Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan teoritis
A. Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit.
Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari
perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen, dalam
rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat.
Dalam hal ini termasuk kegiatan pencatatan, pelaporan dan evaluasi (Depkes, 2006).
Sedangkan Menurut Djojodibroto (1997), penyelenggaraan makanan adalah suatu proses
yang meliputi perencanaan menu, perencanaan pembelanjaan, penerimaan bahan dan
penyimpanan, persiapan pemasakan, pemasakan, pembagian makanan dan penyajian.
Sasaran penyelenggaraan makanan dirumah sakit adalah pasien.Sesuai dengan
kondisi Rumah Sakit dapat juga dilakukan penyelenggaraan bagi pengunjung (pasien rawat
jalan atau keluarga pasien). Pemberian makanan yang memenuhi gizi seimbang serta
habis termakan merupakan salah satu cara untuk mempercepat penyembuhan dan
memperpendek hari rawat inap (Depkes, 2006). Kegiatan pelayanan gizi rumah sakit terdiri
dari empat kegiatan pokok yaitu:
1. Pengadaan dan penyediaan makanan bagi pasien adalah serangkaian kegiatan yang
dimulai dari perencanaan macam dan jumlah bahan makanan, pengadaan bahan
makanan sehingga proses penyediaan makanan matang bagi pasien di ruang
perawatan.
2. Pelayanan gizi di ruang rawat inap adalah serangkaian kegiatan dimulai dari
menentukan kebutuhan gizi pasien sesuai dengan penyakit kelainannya, penyusun
menu, menentukan bentuk makanan, cara memberikan hingga pelaksanaan evaluasi
di ruang rawat inap
3. Penyuluhan konsultasi dan rujukan gizi adalah serangkaian kegiatan penyampaian
pemahaman, sikap serta perilaku -sehat bagi seseorang dan masyarakat rumah sakit.
4. Penelitian dan pengembangan gizi terapan adalah kegiatan gizi danpengembangan
yang merupakan kegiatan yang berikutnya dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan gizi di rumah sakit (Depkes,1991).
Rumah sakit senantiasa bertujuan menyediakan makanan yaitu makanan yang
memenuhi kebutuhan gizi tanpa mengurangi cita rasa yang enak sehingga dapat
mempercepat penyembuhan pasien. Instalasi Gizi Rumah Sakit menyelenggarakan
makanan untuk pasien dengan tujuan memperpendek hari rawat pada pasien rawat inap.
Makanan yang baik bukan hanya mengandung zat gizi seimbang tetapi juga
mempunyai rasa dan penampilan yang baik, sehingga makanan yang disajikan dapat
dihabiskan.Makanan yang dihabiskan tanpa meninggalkan sisa merupakan suatu

keberhasilan dalam penyelenggaraan makanan (Mukrie,1990). Daya terima makanan


adalah tingkat penerimaan pasien terhadap makanan yang disajikan dan dapat diukur dari
tingkat konsumsi dan sisa makanan.Kepuasan pasien terhadap makanan yang disajikan di
rumah sakit menentukan tingkat kesembuhan pasien. Kepuasan pasien terhadap makanan
yang disajikan dapat dilihat dari penilaian pasien terhadap penampilan dan rasa makanan.
a) Bentuk bentuk Makanan di Rumah Sakit.
Bentuk makanan di rumah sakit disesuaikan dengan keadaan pasien. Menurut
Almatsier (2004) makanan orang sakit dibedakan dalam : makanan biasa, makanan
lunak, dan makanan cair.
1. Makanan biasa.
Makanan biasa sama dengan makanan sehari-hari yang beranekaragam,
bervariasi dengan bentuk, tekstur dengan aroma yang normal. Susunan makanan
mengacu pada pola makanan seimbang dan angka kecukupan gizi (AKG) yang
dianjurkan bagi orang dewasa sehat. Makanan biasa diberikan kepada pasien yang
tidak memerlukan diet khusus berhubungan dengan penyakitnya, makanan
sebaiknya diberikan dalam bentuk yang mudah cerna, dan tidak merangsang
saluran cerna.
2. Makanan lunak .
Makanan lunak adalah makanan yang memiliki tekstur yang mudah dikunyah,
ditelan dan dicerna, makanan ini cukup kalori, protein dan zat-zat gizi
lainnya.Menurut keadaan penyakitnya makanan lunak dapat diberikan langsung
kepada pasien atau sebagai perpindahan dari makanan saring ke makanan
biasa.Makanan lunak diberikan kepada pasien sesudah operasi tertentu, pasien
dengan penyakit infeksi dengan kenaikan suhu tubuh tidak terlalu tinggi.
3. Makanan saring.
Makanan saring adalah makanan semi padat yang mempunyai tekstur lebih
halus dari makanan lunak, sehingga lebih mudah ditelan dan dicerna.Makanan
saring diberikan kepada pasien sesudah mengalami operasi tertentu, pada infeksi
akut termasuk infeksi saluran cerna, serta pada pasien dengan kesulitan
mengunyah dan menelan.Menurut keadaan penyakit, makanan saring dapat
diberikan langsung kepada pasien atau perpindahan dari makanan cair kental ke
makanan lunak.
4. Makanan cair.
Makanan cair adalah makanan yang mempunyai konsistensi cair hingga
kental.Makanan
mengunyah,

ini

diberikan

menelan

dan

kepada

pasien

mencernakan

yang

makanan

mengalami
yang

gangguan

disebabkan

oleh

menurunnya kesadaran, suhu tinggi, rasa mual, muntah.Pasca pendarahan saluran

cerna, serta pra dan pasca bedah makanan dapat diberikan secara oral atau
parenteral (Almatsier, 2007).
b) Penetapan Standar Produksi Makanan.
memproduksi makanan perlu adanya beberapa standar makanan seperti
standar porsi, standar resep dan standar bumbu. Standar ini dapat menghasilkan
makanan yang sama siapapun pengolahnya (Mukrie,1996).
1. Standar porsi.
Standar porsi adalah rincian macam dan jumlah bahan makanan dalam jumlah
bersih setiap hidangan.Dalam penyelenggaraan makanan orang banyak, diperlukan
adanya standar porsi untuk setiap hidangan, sehingga macam dan jumlah hidangan
menjadi jelas.Porsi yang standar harus ditentukan untuk semua jenis makanan dan
penggunaan peralatan seperti sendok sayur, centong, sendok pembagi harus
distandarkan.
2. Standar resep.
Resep standar dikembangkan dari resep yang ada dengan melipat gandakan
atau memperkecil jumlah penggunaan bahan makanan yang diperlukan.Untuk
mencapai standar yang baik sesuai yang diharapkan diperlukan resep-resep yang
standar. Dalam standar resep tercantum nama makanan, bumbu yang diperlukan,
teknik yang diperlukan dan urutan melakukan pemasakan. Suhu dan waktu
pemasakan, macam dan ukuran alat yang dipakai, jumlah porsi yang dihasilkan,
cara memotong, membagi, cara menyajikan dan taksiran harga dalam porsi.
3. Standar bumbu.
Standar bumbu adalah ketetapan pemakaian ukuran bumbu-bumbu sesuai
dengan ketentuan dalam standar resep. Tujuan dari standar bumbu adalah untuk
menciptakan

mutu

atau

kualitas

makanan

yang

relatif

sama

cita

rasanya(Almatsier,2004).
B. Asupan Makanan.
Asupan makanan adalah semua jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi tubuh
setiap hari. Umumnya asupan makanan di pelajari untuk di hubungkan dengan keadaan
gizi masyarakat suatu wilayah atau individu. Informasi ini dapat digunakan untuk
perencanaan pendidikan gizi khususnya untuk menyusun menu atau intervensi untuk
meningkatkan sumber daya manusia (SDM), mulai dari keadaan kesehatan dan gizi serta
produktivitasnya. Mengetahui asupan makanan suatu kelompok masyarakat atau individu
merupakan salah

satu cara untuk menduga keadaan gizi kelompok masyarakat atau

individu bersangkutan.
C. Sisa Makanan.
Sisa makanan merupakan makanan yang tidak habis termakan dan dibuang sebagai
sampah (Azwar, 1990). Sisa makanan adalah bahan makanan atau makanan yang tidak

dimakan. Ada 2 jenis sisa makanan, yaitu 1) kehilangan bahan makanan pada waktu
proses persiapan dan pengolahan bahan makanan; 2) makanan yang tidak habis
dikonsumsi setelah makanan disajikan (Hirch, 1999).
Sisa makanan dapat memberikan informasi yang tepat dan terperinci mengenai
banyaknya sisa atau banyaknya makanan yang dikonsumsi oleh perorangan atau
kelompok(Graves and Shannon, 1993).
Data sisa makanan umumnya digunakan untuk mengevaluasi efektifitas program
penyuluhan gizi, penyelenggaraan dan pelayanan makanan serta kecukupan konsumsi
makanan pada kelompok atau perorangan (Thompson, 1994). Pengamatan sisa makanan
untuk mengetahui banyaknya makanan yang tidak dihabiskan oleh pasien maka dilakukan
pengamatan sisa makanan. Pengamatan sisa makanan pada makanan yang tidak dimakan
merupakan salah satu kegiatan pemantauan dan evaluasi gizi dari rumah sakit.Penyajian
makanan pada pasien rawat inap adalah merupakan salah satu faktor yang menentukan
untuk menilai berhasil tidaknya pelayanan gizi rumah sakit.
Penentuan sisa makanan dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Metode Penimbangan.
Prinsip dari metode penimbangan makanan adalah mengukur secara langsung
berat dari tiap jenis makanan yang dikonsumsi selanjutnya dihitung presentase (%)
sisa makanannya (Nuryati, 2008). Menurut Komalawati (2005) dalam Priyanto (2009),
data sisa makanan dapat diperoleh dengan cara menimbang makanan yang tidak
dihabiskan oleh pasien, kemudian dirata-rata menurut jenis makanan. Prosentase sisa
makanan dihitung dengan cara membandingkan sisa makanan dengan standar porsi
makanan rumah sakit kali 100% atau dengan rumus:
Sisa Makanan(%) = Jumlah makanan yang tersisa (gram) X 100%
Standar porsi rumah sakit (gram)
Dalam metode penimbangan, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara
menimbang yang baik dan benar. Kelebihan dari metode penimbangan adalah lebih
akurat dibanding dengan metode lainnya, dapat mencatat secara pasti mengenai
jumlah dan jenis bahan makanan, sisa makanan dapat dihitung secara pasti dan
mempunyai validitas yang tinggi.
Metode penimbangan mempunyai beberapa kekurangan yaitu : membebani
responden, tidak praktis, memerlukan tempat yang agak luas untuk menampung alat
makan dan sisa makanan, memerlukan waktu lama untuk menimbang sisa makanan,
dan memerlukan ketrampilan pada saat menimbang makanan (Thompson, 1994).
2. Metode Taksiran Visual.
Prinsip dari metode taksiran visual adalah para penaksir (estimator) menaksir
secara visual banyaknya sisa makanan yang ada untuk setiap golongan makanan atau

jenis hidangan.Hasil estimasi tersebut bisa dalam bentuk berat makanan yang
dinyatakan dalam gram atau bentuk skor bila dalam skala pengukuran.
Metode taksiran dengan skala pengukuran dikembangkan oleh Comstock
dengan menggunakan 6 point, dengan kriteria sebagai berikut : skala 0 jika makanan
seluruhnya dikonsumsi oleh pasien (habis), skala 1 jika tersisa makanan seperempat
porsi, skala 2 jika tersisa makanan setengah porsi, skala 3 jika tersisa makanan tiga
perempat porsi, skala 4 jika hanya dikonsumsi sedikit (kira-kira 1 sendok makan), skala
5 jika tidak dikonsumsi sama sekali (utuh).
Kelebihan dari metode taksiran visual antara lain : waktu yang digunakan cepat
dan singkat, tidak memerlukan alat yang banyak dan rumit, menghemat biaya dan
dapat mengetahui sisa makanan menurut jenisnya. Sedangkan kekurangan dari
metode taksiran visual antara lain diperlukan penaksir (estimator) yang terlatih, teliti,
terampil, memerlukan kemampuan menaksir dan pengamatan yang tinggi, dan sering
terjadi kelebihan dalam menaksir (over estimate) atau kekurangan dalam menaksir
(under estimate) (Comstock, 1981).
3. Metode Recall.
Prinsip dari metode recall 24 jam adalah mencatat semua jenis dan jumlah
makanan yang dikonsumsi selama periode waktu 24 jam terakhir. Hal penting yang
harus diketahui adalah bahwa dengan recall 24 jam, data yang diperoleh cenderung
lebih bersifat kualitatif, karena itu untuk mendapatkan data maka jumlah makanan yang
dikonsumsi individu hendaknya ditanyakan secara teliti dengan menggunakan ukuran
rumah tangga misalnya : sendok, piring, gelas dan lain-lain atau ukuran lain yang biasa
digunakan sehari-hari (Supariasa, Bakri, Fajar, 2001).
Kelebihan metode recall antara lain : murah, cepat dan jelas untuk
menggambarkan asupan gizi per orang per hari (Buzby and Guthrie,2002).
Kekurangan dari metode recall adalah sangat tergantung pada daya ingat responden,
tidak dapat digunakan pada anak-anak, ketepatan responden dalam mengestimasi
porsi makanan yang dikonsumsi, motivasi dari responden, ketekunan pewawancara
dalam menggali data (Gibson, 1990).
Dalam menggunakan metode recall 24 jam, seseorang harus mengingat tentang
apa saja yang dia makan dan berapa banyak dia mengkonsumsi makanan tersebutr
(Chamber, Goldwin, Vecchio, 2000)
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sisa Makanan
Sisa makanan terjadi karena makanan yang disajikan tidak habis dikonsumsi. Faktor
yang mempengaruhi terjadinya sisa makanan dapat berupa :
faktor yang berasal dalam diri pasien (faktor internal), faktor dari luar pasien (faktor
eksternal) serta faktor lain yang mendukung (Almatsier, dkk, 2004)

1. Faktor Internal yaitu faktor yang berasal dari pasien yang meliputi :
a. Psikologis.
Faktor psikologis merupakan rasa tidak senang, rasa takut karena sakit
dan ketidakbebasan karena penyakitnya sehingga menimbulkan rasa putus
asa.Manifestasi rasa putus asa tersebut sering berupa hilangnya nafsu makan
sehingga penderita tersebut tidak dapat menghabiskan makanan yang disajikan.
b. Kebiasaan Makan.
Kebiasaan makan pasien dapat mempengaruhi pasien dalam
menghabiskan makanan yang disajikan. Bila kebiasaan makan sesuai dengan
makanan yang disajikan baik dalam susunan menu maupun besar porsi, maka
pasien cenderung dapat menghabiskan makanan yang disajikan. Sebaliknya bila
tidak sesuai dengan kebiasaan makan pasien, maka akan dibutuhkan waktu untuk
penyesuaian (Mukrie,1990).
c. Kebosanan.
Rasa bosan biasanya timbul bila pasien mengkonsumsi makanan yang
kurang

bervariasi

sehingga

sudah

hafal

dengan

jenis

makanan

yang

disajikan.Rasa bosan juga dapat timbul bila suasana lingkungan pada waktu
makan tidak berubah. Untuk mengurangi rasa bosan tersebut selain meningkatkan
variasi menu juga perlu adanya perubahan suasana lingkungan pada waktu
makan (Moehyi, 1992)
2. Faktor Eksternal.
Faktor eksternal yang mempengaruhi terjadinya sisa makanan meliputi :
a. Penampilan Makanan.
Penampilan makanan terdiri dari warna makanan, tekstur makanan, dan
besar porsi.
b. Rasa Makanan.
Rasa makanan dipengaruhi oleh suhu dari setiap jenis hidangan yang
disajikan, rasa dari setiap jenis hidangan yang disajikan dan keempukan serta
tingkat kematangan.
c. Faktor Lain.
Faktor lain yang dapat menyebabkan sisa makanan antara lain penampilan
alat makan, sikap petugas pengantar makanan. Cara penyajian merupakan faktor
yang perlu mendapat perhatian dalam mempertahankan penampilan dari makanan
yang disajikan.Penyajian makanan berkaitan dengan peralatan yang digunakan,
serta sikap petugas yang menyajikan makanan termasuk kebersihan peralatan
makan maupun kebersihan petugas yang menyajikan makanan (Depkes RI,
1991).
E. Evaluasi Sisa Makanan.

Evaluasi sisa makanan secara umum didefinisikan sebagai suatu proses menilai
jumlah kuantitas dari porsi makanan yang sudah disediakan oleh penyelenggara makanan
yang tidak dihabiskan. Ketika sisa makanan tidak dapat dihindari, maka kelebihan sisa
makanan merupakan tanda tidak efisiensinya pelaksanaan kegiatan dan tidak responnya
sistem distribusi (Buzby, 2002).
Evaluasi sisa makanan digunakan untuk menilai biaya, daya terima makanan, asupan
makan, dan untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan
penyelenggaraan makanan, seperti (Carr, 2001).
Evaluasi sisa makanan juga merupakan salah satu cara untuk mengevaluasi mutu
pelayanan gizi yang dapat dilakukan dengan mencatat banyaknya makanan yang tersisa.
Oleh karena itu, sisa makanan adalah salah satu indikator keberhasilan pelayanan gizi di
ruang rawat inap (Djamaluddin, dkk, 2005).

Anda mungkin juga menyukai