Anda di halaman 1dari 2

Kajian Sistim Fiskal Perminyakan Indonesia: Permasalahan dan Alternative Pemecahannya

Kajian Fiskal Kajian Kebijakan Pemerintah


Jumat, 28 Maret 2014
Produksi minyak Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan selama dekade terakhir
sehingga produksi rata-rata per hari mencapai sekitar 861 ribu barel pada tahun 2012, atau
mengalami penurunan sebesar 44% sejak tahun 2000. Penurunan ini disebabkan karena sumursumur yang telah berproduksi sudah mature dengan usia diatas 15 tahun. Dalam kondisi yang
demikian, produksi sudah mulai menurun dan usaha yang dapat dilakukan adalah membuat
penurunan tidak tajam melalui, misalnya, secondary recovery. Selain itu, kegiatan eksplorasi
untuk menemukan ladang-ladang baru juga tidak banyak dilakukan. Dari 138 cekungan minyak
yang dilaporkan, sampai saat ini baru 38 yang telah diekplorasi, sisanya masih merupakan
cekungan yang belum pernah dijamah.
Produksi minyak Indonesia sebenarnya masih bisa ditingkatkan baik melalui reaktivasi sumursumur yang telah dinonaktifkan, recovery, dan eksplorasi ladang-ladang baru. Namun demikian
kegiatan-kegiatan tersebut belum banyak dilakukan karena beberapa hal. Pertama, pengaktifan
sumur-sumur tua dan recovery memerlukan tambahan biaya. Dengan tingkat produksi yang
relative lebih rendah karena kondisi sumur, nilai ekonomi sumur akan menurun. Untuk menarik
investor, maka perlu adanya insentif khusus berupa sistim fiskal yang dapat mengakomodasi
investasi baru tersebut.
Kedua, cekungan-cekungan minyak yang belum di eksplorasi umumnya berlokasi di Indonesia
Timur dengan tingkat geologi yang sukar sehingga memerlukan biaya investasi yang tinggi dan
risiko kegagalan juga tinggi. Tingkat kesukaran geologi sebenarnya masih menarik secara
ekonomis bagi investor. Yang menjadi masalah bagi investor adalah masalah fiskal, hukum, dan
birokrasi. Investor memerlukan kejelasan dan kemudahan birokrasi untuk melakukan investasi,
terutama dengan adanya otonomi daerah. Dari sudut fiskal, investor menghendaki sistim fiskal
yang kondusif yang dapat mengakomodir tingkat kesulitan geologi dan risiko investasi untuk
eksplorasi dan produksi.
Terlepas dari masalah birokrasi, kepastian hukum, dan stabilitas politik yang ikut mempengaruhi
keputusan investasi, sistim fiskal perminyakan akan menjadi penentu investasi baru di industry
perminyakan Indonesia, bahkan menjadi faktor dominan yang mempengaruhi pengambilan
keputusan. Hal ini karena dalam menilai kelayakan investasi, perusahaan minyak internasional
(IOC) selalu melihat nilai keuntungan setelah pajak. Variabel-variabel seperti net present value
(NPV), internal rate of return (IRR), payback period, dan profitability ratio (PR) umumnya
dievaluasi atas dasar keuntungan setelah pajak.

Sistim fiskal ini harus menjamin kedua pihak yaitu pemerintah Indonesia dan investor
memperoleh bagian yang layak. Pemerintah dapat memaksimumkan nilai dari sumberdaya alam
yang dimilikinya untuk kepentingan negara dan dapat mencapai agenda lain seperti menciptakan
lapangan kerja, transfer teknologi, dan pembangunan infrastruktur terutama di daerah-daerah
dimana lokasi sumberdaya alam tersebut berada. Perusahaan minyak atau investor dapat
memaksimumkan return on investment atau dapat menjamin bahwa return on capital harus
konsisten dengan risiko dari investasi yang dilakukannya. Berapapun besarnya prosentasi yang
akan diperoleh melalui PSC, perusahaan minyak tidak akan tertarik untuk berinvestasi jika ROI
yang dihasilkan tidak sesuai dengan risiko yang dihadapi.
Untuk itu, perlu disusun sistim fiskal yang seimbang, self adjusting fiscal system yang dapat
mengakomodasi tujuan kedua belah pihak. Sistim fiskal yang diajukan pemerintah harus bisa
mengakomodasi tujuan pemerintah dan pada saat yang sama juga harus mampu menarik investor
untuk melakukan eksplorasi dan produksi minyak. Setiap ladang minyak mempunyai karakter
tersendiri sehingga sistim ini harus fleksibel yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan geologi
dan nilai ekonomis dari setiap ladang baru yang akan dieksplorasi maupun pengaktifan sumur
lama dan well recovery. Misalnya, ladang yang bersifat marginal (marginal fields) tidak bisa
dieksploitasi secara ekonomis dengan sistim fiskal yang berlaku sekarang dan tingkat teknologi
yang digunakan saat ini. Sistim fiskal yang dikembangkan juga harus mampu mengakomodasi
isu netralitas karena sistim yang tidak netral atau ultra regressive akan membuat perusahaan
minyak membalikkan investsinya dari lading yang tidak konvensional. Jadi Sistim fiskal yang
justru akan mengalihkan atau membalikkan investasi harus dihindari.
Untuk menentukan tingkat fleksibilitas atau netralitas suatu sistim fiskal perminyakan, perlu
disusun atau dilakukan perhitungan yang lebih mendalam dengan menggunakan beberapa
skenario, modeling, risk analysis, dan sensitivity analysis. Melalui teknik teknik ini, perhitungan
yang lebih akurat dapat diperoleh sehingga seberapa jauh tingkat fleksibilitas suatu sistim fiskal
dapat ditentukan dan strategi yang lebih komprehensif dapat diperoleh. Simulasi-simulasi dapat
dilakukan untuk menganalisa pengaruh beberapa alternatif sistim fiskal pada nilai ekonomi dari
proyek dan sensivitasnya terhadap perubahan variable ekonomi. Namun demikian, metodemetode tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu yang cukup pendek. Oleh karena itu perlu
dilakukan studi lanjutan untuk mendesain sistim fiscal yang lebih konkrit.

Anda mungkin juga menyukai