Anda di halaman 1dari 18

Sejarah tentang BBTKL Yogjakarta

Balai/Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BTKLPP) di


seluruh Indonesia berjumlah 10, yang terdiri dari : empat Balai Besar yaitu BBTKLPP
Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, dan Banjarbaru; lima BTKLPP Kelas I yaitu BTKLPP
Batam, Palembang, Makassar, Manado, dan Medan; dan satu BTKLPP Kelas II yaitu
BTKLPP Ambon. Perjalanan menjadi organisasi seperti sekarang ini telah melewati
rentang waktu cukup panjang yang berawal sejak sebelum kemerdekaan Republik
Indonesia diproklamasikan.
Sebelum Kemerdekaan
Pada tahun 1900 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Dienst voor de Volksgezondheid
atau kantor layanan kesehatan masyarakat. Kantor ini mempunyai satu bagian yang disebut
Technische Gezondheid Werken yang mempunyai tugas melakukan pembangunan
penyediaan air minum dari beraneka macam sumber air serta mengadakan pengawasan
kualitas produksi air minum dan minuman. Selanjutnya di tahun 1920 kantor ini
mendirikan Proefstation voor Rivierwater Zuivering voor Drinkwater yang berkedudukan
di daerah Manggarai yang sekarang dikenal sebagai Kelurahan Manggarai, Kecamatan
Tebet, Jakarta Selatan. Di bawah pimpinan Ir. CP.Mom unit ini melakukan penyelidikan
lapangan, pengolahan, pencarian sumber air dan rancangan konstruksi guna menunjang
tugas Technische Gezondheid. Pada tahun 1935 Proefstation voor Rivierwater Zuivering
voor Drinkwater dipindahkan ke Bandung dan berganti nama menjadi Laboratorium voor
Technische Hygiene en Drinkwater voor Zuivering van de Volks Gezondheid bertempat di
dalam kompleks Technische Hoogeschool yang sekarang dikenal dengan nama Institut
Teknologi Bandung, yang mana pada saat itu Ir. CP. Mom diangkat menjadi guru besar,
sehingga namanya menjadi Prof.Ir.CP. Mom. Pada zaman pendudukan Jepang (tahun
1942-1945) Laboratorium voor Technische Hygiene en Drinkwater voor Zuivering
bernaung di bawah Kementerian Pengajaran di bawah pimpinan Ir. Yuna dan berubah
nama menjadi Kogiyo Dai Gakku.
Perpindahan ke Yogyakarta
Setelah proklamasi kemerdekaan RI, laboratorium ini diganti nama menjadi Laboratorium
Kesehatan Teknik (LKT) dibawah pimpinan Bapak Kahar yang dalam pelaksanaan
tugasnya bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Teknik (STT) yang dipimpin Prof. Ir.
Rooseno sebagai direkturnya. Pada tahun 1953 LKT berganti nama menjadi Lembaga
Ilmu Kesehatan Teknik Bandung Cabang Yogyakarta, selanjutnya pada tahun 1954
Departemen Kesehatan menyerahkan Lembaga Ilmu Kesehatan Teknik Bandung kepada
ITB, sedangkan Lembaga Ilmu Kesehatan Teknik Bandung Cabang Yogyakarta pada tahun
1967 kembali bernama Laboratorium Kesehatan Teknik Yogyakarta di bawah Biro
V/Umum, Bagian Teknik Umum dan Teknik Penyehatan, Sekretariat Jenderal Departemen
Kesehatan RI.

Perubahan Nama Menjadi BTKL


Pada tanggal 28 April 1978 terbit Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
143/Men.Kes/SK/IV/1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan. Berdasarkan keputusan ini BTKL adalah Unit Pelaksana Teknis di
bidang kesehatan lingkungan dalam lingkungan Departemen Kesehatan yang berada di
bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Instalasi Kesehatan, Direktorat
Jenderal Pelayanan Kesehatan. Tugas BTKL adalah melaksanakan pemeriksaan spesimen
kesehatan lingkungan yang meliputi air minum, air badan air, air kolam renang, air
pemandian, air tanah, air laut, udara, kebisingan dan buangan padat, cair serta gas, sesuai
dengan kebijaksanaan yang ditetapkan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Untuk melaksanakan tugas tersebut BTKL menyelenggarakan fungsi sebagai
berikut: melaksanakan pemeriksaan, analisa, dan perumusan terhadap spesimen kesehatan
lingkungan secara laboratorium dalam bidang biologi dan kimia serta fisika; memberikan
pelayanan cara-cara pemecahan masalah secara kimia-fisika dan kimiabiologi terhadap
zat cair, zat padat dan gas; melaksanakan sistem rujukan; sebagai tempat latihan di bidang
teknik kesehatan lingkungan.
Pembentukan BTKL Jakarta dan Surabaya
Pada tahun 1981, BTKL Yogyakarta membetuk pos Jakarta yang diserahi tugas untuk
membantu pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BTKL Yogyakarta di wilayah Provinsi
DKI Jakarta dan Jawa Barat. Pada tahun 1982 dibentuk pos Surabaya yang diserahi tugas
untuk membantu pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BTKL Yogyakarta di wilayah Jawa
Timur dan sekitarnya. Pada tahun 1989 terbit Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
426/Menkes/SK/VI/1989 yang melimpahkan kedudukan BTKL dari Direktur Instalasi
Kesehatan, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan kepada Direktur Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Dirjen PPM &
PLP). Pada tanggal 3 Desember 1992, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1502/SJ/SK/BO/XII/1992 dibentuklah Tim Pelembagaan BTKL Jakarta dan BTKL
Surabaya dengan tugas mempelajari dokumen BTKL yang akan dilembagakan,
mengadakan pengkajian keadaan BTKL dan menyusun konsep serta memproses
pelembagaan BTKL. Pada tahun 1993, usulan pelembagaan kedua BTKL Pos diulangi
dengan Surat Menteri Kesehatan Nomor HK.00.SJ.VI.1993 tanggal 6 Agustus 1993.
Usulan ini disetujui dengan adanya Surat Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor B-1114/I/93 tanggal 15 Oktober 1993. Selain persetujuan pembentukan
BTKL Jakarta dan Surabaya, juga ditetapkan ketiga BTKL menjadi UPT dengan eselon
IIIb yang dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1023/Menkes/SK/XI/1993 tanggal 22 November 1993 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Balai Teknik Kesehatan Lingkungan. Perubahan yang ada dibandingkan dengan surat
keputusan sebelumnya adalah posisi BTKL dalam SK tersebut berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Tugas BTKL adalah melaksanakan pemeriksaan
dan rujukan spesimen kesehatan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Untuk melaksanakan tugas tersebut BTKL menyelenggarakan fungsi :


pemeriksaan dan rekomendasi analisis hasil pemeriksaan spesimen kesehatan lingkungan
secara laboratorium di bidang kimia, fisika dan biologi; pelayanan teknis pemecahan
masalah di bidang kesehatan lingkungan; pelaksanaan sistem rujukan di bidang
pemeriksaan spesimen kesehatan lingkungan; pengkajian dan pengembangan teknologi
tepat guna di bidang kesehatan lingkungan; pengendalian mutu pemeriksaan dan kalibrasi
peralatan untuk pemeriksaan specimen kesehatan lingkungan; serta sebagai tempat
pelatihan di bidang teknik kesehatan lingkungan.
Pembentukan BTKL Medan, Batam, Ujung Pandang dan Banjarmasin
Pada tanggal 21 April 1998 terbit Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
392/Menkes/SK/IV/1998 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan Medan, Batam, Ujung Pandang dan Banjarmasin. Dalam lampiran surat
keputusan ini tempat kedudukan dan wilayah kerja masing-masing BTKL baru adalah
sebagai berikut: BTKL Medan bertempat di Medan dengan Wilayah Kerja Provinsi D.I.
Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat; BTKL Batam bertempat di Batam dengan
wilayah kerja Provinsi Riau, Jambi, dan Kalimantan Barat; BTKL Ujung Pandang
bertempat di Ujung Pandang dengan wilayah kerja seluruh Provinsi di Sulawesi, Maluku
dan Irian Jaya; dan BTKL Banjarmasin bertempat di Banjarbaru dengan wilayah kerja
Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Surat keputusan
ini menetapkan tugas BTKL yaitu melaksanakan pelayanan teknis pemecahan masalah di
bidang kesehatan lingkungan melalui pengkajian dampak kesehatan lingkungan, penapisan
IPTEK kesehatan lingkungan, dan pengembangan teknologi tepat guna di bidang
kesehatan lingkungan dengan menyelenggarakan fungsi pengkajian dampak kesehatan
lingkungan; pelayanan teknik dalam rangka pemecahan masalah kesehatan lingkungan;
penapisan IPTEK kesehatan lingkungan; pengembangan model/propotipe teknologi tepat
guna di bidang kesehatan lingkungan; pengendalian mutu pemeriksaan dan kalibrasi
peralatan pemantauan kesehatan lingkungan; penyediaan sarana pendidikan dan pelatihan
serta penelitian dan pengembangan; penyelenggaraan laboratorium kesehatan lingkungan
dalam mendukung pelaksanaan tugas.
Perubahan Eselon IIIb Menjadi IIIa
Pada tanggal 21 Desember 1998 terbit Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1500/Menkes/SK/XII/1998 tentang Perubahan Jabatan Struktural Eselon III ke bawah
dalam Lampiran I Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1985 tentang Jenjang Pangkat dan
Tunjangan Jabatan Struktural Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir dengan
Keputusan Presiden Nomor 58 tahun 1998. Dalam keputusan ini disampaikan perubahan
menjadi eselon IIIa untuk Kepala BTKL Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta dan eselon IVa
untuk Kepala Sub Bagian dan Kepala Seksi BTKL Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta.

Penambahan Menjadi 10 BTKL dan Pengelompokan Tipe BTKL


Pada tanggal 14 September 1999 terbit Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1095/Menkes/SK/IX/1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan. Dalam keputusan ini BTKL dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu Tipe A
dan Tipe B. BTKL Tipe A terdiri dari : Subbag Tata Usaha; Seksi Tata Operasional; Seksi
Pelayanan Teknik dan Unit Pelaksana Fungsional, sedangan BTKL Tipe B terdiri dari
Subbag Tata Usaha dan Unit Pelaksana Fungsional. Keputusan ini juga menambah jumlah
BTKL yang semula 7 menjadi 10 yang terdiri dari 3 Tipe A dan 7 Tipe B dengan beberapa
penyesuaian wilayah kerja sebagai berikut:

BTKL Tipe A : Yogyakarta (dengan wilayah kerja D.I. Yogyakarta dan Jawa
Tengah); Surabaya (dengan wilayah kerja Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, dan Timor
Timur); Jakarta (dengan wilayah kerja DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Lampung)
BTKL Tipe B : Medan (dengan wilayah kerja D.I. Aceh dan Sumatera Utara);
Batam (dengan wilayah kerja Riau, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat);
Banjarmasin (dengan wilayah kerja Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Timur); Ujung Pandang (dengan wilayah kerja Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tenggara); Palembang (dengan wilayah kerja Sumatera Selatan,
Bengkulu, dan Jambi); Manado (dengan wilayah kerja Sulawesi Utara dan
Sulawesi Tengah); dan Ambon (dengan wilayah kerja Maluku dan Irian Jaya)

Perubahan Rumusan Kedudukan BTKL


Pada tanggal 7 Juni 2002 terbit Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
556/Menkes/SK/VI/2002 tentang Perubahan Rumusan Kedudukan Unit Pelaksana Teknis
di Lingkungan Departemen Kesehatan yang mengubah Pasal 1 Kepmenkes RI Nomor
1095/Menkes/SK/IX/1999 yang semula menyebutkan bahwa BTKL adalah UPT di bidang
pelayanan kesehatan lingkungan yang secara teknis dibina oleh Direktorat Jenderal yang
mengurus pembinaan teknis pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan
pemukiman serta secara administrasi dan operasional berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan di mana BTKL
tersebut berlokasi dan dipimpin seorang Kepala menjadi BTKL adalah UPT di lingkungan
Departemen Kesehatan yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan dan dipimpin oleh seorang Kepala yang
bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal dan Kepala BTKL dalam melaksanakan tugas
teknis secara fungsional dibina oleh Direktur Penyehatan Lingkungan.
Perubahan BTKL Menjadi BTKLPPM
Pada tanggal 8 Maret 2004 terbit Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
267/Menkes/SK/III/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di
Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular. Dengan
terbitnya SK ini mengubah BTKL menjadi BTKLPPM yang mengamanahkan tugas untuk

melaksanakan surveilans epidemiologi, kajian dan penapisan teknologi, laboratorium


rujukan, kendali mutu, kalibrasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan model dan
teknologi tepat guna, kewaspadaan dini dan penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
di bidang pemberantasan penyakit menular dan kesehatan lingkungan serta kesehatan
matra. Dalam melaksanakan tugas tersebut diselenggaraan fungsi: pelaksanaan surveilans
epidemiologi; pelaksanaan analisis dampak kesehatan lingkungan, pelaksanaan
laboratorium rujukan, pelaksanaan pengembangan model dan teknologi tepat guna,
pelaksanaan uji kendali mutu dan kalibrasi; pelaksanaan penilaian dan respon cepat,
kewaspadaan dini dan penanggulangan KLB/wabah dan bencana.
Menurut surat
keputusan ini kedudukan B/BTKL PPM berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan. Peraturan ini juga mengubah klasifikasi dan wilayah kerja masing-masing
B/BTKL PPM sebagai berikut :

BBTKLPPM : Yogyakarta (dengan wilayah kerja D.I. Yogyakarta dan Jawa


Tengah); Surabaya (dengan wilayah kerja Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT);
Jakarta (dengan wilayah kerja DKI Jakarta, Jawa Barat dan Lampung, Banten, dan
Kalimantan Barat)
BTKL Kelas I : Medan (dengan wilayah kerja NAD, Sumatera Barat, dan
Sumatera Utara); Batam (dengan wilayah kerja Riau dan Jambi); Banjarbaru
(dengan wilayah kerja Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan
Timur); Makassar (dengan wilayah kerja Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah, dan
Sulawesi Tenggara); dan Palembang (dengan wilayah kerja Sumatera Selatan,
Bengkulu, dan Bangka Belitung)
BTKL Kelas II : Manado (dengan wilayah kerja Sulawesi Utara, Gorontalo, dan
Maluku Utara); dan Ambon (dengan wilayah kerja Maluku dan Papua)

Pada tanggal 24 September 2008 Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri


Kesehatan Nomor 891/Menkes/Per/IX/2008 tentang Perubahan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 267/Menkes/SK/III/2004 yang intinya menaikkan BTKLPPM Kelas I
Banjarbaru menjadi Balai Besar dan BTKLPPM kelas II Manado menjadi BTKLPPM
Kelas I, serta mengubah beberapa wilayah kerja di regional masing-masing B/BTKLPPM
sehubungan dengan adanya pemekaran wilayah provinsi.
Perubahan B/BTKLPPM Menjadi B/BTKLPP
Pada tanggal 22 November 2011 diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
2349/Menkes/PER/XI/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di
Bidang Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit. Keputusan ini
dikeluarkan dengan pertimbangan adanya perubahan pada organisasi dan tata kerja
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan sehingga perlu
dilakukan penyesuaian pada Unit Pelaksana Teknis di bawahnya. Perubahan ini juga
mengingat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan.

Beberapa perubahan yang terjadi dengan terbitnya Keputusan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Kedudukan : BBTKL PP, BBTKL PP Kelas I, BBTKL PP Kelas II adalah Unit
Pelaksana Teknis di Lingkungan Kementerian Kesehatan yang berada di bawah
dan bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan;
2. Tugas: BBTKLPP mempunyai tugas melaksanakan surveilans epidemiologi, kajian
dan penapisan teknologi, laboratorium rujukan, kendali mutu, kalibrasi, pendidikan
dan pelatihan, pengembangan metode dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini
dan penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) di bidang pengendalian
penyakit dan kesehatan lingkungan serta kesehatan matra;
3. Penambahan satu fungsi baru berupa Pelaksanaan surveilans faktor risiko
penyakit tidak menular;
4. Pembinaan Kepala BBTKLPP secara administratif dibina oleh Sekretariat
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehtaan Lingkungan serta
secara teknis fungsional dibina oleh Direktorat di Lingkungan Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan;
5. Penambahan spesifikasi tugas di Bidang surveillans Epidemiologi yaitu
melaksanakan perencanaan dan evaluasi di bidang surveilans epidemiologi
penyakit menular dan penyakit tidak menular, advokasi dan fasilitasi
kesiapsiagaan dan penanggulangan KLB, kajian dan diseminasi informasi
kesehatan lingkungan, kesehatan matra, kemitraan dan jejaring kerja, serta
pendidikan dan pelatihan bidang surveilans epidemiologi;
6. Penambahan spesifikasi tugas di Bidang Pengembangan teknologi dan
laboratorium yaitu melaksanakan perencanaan dan evaluasi pengembangan dan
penapisan teknologi dan laboratorium, kemitraan dan jejaring kerja kesehatan
lingkungan, kesehatan matra, serta pendidikan dan pelatihan bidang pengembangan
teknologi dan laboratorium pengendalian penyakit, kesehatan lingkungan dan
kesehatan matra;
7. Perubahan nama Seksi teknologi Pembernatasan Penyakit Menular menjadi Seksi
Teknologi Pengendalian Penyakit;
8. Perubahan seluruh kalimat yang semula berbunyi pemberantasan penyakit menular
menjadi pengendalian penyakit.
Dengan berlakunya peraturan baru ini maka Keputusan Menteri Kesehatan RI No
267/Menkes/SK/III/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permenkes
No.891/Menkes/Per/Per/IX/2008
tentang
Perubahan
atas
Kepmenkes
No
267/Menkes/SK/III/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di
Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular dinyatakan
tidak berlaku.
Tatalaksana dari organisasi akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Kesehatan
dan Semua ketentuan pelaksanaan dari Keputusan Menteri Kesehatan RI No
267/Menkes/SK/III/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permenkes

No.891/Menkes/Per/Per/IX/2008
tentang
Perubahan
atas
Kepmenkes
No
267/Menkes/SK/III/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di
Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular tetap
berlaku sepanjang belum diganti atau ditetapkan berdasarkan peraturan ini.
Penanganan Limbah Infeksius Klinis dan Biologis
Limbah Klinik
1. Pengertian limbah klinik
Limbah yang dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin pembedahan dan
di unit-unit resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan
resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum . Oleh karena itu perlu diberi
label yang jelas sebagai resiko tinggi. Contoh limbah jenis tersebut ialah perban
atau pembungkus yang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi,
jarum-jarum dan suntik bekas, kantung urine dan produk darah.
2. Pengelolaan limbah klinik
Pengelolaan limbah klinik dilakukan dengan berbagai cara. Yang diutamakan
adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam volume,
penggunaan kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle),
dan pengolahan (treatment). Berikut adalah beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna yang
menyangkut hal-hal berikut:
a) Pemisahan Limbah
Limbah harus dipisahkan dari sumbernya
Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas
Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang
berbeda yang menunjukkan kemana kantong plastik harus diangkut
untuk insinerasi atau dibuang.
3. Penyimpanan Limbah
Dibeberapa Negara kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai gantinya
dapat digunkanan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal
sehingga dapat diperloleh dengan mudah) kantung kertas ini dapat ditempeli
dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan ditong dengan kode warna
dibangsal dan unit-unit lain.
4. Penanganan Limbah
Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah terisi 2/3 bagian.
Kemudian diikiat bagian atasnya dan diberik label yang jelas.
Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga jika
dibawa mengayun menjauhi badan limbah tidak tercecer keluar dan
diletakkan ditempat tertentu untuk dikumpulkan.
Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan
warna yang sama telah dijadikan satu dan dikirimkan ketempat yang
sesuai.

Kantung harus disimpan pada kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan
hewan perusak sebelum diangkut ketempat pembuangan.

Pengolahan Secara Biologi


Semua air buangan yang biodegradable dapat diolah secara biologi. Sebagai pengolahan
sekunder, pengolahan secara biologi dipandang sebagai pengolahan yang paling murah dan
efisien. Dalam beberapa dasawarsa telah berkembang berbagai metode pengolahan biologi
dengan segala modifikasinya. Pada dasarnya, reaktor pengolahan secara biologi dapat
dibedakan atas dua jenis, yaitu:
1.
2.

Reaktor pertumbuhan tersuspensi (suspended growth reaktor);


Reaktor pertumbuhan lekat (attached growth reaktor).

Di dalam reaktor pertumbuhan tersuspensi, mikroorganisme tumbuh dan berkembang


dalam keadaan tersuspensi. Proses lumpur aktif yang banyak dikenal berlangsung dalam
reaktor jenis ini. Proses lumpur aktif terus berkembang dengan berbagai modifikasinya,
antara lain: oxidation ditch dan kontak-stabilisasi. Dibandingkan dengan proses lumpur
aktif konvensional, oxidation ditch mempunyai beberapa kelebihan, yaitu efisiensi
penurunan BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan 80%-85%) dan lumpur yang
dihasilkan lebih sedikit. Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi
mempunyai kelebihan yang lain, yaitu waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam).
Proses kontak-stabilisasi dapat pula menyisihkan BOD tersuspensi melalui proses absorbsi
di dalam tangki kontak sehingga tidak diperlukan penyisihan BOD tersuspensi dengan
pengolahan pendahuluan.
Kolam oksidasi dan lagoon, baik yang diaerasi maupun yang tidak, juga termasuk dalam
jenis reaktor pertumbuhan tersuspensi. Untuk iklim tropis seperti Indonesia, waktu detensi
hidrolis selama 12-18 hari di dalam kolam oksidasi maupun dalam lagoon yang tidak
diaerasi, cukup untuk mencapai kualitas efluen yang dapat memenuhi standar yang
ditetapkan. Di dalam lagoon yang diaerasi cukup dengan waktu detensi 3-5 hari saja.
Di dalam reaktor pertumbuhan lekat, mikroorganisme tumbuh di atas media pendukung
dengan membentuk lapisan film untuk melekatkan dirinya. Berbagai modifikasi telah
banyak dikembangkan selama ini, antara lain:
1.
2.
3.
4.

Trickling filter
Cakram biologi
Filter terendam
Reaktor fludisasi

Seluruh modifikasi ini dapat menghasilkan efisiensi penurunan BOD sekitar 80%-90%.
Ditinjau dari segi lingkungan dimana berlangsung proses penguraian secara biologi, proses
ini dapat dibedakan menjadi dua jenis:
1.

Proses aerob, yang berlangsung dengan hadirnya oksigen.

2.

Proses anaerob, yang berlangsung tanpa adanya oksigen.

Apabila BOD air buangan tidak melebihi 400 mg/l, proses aerob masih dapat dianggap
lebih ekonomis dari anaerob. Pada BOD lebih tinggi dari 4000 mg/l, proses anaerob
menjadi lebih ekonomis.
PENANGANAN LIMBAH B3
Pengertian B3
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha
dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat
dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
Intinya adalah setiap materi yang karena konsentrasi dan atau sifat dan atau jumlahnya
mengandung B3 dan membahayakan manusia, mahluk hidup dan lingkungan, apapun jenis
sisa bahannya.
Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu
kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena
sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya
yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan
lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.
Tujuan pengelolaan limbah B3
Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau
kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan
kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
Dari hal ini jelas bahwa setiap kegiatan/usaha yang berhubungan dengan B3, baik
penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun B3, harus
memperhatikan aspek lingkungan dan menjaga kualitas lingkungan tetap pada kondisi
semula. Dan apabila terjadi pencemaran akibat tertumpah, tercecer dan rembesan limbah
B3, harus dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi
semula.

Identifikasi limbah B3
Pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu:

Berdasarkan sumber

Berdasarkan karakteristik

Golongan limbah B3 yang berdasarkan sumber dibagi menjadi:

Limbah B3 dari sumber spesifik;


Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan buangan
produk yang tidak memenuhi spesifikasi.

Sedangkan golongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristik ditentukan dengan:

mudah meledak;
pengoksidasi;
sangat mudah sekali menyala;
sangat mudah menyala;
mudah menyala;
amat sangat beracun;
sangat beracun;
beracun;
berbahaya;
korosif;
bersifat iritasi;
berbahayabagi lingkungan;
karsinogenik;
teratogenik;
mutagenik.

Karakteristik limbah B3 ini mengalami pertambahan lebih banyak dari PP No. 18 tahun
1999 yang hanya mencantumkan 6 (enam) kriteria, yaitu:

mudah meledak;
mudah terbakar;
bersifat reaktif;
beracun;
menyebabkan infeksi;
bersifat korosif.

Peningkatan karakteristik materi yang disebut B3 ini menunjukan bahwa pemerintah


sebenarnya memberikan perhatian khusus untuk pengelolaan lingkungan Indonesia. Hanya
memang perlu menjadi perhatian bahwa implementasi dari Peraturan masih sangat kurang
di negara ini.

Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) tidak dapat begitu saja
ditimbun, dibakar atau dibuang ke lingkungan , karena mengandung
bahan yang dapat membahayakan manusia dan makhluk hidup lain.
Limbah ini memerlukan cara penanganan yang lebih khusus dibanding
limbah yang bukan B3. Limbah B3 perlu diolah, baik secara fisik, biologi,
maupun kimia sehingga menjadi tidak berbahaya atau berkurang daya
racunnya. Setelah diolah limbah B3 masih memerlukan metode
pembuangan yang khusus untuk mencegah resiko terjadi pencemaran.
Beberapa metode penanganan limbah B3 yang umumnya diterapkan
adalah sebagai berikut.
1. Metode pengolahan secara kimia, fisik dan biologi
Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan secara kimia, fisik, atau
biologi. Proses pengolahan limbah B3 secara kimia atau fisik yang
umumnya dilakukan adalah stabilisasi/ solidifikasi . stabilisasi/solidifikasi
adalah proses pengubahan bentuk fisik dan sifat kimia dengan
menambahkan bahan peningkat atau senyawa pereaksi tertentu untuk
memperkecil atau membatasi pelarutan, pergerakan, atau penyebaran
daya racun limbah, sebelum dibuang. Contoh bahan yang dapat
digunakan untuk proses stabilisasi/solidifikasi adalah semen, kapur
(CaOH2), dan bahan termoplastik.
Metode insinerasi (pembakaran) dapat diterapkan untuk memperkecil volume B3 namun
saat melakukan pembakaran perlu dilakukan pengontrolan ketat agar gas beracun hasil
pembakaran tidak mencemari udara.
Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang telah cukup berkembang saat ini dikenal
dengan istilah bioremediasi dan viktoremediasi. Bioremediasi adalah penggunaan bakteri
dan mikroorganisme lain untuk mendegradasi/ mengurai limbah B3, sedangkan
Vitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi
bahan-bahan beracun dari tanah. Kedua proses ini sangat bermanfaat dalam mengatasi
pencemaran oleh limbah B3 dan biaya yang diperlukan lebih muran dibandingkan dengan
metode Kimia atau Fisik. Namun, proses ini juga masih memiliki kelemahan. Proses
Bioremediasi dan Vitoremediasi merupakan proses alami sehingga membutuhkan waktu
yang relatif lama untuk membersihkan limbah B3, terutama dalam skala besar. Selain itu,
karena menggunakan makhluk hidup, proses ini dikhawatirkan dapat membawa senyawasenyawa beracun ke dalam rantai makanan di ekosistem.
2.

Metode Pembuangan Limbah B3

a.

Sumur dalam/ Sumur Injeksi (deep well injection)

Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia adalah
dengan cara memompakan limbah tersebut melalui pipa kelapisan batuan yang dalam, di
bawah lapisan-lapisan air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teori, limbah B3

ini akan terperangkap dilapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air.
Namun, sebenarnya tetap ada kemungkinan terjadinya kebocoran atau korosi pipa atau
pecahnya lapisan batuan akibat gempa sehingga limbah merembes kelapisan tanah.
b.

Kolam penyimpanan (surface impoundments)

limbah B3 cair dapat ditampung pada kolam-kolam yang memang dibuat untuk
limbah B3. Kolam-kolam ini dilapisi lapisan pelindung yang dapat mencegah perembesan
limbah. Ketika air limbah menguap, senyawa B3 akan terkosentrasi dan mengendap di
dasar. Kelemahan metode ini adalah memakan lahan karena limbah akan semakin
tertimbun dalam kolam, ada kemungkinan kebocoran lapisan pelindung, dan ikut
menguapnya senyawa B3 bersama air limbah sehingga mencemari udara.
c.

Landfill untuk limbah B3 (secure landfils)

limbah B3 dapat ditimbun pada landfill, namun harus pengamanan tinggi. Pada
metode pembuangan secure landfills, limbah B3 ditempatkan dalam drum atau tong-tong,
kemudian dikubur dalam landfill yang didesain khusus untuk mencegah pencemaran
limbah B3. Landffill ini harus dilengkapi peralatan moditoring yang lengkap untuk
mengontrol kondisi limbah B3 dan harus selalu dipantau. Metode ini jika diterapkan
dengan benar dapat menjadi cara penanganan limbah B3 yang efektif. Namun, metode
secure landfill merupakan metode yang memliki biaya operasi tinggi, masih ada
kemungkinan terjadi kebocoran, dan tidak memberikan solusi jangka panjang karena
limbah akan semakin menumpuk.
Pengelolaan dan pengolahan limbah B3
Pengelolaan limbah B3 meliputi kegiatan pengumpulan, pengangkutan, pemanfatan,
pengolahan dan penimbunan.
Setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 harus mendapatkan perizinan dari Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) dan setiap aktivitas tahapan pengelolaan limbah B3 harus
dilaporkan ke KLH. Untuk aktivitas pengelolaan limbah B3 di daerah, aktivitas kegiatan
pengelolaan selain dilaporkan ke KLH juga ditembuskan ke Bapedalda setempat.
Pengolahan limbah B3 mengacu kepada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (Bapedal) Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tertanggal 5 September 1995
tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pengolahan limbah B3 harus memenuhi persyaratan:
1. Lokasi pengolahan
Pengolahan B3 dapat dilakukan di dalam lokasi penghasil limbah atau di luar lokasi
penghasil limbah. Syarat lokasi pengolahan di dalam area penghasil harus:

daerah bebas banjir;

jarak dengan fasilitas umum minimum 50 meter;


Syarat lokasi pengolahan di luar area penghasil harus:

1.
2.
3.
4.
5.

daerah bebas banjir;


jarak dengan jalan utama/tol minimum 150 m atau 50 m untuk jalan lainnya;
jarak dengan daerah beraktivitas penduduk dan aktivitas umum minimum 300 m;
jarak dengan wilayah perairan dan sumur penduduk minimum 300 m;dan
jarak dengan wilayah terlindungi (spt: cagar alam,hutan lindung) minimum 300 m.

2. Fasilitas pengolahan
Fasilitas pengolahan harus menerapkan sistem operasi, meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

sistem kemanan fasilitas;


sistem pencegahan terhadap kebakaran;
sistem pencegahan terhadap kebakaran;
sistem penanggulangan keadaan darurat;
sistem pengujian peralatan;dan
pelatihan karyawan.
Keseluruhan sistem tersebut harus terintegrasi dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam pengolahan limbah B3 mengingat jenis limbah yang ditangani
adalah limbah yang dalam volume kecil pun berdampak besar terhadap lingkungan.
1) Penanganan limbah B3 sebelum diolah
Setiap limbah B3 harus diidentifikasi dan dilakukan uji analisis kandungan guna
menetapkan prosedur yang tepat dalam pengolahan limbah tersebut. Setelah uji analisis
kandungan dilaksanakan, barulah dapat ditentukan metode yang tepat guna pengolahan
limbah tersebut sesuai dengan karakteristik dan kandungan limbah.
2) Pengolahan limbah B3
Jenis perlakuan terhadap limbah B3 tergantung dari karakteristik dan kandungan
limbah. Perlakuan limbah B3 untuk pengolahan dapat dilakukan dengan proses
sbb:
1.
proses secara kimia, meliputi: redoks, elektrolisa, netralisasi, pengendapan,
stabilisasi, adsorpsi, penukaran ion dan pirolisa.
2.
proses secara fisika, meliputi: pembersihan gas, pemisahan cairan dan
penyisihan komponen-komponen spesifik dengan metode kristalisasi, dialisa,
osmosis balik, dll.
3.
proses stabilisas/solidifikasi, dengan tujuan untuk mengurangi potensi racun
dan kandungan limbah B3 dengan cara membatasi daya larut, penyebaran, dan
daya racun sebelum limbah dibuang ke tempat penimbunan akhir
4.
proses insinerasi, dengan cara melakukan pembakaran materi limbah
menggunakan alat khusus insinerator dengan efisiensi pembakaran harus
mencapai 99,99% atau lebih. Artinya, jika suatu materi limbah B3 ingin
dibakar (insinerasi) dengan berat 100 kg, maka abu sisa pembakaran tidak
boleh melebihi 0,01 kg atau 10 gr

Tidak keseluruhan proses harus dilakukan terhadap satu jenis limbah B3, tetapi
proses dipilih berdasarkan cara terbaik melakukan pengolahan sesuai dengan
jenis dan materi limbah.
3) Hasil pengolahan limbah B3
Memiliki tempat khusus pembuangan akhir limbah B3 yang telah diolah dan
dilakukan pemantauan di area tempat pembuangan akhir tersebut dengan jangka
waktu 30 tahun setelah tempat pembuangan akhir habis masa pakainya atau
ditutup.
Perlu diketahui bahwa keseluruhan proses pengelolaan, termasuk penghasil limbah
B3, harus melaporkan aktivitasnya ke KLH dengan periode triwulan (setiap 3 bulan
sekali).
Teknologi Pengolahan
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling
populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization, dan
incineration.
1. Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. TUjuan
utama dari chemical conditioning ialah:

menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur

mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur

mendestruksi organisme patogen

memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih


memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses
digestion

mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan


aman dan dapat diterima lingkungan
Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Concentration thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah
dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan
pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini
pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya
pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity
thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan
proses flotation pada tahapan awal ini.
b. Treatment, stabilization, and conditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan
menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses
pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia
berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia

dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan


memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan
destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses
destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang
terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic
digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation, chemical conditioning,
dan elutriation.
c. De-watering and drying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat
pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa
digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt
press.
d. Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang
terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan
composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary
landfill, crop land, atau injection well.
2. Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat
diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan
sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan
menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi
toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses
pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses
tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama.
Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6
golongan, yaitu:
Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah
dibungkus dalam matriks struktur yang besar
Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi
bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat
mikroskopik
Precipitation
Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia
pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan
menyerapkannya ke bahan padat
Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi
senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang
sama sekali
Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur
(CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah
metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai

solidifikasi/stabilitasi
diatur
oleh
BAPEDAL
berdasarkan
03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.

Kep

3. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam
teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah
hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan
solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya
memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak
kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun,
insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen
limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu,
insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil. Aspek penting dalam sistem
insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain
menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses
pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat
diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan
untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed,
open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved
air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan
karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
Proses Pembakaran (Inceneration) Limbah B3
Limbah B3 kebanyakan terdiri dari karbon, hydrogen dan oksigen. Dapat juga
mengandung halogen, sulfur, nitrogen dan logam berat. Hadirnya elemen lain dalam
jumlah kecil tidak mengganggu proses oksidasi limbah B3. Struktur molekul umumnya
menentukan bahaya dari suatu zat organic terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Bila molekul limbah dapat dihancurkan dan diubah menjadi karbon dioksida (CO 2), air dan
senyawa anorganik, tingkat senyawa organik akan berkurang. Untuk penghancuran dengan
panas merupakan salah satu teknik untuk mengolah limbah B3.
Inceneration adalah alat untuk menghancurkan limbah berupa pembakaran dengan kondisi
terkendali. Limbah dapat terurai dari senyawa organik menjadi senyawa sederhana seperti
CO2 dan H2O. Incenerator efektif terutama untuk buangan organik dalam bentuk padat,
cair, gas, lumpur cair dan lumpur padat. Proses ini tidak biasa digunakan limbah organik
seperti lumpur logam berat (heavy metal sludge) dan asam anorganik. Zat karsinogenik
patogenik dapat dihilangkan dengan sempurna bila insenerator dioperasikan. Incenerator
memiliki kelebihan, yaitu dapat menghancurkan berbagai senyawa organik dengan
sempurna, tetapi terdapat kelemahan yaitu operator harus yang sudah terlatih. Selain itu
biaya investasi lebih tinggi dibandingkan dengan metode lain dan potensi emisi ke
atmosfir lebih besar bila perencanaan tidak sesuai dengan kebutuhan operasional.

Daftar Pustaka

http://btkljogja.or.id/
https://nurkayat.wordpress.com/artikelku/penangganan-limbah-secara-biologis/
https://nurkayat.wordpress.com/artikelku/penangganan-limbah-secara-biologis/
http://arjuantorich.blogspot.com/2013/12/limbah-klinik-dan-b3.html

http://limbahb3-limbahb3.blogspot.com/
witasharer.blogspot
(www.menlh.go.id/i/art/pdf_1054679307.pdf)

Anda mungkin juga menyukai