Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR


A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. (Smeltzer & Bare, 2002 : 2357).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. (Price & Wilson, 2006 : 1365).

1. Faktor Predisposisi
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya
meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim.
Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh,
mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi,
dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh
darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan
oleh fraktur atau akibat fragmen tulang.
2. Patofisiologi
Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan
tekanan memuntir, fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya
meremuk, gerakan memuntir mendadak dan bahkan kontraksi ekstrem,
sehinggga tulang mengalami kegagalan menahan tekanan terutama tekanan
membengkok, memutar, dan tarikan. Fraktur akan mempengaruhi jaringan
sekitarnya yaitu perusakan pada saraf sensori, kerusakan jaringan lemak
dapat menyebabkan luka terbuka sehingga memungkinkan terjadinya infeksi.
Untuk kerusakan pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan, inflamasi,
dan rupture tendon sehingga terjadinya penekanan saraf akan menyebabkan
nyeri. Selain itu juga akan mempengaruhi korteks tulang dan periosteum

sehingga akan mengalami deformitas dan pemendekan tulang, hal itu


menyebabkan ekstremitas terganggu.
(Chairuddin Rasjad, 1998)
3. Klasifikasi
a. Klasifikasi klinis
Fraktur tertutup ( simple / closed fracture ).
Suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar
(menyebabkan robeknya kulit.)
Fraktur terbuka ( compound / open fracture ).
Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka
pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari
dalam) atau from without (dari luar).
Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo),
yaitu :
a. Derajat I
luka < 1 cm
kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
kontaminasi minimal
b. Derajat II
laserasi > 1 cm
kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
fraktur kominutif sedang
kontaminasi sedang
c. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot, dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur
derajat III terbagi atas :
IIIA : Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak

IIIB : Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat


pelepasan lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar
bagian distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan
lunak hebat.

Fraktur dengan komplikasi (compicated fracture)


Fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya malunion,
delayed union, infeksi tulang
(Arif Mansjoer dkk, 2000 : 346)

b. Klasifikasi Etiologis
Fraktur traumatik : terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
Fraktur patologis : terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya
akibat kelainan patologis di dalam tulang.
Fraktur stress : terjadi karena adanya trauma yang terus menerus
pada suatu tempat tertentu.

c. Klasifikasi komplit / tidak komplit


Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal)
Fraktur tidak komplit adalah patah hanya terjadi pada sebagian
dari garis tengah tulang
d. Klasifikasi menurut garis khusus fraktur
Greenstic, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
lainnya membengkok.
Transfersal,fraktur sepanjang garis tengah tulang.

Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih


tidak stabil disbanding transfersal).
Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
Kominutif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
Depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering
terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada
tulang belakang).
Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon pada
perlekatannya.
Epifiseal, fraktur melalui epifisis.
Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya.
(Smeltzer & Bare, 2002 : 2358)
e. Berdasarkan jumlah garis
Fraktur kominutif : garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan
Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak
berhubungan. Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifokal
Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang
yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur femur, fraktur kruris,
dan fraktur tulang belakang
f. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya
Tidak bergeser (undisplaced), garis patah komplit tetapi kedua
fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh
Bergeser (displaced), terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi :
- dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping)

- dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)


- dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauhi)
(Arif Mansjoer dkk, 2000 : 346)

Gambar 1. Klasifikasi Fraktur

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan
warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa
diketahui

dengan

membandingkan

dengan

ekstremitas

normal.

Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
tergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1
sampai 2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat).

e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai


akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi, cari apakah terdapat :
Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal, angulasi,
rotasi, dan pemendekan
Fuction laesa (hilangnya fungsi), misalnya pada fraktur cruris
tidak bisa berjalan
Pada fraktur terbuka lihat adanya kerusakan jaringan
Lihat adanya pembengkakan.
Lihat juga perbedaan ukuran panjang drai tulang
b. Palpasi apakah terdapat nyeri tekan, cek capillary refill
Gerakan untuk mencari :
Krepitasi, terasabila fraktur digerakkan (baiknya tidak dilakukan
karena akan menambah trauma)
Nyeri bila digerakkan, baik pada gerakan aktif maupun pasif
Seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang
tidak mampu dilakukan, range of motion, dan kekuatan
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur / trauma

Fig. 1. Showing the right sided comminuted clavicle fracture.


The signs of a pneumothorax are clearly visible.

Fig. 2. Showing the pneumothorax on a conventional Xthorax.


There are no ribfractures

Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI: memperlihatkan fraktur; juga


dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan tulang.
Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vascular dicurigai.
Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal
setelah trauma.
Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
multiple atau cedera hati.
7.

Diagnosis / Kriteria Diagnosis


Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Trauma harus
diperinci kapan terjadinya, dimana terjadinya, jenisnya, berat ringan trauma,
arah trauma, dan posisi pasie atau ekstrimitas yang bersangkutan (mekanisme
trauma). Teliti juga trauma di tempat lain secara sistemik dari kepala, muka,
leher, dada, dan perut. Amati pula jika terjadi :
Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi, dan
pemendekan

Fuction laesa (hilangnya fungsi), misalnya pada fraktur cruris tidak bisa
berjalan
Lihat juga perbedaan ukuran panjang drai tulang
Adanya nyeri tekan
Adanya :
Krepitasi, terasa bila fraktur digerakkan (baiknya tidak dilakukan
karena akan menambah trauma)
Nyeri bila digerakkan, baik pada gerakan aktif maupun pasif
Seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang
tidak mampu dilakukan, range of motion, dan kekuatan

8. Terapi
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi dan kekuatan.

Reduksi fraktur (setting tulang)


Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka
dilakukan dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi alat
fiksasi interna (ORIF) dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau
batangan logam untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.

Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF)
meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau
fiksator ekterna..Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna
(ORIF) yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur yang dilakukan dengan pembedahan.

Mempertahankan dan mengembalikan fungsi.

Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.


Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga
diri.

Gambar 2. Fiksasi interna

Gambar 3. Fiksasi Eksterna


11.Komplikasi
1) Komplikasi awal
Syok hipovolemik atau traumatik : bisa berakibat fatal dalam beberapa
jam setelah cedera. Syok hipovolemik atau traumatik

akibat

pendarahan ( baik kehilangan darah eksternal maupu tak kelihatan)


dan kehilangan cairan ekstremitas, toraks, pelvis dan vertebra.
Emboli lemak : dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih
Sindrom kompartemen : berakibat kehilangan fungsi ekstremitas
permanen jika tidak ditangani segera. Sindrom kompartemen
merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otor
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Biasanya
pasien akan merasa nyeri pada saat bergerak. Ada 5 tanda syndrome
kompartemen:
a.

Pain

: nyeri

b.

Pallor

: pucat

c.

Pulsesness : tidak ada nadi

d.

Parestesia : rasa kesemutan

e.

Paralysis

: kelemahan sekitar lokasi terjadinya syndrome

kompartemen.
Infeksi
Tromboemboli emboli paru)
Koagulopati intravaskuler diseminata (KID) : sekelompok kelainan
pendarahan dengan berbagai penyebab, termasuk trauma massif.
Manifestasi KID meliputi : ekimosis, pendarahan yang tidak terduga
setelah pembedahan, dan pendarahan dari membrane mukosa, tempat
penusukan jarum infus, saluran gastrointestinal dan kemih
2) Komplikasi lambat :
a) Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan

Penyatuan terlambat terjsdi bila penyembuhan tidak terjadi dengan


kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan
terlambat
distraksi

mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan


( tarikan jauh ) fragmen tulang. Pada akhirnya fraktur

menyembuh.Hal ini dapat disemabuhkan dengan graft tulang.Dimana


graft tulang memberikan kerangka untuk invasi sel-sel tulang.
b) Nekrosis Avaskuler Tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan
mati. Dapat terjadi setelah fraktur (khususnya kolum femoris),
dislokasi, terapi kortikosteroid dosis tinggi berkepanjangan, penyakit
ginjal kronik, anemia sel sabit, dan penyakit lain. Tulang yang mati
mengalami tulang kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan tulang
yang baru.
c) Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah
terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat
sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan
indicator utama telah terjadinya masalah. Masalah tersebut meliputi
kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi yang tak memadai),
kegagalan material (alat yang cacat atau rusak), berkaratnya alat,
menyebabkan inflamasi local, respon alergi terhadap campuran logam
yang digunakan, dan remodeling osteoporotic di sekitar alat fiksasi
(stress yang dibutuhkan untuk memperkuat tulang diredam oleh alat
tersebut, mengakibatkan osteoporosis disuse). Bila angkat diangkat,
tulang perlu dilindungi dari fraktur kembali sehubungan dengan
osteoporosis, struktur tulang yang terganggu dan trauma. Remodeling
tulang akan mengembalikan kekuatan structural.
(Brunner & Suddath, Keperawatan Medikal Bedah Vol 3, hal 2365
-2368 )

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


I. Pengkajian ( Doenges, 2000 : 761 )
a. Aktifitas / Istirahat
Tanda : keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara
sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri)
b. Sirkulasi
Tanda :

hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap


nyeri / ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
Takikardi (respon stress, hipovolemia)
Penurunan / tak ada nadi pada bagian distal yang cedera;
pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena
Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera

c. Neurosensori
Gejala : hilang gerakan / sensasi, spasme otot
Kebas / kesemutan (parestesis)
Tanda :

deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,


krepitasi, spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.
Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ ansietas atau
trauma lain).

d. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi
pada area jaringan / kerusakan tulang; dapat berkurang pada
imobilisasi), tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme / kram otot (setelah imobilisasi).
e. Keamanan
Tanda :

laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna


Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau
tiba - tiba).

II.

Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan
keluhan nyeri, distraksi, fokus pada diri sendiri / fokus menyempit,
wajah menunjukkan nyeri, peilaku berhati-hati, melindungi, perubahan
tonus otot, respon otonomik.
b. Kerusakan

integritas

jaringan

berhubungan

dengan

mekanik

(tekanan,teriris,gesekan) ditandai dengan keluhan gatal, nyeri, kebas,


tekanan pada area yang sakit / area sekitar, gangguan permukaan kulit,
invasi struktur tubuh, destruksi lapisan kulit / jaringan.
c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuscular : nyeri / ketidaknyamanan, terapi restriktif (imobilisasi
tungkai) ditandai dengan ketidakmampuan untuk bergerak sesuai tujuan
dalam lingkungan fisik, menolak untuk bergerak, keterbatasan rentang
gerak, penurunan kekuatan / kontrol otot.
d. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah /
emboli lemak, perubahan membran alveolus / kapiler, interstitisial,
edema paru kongesti
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang terpajannya informasi, salah
interpretasi informasi ditandai dengan pertanyaan / permintaan informasi,
pernyataan salah konsepsi.
f. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer,
kerusakan kulit, trauma jaringan prosedur invasive, traksi tulang.
g. PK Syok Hipovolemik
h. PK Sindrom Kompartemen
III.

Intervensi
Diagnosa 1 : Nyeri akut
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
Ditandai dengan : keluhan nyeri, distraksi, fokus pada diri sendiri / fokus
menyempit, wajah menunjukkan nyeri, perilaku berhati-hati, melindungi,
perubahan tonus otot, respon otonomik.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam, diharapkan


nyeri yang dialami pasien terkontrol dengan kriteria hasil :
Pasien dapat mengkaji factor penyebab , durasi terjadinya nyeri
Pasien melaporkan nyerinya terkontrol
Pasien dapat menggunakan teknik non-analgetik untuk menangani
nyeri.
Intervensi :
1.

Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi,


karakteristik, durasi, frekuensi, qualitas, intensitas nyeri dan factor
presipitasi.
R/ : mempengaruhi pilihan / pengawasan keefektifan intervensi.

2.

Observasi

respon

nonverbal

dari

ketidaknyamanan

terutama

ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif.


R/ : Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/ reaksi terhadap
nyeri.
3.

Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman


nyeri dan penerimaan respon nyeri pasien.
R/ : Strategi komunikasi terapeutik dapat membantu untuk menentukan
intervensi yang diperlukan.

4.

Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup (ex : tidur,aktivitas,


kognisi, perasaan, hubungan, pekerjaan)
R/ : Mengetahui pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup pasien.

5.

Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi progresif, latihan


napas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan terapeutik, akupresure)
R/ : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan
dapat meningkatkan kekuatan otot; dapat meningkatkan harga diri dan
kemampuan koping.

6.

Kontrol factor - factor lingkungan yang yang dapat mempengaruhi


respon pasien terhadap ketidaknyamanan (ruangan, suhu, cahaya, dan
suara)

R/ : memberikan ketenangan kepada pasien sehingga nyeri tidak


bertambah
7.

Sediakan informasi tentang nyeri seperti : penyebab nyeri, berapa lama


nyeri itu akan berakhir, antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien

8.

Laksanakan penggunaan kontrol analgetik, jika perlu.


R/ : Analgetik dapat menurunkan nyeri dan atau spasme otot

Diagnosa 2 : Kerusakan integritas jaringan


Berhubungan dengan mekanik (tekanan,teriris,gesekan)
Ditandai dengan : rusaknya atau hancurnya jaringan (kornea, membran
mucus, integumentum, subkutan)
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama x 24 jam
diharapkan luka dapat sembuh dengan kriteria hasil :
Tidak ada bau
Tidak ada kemerahan di sekitar luka.
Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh
Luka menjadi kering.
Cairan pada luka telah kering

Intervensi :
1) Catat karakteristik luka
R/ : memberikan informasi tentang masalah yang mungkin disebabkan
oleh alat / pemasangan gips, bebat / traksi
2) Catat karakteristik cairan
R/ : untuk mengobservasi adanya cairan yang timbul dari luka
3) Berikan masase pada area sekitar luka
R/ : mempunyai efek pengering, yang menguatkan kulit. Krim dan
losion tidak dianjurkan karena terlalu banyak minyak dapat menutup
perimeter gips, tidak memungkinkan gips untuk bernapas. Bedak
tidak dianjukan karena potensial akumulasi berlebihan di dalam gips.

4) Memelihara kepatenan pada saluran drainage


R/ : untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi
5) Berikan balutan
R/ : untuk mencegah terkontaminasi dengan lingkungan sekitar
6) Memelihara kesterilan dalam merawat luka.
R/ : untuk mencegah terkontaminasi dengan bakteri
7) Inspeksi perubahan warna dari luka
R/ : memberikan informasi tentang sirkulasi kulit
8) Membandingkan dan mencatat secara teratur adanya perubahan pada
luka
R/ : memantau perkembangan luka dan adanya perubahan pada luka
9) Memberi posisi pada bagian yang terluka agar tidak menjadi tegang.
R/ : untuk meminimalkan tekanan pada bagian yang terluka
10) Ajari pasien dan keluarga bagaimana cara merawat luka.
R/ : untuk memberikan informasi kepada keluarga dan pasien tentang
cara perawatan luka yang baik dan benar untuk mencegah terjadinya
infeksi
Diagnosa 3 : Kerusakan Mobilitas Fisik
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskletal
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .x 24 jam, diharapkan pasien
dapat meningkatkan mobilitas, dengan kriteria hasil :
Pasien dapat memperlihatkan keseimbangan saat berjalan.
Pasien dapat menggerakan otot.
Pasien dapat menggerakan sendi.
Pasien dapat berpindah : berjalan
Intervensi :
1. Kaji keterbatasan pergerakan sendi dan efek fungsinya.
R/ : pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri/ persepsi diri tentang
keterbatasan fisik actual, memerlukan informasi/ intervensi untuk
meningkatkan kemajuan kesehatan

2. Kaji tingkat motivasi pasien untuk memelihara/mengembalikan pergerakan


sendi.
R/ : Motivasi diri pasien dapat mempercepat proses menyembuhan
3. Jelaskan kepada pasien/ keluarga tujuan dan rencana latihan
R/ : Memberikan informasi kepada pasien/keluarga tentang tujuan dan
rencana sehingga tidak membinggungkan pasien atau keluarga
4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan/nyeri selama pergerakan/aktivitas.
R/ : Nyeri/ketidaknyaman dapat menghambat pergerakan sehingga
sebelumnya harus diketahui lokasi dari nyeri
5. Lindungi pasien dari trauma selama latihan.
R/ : mencegah atau mengurangi risiko jatuh pada pasien
6. Lakukan latihan ROM aktif / pasif sesuai indikasi.
R/ : Meningkatkan aliran ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus
otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur /atrofi dan
reabsobsi kalsium karena tidak digunakan.
7. Dorong latihan ROM aktif secara teratur menurut jadwal yang
direncanakan.
R/ : Meningkatkan aliran ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus
otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur /atrofi dan
reabsobsi kalsium karena tidak digunakan.
8. Bantu pasien dalam posisi tubuh optimal untuk pergerakan sendi aktif /
pasif.
R/ : Menggurangi atau mencegah risiko jatuh pada pasien
9. Instruksikan kepada pasien/keluarga bagaimana melaksanakan latihan
ROM pasif secara sistematis atau ROM aktif
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien/keluarga mengenai latihan ROM
aktif / pasif
10. Dorong pasien untuk duduk di tempat tidur, di samping tempat tidur/ di
kursi jika ditoleransi
R/ : mencegah / menurunkan insiden komplikasi kulit / pernapasan (contoh
dekubitus, pneumonia).
11. Dorong perpindahan , jika memungkinkan.

R/ : mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring (contoh flebitis)


dan meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ. Belajar
memperbaiki cara menggunakan alat penting untuk mempertahankan
mobilitas dan keamanan pasien
12. Kolaborasi dengan terapi fisik dalam mengembangkan dan melaksanakan
program latihan.
R/ : berguna dalam membuat aktifitas individual / program latihan. Pasien
dapat memerlukan bantuan jangka panjang dengan gerakan, kekuatan, dan
aktifitas yang mengandalkan berat badan, juga penggunaan alat
Diagnosa 4 : Resiko infeksi
Resiko infeksi
Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam,

diharapkan resiko infeksi tidak menjadi aktual, dengan kriteria hasil :


Tidak terjadi tanda - tanda infeksi
Suhu tubuh dalam batas normal
Kadar WBC dalam batas normal (4,10-10,9 10^3/uL)
Intervensi :
1.

Kaji tanda- tanda infeksi


R/ : mengetahui dini terjadinya infeksi

2.

Batasi jumlah pengunjung.


R/ : mengurangi kontaminasi silang.

3.

Jaga asepsis selama pasien berisiko.


R/ : meminimalkan kesempatan untuk kontaminasi

4.

Sediakan

perawatan kulit pada area yang edema

R/ : perawatan kulit pada area yang edema dapat membantu mencegah


terjadinya infeksi yang lebih luas.
5.

Inpeksi kulit dan membrane mukosa selama kemerahan, panas tinggi atau
drainase
R/ : apabila kulit kembali kemerahan dan terdapat drainase purulen
menandakan terjadi proses inflamasi bakteri.

6.

Inpeksi kondisi luka / bekas operasi.


R/ : Mencegah terjadinya infeksi yang lebih luas

7.

Dorong intake cairan.


R/ : mempertahankan keseimbangan cairan untuk mendukung perfusi
jaringan.

8.

Anjurkan intake nutrisi yang cukup.


R/ : mempertahankan keseimbangan nutrisi untuk mendukung perpusi
jaringan dan memberikan nutrisi yang perlu untuk regenerasi selular dan
penyembuhan jaringan

9.

Dorong istirahat
R/ : Mencegah kelelahan/ terlalu lelah dan dapat meningkatkan koping
terhadap ketidaknyamanan

10.

Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan
melaporkan kepada petugas perwatan ketika terdapat tanda dan gejala
infeksi.
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga

11.

Intruksikan pasien untuk minum antibiotic sesuai indikasi.


R/ : antibiotik dapat menghambat proses infeksi

12.

Monitor

absolute granulosit, WBC ,dan hasil normal.

R/ : WBC merupakan salah satu data penunjang yang dapat


mengidentifikasi adanya bakteri di dalam darah. Sel darah putih akan
meningkat sebagai kompensasi untuk melawan bakteri yang mnginvasi
tubuh.
Diagnosa 5 : Kurang Pengetahuan
Kurang pengetahuan tentang prosedur.perawatan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .x 24 jam,
diharapkan pengetahuan pasien mengetahui prosedur perawatan meningkat
dengan kriteria hasil :
Pasien dapat mendiskripsikan prosedur perawatan.
Pasien dapat menjelaskan tujuan prosedur
Pasien dapat menjelaskan langkah langkah pengobatan
Pasien dapat menunjukan prosedur perawatan
Intervensi :

1.

Informasikan kepada

keluarga tentang kapan dan dimana prosedur

perawatan akan dilaksanakan.


R/ : memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi.
2.

Informasikan kepada pasien tentang berapa lama prosedur atau perawatan


yang diharapkan berakhir.
R/ : dapat mengurangi kecemasan pasien sehingga mengurangi beban
pikiran pasien.

3.

Informasikan kepada pasien tentang siapa yang akan melakukan


prosedur/perawatan
R/ : memberi pasien informasi mengenai pelaku prosedur perawatan,
sehingga kepercayaan pasien meningkat kepada petugas.

4.

Kaji pengalaman pasien sebelumnya dan tingkat pengetahuan yang


berhubungan dengan prosedur perawatan.
R/ : pengalaman pasien sebelumnya dapat mempengaruhi perawatan saat ini
dapat berkembang menjadi baik maupun buruk tergantung persepsi pasien
mengenai pengalaman prosedur perawatan sebelumnya.

5.

Jelaskan tujuan prosedur perawatan.


R/ : meningkatkan pengetahuan pasien dan mengurangi tingkat kecemasan
pasien.

6.

Diskusikan peralatan tertentu yang diperlukan dan fungsinya.


R/ : meningkatkan pengetahuan pasien dan mengurangi tingkat kecemasan
pasien mengenai prosedur pengobatan.

7.

Sediakan informasi apa yang didengar, dicium, dilihat, dirasakan selama


prosedur perawatan.
R/ : meningkatkan pengetahuan pasien dan memberi intervensi yang tepat
saat pasien menanyakan informasi mengenai persepsi sensori yang
dirasakan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer & Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 3. Jakarta : EGC
Price & Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta : EGC
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda Definisi dan Klasifikasi 2005
-2006. Editor : Budi Sentosa. Jakarta : Prima Medika
Lynda Jual Carpenito-Moyet. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta :
EGC
Johnson,M. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC), second edition, Mosby,
Philadelphia

Anda mungkin juga menyukai