Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN HYPERBILIRUBIN

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok
Mata Kuliah Keperawatan Anak
Dosen Pembimbing : Ns.Evrinica S.Kep

Disusun oleh:
1. Kristo Vorus
(30.01.12.00 )
2. Mutiara Magdalena (30.01.12.00 )
3. Yenita Rosyani
(30.01.2.0055)

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN PERDHAKI CHARITAS


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2015

KATA PENGANTAR
1

Segala puji serta rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkah
dan rahmat-Nyalah serta ridho-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini tentang HYPERBILIRUBIN. Dengan harapan makalah
ini dapat membantu mahasiswa/i dalam mempelajari mata kuliah keperawatan
anak.
Makalah ini merupakan salah satu tugas yang di berikan kepada kami
dalam rangka pengembangan dasar ilmu keperawatan anak yang berkaitan dengan
hyperbilirubin. Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk
menambah wawasan tentang pengetahuan keperawatan anak secara meluas.
Sehingga besar harapan kami, makalah yang kami sajikan dapat menjadi
konstribusi positif bagi pengembang wawasan pembaca.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini belum sempurna dan
masih perlu perbaikan serta penyempurnaan, baik dari segi materi maupun
pembahasan. Oleh sebab itu dengan lapang dada penulis akan menerima kritik dan
saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaan makalah ini dimasa
mendatang.
Demikianlah, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat
ikut memberikan sumbangan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Palembang,

Mei 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL..........................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...............................................................5
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................5
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Medis...........................................................7
2.1.1 Pengertian..................................................................7
2.1.2 Anatomi Fisiologi......................................................7
2.1.3 Etiologi......................................................................8
2.1.4 Manifestasi Klinis.....................................................8
2.1.5 Patofisiologi..............................................................9
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang............................................10
2.1.7 Komplikasi................................................................11
2.1.8 Penatalaksanaan .......................................................11
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan...................................13
2.2.1 Pengkajian ................................................................13
2.2.2 Diagnosa....................................................................14
2.2.3 Intervensi...................................................................14
2.2.4 Implementasi.............................................................16
2.5.5 Evaluasi.....................................................................16
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan.........................................................................17
4.2 Saran....................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
3

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini bertujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Indikator derajat kesehatan
masyarakat komponen kesehatan, diantaranya adalah Angka Kematian Ibu (AKI)
dan Angka Kematian Bayi (AKB). Indonesia masih menuai presentasi di ASEAN
(Association of South East Asia Nations). Angka kematian bayi di Indonesia
cukup tinggi yaitu : 26,9 / 2000 per kelahiran hidup, dan kenyataannya adalah
tingkat kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu indikator di suatu Negara.
Angka kematian Maternal dan Neonatal masih tinggi, salah satu faktor penting
dalam upaya penurunan angka tersebut dengan memberikan pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal yang berkualitas kepada masyarakat yang belum terlaksana.
Menurut Pola penyakit penyebab kematian bayi menunjukkan bahwa proporsi
penyebab kematian neonatal kelompok umur 0-7 hari tertinggi adalah premature
dan BBLR (35%), kemudian asfiksia lahir (33,6%). Penyakit penyebab kematian
neonatal kelompok umur 8-28 hari tertinggi adalah infeksi sebesar 57,1%
(termasuk tetanus 9,5%, sepsis, pneumonia, diare), kemudian feeding problem
(14,3%).
Berdasarkan data dari The Fifty Sixth Session of Regional Committee, WHO
(World Health Organization), pada tahun 2003, kematian bayi terjadi pada usia
neonatus dengan penyebab infeksi 33%, asfiksia/ trauma 28%, BBLR 24%,
kelainan bawaan 10%, dan lain-lain 5%. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi
baru lahir adalah ensefalopati biliaris (lebih dikenal sebagai kernikterus).
Ensefalopati biliaris merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat.
Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa
berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralysis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup. Ikterus adalah suatu keadaan kulit dan membran
mulkosa yang warnanya menjadi kuning akibat peningkatan jumlah pigmen
empedu di dalam darah dan jaringan tubuh. Hiperbiliirubin adalah suatu keadaan
dimana kadar bilirubiin mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi
menimbulkan

kern-ikterus,

jika

tidak

ditanggulangi

dengan

baik.

Sebagian besar hiperbilirubin ini proses terjadinya mempunyai dasar yang

patologik. Angka kejadian bayi hiperbilirubin berbeda di satu tempat ke tempat


lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam faktor penyebab seperti umur
kehamilan, berat badan lahir, jenis persalinan dan penatalaksanaan.
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah pada sebagian
neonates, ikterus akan di temukan pada minggu pertama dalam kehidupannya. Di
kemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan
dan 80 % pada bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat
patologik yang dapat menimbulkan gangguan menetap atau menyebabkan
kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian
terutama bilaikterus di temukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi. Proses
hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari satu minggu
serta bilirubin direk lebih dari1 mg/dl juga keadaan yang menunjukan
kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan
harus di lakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat di hindarkan
1.2 Rumusan Masalah
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Apa pengertian dari hiperbilirubin ?


Apa penyebab timbulnya hiperbilirubin pada anak ?
Bagaimana proses terjadinya hiperbilirubin pada anak ?
Bagaimana tanda dan gejala yang timbul dari hiperbilirubin pada anak ?
Apa saja pemeriksaan diagnostic untuk mengetahui kadar bilirubin ?
Bagaimana penatalaksanaan hiperbilirubin pada anak ?
Bagaimana asuhan keperawatan yang harus di lakukan pada pasien anak
yang terkena hiperbilirubin ?

1.3 Tujuan Pembahasan


Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain :
a.
b.
c.
d.

Mahasiswa mengetahui pengertian dari hiperbilirubin


Mahasiswa mengetahui penyebab timbulnya hiperbilirubin pada anak
Mahasiswa mengetahui proses terjadinya hiperbilirubin pada anak
Mahasiswa mengetahui tanda dan gejala yang timbul dari hiperbilirubin

pada anak
e. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan diagnostic dan penatalaksanaan
hiperbilirubin pada anak
f. Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan yang harus di lakukan pada
pasien anak yang terkena hiperbilirubin.

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Konsep Dasar Medis
2.1.1 Pengertian Hyperbilirubin

Hiperbilirubinemia adalah akumulasi berlebihan dari bilirubin di dalam


darah. (Wong, 2003 : 432)
Peningkatan kadar bilirubin serum dihubungkan dengan hemolisis sel
darah merah dari bilirubin yang tidak terkonjugasi dari usus kecil, yang ditandai
dengan joundice pada kulit, sklera mukosa, dan urine. (Mitayani, 2012 : 191)
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar
nilainya lebih dari normal. (Suriadi dan Rita, 2001 : 143). Menurut Klous dan
Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
1. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek (bilirubin bebas) yaitu
bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan
komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena
bisa melewati sawar darah otak.
2. Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk (bilirubin terikat) yaitu bilirubin
larut dalam air dan tidak toksik untuk otak.
2.1.2

Anatomi Fisiologi Hati


Hati, yang merupakan organ terbesar tubuh dapat dianggap sebagai sebuah

pabrik kimia yang membuat, menyimpan, mengubah, dan mengekskresikan


sejumlah besar substansi yang terlibat dalam metabolisme. Hati merupakan organ
yang penting khususnya dalam pengaturan metabolisme glukosa dan protein. Hati
membuat dan mengeksresikan empedu yang memegang peranan utama dalam
proses pencernaan serta penyerapan lemak dalam traktus gastrointestinal.
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh
sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup sel-sel Kupffer dari hati.
Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia
mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukuronat yang membuat bilirubin
lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi disekresikan
oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan akhirnya dibawa
dalam empedu ke duodenum.(Brunner & Suddart, 2001 : 1152).
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi bilirubin (merubah bilirubin
yang larut dalam lemak menjadi bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam

hati. Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah
dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Di dalam
hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor
membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati.
1.1.3

Etiologi

Etiologi pada bayi dengan hiperbilirubinemia diantaranya :


1. Produksi bilirubin berlebihan, yang dapat terjadi karena; polycethemia,
issoimun, hemolytic disease, kelainan struktur dan enzim sel darah merah,
keracunan obat (hemolisis kimia : salisilat, kortikosteroid, klorampenikol),
hemolisis ekstravaskuler, cephalhematoma, ecchymosis.
2. Gangguan fungsi hati; obstruksi empedu/atresia biliari, infeksi, masalah
3.
4.
5.
6.

metabolik; hypothyroidisme, jaundice ASI.


Gangguan pengambilan dan pengangkutan bilirubin dalam hepatosit.
Gagalnya proses konjugasi dalam mikrosom hepar.
Gangguan dalam ekskresi.
Peningkatan reabsorpsi pada saluran cerna (siklus enterohepatik).
(Mitayani, 2012 : 191) dan (Suriadi dan Rita, 2001 : 144)

1.1.4

Manifestasi Klinis
Manifestasi

klinik

yang

sering

dijumpai

pada

bayi

dengan

hiperbilirubinemia diantaranya :
1. Ikterus pada kulit dan konjungtiva, mukosa, dan alat-alat tubuh lainnya.
Bila ditekan akan timbul kuning.
2. Bilirubin direk ditandai dengan kulit kuning kehijauan dan keruh pada
ikterus berat.
3. Bilirubin indirek ditandai dengan kulit kuning terang pada ikterus berat.
4. Bayi menjadi lesu.
5. Bayi menjadi malas minum.
6. Tanda-tanda klinis ikterus jarang muncul.
7. Letargi.
8. Tonus otot meningkat.
9. Leher kaku.
10. Opistotonus.
1.1.5

Patofisiologi

Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.


Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin
plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat
terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia,
Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu
Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama
ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah
larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak
apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi
pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada
saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih
dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui
sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah ,
Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).
Patoflow Diagram

1.1.6

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya :

1. Tes Coomb pada tali pusat bayi baru lahir. Hasil positif tes Coomb indirek
menandakan adanya antibodi Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah
ibu.
2. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5
mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsis.
10

4. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan penurunan
kapasitas ikatan, terutama pada bayi praterm.
5. Hitung darah lengkap: Hb mungkin rendah (kurang dari 14 g/dl) karena
hemolisis. Ht mungkin meningkat (lebih besar dari 65 %) pada
polisitemia, penurunan (kurang dari 45 %) dengan hemolisis dan anemia
berlebihan.
6. Glukosa : kadar Dextrostix mungkin kurang dari 45 % glukosa darah
lengkap kurang dari 30 mg/dl, atau tes glukosa serum kurang dari 40
mg/dl bila bayi baru lahir hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan
lemak dan melepaskan asam lemak.
7. Daya ikat karbon dioksida. Penurunan kadar menunjukkan hemolisis.
8. Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan
penentuan bilirubin seru.
1.1.7

Komplikasi
Komplikasi yang biasa terjadi adalah sebagai berikut :

1. Ikterik ASI.
2. Kernik ikterus (bilirubin ensefalitis).
Menghilangkan bilirubin yang terkontaminasi, menggantikan faktor
koagulasi pada kernik ikterus, menghilangkan antibodi (Rh, ABO), dan hemolisis
yang menghasilkan sel darah merah, serta tersensititasi dari sel darah merah.

1.1.8 Penatalaksanaan
a. Pemberian fenobarbital ( mempercepat proses kkonjugasi)
Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam
baru terjadi penurunan bilirubin yangberarti. Mungkin lebih bermanfaat bila
diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan.
b. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya :
pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti
dengan plasma dosis 15 20 ml/kgbb. Pemebrian glukosa perlu untuk kojugasi
hepar sebagai sumber energi.
c. Melakukan dekompensasi bilirubin dengan fototerapi
Terapi sinar diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg %.
Terapisinar menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol
11

yang sulitlarut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air dan
dikeluarkan melalui urin, tinja, sehingga kadr bilirubin menurun. Pelaksanaan
Terapi Sinar :
a) Baringkan bayi telanjang, hanya genitalia yang ditutup (maksmal 500
jam) agar sinar dapat merata ke seluruh tubuh.
b) Kedua mata ditutup dengan penutup yang tidak tembus cahaya. Dapat
dengan kain kasa yang dilipat lipat dan dibalut.
c) Posisi bayi sebaiknya diubah ubah, telentang, tengkurap, setiap 6 jam
bila mungkin, agar sinar merata.
d) Pertahankan suhu bayi agar selalu 36,5-37 C, dan observasi suhu tiap
4- 6 jam sekali.
e) Perhatikan asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan meningkatkan
suhu tubuh bayi.
f) Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam setelah pemberian terapi 24 jam
g) Bila kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 mg % atau kurang, terapi
dihentikan walaupun belum 100 jam.
h) Pada kasus ikterus karena hemolisis, kadar Hb diperiksa tiap hari.

2.2. Konsep Dasar Keperawatan


2.2.1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Letargi, malas.
b. Sirkulasi
a) Mungkin pucat, menandakan anemia.
b) Bertempat tinggal di atas ketinggian 5000 ft.
c. Eliminasi
a) Bising usus hipoaktif.
b) Pasase mekonium mungkin lambat.
c) Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin.
d) Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
d. Makanan/cairan
a) Riwayat pelambatan/makan oral buruk, lebih mungkin disusui daripada
menyusu botol.
b) Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
e. Neurosensori
a) Sefalhematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran/kelahiran ekstraksi
vakum.
12

b) Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada


dengan inkompatibilitas Rh berat.
c) Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat.
d) Opistotonus dengan kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol,
menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
f. Pernapasan
a) Riwayat asfiksia.
b) Krekels, mukus bercak merah muda (edema pleural, hemoragi
pulmonal).
g. Keamanan
a) Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus.
b) Dapat mengalami ekimosis berlebihan,

petekie,

perdarahan

intrakranial.
c) Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada
bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
sebagai efek samping fototerapi.

2.2.2 Diagnosa
1.
2.
3.
2.2.3
1.

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan jounndice


Risiko terjadi injuri berhubungan dengan phototerapi
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan efek fototerapi
Intervensi
DP I : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan jounndice
Tujuan : Keutuhan kulit bayi dapat di pertahankan
Kriteria Hasil :
a. Kadar bilirubin dalam batas normal
b. Kulit tidak berwarna kuning
c. Daya hisap bayi meningkat
d. Pola BAB dan BAK normal
Intervensi :
1. Monitoring warna dan keadaan kulit setiap 4 8 jam
R/ untuk mengetahhui perubahan keadaan bayi
2. Monitoring keadaan bilirubin direks dan indireks
R/ untuk melaporkan data normal bilirubin
3. Ubah posisi miring atau tengkurap
4. Jaga kebersihan dan kelembaan kulit
R/ meningkatkan tingkat kenyamanan bayi

2. DP II : Risiko terjadi injuri berhubungan dengan phototerapi


Tujuan : tidak terjadi resiko cidera
Kriteria Hasil :

13

a. mempertahankan suhu tubuh dan keseimbangan cairan dalam batas


normal.
b. Bebas dari cedera kulit/ jaringan.
c. Mendemonstrasika pola interaksi yang di harapkan.
d. Menunjukan penurunan kadar bilirubin serum.
Intervensi :
1. Kaji adanya/ perkembangan bilier atau obstruksi usus.
R/ Fototerapi dikontraindikasikan pada kondisi ini karena fotoisomer
bilirubin yang di produksi dalam kulit dan jaringan subkutan dengan
pemajanan dalam terapi sinar tidak dapat siap di ekresikan.
2. Ukur kuantitas fotoenergi bola lampu fluoresen (sinar putih atau biru)
dengan menggunakan fotometer.
R/ Intensitas sinar menembus permukaan kulit dari spectrum biru
(sinar biru) menentukan seberapa dekat bayi di tempatkan terhadap
sinar.
3. Dokumentasikan tipe lampu fluoresen, jumlah jam total sejak bola
lampu di tempatkan, dan pengukuran jarak antara permukaan lampu
dan bayi.
R/ Emisi sinar dapat bekurang dengan jalannya waktu. Bayi harus di
tempatkan kira-kira 18-20 inci dari sumber lampu untuk keuntungan
maksimal.
4. Tutup testis dan penis bayi pria
R/ Mencegah kemungkinan kerusakan pada testis dari panas.
5. Pasang lapisan Plexigas diantara bayi dan sinar
R/Menyaring radiasi sinar ultraviolet (panjang gelombang lebih sedikit
dari 380 nm) dan melindungi bayi bila bola lampu pecah
6. Pantau kulit neonatus dan suhu inti setiap 2 jam atau lebih sering
sampai stabil (misal, suhu aksila 97,8F, suhu rektal 98,9F).
R/ Fluktuasi pada suhu tubuh dapat terjadi sebagai respons terhadap
pemajanan sinar, radiasi, dan konveksi.
7. Ubah posisi bayi setiap 2 jam
R/ Memungkinkan pemajanan seimbang dari permukaan kulit terhadap
sinar fluoresen, mencegah pemajanan berlebihan dari bagian tubuh
individu, dan membatasi area tertekan.
3. DP III : Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : suhu tubuh kembali normal dan stabil
Kriteria Hasil :
a. Suhu tubuh 360C - 370C
b. Membran mukosa lembab

14

Intervensi :
1. Pertahankan suhu tubuh 36,5 37 C
R/ untuk mencegah cold/ heat stress
2. Cek tanda-tanda vital setiap 2-4 jam sesuai yang di butuhkan
R/ untuk mengetahui setiap perubahan- perubahan yang kemungkinan
akan terjadi
3. Kolaborasi pemberian antipiretik jika demam
R/ antipiretik dapat menurunkan suhu tubuuh .

2.2.4

Implementasi
Implementasi yang di lakukan sesuai dengan intervensi yang telah di buat
dan sesuai dengan keadaan yang terjadi pada pasien

2.2.5

Evaluasi
a. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
b. Resiko cidera dapat di minimalkan
c. Suhu dalam keadaan normal

BAB III
PENUTUP

3.1.

Kesimpulan

15

Berdasarkan uraian tersebut maka ada beberapa hal yang dapat di


simpulkan yaitu sebagai berikut : hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar
bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal. (Suriadi dan
Rita, 2001 : 143). Menurut Klous dan Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan
menjadi dua jenis yaitu:
a. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek (bilirubin bebas)
yaitu bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk
transport dan komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik
untuk otak karena bisa melewati sawar darah otak.
b. Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk (bilirubin terikat) yaitu
bilirubin larut dalam air dan tidak toksik untuk otak.
3.2.

Saran
Penulis menyarankan agar pembaca dapat mencari referensi lain tentang

hyperbilirubin pada anak dan juga penatalaksanaan untuk diaplikasikan


sehingga dapat mencegah dan menurunkan angka kematian anak di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Harper. 1994. Biokimia. EGC, Jakarta.
Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
Volume 2. Jakarta:EGC

16

Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktik


Klinik Edisi 6. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8. Jakarta : EGC

17

Anda mungkin juga menyukai