Anda di halaman 1dari 29

Penegakkan Diagnosis dan Penatalaksanaan pada

Rheumatoid Arthritis
Timoty Mario / 10.2012.161
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6, Jakarta Barat, 11470
Email : timotymario@yahoo.co.id
Pendahuluan
Artritis merupakan suatu kondisi yang dapat timbul oleh banyak hal
seperti infeksi, proses autoimun, reaksi inflamasi, dan sebagainya. Keluhan
yang sering timbul adalah nyeri, kaku, hingga gangguan fungsional pada
sendi. Jenis, berat, dan penyebaran penyakit rematik dipengaruhi oleh
beberapa faktor resiko seperti umur, jenis kelamin, genetik, dan faktor
lingkungan.1
Keluhan-keluhan artritis pada penyakit-penyakit yang berbeda seringkali
mirip dan tidak begitu spesifik sehingga agak sulit dibedakan padahal terapi
akan berbeda pada penyebab artritis yang berbeda. Permasalahan lain yang
perlu dipecahkan berkaitan dengan pemahaman penyakit reumatik (baik
oleh masyarakat umum maupun kalangan medis), diagnosis, pengobatan,
pencegahan

penyakit,

pencegahan

kecacatan

dan

rehabilitasi

akibat

penyakit rematik.

Pembahasan
I.

Anamnesis
Anamnesis penyakit muskuloskeletal mencakup beberapa hal
yang harus ditanyakan untuk mendasari diagnosis sebelum dilakukan
pemeriksaan fisik dan penunjang. Hal-hal tersebut dideskripsikan
sebagai berikut.
1. Riwayat penyakit

1 | Page

Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal diagnosis


semua penyakit, termasuk pula penyakit reumatik. Sebagaimana
biasanya

diperlukan

riwayat

penyakit

yang

deskriptif

dan

kronologis, ditanyakan pula faktor yang memperberat penyakit dan


hasil pengobatan sebelumnya (bila pernah dilakukan terapi).
2. Umur
Penyakit

rematik

frekuensinya

dapat

berbeda

pada

menyerang
setiap

semua

kelompok

umur,
umur.

tetapi

Misalnya

osteoartritis yang lebih banyak ditemukan pada pasien usia lanjut


dibanding pasien usia muda.
3. Jenis kelamin
Frekuensi sebagian besar penyakit reumatik berbeda antara pria
dan

wanita.

Seperti

misalnya

Rheumatoid

artritis,

Lupus

eritematosus sistemik, artritis psoriatik, dan Osteoartritis lutut dan


tangan lebih banyak ditemukan pada wanita. Sementara penyakitpenyakit yang dominan ditemukan pada pria adalah Spondilitis
ankilosis, penyakit Reiter, dan artritis gout.
4. Nyeri sendi
Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien reumatik. Pasien
sebaiknya

diminta

menjelaskan

lokasi

nyeri

serta

punctum

maximumnya, karena mungkin sekali penekanan radiks saraf justru


menjalarkan nyeri ke tempat lain yang jauh dari lokasi penekanan
tersebut. Perlu juga dibedakan antara nyeri yang disebabkan oleh
gangguan mekanis atau nyeri karena inflamasi. Nyeri karena
inflamasi biasanya memberat saat bangun pagi disertai kaku sendi
atau nyeri yang hebat saat mulai digerakkan. Lalu, akan mereda
hingga mungkin hilang saat melakukan aktivitas. Sebaliknya, nyeri
karena gangguan mekanis akan timbul setelah aktivitas tetapi akan
mereda saat istirahat dan tidak timbul saat pagi hari. Sebagai
perbandingan, nyeri karena artritis reumatoid nyeri paling berat
2 | Page

biasanya pada pagi hari, membaik pada siang hari, dan sedikit
memberat lagi pada malam hari. Pada osteoartritis, nyeri paling
berat terjadi pada malam hari, lalu membaik pada pagi hari dan
paling ringan pada siang hari. Pada artritis gout, nyeri paling hebat
biasanya menyerang pada pagi hari semntara pasien tidak
merasakan nyeri sama sekali pada malam sebelumnya.
5. Kaku sendi
Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat sehingga pasien kesulitan
bahkan tidak bisa menggerakkan sendi. Keadaan ini biasanya
dikarenakan desakan cairan yang berada di sekitar jaringan yang
mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovia, atau bursa). Kaku sendi
makin nyata pada pagi hari atau setelah istirahat. Setelah digerakgerakkan, cairan akan menyebar dari sekitar jaringan yang
meradang dan rasa kaku akan hilang. Lama dan beratnya kaku
sendi berkaitan dengan beratnya inflamasi pada sendi tersebut.
6. Bengkak sendi dan deformitas
Perlu

ditanyakan

adakah

bengkak

sendi,

perubahan

warna,

perubahan bentuk, atau perubahan posisi struktur ekstremitas.


7. Disabilitas dan handicap
Disabilitas terjadi bila suatu jaringan, organ, atau sistem tidak
dapat berfungsi secara adekuat. Handicap terjadi bila disabilitas
mengganggu aktivitas sehari-hari, aktivitas sosial, atau pekerjaan
penderita. Disabilitas yang nyata belum tentu menyebabkan
handicap bila aktivitas pasien masih dapat dilakukan dengan
disabilitas sekalipun. Sebaliknya, disabilitas ringan dapat juga
menyebabkan handicap.
8. Gejala sistemik
Penyakit sendi inflamatorik, baik yang diikuti kelainan multisistem
atau tidak, akan menyebabkan peningkatan rekatan-reaktan fase
akut inflamasi seperti LED dan CRP. Selain itu, akan timbul gejalagejala sistemik seperti panas, penurunan berat badan, kelelahan,
3 | Page

lesu, dan keluhan tidak spesifik seperti merasa tidak enak badan.
Pada orang usia lanjut dapat disertai kekacauan mental.
9. Gangguan tidur dan depresi
Faktor yang berperan pada gangguan pola tidur antara lain: nyeri
kronik, terbentuknya fase reaktan, obat antiinflamasi nonsteroid
(seperti indometasin). Perlu diperhatikan juga adakah gejala
depresi terselubung seperti retardasi psikomotor, konstipasi, mudah
menangis, dsb.2
II.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan

fisik

pada

keluhan

penyakit

muskuloskeletal

meliputi tiga proses berurutan, yaitu look (inspeksi), feel (palpasi),


dan move. Sesuai keluhan pasien pada skenario, pemeriksaan fisik
dilakukan pada ekstremitas atas.
1. Look
Pemeriksaan

inspkesi

pemeriksaan

secara

dilakukan
visual

untuk

paling

awal.

Merupakan

menemukan

tanda-tanda

abnormalitas secara kasat mata.

a. Bentuk/posisi sendi
Perlu diperhatikan bagaiman pasien mengatur posisi bagian
badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya memunyai
tekanan intraartikular yang tinggi, oleh karena itu pasien
berusaha menguranginya dengan mengatur posisi sendi
tersebut seenak mungkin, biasanya dalam posisi setengah
fleksi. Pada sendi bahu misalnya dengan cara lengan diaduksi
dan endorotasi. Sebaliknya bila diabduksi dan eksorotasi
pasien akan merasa kesakitan akibat peningkatan tekanan
intraartikular.2
b. Deformitas

4 | Page

Deformitas dapat terlihat pada keadaan diam, dan biasanya


akan semakin jelas saat pasien diminta menggerakkan sendi
yang

mengalami

deformitas.

Perlu

dibedakan

antara

deformitas yang dapat dikoreksi (gangguan jaringan lunak)


dan yang tidak dapat dikoreksi ( misalnya restriksi kapsul
sendi atau kerusakan sendi). Berbagai deformitas yang dapat
terjadi pada sendi siku antara lain valgus, varus, rekurvatum,
subluksasi, dan deformitas fleksi. Macam-macam deformitas
di atas dapat juga terjadi pada sendi lutut. Sedangkan
daformitas yang terjadi pada sendi-sendi di tangan antara lain
boutonniere

finger,

swan

neck

finger,

ulnar

deviation,

subluksasi sendi metacarpal dan pergelangan tangan. Pada


ibu jari dapat ditemukan unstable-Z-shaped thumb.
c. Perubahan kulit
Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau
penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik. Kelainan
kulit yang sering ditemukan antara lain psoriasis dan eritema
nodosum. Kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di
sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi periartikular,
yang seringpula menunjukkan tanda artritis septik atau artritis
kristal.
d. Bengkak sendi
Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak,
atau tulang. Cairan sendi yang menumpuk biasanya akan
menumpuk di sekitar kapsul sendi yang resistensinya paling
lemah dan menyebabakan bentuk yang khas pada tempat
tersebut, misalnya:
-

Pada efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan


medial

dan

kantung

suprapatelar

mengakibatkan

pembengkakan di atas dan sekitar patella yang berbentuk


seperti ladam kuda.
5 | Page

Pada sendi interphalang pembengkakan terjadi pada sisi


posterolateral di antara tendon ekstensor dan ligamen
kolateral bagian lateral.

Efusi cairan sendi glenohumeral akan mengisi cekungan


segitiga di antara klavikula dan otot deltoid di atas otot
pektoralis.

Pada

efusi

sendi

pergelangan

kaki

akan

terjadi

pembengkakan pada sisi anterior.


e. Atrofi dan penurunan kekuatan otot
Atrofi otot merupakan tanda yang sering ditemukan. Pada
sinovitis segera terjadi hambatan refleks spinal lokal terhadap
otot yang bekerja untuk sendi tersebut. Pada atropati berat
dapat terjadi atrofi periartikular yang luas. Sedangkan pada
jepitan saraf, gangguan tendon atau otot, terjadi atrofi lokal.
Nantinya perlu dinilai kekuatan otot. Ini lebih penting dari
besarnya otot.
f. Nodul
Nodul sering ditemukan pada berbagai artropati, umumnya
ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan,
siku, tumit belakang, sakrum). Nodul sering ditemukan pada
artritis gout (tofi) dan artritis reumatoid (nodul reumatoid).
g. Lesi membran mukosa
Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit reiter atau
atropati reaktif) atau dengan gejala (lupus eritematosus
sistemik, vaskulitis, sindrom Behcet).2
2. Feel (palpasi)
a. Kenaikan suhu sekitar sendi
Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan akan
dirasakan kenaikan suhu di sekitar sendi yang mengalami
inflamasi.
b. Bengkak sendi
6 | Page

Perabaaan

dapat

mengidentifikasi

pembengkakan

atau

penonjolan abnormal yang tidak terlihat saat inspeksi.


c. Nyeri raba
Merupakan aspek yang sangat penting dalam palpasi sendi.
Menentukan lokasi nyeri raba adalah hal yang sangat penting
untuk mengetahui sebab keluhan pasien. Nyeri raba kapsular
atau artikular terbatas pada daerah sendi merupakan tanda
artropati atau penyakit kapsular. Nyeri raba periartikular agak
jauh dari batas daerah sendi merupakan tanda bursitis atau
entesopati.2
3. Move (pergerakan)
a. Nyeri gerak
Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerakan sendi pada
keadaan aktif dan pasif dan dibandingkan kiri dan kanan.
Sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi
pada semua arah. Tenosinovitis atau lesi periartikular
akan menyebabkan berkurangnya gerakan sendi pada satu
arah saja. Artropati akan menyebabkan gangguan yang
sama dengan sinovitis. Bila gerakan pasif lebih luas dari
gerakan aktif, kemungkinan ada pula gangguan pada otot
atau tendon.
Nyeri gerak merupakan tanda diagnosis yang bermakna, nyeri
ringan hingga sedang yang meningkat tajam bila dilakukan
gerakan semaksimal mungkin sampai terasa tahanan disebut
stress pain. Bila terdapat stress pain pada semua arah
pergerakan maka itu merupakan tanda khas untuk gangguan
di luar sendi (tenosinovitis). Nyeri yang dirasakan pada
semua sumbu gerak sendi lebih mengarah kepada gangguan
mekanik

dari

nyeri

inflamasi.

Pemeriksaan

lain

untuk

mendeteksi gangguan pada otot dan tendon adalah ressisted


active movement dimana pasien melawan gerakan yang
7 | Page

dilakukan tangan pemeriksa. Gangguan otot dan tendon akan


menyebabkan rasa nyeri.
b. Krepitasi
Merupakan bunyi berderak yang dapat diraba sepanjang
gerakan

struktur

yang

terserang.

Krepitus

halus

dapat

didengar melalui stetoskop dan tidak dihantarakan ke tulang


di sekitarnya. Keadaan ini ditemukan pada radang sarung
tendon, bursa, atau sinovia. Krepitus kasar, suaranya dapat
terdengar tanpa stetoskop dan dapat diraba sepanjang
tulang. Keadaan ini disebabkan kerusakan rawan sendi atau
tulang.2
III.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis pada
keluhan penyakit-penyakit reumatologi meliputi analisis cairan sendi,
pemeriksaan CRP, faktor reumatoid (Rf), autoantibodi, komplemen,
dan pencitraan.
1. Analisis cairan sendi
a. Bekuan
Cairan

sendi

mengandung

secara
sedikit

normal
sekali

tidak

protein

membeku

karena

pembekuan

seperti

fibrinogen, protrombin, faktor V, faktor VII, dan tromboplastin


jaringan. Pada inflamasi sendi, protein-protein tersebut dapat
menerobos masuk ke dalam cairan sendi sehingga dapat
menyebabkan pembekuan. Kecepatan terbentuknya bekuan
berkorelasi dengan derajat inflamasi.
b. Volume
Sendi normal umumnya mengandung sedikit cairan sendi.
Sebagai contoh, sendi besar seperti lutut hanya mengandung
3-4 ml cairan sinovial. Pada keadaan sinovitis, membran
dialisat
8 | Page

sendi

mengalami

kerusakan

sehingga

terjadi

akumulasi cairan berlebih di ruang sendi. Volume bukan


parameter

penentu

inflamasi

atau

bukan,

tetapi

dapat

digunakan untuk menilai perkembangan hasil terapi.


c. Viskositas
Cairan sendi normal sangat kental kerena mengandung
terdapat polimer hyaluronat dalam konsentrasi yang sangat
tinggi. Asam hyaluronat merupakan komponen non protein
utama dalam cairan sendi yang berperan sebagai lubrikan
sendi. Pada inflamasi biasanya asam hyaluronat akan rusak
dan

mengalami

viskositas

cairan

depolimerisasi
sendi.

Viskositas

sehingga
normal

menurunkan
berada

pada

rentang 7-10 cm pada pemeriksaan string test.


d. Warna dan kejernihan
Normalnya jernih dan tidak berwarna. Pada sendi yang
mengalami inflamasi, jumlah leukosit dan eritrosit akan
meningkat. Eritrosit pada sinovia akan mengalami kerusakan
sehinga

menghasilkan

warna

kekuningan

(xantochrome).

Leukosit akan memberi warna putih, sehingga semakin tinggi


jumlah leukosit, maka cairan sendi akan berwarna putih
sampai krem seperti pada artritis septik. Kristal asam
urat memberi warna putih seperti susu. Sementara itu,
bakteri Staphylococus aureus memeberi pigmen keemasan,
Serratia marcescens memberi warna kemerahan.
e. Jumlah dan hitung jenis leukosit
Pemeriksaan ini sangat membantu pengelompokan cairan
sendi. Paling tidak, pemeriksaan ini dapat mengelompokkan
cairan sendi ke dalam kelompok inflamasi atau non inflamasi.
Pada cairan sendi inflamasi seperti Reumatoid artritis, jumlah
leukosit umumnya 3000-50.000 sel/ml, sedang pada cairan
sendi purulen jumlah leukosit umumnya >50.000 sel/ml.
Kadar PMN pada keadaan normal biasanya <25%, sedang
9 | Page

pada kelompok inflamasi >70% (inflamasi tanpa purulen


>70%; purulen >90%).
f. Kristal
Pemeriksaan kristal sebaiknya dilakukan pada sediaan basah
segera

setelah

aspirasi

cairan

sendi.

Penemuan

kristal

monosodium urat (MSU) merupakan diagnosis pasti artritis


gout.
g. Pemeriksaan mikrobiologi
Artritis septik harus selalu dipertimbangan, terutama pada
artritis inflamasi yang terjadi bersamaan dengan infeksi di
tempat lain (endokarditis, selulitis, pneumonia), sebelumnya
pernah terjadi kerusakan sendi, pasien-pasien diabetes serta
pasien pasca transplantasi. Pada pengelompokan cairan
sendi, artritis septik termasuk kelompok purulen (Kelompok
III) dengan jumlah leukosit >50.000 sel/ml. Tetapi kadangkadang cairan sendi septik dapat memberikan gambaran
cairan sendi inflamasi non purulen (kelompok II). Tetapi
sebaliknya juga, kelompok III dapat pula terjadi pada artritis
inflamasi non infeksi seperti gout dan pseudogout. Pada
umumnya, pemeriksaan dengan pewarnaan gram dan kultur
bakteri cukup untuk analisis cairan sendi.3
2. Pemeriksaan CRP (C-Reactive Protein)
Bahan pemeriksaan merupakan serum pasien. CRP berada dalam
konsentrasi rendah dalam tubuh manusia. CRP merupakan alfa
globulin yang timbul dalam serum setelah terjadinya inflamasi.
Seringkali juga disebut reaktan fase akut pada inflamasi. Kadar
normal pada manusia sehat <0,2 mg/dl. Adanya stimulus inflamasi
akut akan meningkatkan kadar CRP secara cepat lalu mencapai
puncaknya dalam 2-3 hari. Bila stimulus inflamasi hilang, maka
kadar CRP juga akan menurun dengan cepat, dengan waktu paruh
sekitar 18 jam. Peningkatan CRP secara persisten menggambarkan
10 | P a g e

adanya inflamasi kronik seperti artritis reumatoid, tuberkulosis, dan


keganasan. Pada inflamasi akut, peningkatan CRP bersama dengan
peningkatan LED sehingga dugaan inflamasi dapat dikonfirmasi.4
3. Pemeriksan faktor reumatoid (RF)
Seringkali digunakan pada kecurigaan akan reumatoid artritis.
Tetapi, hasilnya negatif pada 30% penderita RA stadium dini. Rf
tidak bisa digunakan untuk menilai perburukan penyakit. Bisa
memberikan hasil positif pada beberapa penyakit seperti SLE,
skleroderma,

sindrom

Sjorgens,

keganasan,

sarkoidosis,

dan

infeksi.4
4. Anti Nuclear Antibody (ANA)
Pemeriksaan ANA seringkali untuk memeriksa kecurigaan terhadap
adanya penyakit SLE.4
5. Pemeriksaan Anticyclic citrullinated peptide antibody (Anti-CCP).
Sering digunakan dalam kombinasi dengan pemeriksaan Rf pada
kecurigaan adanya penyakit RA. Berkorelasi dengan perburukan
RA.4
6. Pemeriksaan pencitraan
Yang paling sering dan mudah dilakukan adalah pembuatan foto
polos. Pada penyakit RA, dia awal perjalanannya mungkin hanya
ditemukan pembengkakan jaringan lunak atau efusi sendi pada
pemeriksaan foto polos. Tetapi dengan berlanjutnya penyakit
mungkin akan lebih banyak ditemukan kelainan seperti erosi sendi.
Osteopenia juxtaartikular merupakan karakteristik RA dan chronic
inflamatory arthrities lainnya. Hilangnya kartilago artikular dan
erosi tulang mungkin timbul setelah beberapa bulang dari aktivitas
penyakit. Kurang lebih 70% penderita RA akan mengalami erosi
tulang dalam 2 tahun pertama dimana hal itu merupakan tanda
bahwa penyakit berjalan secara progresif. Erosi tulang dapat terjadi
pada semua sendi, tetapi yang tersering adalah pada sendi-sendi
MCP, MTP, dan pergelangan tangan. Foto polos bermanfaat dalam
11 | P a g e

membantu penegakan prognosis, menilai kerusakan sendi secara


longitudinal, dan bila diperluka terapi pembedahan. Pemeriksaan
MRI dapat menunjukkan erosi tulang lebih dini dan lebih rinci
daripada radiologi konvensional tetapi dengap biaya yang lebih
mahal.
Sementara itu, pemeriksaan radiografi untuk penyakit gout tidaklah
spesifik. Kelainan utama radiografi pada gout kronik adalah
inflamasi asimetri, artritis erosif, yang kadang-kadang disertai
nodul jaringan lunak.
Pemeriksaan radiologis pada artritis septik biasanya menunjukkan
perubahan pada beberapa minggu setelah infeksi. Pemeriksaan
radiologi pada stadium awal dapat digunakan sebagai data dasar
untuk

menilai

berikutnya.

berbagai

Pada

perubahan

minggu-minggu

radiologi
pertama,

pada

stadium

dapat

terlihat

ospteoporosis periartikular, penyempitan celah sendi, dan erosi.


Pada penyakit OA, pemeriksaan radiografi sangat penting untuk
menegakkan diagnosis berupa penyempitan celah sendi yang
seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung
beban. Dapat terjadi peningkatan densitas tulang subcondral, kista
tulang, osteofit pada pinggir sendi, serta perubahan struktur
anatomis sendi.5

IV.

Diagnosis banding
Pasien (Wanita, 21 tahun) mengeluh nyeri pada jari-jari tangan
dan pergelangan tangan kanan-kiri selama empat bulan terakhir.
Beberapa penyakit berikut ini dapat menjadi penyebab keluhan di
atas.
1. Osteoartritis
Osteoartritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan
dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut, dan

12 | P a g e

pergelangan kaki paling sering terkena OA. Jika kita meninjau


riwayat penyakitnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhannya
sudah berlangsung lama tetapi berkembang secara perlahan.
a. Nyeri sendi
Keluhan

nyeri

merupakan

keluhan

utama

yang

mendorong pasien datang ke dokter (meskipun mungkin


sebelumnya sudah sendi sudah kaku dan berubah
bentuk). Nyeri biasanya memberat jika sendi digerakkan
dan mereda saat istirahat. Beberapa gerakan kadang
menyebabkan nyeri yang lebih berqat dari gerakan yang
lain. Nyeri pada OA dapat juga menjalar atau akibat
radikulopati, misalnya pada OA servikal dan lumbal. OA
lumbal

yang

menjalarkan

menimbulkan
nyeri

hingga

stenosis
ke

betis

spinal
yang

dapat
disebut

claudicatio intermitten.
b. Hambatan gerak sendi
c. Kaku pagi
Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat
timbul setelah imobilitas, seperti duduk dalam waktu
lama atau bahkan setelah bangun tidur.
d. Krepitasi pada sendi yang sakit
e. Pembesaran sendi (deformitas)
f. Perubahan gaya berjalan
2. Artritis gout (pirai)
Artritis gout merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai
akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat
supersaturasi asam urat dalam cairan ekstraseluler. Gangguan
metabolik yang mendasari artritis gout adalah hiperusrisemia yang
didefinisikan sebagai peninggian asam urat melebihi 7,0 ml/dl dan
6,0 ml/dl.

13 | P a g e

Diagnosis ditegakkan dengan kombinasi temuan-temuan di


bawah ini.
a. Riwayat inflamasi klasik monoartikuler khusus pada
sendi MTP-1
b. Diikuti stadium interkritik dimana bebas simptom
c. Resolusi pengobatan yang cepat dengan kolkisin
d. Hiperurisemia8
3. Artritis septik
Artritis septik akut disebabkan oleh infeksi bakteri yang masuk ke
sendi secara hematogen, penyebaran langsung dari osteomielitis,
penyebaran bakteri secara langsung dari jaringan sekitar yang
mengalami infeksi akibat tindakan prosedurik diagnostik maupun
terapeutik seperti artrosintesis maupun artroskopi dan luka tembus.
Beberapa faktor resiko antara lain: 1) protesis pada sendi lutut dan
sendi panggul disertai infeksi kulit. 2) infeksi kulit melalui protesis.
3) Protesis panggul dan lutut tanpa infeksi lutut dan tanpa infeksi
kulit. 4) umur >80 tahun. 5) diabetes melitus. 6) Artritis reumatoid
yang mendapat pengobatan imunosupresif 7) Tindakan bedah
persendian. Dilaporkan juga bahwa SLE juga merupakan salah satu
faktor resiko. Bakteri yang masuk langsung ke dalam rongga sendi
akan berkembang di dalam cairan sendi dan sebagian akan mati
difagositosis oleh synovial lining cells dan sebagian membentuk
abses di dalam membran sinovial. Bila bakteri mencapai sinovium
melalui aliran darah, maka kuman akan berkembang biak dan
membentuk abses subsinovial yang akhirnya pecah dan akhirnya
bakteri masuk ke ruang sendi.
Staphylococus

aureus

merupakan

bakteri

yang

sering

menyebabkan artritis abkterialis dan osteomielitis pada manusia.


Diduga, kemampuan Staphylococus aureus untuk menginfeksi
sendi berhubungan dengan interaksi bakteri tersebut dengan
komponen matriks ekstraseluler. Produk metabolit bakteri akan
14 | P a g e

memicu rangkaian reaksi inflamasi yang menyebabkan reaksi


peradangan hebat.
Artritis bakterialis ditandai dengan nyeri dan pembengkakan sendi
yang akut biasanya monoartikular, terutama mengenai sendi lutut
dan

hampir

ada

selalu

penyakit

yang

mendasarinya.

Pada

umumnya pasien akan mengalami demam tetapi jarang menggigil.


Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan mikrobiologi cairan
sendi. Selain itu, kecurigaan terjadinya infeksi dapat dilihat dari
hitung leukosit cairan sendi bila melebihi 50.000/ml dengan jumlah
PMN >80%. Tetapi pemeriksaan tersebut tidak bernilai diagnostik
tinggi.
4. Systemic Lupus Erithematosus
SLE merupakan penyakit rematik autoimun yang ditandai dengan
inflamasi yang tersebar luas yang memengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi

dan

kompleks

imun

sehingga

mengakibatkan

kerusakan jaringan. Etiopatologi SLE belum diketahui secara pasti.


Diduga melibatkan interaksi yang komples dan multifaktor antara
variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga
berperanan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE
yang terjadi secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik,
berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui
faktor yang bertanggung jawab.
Interaksi

antara

jenis

kelamin,

status

hormonal,

dan

aksis

hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) memengaruhi kepekaan dan


ekspresi

klinis

SLE.

Adanya

gangguan

dalam

mekanisme

pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis


dan kompleks imun merupakan kontribusi yang penting dalam
perkembangan

penyakit

ini.

Hilangnya

toleransi

imun,

meningkatnya beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan,


gangguan supresi sel B, dan peralihan respon imun dari T helper 1
15 | P a g e

(Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi


autoantibodi

patogenik.

Respon

imun

yang

terpapar

faktor

eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi


virus dalam periode cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi
sistem imun.
Secara

umum,

gejala

konstitusional

SLE

berupa

kelelahan,

penurunan berat badan, demam, rambut rontok, hilangnya nafsu


makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala,
mual, dan muntah. Itu hanya sedikit dari banyak sekali manifestasi
klinis SLE. Menurut sistem, SLE bermanifestasi pada sistem
muskuloskeletal, kulit, paru, kardiologi, ginjal, gastrointestinal,
hingga nauropsikiatrik. Tetapi, gambaran klinis keterlibatan sendi
atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus SLE, walaupun
artritis sebagai manifestasi awal hanya sebesar 55% kasus.
Keluhan muskuloskeletal dapat berupa nyeri otot (myalgia), nyeri
sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas
bukti inflamasi pada sendi. Kelainan tersebut mirip dengan gejala
akut

artritis

reumatoid

tetapi

pada

umumnya

SLE

hanya

menyebabkan nyeri tanpa kaku sendi selama waktu tertentu, tanpa


deformitas, dan lain-lain.
Diagnosis SLE dapat ditegakkan melalui minimal 4 dari 11 kriteria
yang ditetapkan oleh American College of Rheumatology.
a. Ruam malar
b. Ruam diskoid
c. Fotosensitivitas
d. Ulserasi mulut dan nasofaring
e. Artritis
f. Serositis, yaitu pleuritir atau perikarditis
g. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 mg/hari
atau adalah silinder sel.
h. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis
16 | P a g e

i. Kelainan hematologik yaitu anemia

hemolitik, atau

leukopenia, atau limfopenia, atau trombositopenia


j. Kelainan imunologik, yaitu bila sel LE positif atau
antiDNA positif, atau anti sm positif, atau tes serologik
untuk sifilis yang positif palsu
k. Anti nuklear antibody (ANA) positif
Kecurigaan akan penyakit SLE bila timbul minimal dua keterlibatan
organ sebagaimana tercantum di bawah ini.
a. Jenis kelamin wanita pada rentang usia reproduksi
b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti
infeksi) dan penurununan berat badan.
c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
d. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash),
fotosensitivitas,

SLEi

membran

mukosa,

alopesia,

fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis


e. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindrome nefrotik
f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkim
paru
h. Jantung: perikarditis, miokarditis, endokarditis
i. Retikulo-endotelial:

organomegali

(limfanodepati,

splenomegali, hapatomegali)
j. Hematologi: anemia, leukopenia, trombositopenia
k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik,
mielitis transversa, neuropati kranial dan perifer.10
V.

Diagnosis kerja
Penegakan diagnosis kerja dilakukan berdasarkan gambaran
klinik dari anamnesia dan pemeriksaan fisik lalu dikonfirmasi dengan
hasil pemeriksaan penunjang. Keluhan utama pasien pada skenario
adalah nyeri pada sendi jari-jari tangan dan pergelangan tangan

17 | P a g e

kanan-kiri selam 4 bulan terakhir. Keluhan nyeri terjadi simetris


poliartikular pada sendi-sendi kecil tangan sehingga manyingkirkan
Osteoartritis sebagai DD karena OA biasanya terjadi monoartikuler
pada sendi-sendi besar penopang berat badan seperti lutut. Gout dan
artritis septic juga disingkirkan dengan merujuk kepada lokasi nyeri
dan jumlah sendi yang nyeri. Gout dan artritis septik biasanya timbul
monoartikular. Gout timbul terlebih dulu pada sendi MTP-1 sedangkan
artritis septik umumnya pada sendi siku. Sedangkan DD SLE
disingkirkan karena biasanya SLE bermanifestasi sistemik, artinya
keluhan tidak terjadi pada sekelompok sendit tertentu saja. Selain itu,
artritis bukan satu-satunya manifestasi SLE, karena banyak sistem
lain yang biasanya ikut menjadi keluhan. Dari hasil di atas, maka
dipilihlahg Reumatoid artritis sebagai diagnosis kerja dimana terdapst
kecocokan antar menifestasi kliniknya dengan keluhan pasien (nyeri
poliartikuler simetris pada sendi-sendi kecil tangan dan pergelangan
tangan).
VI.

Etiologi Reumatoid Artritis


Etiologi RA sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Tetapi,
ada

beberapa

faktor

yang

sejauh

ini

diketahui

memengaruhi

timbulnya penyakit RA.


Pertama, adalah faktor genetik. Pada RA terdapat interaksi yang
kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik
berperanan penting dalam timbulnya penyakit RA dengan angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Faktor genetik juga
berpengaruh penting dalam terapi RA karena aktivitas enzim seperti
methylenetetrahydofolat reductase dan tiopurine methyltransferase
untuk metabolisme Metotrexate dan Azatioprine ditentukan juga oleh
faktor genetik.
Kedua, adalah faktor hormon sex. Prevalensi RA lebih besar pada
perempuan dibanding laki-laki sehingga diduga hormon sex berperan
18 | P a g e

dalam timbulnya penyakit ini. Pada observasi didapati bahwa terjadi


perbaikan

gejala

RA

selam

kehamilan.

Selain

itu,

pemberian

kontrasepsi oral juga dilaporkan dapat mencegah perkembangan RA


atau berhubungan dengan penurunan insiden RA yang lebih berat.
Ketiga, faktor infeksi. Beberapa jenis virus dan bakteri seperti
Mycoplasma

(melalui

infeksi

sinovial

langsung,

superantigen);

Parvovirus B19 dan Retrovirus (infeksi sinovial langsung); Enteric


bacteria, Micobacteria, dan Epstein-Barr virus (kemiripan molekul);
Bacterial cell walls (aktivasi makrofag) diduga sebagai agen penyebab
penyakit RA. Organisme-organisme tersebut diduga mnginfeksi sel
host

dan

mengubah

mencetuskan
ditemukan

reaktivitas

timbulnya

agen

infeksi

atau

penyakit,
yang

respon

walaupun

secara

sel

sehingga

sebenarnya

nyata

terbukti

belum
sebagai

penyebaba penyakit.
Keempat, Heat Shock Protein (HSP). HSP adalah keluarga protein
dengan untaian asam amino homolog yang diproduksi oleh sel pada
semua jenis spesies sebagai respon terhadap stres. HSP tertentu pada
manusia dan HSP

Mycobacterium tuberculosis

memunyai 65%

untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T


mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel host. Hal ini
mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai
kemiripan molekul (molecular mimicry).
Selain keempat faktor di atas ada beberapa faktor resiko yang
berhubungan dengan peningkatan terjadinya Ra, antara lain jenis
kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur
lebih tua, paparan salisilat dan merokok. Makanan tinggi vitamin D,
konsumsi teh dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan
penurunan resiko. Tiga dari empat perempuan dengan RA mengalami
perbaikan gejala yang bermakna selam kehamilan dan biasanya
kambuh kembali setelah melahirkan.1, 6

19 | P a g e

VII.

Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi penyakit RA adalah sebesar 0,4% (sama
dengan di Philipina dan China).
Jawa tengah : 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban.
Malang pada penduduk berusia di atas 40 tahun mendapatkan
prevalensi RA sebesar 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di
daerah.
Poliklinik Reumatologi RUSPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus
RA baru merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan
pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus
AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%).

VIII.

Patogenesis
Kerusakan sendi pada RA dimulai dari proliferasi makrofag dan
fibroblas sinovial setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun
atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi
proliferasi sel-sel endotel, dan selanjutnya terjadi neovaskularisasi.
Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh
bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang
ireguler pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi sehingga
terbentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan
sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase,
dan faktor pertumbuhan dilepaskan sehingga menyebabkan destruksi
sendi dan komplikasi sistemik.6

IX.

Manifestasi Klinis
Onset. Pada kurang lebih 2/3 penderita RA, onset terjadi secara
perlahan, artritis simetris terjadi dari beberapa minggu sampai
beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang lebih 15% dari
penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat yaitu antar

20 | P a g e

beberapa hari sampai beberap minggu. Sebanyak 10-15% penderita


memunyai onset fulminant berupa artritis poliatrikuler, sehingga
diagnosis RA lebih mudah ditegakkan. Pada 8-15% penderita, gejala
muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi). Artritis
seringkali

diikuti

oleh

kekakuan

sendi

pada

pagi

hari

yang

berlangsung selama satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga


memunyai gejala-gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan,
anoreksia, dan demam ringan.
Manifestasi artikular. Penderita RA umumnya datang dengan
keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun sepertiga
penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi saja.
Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri, bengkak, kemerahan,
teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama
kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak
dijumpai pada penderita RA kronik. Penyebab artritis pada RA adalah
sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran sinovial yang
membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah
persendian tangan, kaki, dan vertebra cervical, tetapi persendian
besar seperti bahu dan lutut juga isa terkena. Sendi yang terlibat
pada umumnyasimetris, meskipun pada presentasi awal bisa tidak
simetris.

Sinovitis

akan

menyebabkan

erosi

permukaan

sendi

sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi sendi. Ankilosis


tulang (destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang yang
berlebih)

bisa

terjadi

pada

beberapa

sendi

khususnya

pada

pergelangan tangan dan kaki. Sendi pergelangan tangan hampir


selalu

terlibat

demikian

juga

dengan

sendi

interfalang

dan

metacarpofalangeal. Tetapi, sendi interfalang distal dan sakroiliaca


tidak pernah terlibat.
Manifestasi ekstraartikuler. Walaupun artritis merupakan
manifestasi klinis utama, tetapi RA merupakan penyakit sistemik
sehingga
21 | P a g e

banyak

penderita

yang

juga

memunyai

manifestasi

ekstraartikuler.

Manifestasi

ekstraartikuler

umumnya

dijumpai

padampasien yang memunyai titer faktor reumatoid (Rf) serum yang


tinggi. Nodul reumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling
sering dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus.
Nodul reumatoid umumnya ditemukan di bagian ulna, olekranon, jari
tangan, tendon achilles dan bursa olekranon. Nodul reumatoid hanya
ditemukan pada pasien dengan Rf positif (sering titernya tinggi) dan
mungkin dikelirukan dengan tofus gout. Manifestasi paru juga bisa
terjadi, tetapi beberapa perubahan patologik hanya bisa ditemukan
pada saat otopsi.
Deformitas.
(tendon

dan

Kerusakan

ligamentum)

struktur

artikular

menyebabkan

dan

terjadinya

periartikular
deformitas.

Bentuk-bentuk deformitas itu antara lain:


1. Deformitas

leher

angsa

(Swan

neck

deformities)

hiperekstensi PIP dan fleksi DIP


2. Deformitas Boutonniere : fleksi PIP dan hiperekstensi DIP
3. Deviasi ulna : deviasi MCP dan jari-jari tangan ke arah ulna
4. Deformitas piano key : dengan penekanan manual akan
terjadi pergerakan naik dan turun dari ulnar styloid yang
disebabkan oleh rusaknya sendi radioulnar.
5. Deformitas Z-thumb : fleksi dan subluksasi sendi MCP-1 dan
hiperekstensi sendi intefalang.
6. Artritis mutilans : sendi MCP, PIP, tulang carpal dan kapsul
sendi mengalami kerusakan sehingga terjadi instabilitas
dan tangan tampak mengecil.
7. Hallux valgus : MTP-1 terdesak ke arah medial dari jempol
kaki mengalami deviasi ke arah luar yang terjadi secara
bilateral.
Ada

tujuh

kriteria

baku

menurut

American

College

of

Rheumatology (ACR) yang digunakan untuk mendiagnosis RA, tetapi


pada pasien dini mungkin agak sulit untuk melakukan diagnosis
22 | P a g e

menggunakan kriteria tersebut. Tetapi secara umum, pada kunjungan


awal, pasien harus ditanyakan mengenai derajat nyeri, durasi
kekakuan dan kelemahan, serta keterbatasan fungsional. Mengenai
kriteria ACR, minimal harus ada 4 kriteria yang terpenuhi untuk
dianggap sebagai RA.
1. Kaku pagi hari paling tidak 1 jam sebelum perbaikan
maksimal
2. Artritis

pada

persendian

atau

lebih

(dengan

pembengkakan jaringan lunak atau efusi)


3. Artritis pada persedian tangan
4. Artritis yang simetris
5. Nodul reumatoid (pada penonjolan tulang, permukaan
ekstensor, atau pada daerah juxtaartikular)
6. Faktor reumatoid serum positif
7. Perubahan gambar radiologis yang khas pada foto AP
tangan dan pergelangan6
X.

Komplikasi
Komplikasi RA mencakup:
1. Komplikasi anemia : Berkorelasi dengan LED dan aktivitas
penyakit. 75% penderita RA mengalami anemia karena
penyakit kronik dan 25% penderita tersebut memberikan
respon terhadap terapi besi.
2. Kanker

mungkin

akibat

sekunder

dari

terapi

yang

diberikan.
3. Cervical spine diseases : tenosinovitis pada ligamentum
transversum bisa menyebabkan instabilitas sumbu atlas,
hati-hati bila melakukan intubasi endotrakeal; mungkin
ditemukan hilangnya lordosis servical dan berkurangnya
lingkup

gerak

penyempitan
23 | P a g e

leher;

celah

subluksasi

sendi

pata

C4-C5
foto

dan

C5-C6,

servikal

lateral;

myelopati bisa terjadi yang ditandai oleh kelemahan


bertahap pada ekstremitas atas dan parestesia.
4. Gangguan mata berupa episkleritis meski jarang terjadi.
5. Pembentukan fistula : terbentuknya sinus kutaneus dekat
sendi yang terkena, terhubungnya bursa dengan kulit.
6. Peningkatan infeksi yang mungkin karena efek terapi RA.
7. Deformitas sendi
8. Komplikasi pernapasan : nodul paru; inflamasi pada sendi
cricoarytenoid dengan gejala suara serak dan nyeri pada
laring; pleuritits ditemukan pada 20% penderita; fibrosis
interstitial

bisa

ditandai

dengan

adanya

ronki

pada

pemeriksaan.
9. Nodul reumatoid : ditemukan pada 20-35% penderita RA,
biasanya ditemukan pada permukaan ekstensor ekstremitas
atau daerah penekanan lain, tetapi bisa juga ditemukan
pada daerah sklera, pita suara, sakrum, atau vertebra.
10. Vaskulitis6
XI.

Penatalaksanaan
Modalitas terapi pasien RA meliputi terapi farmakologik dan non
farmakologik. Tujuan terapi pada penderita RA adalah:
1. Mengurangi nyeri.
2. Mempertahankan status fungsional.
3. Mengurangi inflamasi.
4. Mengendalikan keterlibatan sistemik.
5. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular.
6. Mengendalikan progresivitas penyakit.
7. Menghindari
penyakit.6

24 | P a g e

komplikasi

yang

berhubungan

dengan

Terapi
farmakologik
suplementasi

non

farmakologik.

telah
asam

dicoba
lemak

pada

Beberapa
pemderita

esensial,

teori
RA.

terapi

terapi

non

Terapi

puasa,

dan

latihan,

spa

menunjukkan hasil yang baik. Pemberian suplemen minyak hati ikan


Cod bisa digunakn sebagai NSAID-sparing agent pada penderita RA.
Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan
penderita bisa memberikan manfaat jangka pendek. Penggunaan
terapi herbal, akupuntur, dan splinting belum memberikan bukti yang
menjanjikan. Pembedaha harus dipertimbangkan bila: 1) terdapat
nyeri

berat

yang

berhubungan dengan kerusakan

sendi

yang

ekstensif; 2) keterbatasn gerak yang bermakna atau keterbatasan


fungsi yang berat; 3) ada ruptur tendon.6
Terapi

Farmakologik.

Farmakoterapi

untuk

penderita

RA

umumnya meliputi obat antiinflamasi non steroid (NSAID) untuk


mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau intraartikular,
dan DMARD (Disesase Modifying Antirheumatic Drug). Analgetik lain
juga mungkin digunakan seperti acetaminophen, opiat, diproqualone,
dan lidokain topikal. Saat ini model terapi yang diterapkan pada
pasien RA adalah model piramida terbalik, dimana DMARD harus
diberikan sedini mungkin untuk mencegah perburukan penyakit.
Pemberian DMARD sedini mungkin berdasarkan: 1) kerusakan sendi
sudah terjadi sejak awal penyakit; 2) DMARD memberikan manfaat
bermakna bila diberikan sedini mungkin.
Lini pertama DMARD adalah Metotrexate (MTX) Hidroksiklorokuin,
Sulfasalazin, dan Leflunomid, dimana MTX sering dipilih pertama kali,
selain karena harganya relatif murah, efektifitasnya juga terbunkti
lebih unggul dibanding DMARD lainnya. Leflunomid sepertinya
memunyai efek jangka panjang sama dengan MTX. Bila terapi DMARD
tunggal gagal, boleh digunakan kombinasi dari 2 atau lebih DMARD,
dimana yang paling efektif adalah MTX + Siklosporin atau MTX +
Sulfasalazin/Hidroksiklorokuin
25 | P a g e

Selain DMARD konvensional (non-

biologik) ada juga terapi dengan Biologic Agent yang memiliki


aktivitas Disease-modifying, seperti anti-TNF (etanersep, Infliximab,
Adalimumab), antagonis reseptor IL-1 (Anakinra dan Rituximab, yang
mengurangi sel B perifer, efektif untuk pasien yang gagal diterapi
dengan DMARD. DMARD yang lain seperti: Azatiopin, Penisilamin,
Garam

Emas

(termasuk

auranofin),

Minosiklin,

Siklosporin

dan

Siklofosfamid jarang digunakan karena kurang efektif atau karena


sangat toksik.
NSAID dan/atau Kortikosteroid bisa digunakan untuk mengurangi
gejala simptomatik, tetapi tidak mengurangi memunyai dampak pada
progresivitas penyakit dan potensi timbulnya komplikasi pada terapi
jangka panjang. Oleh karena itu, pada terapi RA, NSAID tidak boleh
diberikan secara tunggal terutama untuk mewaspadai efek pada
sistem gastrointestinal. NSAID yang paling sering diberikan untuk RA
adalah Piroxicam.
Glukokortikoid.

Steroid

dengan

dosis

ekuivalen

dengan

prednison <10 mg/hari sudah cukup untuk meredakan gejala dan


memperlambat kerusakan sendi. Steroid harus diberikan dalam dosis
serendah mungkin mengingat antiinflamasi steroid memiliki efek
samping cukup serius seperti osteoporosis, katarak, gangguan kadar
gula

darah dll, sehingga

pemberian steroid derekomendasikan

bersama kalsium dan vitamin D.


XII.

6, 11

Prognosis
Prediktor prognosis buruk pada stadium dini RA antara lain: skor
fungsional yang rendah, status sosial ekonomi rendah, tingkat
pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat menderita RA,
melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan
penyakit, Rf atau anti-CCP positif, perubahan radiologis pada awal
penyakit, ada nodul reumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya.
Penderita yang diobati saat keadaan masih ringan memberikan

26 | P a g e

respon terapi yang lebih baik daripada yang diterapi saat keadaannya
seudah lebih berat.

Penutup
Reumatoid artritis (RA) merupakan penyakit autoimun yang ditandai
dengan inflamasi sitemik kronik dan progresif

yang sebagian besar

bermanifestasi pada sendi; meskipun ada juga manifestasi ekstrasrtikuler


dari penyakit ini. Etiologi RA belum diketahui secara pasti, meskipun
beberapa faktor seperti genetik, hormon sex, Heat shock protein, dan infeksi
sangat memengaruhi tingkat mortalitas penyakit ini.
Manifestasi RA yang ditemui pada skenario adalah adanya nyeri sendi
poliartritis simetris. Ada beberapa penyakit yang menjadi diagnosis banding
penyakit ini, yaitu Osteoartritis, artritis gout, artritis spetik, dan SLE.
Penatalaksanaan RA yang dini akan sangat membantu memperbaiki
prognosis karena permulaan terapi pada pasien yang masih berkeluhan
ringan akan memberikan respon terapi yang semakin baik. 6

Daftar Pustaka
1. Nasution AR, Sumariyono. Introduksi reumatologi. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiadi S, penyunting. Buku ajar
ilmu

penyakit

dalam.

Edisi

ke-5.

Jakarta:

Interna

Publishing;

2009.h.2353.
2. Isbagio H, Setiyohadi B. Anamnesis dan pemeriksaan fisis penyakit
muskuloskeletal. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
MK, Setiadi S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2445-55.
3. Sumariyono. Artrosentesis dan analisis cairan sendi. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiadi S, penyunting. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing;
2009.h.2456-60.
27 | P a g e

4. Arnadi,

Suryadhana

reumatoid,

NG,

Kasjmir

autoantibodi,

dan

YI.

Pemeriksaan

komplemen.

Dalam:

CRP,

faktor

Sudoyo

AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiadi S, penyunting. Buku ajar


ilmu

penyakit

dalam.

Edisi

ke-5.

Jakarta:

Interna

Publishing;

2009.h.2462-70.
5. Albar Z. Pemeriksaan pencitraan dalam bidang reumatologi. Dalam:
Sudoyo

AW,

Setiyohadi

B,

Alwi

I,

Simadibrata

MK, Setiadi

S,

penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.h.2472-4.
6. Suarjana IN. Artritis reumatoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiadi S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2495-510.
7. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, broto R, Pramudiyo R. Osteoartritis.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiadi S,
penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.h.2538-48.
8. Tehupeiroy ES. Artritis pirai (artritis gout). Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiadi S, penyunting. Buku ajar
ilmu

penyakit

dalam.

Edisi

ke-5.

Jakarta:

Interna

Publishing;

2009.h.2556-64.
9. Setyohadi B, Tambunan AS. Infeksi tulang dan sendi. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiadi S, penyunting. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing;
2009.h.2639-40.
10.

Isbagio

H,

Kasjmir

YI,

Setyohadi

B,

Suarjana

N.

Lupus

erotematosus sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata MK, Setiadi S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2565-77.
11.

Nah YK, Arif A, Rumawas MA, Angelia F, William. Buku ajar

farmakoterapi penyakit muskuloskeletal. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas kristen Krida Wacana; 2013.h.10-7.
28 | P a g e

29 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai