baru sebagai sarana diagnostik yang andal dan praktis
untuk menunjang diagnosis UO, dan mencari hubungan antara derajat keparahan klinis UKI
dan ASST baru.
1.7.2
Tujuan khusus
Menentukan nilai diagnostik ASST baru, dan menganalisis hubungan antara nilai Dx
ASST baru dan keparahan klinis UKI.
37
1.8 Manfaat Penelitian
1.8.1 Teoritis
Untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kedokteran (IPTEKDOK),
terutama dalam pemeriksaan penunjang urtikaria otoimun, yang belum pernah dikerjakan di
Indonesia.
1.8.2 Praktis
1.8.2.1 Mendapatkan sarana diagnostik yang andal, praktis, dan murah untuk diagnosis UO,
khususnya di Indonesia sebagai
yang
keadaan
38
BAB 2.
KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
2.1 Kerangka Pikir
Cara
periksa
HRA
Klpk
Gory
weal serum
2 mm weal
salin, & flare
sekitar weal
serum 30
men.
Fagi
oo
Weal serum
5 mm pd
30 men
Sn: ?
Sp: ?
Klpk
Platze
Weal serum
1.5 mm weal
salin, & weal
serum pink,
pd 30 men.
Sn: ?
Sp: ?
Meneliti
parameter
yg belum
diteliti
Peneliti
Sn: ?
Sp: ?
weal
serum &
weal
salin pd 0
men.+
parameter
yg terbaik
Toub
Weal serum
1.5 mm
weal salin, &
flare positif
Sn: ?
Sp: ?
Altm
serum >
histamin
Sn: ?
Sp: ?
Klpk
Sabro
Weal serum
1.5 mm weal
salin & weal
serum red pd
30 men.
Sn: ?
Sp: ?
Sn: ?
Sp: ?
Sn: ?
Sp: ?
A
S
S
T
B
A
R
U
Weal serum
pada 0 dan
30 men
1.5 mm weal
salin pada 0 &
30 men, warna
weal serum
merah pada 30
menit
Nilai Dx.
akan
dicari
/ditentukan
39
Kotak dengan garis hitam terputus-putus, diteliti pada penelitian pendahuluan.
Kotak dengan garis tebal berwarna biru, diteliti pada penelitian utama.
2.2 Penjelasan Kerangka Pikir
Berdasarkan kepustakaan, terdapat berbagai variasi pemeriksaan ASST. Pemeriksaan
ASST tersebut dapat dibagi dalam beberapa kelompok, berdasarkan parameter yang
digunakan dan kriteria untuk menilai hasil ASST.
1. Kelompok Asero et al. 2004,74 dan Fagiolo et al. 2000.75 Kelompok ini membuat
kriteria ASST positif berdasarkan hanya pada 1 parameter, yaitu diameter weal akibat
serum pada 30 menit (Fagiolo: 5 mm dan Asero: 15 mm).
2. Kelompok Goryachkina, mewakili pemeriksaan ASST Grattan et al. 1997,40 Donnell
et al.1989,50 Goryachkina et al. 2004,78 dan Donnell et al. 1988.83 Kelompok ini
menilai hasil ASST positif, berdasarkan perbedaan diameter weal akibat serum-weal
akibat salin pada pembacaan 30 menit sebesar 2 mm, dan terdapat
flare di
40
weal akibat serum-weal akibat salin pada 30 menit 1.5 mm, dan weal akibat serum
berwarna merah.
6. Altman, 2003
80
kontrol negatif, dan histamin (10 g/ml) sebagai kontrol positif. Tes dianggap positif
apabila diameter weal akibat serum adalah diameter weal akibat histamin pada
pembacaan 30 menit.
7. Hide et al. 1993.85 Peneliti menentukan kriteria ASST positif berdasarkan selisih
volume akibat serum dan volume akibat PBS > 9 mm3.
Pada penelitian pendahuluan, dilakukan pemeriksaan ASST berdasarkan kriteria peneliti
di atas (kecuali metode Hide), untuk mendapatkan sensitivitas (Sn) dan spesifisitas (Sp) tiap
metode pemeriksaan, membandingkan hasil tersebut dengan Sn dan Sp yang diperoleh
peneliti sebelumnya, menentukan penelitian kelompok mana yang menghasilkan Sn dan Sp
yang
lebih
baik,
dan
mencari
parameter
dominan
mana
yang
mempengaruhi
41
Tahapan kerangka pikir diawali dengan pemeriksaan ASST pasien UKI mengikuti metode
sesuai dengan yang dijelaskan masing-masing peneliti. Setiap pasien dinilai hasil ASST
berdasarkan kriteria yang digunakan oleh peneliti.
Selanjutnya, dilakukan penelitian terhadap parameter yang mempengaruhi hasil ASST,
baik secara tunggal maupun kombinasi, dan menentukan parameter mana yang menghasilkan
Sn dan Sp terbaik.
Tahap berikut adalah meneliti parameter lain yang belum digunakan (parameter diameter
weal serum dan salin pada 0 menit).
Pada waktu bersamaan, dilakukan upaya mendapatkan cara melakukan pemeriksaan HRA
yang tepat dan standar. Setelah cara pemeriksaan HRA yang tepat dan standar berhasil
didapatkan, maka masing-masing cara pemeriksaan ASST peneliti sebelumnya dan metode
yang memakai parameter diameter 0 menit, diuji Sn dan Sp nya, sehingga mendapat
gambaran metode ASST baru (satu atau lebih) yang lebih tinggi nilai diagnostiknya
dibandingkan metode-metode ASST yang sudah ada. Metode ASST baru selanjutnya dipakai
dalam penelitian ini untuk diuji nilai Dx nya.
42
Cara HRA
yang didapatkan
dan dipakai
sebagai baku emas
Kombinasi 3
parameter
ASST
operasional baru
ASST baru:
Nilai Dx ?
Derajat
keparahan
klinis:
Cut-off ?
43
diameter weal akibat serum dan diameter weal akibat salin. Rangkuman yang diperoleh
dalam penelitian pendahuluan, mengindikasikan bahwa kombinasi parameter perbedaan
diameter weal akibat serum - diameter weal akibat salin pada 0 dan 30 menit, dan parameter
perubahan warna weal akibat serum (merah) pada 30 menit akan menghasilkan kombinasi Sn
Dx dan Sp Dx yang lebih tinggi, yaitu 78.6% dan 95%.
Penelitian yang lebih luas, dilanjutkan untuk menentukan keandalan sarana diagnostik
ASST baru dan derajat keparahan klinis dengan pemeriksaan HRA sebagai baku emas, dan
menganalisis hubungan antara derajat keparahan klinis dan sarana diagnostik ASST baru.
44
BAB 3.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik laboratorik dengan desain
potong lintang, terdiri atas penelitian pendahuluan dan penelitian utama.
45
1. Meneliti berbagai variasi cara pemisahan sel basofil dari darah donor sehat yang
dipakai peneliti sebelumnya, a) komposisi larutan dekstran (0.6%, 3%, 6%, dan 15%)
dan berat molekul dekstran (76.000, 150.000, 200.000, dan 250.000), inkubasi,
sentrifugasi, pencucian, dan penambahan bufer (HEPES, bufer Tris, PBS, bufer
Tyrode) yang dipakai pada pemisahan awal sel lekosit dari eritrosit, b 1) pemisahan dan
pelisisan eritrosit tidak memerlukan penambahan amonium klorida, H2O dengan light
vortexing, atau larutan salin hipotonik karena sudah cukup dengan inkubasi,
sentrifugasi, pencucian, dan penambahan bufer, b2) pemisahan dan pelisisan eritrosit
masih memerlukan penambahan amonium klorida, H2O dengan light vortexing, atau
larutan salin hipotonik.
2. Merangkum hasil penelitian di atas, dan melakukan berbagai percobaan sehingga
mendapatkan kombinasi larutan dan berat molekul dekstran, bufer, dan bahan
melisiskan eritrosit yang sesuai, sehingga memperoleh jumlah lekosit/mL yang cukup
untuk tahap pemeriksaan HRA selanjutnya.
A.2 Cara pelepasan histamin total yang tepat dan baku.
1. Meneliti berbagai metode inkubasi suspensi basofil donor sehat dalam bufer asai
untuk memperoleh supernatan yang mengandung histamin total, memakai metode
pendidihan, pemanasan pada 850 C, repeated thawing and freezing, dan penambahan
asam perklorat.
2. Merangkum hasil penelitian di atas dan memilih metode yang menghasilkan nilai
absorben histamin total terkecil.
3. Menguji metode terbaik di atas dengan metode pemanasan pada 60 0 C dan metode
ultrasonic disintegrator memakai ice cold jacket (40 C) sebagai baku emas pemisahan
46
histamin total, sehingga metode yang akan dipakai dalam penelitian, tepat dan
standar.
47
Studi
Pustaka
Fagiolo
Gory.
Toubi
Platzer
Sabroe
Altman
AutoAb.
AutoAb.
AutoAb.
AutoAb.
AutoAb.
AutoAb.
HRA
Sn & Sp
HRA
Sn & Sp
HRA
Sn & Sp
HRA
Sn & Sp
HRA
Sn & Sp
Diskusi
Pakar
HRA
Sn & Sp
RANGKUMAN
ASST teoritik baru
Menentukan Sn Dx dan Sp Dx
ASST baru yang tertinggi
ASST operasional baru
48
Penelitian pendahuluan, dilaksanakan dari 1 September 2006 sampai 31 Desember 2006.
3.1.3.2 Tempat penelitian
SubBag. Alergi-Imunologi, Poliklinik IKKK, RSUP MH, Palembang dan Laboratorium
Penelitian, Bagian Patologi Klinik, FK Unair / RSU Dr Sutomo, Surabaya.
3.1.4 Kriteria Sampel
3.1.4.1 Kriteria penerimaan sampel
Kriteria penerimaan adalah semua pasien UKI yang berobat ke poliklinik Kulit dan
Kelamin RSMH Palembang, usia 18 tahun, tidak mengkonsumsi obat imunosupresif
(siklosporin, metotreksat, azatioprin) dalam 1 bulan terakhir, tidak mengkonsumsi
kortikosteroid dan antihistamin minimal 3 hari terakhir sesuai dengan waktu paruh tiap obat,
tidak hamil dan/ menyusui, dan bersedia mengikuti penelitian sampai selesai dengan mengisi
surat ijin tertulis persetujuan tindak medis.
3.1.4.2 Kriteria penolakan sampel
Kriteria penolakan adalah pasien UKI yang didapatkan urtikaria fisik dominan, dan
pasien yang mendapat vaksinasi.
3.1.5 Besar sampel
Pemilihan sampel penelitian pendahuluan dilakukan secara purposif dan besar sampel
yang diteliti adalah 34 orang.
3.2 Penelitian Utama
Penelitian utama ini akan dilaksanakan untuk menentukan nilai diagnostik ASST baru
dengan baku emas HRA, menilai Sn dan Sp variabel derajat keparahan klinis dengan baku
emas HRA, meneliti hubungan antara variabel derajat keparahan klinis dan ASST baru, dan
meneliti variabel data klinis.
49
Untuk lebih jelasnya, penelitian utama dibuat dalam tahapan penelitian di bawah ini
(Gambar 3.2).
Nilai diagnostik
ASST baru
dengan baku emas
HRA
Derajat Keparahan
Klinis
dan nilai cut-off
50
SubBagian Alergi-Imunologi, Poliklinik
Npq
= 79
( N 1) D pq
51
UKI
Pasien:
* rujukan SpKK luar
* rujukan departemen
lain
serum
Sarana Dx
ASST teoritik
Sarana Dx
ASST operasional
SubBag. Alergi-Imunologi
IKKK RSUP MH
Laboratorium Penelitian,
Bag. Patologi Klinik, FK
Unair/ RS Dr. Sutomo,
Surabaya
UK
Seleksi penerimaan
dan penolakan
Standardisasi
cara
mengerjakan
HRA
Pemisahan
basofil
Pelepasan
histamin
total
Sampel
penelitian
serum
Pasien UK yang tidak
memenuhi kriteria
penerimaan
Penatalaksanaan:
saran,
pengobatan
Systematic
sampling
Serum
ASST baru
Nilai
diagnostik
ASST baru
HRA
Cut-off derajat
keparahan
klinis ringan/
berat
Skor
derajat
keparahan
klinis
52
Analisis statistik
Follow-up
Hasil penelitian
Keterangan: garis dan kotak terputus warna merah, adalah penelitian pendahuluan.
3.2.7 Penjelasan Kerangka Operasional
Pada penelitian ini, dilakukan pemeriksaan klinis terhadap sampel penelitian (anamnesis,
pemeriksaan fisik), dan tes manual (ice cube test, tes beban, tes gores), dan menentukan skor
derajat keparahan klinis masing-masing pasien. Pemeriksaan laboratoris dilakukan hanya bila
dicurigai ada urtikaria vaskulitis. Darah vena diperoleh saat klinis aktif, dan serum yang
dihasilkan, disiapkan untuk pemeriksaan ASST baru, dan HRA (sebelum dikirim, disimpan
pada 200 C). Selain itu, serum kontrol yang diperoleh dari orang non-urtikaria, disiapkan
pula untuk dikirim bersamaan dengan serum sampel untuk menentukan cut-off HRA +/(peneliti dan teknisi laboratorium tidak mengetahui serum tersebut berasal dari sampel
penelitian atau dari orang non-urtikaria). Pasien UK yang tidak memenuhi kriteria
penerimaan selanjutnya diobati, dan sampel penelitian yang telah menjalani pemeriksaan
ASST, selain diberi pengobatan disarankan pula untuk kontrol ulang.
ASST baru ditentukan menggunakan uji diagnostik, dengan hasil HRA sebagai baku emas.
Uji diagnostik dipakai pula menentukan sensitivitas dan spesifisitas variabel derajat
keparahan klinis yang berskala kontinyu dengan hasil HRA sebagai baku emas, yang akan
menghasilkan nilai cut-off tertentu dari variabel derajat keparahan klinis pada kombinasi Sn
dan Sp yang optimal. Tahap selanjutnya, hubungan antara ASST baru dan derajat keparahan
klinis dianalisis secara statistik sehingga diperoleh hasil penelitian.
53
Pada penelitian pendahuluan dan penelitian ini, pemeriksaan in vivo ASST dilakukan di
SubBagian Alergi-Imunologi Poliklinik IKKK RSUP MH, sedangkan serum non-urtikaria
dan serum sampel penelitian untuk pemeriksaan HRA yang diproses di Palembang dikirim ke
Laboratorium Penelitian, Bag. Patologi Klinik, FK Unair / RS Dr. Sutomo, Surabaya.
BAB 4.
HASIL PENELITIAN
4.1 Hasil penelitian pendahuluan.
Hasil penelitian pendahuluan ini, teknik HRA dan ASST baru akan dipakai sebagai teknik
atau metode baku dari penelitian utama disertasi ini.
4.1.1 Pemeriksaan HRA.
4.1.1.1 Alat dan bahan pemeriksaan ELISA kompetitif.
A. Wash buffer 25x: 30 mL.
B. Substrate: 20 mL. Tetramethylbenzidine (TMB) + Hydrogen Peroxide (H2O2).
C. PBS sample diluent: phosphate buffer saline.
D. Histamine enzyme conjugate: 6 mL. Histamine horseradish peroxidase conjugate.
E. Histamine standard: 6 vials mengandung 500 L per vial. Konsentrasi histamine
standard tiap vial: 0, 2.5, 5, 10, 20, 50 ng/mL.
F. Histamine antibody coated plate: 96 sumuran Dynex microplate berlapis antibodi
monoklonal terhadap histamin.
Alat dan bahan tersebut di atas dapat digunakan sampai waktu kadaluwarsa bila disimpan
pada 2-8 C.
Deionized water.
54
Multichannel pipette.
Graduated cylinders : alat untuk mengencerkan dan mencampur wash buffer and
extraction buffer.
Microplate reader dengan filter 450 nm ( bila larutan HCl digunakan untuk
menghentikan reaksi).
55
Metode pemisahan sel basofil yang dipakai dalam penelitian ini ialah metode dextran
sedimentation (suspensi masih mengandung campuran sel basofil dan lekosit lain),
dilaksanakan sebagai berikut. Enam mililiter darah vena dalam tabung BD vacutainer
berlapis K2 EDTA 5.4 mg ( 3 ml) ditambah 2 mL larutan R 1 [dekstran 3% (berat molekul
250.000), glukose 3%, salin 0.15 M dan akuades 100 mL] (lihat Lampiran 7). Campuran
diinkubasi (dalam inkubator Memmert) selama 45 menit pada 370 C sampai darah terpisah
menjadi 3 lapisan, lapisan teratas berupa plasma, lapisan di tengah berupa buffy coat
mengandung lekosit dan trombosit, dan lapisan terbawah berupa sedimen yang mengandung
eritrosit.
Supernatan yang mengandung plasma, trombosit, dan lekosit dipisahkan dari sedimen
secara hati-hati menggunakan pipet Pasteur. Supernatan disentrifus pada 2500 rpm selama 5
menit, sehingga terbentuk sedimen lekosit, sedangkan trombosit terpisah dalam supernatan.
Selanjutnya supernatan dibuang.
Pelet lekosit ditambah 3 mL larutan 0.8% NH 4Cl untuk melisiskan eritrosit yang masih
tersisa. Ulangi 1x penambahan NH4Cl agar semua eritrosit mengalami lisis. Sentrifus pada
2500 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang.
Endapan/ pelet dicuci 2 x dengan larutan R 2 (10 mM HEPES, 137 mM NaCl, 2.7 KCl,
0.4 mM NaH2PO4, 5 mM glukose, dan akuades), serta disuplemen dengan
0.3% human
serum albumin (HSA). Sentrifus pada 2500 rpm selama 5 menit, lalu buang supernatannya.
Pelet diresuspensi dalam larutan R2 tanpa HSA, sehingga volume 600 L.
Hitung jumlah lekosit/mL menggunakan mikroskop cahaya tanpa reagen. Jumlah yang
diperoleh (misalnya: 65 sel) dimasukkan dalam formula Hudson, Hay (1989)88:
lekosit / ml
lekositdalam5lap
25 104 original dilutions
lapangan
56
65
1
25 104 32,5 104 3, 25 105 3 105
5
10
Agar diperoleh 2 x 105/ml dari 3 x 105 maka perlu pengenceran 1.5 x, maka 1 ml larutan 3
x 105 perlu ditambah 0.5 ml larutan R2 tanpa HSA.
4.1.1.2.2 Inkubasi
Setelah dilakukan penyesuaian volume suspensi lekosit (jumlah sel lekosit telah menjadi
2 x 105/mL, suspensi dibagi dalam 3 tabung, masing-masing mengandung 50 l suspensi
lekosit donor sehat.
Tabung 1. Limapuluh mikroliter suspensi lekosit diinkubasi selama 40 menit pada 37 0 C
dalam 50 l serum (pasien UKI atau non-urtikaria), selanjutnya reaksi dihentikan dengan
pendinginan di atas es. Sentrifus selama 10 menit pada 3500 rpm, dan supernatan yang
diperoleh diperiksa untuk menentukan stimulatedHR (stiHR) pasien UKI/ non-urtikaria.
Tabung 2. Limapuluh mikroliter suspensi lekosit ditambah 50 l PBS, dipanaskan pada 85 0
C selama 40 menit. Sentrifus pada 3500 rpm selama 10 menit, dan supernatan yang diperoleh
diperiksa untuk menentukan histamin total (totalHR) pasien UKI dan non-urtikaria.
Tabung 3. Limapuluh mikroliter suspensi lekosit diinkubasi selama 40 menit pada 37 0 C
dalam 50 l PBS, dilanjutkan dengan pendinginan di atas es. Sentrifus selama 10 menit pada
3500 rpm, dan supernatan yang diperoleh diperiksa untuk menentukan spontaneousHR
(spoHR) pasien UKI dan non-urtikaria.
4.1.1.2.3 Uji ELISA kompetitif langsung (kit ELISA dari Neogen).
4.1.1.2.3.1 Prosedur pemesanan, pengiriman, dan penyimpanan kit ELISA.
57
Kit ELISA dalam bungkus asli segera dikirim ke Surabaya melalui pesawat udara
agar dapat dipakai sebelum kedaluwarsa.
Kit dikeluarkan dari penyimpanan (2-80C), biarkan hangat pada suhu ruangan (18300C)
Sebagai akibatnya akan terjadi kompetisi antara histamin dalam sampel dengan
konjugat histamin-HRP dalam mengikat antibodi monoklonal pada dinding sumuran
dari lempengan mikrotiter.
Setelah waktu inkubasi, sumuran mikrotiter dicuci dengan 300 L bufer pencuci yang
telah diencerkan untuk membuang semua bahan bebas/ tak terikat (pencucian
dilakukan sebanyak 3 kali).
58
menit, tambahkan 50-100 L larutan 1 N HCl
Selanjutnya hasil tes dibaca dengan Micro ELISA reader yang diset pada 450 nm bila
digunakan larutan HCl, dan pada 650 nm bila pembacaan dilakukan dalam waktu 30
menit inkubasi.
Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan kurva baku menggunakan log-logit curve
fitting model (menggunakan program Graph Pad dan Microsoft Excel)
59
Serum
Nonurtikaria UKI
atau
(kontrol) (sampel)
Inkubasi
Tabung 1
Tabung 2
Histamin
baku
2.5
10
Phosphate
Buffered
saline
Tabung 3
Heating
(850C)
40 menit
20
ELISA
50
supernatan
supernatan
supernatan
totHR
spoHR
Nilai absorben
stiHR
KURVA BAKU
PERSAMAAN LINEAR
%HR nonurtikaria
(mean + SD)
Cut-off value
(mean + 2 SD)
%HR
pasien UKI
%HR:
< (mean + 2 SD)
%HR:
(mean + 2SD)
60
Non-UO
UO
Tabung 1 mengandung 50 L suspensi lekosit diinkubasi dengan 50 L serum nonurtikaria atau serum pasien UKI, dilanjutkan dengan sentrifugasi untuk memisahkan
supernatan dari pelet lekosit. Supernatan dipersiapkan untuk menentukan nilai
absorben stimulated Histamine Release (stiHR) sampel non-urtikaria atau sampel UKI
menggunakan kit ELISA.
61
Supernatan dipersiapkan untuk menentukan nilai absorben spontaneous histamine
release (spoHR) dari sampel non-urtikaria dan sampel UKI menggunakan kit ELISA.
Pemeriksaan ELISA, diawali dengan pemeriksaan absorben histamin standar (0
ng/mL, 2.5 ng/mL, 5 ng/ml, 10 ng/mL, 20 ng/mL, dan 50 ng/mL) (in duplo),
selanjutnya supernatan dari tabung 1, tabung 2, dan tabung 3. Absorben histamin
standar yang diperoleh dipergunakan untuk membuat kurva baku dan persamaan linear.
Absorben stiHR, spoHR, dan totHR sampel non-urtikaria dan sampel UKI dikonversi
ke dalam ng/mL dengan bantuan persamaan linear. Selanjutnya, kadar (ng/mL) stiHR,
spoHR, dan totHR sampel non-urtikaria dan sampel UKI dihitung untuk menentukan
persentase pelepasan histamin (%HR) (mean SD) sampel non-urtikaria dan sampel
UKI, menggunakan formula [(stiHR spoHR)/totHR] x 100. Persentase pelepasan
histamin (%HR) sampel UKI atau sampel non-urtikaria < (mean +2 SD) dianggap
tidak mengandung otoantibodi fungsional, atau sampel tersebut bukan pasien UO.
Persentase pelepasan histamin (%HR) sampel UKI (mean + 2 SD) dianggap sebagai
pasien UO.
4.1.1.3 Hasil pemeriksaan HRA penelitian pendahuluan.
4.1.1.3.1 Persentase pelepasan histamin (%HR) donor sehat dan HRA+
Berdasarkan kurva baku dan persamaan linear yang diperoleh, didapatkan %HR dari 13
kontrol sehat: (mean SD) = (8.54 2.24)%. Persentase pelepasan histamin pasien urtikaria:
8.54 + (2 x 2.24) = 13.02%, dianggap memiliki otoantibodi fungsional, atau HRA+.
62
Gambar 4.3 Kurva baku dan persamaan linear menggunakan program Excel
Persamaan linear yang diperoleh adalah: y = -599.3x + 2178.5 (R2 = 0.9484).
y = kadar (ng/ml) stiHR/ spoHR/ totHR (yang dicari)
x = nilai absorben stiHR/ spoHR/ totHR (diperoleh dari pembacaan
microELISAreader).
4.1.1.3.2 Pasien urtikaria dengan HRA +
Tabel 4.1 Frekuensi HRA+ berdasarkan jenis kelamin
HRA
Seks
Wanita
pria
15
5
Negatif
positif
Total
8
23
Total
20
6
11
14
34
HRA
Negatif
Positif
Total
Usia
42-50
Total
18-26
26-34
34-42
50-58
58
20
2
5
1
1
4
10
4
9
2
7
1
2
14
34
Kelompok usia dengan HRA positif terbanyak adalah kelompok 34 42: 4 pasien
(11.76%), dan kelompok 42 50: 4 pasien (11.76%).
63
S.E.
95% C.I.
Sn
Altmann
0.500
0.102
Asero
0.500
Fagiolo
Sp
+PV
-PV
+LR
-LR
Efis.
1.0
0.324 0.676
100
21.5
1.0
0.102
1.0
0.324 0.676
100
21.5
1.0
0.500
0.102
1.0
0.324 0.676
100
21.5
1.0
Goryach
0.714
0.093
0.03
0.534 0.855
92.9
50
33.7
96.2
1.86
0.14
67.6
Platzer
0.668
0.097
0.10
0.486 0.819
78.6
55
32.4
90.4
1.75
0.39
64.7
Sabroe
0.707
0.093
0.04
0.527 0.850
71.4
70
39.5
89.9
2.38
0.41
70.6
Toubi
0.525
0.525
0.80
0.347 0.698
50
55
23.3
80.1
1.11
0.91
52.9
Dx
Keterangan singkatan.
AUC: area under the Reciever Operating Characteristic (ROC) curve
S.E.: standard error
p: nilai kemaknaan pada 0.05
C.I.: confidence interval
PV: predictive value
64
LR: likelihood ratio
Efis.Dx: efisiensi diagnostik (akurasi)
Pemeriksaan ASST metode Sabroe menghasilkan Sn: 71.4% dan Sp: 70% yang lebih
baik dari metode peneliti yang lain (AUC: 0.707, +PV: 39.5%, -PV: 89.9%, efisiensi Dx:
70.5%), disusul metode Gory dengan Sn: 92.9% dan Sp: 50% (AUC: 0.714, +PV: 33.7%,
-PV: 96.2%, efisiensi Dx: 67.6%).
AUC
S.E.
diameter
95% C.I.
lowe upper
Sn
Sp
+PV
-PV
+LR
-LR
Efis.
Dx
S30u0.5
0.500
0.102
1.00
r
0.500
S30u1.0
0.489
0.102
0.916
0.289
0.690
92.9
21.5
S30u1.5
0.514
0.102
0.889
0.315
0.713
92.9
10
22
83.6
1.03
0.71
44.1
S30u2.0
0.689
0.091
0.064
0.511
0.868
92.9
45
31.6
95.8
1.69
0.16
64.7
S30u2.5
0.646
0.098
0.151
0.455
0.838
64.3
65
33.5
86.9
1.84
0.55
64.7
0.700
100
21.5
1.0
1.0
41.2
Perbedaan diameter weal akibat serum-weal akibat salin (2.0 mm) pada 30 menit
(S30u2.0), menghasilkan Sn: 92.9% dan Sp: 45% (AUC = 0.689, +PV: 31.6%, -PV:
95.8%, efisiensi Dx: 64.7%), disusul berturut-turut S30u2.5 dengan Sn: 64.3% dan
Sp: 65% (AUC = 0.646, +PV: 33.5%, -PV: 86.9%, efisiensi Dx: 64.7%), dan S30u1.5
dengan Sn: 92.9% dan Sp: 10% (AUC = 0.514, +PV: 22%, -PV: 83.6%, efisiensi Dx:
44.1%).
65
Tabel 4.5 Sn dan Sp ASST berdasarkan waktu pembacaan (20, 30, dan 40 menit)
perbedaan diameter weal akibat serum-weal akibat salin (1.5 mm dan 2.0 mm).
Parameter
waktu
AUC
S.E.
95% C.I.
lower
upper
Sn
Sp
+PV
-PV
+LR
-LR
Efis.
Dx
S30u2.0
0.68
0.09
0.06
0.511
0.868
92.9
45
31.6
95.8
1.69
0.16
64.7
S20u2.0
0.48
0.10
0.88
0.286
0.696
57.1
40
22.7
79.3
1.07
0.95
47
S40u2.0
0.41
0.10
0.40
0.217
0.612
42.9
40
28.1
83.6
1.43
0.71
41.1
S30u1.5
0.51
0.10
0.88
0.315
0.713
92.9
10
22
83.6
1.03
0.71
44.1
AUC
S.E.
Sn
Sp
+PV
1.0
95% C.I.
lowe upper
r
0.3
0.7
rs0
0.50
0.10
rs1
0.67
rs2
0.74
-PV
100
21.5
0.09
0.08
0.49
0.86
50
32.0
92.7
0.09
0.01
0.57
0.92
85.
7
78.
6
70
41.8
92.3
+LR
-LR
Efis.
Dx
1.71
0.29
64.7
2.62
0.31
73.5
1.0
Parameter perubahan warna weal serum (merah) pada 30 menit (rs2) menghasilkan
Sn: 78.6% dan Sp: 70% (AUC = 0.743, +PV: 41.8%, -PV: 92.3%, efisiensi Dx:
73.5%), lebih baik daripada parameter rs1 yang menghasilkan Sn: 85.7% dan Sp:
50% (AUC = 0.679, +PV: 32%, -PV: 92.7%, efisiensi Dx: 64.7%).
66
Tabel 4.7 Sn dan Sp ASST berdasarkan parameter perbedaan luas flare akibat
serum-luas flare akibat salin pada 30 menit.
Parameter
luas flare
AUC
S.E.
Sn
Sp
95% C.I.
lowe
uppe
Lf190
0.636
0.099
0.184
57.1% 70%
r
r
0.442 0.829
Lf 50
0.539
0.101
0.700
92.9% 15%
0.342 0.737
Parameter perbedaan luas flare akibat serum-luas flare akibat salin pada 30 menit
190 mm2, menghasilkan Sn dan Sp 57.1 dan 70%, dengan nilai AUC 0.636. Pada
perbedaan luas flare serum-salin pada 30 menit 50 mm2, diperoleh Sn 92.9% dan
Sp 15% (AUC = 0.539).
Tabel 4.8 Sn dan Sp ASST berdasarkan parameter perbedaan diameter weal akibat
serum-weal akibat histamin pada 30 menit.
Parameter
diameter
histamin
AUC
S.E.
Sdsh30u1.5
Sdsh30u2.0
Sdsh30u2.5
Sdsh30u3.0
Sdsh30u3.5
Sdsh30u4.0
Sdsh30u4.5
0.629
0.618
0.582
0.582
0.582
0.607
0.671
0.096
0.098
0.100
0.100
0.100
0.099
0.096
0.208
0.248
0.421
0.421
0.421
0.294
0.093
95%C.I.
lowe uppe
r
0.439
0.426
0.386
0.386
0.386
0.413
0.483
r
0.818
0.809
0.778
0.778
0.778
0.801
0.860
Sn
Sp
85.7%
78.6%
71.4%
71.4%
71.4%
71.4%
64.3%
40%
45%
45%
45%
45%
50%
70%
Parameter perbedaan weal akibat serum-weal akibat histamin (4.5 mm) pada 30 menit
(Sdsh30u4.5), menghasilkan Sn: 64.3% dan Sp: 70% (AUC = 0.671, 95% C.I.: 0.483
0.860), dan parameter perbedaan diameter weal akibat serum-weal akibat histamin
(1.5 mm) pada 30 menit (Sdsh30u1.5) menghasilkan Sn: 85.7% dan Sp: 40% (AUC =
0.629, 95% C.I.: 0.439 0.818).
67
Tabel 4.9 Sn dan Sp ASST berdasarkan kombinasi parameter weal serum, warna
weal serum, dan luas flare.
95% C.I.
lower upper
Sn
Sp
Kombinasi
parameter
AUC
S.E.
S30u2.0rs2
0.78
0.08
0.006
0.614
0.950
71.4 85
Sdsh30u4.5
rs2
Sdsh30u4.5
rs1
Sdsg30u2.0
f50
Sdsg30u1.5
f50
0.68
0.09
0.064
0.497
0.882
42.9 95
0.67
0.09
0.086
0.483
0.867
50
0.67
0.09
0.080
0.496
0.861
85.7 50
0.52
0.10
0.780
0.330
0.727
85.7 20
+PV
-PV
+LR
-LR
Efis.
Dx
56.
6
70.
1
91.
6
85.
9
4.76
0.34
79.4
8.57
0.60
73.5
85
Keterangan:
S30u2.0rs2: kombinasi parameter perbedaan diameter weal akibat serum-weal akibat
salin (2.0 mm) dan warna weal akibat serum (red) pada pembacaan 30 menit.
Sdsh30u4.5rs2: kombinasi parameter perbedaan diameter weal akibat serum-weal
akibat histamin (4.5 mm) dan parameter warna weal serum (red) pada 30 menit.
Sdsg30u2.0f50: kombinasi parameter perbedaan diameter weal akibat serum-weal
akibat salin (2.0 mm) dan parameter perbedaan luas flare akibat serum-luas flare
akibat salin (50 mm2) pada pembacaan 30 menit.
4.1.2.1.3 Pemeriksaan parameter yang sebelumnya belum diteliti.
Tabel 4.10 Sn dan Sp ASST berdasarkan perbedaan parameter diameter weal akibat
serum-weal akibat salin pada 0 dan 30 menit.
68
Parameter
O menit
Sdsg030
u1.5
Sdsg030
u2.0
95% C.I.
lowe upper
r
0.704 0.09 0.04 0.526 0.882
Sp
+PV
-PV
85.7 55
34.3
93.4 1.9
0.26 67.6
71.4 60
32.8
88.5 1.79
0.48 64.7
AUC
S.E.
0.846
Sn
+LR
-LR
Efis.
Dx
Parameter tunggal, yaitu perbedaan diameter weal akibat serum-weal akibat salin
pada 0 dan 30 menit (1.5 mm) menghasilkan Sn dan Sp masing-masing 85.7% dan
55% (AUR: 0.704, +PV: 34.3%, -PV: 93.4%, efisiensi Dx: 67.6%).
4.1.2.1.4 Sarana diagnostik ASST teoritik baru
Tabel 4.11 Sn dan Sp ASST berdasarkan kombinasi parameter Sdsg030u1.5 - rs2
(S030u1.5rs2), S30u2.0rs2, dan S30u1.5rs2.
AUR
S.E.
Sn
Sp
ASST
teoritik baru
S030u1.5rs2
0.86
0.07
0.000
78.6
95
0.726
S30u2.0rs2
0.78
0.08
0.006
71.4
85
S30u1.5rs2
0.70
0.09
0.042
71.4
70
Pemeriksaan ASST
95% C.I.
+PV
-PV
+LR
-LR
Efis.
Dx
1.009
81.1
94.6
15.71
0.23
88.2
0.614
0.950
56.6
91.6
4.76
0.34
79.4
0.525
0.889
39.5
89.9
2.38
0.41
70.6
akibat serum-weal akibat salin ( 1.5 mm) pada 0 dan 30 menit, dan parameter warna
weal akibat serum merah pada 30 menit (S030u1.5rs2) menghasilkan Sn: 78.6% dan
Sp: 95% (AUR: 0.868, +PV: 81.1%, -PV: 94.6%, efis. Dx: 88.2%), disusul dengan
S30u2.0rs2 (71.4% dan 85%, AUR: 0.782, +PV: 56.6%, -PV: 91.6%, efis. Dx:
79.4%), dan S30u1.5rs2 (71.4 dan 70%, AUC = 0.707, +PV: 39.5%, -PV: 89.9%,
efis. Dx: 70.6%).
Penjelasan.
69
akibat serum
(merah).
70
o alat pengukur diameter reaksi, dan
o kaca pembesar.
Penelitian ini menggunakan teknik dan kriteria positif dari ASST operasional baru.
Teknik ASST operasional baru memperhitungkan perbedaan diameter weal serumweal salin pada 0 menit, selain perbedaan diameter weal serum-weal salin pada 30
menit, dan perubahan warna weal serum pada 30 menit. Perbedaan diameter weal
akibat serum dan weal akibat salin dihitung dengan formula
( Ds30 Ds 0) ( Dg 30 Dg 0)
.
2
71
Darah pasien yang diperoleh dari vena antecubiti dimasukkan ke dalam tabung gelas
steril tanpa clotting accelerator (Vacutainer, Becton Dickinson, USA), biarkan
membeku pada suhu ruangan selama 30 menit.
Labcare
2006).89 Serum untuk pemeriksaan HRA di Surabaya yang belum dikirim, disimpan
pada -200 C. Serum dikirim memakai Cool Box berisi dry ice melalui udara.
dan
histamin
Pemeriksaan ASST baru yang dipakai peneliti disebut positif bila kombinasi
perbedaan diameter weal akibat serum-diameter weal akibat salin pada 0 dan 30
menit 1.5 mm dan warna weal akibat serum sama dengan warna weal akibat
histamin pada 30 menit (merah).
72
73
Pengelompokan usia penderita ke dalam interval dan jumlah kelas, menggunakan formula
Sturges, metode eksklusif (nilai variabel usia: pecahan, sehingga pasien yang berusia 25
dimasukkan kelompok 25 - 32). Pada tabel di bawah, interval kelas = 7 dan jumlah kelas = 7.
Tabel 4.12 Frekuensi usia dan jenis kelamin pasien UKI rawat jalan pada poliklinik
IKKK, RSUP MH tahun 2007.
Usia
pasien
Frekuensi
Wanita
pria
Total
Persentase
18 25
25 32
32 39
39 46
46 53
53 60
60
Total
15
7
2
0
7
3
7
6
21
4
0
3
1
3
53
26
(67.1%) (32.9%)
22
2
10
13
25
3
4
79
27.8
2.5
12.7
16.5
31.6
3.8
5.1
100
(100%)
sehat (mean SD) sebesar : 10.81 0.72. Pasien urtikaria yang memiliki %HR (10.81 + 2
x 0.72) atau 12.25%, dianggap memiliki otoantibodi fungsional, atau disebut HRA +.
74
4.2.2.2 Frekuensi HRA.
Sampel penelitian ini berjumlah 79 pasien, terdiri dari 47 pasien UK dan 32 pasien UKI.
Pasien UK yang menghasilkan HRA positif sebanyak 6 pasien (6/47 x 100% = 12.7%, dan
pasien UKI yang menghasilkan HRA positif sebanyak 11 pasien (11/32 x 100% = 34.3%.
Berdasarkan jumlah keseluruhan pasien penelitian tahap 2 (79 pasien), pasien yang
menghasilkan HRA positif adalah 17 pasien (17/79 x 100% = 21.5%), dan sisanya (62
pasien) dengan HRA negatif (62/79 x 100% = 78.5%) (lihat Lampiran 11).
Tabel 4.13 Frekuensi HRA positif menurut kelompok usia sampel penelitian pada
Poliklinik IKKK RSUP MH Palembang pada tahun 2007.
Usia
18 25
25 32
32 39
39 46
46 53
53 60
60
Total
HRA
negatif
18
2
9
9
21
1
2
62
78.5%
positif
4 (5.06%)
0
1
4 (5.06%)
4 (5.06%)
2
2
17
21.5%
Total
22
2
10
13
25
3
4
79
100%
75
Tabel 4.14 Frekuensi HRA positif menurut jenis kelamin sampel penelitian pada
Poliklinik IKKK RSUP MH Palembang pada tahun 2007
Jenis kelamin
HRA
negatif
44
18
62
Wanita
Pria
Total
positif
9
8
17
Total
53
26
79
Pasien wanita dengan HRA positif sebesar 9/79 x 100% = 11.4%, dan pasien pria
dengan HRA positif sebesar 8/79 x 100% = 10.1%.
4.2.3 Hasil pemeriksaan ASST baru
Tabel 4.15 Frekuensi ASST menurut kelompok usia sampel penelitian pada
Poliklinik IKKK, RSUP MH Palembang pada tahun 2007.
Usia
18 25
25 32
32 39
39 46
46 53
53 60
60
Total
Persentase
ASST baru
negatif
positif
17
5
2
0
7
3
10
3
21
4
2
1
2
2
61
18
77.2%
22.8%
Total
22
2
10
13
25
3
4
79
100%
ASST baru
negatif
positif
42
11
19
7
Total
53
26
76
Total
61
18
79
Pasein wanita (53 pasien) dengan ASST positif adalah 11 pasien atau 11/79 x 100% =
13.9%, dan pasien pria (26 pasien) dengan ASST positif adalah 7 pasien atau 7/79 x
100% = 8.9%.
Tabel 4.17 Sensitivitas dan Sp ASST baru (S030u1.5rs2), S30u1.5rs2 (cara Sabroe),
dan S30u2.0rs2, dengan baku emas HRA, memakai program SPSS dan MedCalc.
AUC S.E.
95% C.I.
lower Upper
Sn
Sp
+PV -PV
+LR
-LR Efis.
Dx
S030u1.5 0.88
rs2
0.992
S30u1.5
rs2
0.70
0.850
70.6 71.0 40
89.8 2.43
0.41 70.9
S30u2.0
rs2
0.68
0.833
87.3 2.61
0.53 73.4
Sensitivitas dan spesifisitas ASST baru adalah 82.4% dan 93.5% (AUC = 0.880, +PV:
77.8, -PV: 95.1, +LR: 12.76, efis.Dx: 91.1); S30u1.5rs2, 70.6% dan 71% (AUC =
0.708, +PV: 48.0, -PV: 89.8, +LR: 2.43, efis.Dx: 70.9%), dan S30u2.0rs2, 58.8% dan
77.4% (AUC = 0.648, +PV: 41.6, -PV: 87.3, +LR: 2.61, efis.Dx: 73.4).
Keterangan:
S030u1.5rs2: Sarana Dx ASST baru, yang memakai kombinasi parameter perbedaan
diameter weal akibat serum-weal akibat salin pada 0 dan 30 menit, dan warna weal
serum pada 30 menit.
S30u1.5rs2 dan S30u2.0rs2: adalah sarana Dx ASST teoritis baru yang ditemukan
pada penelitian pendahuluan.
AUC: area under the receiver operating characteristic (ROC) curve
77
S.E.: standard error
C.I.: confident interval
Sn: sensitivitas, Sp: spesifisitas
PV: predictive value (nilai ramal).
LR: likelihood ratio
Efis.Dx (akurasi Dx): efisiensi diagnosis.
Tabel 4.18 Hasil uji beda proporsi antara Sn ASST baru dan Sn S30u1.5rs2 (ASST
Sabroe), memakai program EpiCalc.
Proporsi Sn dan besar
sampel
ASST baru
(82.4%, 79)
vs
Z score
95% C.I
p value
(one - sided)
p value
(two - sided)
1.56
11.8%
0.05
0.11
S30u1.5rs2
(70.6%, 79)
Keterangan.
Uji beda proporsi antara Sn ASST baru dan Sn S30u1.5rs2 (skor Z: 1.56, p = 0.05),
menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna.
Tabel 4.19 Hasil uji beda proporsi antara Sp ASST baru dan Sp S30u1.5rs2 (ASST
Sabroe).
Proporsi Sp dan
Z score
95% C.I.
besar sampel
ASST baru
p value
p value
(one sided)
(two sided)
0.000
0.000
(93.5%, 79)
vs
3.49
22.5%
78
S30u1.5rs2
(71%, 79)
Uji beda antara Sp ASST baru dan Sp ASST Sabroe penelitian (skor Z = 3.49, p <
0.000), menunjukkan ada perbedaan bermakna.
4.2.4 Hasil pemeriksaan data klinis
4.2.4.1 Hasil analisis regresi logistik majemuk data klinis
Tabel 4.20 Odds ratio
Variabel
S.E.
Wald X2
prediktor
DiamJmhUrtika
LamaUrtika
Gatal
DistrUrtika
Angioedema
KeluhSistem
PemicuUrtika
FaktorAtopi
-0.457
0.129
1.839
0.443
-0.396
-0.220
0.023
0.435
0.609
0.041
0.984
0.359
0.444
0.234
0.313
0.896
0.588
10.029
3.494
1.529
0.795
0.888
0.006
0.236
0.443
0.002
0.062
0.216
0.372
0.346
0.941
0.627
Odds
95% C.I.
ratio
Lowe
Upper
0.627
1.138
6.289
1.558
0.673
0.802
1.024
1.546
r
0.190
1.050
0.915
0.771
0.282
0.508
0.554
0.267
2.067
1.232
43.242
3.146
1.607
1.268
1.890
8.941
Kolom S.E. tidak terdapat nilai 2. Hasil analisis regresi logistik majemuk
menunjukkan variabel prediktor lama urtika menghasilkan p < 0.05 (Wald X2 =
10.029, odds ratio 1.138, 95% C.I.: 1.050 1.232), sedangkan variabel lain
menghasilkan p > 0.05. pada kolom Odds ratio, nilai odds ratio tiap variabel,
semuanya terdapat dalam rentang nilai lower dan upper dari 95% C.I.
4.2.4.2 Hasil pemeriksaan variabel derajat keparahan klinis
4.2.4.2.1 Sensitivitas, spesifisitas, dan nilai cut-off variabel derajat keparahan klinis.
Variabel derajat keparahan klinis merupakan penjumlahan 7 nilai variabel: diameter
dan jumlah urtika, keluhan gatal, distribusi lesi urtika, angioedema, pemicu urtika, faktor
atopi, dan keluhan sistemik. Rentang skor derajat keparahan klinis adalah 3 - 24.
79
Tabel 4.21 Sn dan Sp variabel derajat keparahan klinis (skala kontinyu) dengan baku
emas HRA.
Cut
Sn
Sp
AUC
S.E.
-off
12
95% C.I.
uppe
76.5
74.2
+PV -PV
+LR -LR
lowe
Efis
Dx
r
r
0.753 0.058 0.001 0.620 0.887 44.8
92.0 2.96
0.32 74.7
Sensitivitas dan Sp variabel derajat keparahan klinis pada cut-off 12, ialah 76.5% dan
74.2% (AUC = 0.753, p = 0.001, +PV: 44.8%, -PV: 92%, efis.Dx: 74.7%).
Tabel 4.22 Hasil uji beda proporsi antara Sn variabel derajat keparahan klinis dan Sn
variabel ASST baru, menggunakan program EpiCalc2000.
Proporsi Sn dan besar
Z score
sampel
Derajat keparahan
p-value
p-value
(one-sided)
(two-sided)
0.235
0.471
95% C.I.
klinis (76.5%, 79
pasien)
vs
0.72
ASST baru
-7.93 to
19.73
(82.4%, 79 pasien)
Tidak terdapat perbedaan kemaknaan antara Sn keparahan klinis dan Sn ASST baru
(z = 0.72 (p > 0.05, 95% C.I.: -7.93 sampai 19.73)
Tabel 4.23 Hasil uji beda proporsi antara Sp variabel keparahan klinis dan Sp variabel
ASST baru, menggunakan program EpiCalc2000.
Proporsi Sp dan besar
sampel
Sp keparahan klinis
p-value
p-value
95%
score
(one-sided)
(two-sided)
C.I.
3.08
0.001
0.002
6.96 to
(74.2%, 79 pasien)
vs
80
Sp ASST baru (93.5%,
31.64
79 pasien)
Terdapat perbedaan kemaknaan antara Sp derajat keparahan klinis dan Sp ASST (z =
3.08 (p < 0.05, 95% C.I.: 6.96 sampai 31.64).
4.2.4.2.2 Korelasi derajat keparahan klinis dan sarana diagnostik S030u1.5rs2.
Tabel 4.24 Tes Kolmogorov-Smirnov (one-sample)
S030u1.5rs2 DerKepKlin
79
79
0.23
11.58
N
Normal Parameters
Mean
Most Extereme
Differences
S.D.
Absolute
Positive
0.422
0.477
0.477
4.573
0.104
0.104
Negative
Z
-0.295
4.244
0.000
-0.073
0.922
0.364
Kolmogorov-Smirnov
Asymp. Sig. (two-tailed)
DerkepKlin
1,000
p (2-tailed)
N
S030u1.5rs2 Koef. Korelasi
p (2-tailed)
.
79
,509**
,000
N
79
**. Korelasi bermakna pada level 0.01 (2-tailed).
S030u1.5rs2
,509**
,000
79
1,000
.
79
Terdapat korelasi positif yang bermakna antara derajat keparahan klinis dan
S030u1.5rs2 (koefisien korelasi: 0.509, N: 79).
81
BAB 5.
PEMBAHASAN
82
Sensitivitas dan Sp parameter kombinasi S030u1.5rs2 yang ditemukan peneliti pada
penelitian pendahuluan, menghasilkan Sn dan Sp (78.6% dan 95%, AUC =0.868, +PV
81.1%, efis.Dx: 88.2%), lebih tinggi daripada hasil penelitian memakai metode Sabroe,
S30u1.5rs2 (71.4% dan 70%, AUC = 0.707, +PV: 39.5%, efis.Dx: 70.6%).
Pada penelitian utama ini, sarana diagnostik ASST yang diteliti adalah sarana diagnostik
ASST baru yang diperoleh pada penelitian pendahuluan, yang melibatkan 2 variabel, yaitu:
variabel perbedaan diameter weal serum-weal salin pada 0 dan 30 menit ( 1.5 mm) dan
variabel perubahan warna weal serum pada 30 menit (merah). Variabel tersebut berbeda dari
variabel yang digunakan Sabroe et al. 1999, yang tidak memperhitungkan variabel weal
akibat serum dan weal akibat salin pada 0 menit.
Kriteria positivitas ASST menggunakan perbedaan diameter weal akibat serum-weal
akibat salin pada 0 dan 30 menit ( 1.5 mm), dan variabel warna weal akibat serum (merah)
pada 30 menit pada penelitian utama ini, menghasilkan Sn 82.4% dan Sp 93.5% (AUC =
0.880, 95%, +PV: 77.8%, efis.Dx: 91.1%), dan hasil ASST penelitian berdasarkan metode
Sabroe, menghasilkan Sn 70.6% dan Sp 71% (AUC = 0.708, 95%, +PV: 40%, efis.Dx:
70.9%).
Pemeriksaan ASST baru menghasilkan Sn Dx sebesar 82.4%, menunjukkan bahwa masih
terdapat false negative sebesar 17.6%. Penyebab false negative tersebut dapat terjadi oleh
rendahnya binding capacity anti-FcRI, molekul FcRI yang diikat kurang dari 10% dari
total molekul FcRI pada membran mastosit, gangguan pada gen yang mengatur aktivitas
histamine N-methyl transferase (HNMT), dan/ atau adanya gene polymorphism.
Uji beda proporsi menggunakan program EpiCalc2000, memperoleh hasil: tidak terdapat
perbedaan signifikan nilai Sn antara ASST baru peneliti dan metode Sabroe (Z = 1.56, p
83
(one-tailed) = 0.05, p (two-tailed) = 0.11), tetapi terdapat perbedaan signifikan nilai Sp ASST
peneliti dan ASST metode Sabroe (z =3.49, p (one-tailed dan two-tailed) < 0.0001). Ketidak
bermaknaan Sn tersebut disebabkan oleh kecilnya perbedaan Sn parameter S030u1.5 (Sn:
85.7%) pada ASST baru, dan Sn parameter S30u1.5 (Sn: 92.9%) pada ASST metode Sabroe,
dan perbedaan yang signifikan antara Sp ASST peneliti dan Sp meode Sabroe, disebabkan
oleh besarnya perbedaan Sp parameter S030u1.5 (55%) dan Sp parameter S30u1.5 (10%).
Sensitivitas dan spesifisitas ASST yang dihasilkan peneliti menggunakan sarana
diagnostik ASST baru (82.4% dan 93.5%), lebih tinggi dari Sn dan Sp ASST yang dihasilkan
Sabroe et al. (1999) (65% dan 81%). Penelitian yang dilakukan Sabroe et al. (1999)
menyertakan 68 pasien UKI, menggunakan desain potong lintang, sedang penelitian yang
dilakukan peneliti menggunakan 79 pasien UKI dengan desain yang sama. Perbedaan Sn dan
Sp antara metode Sabroe dan sarana diagnostik ASST baru, terjadi bukan karena jumlah
sampel dan desain penelitian, tetapi karena perbedaan dalam kriteria positivitas ASST yang
digunakan (sarana diagnostik baru menggunakan kombinasi perbedaan diameter weal akibat
serum-weal akibat salin pada 0 dan 30 menit, sedangkan Sabroe menggunakan perbedaan
diameter weal akibat serum-weal akibat salin pada 30 menit).
84
yang ditemukan peneliti lebih reliabel dibandingkan dengan hasil ASST yang dipakai peneliti
lain sebelumnya.
Metode pemeriksaan ASST sebelumnya, menunjukkan bahwa kombinasi Sn dan Sp
terbaik/ optimal dihasilkan melalui metode Sabroe (71.4% dan 70%, AUC > 0.7, C.I.: 0.527
0.850), disusul metode Goryachkina (92.9% dan 50%, AUC < 0.7, C.I.: 0.534 0.855), dan
metode Platzer (78.6% dan 55%, AUC < 0.7, C.I.: 0.486 0.819). Hasil penelitian ASST
mengikuti metode Sabroe di atas, berbeda dari Sn dan Sp yang dilaporkan Sabroe et al.
(1999) (65% dan 81%), sedangkan hasil penelitian ASST mengikuti metode Gory, tidak
berbeda dengan yang dilaporkan Goryachkina et al. (2005) ( 90% dan 48.9%). Kombinasi
perbedaan diameter weal akibat serum-weal akibat salin dan perbedaan diameter flare akibat
serum-flare akibat salin yang digunakan Gory dan Toubi menghasilkan Sn 92.9% dan Sp 20
50%, sedangkan kombinasi perbedaan diameter weal akibat serum-weal akibat salin dan
perbedaan warna akibat serum (merah muda), yang digunakan Grattan dan Platzer
menghasilkan Sn 71.4% dan 78.6% dan Sp 55% dan 70%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kombinasi perbedaan diameter weal akibat serum-weal akibat salin dan warna weal akibat
serum (merah) menghasilkan penurunan kecil Sn, tetapi meningkatkan Sp secara bermakna.
Kriteria positivitas ASST hanya berdasarkan 1 parameter yaitu diameter weal serum, seperti
yang digunakan Fagiolo dan Asero akan menghasilkan Sn 100% tetapi Sp 0%. Demikian
pula, bila kriteria positivitas ASST didasarkan pada perbedaan diameter weal akibat serumweal akibat histamin pada 30 menit (Altman, 2003) akan menghasilkan Sn 100% sedangkan
Sp 0%.
Sensitivitas dan spesifisitas perubahan warna weal akibat serum (skin coloured, merah
muda, dan merah), menunjukkan warna merah (Rs2) menghasilkan Sn dan Sn (78.6% dan
85
70%, AUC > 0.7), disusul warna merah muda (Rs1) (85.7% dan 50%, AUC < 0.7). Hasil
tersebut sesuai dengan penelitian Sabroe.
5.2 Temuan cara pemeriksaan HRA yang tepat dan baku.
Upaya yang dilakukan pada penelitian pendahuluan telah berhasil mendapatkan cara
melakukan pemeriksaan HRA yang tepat dan standar yang belum pernah dilakukan di
Indonesia dan yang sangat diperlukan untuk menguji keandalan sarana diagnostik ASST
baru.
5.2.1 Temuan cara pemisahan sel basofil dari darah donor sehat.
Cara pemisahan sel basofil yang didapatkan dan dipakai dalam penelitian adalah metode
dextran sedimentation memakai larutan dekstran 3% dengan BM 250.000, dan diinkubasi
selama 45 menit pada 370 C untuk pemisahan awal plasma (mengandung sel darah putih dan
trombosit) dari sedimen eritrosit. Sentrifugasi plasma pada 2500 rpm selama 5 menit, akan
mengendapkan sel darah putih (masih mengandung eritrosit) sedangkan trombosit tetap
dalam plasma. Penambahan amonium klorida ke dalam pelet lekosit, akan melisiskan
eritrosit yang masih tersisa dalam pelet. Cara pemisahan di atas, menghasilkan suspensi
lekosit mengandung sel basofil 2 x 105 sel/mL yang sesuai untuk pemeriksan HRA memakai
kit ELISA dan suspensi lekosit tersebut bebas eritrosit sehingga menghindarkan terjadi
aglutinasi bila diinkubasi dengan serum dari orang yang berbeda golongan darah.
5.2.2 Temuan cara pemeriksaan inkubasi untuk memperoleh histamin total.
Cara pelepasan histamin total yang dipakai dalam penelitian ialah metode pemanasan
pada 850 C selama 40 menit karena menghasilkan nilai absorben dan pH optimal terbaik
dibandingkan dengan metode yang lain (pendidihan, repeated thawing and freezing, dan
86
penambahan asam perklorat, pemanasan pada 600 C), dan sedikit lebih baik daripada metode
baku ultrasonic disintegrator memakai ice cold jacket.
5.2.3 Temuan cara pemeriksaan persentase pelepasan histamin (%HR) memakai model loglogit curve fitting.
Penggunaan model log-logit curve fitting sangat diperlukan untuk mendapatkan %HR
orang normal dan cut-off %HR +/-, sehingga diperoleh %HR yang dianggap mengandung
otoantibodi fungsional (HRA+).
Cara pemeriksaan %HR yang didapatkan pada penelitian ini meliputi beberapa tahap
berurutan, sebagai berikut.
1. Mengkonversikan nilai absorben histamin baku ke dalam %B/B0 , dilanjutkan
dengan
mentransformasikan
nilai
%B/B0
ke
dalam
fungsi
logit.
87
Penelitian ini mendapatkan nilai cut-off derajat keparahan klinis sebesar 12 pada Sn dan
Sp variabel derajat keparahan klinis yang optimal, yaitu 76.5% dan 74.2% (AUC = 0.803,
+PV: 44.8%, +LR: 2.96, efis. Dx: 74.7%).
Uji beda proporsi antara Sn variabel derajat keparahan klinis dan Sn variabel ASST baru,
menghasilkan nilai z = 0.72, p > 0,05. Uji beda proporsi antara Sp variabel derajat keparahan
klinis dan Sp variabel ASST baru, menghasilkan nilai z = 3.08, p < 0.05. Hasil uji beda
proporsi di atas, menunjukkan Sn variabel derajat keparahan klinis tidak berbeda dengan
variabel ASST baru, tetapi berbeda secara bermakna dalam Sp dengan variabel ASST baru.
5.4 Indikator Keberhasilan Penelitian
5.4.1 Sarana diagnostik ASST baru
Sarana diagnostik ASST baru menghasilkan Sn sebesar 82.4% dan Sp sebesar 93.5%.
Apabila hasil tersebut dibandingkan dengan Sn dan Sp metode Sabroe hasil penelitian ini
(71.4% dan 70%), maupun hasil Sabroe sendiri (65% dan 81%), terdapat peningkatan Sn dan
Sp sarana diagnostik ASST yang signifikan, sehingga kesalahan mendeteksi pasien UO
maupun kesalahan mendeteksi pasien yang bukan UO akan makin kecil. Dampaknya bagi
pasien, adalah makin banyak pasien UO dapat segera diobati, dan makin kecil kemungkinan
pemberian obat spesialistik terhadap pasien uritkaria yang bukan UO.
Tabel 5.1 Perbedaan ASST baru dan ASST Sabroe
Penelitian
ini
Pemisahan
serum
tes
Parameter yg
dinilai
Darah vena
antecubiti dlm
tabung gelas
steril tanpa
clot. Acceler.,
diamkan suhu
kamar 30 men.
Sentrifus 2500
rpm, 15 men.
a). 50 L
serum, 50L
salin (0.9%),
histamin
(10g/mL),
intradermal
volar lengan
bawah,
b). 5cm antar
suntikan,
Kriteria ASST +
Kombinasi
beda a). & b).:
( Ds30 Ds0) ( Dg 30 Dg 0)
2
Output
Outcome
Sn Dx: 82.4
Sp Dx: 93.5
+PV Dx:
77.8
Efis.Dx: 91.1
False + &
false - lebih
kecil (1015%), daya
lacak peny.
lebih tinggi,
ditunjang
ketepatan
yang besar
pasien
Uji beda
88
c). proxdistal : salinser. histam.
Sabroe et
al., 1999
Darah vena
antecubiti dlm
Vacutainer
tanpa clot.
Acceler.,
diamkan suhu
kamar 30 men.
Sentrifus 500
g, 15 men.
a). Histamin
secara
prick/ kdg.
intradermal.
b). 3-5 cm
c). ser.histam.- salin
proporsi:
beda
bermakna
dlm
spesifisitas
a). Diameter weal
serum pd 30 men.
b). Diameter weal
salin pd 30 men.
c). idem
Kombinasi:
Beda a). & b).:
( Ds30 Dg 30)
2
Sn Dx: 70.6
Sp Dx: 71.0
+PV Dx: 40
Efis.Dx: 70.9
UO untung
dr ekonomi
& resiko
terapi obat
yg tidak
tepat kecil
False+ &
false- besar
(30%), daya
lacak UO
kecil,
ketepatan
kecil
pasien UO
biaya >
besar,
resiko >
Keterangan
Perbedaan utama kriteria positif pada ASST baru dari ASST Sabroe, adalah
pembacaan pada 0 menit.
5.4.2 Pemeriksaan HRA
Keberhasilan pemeriksaan HRA merupakan nilai tambah penelitian. Selama ini
pemeriksaan tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Keberhasilan tersebut tidak
diperoleh dengan mudah, melainkan melalui berbagai percobaan yang lama. Keberhasilan
melakukan pemeriksaan HRA, tidak terlepas dari keberhasilan peneliti mendapatkan
supernatan yang sesuai, terutama dalam proses memperoleh totHR melalui metode
pemanasan pada 850 C selama 40 menit, yang telah diuji dengan membandingkannya dengan
metode pemanasan pd 600 C dan metode ultrasonic disintegrator.
Pemeriksaan HRA
89
faktor atopi, dan keluhan sistemik. Rentang nilai variabel derajat keparahan klinis adalah 3
24. Pemeriksaan menggunakan kurva ROC (receiver operating characteristics), dan HRA
sebagai baku emas, diperoleh Sn dan Sp yang optimal (76.5% dan 74.2%) pada nilai cut-off
derajat keparahan klinis: 12. Uji beda proporsi (Sn dan Sp variabel derajat keparahan klinis
dan sarana diagnostik ASST baru), menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan dalam
Sn (z = 0.72, p > 0.05), tetapi berbeda secara signifikan dalam Sp ( z = 3.08, p < 0.05).
Perbedaan kemaknaan tersebut menunjukkan bahwa perubahan nilai cut-off derajat
keparahan klinis (< 12 ) akan berpengaruh terhadap deteksi pasien urtikaria dengan
otoantibodi positif, tetapi tidak dapat diandalkan dalam mendeteksi pasien dengan
otoantibodi negatif.
Sesuai dengan penelitian Tanus et al. 1996
58
tidak mendapatkan adanya perbedaan klinis antara pasien urtikaria dengan/ tanpa otoantibodi
fungsional, dalam hal keluhan gatal, distribusi, faktor pencetus, keluhan sistemik, dan faktor
atopi.
Secara khusus, penemuan nilai cut-off derajat keparahan klinis (12) dan penemuan sarana
diagnostik ASST baru yang lebih sensitif dan spesifik, akan lebih menguntungkan pasien
UKI dari segi biaya yang dikeluarkan, karena tidak memerlukan pemeriksaan HRA yang
biayanya mahal. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 6.2 berikut.
Tabel 5.2 Analisis biaya untuk 120 pemeriksaan.
Biaya
Persiapan serum
ASST
Pengiriman
serum
Nihil
Pelaksanaan
pemeriksaan
Histamin (1mg/ml)
dan buffer
Rp. 220.000
Rp.
600.000,-/per
120
pemeriksaan
Biaya total
alat, reagen,
dan teknisi
laboratorium
Rp. 6.760.225
Rp. 220.000
Rp. 600.000
Rp. 6.980.225
90
HRA
Rp. 1.650.000
Pipet plastik
Rp. 260.000
Jangka sorong (Vernier
Caliper) Shanghai,
China Rp. 350.000
Timer Rp. 225.000
Sentrifus: DS-Lab,
15ml x 8 DSC-158T
Rp. 4.500.000
Total: Rp. 6.760.225
idem
Atau
Rp.
58.169,-/per 1
x
pemeriksaan
Rp.
2.150.000
Rp.
800.000,-/per
120
pemeriksaan
Rp. 6.760.225
Rp. 2.150.000
Rp29.485.000
Rp. 800.000
Total
Rp.39.195.225
Atau
Rp.
326.627,-/per
1x
pemeriksaan
91
BAB 6.
PENUTUP
Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasannya, dapat ditarik kesimpulan dan saran
sebagai berikut.
6.1 Kesimpulan
6.1.1 Penelitian ini telah menemukan sarana diagnostik ASST baru yang melibatkan 3
komponen dasar, yaitu 1) parameter diameter weal akibat serum pada 0 dan 30 menit, 2)
parameter diameter weal akibat salin pada 0 dan 30 menit, dan 3) perubahan warna weal
akibat serum pada 30 menit. Kombinasi perbedaan diameter weal akibat serum-weal akibat
92
salin pada 0 dan 30 menit ( 1.5 mm) dan perubahan warna weal akibat serum pada 30
menit (merah), merupakan kriteria positivitas sarana diagnostik ASST baru yang
menghasilkan nilai diagnostik yang andal sebagai sarana diagnostik urtikaria otoimun,
dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 82.4% dan 93.5%.
6.1.2 Penelitian ini telah menemukan pula hubungan yang bermakna antara derajat
keparahan klinis urtikaria dan sarana diagnostik ASST baru. Sensitivitas dan Sp variabel
derajat keparahan klinis adalah 76.5% dan 74.2% pada nilai cut-off derajat keparahan
klinis 12. Sensitivitas derajat keparahan klinis tidak berbeda secara bermakna dengan
sensitivitas sarana diagnostik ASST, tetapi berbeda secara bermakna dalam spesifisitas.
Perbedaan kemaknaan tersebut menunjukkan bahwa perubahan nilai cut-off derajat
keparahan klinis (< 12) dapat diandalkan untuk mendeteksi pasien urtikaria dengan
otoantibodi positif, tetapi tidak dapat diandalkan untuk mendeteksi pasien dengan
otoantibodi negatif.
6.1.3 Bersamaan dengan penelitian ini, telah dapat dilakukan metode pemeriksaan HRA
yang selama ini belum dapat dilakukan oleh pusat pendidikan, khususnya bidang
dermatologi di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Walaupun pemeriksaan HRA tidak
tidak termasuk dalam masalah dan tujuan penelitian, pemeriksaan tersebut harus dilakukan
agar tujuan penelitian ini dapat dicapai. Penemuan sarana diagnostik ASST dan metode
pelaksanaan pemeriksaan HRA, tidak diragukan lagi telah membantu pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan teknologi kedokteran, terutama sebagai pemeriksaan penunjang urtikaria
otoimun, yang belum pernah dikerjakan di Indonesia (keandalan ASST dikonfirmasikan
dengan HRA sebagai baku emas), dan dalam penggunaan praktis dapat membantu
menemukan kasus urtikaria otoimun yang cukup banyak diderita masyarakat di Indonesia.
93
6.2 Saran
6.2.1 Penyebarluasan hasil temuan penelitian ke pusat pendidikan dermatologi di seluruh
Indonesia, akan memberikan keuntungan ganda baik bagi pasien urtikaria otoimun,
maupun bagi penentu kebijakan dalam hal ini pemerintah. Pasien diuntungkan karena
diagnosis segera diketahui, sehingga menghemat biaya untuk pengobatan yang sia-sia. Di
lain pihak, pemerintah dapat mengoptimalkan efisiensi kerja pegawai yang sebelumnya
sering tidak bekerja akibat penyakitnya.
6.2.2 Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang lebih luas dengan melibatkan lebih
banyak sampel penelitian dari berbagai daerah di Indonesia (melalui penelitian
multisenter), dengan mempertimbangkan perbedaan faktor suku dan etnis tiap tempat,
untuk mencari teknik yang lebih baik sehingga sarana diagnostik ASST yang ditemukan
lebih andal tidak hanya spesifisitas diagnostiknya, tetapi juga sensitivitas diagnostiknya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Juhlin L. The History of Urticaria and Angioedema. ESHDV Special Annual Lecture,
Geneva, October 11th, 2000.
2. Guldbakke KK, Khachemoune A. Classification and Treatment of Urticaria: A Brief
Review. Dematol Nurs. 2005;17(5):361-364
3. Hedges HH, Pollart SM. Management of chronic urticaria. Identifying triggers and
treating symptoms. American Academy of family Physicians, 2006.
4. Gaig et al. Epidemiology of urticaria in Spain. Original Article. J Invest Allergy Clin
Immunol 2004;14(3):214-220.
5. Rekam Medik RSUP MH Palembang, Data pasien rawat jalan pada Poliklinik
IKKK RSUP MH, 2005.
94
6. Grattan CEH, Sabroe RA, Greaves MW. Chronic urticaria. Continuing Medical
Education. J Am Acad Dermatol. 2002;46:645-657.
7. Zuberbier T, Jensen B, Canonica W. EAACI/GA2LEN/EDF guideline: Definition,
classification and diagnosis of urticaria. 2nd International Consensus Meeting on
Urticaria 2005.
8. Grattan C, Powell S, and Humphreys F. Management and diagnostic guidelines for
urticaria and angio-oedema. Brit J Dermatol 2001; 144: 708-714.
9. Sheikh J. Urticaria. 2002. Available from: http://www.emedicine.com
10. Docrat ME. Skin Focus. Curr Allergy Clin Immunol 2006;19:145-150.
11. Kontou-Filli K, Borici-Mazi R, Kapp A. Physical urticaria: classification and
diagnostic guidelines: An EAACI position paper. European J Allergy Clin Immunol.
1997;52:504-513.
12. Chang A, John A. Localized heat urticaria. J Am Acad Dermatol. 1999;41:354 356.
13. Levin
RM,
Heymann
WR.Urticaria,
Pressure.
2003.
Available
from
www.emedicine.com
14. Greaves MW. Chronic urticaria. Current concepts. N Engl J Med. 1995;332:1767-72
15. Sabroe RA, Seed PT, Francis DM. Chronic idiopathic urticaria: Comparison of
clinical features of patients with and without anti-FceRI or anti-IgE autoantibodies.
J Am Acad Dermatol 1999;40:443-450.
16. Fiorentino DF. Cutaneous vasculitis. Continuing. Medical Education. J Am Acad
Dermatol. 2003;48:311-340.
17. Greaves MW, Sabroe RA. ABC of allergies. Allergy and the skin. I. Urticaria.
Clinical Review. BMJ 1998;316:1147-54.
95
18. Kaplan AP. Chronic urticaria: pathogenesis and treatment. J Allergy Clin Immunol
2004;114:465-74.
19. Kaplan AP. The Immunologic
angioedema
and
2003.
Available
from:
http://www.worldallergy.org/congresses/vancouvero3/preview/kaplan.shtml.
20. Grattan CE, Wallington TB, Warin RP. A
Idiopathic
urticaria :
Br J Dermatol 1986;114:583-590.
21. Gruber BL, Baeza ML, Marchese MJ, Agnello V, Kaplan AP.
functional
role of
anti-IgE
autoantibodies
Prevalence and
Dermatol 1988;90:213-217.
22. Grattan CE,
Francis DM,
histamine releasing
Hide M,
autoantibodies with
High-affinity IgE
of
1996;106:1001-1006.
26. Tong LJ, Balakrishnan G, Kochan JP.
96
in
Autoimmune - mediated
Anti - Fc RI
Disorders. Identification
of a
A role
of
C5a
in
Molecular
Immunology,
The role of
antibody
against
human IgE and human FcII that inhibit antigen-induced histamine release by
human mast cells and basohils. Allergy 2004;59:772-780.
34. Bachelet I, Munitz A, Moretta A, Moretta L, and Levi-Schaffer F.
The
idiopathic
urticaria:
97
36. Sheikh J.
Autoantibodies
Urticaria : How
Important
are
they ?
Curr
Opin
2005;5(5):403-407
37. Confino-Cohen R, Aharoni D, Goldberg A. Evidence
the p21 Ras pathway in PBMCs of
for
aberrant regulation of
Flow
cytometric
analysis of basophil
Dawn G,
Ferrer M.
patients with chronic urticaria to sera but hypo-responsiveness to other stimuli. Clin
Exp Allergy 2005;35:456460.
44. Doutre MS. Physiopathology of urticaria. European J Dermatol. 1999;9:601-609.
45. Du Toit G. Chronic urticaria. Curr Allergy Clin Immunol. 2003 ;16:106-110.
98
46. Marone G, Spadaro G, Patella V, Genovese A. The clinical relevance of basophil
releasability. J Allergy Clin Immunol. 1994;94:1-12.
47. Yamaguchi M, Hirai K, Ohta K.
Leukocyte
antigen
Class II
natural
Autoimmunity mediated
by
2274.
54. Ghazzawi IM, and Obidat NA.
Rodrigues MZA,
99
56. Ai J, Leonhardt JM, Heymann WR. Autoimmune thyroid diseases: Etiology,
pathogenesis, and dermatologic manifestations. J Am Acad Dermatol 2003;48:64159.
57. Levy Y, Segal N, Weintrob N, and Danon YL.
Chronic
urticaria.
Association
activity and Clinical Manifestations in Chronic Idiopathic Urticaria. Clin Diag Lab
Immunol 1996;3:135-137.
59. Claveau J, Lavoie A, Brunet C, Bedard P-M, and Hebert J. Comparison of
histamine-releasing factor recovered from skin and peripheral blood mononuclear
cells of patients with chronic idiopathic urticaria. Ann Allergy Asthma Immunol
1996;77:475-479.
60. Crockard AD, Ennis M. Basophil histamine release tests in the diagnosis of allergy
and asthma. Editorial. Clin Exp. Allergy 2001;31:345-350.
61. Neogen Corporation. Competitive direct ELISA. The Histamine ELISA test kit.
2004
62. MacGlashan D, White JM, Huang SK.
Protein
in
Resting
Cytomegalovirus
pp65
100
65. Ferrer M, Kinet JP, Kaplan AP. Comparative studies of functional and binding assays
for IgG anti-Fc RI
1998;101:672-6.
66. San Diego. Dextran sedimentation of Eryhthrocyte. University of California, 2006.
67. Adelaide. Preparation of leucocytes by dextran sedimentation. Department Chemical
Pathology, 2000.
68. Biomedicals Family. Dextran, 2007.
69. Long et al. Detection of Cytomegalovirus in Plasma and Cerebrospinal Fluid
Specimens from Human Immunodeficiency Virus-Infected Patients by the
AMPLICOR CMV Test. J Clin Microbiol 1998;36(9):2434-2438.
70. Wedi B, Novacovic V, Koerner M,
effects
of
anti - inflammatory
drugs. Dermatologic
and
Dermatol. 2002 ;
27:29-31
73. Greaves MW. Chronic idiopathic urticaria. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2003;
3:363-368.
101
74. Asero R, Lorini M, Chong SU, Zuberbier T, and Tedeschi A. Assessment of
histamine - releasing
activity
of
showing positive autologous skin test on human basophil and mast cells. Clin Exp
Allergy 2004;34:1111-1116.
75. Fagiolo U, Kricek F, Ruf C, Peserico A, Amadori A, Cancian M. Effects of
complement Inactivation and IgG depletion on skin reactivity to autologous serum
in chronic idiopathic urticaria. J Allergy Clin Immunol. 2000;106:567-572.
76. Pachlopnik JM,
interfere with
Horn MP,
diagnostic
for
autoantibodies may
2004;22:43-51.
77. Jones AM, Honour JW. Unusual Results From Immunoasssays and the Role of the
Clinical Endocrinologist. Clin Endocrinol. 2006;64:234-244.
78. Goryachkina LA, Nenasheva
NM,
Borzova EU.
Lorini M,
Serum
skin
Skov PS.
Validation of basophil
histamine release against the autologous serum skin test and outcome of serum
induced
basophil
histamine
release
102
83. ODonnell BF, Barr RM,
Kobza Black A.
Intravenous immunoglobulin in
against the
High-affinity
serum skin
Labcare.
The UKs
Leading
Independent
Centrifuge Specialist.
and
clinical implication.