KORTIKOSTEROID SISTEMIK
Oleh :
Adrian Sebastian Suhendro (1301-1213-0637)
Rizky Martina (1301-1213-0664)
Shendy Ardaneswari ( Sedang Proses)
Preceptor :
Rasmia Rosmawi , dr. SpKK (K)
PENDAHULUAN
Dengan bertambah banyaknya jenis glukokortikosteroid atau glukokortikoid
dan meluasnya pemakaian kortikosteroid dalam ilmu kedokteran, pemakaian preparat
ini perlu diperhatikan efektivitas, indikasi, kontraindikasi, dan efek samping akibat
pemakaian obat ini.
Glukokortikosteroid merupakan suatu preparat yang banyak digunakan untuk
pengobatan, khususnya di bidang dermatologi dengan kemampuan imunosupresif dan
anti-inflamasinya. Sejak tahun 1949, Hench dan kawan-kawanmenemukan manfaat
kortison
pada
pengobatan
penderita
rheumatoid
arthritis.
Sejak
itu
akumulasi dan mempengaruhi komposisi glikosaminoglikan melalui receptormediated mechanisms. Glikokortikosteroid meningkatkan collagen cross-linking dan
menurunkan aktivitas kolagenase, tetapi tidak mempengaruhi proporsi kolagen tipe I
dan III. Walaupun glukokortikosteroid menghambat produksi kolagen, atrofi dermis
merupakan cerminan terjadinya penurunan jumlah fibroblast dermis.
Tampaknya glukokortikosteroid mengatur variasi diurnal aktivitas mitotic
epidermis. Puncak mitotic berhubungan secara terbalik dengan kadar kortisol serum
dan efek ini mungkin diperankan adenilsiklase.
Glukokortikosteroid menghambat pertumbuhan rambut hewan percobaan,
efek ini berpengaruh pada permulaan fase anagen dan aktivitas mitotic. Namun,
adanya glukokortikosteroid endogen yang berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya
hipertrikosis, sedangkan defisiensi hormon ini mengakibatkan rambut aksila rontok.
Dari keadaan ini diduga hormon ini pada beberapa bagian tubuh berperan pada proses
pemeliharaan pertumbuhan rambut.
Hormon ini sangat berperan pada system imun dan reaksi inflamasi. Efek
imunosupresi ini merupakan salah satu dasar pemakaian glukokortikosteroid sebagai
obat anti-inflamasi, sedangkan steroid-induced immunomodulation berperan pada
keadaan fisiologis dan beberapa keadaan hiperkortisolisme endogen.
Efek lain adalah berperan pada produksi interleukin dan sitokin lain,
kemotaksis neutrofil, jumlah sel Langerhans, aksi factor pertumbuhan seperti
epidermal growth factor dan platelet-derived growth factor, dan sintesis prostanoid
dengan inhibisi fosfolipase A. Efek anti-inflamasi ini juga disebabkan adanya
stabilisasi lisosom, hambatan pelepasan protease dan mediator lain.
Kulit merupakan tempat utama terjadi degradasi dan interkonversi
glukokortikosteroid dan hormon steroid lain. Interkonversi kortison dan kortisol
berkaitan dengan efek adanya kelebihan hormon. Kortisol memiliki efek dan reaksi
inflamasi yang lebih besar pada kulit bila dibandingkan dengan kortison.
Untuk menghindari atau mengurangi efek samping dan meningkatkan
efektivitas serta keamanan pemakaian glukokortikosteroid, perlu mengetahui
mekanisme aksi obat ini.
BIOLOGI
Produksi glukortikosteroid diatur oleh aksis hipotalamus-pituitari-adrenal
(HPA). Corticotropin-releasing hormone (CRH), suatu hormon yang dihasilkan oleh
hipotalamus, merupakan regulator sekresi kortikotropin yang paling poten. Hormon
ini mentransfer sistem hipofiseal portal ke pituitari dan merangsang sekresi
adrenocorticotropic hormone (ACTH). Adrenocorticotropic hormone berasal dari
suatu molekul prekursor, yaitu pro-opiomelanocortin yang mengembangkan molekul
lain selain ACTH, termasuk lipoprotein , endorphin , dan alpha melanocyte
stimulating hormone (a MSH). Adrenocorticotropic hormone masuk ke dalam sistem
sirkulasi merangsang korteks adrenal mensekresi kortisol yang menimbulkan
negative feedback terhadap sekresi ACTH pituitari.
Secara alamiah glukokortikosteroid yang ditemukan adalah kortisol atau
hidrokortison. Bahan ini disintesis dari kolesterol di korteks adrenal. Pada keadaan
normal, kurang dari 5% kortisol yang berada di dalam sirkulasi adalah dalam bentuk
tidak terikat dan kortisol bebas ini merupakan molekul terapeutik aktif. Kortisol
sisanya adalah dalam bentuk tidak aktif, dimana 95% terikat pada cortisol-binding
globulin (CBG) yang juga disebut sebagai trankortin dan 5% terikat pada albumin.
Sekresi kortisol setiap hari berkisar antara 10 20 mg dengan waktu puncak
diurnal yaitu sekitar jam 8 pagi. Plasma half-life kortisol adalah 90 menit. Bahan ini
terutama dimetabolisme di dalam hepar dan sifat hormonalnya berperan pada setiap
jaringan dalam tubuh. Hasil metabolitnya diekskresikan melalui ginjal dan hati.
Mekanisme
aksi
glukokortikosteroid
melibatkan
difusi
pasif
Glukokortikoid
menurunkan
sintesis
sejumlah
molekul
pro-inflamasi
termasuk sitokin, interleukin, molekul adhesi, dan protease. Hormon ini juga
menghambat mediator inflamasi lain, seperti cyclooxygenase-2 dan bentuk nitric
oxide synthase yang terinduksi.
Hormon ini meningkatkan sintesis molekul-molekul penting lain seperti
annexin 1 dan 2. Annexin dapat mereduksi aktivitas fosfolipase A2 yang dapat
mereduksi pelepasan asam arakhidonat dari fosfolipid membran, membatasi
pembentukan prostaglandin dan leukotrin.
Hormon ini juga dapat meningkatkan molekul penting lain seperti lipokortin
1. Mekanisme aksi lipokortin sampai saat ini belum diketahui dengan jelas, tetapi
efek biologinya adalah menurunkan aktivitas fosfolipase A2 yang menurunkan
pelepasan asam arakhidonat dari fosfolipid membran, sehingga prekursor
pembentukan prostaglandin dan leukotrin menjadi berkurang.
Glukokortikosteroid sangat berperan pada replikasi dan pergerakan sel.
Hormon ini menginduksi terjadinya monositopenia, eosinopenia, dan limfositopenia.
Limfositopenia yang terjadi akibat glukokortikosteroid lebih berefek pada sel T
dibandingkan dengan sel B. Limfositopenia ini tampaknya disebabkan akibat adanya
redistribusi sel, dimana sel-sel ini bermigrasi dari sirkulasi ke jaringan limfoid lain.
Di samping itu, diduga glukokortikosteroid juga menginduksi terjadinya apoptosis.
Peningkatan leukosit polimorfonuklear sirkulasi berhubungan dengan midgrasi sel
dari sumsum tulang dan removal rate dari sirkulasi yang berkurang, dan adanya
hambatan apoptosis neutrofil.
Glukokortikosteroid mempengaruhi aktivasi, proliferasi, dan diferensiasi sel.
Hormon ini berperan pada tingkat mediator inflamasi dan reaksi imun yang terlihat
dengan adanya inhibisi sintesis atau pelepasan interleukin 1 (IL-1), IL-2, IL-6, dan
tumor necrosis factor (TNF). Demikian pula fungsi makrofag termasuk fagositosis,
antigen processing dan cell killing dihambat oleh kortisol. Efek ini mempengaruhi
immediated dan delayed hypersensitivity.
Hormon ini juga lebih mensupresi fungsi monosit dan limfosit baik T helper 1
(TH1) maupun T helper 2 (TH2) daripada leukosit polimorfonuklear. Efek ini penting
FARMAKOLOGI
Pada saat diberikan hidrokortison dalam dosis sedang dan tinggi, efek
mineralokortikoidnya mengalami kerusakan dan terjadi sintesis kortisol yang
memiliki kemampuan anti-inflamasi yang lebih besar dan retensi cairan yang lebih
kecil. Dengan mensubstitusi struktur steroid dasar pada cincin 3 heksana dan pentana
menghasilkan plasma half-life dan potensi anti-inflamasi serta retensi sodium yang
berbeda. Pada umumnya, kebanyakan analog sintetik kurang mampu mengikat CBG,
yaitu hanya sekitar 70%. Ini menunjukkan obat ini bertendensi menimbulkan efek
samping walaupun pada dosis yang rendah. Kelompok 11 betahidroksil yang terdapat
dalam kortisol merupakan bahan esensial. Kortison dan prednison adalah senyawa 11
keto, baru aktif setelah diubah menjadi senyawa 11 betahidroksil berupa kortisol dan
prednisolon di dalam hepar. Penderita dengan penyakit hepar berat pada umumnya
tetap dapat mempertahankan kemampuan mengubah senyawa 11 keto ini.
Efek farmakologi glukokortikosteroid berupa:
Efek anti-inflamasi
Efek anti-inflamasi primer glukokortikosteroid adalah mengurangi akumulasi
sel pada tempat peradangan, menghalangi perlekatan granulosit pada epitel
pembuluh darah tempat peradangan, dan menghambat produksi kolagen dengan
menghambat aktivitas proline hydroxylase.
Efek imunosupresif
Pada hipersensitivitas tipe lambat, kortisol dapat menghambat kelebihan
limfokin sel target. Efek imunosupresif glukortikosteroid terjadi terhadap
pembentukan antibodi dan imunitas selular. Efek supresi ini masih sedikit
diketahui.
Sintesis deoxyribonucleic acid (DNA)
Glukokortikosteroid dapat menghambat sintesis DNA dan mitosis epidermis
dalam waktu 30 jam setelah aplikasi.
Vasokonstriksi
Fungsi ini ikut berperan pada peningkatan efek anti inflamasi.
Metabolisme
a. Elektrolit
Hormon ini menyebabkan retensi natrium, klor, dan cairan dengan
keluarnya cairan intraselular ke ekstraselular. Selain itu juga mengakibatkan
kehilangan ion kalium, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan,
hipotensi, dan metabolisme alkali. Hormon ini juga dapat meningkatkan
produksi asam lambung dan pepsin di lambung sehingga mempermudah
terjadinya ulkus peptikum.
b. Karbohidrat
Kortikosteroid menimbulkan efek katabolisme karbohidrat, sehingga
mengakibatkan terjadinya hiperglikemia dan resistensi terhadap insulin. Hal
ini terutama disebabkan adanya peningkatan glukoneogenesis dari protein,
lemak, dan prekursor karbohidrat lain di dalam hati.
c. Lemak
Hormon ini mengakibatkan penghancuran lemak dengan membentuk
badan-badan keton, peningkatan lemak serum dan kolesterol.
d. Protein
Efek glukokortikosteroid pada metabolisme protein mengakibatkan
katabolisme protein dan anti anabolisme. Oleh sebab itu, pemberian
glukokortikosteroid dosis tinggi pada anak-anak akan mengakibatkan
penghambatan pertumbuhan.
e. Jaringan mesenkim
Efek hormon kortiokosteroid terhadap jaringan mesenkim berupa
penekanan respon sel-sel yang berperan pada peradangan lokal.
Potensi
Plasma
Duration of
glukokortikoid
mineralokortikoid
half-life
action (jam)
ekuivalen (mg)
Short-acting
Hidrokortison
(kortisol)
Kortison
Intermediate-acting
Prednison
Prednisolon
Metilprednisolon
Triamsinolon
Long acting
Deksametason
(menit)
20
0,8
90
8 12
25
30
8 12
5
5
4
4
0,25
0,25
0
0
60
200
180
300
24 36
24 36
24 36
24 36
0,75
200
36 54
mulai
pengobatan
dengan
glukokortikosteroid,
perlu
pengobatan dilakukan secara lambat selama 2-3 jam guna mengurangi terjadinya efek
samping. Pada pengobatan glukokortikosteroid memerlukan pemeriksaan elektrolit
serum sebelum dan sesudah pulse therapy, khususnya pada penderita yang juga
mendapat pengobatan diuretik.
Cara pemberian preparat glukokortikosteroid sistemik:
Dosis harian tunggal (single daily dose)
Keuntungan cara pemberian pengobatan ini adalah :
a. Pasien lebih mudah mengingat
b. Efek hambatan terhadap aksis hipothalamus-hipofisis-adrenal akan jauh lebih
kurang dibandingkan dengan cara pemberian divided dose dengan jumlah
dosis yang sama.
Setiap hari kortisol diproduksi oleh korteks adrenal sesuai dengan cicardian
rhythm yang sangat tergantung pada hipothalamus, ini akan merangsang kelenjar
hipofise mensekresikan hormon ACTH yang dapat mempengaruhi produksi kortisol
di zona fasikulata korteks adrenal.
Sekresi kortisol diatur oleh negative feedback mechanism. Pada waktu kadar
kortisol plasma tinggi, keadaan ini akan menghentikan pelepasan corticotropin
release factor oleh hipothalamus dan mengakibatkan penurunan sekresi ACTH,
demikian sebaliknya.
Kadar kortisol plasma mencapai kadar maksimal pada jam 8 pagi dan akan
menurun sampai mencapai kadar minimal pada sekitar 12 jam kemudian. Sehubungan
dengan efek hambatan endogen terhadap aksis hipothalamus-hipofisis-adrenal
mencapai maksimal pada jam 8 pagi, maka pemberian kortikosteroid eksogen pada
saat yang sama sesuai dan bertepatan dengan cicardian rhythm ini, sehingga dapat
mengurangi terjadinya sefek supresi hormon tersebut terhadap korteks adrenal.
Dosis Harian Terbagi (divided dose)
Cara pemberian dosis ini tidak sebaik bila dibandingkan dengan cara
pemberian dosis harian tunggal. Cara pemberian pengobatan ini dilakukan dengan
tujuan memperoleh efek antiinflamasi dan imunologi secara terus-menerus. Bila
keadaan penyakit telah dapat diatasi secara adekuat, cara pemberian pengobatan ini
harus digantikan dengan cara pemberian yang dapat menimbulkan efek anti inflamasi
dan imunosupresi yang ringan.
Skema Dosis
Pemberian pengobatan dengan GS dapat dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu :
1. Mulai dengan dosis tinggi, lalu diturunkan ke dosis rendah (high-low). Cara
pemberian ini biasanya dilakukan pada kasus akut atau life saving.
2. Mulai dari dosis rendah, lalu dinaikkan ke dosis tinggi (low-high). Pada cara
pemberian ini sering mengalami kesulitan mencapai dosis pemeliharaan yang
ideal.
3. Dosis menetap atau konstan. Pada saat ini, lebih disenangi cara pemberian
dengan dosis menetap. Bila belum memperoleh hasil pengobatan yang
diharapkan, maka dosis pemberian dapat dinaikkan.
4. Dosis intermitten. Perlu diperhatikan pada saat dilakukan tappering off,
penurunan dosis pengobatan GS tidak boleh lebih dari 12,5 mg dan dosis yang
diturunkan ini harus dipertahankan selama 2-3 hari. Bila gejala klinik
memburuk pada saat penurunan dosis, maka harus dilakukan penetapan ulang
dosis pengobatan.
atopik,
eksema
idiopatik,
dermatitis
seboroik,
psoriasis
pengobatan
konservatif
dapat
diberikan
pengobatan
KONTRA
PENGOBATAN
GLUKOKORTIKOSTEROID
SISTEMIK
1. Indikasi kontra absolut : tuberkulosis aktif, resistensi primer
2. Indikasi kontra mayor tapi relatif : ulkus peptikum, psikosis, diabetes melitus,
osteoporosis, riwayat epilepsi, obesitas
gangguan menstruasi,
astenia, kelemahan
otot,
penyembuhan
luka,
fraktur
patologik,
osteoporosis,
Interaksi obat
Glukokortikosteroid dihubungkan dengan sejumlah interaksi obat. Obat-obat yang
dapat berinteraksi dengan obat lain, seperti: barbiturat, fenitoin dan rifampisin yang
dapat menginduksi enzim mikrosomal hepatik yang dapat meningkatkan metabolisme
glukokortikoid sistemik. Obat-obat seperti kolestiramin, kolestipol dan antasida dapat
menghambat absorpsi glukokortikoid sistemik. Glukokortikosteroid dapat mereduksi
kadar salisilat serum dan meningkatkan kebutuhan dosis warfarin yang lebih tinggi
pada pengobatan antikoagulasi.
Efek samping imunologi
Glukokortikosteroid
mempengaruhi
reaksi
hipersensitivitas
lambat
dengan
menghambat sel-sel limfosit dan monosit. Pemberian prednison dengan dosis harian
15 mg atau lebih dapat mensupresi respons terhadap reaksi tuberkulin.
Perhatian khusus pada wanita hamil dan menyusui
Glukokortikosteroid dapat melintasi plasenta, tetapi tidak bersifat teratogenik. Pada
wanita yang menyusui dan mendapatkan pengobatan glukokortikoid sistemik, perlu
dilakukan monitoring bayinya terhadap adanya supresi adrenal dan pertumbuhan.
STRATEGI UNTUK MENGURANGI EFEK SAMPING GLUKOKORTIKOID
Evaluasi sebelum pengobatan
Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya efek samping akibat glukokortikoid
sistemik, perlu dilakukan penilaian sebelum diberikan pengobatan, termasuk: riwayat
penyakit pasien dan keluarganya, adanya faktor-faktor predisposisi seperti diabetes,
hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit-penyakit lain yang dapat terpicu
akibat pengobatan dengan steroid. Sebelum diberikan pengobatan glukokortikoid
sistemik perlu dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan berat badan.
Pada pengobatan jangka lama, sebelum pemberian pengobatan perlu dilakukan
pemeriksaan
baseline
spinal
bone-density
dengan
melakukan
pemeriksaan
sebagai berikut:
a. Pada anamnesis: perlu ditanya adanya poliuria, polidipsia, nyeri abdominal,
demam, gangguan tidur dan efek psikologi.
b. Pada pemeriksaan fisik: perlu dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan berat
badan.
c. Pemeriksaan laboratorium: perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit serum, gula
darah puasa, kadar kolestrol dan trigliserida, feses untuk mencari adanya
perdarahan tersamar.
d. Pemeriksaan mata: perlu dilakukan untuk mencari kemungkinan terjadinya
katarak atau glaukoma.
Tindakan preventif
Diet
Diet yang diberikan harus rendah kalori, lemak dan natrium dengan tinggi protein,
potasium dan kalsium. Intake protein adalah penting untuk mengurangi terjadinya
steroid induced nitrogen washing. Konsumsi alkohol, kopi dan nikotin harus
dikurangi dan melakukan olahraga.
Infeksi
Penderita dengan tes mantoux positif harus diberikan pengobatan profilaksis dengan
isoniazid. Pada penderita anergi harus dilakukan pemeriksaan foto toraks sebelum
diberikan pengobatan guna mencari bukti adanya tuberkulosis yang diderita
sebelumnya. Pada penderita yang mengalami demam atau adanya infeksi fokal harus
dievaluasi dengan pemeriksaan kultur dan tindakan diagnosis lain.
Komplikasi gastrointestinal
Supresi adrenal
Pada penderita yang mendapat pengobatan glukokortikoid sistemik lebih dari 3-4
minggu harus dilakukan penilaian kemungkinan adanya supresi adrenal yang perlu
dilakukan tapering glukokortikoid sistemik untuk memulihkan aksis HPA. Tindakan
tapering merupakan tindakan terbaik dengan pemberian dosis harian tunggal menjadi
dosis selang-seling (alternate-day dose). Langkah pertama adalah menurunkan dosis
harian secara bertahap sampai 40-50 mg prednison. Kemudian dosis pemberian dapat
tetap dipertahankan konstan pada 1 hari dan dikurangi 5 mg pada hari berikutnya,
sampai 5 mg/hari atau dosis steroid dinaikkan pada 1 hari dan dikurangi pada hari
berikumya dengan dosis yang sama.
Setelah dosis prednison mencapai 5 mg pada hari berikutnya, perlu dinilai pemberian
dosis pemeliharaan. Pengukuran kadar kortisol plasma jam 8 pagi dilakukan 4
minggu setelah dosis pemberian telah mencapai 5 mg. Dosis pagi prednison diberikan
sampai diperoleh hasil kadar kortisol plasma. Bila kadar kortisol plasma kurang dari
10 mg/dl. Dosis alternate-day prednison harus dikurangi 1 mg setiap 1 sampai 2
minggu dan mencapai dosis pemeliharaan sebesar 2 mg/hari. Kemudian dilakukan
pemeriksaan ulang kadar plasma kortisol jam 8 pagi setiap 2 bulan sampai kadar
kortisol plasma lebih besar dari 10 mg/dl. Pada saat itu, pemberian glukokortikoid
sistemik pemeliharaan dapat dihentikan.
Penyembuhan atau pemulihan aksis HPA dapat berlangsung lebih dari 9 bulan. Pada
umumnya insufisiensi adrenal akan pulih dalam waktu 1 tahun setelah penghentian
pengobatan glukokortikoid sistemik. Untuk menilai pemulihan adrenal, dapat
dilakukan pemeriksaan ACTH stimulation test setelah penghentian pengobatan
pemeliharaan glukokortikoid sistemik.
Osteoporosis
Aterosklerosis
Nekrosis avaskular
Pendeteksian dini kelainan ini adalah penting untuk mencegah terjadinya penyakit
sendi degeneratif yang memerlukan penggantian sendi. Sekitar 20% hasil
pemeriksaan sinar-X penderita nekrosis avaskular adalah normal. Untuk mendeteksi
kelainan ini pemeriksaan bone scan dan magnetic resonance imaging MRI) adalah
lebih sensitif. Penderita harus ditanyakan adanya nyeri dan keterbatasan gerak pada
sendi. Bila terdapat keluhan tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan sinar-X, bone scan
atau MRI. Bila hasil MRI menunjukkan adanya kelainan ini, maka penderita harus
dirujuk ke ahli ortopedi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.